KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (3)
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
BAB I
PENDAHULUAN
• LATAR BELAKANG
Pajak adalah istilah yang tidak asing lagi bagi kita, peranannyapun
dalam pengembangan suatu Negara juga sangat besar. Karena itu, di
Indonesia banyak UndangUndang maupun peraturan perundang
undangan yang menjelaskan tentang pajak. Dari periode ke periode
peraturan tentang pajak selalu mengalami perubahan, begitupun di
Indonesia. Sehingga muncullah istilahistilah baru tentang perpajakan
yang harus diketahui oleh orang banyak. Selain itu perlu disadari juga
bahwa sebagian besar penduduk indonesia yang belum mempunyai
NPWP, padahal NPWP tersebut sangat penting bagi pembangunan
Negara. Maka dari itu kami membuat makalah ini guna memberi tahu
pembaca tentang NPWP dan menumbuhkan kesadaran pembaca untuk
membayar pajak.
• TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai
“KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN” ini adalah
guna memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan. Manfaat penulisan
makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan pembaca
tentang masalah Perpajakan. Selain itu supaya ada kesadaran pada diri
kami dan pembaca untuk tertib membayar pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Peraturan perundangundangan perpajakan yang mengatur tentang
“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun
1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994, dengan
UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang
undang tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi
falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No. 28 tahun 2007 pada dasarnya
mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban
aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment,
yaitu Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri,
menghitung pajak yang terutang, menyetornya, serta melaporkan
penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan fungsi Direktorat
Jenderal pajak adalah melakukan pengawasan atas sistem self assesment
tersebut agar Wajib Pajak melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
undangundang perpajakan. Penghitungan pajak yang terutang diatur
dalam undangundang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam
UU PPh dan UU PPN. Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan
pelaporan pajak, serta wewenang Direktorat Jenderal pajak diatur dalam
undangundang formal perpajakan sebagaimana tercantum dalam UU No.
6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
disebut UU KUP), yang mengatur tentang hak dan kewajiban Wajib
Pajak serta wewenang Direktorat Jenderal Pajak, termasuk sanksi
perpajakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
1. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Adalah nomor yang diberikan oleh direktur jendral pajak kepada
wajib pajak sebagai suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakanya . Oleh karena itu,
kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib
Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk
menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP (Nomor
Pokok Wajib Pajak) yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan.
C. SURAT PEMBERITAHUAN
a. Pengertian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. KUP:pasal 1,
angka 11.
b. Fungsi SPT
1. Fungsi SPT bagi wajib pajak PPh:
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
2. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak :
a. Sabagai sarana untuk malaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya
3. Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang seharusnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain
dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan perundang
undangan perpajakan yang berlaku.
c. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran;
c. Kewajiban terhadap SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak. KUP : Pasal 3 ayat (1)
• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
• Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atas Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan
batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya
pajak atau Masa Pajak berakhir.
• Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak
berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan.
• Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak
usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan.
d. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda
administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung
dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama
kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.
D. TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment,
yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan
pajak terutang.
a. Kewajiban Membayar Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan
sebagai berikut:
I. Membayar sendiri pajak yang terutang:
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun
dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya
dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25
terbagi atas 2 yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara
grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu
atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang
berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran
usaha (omset) setiap bulan dari masingmasing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena
Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000, 5%
di atas Rp 50.000.000, sampai dengan Rp 250.000.000, 15%
di atas Rp 250.000.000, sampai dengan Rp 500.000.000, 25%
di atas Rp 500.000.000, 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran
PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan
dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang
Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh
adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai
dengan Rp 50.000.000.000, mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh,
yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai
dengan Rp 4.800.000.000,
c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh
pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta
PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak
diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh
pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor
atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajakpajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang
dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai
tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan
mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) di atas Rp 250.000, sampai dengan Rp1.00.000, adalah
Rp3.000,.
b. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada
pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk
berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara
lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan
dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan
pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh
Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15
dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masingmasing pajak
tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21
adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh
UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya.
Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh
Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22
adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada
bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang
bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
Pemungutan PPh atas produksi barangbarang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
Pemungutan atas pembelian bahanbahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang
perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul;
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat
juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23
adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga,
royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26
adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga,
royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut
oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima
penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat
dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT
Tahunan.
f. PPh Pasal 15
adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan
norma penghitungan khusus.
g. PPN dan PPnBM
adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah)
atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
b. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetora pajak yang terhutang
dengan mengguanakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
KUP : Pasal 10 ayat (1)
Tempat pembayaran tersebut adalah:
a. Bankbank yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral anggaran;
b. Kantor pos.
Apabila pihakpihak yang diberi kewajiban oleh UndangUndang
Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
• Batas Waktu Pembayaran
Batas waktu pembayaran atau penyetoran diatur sebagai berikut :
• Batas Waktu Pembayaran Masa:
No. Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran atau Penyetoran
1 PPh pasal 21 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah masa pajak berakhir
2 PPh pasal 21impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak
bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk
dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokuman
impor
3 PPh pasal 22Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah
pemungutan pajak dilakukan
4 PPh pasal 22 Bendaharawan Pemerintah Pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran
5 PPh pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina Dilunasi sendiri oleh
wajib pajak sebelum Suart Pemerintah Pengeluaran Barang (deliveryn
order) ditebus
6 PPh pasal 22 yang dipungut oleh badan tertentu Paling lambat
tanbggal 10 bulan takwim berikutnya
7 PPh pasal 23 dan 26 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak
8 PPh pasal 25 Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya
setelah bulan saat terutangnya pajak
9 PPN dan PPnBm Paling lambat tanggal 15 bulan takwim
berikutnyasetelah masa pajak berakhir
10 PPN dan PPnBm impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak
bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk
dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokuman
impor
11 PPN dan PPnBm Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari
setelah pemungutan pajak dilakukan
12 PPN dan PPnBm Bendaharawan Paling lambat tanggal 7 bulan
takwim berikutnyasetelah masa pajak berakhir
E. SURAT KETETAPAN PAJAK ( SKP )
Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (skp) hanya terbatas
kepada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh WP.
Fungsi Surat Ketetapan Pajak Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
a) Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang
nyatanyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan
perpajakan.
b) Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c) Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d) Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar
e.Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
JenisJenis Ketetapan Pajak
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas
jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
d) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
e) Surat Tagihan Pajak (STP) Adalah surat ketetapan pajak yang
diterbitkan dalam hal : - Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
tidak atau kurang dibayar
Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN,
tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak; Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak,
Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat
Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya
Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya
dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak dikeani sanksi.
Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian pajak masukan diwajibkan membayar kembali.
F. PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak.
Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak
terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat
Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP
dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan
Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap
tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan
pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang
tidak/belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari
jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah
Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang
pajaknya.
3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa
disampaikan.
4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling
singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan
penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak
kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.
G. KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan yaitu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang
undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP)
merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam
hal ini WP dapat mengajukan keberatan.
1. Halhal yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di
tempat WP terdaftar, dengan syarat:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak
yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP
dan disertai alasanalasan yang jelas.
c. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa
pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat,
dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
3. Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan
pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
a. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka
jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak
ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
b. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos ( harus dengan
pos tercatat ), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan
oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui
Kantor Pos dan Giro.
1. Tata Cara Pengajuan Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang
diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding. kepada badan
peradilan pajak, dengan syarat:
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
c. Alasan yang jelas.
d. Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.
Pengajuan permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha
Negara.
2. Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima
sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding.
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada
bpp terhadap :
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,
atau Pengumuman Lelang;
2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan
selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
3. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU
KUP yang berkaitan dengan STP;
4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan
dengan STP;
Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1. Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau
Pengumuman Lelang;
2. Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari
sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
H. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut.
Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur
tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
a. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat
milyar delapan ratus juta rupiah).
b. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
c. SyaratSyarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual
atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
5. Pembukuan sekurangkurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
d. SyaratSyarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto
yang diterima dan/atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat
usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing
masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang
pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
e.Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan
dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
f. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program online
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan Wajib Pajak badan. Perubahan Tahun Buku Dan Metode
Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku,
harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
I. PEMERIKSAAN
Direktorat pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajaan wajib Pajak dan
ujuan antara lain:
1. Pemberian nomr Pokok Wajib Pajak
2. Penghapusan nomr Pokok Wajib Pajak
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
4. Wajib pajak mengajukan keberatan
5. Pengumpulan bahan guna penyususnan Norma Penghitungan
Penghaskan Netto
6. Pencocokan data atau alat ketetrangan
7. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak
8. Pemenuhan permintaan informasi dari Negara mitra perjanjian
penghindaran pajak Berganda
Berdasarkan ruang lingkupnya jenisjenis pemeriksaan sebagaimana
disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan
pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam)
bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat
panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal
Laporan Hasil Pemeriksaan. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang
menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat
perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
A. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Peraturan perundangundangan perpajakan yang mengatur tentang
“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun
1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994, dengan
UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang
undang tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi
falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No. 28 tahun 2007 pada dasarnya
mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban
aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment,
yaitu Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri,
menghitung pajak yang terutang, menyetornya, serta melaporkan
penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan fungsi Direktorat
Jenderal pajak adalah melakukan pengawasan atas sistem self assesment
tersebut agar Wajib Pajak melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
undangundang perpajakan. Penghitungan pajak yang terutang diatur
dalam undangundang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam
UU PPh dan UU PPN. Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan
pelaporan pajak, serta wewenang Direktorat Jenderal pajak diatur dalam
undangundang formal perpajakan sebagaimana tercantum dalam UU No.
6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
disebut UU KUP), yang mengatur tentang hak dan kewajiban Wajib
Pajak serta wewenang Direktorat Jenderal Pajak, termasuk sanksi
perpajakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
1. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah nomor yang diberikan
oleh direktur jendral pajak kepada wajib pajak sebagai suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakanya . Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya
diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok
Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang
dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
C. SURAT PEMBERITAHUAN
a. Pengertian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. KUP:pasal 1,
angka 11.
b. Fungsi SPT
1. Fungsi SPT bagi wajib pajak PPh:
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
2. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak :
a. Sabagai sarana untuk malaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya
3. Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang seharusnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain
dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan perundang
undangan perpajakan yang berlaku.
c. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran;
c. Kewajiban terhadap SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak. KUP : Pasal 3 ayat (1)
• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
• Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atas Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan
batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya
pajak atau Masa Pajak berakhir.
• Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak
berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan.
• Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak
usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan.
d. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda
administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung
dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama
kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.
D. TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment,
yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan
pajak terutang.
a. Kewajiban Membayar Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai
berikut:
I. Membayar sendiri pajak yang terutang:
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun
dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya
dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25
terbagi atas 2 yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara
grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu
atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang
berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran
usaha (omset) setiap bulan dari masingmasing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain
Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena
Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000, 5%
di atas Rp 50.000.000, sampai dengan Rp 250.000.000, 15%
di atas Rp 250.000.000, sampai dengan Rp 500.000.000, 25%
di atas Rp 500.000.000, 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25
yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan
tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak
Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah
25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai
dengan Rp 50.000.000.000, mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh,
yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai
dengan Rp 4.800.000.000,
c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain
(PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal
26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak
diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh
pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor
atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajakpajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang
dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai
tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan
mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) di atas Rp 250.000, sampai dengan Rp1.00.000, adalah
Rp3.000,.
b. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada
pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk
berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara
lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan
dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan
pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal
22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan
PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masingmasing pajak
tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh
UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya.
Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh
Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh
rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan
usaha di bidangbidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
Pemungutan PPh atas produksi barangbarang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
Pemungutan atas pembelian bahanbahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang
perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul;
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat
juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh
pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima
penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat
dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT
Tahunan.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan
oleh pihak p
BAB I
PENDAHULUAN
• LATAR BELAKANG
Pajak adalah istilah yang tidak asing lagi bagi kita, peranannyapun
dalam pengembangan suatu Negara juga sangat besar. Karena itu, di
Indonesia banyak UndangUndang maupun peraturan perundang
undangan yang menjelaskan tentang pajak. Dari periode ke periode
peraturan tentang pajak selalu mengalami perubahan, begitupun di
Indonesia. Sehingga muncullah istilahistilah baru tentang perpajakan
yang harus diketahui oleh orang banyak. Selain itu perlu disadari juga
bahwa sebagian besar penduduk indonesia yang belum mempunyai
NPWP, padahal NPWP tersebut sangat penting bagi pembangunan
Negara. Maka dari itu kami membuat makalah ini guna memberi tahu
pembaca tentang NPWP dan menumbuhkan kesadaran pembaca untuk
membayar pajak.
• TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai
“KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN” ini adalah
guna memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan. Manfaat penulisan
makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan pembaca
tentang masalah Perpajakan. Selain itu supaya ada kesadaran pada diri
kami dan pembaca untuk tertib membayar pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Peraturan perundangundangan perpajakan yang mengatur tentang
“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun
1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994, dengan
UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang
undang tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi
falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No. 28 tahun 2007 pada dasarnya
mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban
aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment,
yaitu Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri,
menghitung pajak yang terutang, menyetornya, serta melaporkan
penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan fungsi Direktorat
Jenderal pajak adalah melakukan pengawasan atas sistem self assesment
tersebut agar Wajib Pajak melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
undangundang perpajakan. Penghitungan pajak yang terutang diatur
dalam undangundang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam
UU PPh dan UU PPN. Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan
pelaporan pajak, serta wewenang Direktorat Jenderal pajak diatur dalam
undangundang formal perpajakan sebagaimana tercantum dalam UU No.
6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
disebut UU KUP), yang mengatur tentang hak dan kewajiban Wajib
Pajak serta wewenang Direktorat Jenderal Pajak, termasuk sanksi
perpajakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
1. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Adalah nomor yang diberikan oleh direktur jendral pajak kepada
wajib pajak sebagai suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakanya . Oleh karena itu,
kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib
Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk
menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP (Nomor
Pokok Wajib Pajak) yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan.
C. SURAT PEMBERITAHUAN
a. Pengertian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. KUP:pasal 1,
angka 11.
b. Fungsi SPT
1. Fungsi SPT bagi wajib pajak PPh:
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
2. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak :
a. Sabagai sarana untuk malaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya
3. Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang seharusnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain
dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan perundang
undangan perpajakan yang berlaku.
c. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran;
c. Kewajiban terhadap SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak. KUP : Pasal 3 ayat (1)
• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
• Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atas Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan
batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya
pajak atau Masa Pajak berakhir.
• Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak
berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan.
• Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak
usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan.
d. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda
administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung
dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama
kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.
D. TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment,
yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan
pajak terutang.
a. Kewajiban Membayar Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan
sebagai berikut:
I. Membayar sendiri pajak yang terutang:
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun
dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya
dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25
terbagi atas 2 yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara
grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu
atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang
berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran
usaha (omset) setiap bulan dari masingmasing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena
Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000, 5%
di atas Rp 50.000.000, sampai dengan Rp 250.000.000, 15%
di atas Rp 250.000.000, sampai dengan Rp 500.000.000, 25%
di atas Rp 500.000.000, 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran
PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan
dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang
Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh
adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai
dengan Rp 50.000.000.000, mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh,
yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai
dengan Rp 4.800.000.000,
c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh
pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta
PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak
diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh
pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor
atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajakpajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang
dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai
tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan
mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) di atas Rp 250.000, sampai dengan Rp1.00.000, adalah
Rp3.000,.
b. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada
pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk
berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara
lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan
dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan
pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh
Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15
dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masingmasing pajak
tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21
adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh
UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya.
Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh
Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22
adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada
bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang
bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
Pemungutan PPh atas produksi barangbarang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
Pemungutan atas pembelian bahanbahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang
perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul;
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat
juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23
adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga,
royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26
adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga,
royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut
oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima
penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat
dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT
Tahunan.
f. PPh Pasal 15
adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan
norma penghitungan khusus.
g. PPN dan PPnBM
adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah)
atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
b. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetora pajak yang terhutang
dengan mengguanakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
KUP : Pasal 10 ayat (1)
Tempat pembayaran tersebut adalah:
a. Bankbank yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral anggaran;
b. Kantor pos.
Apabila pihakpihak yang diberi kewajiban oleh UndangUndang
Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
• Batas Waktu Pembayaran
Batas waktu pembayaran atau penyetoran diatur sebagai berikut :
• Batas Waktu Pembayaran Masa:
No. Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran atau Penyetoran
1 PPh pasal 21 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah masa pajak berakhir
2 PPh pasal 21impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak
bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk
dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokuman
impor
3 PPh pasal 22Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah
pemungutan pajak dilakukan
4 PPh pasal 22 Bendaharawan Pemerintah Pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran
5 PPh pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina Dilunasi sendiri oleh
wajib pajak sebelum Suart Pemerintah Pengeluaran Barang (deliveryn
order) ditebus
6 PPh pasal 22 yang dipungut oleh badan tertentu Paling lambat
tanbggal 10 bulan takwim berikutnya
7 PPh pasal 23 dan 26 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak
8 PPh pasal 25 Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya
setelah bulan saat terutangnya pajak
9 PPN dan PPnBm Paling lambat tanggal 15 bulan takwim
berikutnyasetelah masa pajak berakhir
10 PPN dan PPnBm impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak
bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk
dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokuman
impor
11 PPN dan PPnBm Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari
setelah pemungutan pajak dilakukan
12 PPN dan PPnBm Bendaharawan Paling lambat tanggal 7 bulan
takwim berikutnyasetelah masa pajak berakhir
E. SURAT KETETAPAN PAJAK ( SKP )
Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (skp) hanya terbatas
kepada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh WP.
Fungsi Surat Ketetapan Pajak Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
a) Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang
nyatanyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan
perpajakan.
b) Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c) Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d) Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar
e.Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
JenisJenis Ketetapan Pajak
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas
jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
d) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
e) Surat Tagihan Pajak (STP) Adalah surat ketetapan pajak yang
diterbitkan dalam hal : - Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
tidak atau kurang dibayar
Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN,
tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak; Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak,
Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat
Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya
Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya
dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak dikeani sanksi.
Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian pajak masukan diwajibkan membayar kembali.
F. PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak.
Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak
terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat
Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP
dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan
Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap
tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan
pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang
tidak/belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari
jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah
Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang
pajaknya.
3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa
disampaikan.
4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling
singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan
penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak
kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.
G. KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan yaitu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang
undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP)
merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam
hal ini WP dapat mengajukan keberatan.
1. Halhal yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di
tempat WP terdaftar, dengan syarat:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak
yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP
dan disertai alasanalasan yang jelas.
c. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa
pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat,
dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
3. Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan
pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
a. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka
jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak
ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
b. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos ( harus dengan
pos tercatat ), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan
oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui
Kantor Pos dan Giro.
1. Tata Cara Pengajuan Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang
diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding. kepada badan
peradilan pajak, dengan syarat:
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
c. Alasan yang jelas.
d. Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.
Pengajuan permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha
Negara.
2. Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima
sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding.
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada
bpp terhadap :
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,
atau Pengumuman Lelang;
2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan
selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
3. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU
KUP yang berkaitan dengan STP;
4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan
dengan STP;
Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1. Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau
Pengumuman Lelang;
2. Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari
sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
H. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut.
Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur
tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
a. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat
milyar delapan ratus juta rupiah).
b. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
c. SyaratSyarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual
atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
5. Pembukuan sekurangkurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
d. SyaratSyarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto
yang diterima dan/atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat
usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing
masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang
pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
e.Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan
dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
f. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program online
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan Wajib Pajak badan. Perubahan Tahun Buku Dan Metode
Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku,
harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
I. PEMERIKSAAN
Direktorat pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajaan wajib Pajak dan
ujuan antara lain:
1. Pemberian nomr Pokok Wajib Pajak
2. Penghapusan nomr Pokok Wajib Pajak
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
4. Wajib pajak mengajukan keberatan
5. Pengumpulan bahan guna penyususnan Norma Penghitungan
Penghaskan Netto
6. Pencocokan data atau alat ketetrangan
7. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak
8. Pemenuhan permintaan informasi dari Negara mitra perjanjian
penghindaran pajak Berganda
Berdasarkan ruang lingkupnya jenisjenis pemeriksaan sebagaimana
disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan
pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam)
bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat
panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal
Laporan Hasil Pemeriksaan. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang
menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat
perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
A. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Peraturan perundangundangan perpajakan yang mengatur tentang
“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun
1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994, dengan
UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang
undang tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi
falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No. 28 tahun 2007 pada dasarnya
mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban
aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment,
yaitu Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri,
menghitung pajak yang terutang, menyetornya, serta melaporkan
penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan fungsi Direktorat
Jenderal pajak adalah melakukan pengawasan atas sistem self assesment
tersebut agar Wajib Pajak melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
undangundang perpajakan. Penghitungan pajak yang terutang diatur
dalam undangundang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam
UU PPh dan UU PPN. Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan
pelaporan pajak, serta wewenang Direktorat Jenderal pajak diatur dalam
undangundang formal perpajakan sebagaimana tercantum dalam UU No.
6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya
disebut UU KUP), yang mengatur tentang hak dan kewajiban Wajib
Pajak serta wewenang Direktorat Jenderal Pajak, termasuk sanksi
perpajakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
1. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah nomor yang diberikan
oleh direktur jendral pajak kepada wajib pajak sebagai suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakanya . Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya
diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok
Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang
dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
C. SURAT PEMBERITAHUAN
a. Pengertian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. KUP:pasal 1,
angka 11.
b. Fungsi SPT
1. Fungsi SPT bagi wajib pajak PPh:
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak
lain dalam satu tahun pajak;
2. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak :
a. Sabagai sarana untuk malaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya
3. Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang seharusnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain
dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan perundang
undangan perpajakan yang berlaku.
c. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran;
c. Kewajiban terhadap SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak. KUP : Pasal 3 ayat (1)
• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
• Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atas Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan
batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya
pajak atau Masa Pajak berakhir.
• Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak
berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan.
• Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak
usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan.
d. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda
administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung
dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama
kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.
D. TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment,
yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan
pajak terutang.
a. Kewajiban Membayar Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai
berikut:
I. Membayar sendiri pajak yang terutang:
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun
dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya
dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25
terbagi atas 2 yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara
grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu
atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang
berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran
usaha (omset) setiap bulan dari masingmasing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain
Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena
Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000, 5%
di atas Rp 50.000.000, sampai dengan Rp 250.000.000, 15%
di atas Rp 250.000.000, sampai dengan Rp 500.000.000, 25%
di atas Rp 500.000.000, 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25
yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan
tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak
Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah
25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai
dengan Rp 50.000.000.000, mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh,
yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai
dengan Rp 4.800.000.000,
c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain
(PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal
26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak
diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh
pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor
atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajakpajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang
dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai
tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan
mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) di atas Rp 250.000, sampai dengan Rp1.00.000, adalah
Rp3.000,.
b. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada
pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme
pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk
berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara
lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan
dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan
pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal
22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan
PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masingmasing pajak
tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh
UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya.
Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh
Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh
rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan
usaha di bidangbidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
Pemungutan PPh atas produksi barangbarang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
Pemungutan atas pembelian bahanbahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang
perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul;
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat
juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh
pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima
penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat
dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT
Tahunan.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan
oleh pihak p