MELIHAT USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH U

MELIHAT USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) SEBAGAI
UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN;
SEBUAH PENDEKATAN CAPABILITY APPROACH
Andy Arya Maulana Wijaya
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan masalah yang hingga hari ini menarik untuk
didiskusikan dan pencarian solusi pemecahannya. Kemiskinan di negeri ini telah
menjadi masalah kronis yang menyebabkan adanya kesenjangan dan pengangguran.
Peta kemiskinan masyarakat yang lebih banyak tersebar dipedesaan menjadikan
persoalan ini semakin sulit dalam mendefinisikan problematika kemiskinan, maka
tentunya dalam upaya pengentasannya pun akan menemui berbagai kendala teknis
dilapangan.
Isu

kemiskinan

merupakan

masalah

multidimensional


yang

sering

disimbolisasikan sebagai fenomena sosial. Masalah kemiskinan di Indonesia dapat
dilihat pada penggambaran bahwa kemiskinan diperlihatkan pada 1) kepemilikan aset
yang rendah; 2) terbatasnya akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana dasar
seperti transportasi, komunikasi, informasi, pasar, fasilitas pendidikan dan fasilitas
kesehatan; 3) kelompok miskin tidak berdaya dan diam karena tekanan faktor-faktor
politik dan budaya; 4) rendahnya keterlibatan dalam kegiatan ekonomi produktif; 5)
rendanya tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; 6) sistem pemerintahan
yang kurang baik telah mengakibatkan ketidakberdayaan dan pemiskinan; 7) bencana
alam, seperti banjir, tanah longsor,gempa bumi, kekeringan dan lain sebagainya; 8)
pelaksanaan otonomi daerah dalam masa transisi telah menyebabkan terjadinya
mismanagement dan penyimpangan mulai dari aras nasional sampai di aras paling
bawah sistem pemerintahan; 9) kebijakan pembangunan pada masa lalu dirasakan
belum berpihak kepada kelompok miskin (pro poor policy), khususnya dalam kebijakan
pemanfaatan sumberdaya alam maupun sistem keuangan (Wrihatlono,2008).
Susiana dan Indahri (2000) mengutip pendapat Robert Chambers yang

menyatakan, inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut sebagai
deprivation trap atau jebakan kekurangan. Deprivation trap itu terdiri dari lima
ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin, yaitu (1) kemiskinan itu
sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan.
1

Kelima ketidakberuntungan itu saling terkait satu sama lain sehingga menjadi
deprivation trap. Dari kelima jenis ketidakberuntungan ini, Chamber menganjurkan
agar dua jenis ketidakberuntungan pada keluarga miskin yang patut diperhatikan, yaitu
kerentanan dan ketidakberdayaan, karena keduanya sering menjadi sebab keluarga
miskin menjadi lebih miskin
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan basis kekuatan
ekonomi kerakyatan yang cukup tangguh menghadapi krisis. Terbukti pada krisis
ekonomi Asia tahun 1997, dimana sektor UMKM kemudian dapat menyerap tenaga
kerja ditengah-tengah banyaknya pengangguran akibat bangkrutnya perusahaanperusahaan besar. Disamping itu juga UMKM dapat menjaga stabilitas ekonomi
domestik, karena sifatnya yang madiri dan tidak menggantungkan diri pada kondisi
ekonomi makro.
Hanya saja kondisi saat ini UMKM terutama didaerah masih ditempatkan pada
poros sub-ordinat dalam kegiatan ekonomi nasional. Usaha ini tergolong jenis usaha
marjinal, yang antara lain ditunjukkan oleh penggunaan teknologi yang relatif

sederhana, tingkat modal dan kadang akses terhadap kredit yang rendah, serta
cenderung berorientasi pada pasar lokal. Studi yang dilakukan di beberapa negara
menunjukkan bahwa usaha mikro kecil mempunyai peranan yang cukup besar bagi
pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja melalui penciptaan lapangan pekerjaan,
penyediaan barang dan jasa dengan harga murah, serta mengatasi masalah kemiskinan.
Disamping itu, usaha mikro juga merupakan salah satu komponen utama pengembangan
ekonomi lokal dan mampu memberdayakan kaum perempuan dalam meningkatkan
bargaining position perempuan dalam keluarga.
Mencermati kondisi tersebut, sudah selayaknya kemudian peran UMKM
tersebut dilihat sebagai salah satu peluang dalam menanggulangi kemiskinan. Terutama
juga kemudian bahwa UMKM yang banyak tersebar didaerah, maka strategi
penanggulangan

kemiskinan

melalui

pemberdayaan

kondisi


UMKM

perlu

dioptimalkan.

2

Batasan Masalah
Amartya Sen, seorang ekonom peraih nobel menyatakan bahwa orang disebut
miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki
sesuatu. Maksud dari pernyataan tersebut adalah karena ketiadaan aksesibilitas yang
kemudian

menjadikan

seseorang

itu


terjebak

dalam

kemiskinan.

Mencoba

mengkorelasikan kondisi yang ada terhadap kerentanan pelaku UMKM dan persoalan
penanggulangan kemiskinan, maka dalam kajian ini akan memberikan fokus pada upaya
pemberdayaan UMKM sebagai usaha penanggulangan kemiskinan.
Dalam kajian ini akan mencoba melihat peran dan posisi strategis UMKM dalam
perekonomian nasional dan daerah, sehingga akan memberikan korelasi positif terhadap
upaya penanggulangan kemiskinan terutama pada peningkatan ekonomi masyarakat dan
pengangguran. Dengan merujuk pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (SNPK) sebagai pendekatan kapabilitas (capability approach) yang
disingkronkan dengan Strategi Nasional Pemberdayaan UMKM dalam penanggulangan
kemiskinan melalui peran strategis UMKM tentunya.
Diskusi Teoritik

Apa itu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ?
Memang disadari bahwa hingga saat ini pendefinisian UMKM masih berbedabeda oleh instansi yang ada. Namun sebagai upaya pengenalan mengenai kondisi
UMKM tersebut, dalam kajian ini akan memberikan beberapa rujukan pendefinisian
UMKM tersebut sebagai bagian dari upaya pengenalan sektor tersebut. Dalam UU No
20 Tahun 2008 tentang UMKM yang menyebutkan bahwa ;
a. Usaha Mikro, adalah Usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan
usaha perorangan. Memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah tidak
termasuk tanah dan bangunan dan hasil penjualan tahunan paling banyak 300
juta rupiah.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan maupun kelompok. Memiliki kekayaan bersih
lebih dari 50 juta rupiah sampai 500 juta rupiah, dan memiliki hasil penjualan
tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai 2,5 milyar rupiah.

3

c. Usaha Menengah adalah usaha produktif yang memiliki kekayaan bersih lebih
dari 500 juta rupiah sampai paling banyak 10 milyar rupiah, dan memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari 2,5 milyar rupian sampai paling banyak 50 milyar
rupiah.

Menurut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, yang dimaksud
dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UM), adalah entitas usaha yang
mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp
1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik
warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000
s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
Terlepas dari itu, bahwa peran dan posisi strategis UMKM dalam perekonomian
nasional dan daerah sangat penting dalam upaya pengentasan kemiskinan dan
pengangguran di daerah. sehingga penting kiranya peran pemerintah daeran dalam
melakukan pemberdayaan terhadap sektor tersebut. dimana perkembangan global
dengan adanya perdagangan bebas, tentunya keberdayaan UMKM sangat diperlukan
untuk dapat bersaing dengan adanya produk-produk luar, jika memang kita tidak ingin
hanya menjadi penonton dari adanya perdagangan bebas tersebut.
Tentang Kemiskinan
Kemiskinan disadari memang memiliki konsep yang cukup abstrak, defenisi
kemiskinan bisa berbeda-beda antara satu institusi dan institusi lainnya tergantung dari
apa dan ukuran yang dipakainnya. Asian Development Bank misalnya memahami
kemiskinan sebagai perampasan aset-aset dan kesempatan individu untuk berkembang.
Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang kecenderungannya merujuk pada Bank

Dunia lebih melihat pada kepemilikan asset, tingkat penghasilan kebutuhan dasar (basic
needs), serta kecukupan pemenuhan kalori.
Adanya perbedaan ini tentunya akan menyulitkan dalam upaya penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan, sehingga hambatan struktural seringkali menyulitkan dalam
penanggulang kemiskinan. Namun untuk merumuskan strategi penanggulangan
kemiskinan kita tetap harus merujuk pada satu definisi yang dijadikan patokan dalam
melihat realitas sebuah kemiskinan.

4

Specker (1993) menyatakan bahwa kemiskinan mencakup (1) kekurangan
fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal, (2) gangguan dan tingginya risiko kesehatan,
(3) risiko keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya, (4)
kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tak bisa hidup layak, dan (5) kekurangan
dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisian sosial, ketersisihan
dalam proses politik dan kualitas pendidikan rendah.
Disisi lain, kemiskinan dapat diterjemahkan sebagai ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan. Lawrence M. Mead dalam tulisannya, Poverty dan Political Theory juga
mengatakan hal yang serupa. Namun ia menambahkan bahwa kemiskinan tidak hanya
berkaitan dengan mereka yang memiliki pendapatan rendah, namun juga yang dianggap

gagal memenuhi fungsi sosial yang diharapkan, seperti berhenti sekolah melanggar
hukum, tidak bekerja walaupun mampu bekerja. Mead juga menambahkan bahwa
penyebab gaya hidup demikian masih menjadi kontroversi (Mead, 1996; 2 dalam
Wrihatlono,2008). Amartya Sen menyatakan bahwa keterbelakangan aksesibilitas
menjadi penyebab kemiskinan (Handayani, 2004: 10), keterbelakangan tersebut
menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan pilihan untuk mengembangkan
hidupnya.
May (2001) yang dikutip dalam Darwin (2005) menggambarkan kemiskinan
sebagai keadaan; ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar,
rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif, ketidakmampuan memelihara
kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku anti sosial
(anti social behaviour), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan
yang baik, kurangnya infrastuktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan
keterpisahan.
Dari penjelasan diatas dapat disederhanakan bahwa masalah kemiskinan adalah
menyangkut pada kekurangan pemenuhan kehidupan yang layak, akses masyarakat
pada pelayanan minimal dalam kehidupannya misalnya kesehatan, pendidikan, dsb,
partisipasi dalam pengambilan kebijakan, dan lemahnya kelembagaan dari masyarakat
tersebut.
Dalam kemiskinan juga dikenal tingkatan kemiskinan, yakni kemiskinan absolut

yaitu kemiskinan masyarakat yang dalam standar kelayakan hidup berada dibawah garis
kemiskinan, dan biasanya konstan sepanjang waktu. Serta kemiskinan relatif, dalam

5

artian bahwa derajat kesejahteraan masyarakat yang cenderung relatif, bahwa bisa jadi
seseorang dikatakan miskin namun hak-hak dasarnya sudah terpenuhi.
Kemudian faktor penyebab kemiskinan juga dapat dilihat pada hasil studi
literatur, ada empat yaitu 1) Faktor budaya, yakni individu yang terjebak pada kebiasaan
hidup yang menyebabkan mereka terjebak pada kemiskinan; 2) Faktor Struktural,
dimana kemiskinan masyarakat lebih disebabkan kebijakan publik yang tidak berpihak
pada masyarakat; 3)Faktor Alam, bahwa dalam hal ini kemiskinan disebabkan oleh
faktor ekologis misalnya daerah yang tidak subur, tandus, kering dsb; 4) Faktor Konflik
Sosial Politik atau Perang, persoalan ini sudah tentu akan membawa munculnya
kemiskinan di masyarakat karena konflik dan perang akan mematikan sumberdaya yang
ada (Darwin, 2005).
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK)
Bappenas

dalam


Strategi

Nasional

Pengentasan

Kemiskinan

(SNPK)

menerjemahkan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki
dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasar untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Tidak terpenuhi hak-hak dasar diartikan
sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi pangan, sandang, kesehatan, pendidikan,
akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan,
air bersih dan rasa aman.
Kemiskinan adalah masalah sosial yang kompleks yang juga menuntut
penanganan secara komprehensif. Masalah kemiskinan tidak dapat direduksi secara
sederhana sebagai masalah kurangnya pendapatan, dan diberi solusi yang juga
sederhana, misalnya dengan memperluas kesempatan. Kemiskinan juga dapat
mengambil bentuk lain, seperti lemahnya kapabilitas, lemahnya kelembagaan,
kerentanan, dan lemahnya suara.
Kelima bentuk kemiskinan diatas tentu saling berhubungan dan merupakan
suatu sistem kemiskinan. Artinya masing-masing bentuk kemiskinan dapat melekat pada
orang yang sama atau berbeda. Misalnya orang yang miskin pendapatan, bisa pada saat
yang sama miskin kapabilitas, miskin kelembagaan, rentan, dan lemah dalam bersuara.
Tetapi dapat juga orang yang rendah pendapatan sebenarnya mempunyai kapabilitas
rendah, dapat saja mempunyai pendapatan cukup tinggi (Darwin, 2005).

6

Untuk itu melalui Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK),
memuat strategi yang ditawarkan seperti yang tercantum dalam Interrim Poverty
Reduction Strategy Paper (I-PRSP), yang disebut sebagai empat pilar penanggulangan
kemiskinan, yang kemudian dalam SNPK ini ditambahkan menjadi lima pilar, yaitu;
1. Perluasan Kesempatan, pilar ini mengatasi kemiskinan dari sisi pendapatan.
Strategi yang dilakukan melalui pilar ini adalah dengan menciptakan kondisi
dan lingkungan ekonomi politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat
miskin memperoleh kesempatan yang luas dalam memenuhi hak-hak
dasarnya.
2. Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat, secara spesifik pilar ini mengatasi
kemiskinan dari sisi lemahnya kelembagaan. Dilakukan dengan memperkuat
kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat miskin baik
laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan
publik.
3. Peningkatan Kapasitas, dilihat pada sisi rendahnya kapabilitas orang miskin
dan lemahnya suara dan representasi. Strategi yang dilakukan dalam pilar ini
adalah dengan mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan
berusaha masyarakat miskin.
4. Perlindungan Sosial, pilar ini melihat pada sisi kerentanan orang miskin,
dilakukan dengan memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok
rentan perempuan dan masyarakat miskin baru yang disebabkan bencana
alam, dan konflik sosial.
5. Penataan Kemitraan Global, sebagai penguat pilar yang sebelumnya, pilar ini
dimaksudkan

pada

ranah

struktural

dalam

upaya

penanggulangan

kemiskinan adalah masalah penetrasi dan ketergantungan global (Darwin,
2005; 34-37).

7

Pembahasan
Fenomena Kemiskinan di Indonesia
Persoalan kemiskinan telah menjadi sedemikian peliknya untuk diurai dan
dipecahkan, hal ini disebabkan oleh berbagai pandangan tentang definisi kemiskinan,
sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah untuk diselesaikan dalam satu
pengertian. Secara konseptual perdebatan yang muncul selama ini dihadapkan pada dua
sisi yang saling bertabrakan, yaitu mendudukan kemiskinan dalam aspek ekonomi
semata atau memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial.
Pada Agustus 2011, misalnya, dalam sebuah laporan bertajuk “Poverty in Asia
and the Pacific: An Update”, ADB melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada tahun 2010 mencapai 43,07 juta jiwa jika menggunakan garis
kemiskinan sebesar 1,25 dollar AS, atau meningkat sebesar 3,31 juta jiwa jika
dibandingkan dengan kondisi 2008 (jumlah penduduk miskin sebesar 40,36 juta jiwa).
Laporan ini jelas membingungkan karena tidak sejalan dengan statistik kemiskinan
resmi versi pemerintah yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Terkait perkembangan kemiskinan sepanjang 2008 hingga 2010, laporan BPS
justru menunjukkan sebaliknya: jumlah penduduk miskin terus menurun secara
konsisten. BPS mencatat, di 2008 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 34,96
juta jiwa atau sekitar 15,42 persen dari total penduduk, sementara di 2010 jumlah
penduduk miskin mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen.
Artinya, jika merujuk pada data BPS, sepanjang 2008 hingga 2010 jumlah
penduduk miskin di Indonesia telah berkurang sebesar 3,94 juta jiwa, bukan meningkat
seperti laporan ADB. Menariknya, laporan BPS ini ternyata sejalan dengan hasil hitunghitungan Bank Dunia. Dengan menggunakan batas kemiskinan sebesar 1,25 dollar AS,
Bank Dunia melaporkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia sepanjang 2008 hingga
2010 menurun secara konsisten dengan rata-rata penurunan mencapai 2,3 persen per
tahun, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata penurunan hasil hitungan BPS yang hanya
sebesar 1 persen per tahun. Bahkan, rata-rata penurunan tingkat kemiskinan di
Indonesia bakal lebih besar lagi, menurut versi Bank Dunia, jika garis kemiskinan yang
digunakan sebesar 2 dollar AS, yakni mencapai 4,2 persen per tahun.
Bahkan hingga tahun 2012 dinyatakan bahwa tingkat kemiskinan nasional
berkisar pada 11 persen menurut BPS. Hanya saja konteks realitasnya di masyarakat

8

persoalan kemiskinan masih banyak ditemui, bahkan fenomena kelaparan, busung lapar,
konflik karena perebutan sumberdaya, keterbatasan akses pendidikan, kesehatan masih
sering dijumpai. Hal ini kontraporduktif dengan capaian perkembangan ekonomi
nasional yang berkisar 6-6,5 persen. Disamping itu persoalan korupsi juga masih terus
menghantui upaya pengentasan kemiskinan di negeri ini.
Mencermati kondisi ini, maka perlu kiranya memperhatikan kondisi ekonomi
masyarakat dalam bentuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai upaya
menanggulangi kemiskinan melalui pendekatan pemenuhan kapabilitas masyarakat
(capability approach). Kenapa melalui UMKM? seperti yang dijelaskan diatas bahwa
UMKM terbukti memiliki ketahanan terhadap krisis global, disamping itu juga mampu
menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Hanya saja saat ini masih diperhadapkan pada
beberapa persoalan, maka sudah selayaknya pemerintah memberikan kebijikan
keberpihakan pada kondisi UMKM tersebut sebagai upaya membagun ekonomi
kerakyatan.
Peran dan Posisi Strategis UMKM
Ketahanan UMKM terhadap krisis ekonomi glabal yang lalu membuktikan
bahwa UMKM bisa dijadikan salah satu strategi dalam penanggulangan kemiskinan.
Walaupun sebagian besar pelaku UMKM ini masih berpusat pada sektor informal,
namun hingga saat ini sektor ini setidaknya mampu memberikan kontribusi pada
perekonomian nasional dengan perkembangannya dari tahun ketahun yang cenderung
signifikan, disamping itu perannya dalam penyerapan tenaga kerja, dan pada gilirannya
juga adalah peningkatan Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Tercatat bahwa perkembangan UMKM hingga akhir tahun 2012 ini
menunjukkan perkembangan yang positif, dimana menurut BPS hingga tahun 2012 ini
terdapat 56,534,592. Tentu ini menjadi positif bagi keberdayaan masyarakat yang
terlibat dalam kelompok UMKM tersebut, perkembangan ini juga cukup signifikan
dimana tiap tahun perkembangan UMKM diramalkan akan cenderung meningkat. Pada
posisi ini kemudian, perkembangan UMKM tentu bersinergi dengan penyerapan tenaga
kerja pada sektor ini.
Dimana pada penyerapan tenaga kerja hingga tahun 2012 menunjukkan sektor
UMKM mampu menyerap hingga 107.657.509 tenaga kerja. Tentu nilai ini menjadi

9

kabar gembira dimana tingginya tingkat pengangguran yang ada dapat diserap pada
sektor UMKM, jika kemudian posisinya mampu didukung dengan pemberdayaan yang
dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan untuk sumbangsih UMKM dalam PDB menunjukkan peningkatan
yang cukup baik, dimana pada tahun 2011 sektor ini mampu menyumbang Rp.
4.303.571. dan pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp. 4.869.568 artinya terjadi
peningkatan pendapatan sebesar Rp. 565.969 (diolah dari BPS RI).
Berdasarkan sajian data diatas, dapat dilihat bahwa perbedaan yang cukup
signifikan terhadap produktivitas yang diberikan sektor UMKM nasional. Hal ini dapat
dihubungkan dengan pengentasan kemisikinan dan pengangguran masyarakat, dengan
unit usaha dan penyerapan tenaga kerja pada sektor UMKM tersebut. sehingga tidak
dapat dipungkiri bahwa peran strategis UMKM terutama dalam keberdayaannya
didaerah akan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian daerah serta daya saing
daerah.
Secara umum, UMKM memiliki peran yang besar di Indonesia dan negaranegara berkembang lainnya. Peran UKM tersebut secara umum adalah:
1. Sebagai lapangan kerja yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga
berpotensi mengurangi pengangguran dan kemiskinan,
2. Memberikan kontribusi kepada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan
pertumbuhan ekonomi, dan
3. Berkontribusi kepada peningkatan ekspor sekaligus berpotensi memperluas
ekspor dan investasi (Dep. Keuangan RI: 2011).
Kondisi ini tentunya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu upaya pemerintah
dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan pemberdayaan terhadap UMKM dengan
berorientasi pada persoalan yang masih ditemui oleh kelompok UMKM ini terutama
didaerah, yakni modal, akses pasar dan kelembagaannya. Ditambah lagi kondisi
perdagangan bebas kedepan yang akan diterapkan, bukan tidak mungkin jika sektor ini
tidak dipersiapkan maka akan kembali membuka luas kemiskinan di Indonesia.
Pada januari 2014 mendatang tantangan UMKM dalam era globalisasi akan
semakin kompleks dengan dibukanya perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN- Free
Trade Area (AFTA) dan ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA). Persaingan

10

menjadi semakin ketat dan UMKM harus mampu beradaptasi dalam pasar bebas
tersebut.
Terbukanya perdagangan bebas tersebut akan membawa kepada kondisi adanya
globalisasi dan liberalisasi pasar. Sekalipun hal ini banyak menuai protes dari berbagai
kalangan, liberalisasi perdagangan akan tetap terjadi untuk itu tidak ada jalan lain selain
mempersiapkan UMKM menghadapi hal tersebut. Sehingga peran pemerintah daerah
dalam regulasi maupun penciptaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan
UMKM didaerah sangat dibutuhkan.
Walaupun kemudian saat ini, orientasi kita pada adanya peran UMKM tersebut
sebagai peluang dalam menanggulangi kemiskinan. Namun persiapan terhadap adanya
pasar bebas perlu diperhatikan juga, sebagai mekanisme pembentukan jaringan global.
Pada gilirannya kemudian kehadiran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat
melalui UMKM ini sangat diperlukan sinergis dengan kondisi yang ada. Untuk itu,
penguatan UMKM perlu dilihat sebagai strategi penanggulangan kemiskinan nantinya.
Pemberdayaan UMKM Melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Presiden SBY mencanangkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai upaya
peningkatan akses Usaha Mikro dan Kecil (UMK) ke Perbankan dengan skema
penjaminan pada tanggal 5 November 2007. Tujuannya adalah memudahkan akses
UMK kepada sumber pembiayaan khususnya perbankan. Penyaluran KUR ditujukan
untuk mendukung penyediaan modal kerja dan/ atau investasi bagi UMK dan koperasi
yang memiliki usaha produktif yang layak (feasible) namun belum bankable. Pengertian
belum bankable disini adalah para UMK yang belum pernah atau belum terbiasa
berhubungan dengan perbankan. Selama ini mereka memperoleh pinjaman dari non
bank atau dengan rentenir dengan tingkat bunga yang melebihi tingkat bunga bank. Jadi
permasalahan para UMK sebenarnya bukan pada tingkat bunga yang tinggi, tapi pada
akses ke perbankan.
Agunan pokok kepada Bank untuk KUR adalah kelayakan usaha dan obyek
yang dibiayai. Dana penjaminan yang disediakan pemerintah digunakan untuk
menjamin 70 % dari plafon KUR (agunan tambahan) yang dipersyaratkan bank. Plafon
penyaluran KUR yaitu: (1) setinggi-tingginya Rp. 20 juta untuk KUR Mikro, dan ( 2)
diatas Rp 20 juta sampai dengan Rp. 500 juta untuk KUR Ritel. Sampai sekarang

11

terdapat 33 bank pelaksana penyalur KUR dan empat perusahaan penjaminan yaitun
PTAskrindo, Perum Jamkrindo, PT Jamkrida Jatim dan PT Jamkrida Bali.
Berdasarkan data Menko Perekonomian menyatakan secara akumulatif,
penyaluran KUR sejak tahun 2007 hingga bulan Juli 2012 sebesar Rp. 82,3 triliun
dengan jumlah debitur sekitar 6,8 juta. Jadi jika diasumsikan setiap debitur terdiri dari 4
orang, maka penyaluran KUR ini telah mendukung biaya hidup sekitar 27,2 juta orang
atau 11,45 persen dari total penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa pada tahun
2010 (berdasarkan sensus BPS). Selain itu, tingkat kredit bermasalah (NPL) rata-rata
sebesar 3,4 persen.
Hanya saja saat ini KUR masih menemui beberapa kendala efektifitas
pelaksanaanya, diantaranya adalah sekitar lebih dari 50 persen lebih KUR hanya
terserap di UMKM Pulau Jawa. Kemudian masih ditemukannya agunan tambahan yang
memberatkan masyarakat kelompok UMKM yang nota bene adalah pekerja sektor
informal sehingga sulit mengakses prasyarat bank, kurangnya akses bank hingga
kedaerah terpencil, dan kurangnya kerjasama yang dilakuakn oleh pemerintah daerah
dalam penyaluran KUR tersebut.
Melihat kondisi tersebut yang kemudian dikaitkan dengan peran dan posisi
strategis

penguatan

UMKM,

dalam

upaya

menanggulangi

kemiskinan

dan

pengangguran terutama didaerah. maka, keberdayaan kelompok UMKM tersebut
menjadi perhatian khusus pemerintah dan pemerintah daerah dalam skema
pemberdayaan masyarakat. pada gilirannya kemudian, pemberdayaan tersebut
diorientasikan kepada adanya peningkatan keberdayaan UMKM pada sisi inovasi
produk, jaringan pasar, penyerapan tenaga kerja, yang kemudian berimpikasi pada
peningkatan perekonomian masyarakat.
Pemberdayaan UMKM juga berkaitan erat dengan upaya untuk mencapai
Millenium Development Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium yang
ditujukan pada pencapaian hak-hak dasar bagi segenap bangsa Indonesia, khususnya
menyangkut menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dan membangun kemitraan global
dalam pembangunan terutama dengan membangun usaha produktif.

12

Strategi Pemberdayaan UMKM Sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan.
Jamak dipikiran kita bahwa persoalan kemiskinan akan sulit dipecahkan, karena
tekanan dari berbagai sisi mulai dari sisi ekonomi, politik, hingga tekanan globalisasi.
Hanya saja kita belum menyadari ada kondisi alternatif yang kemudian jika
dimaksimalkan akan memberikan sebuah inovasi dalam penanggulangan kemiskinan.
Sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam bentuk tenaga kerja
merupakan aset yang baik jika dioptimalkan kemanfaatannya bagi kesejahteraan
bersama. Melalui sentra UMKM yang notabene adalah penggerak ekonomi kerakyatan,
hari ini cenderung tidak diperhatikan karena sektor ini lebih banyak bergerak pada
sektor usaha informal dimasyarakat. Namun seperti yang terjelaskan sebelumnya,
ternyata ketahanan sektor ini terhadap krisis, daya penyerapan tenaga kerja, kemudian
sumbangsihnya dalam peningkatan PDB, sudah selayaknya sektor ini menjadi garda
terdepan dalam peningkatan usaha ekonomi masyarakat.
Apalagi saat ini, ketika diperhadapkan dengan fenomena kemiskinan yang
bervariasi antar daerah. skema otonomi daerah merupakan peluang daerah dalam ikut
serta menumbuhkan semangat enterpreneurship masyarakatnya dalam membebaskan
dirinya dari apa yang seringkali disebut lingkaran kemiskinan (vicious of poverty).
Maka melalui peran dan posisi strategis UMKM dalam perekonomian, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah perlu melakukan serangkaian upaya ataupun revitalisasi peran serta
sektor ini melalui pemberdayaan.
Rendahnya kapabilitas dan aksesibilitas kelompok UMKM ini yang kemudian
saat ini dihadapi oleh upaya peningkatan UMKM. lemahnya kapabilitas ini, pada
gilirannya akan mempengaruhi perkembangan UMKM yang sudah tentu berimplikasi
pada lemahnya jaringan pasar, akses pada modal, lemahnya inovasi, rendahnya
produktivitas dan lain sebagainnya. Sehingga hal ini akan turut berimplikasi pada
peningkatan kemiskinan dan pengangguran dimasyarakat.
Apalagi saat ini kita diperhadapkan oleh yang namanya liberallisasi pasar, dalam
bentuk perdagangan bebas yang hingga saat ini terus saja bergulir. Karena sekalipun
kita melakukan penolakan karena hal tersebut adalah agenda neoliberalisme yang dapat
merugikan negara, tapi kita juga perlu menyiapkan diri dengan pemenuhan daya saing
yang kemudian bisa memiliki bargaining position didalam kerangka global tersebut.

13

melalui usaha pemberdayaan sektor ekonomi masyarakat dalam bentuk UMKM inilah
salah satu cara bijak menyikapi hal tersebut.
Mensikapi realitas tersebut, saat ini menjadi kebutuhan bahwa pemberdayaan
UMKM tersebut akan bersinergis terhadap jalannya strategi penanggulangan
kemiskinan di Indonesia. kondisi ini perlu ditanggapi positif oleh serangkaian tanggung
jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pemberdayaan sektor ini
sebagai usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) tercatut lima pilar dalam
menanggulangi kemiskinan di Indonesia, yaitu a) Perluasan kesempatan; b)
Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat; 3) Peningkatan Kapasitas; 4) Perlindungan
Sosial; 5) Penataan Kemitraan Global. Dalam dokumen tersebut terlihat bahwa orientasi
yang dilakukan sebagai pilar penanggulangan kemiskinan, melalui pendekatan
kapabilitas (capability Approach), yang mana memberikan penguatan pada kapabilitas
masyarakat miskin sebagai jalan keluar dari jeratan kemiskinan.
Sejalan dengan itu, dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2008 tentang
UMKM pasal 5, menyebutkan bahwa tujuan pemberdayaan Koperasi dan UMKM
adalah; 1) mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang
dan berkeadilan; 2) Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi
usaha yang tangguh dan mandiri; 3) meningkatkan peran UMKM dalam pembangungan
daerah dan menciptakan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi
dan pengentasan kemiskinan.
Strategi pemberdayaan UMKM diarahkan kepada pembangunan kompetensi
inovasi dan teknologi sehingga dapat lebih berperan dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan serta dapat meningkatkan posisi tawar dan efisiensi usaha
secara lebih terstruktur dan terlembaga melalui perkoperasian. Untuk itu, pertu
diperbaiki lingkungan usaha yang lebih kondusif bagi peningkatan daya saing UMKM
tersebut. Seiring dengan itu, perlu juga dilakukan peningkatan akses usaha UMKM
kepada sumber daya produktif, serta ditingkatkan juga kapasitas, kompetensi, dan
produktivitas usaha.
Sejalan dengan strategi tersebut dan dengan mempertimbangkan kondisi internal
maupun eksternal ke depan, maka arah kebijakan prioritas bidang pemberdayaan
UMKM , meliputi:

14

1. Peningkatan Iklim usaha yang kondusif bagi UMKM,
2. Peningkatan akses terhadap Sumber daya produktif,
3. Pengembangan produk dan pemasaran bagi UMKM,
4. Peningkatan daya saing SDM UMKM,
5. Peningkatan Kelembagaan.
Melihat strategi yang dilakukan pemerintah terhadap pemberdayaan UMKM
tersebut, tentu sejalan dengan apa yang menjadi pilar penanggulangan kemiskinan
seperti yang tercantum dalam SNPK. Sehingga hal ini akan menjadi sinergis terhadap
peran UMKM dalam upaya pengentasan kemiskinan. Karena seperti yang telah
dijelaskan bagaimana kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional.
Namun hal ini kembali lagi kepada komitmen stakeholder, pengambil kebijakan,
masyarakat, LSM dan semua pihak yang berpengaruh dalam mengambil tindakan
terhadap keberdayaan UMKM terutama yang ada didaerah. disamping itu juga, perlu
adanya tindakan yang berkelanjutan dan ditunjang dengan adanya partisipasi
masyarakat dalam hal ini kelompok UMKM sendiri.
Penutup
Melihat peran strategis UMKM sebagai upaya penanggulangan kemiskinan dari
sisi kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, sumbangsih pada PDB yang
berimplikasi pada pengentasan kemiskinan memang cukup menggembirakan. Hanya
saja tantangannya kemudian, saat ini disamping pada terbatasnya akses permodalan,
jaringan, informasi pasar, inovasi, produktivitas dan kelembagaan, perlu juga dilihat
pada sisi tantangan adanya perdagangan bebas dan efeknya pada kondisi UMKM kita
jika tidak dipersiapkan untuk menghadapi kondisi tersebut.
Mensikapi hal tersebut, peran UMKM perlu diperkuat dengan pemberdayaan
yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. seperti yang telah disebutkan
dalam strategi pemberdayaan UMKM yaitu : 1) Peningkatan Iklim usaha yang kondusif
bagi UMKM, 2) Peningkatan akses terhadap Sumber daya produktif, 3) Pengembangan
produk dan pemasaran bagi UMKM, 4) Peningkatan daya saing SDM UMKM, 5)
Peningkatan Kelembagaan. Namun pada pelaksanaanya, maka perlu adanya kerjasama
dengan berbagai pihak terkait misalnya pihak swasta dalam bentuk CSRnya,
LSM/NGO, masyarakat dan juga pelibatan perguruan tinggi.

15

Referensi
Darwin, Muhadjir M.,2005. Memanusiakan Rakyat : Penanggulangan Kemiskinan
Sebagai Arus Utama Pembangunan, Yogyakarta: Penerbit Benang Merah.
Kumorotomo, Wahyudi., 2008. Perubahan Paradigma Peran Pemerintah dalam
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, Makalah ditulis sebagai Background
Study RPJMN Tahun 2010-2014 Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM,
Bappenas.
Meliala, Adrianus,.2012. Masalah Kemiskinan dan Kejahatan Serta Respons Kebijakan
Publik dalam Rangka Mengatasinya, dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik,
Edisi 8/Desember/2012, hal.9-21
Suharto, Edi (2008a), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
(Cetakan Kedua)
Suharto, Edi (2008b), Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta (Cetakan
keempat).
Syarief, Teuku., Prospek dan Kendala KUR dalam Mendukung Perkuatan Permodalan
UMKM. diskusi rutin pemberdayaan Koperasi dan UKM Kalangan Penelti dan
pejabat struktural di lingkungan Kementerian Negara Koperasi dan UKM
tanggal 7 Januari 2011.
Wanto, Alfi Haris,. 2011. Kebijakan Pemberantasan Kemiskinan di Indonesia,
Mamahami Penyebab Serta Upaya Penanggulangannya, Majalah Triwulan
Perencanaan Pembangunan, Edisi 03/TahunXVII/2011.
Wrihatnolo, Randy R. 2008. Refleksi Dampak Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Menanggulangi

Kemiskinan,

dalam

Majalah

triwulan

Perencanaan

Pembangunan, Edisi 02/Tahun XIV/2008.

16