TRANSISI PEMUDA DALAM PENDIDIKAN DAN TEN (1)

COMPETITION OF NATIONAL ECONOMIC RESEARCH &
INNOVATION PAPERS 2017

TRANSISI PEMUDA DALAM PENDIDIKAN DAN TENAGA KERJA:
STUDI KASUS PROVINSI YOGYAKARTA

1.
2.
3.

Diusulkan Oleh:
Alexander Michael Tjahjadi 369292/ 2014
Tsuraiyya
369252/ 2014
Putu Arya Wigita
363548/ 2014

UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017


i

ii

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan YME karena karya tulis kami bisa selesai pada
waktunya. Kami tertarik untuk menganalisis lebih dalam tema tentang pendidikan
karena pendidikan adalah kunci untuk membangun sumber daya manusia yang
unggul. Kami percaya lewat pendidikan jalan perubahan dapat ditempuh oleh
setiap orang sebagai makhluk sosial.
Kami berterimakasih kepada beberapa pihak yang terlibat terutama
pembimbing kami dan para dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Gadjah Mada (FEB UGM) yang membantu dalam proses pembuatan karya tulis
ini.
Semoga pembaca dapat memahami tentang pendidikan dan
ketenagakerjaan yang ada di Yogyakarta. Kami menunggu saran dari para
pembaca terkait tema yang sedang kami bahas. Selamat berdialektika!
Salam,
Tim Penulis


iii

DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ............................................................................................i
Lembar Pengesahan ...........................................................................................ii
Kata Pengantar ...................................................................................................iii
Daftar Isi............................................................................................................iv
Abstrak ..............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah ...................................................................................1
Rumusan Masalah ............................................................................................3
Tujuan Penulisan .............................................................................................3
Manfaat Penulisan............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Riset mengenai Upah dan Pendidikan ..............................................................4
Riset mengenai Ketenagakerjaan ......................................................................5
Riset mengenai Pemuda Pasca Sekolah ............................................................6
BAB III METODE PENULISAN
Data .................................................................................................................7
Metodologi ......................................................................................................7

Model ..............................................................................................................8
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Profil pendidikan Pemuda di Yogyakarta .........................................................10
Ketenagakerjaan dan Keterampilan Pemuda di Yogyakarta ..............................13
Analisis Model Mincer Kepemudaan di Yogyakarta.........................................15
Strategi Pengembangan Pemuda.......................................................................19
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .....................................................................................................21
Saran...............................................................................................................21
Daftar Pustaka ...................................................................................................23
Riwayat Hidup ...................................................................................................25

iv

TRANSISI PEMUDA DALAM PENDIDIKAN DAN TENAGA KERJA:
STUDI KASUS PROVINSI YOGYAKARTA
Alexander Michael Tjahjadi, Tsuraiyya, Putu Arya Wigita
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
alexandermichaeltj@gmail.com
Yogyakarta sebagai barometer perkembangan pendidikan nasional,

menawarkan potensi sumber daya manusia terdidik muda. Harapannya dengan
potensi tersebut akan memicu pekerjaan produktif kaum muda untuk berkontribusi
merespon bonus demografi, dan pembangunan bangsa. Dari sisi pertumbuhan
ekonomi, Yogyakarta cenderung memiliki tren meningkat jika dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang cenderung menurun. Sebaliknya,
tren peningkatan pertumbuhan tersebut dapat menjadi masalah ketika kaum muda
terdidik dianggap belum produktif dan gagal berperan dalam transisi pendidikan
dan pekerjaan.
Temuannya, ketika komponen PDRB Yogyakarta sejak 2003 hingga tahun
2013 bertumpu pada sektor perdagangan, pariwisata, dan jasa. Optimisme
terhadap ketiga sektor tersebut memang menunjukkan kenaikan presentase,
namun tidak sejalan dengan potensi pendidikan dan pekerjaan kaum mudanya.
Terjadi transisi dari pekerja muda yang berusaha sendiri atau keluarga menuju
karyawan/buruh. Akibatnya merujuk pada dua hal. Pertama , data menunjukkan
kaum muda yang menganggur atau mencari pekerjaan menjadi stagnan, dan
pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah SMA. Hal ini, menunjukkan
kegagalan transisi pendidikan kaum muda dari SMA ke perguruan tinggi. Kedua ,
hal ini pula yang membuat kaum muda tidak mampu berpindah ke income bracket
yang tinggi dan terjebak pada pendapatan dibawah rata-rata nasional.
Secara metodologis, problematika di atas memiliki nilai strategis untuk di

kaji dan bermanfaat bagi pengambil keputusan di daerah dalam mengelola bonus
demografi. Untuk itu, peneliti sengaja menggunakan data Badan Pusat Statistik RI
yakni Statistik Kepemudaan Indonesia dari tahun 2003-2013, untuk meyakinkan
pengambil keputusan tersebut. Selain itu, digunakan data dari Indonesian Family
Life Survey (IFLS) untuk melacak transisi tersebut. Oleh karenanya, studi literatur
dan analisa data sekunder menjadi pilihan yang tepat untuk melacak kembali
dinamika data pendidikan dan pekerjaan kaum muda di D.I. Yogyakarta dari
tahun ke tahun.
Kesimpulannya, di tengah potensi yang besar dimana dua per tiga kaum
muda DIY mengenyam perguruan tinggi dan masih terjebak dalam income
bracket, mengindikasikan perencanaan yang belum memasukkan pemuda dalam
agenda pembangunan daerah. Kenyataannya pertumbuhan ekonomi daerah masih
bersandar pada sektor jasa, dan konsumsi, sehingga dibutuhkan pendekatan
transisi kepemudaan yang mampu melibatkan kaum muda bukan lagi sebagai
objek melainkan subjek keistimewaan Yogyakarta.
Keyword: Youth, Transition, Bonus Demography, Education, and Employment

v

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pemuda merupakan salah satu aset bangsa yang memiliki peran
strategis dalam pembangunan suatu negara. Keberadaan pemuda menjadi
tombak bagi pembangunan suatu bangsa karena merupakan bagian dari
usia produktif yang mampu memberikan kontribusi dalam mempercepat
pembangunan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015),
perkembangan pesat pada pemuda terjadi selama rentang tahun 2011-2015
mencapai angka 25 persen. Peningkatan tersebut menunjukkan potensi
sumber daya muda yang besar bagi Indonesia. Penguatan dan
pemberdayaan pemuda tentunya sangat diperlukan untuk membentuk
karakter pemuda sebagai tenaga kerja yang produktif yang mampu
memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi. Pemuda maju adalah
pemuda yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dalam
menghadapi ketatnya daya saing ditengah kerasnya tantangan dan tuntutan
global dalam dunia kerja. Karakter pemuda yang kuat terbentuk melalui
serangkaian proses dari tingkat pendidikan yang mereka tempuh.
Aspek penting dalam pengembangan pemuda adalah pendidikan.
Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh pemuda harusnya mampu menjadi
salah satu faktor penentu pekerjaan dan pendapatan yang dapat dihasilkan.

Data dari BPS (2015) menunjukkan persentase pemuda yang bekerja
dengan pendidikan terakhir perguruan tinggi adalah sebesar 12,71 persen.
Angka ini masih terlampau kecil jika dibandingkan dengan persentase
pemuda yang bekerja dengan pendidikan terakhir SMA, yaitu sebesar
39,44 persen. Hal tersebut mengindikasikan adanya kegagalan transisi
pendidikan dari SMA ke perguruan tinggi. Jumlah pengangguran terbuka
pun salah satu sumbangan terbesarnya merupakan pemuda dengan lulusan
perguruan tinggi, yaitu sebesar 15,33 persen (BPS, 2015). Persentase ini
menunjukkan adanya problematika kesesuaian keterampilan pemuda yang
dibutuhkan oleh lapangan pekerjaan yang tersedia.
Kontribusi pengangguran pemuda yang besar berpengaruh terhadap
pendapatan dan produktivitas mereka, sehingga berimplikasi pula pada
indikator pembangunan ekonomi. Berdasarkan laporan ILO (2016), tingkat
pengangguran pemuda di Indonesia adalah sebesar 17,8 persen. Angka ini
masih lebih besar dibandingkan dengan China (12 persen) dan rata-rata
tingkat pengangguran pemuda pada kawasan Asia Timur (11,7 persen).
Dalam laporan International Labour Organization (ILO) tahun 2014-2015
menunjukkan tingkat pertumbuhan upah minimum melampaui tingkat
pertumbuhan upah rata-rata. Tren ini mencerminkan ketergantungan yang
1


besar terhadap penetapan upah minimum. Situasi ini mengindikasikan
bahwa perlu adanya upaya untuk dapat mendorong pertumbuhan upah
rata-rata. Peningkatan upah rata-rata diperlukan untuk mendorong daya
saing dan produktivitas pekerja di Indonesia. Upah rendah merefleksikan
rendahnya keterampilan pekerja dan sinyal bagi pengusaha bahwa pekerja
tersebut memiliki tingkat produktivitas yang rendah.
Yogyakarta sebagai wilayah yang marak dengan institusi pendidikan
tinggi, sudah semestinya menunjukkan adanya keterkaitan antara pemuda,
pendidikan dan ketenagakerjaan yang mampu mendorong pembangunan
daerah. Namun faktanya, pada Grafik 1.1 menunjukkan bahwa pemuda
yang bekerja dengan lulusan terakhir SMA justru lebih banyak
dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi. Kondisi ini
mengindikasikan terjadinya kegagalan transisi pemuda untuk melanjutkan
pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Gagalnya transisi tersebut juga
membuat kaum muda sulit untuk berpindah pada income bracket yang
lebih tinggi dan terjebak pada pendapatan di bawah rata-rata nasional.
Grafik 1.1.1 Persentase Pemuda Bekerja berdasarkan Tingkat Pendidikan
di Yogyakarta, 2015
60


Persentase (%)

50
40
30
20
10
0
SD

SMP

Perkotaan

Tidak
Tamat SD
1.17

SMA


PT

4.41

Pedesaan

1.58

6.57

15.23

56.7

22.49

35.01

50.17


6.67

Sumber: BPS (2015)
Permasalahan tersebut menjadi menarik untuk ditelaah karena
dampaknya dapat dirasakan dalam jangka waktu panjang. Adapun
beberapa dampaknya berupa munculnya pengangguran berpendidikan
tinggi yang dialami kaum muda usia produktif, melimpahnya tenaga kerja
berpendidikan SMA yang berpegaruh pada upah yang rendah, sehingga
memaksa tenaga kerja pendidikan tinggi untuk mengikuti alur upah
lulusan SMA. Apabila terjadi, situasi tersebut meungkinkan tenaga kerja

2

potensial dan produktif meninggalkan daerahnya untuk mencari peluang
dan kesejahteraan lebih baik. Kondisi ini kontra produktif dengan
semangat pembangunan daerah dan konsep keistimewaan Yogyakarta.
Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji transisi pemuda dalam
pendidikan dan tenaga kerja di Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah
 Bagaimana transisi pendidikan pemuda di Yogyakarta?
 Bagaimana kondisi dan karakteristik ketenagakerjaan dan
keterampilan pemuda di Yogyakarta?
 Bagaimana hubungan antara modal sosial dan ketenagakerjaan
pemuda di Yogyakarta?
 Bagaimana strategi yang tepat untuk mengembangkan pemuda di
Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penulisan
 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transisi pendidikan
pemuda di Yogyakarta
 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi dan
karakteristik ketenagakerjaan dan keterampilan pemuda di
Yogyakarta
 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara modal
sosial dan ketenagakerjaan pemuda di Yogyakarta
 Penelitian ini bertujuan untuk memetakan strategi yang tepat untuk
mengembangkan pemuda di Yogyakarta
1.4 Manfaat Penulisan
 Menyediakan informasi dari hasil analisis permasalahan pendidikan
dan ketenagakerjaan pemuda di Yogyakarta
 Sebagai bahan perencanaan dan evaluasi pembangunan pemuda di
Yogyakarta
 Sebagai sumber referensi untuk menentukan kebijakan yang tepat
bagi pengembangan pemuda
 Memberikan wawasan dan pandangan kepada masyarakat terhadap
permasalahan pendidikan dan ketenagakerjaan pemuda di
Yogyakarta
 Menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama menempuh
pendidikan di Perguruan Tinggi melalui karya tulis ilmiah yang
disusun secara sistematis.

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Riset mengenai Upah dan Pendidikan
Efek pendidikan terhadap tingkat upah yang diturunkan dari aktifitas
angkatan kerja sudah menjadi penelitian Mincer (1974). Dalam hal ini
pendidikan dipandang sebagai sebuah investasi untuk meningkatkan
kapasitas sumber daya manusia. Mincer berpendapat bahwa seiring
meningkatnya durasi pendidikan maka akan meningkatkan tingkat
penerimaan, selain itu bisa mempengaruhi partisipasi angkatan kerja dan
pada akhirnya mempengaruhi durasi pengangguran. Pengaruh pendidikan
dan pelatihan lainnya diluar sekolah terbukti mampu meningkatkan daya
tawar tenaga kerja (Mincer, 1974). Tetapi seiring meningkatnya variabel
durasi sekolah dan pengalaman dari individu tingkat upah akan mencapai
titik maksimumnya lalu menurun (diminishing return).
Dalam mengstimasi determinan upah terdapat permasalahan ablilty
bias, yakni perbedaan kemampuan yang tidak dapat diobservasi dalam
sebuah populasi (Mincer, 1974). Dampaknya adalah estimasi variabel
independen yang tidak valid sehingga tidak mampu menggambarkan efek
tingkat pendidikan terhadap tingkat upah (Borjas, 2013). Ability Bias
membawa efek endogenitas terhadap variabel independen sehingga perlu
variabel instrumentasi (instrumental variable) untuk meminimalkan efek
endogenitas pada variabel independen (Wooldridge, 2013). Menurut Willis
(1986) permasalahan lainnya dalam meneliti hubungan antara tingkat
pendidikan dengan tingkat upah ada dua yakni: (a). Tidak mungkin
mengobservasi siklus pendapatan seseorang yang sudah mengikuti sekolah
alternatif atau sekolah informal; (b). Sangat tidak mungkin untuk
mengontrol seluruh variabel yang mempengaruhi pendapatan.
Becker (1975) berpendapat bahwa perbedaan pendapatan yang sudah
ada menunjukkan perbedaan investasi human capital untuk setiap
manusia. Investasi dalam manusia adalah hasil interaksi antara supply of
finance dan permintaan investasi dengan asumsi modal manusia yang
bersifat homogen. Berbeda halnya dengan Becker, Willis (1986) berasumsi
bahwa setiap pekerjaan memerlukan kemampuan atau keahlian tertentu
yang mampu diperoleh dari bakat dengan durasi dan kurikulum yang tepat.
Model ini berkembang menjadi The General Model of Heterogeneous
Human Capital.
Perkembangan penelitian mengenai determinan upah sudah
berkembang dan manyangkut aspek sosial. Salah satunya adalah penelitian
dari Xue (2008) yang menjelaskan tingkat upah yang dipengaruhi oleh

4

relasi sosial dari individu atau modal sosial. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa modal sosial memiliki pengaruh acak terhadap
tingkat upah mingguan. Untuk pencari kerja yang masih baru
(freshgraduate) efek modal sosial terhadap tingkat upah adalah negatif
baik untuk perempuan dan laki-laki. Sama halnya seperti Mincer (1974),
penelitian dari Xue (2008) menggunakan instrumental variable (IV) untuk
mengukur pengaruh modal sosial terhadap tingkat upah.
2.2 Riset mengenai Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan segala hal yang berhubungan dengan
tanga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja menurut
pasal 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Sedangkan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sama halnya dengan barang
di dalam ketenagakerjaan terdapat pasar tenaga kerja, yakni tempat
bertemunya permintaan tenaga kerja dari perusahaan dan penawaran
tenaga kerja dari rumah tangga (Borjas, 2013). Indonesia mendefinisikan
penduduk yang termasuk ke dalam angkatan kerja adalah penduduk usia
kerja (15 tahun atau lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun
sementara tidak bekerja dan pengangguran (BPS, 2017). Peran tenaga
kerja sangat penting dalam menunjang perekonomian terutama melalui
aspek wirausaha dan kreatifitas tenaga kerja. Penelitian Kolutic dkk (2015)
membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi secara langsung dan
proporsional berhubungan dengan kemampuan wirausaha dalam merespon
tantangan globalisasi terutama dalam mengalokasikan sumber daya secara
produktif. Tenaga kerja yang tidak produktif (baca: pengangguran) tentu
akan menjadi beban bagi perekonomian negara secara makro.
Fenomena yang lebih spesifik terjadi pada tenaga kerja untuk kategori
remaja. Penelitian dari Gregg (2001) menjelaskan remaja yang
menganggur setelah lulus dari sekolah memiliki kecenderungan untuk
menjadi pengangguran seiring bertambahnya usia. Hal ini disebabkan oleh
berbagai macam faktor, salah satunya adalah latarbelakang keluarga.
Tingkat pendapatan keluarga juga akan berpengaruh kepada keputusan
anak setelah lulus sekolah sehingga pada akhirnya memepengaruhi status
pekerjaan remaja tersebut.
Armengol dan Jackson (2004) menjelaskan bahwa status pekerjaan
akan meningkat Hasil lainnya menunjukkan bahwa pekerjaan yang
diperoleh melalui ikatan keluarga menghasilkan tingkat upah yang lebih
besar khususnya untuk perempuan yang baru mencari pekerjaan. Temuan
lainnya dari Granovetter (1995) menjelaskan bahwa lebih dari 50%
pekerjaan diperoleh dari kontak sosial. Hal ini mengindikasikan agen

5

mendapatkan informasi terkait dengan kesempatan kerja melalui jaringan
(network) yang dimilikinya (Armengol dan Jackson, 2004).
Ketimpangan upah dalam tenaga kerja disebabkan oleh perbedaan
tingkat pendidikan dan latarbelakang individu yang terkait (Willis, 1986).
Penelitian dari Shao dan Silos (2016) mengemukakan bahwa terdapat efek
heterogeneitas yang menyebabkaan ketimpangan kesejahteraan yang
persisten karena didukung oleh tingkat upah yang kaku (rigid).
Tingkat upah yang relatif berbeda untuk setiap pekerjaan juga
dipengaruhi oleh sektor pekerjaan sehingga mampu mempengaruhi
permintaan tenaga krja di sektor tertentu. Penelitian dari Algan (2002)
menjelaskan bahwa terdapat penurunan rasio partisipasi tenaga kerja di
sektor swasta terhadap sektor publik sebesar 1.5. Fenomena ini didukung
oleh penelitian Caponi (2017) yang menyatakan bahwa terdapat crowding
out effect dalam transisi antara pekerjaan di sektor publik dengan sektor
swasta.
2.3 Riset mengenai Pemuda Pasca Sekolah
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan
menjelaskan definisi pemuda yaitu warga negara Indonesia yang
memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia
16 sampai 30 tahun. Pemuda berperan penting dalam proses pembangunan
melalui kemampuan dan kecakapannya (BPS, 2015)
Pemuda masih berada di dalam tahap yang masih berkembang
sehingga masih labil dan memiliki kecenderungan yang tinggi dalam
mobilitas tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dalam penelitian Emanuela
(2015) yang menunjukkan pemuda wanita memiliki peluang yang lebih
tinggi untuk keluar dari pekerjaan jangka panjang. Probabilitas ini tentu
diperkuat oleh variabel pendidikan. Pemuda dengan tingkat pendidikan
yang rendah memiliki peluang rendah dalam mencari pekerjaan baik
pekerjaan jangka pendek ataupun pekerjaan jangka panjang. Pemuda yang
lulus dari sekolah vokasi memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
keluar dari pekerjaan jangka panjang daripada pemuda yang berhasil
enempun pendidikan tinggi. Hasil lainnya menunjukkan bahwa pemuda
yang tinggal di desa memiliki probabilitas lebih rendah untuk keluar dari
pekerjaan jangka panjang daripada pemuda yang tinggal di kota.
Pemuda juga memiliki pilihan untuk mencari pekerjaan baru dan
pilihan tersebut dipengaruhi olhe tingkat pendidikannya. Penelitian dari
Ramirez (1998) menunjukkan bahwa pemudi yang berada di jenjang
pendidikan tinggi memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk pindah
pekerjaan dibandingkan pemuda. Selain itu pernikahan justru
meningkatkan mobilitas pekerjaan terutama untuk pria.

6

BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder untuk diuji secara kuantitatif.
Terdapat alasan yang melatarbelakangi penggunaan data sekunder salah
satunya adalah melihat keadaan yang lengkap dan sesuai situasi yang ada.
Di lain sisi, analisa data sekunder digunakan untuk efektivitas biaya dan
penghematan waktu (Kuncoro, 2013). Sehingga, data sekunder baik
digunakan untuk menganalisis tren waktu yang panjang.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Badan
Pusat Statistik (BPS). Selain itu, data Indonesian Family Life Survey
(IFLS) digunakan juga dalam penelitian ini. Untuk melihat tren
ketenagakerjaan dan pendidikan yang ada, data BPS yang kami gunakan
adalah Statistik Pemuda Indonesia. Sejak tahun 2000, data ini
merepresentasi perkembangan pemuda di Indonesia. Selain itu, Statistik
Pemuda Indonesia diturunkan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS).
SUSENAS mempunyai beberapa keunggulan yaitu diantaranya: 1)
cakupan geografis seluruh wilayah Indonesia, bahkan unit analisis
terkecilnya sampai dengan individu dalam rumah tangga. 2) Mencakup
hampir 300.000 rumah tangga yang tersebar di 511 kabupaten/ kota di
Indonesia. Dari pertimbangan tersebut, untuk menganalisis tren pendidikan
dan ketenagakerjaan, Laporan Pemuda Indonesia dianggap mampu untuk
merepresentasikan situasi yang ada di masyarakat.
Akan tetapi, untuk menganalisis lebih dalam perkembangan pemuda di
Yogyakarta, diperlukan juga data yang bersifat antar waktu. IFLS dalam
hal ini memberikan manfaat analisis tersebut. IFLS memiliki beberapa
keunggulan seperti: 1) data mencakup rentang waktu yang panjang, dan
jumlah sampel yang terus bertambah. 2) Jumlah sampel individu kurang
lebih 70.000 individu yang tersebar di 13 provinsi. Jumlah ini setara
dengan 83 persen populasi di Indonesia.
3.2 Metodologi
Dalam pembahasan penelitian, kami membagi menjadi empat bagian
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Profil pendidikan dan
Ketenagakerjaan akan dianalisis menggunakan Statistik Pemuda Indonesia.
Penggunaan data dikompilasi dari laporan tahun 2003, 2008, dan 2013
terutama untuk melihat perkembangan selama 5 tahunan.
Pokok bahasan dalam dua bagian pertama meliputi sektor ekonomi
Yogyakarta, profil pekerja terutama dari sisi pendidikan dan terkait

7

pendapatan. Selain itu, pokok bahasan menggunakan analisis grafik
dengan presentase untuk mengetahui kondisi ketenagakerjaan pemuda di
Yogyakarta terutama dari latar belakang pendidikannya. Perkembangan
tersebut dianalisis menggunakan analisis grafik berupa komposisi
presentase.
Dalam pembahasan Model Mincer untuk menganalisis imbal balik
pendidikan return of education, kami menggunakan analisis ekonometrika
agar dapat menganalisis peran pendidikan dalam penciptaan lapangan
pekerja. Model tersebut dijelaskan dalam bagian terakhir bab ini. Selain
itu, model ini menggunakan data IFLS dalam analisisnya. IFLS yang
digunakan adalah IFLS 4 dimana survei dilakukan tahun 2014.
Pembahasan terakhir dengan model ekonometrika dimaksudkan agar
penelitian tentang ketenagakerjaan dan pemuda dibuktikan secara empiris.
Variabel yang digunakan dalam model meliputi pendapatan pekerja, lama
pendidikan, dan pengalaman kerja. Untuk menangkap efek yang tidak ada
di model, kami memasukkan variabel dummy sektor ekonomi. Pembahasan
lebih lengkap dapat dilihat dalam sub bagian selanjutnya.
3.3 Model
Jacob Mincer menerbitkan jurnalnya berjudul “Schooling, Experience,
and Earnings” pada tahun 1974 dan karyanya mempengaruhi studi terkait
pendidikan - ketenagakerjaan sampai hari ini. Dalam basis teori dan
empirisnya, Mincer menggunakan logaritma pendapatan sebagai fungsi
dari pendidikan dan pengalaman kerja (umur dikurangi pendidikan
dikurangi enam). Pengembangan dari model Mincer “Human Capital”
menggunakan fungsi pengalaman kerja kuadrat. Secara matematis dapat
ditulis sebagai berikut,
���� = ����0 + �� + �



+�



2

+ ��

Dimana ���� sebagai pendapatan individual dalam pendapatan bulanan
saat bekerja, ����0 adalah pendapatan individual jika tidak mempunyai
pendidikan dan pengalaman kerja. �� adalah variabel lama menempuh
pendidikan, sedangkan � � menangkap pengaruh pengalaman kerja dalam
model. �� adalah faktor-faktor di luar model yang mempengaruhi variabel
dependen. Sehingga kami memasukkan faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhi pendapatan pekerja, salah satunya adalah sektor
ketenagakerjaan. Kami membatasi kedalam tiga sektor yaitu sektor
pertanian, manufaktur, dan jasa.
Terdapat alasan mengapa model ini digunakan dalam analisis, karena
pendidikan merupakan “investasi” modal manusia. Beberapa penelitian

8

menunjukkan bahwa pendidikan mempengaruhi ketenagakerjaan dan
pendapatan pekerja. Mincer menunjukkan bahwa lama sekolah dan
pendapatan pekerja saat tidak memiliki pendapatan merupakan kondisi
keseimbangan dimaan individu memaksimalkan modal manusia untuk
mendapatkan gaji lebih tinggi. Sehingga, model ini dapat melacak kembali
sejauh mana pemuda Yogyakarta menginventasikan pendidikan untuk
pekerjaan di masa mendatang.

9

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil pendidikan Pemuda di Yogyakarta
Terkenalnya Yogyakarta sebagai kota pendidikan tidak terlepas dari
banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang tersedia. Banyaknya
pemuda dari berbagai penjuru daerah yang melanjutkan pendidikan
membuktikan bahwa Yogyakarta memiliki daya tarik yang kuat sebagai
daerah tujuan untuk menempuh pendidikan. Potensi daya tarik yang besar
ini menjadi kekuatan bagi Yogyakarta dalam menggerakan perekonomian.
Hal ini dapat ditunjukkan oleh Grafik 4.1.1 bahwa lima besar dari
sumbangan utama terhadap PDRB Yogyakarta salah satunya adalah jasa
pendidikan sebesar 8,48 persen pada tahun 2015.

PERSENTASE (%)

Grafik 4.1.1 Distribusi Persentase PDRB menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga Berlaku di Yogyakarta pada Tahun 2015
14
12
10
8
6
4
2
0

13.05
10.7 10.24

9.37

8.48 8.23 8.23 8.13

7.05
5.68
3.97
2.55

LAPANGAN USAHA

Sumber: BPS (2015)
Jika dilihat dari perkembangan sumbangan jasa pendidikan terhadap
PDRB berdasarkan harga konstan dari tahun 2011-2015 mengalami tren
meningkat (Grafik 4.1.2). Pada tahun 2011 sumbangan jasa pendidikan
terhadap PDRB adalah sebesar 8,58 persen dan mengalami peningkatan
pada tahun 2015 menjadi sebesar 8,92 persen. Meskipun sempat
mengalami stagnansi dan penurunan pada tahun sebelumnya, namun pada
tahun-tahun berikutnya sumbangan jasa pendidikan dapat kembali
meningkat secara bertahap. Kondisi ini mencerminkan tingginya
permintaan pendidikan Yogyakarta yang menuntut lembaga-lembaga
10

pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitasnya untuk mencetak
orang-orang terdidik dengan pendidikan yang bermutu.
Grafik 4.1.2 Sumbangan Jasa Pendidikan terhadap PDRB Yogyakarta
Berdasarkan Harga Konstan 2010 pada Tahun 2011-2015
9

8.92

8.9
8.8
8.7
8.6

8.73
8.58

8.58
8.5

8.5
8.4
8.3
8.2
2011

2012

2013

2014

2015

Jasa Pendidikan

Sumber: Data diolah dari BPS (2016)
Pendidikan merupakan suatu investasi jangka panjang yang tidak dapat
dinikmati secara instan hasilnya. Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh
setiap individu mampu mendorong peningkatan kualitas modal manusia di
masa depan. Pada rentang waktu 2010-2016, terjadi peningkatan indikator
rata-rata lama sekolah penduduk berusia 25 tahun ke atas mengalami
peningkatan dari 8,51 tahun pada tahun 2010, menjadi 9,12 tahun pada
tahun 2016 (BPS 2016). Angka ini menunjukkan rata-rata jumlah atau
lamanya tahun pendidikan yang ditempuh oleh penduduk diatas 25 tahun
di Yogyakarta. Peningkatan indikator ini merefleksikan terjadinya
peningkatan kualitas stok modal manusia. Implikasi dari indikator
pendidikan yang semakin membaik juga terlihat pada semakin
membaiknya kualitas pembangunan manusia di semua kota/kabupaten
Yogyakarta. Grafik 4.1.3 menunjukkan peningkatan pada IPM masingmasing kota/kabupaten Yogyakarta setiap tahunnya. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik, IPM Kota Yogyakarta meningkat dari 82,72 pada
tahun 2010 menjadi 85,32 pada tahun 2016.1

1

Berdasarkan klasifikasinya, maka IPM Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman
pada tahun 2016 termasuk dalam kategori IPM sangat tinggi (IPM ≥ 80).
11

Grafik 4.1.3 Perkembangan IPM Kabupaten/Kota di Yogyakarta pada
Tahun 2010-2016

Persentase (%)

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

2010

2011

2012

Kulon Progo

68.83

69.53

69.74

Sleman

79.69

80.04

80.1

Bantul

75.31

75.79

76.13

Kota Yogyakarta

82.72

82.98

83.29

Gunung Kidul

64.2

64.83

65.69

2013

2014

2015

2016

70.14

70.68

71.52

72.38

80.26

80.73

81.2

82.15

76.78

77.11

77.99

78.42

83.61

83.78

84.56

85.32

66.31

67.03

67.41

67.82

Sumber: BPS (2016)
Jika ditelaah dari lulusan berbagai jenjang pendidikan, Yogyakarta
memiliki surplus tenaga kerja muda lulusan SMA. Baik di perkotaan
maupun perdesaan, jumlah pemuda lulusan SMA yang bekerja
mendominasi sebesar 50,17 persen di perdesaan dan 56,70 di perkotaan
(Grafik 4.1.4). Persentase pemuda lulusan SMP juga besar di perdesaan
yaitu mencapai 35,01 persen. Pemuda di perdesaan dengan pendidikan
terakhir perguruan tinggi jauh lebih kecil angkanya dibandingkan dengan
pemuda di perkotaan, yaitu hanya sebesar 6,67 persen di perdesaan
sedangkan di perkotaan mencapai 22,49 persen. Angka-angka tersebut
menunjukkan bahwa pemuda cenderung lebih tertarik untuk bekerja
dibandingkan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan adanya kegagalan transisi pendidikan pemuda dari SMA ke
perguruan tinggi. Situasi seperti ini tentunya mampu membuat pemuda
tidak mampu berpindah ke income bracket yang lebih tinggi dan terjebak
pada pendapatan dibawah rata-rata nasional, karena ditengah ketatnya daya
saing dan tantangan global di masa saat ini tentunya dibutuhkan
kemampuan yang tinggi untuk dapat bersaing.

12

Grafik 4.1.4 Persentase Pemuda yang Bekerja Berdasarkan Jenjang
Pendidikan Terakhir pada Pada Tahun 2015
6.67

Jenjang Pendidikan

PT

22.49
50.17

SMA

56.7
35.01

SMP
15.23
6.57
4.41
1.58
1.17

SD
Tidak Tamat SD
0

10

Sumber: BPS (2015)
Perdesaan

20

30

40

50

60

Persen (%)

Perkotaan

4.2 Ketenagakerjaan dan Keterampilan Pemuda di Yogyakarta
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di
dunia. Jumlah penduduk yang besar tersebut tentunya tidak luput dari
serangkaian permasalahan sosial di dalamnya. Salah satunya adalah
permasalahan
mengenai
ketenagakerjaan.
Permasalahan
seperti
pengangguran, setengah pengangguran dan tenaga kerja berpendapatan
rendah merupakan masalah yang terus menjadi salah satu prioritas utama
pemerintah untuk diselesaikan. Jika tidak, maka permasalahan tersebut
dapat berimplikasi pada terhambatnya pemerataan dan pembangunan
nasional.
Pemuda memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan ketenagakerjaan.
Rentang usia yang dikategorikan sebagai pemuda, juga termasuk ke dalam
rentang usia angkatan kerja. Yogyakarta yang terkenal dengan banyaknya
pemuda yang tinggal dan menuntut ilmu di dalamnya tentu memiliki potensi
besar untuk menggerakan perekonomian. Jika pada bagian sebelumnya telah
ditunjukkan pemuda yang bekerja berdasarkan tingkat pendidikan
terakhirnya, maka pada bagian ini akan mengkaji secara lebih lanjut
ketenagakerjaan pemuda di Yogyakarta.
Grafik 4.2.1 menunjukkan persentase penyerapan pemuda yang bekerja
berdasarkan lapangan usaha. Dari ketiga lapangan usaha yang dikaji pada
tahun 2003, 2008 dan 2013, masing-masing menunjukkan tren yang
berbeda. Penyerapan tenaga kerja pemuda pada ektor pertanian mengalami
tren penurunan. Pada masa yang sama, justru terlihat sektor perdagangan,
komunikasi, keuangan dan jasa mengalami tren peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa tenaga kerja pemuda dari tahun ke tahun mulai banyak

13

meninggalkan sektor pertanian dan cenderung berpindah ke sektor
perdagangan dan jasa. Pada tahun 2013, sektor perdagangan, komunikasi,
keuangan dan jasa mampu menyerap tenaga kerja sebesar 67,15 persen.
Banyaknya pemuda yang tertarik untuk beralih menuju sektor jasa, karena
sektor ini memiliki relasi yang cukup erat dengan bidang pendidikan yang
ditempuh oleh para pemuda.

Persentase (%)

Grafik 4.2.1 Persentase Penyerapan Pemuda berdasarkan Lapangan Usaha
di Yogyakarta pada Tahun 2003, 2008 dan 2013
80
70
60
50
40
30
20
10
0

67.15
57.17
49.36
26.82 26.81 23.05

PERDAGANGAN,
PERTAMBANGAN,
KOMUNIKASI,
INDUSTRI, LISTRIK DAN
KEUANGAN DAN JASA
KONSTRUKSI

23.82
16.02

9.8

PERTANIAN

Lapangan Usaha
2003

2008

2013

Sumber: Data diolah dari BPS (2003, 2008, 2013)
Sebagian besar pemuda di Yogyakarta bekerja lebih tertarik
bekerja sebagai karyawan atau buruh. Jenis pekerjaan seperti ini rawan
dengan risiko inflasi bagi pekerja. Kesejahteraan pekerja sangat tergantung
dengan jumlah gaji yang diterima oleh pekerja. Situasi ini bukanlah tanpa
sebab, pendidikan di Yogyakarta lebih difokuskan untuk menjadi pekerja
yang dibayar. Pemuda beranggapan lebih aman secara finansial bekerja
dengan menjadi karyawan, sehingga peran pekerja dalam berdayaguna
masih minim. Jika dilihat ketertarikan pemuda untuk bekerja sendiri
(berwirausaha) di Yogyakarta jumlahnya sangat kecil. Bahkan, jumlahnya
mengalami penurunan yang cukup drastis. Pada tahun 2008, pemuda yang
bekerja sebagai wirausaha adalah sebesar 16,44 persen. Namun angka
tersebut mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi sebesar 7,63
persen. Jenis pekerjaan wirausaha ini menjadi kurang diminati oleh pemuda
di Yogyakarta.
Grafik 4.2.2 Status Pekerjaan Pemuda di Yogyakarta pada Tahun 2003,
2008 dan 2013 (dalam persen)

14

Persentase (%)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
Berusaha
Sendiri

Buruh/Karyawa
n

Pekerja
Keluarga/Tidak
dibayar

Berusaha
Dibantu/Buruh
Tak Tetap

Pekerja Bebas

2003

15.49

49.94

2008

16.44

44.17

18.48

10.5

5.59

15.21

15.53

8.65

2013

7.63

66.99

12.41

6.6

6.37

Sumber: Data diolah dari BPS (2003, 2008, 2013)
4.3 Analisis Model Mincer Kepemudaan Yogyakarta
Perdebatan mengenai pendidikan dalam mempengaruhi outcome
ketenagakerjaan telah dijelaskan dalam studi pustaka penelitian ini.
Sehingga, untuk menguji secara empiris kontekstualitas tersebut, kami
menggunakan model Mincer. Sebagai gambaran umum, data dari IFLS
menunjukkan hal serupa mengenai ketenagakerjaan di Yogyakarta. Secara
umum, pertanian mendapatkan proporsi paling kecil dalam
ketenagakerjaan, dilanjutkan oleh manufaktur, dan jasa pada tahun 2014.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan, memiliki standarisasi pendidikan
yang cukup tinggi, yaitu sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki
pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Seharusnya, modal pendidikan
tersebut mampu memberikan pendapatan (income) yang lebih tinggi.
Informasi mengenai pendidikan dan gaji rata-rata pemuda dapat dilihat
dalam tabel dibawah,
Tabel 4.3.1 Statistik Deskriptif Ketenagakerjaan dan Pendidikan
Provinsi Yogyakarta
No Variabel
Rata-rata
Maks Min Standar
Deviasi
1
Lama sekolah (tahun) 11.4
12
6
1.34
2
Pengalaman
Kerja 6.5
18
0
4.02
(tahun)
3
Pendapatan tahunan 11.5
15.6
0
19.6
(juta rupiah)
4
Pendapatan bulanan 962
2300
0
1707
(ribu rupiah)
Sumber: Data diolah dari IFLS (2014)

15

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa pendidikan di Yogyakarta
sebagian besar adalah SMP dan SMA dengan pengalaman kerja yang
cukup panjang sebesar 6 tahun. Baik pendidikan dan pengalaman antar
penduduk tidak mengalami perbedaan cukup besar. Hal ini menunjukkan
bahwa penduduk Yogyakarta homogen baik secara pendidikan dan
ketenagakerjaan. Akan tetapi, jika terkait pendapatan, perbedaan antar
penduduk tidak besar.
Pertanyaannya kemudian, apakah sektor memainkan peran penting
dalam ketenagakerjaan di Yogyakarta. Untuk menjawab hal tersebut,
komposisi ketenagakerjaan pemuda yang dihitung dari IFLS 5 sebagai
berikut: sektor tani (24.7 persen), sektor manufaktur (28 persen), dan
sektor jasa (47 persen). Dari kalkulasi tersebut, sektor jasa memainkan
peran penting dalam ketenagakerjaan di Yogyakarta. Namun, pendapatan
bulanan dan tahunan antar sektor di Yogyakarta tidak jauh berbeda.
Hasilnya dapat dilihat dalam tabel dibawah,
Tabel 4.3.2 Pendapatan Rata-rata menurut Sektor di Provinsi
Yogyakarta
Rata-rata
Rata-rata
pendapatan
Sektor
No
pendapatan tahunan
bulanan (ribu
Ketenagakerjaan
(juta rupiah)
rupiah)
1
Pertanian
10.52
902
2
Manufaktur
10.57
996
3
Jasa
11.4
920
Sumber: Data diolah dari IFLS (2014)
Dari tabel diatas, pendapatan sektor jasa merupakan pendapatan
tahunan tertinggi dari pemuda yang bekerja. Sehingga, banyaknya pemuda
masuk ke sektor jasa dikarenakan pendapatan yang tinggi. Namun, dari
pendapatan per bulan, sektor manufaktur menjanjikan pembayaran yang
lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain. Termasuk ke dalam sektor
manufaktur yaitu konstruksi bangunan dan industri menengah hingga besar
yang ada di Yogyakarta.
Agar menambah analisis secara komprehensif, kami menyajikan
analisis hubungan antara sektor ketenagakerjaan, pengalaman, dan
pendidikan di Yogyakarta. Menariknya, sektor pertanian dan manufaktur
memiliki hubungan negatif dengan pendapatan per bulan. Sedangkan,
sektor jasa memiliki hubungan positif terhadap pendapatan pekerja. Di lain
sisi, sektor tani signifikan memiliki hubungan dengan tingkat pendidikan
dan pengalaman bekerja. Tabel dapat dilihat dibawah ini,

16

Tabel 4.3.3 Korelasi Variabel dan Nilai Signifikansi di Provinsi Yogyakarta
sektor~i sektor~r sektor~a logbulan logtahun
sektor_tani

sekolah

exp

1.0000
1874

sektor_man~r

sektor_jasa

logbulan

logtahun

sekolah

exp

-0.2146*
0.0000
1874

1.0000
1874

-0.2949* -0.2704*
0.0000
0.0000
1874
1874

1.0000
2921

-0.0130
0.6671
1092

-0.0857* -0.0418
0.0046
0.1674
1092
1092

1.0000

-0.0503
0.0907
1133

-0.0623*
0.0360
1133

0.0189
0.5242
1133

0.8083*
0.0000
1088

1.0000

0.0974* -0.0799
0.0372
0.0876
458
458

0.0304
0.3810
831

0.2299*
0.0000
332

0.2015*
0.0002
337

0.1554*
0.0008
458

0.0249
0.4726
831

0.1435*
0.0088
332

0.1234* -0.3372*
0.0235
0.0000
337
831

0.0202
0.6671
458

1092

1133
1.0000
831
1.0000
831

Sumber: Data diolah dari IFLS (2014)
Penjelasan keterkaitan sektor pertanian dengan pendidikan serta
pengalaman kerja dapat disebabkan beberapa hal. Pertama yaitu, walaupun
pertanian memberikan sumbangsih perekonomian yang menurun di
Yogyakarta, dibutuhkan kemampuan dalam pengelolaan pertanian. Kedua,
masih adanya pemuda yang beralih ke sektor pertanian setelah menempuh
pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan gagal untuk memberikan transisi
pekerjaan kepada pemuda.
Untuk membuktikan secara empiris transisi ketenagakerjaan dan
pendidikan, kami menguji dengan model Mincer dengan regresi OLS
(Ordinary Least Square) dan IV (Instrumental Variable). OLS diharapkan
mampu menganalisis model Mincer sederhana, sedangkan IV digunakan
untuk mengatasi permasalahan endogeneity dalam penelitian. Kami
menggunakan variabel proxy nilai ujian nasional matematika untuk
mewakili kemampuan di sekolah. Hasil regresi dapat dilihat dibawah ini,

17

Tabel 4.3.4 Hasil Regresi Model Mincer di Provinsi Yogyakarta
Dep Var: log(pen_tahun)
VARIABLES

(1)
OLS

(2)
IV

sekolah

-0.214
(0.676)
0.0206
(0.0336)
0.176***
(0.0556)
-0.00983**
(0.00418)

-7.787
(8.223)
0.404
(0.407)
0.316***
(0.0963)
-0.0218***
(0.00797)
-0.318
(0.405)
0.0962
(0.248)
50.66
(40.23)

sekolahsq
exp
expsq
sektor_tani
sektor_manufaktur
Constant

Observations
R-squared

15.10***
(3.318)

337
147
0.085
0.073
Standard errors in parentheses
*** p