BAB II JIWA KEHILANGAN DAN BERDUKA

BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kehilangan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
2.2 Jenis Kehilangan
Jenis kehilangan dibagi menjadi 5, antara lain:
a. Kehilangan objek eksternal (misalnya kecurian atau kehancuran akibat bencana alam)
b. Kehilangan lingkungan yang dikenal (misalnya berpindah rumah, dirawat di rumah
sakit, atau berpindah pekerjaan)

c. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnya pekerjaan, kepergian
anggota keluarga atau teman dekat, perawat yang telah dipercaya, atau binatang
peliharaan)
d. Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis atau fisik)
e. Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, teman dekat, atau diri
sendiri)
2.3 Definisi Berduka
Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka dikarakteristikkan
sebagai berikut.
a. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.
b. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.

c. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan menangis,
keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
d. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.
e. Mengalami perasaan berduka.
f. Mudah tersinggung dan marah.
2.4 Jenis Berduka
Menurut hidayat ( 2009 : 244) berduka dibagi menjadi beberapa antara lain:

1)

Berduka normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.
Misalnya kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari
aktivitas untuk sementara.

2)

Berduka antisipatif
Yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan dan kematian yang
sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang
akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai urusan di dunia
sebelum ajalnya tiba.

3)

Berduka yang rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap
kedukaan normal. Masa berkabung seolah – olah tidak kunjung berakhir dan dapat

mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.

4) Berduka tertutup
Kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Contohnya
kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu
yang kehilangan anaknya dikandungan atau ketika bersalin

2.5 Rentang Respon Emosi

Adaptif


Menangis, menjerit, menyangkal,
menyalahkan diri sendiri, menawar,



bertanya-tanya.




datang.

Membuat rencana untuk yang akan

Berani terbuka tentang kehilangan.

Maladaptif




Diam/tidak menangis



berkepanjangan.




Mengasingkan diri.



Menyalahkan diri

Rendah diri.

Tak berminat hidup.

Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam
rentang yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.
2.6 Tahapan Proses Kehilangan dan Berduka
1) Tahapan Proses Kehilangan
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah
(anger ), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance)
atau sering disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan
tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu
dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau
depresi.

a. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya,
syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri
terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura
senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut.
1) “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2) “Diagnosis dokter itu salah.”
3) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak
nyaman.
4) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan
(defense mechanism) terhadap rasa cemas.
5) Pasien perlu waktu beradaptasi.

6) Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan
pertahanan yang tidak radikal.
7) Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan
kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.
Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian orang
yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang

dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara
seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak
napas, detak jantung cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu
yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun setelah kehilangan.
b. Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan.
Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain
atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal
seperti berikut.
1) Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2) Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.
3) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
“Perawat tidak becus!”
4) Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.

5) Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang
akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
c. Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawarmenawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak
melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan dia
tidak memilih pergi ke tempat itu ... pasti semua akan baik-baik saja ”, dan

sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai berikut.

1) Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2) Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu hidup,
terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3) Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar
dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat
atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih

berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.”

“Bila saya sembuh, saya akan…….”
4) Pasien

mulai

dapat

memecahkan

masalah

dengan

berdoa,

menyesali

perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.
d. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan

penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak
mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu
menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.
Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang
terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada? ” atau “Dapatkah keluarga saya
mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya? ”

Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan
damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan
dan kegelisahannya.
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran
terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan
kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan
secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan
mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih
bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan
saya.........”


Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses
berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang
sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan
jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu
untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses
yang disfungsional.
2) Proses Berduka
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
a. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama
beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan.
Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis
dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.
b. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
c. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
2.6 Tanda dan gejala
a. Kehilangan
Menurut Prabowo (2014 : 117) tanda dan gejala kehilangan diantaranya:
1) Perasaan sedih, menangis
2) Perasaan putus asa, kesepian
3) Mengingkari kehilangan
4) Kesulitan mengekspresikan perasaan
5) Konsentrasi menurun

6) Kemarahan yang berlebihan
7) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9) Reaksi emosional yang lambat
b. Berduka
Menurut Dalami (2009) tanda dan gejala berduka diantaranya :
1. Efek fisik
Kelelahan, kehilangan selera, masalah tidur, lemah,berat badan menurun, sakit
kepala, berat badan menurun, sakit kepala, pandangan kabur, susah bernapas,
palpitasi dan kenaikan berat , susah bernapas.

2. Efek emosi
Mengingkari, bersalah , marah, kebencian, depresi,kesedihan, perasaan gagal,
perasaan gagal, sulit untuk berkonsentrasi, gagal dalam menerima kenyataan,
iritabilita, perhatian terhadap orang yang meninggal.
3. Efek social.
a) Menarik diri dari lingkungan.
b) Isolasi (emosi dan fisik) dari istri, keluarga dan teman.
2.7 Faktor yang Mempengaruhi Kehilangan dan Berduka
a. Faktor Predisposisi
1) Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga
yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap
optimis dan menghadapi kehilangan.
2) Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik.
3) Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan
yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.
4) Pengalaman kehilangan sebelumnya

Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak akan
memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa
dewasa.
b. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu
dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi
seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan
kehilangan posisi di masyarakat.