ETIKA KOMUNIKASI POLITIK KAJIAN HADIS TE

ETIKA KOMUNIKASI POLITIK
(KAJIAN HADIS TENTANG AMAR MA‘RUF DAN NAHI
MUNGKAR)

Makalah
Disampaikan dalam Seminar Kelas
Mata Kuliah Hadis Maud}u>’i<
Semester I (S3) Tahun Akademik

Oleh:
-------------------------NIM:---------------------

Dosen Pemandu;
----------------------------------------------------------------------------

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR

1

2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa

ini

seiring

dengan

datangnya

reformasi

pada

pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari
era otoritarian ke era demokrasi, pada masa transisi itu dilakukan,
transisi yang fundamental dalam berbagai bidang kehidupan,

termasuk membangun tatangan kehidupan politik baru yang
demokratis. Namun dalam perjalanannya tatanan kehidupan politik
yang demokratis ini, lambat laun tergerus karna sebab pribadi dan
kelompok.
Ini dapat saja dilihat bagaimana saat ini para elit bekuasa
lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk mewujudkan
kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai
etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbagsa dan
bernegarah.
Kurangnya
merupakan

etika

akibat

berpolitik

dari


ketiadaan

untuk

sering

kepentingan

kita

jumpai

politik

yang

memadai. Bangsa tidak banyak mempunyai guru politik yang baik,
yang

dapat


mengajarkan

bagaimana

berpolitik

tak

hanya

memperebutkan kekuasaan. Namun dengan penghayatan etika
serta

moral,

politik

yang


mengedepankan

teke

and

give

berkonsensus dan pengobatan. Selain itu kurangnya komunikasi
politik juga menjadi penyebab lahirnnya elit politik yang tidak

2

mampu meyuarakan kepentingan rakyat namun juga menghasilkan
orang-orang yang cenderung otoriter termasuk politik kekerasan
yang semakin berkembang karena pelaku politik dipandu oleh nilainilai emosi. Oleh sebab itu, sangat perlunya edukasi tentang etika
komunikasi politik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan


rumusan

masalah

di

atas,

maka

penulis

membuat dalam sub-sub masalah, sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Etika Komunikasi Politik?
2. Bagaimana

Kualitas

Hadis


tentang

Amar

Makruf

Nahi

Mungkar?
3. Bagaimana Fiqhu Hadis tentang Etika Komunikasi Politik
dalam Hadis Amar Makruf Nahi Mungkar?

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Komunikasi Politik
1. Pengertian Etika
Istilah etika, berasal dari bahasa Yunani kuno. Dalam bentuk

tunggal, kata Yunani ethos mempunyai banyak arti, yakni: tempat
tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat;
akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Arti terakhir inilah,
yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah ‘etika’, yang oleh
Aristoteles (384-322 SM) – filosof besar Yunani – sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Dari arti etimologis etika di atas,
maka etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.1
Adapun kata yang dekat maknanya dengan etika adalah
‘moral’. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores),
yang dapat berarti kebiasaan atau adat. Sehingga kedua kata
tersebut, secara etimologis, mempunyai arti yang sama, yakni adat
kebiasaan. Hanya saja, asal usul kedua kata tersebut berbeda. Kata
etika berasal dari bahasa Yunani, sedang kata moral berasal dari
bahasa Latin.2
Sedangkan secara terminologis – sebagaimana diungkapkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia – kata etika dapat dibedakan

1K. Bertens, Etika (Cet. V; Jakarta: Gramedia, 2000), h. 4.
2K. Bertens, Etika, h. 5.


4

menjadi tiga arti, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat.3
Sejalan

dengan

statemen

di

atas,

John

L.


Esposito

mengungkapkan, bahwa term ethic (etika) merupakan studi yang
berkaitan

dengan

mengabstraksikan

practical
dan

justification.

mengevaluasi

Focus

reason


etika
personal

adalah
atau

kelompok tertentu, yang memberikan judgment kepada mereka,
tentang benar-salah, atau baik-buruk, yang biasanya berkaitan
dengan perbuatan manusia (human act), sikap (attitudes) dan
kepercayaan (belief) mereka.4
Kemudian kata moral, secara terminologis, menurut Bertens,
sama dengan etika – meskipun mempunyai arti lain – yaitu: nilainilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.5
Namun ada juga yang membedakan kedua istilah tersebut
(etika dan moral). Moral selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus,
dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa
tuntutan, baik bersifat relatif maupun mutlak. Moral merupakan

3K. Bertens, Etika, h. 5-6; Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), h. 237.
4John L Esposito (Ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
World, vol. 1 (New York: Oxford University Press, 1995), h. 442.
5K. Bertens, Etika, h. 7.

5

wacana normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka
yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak atau
transenden, yakni seluruh kewajiban-kewajiban kita. Sehingga kata
moral mengacu pada baik-buruknya manusia, yang berkaitan
dengan tindakan, sikap, cara mengungkapkannya. Moral ingin
menjawab “apa yang harus saya lakukan?”. Jadi, konsep moral
mengandung dua makna. Pertama, keseluruhan aturan dan norma
yang berlaku, yang diterima oleh masyarakat tertentu sebagai arah
atau pegangan dalam bertindak, dan diungkapkan dalam kerangka
yang

baik

dan

merefleksikan

yang

buruk.

aturan-aturan

Kedua,

tersebut,

disiplin
dalam

filsafat

rangka

yang

mencari

pendasaran dan tujuan atau finalitasnya. Arti ke dua inilah yang
lebih dekat dengan konsep etika.6
Sedangkan etika, biasanya dipahami sebagai refleksi filosofis
tentang moral. Etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak
selalu imperatif, karena juga bisa hipotesis, yang membicarakan
pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang dianggap
sebagai nilai relatif. Etika ingin menjawab pertanyaan “bagaimana
hidup yang baik?”. Sehingga etika lebih dipandang sebagai seni
hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan puncaknya adalah
kebijakan.7
2. Pengertian Komunikasi
6Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan (Cet. II; Jakarta: Kompas, 2004),
h. 187.
7Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan, h. 187.

6

Istilah komunikasi sudah sangat akrab di telinga, namun
membuat definisi mengenai komunikasi ternyata tidak semudah
yang diperkirakan. Stephen Littlejohn mengatakan: Communication
is difficult to define. The word is abstract and, like most terms,
process numerous meanings (Komunikasi sulit untuk didefinisikan.
Kata “komunikasi” bersifat abstrak, seperti kebanyakan istilah,
memiliki banyak arti).8
Frank Dance (1970) melakukan terobosan penting dalam
upayanya memberikan klarifikasi terhadap pengertian komunikasi.
Ia mengklasifikasikan teori kominikasi yang banya itu berdasarkan
sifat-sifatnya. Dance mengajukan sejumlah elemen dasar yang
digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia menemukan tiga hal
yang

disebut

dengan

“diferensiasi

konseptual

kritis”

(critical

conceptual differentiation) yang membentuk dimensi dasar teori
komunikasi yang teridiri atas:9
a. Dimensi level observasi (level of observation)
Menurut beberapa definisi mengenai komunikasi sangat luas
(inclusive) sementara devinis lainnya bersigat terbatas. Misalnya,
definisi komunikasi yang menyatakan komunikasi adalah

the

process that links discontinuous parts of the living world to one
another (proses yang berhubungan dengan bagian-bagian yang
terputus dari yang hidup satu sama lainnya) dinilai sebagai definisi
8Morissan, Teori Komunikasi; Individu Hingga Massa (Cet. II; Jakarta:
Kencana, 2014), h. 8.
9Morissan, Teori Komunikasi; Individu Hingga Massa, h. 8.

7

yang terlalu umum atau luas. Sebaliknya definisi yang menyatakan,
communication as the means of sending military messages, order
etc, as by telephone, telegraph, radio and couriers (komikasi adalah
alat untuk mengirim pesan militer, perintah dan sebagainya,
melalui telepon, telegraf, radio, dan kurir) sebagai terlalu sempit.
b. Dimensi kesengajaan (intentionality)
Contoh definisi yang memasukkan faktor kesengajaan atau
maksud tertentu misalnya: komunikasi adalah those situations is
which a sourse transmits a massage to a receiver with conscious
intent to affect the latter’s behaviors (situasi di mana smber
mengirimkan pesan kepada penerima dengan sengaja untuk
mempengaruhi tingkah laku penerima). Adapun definisi yang tidak
memerlukan kesengajaan atau maksud tertentu misalnya: it is a
process that makes common to two or several tha was the
monopoly of one or some (komunikasi adalah proses yang membuat
dua atau beberapa orang memahami apa yang menjadi monopoli
satu atau beberapa orang lainnya).
c. Dimensi penilaian normatif (normative judgement)
Sebagai

definisi

mengenai

kominikasi

memasukkan

pernyataan keberhasilan atau keakuratan (accuracy), sedangkan
definisi lainnya tidak memiliki penilaian implisit semacam itu.
Definisi berikut misalnya: Communication is the verbal interchange
of a thought or idea (komunikasi adalah pertukaran verbal dari
pemikiran dan gagasan). Asumsi dari definisi ini adalah pemikiran

8

atau gagasan itu selalu berhasil dipertukarkan. Definisi lainnya,
sebalinya, tidak menilai apakah hasil komunikasi itu akan berhasil
atau

tidak.

Misalnya

communication

is

the

transmission

of

information. Di sini terjadi pengiriman informasi, namun pengiriman
itu tidak harus berhasil (diterima atau dipahami).
3. Pengertian Politik
Istilah politik biasa menunjukkan pada masyarakat secara
keseluruhan. Sebuah keputusan dianggap bersifat politis, apabila
keputusan tersebut diambil dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat keseluruhan. Suatu tindakan disebut politis, apabila
menyangkut

masyarakat

secara

keseluruhan.

Politisi

adalah

seseorang yang mempunyai profesi mengenai masyarakat sebagai
keseluruhan.10
Sedangkan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, kata politik
diartikan

sebagai

berikut

;

1)

(ilmu)

pengetahuan

tentang

ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintah, dasardasar pemerintah); 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat
dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain; dalam dan luar negeri. Kedua negara itu bekerja sama
di bidang ekonomi dan kebudayaan, partai atau organisasi; 3)
kebijakan; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani
masalah).11

10Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Cet. VII; Jakarta: Gramedia, 2003), h.
19-20.

9

Dalam bahasa arab, kata politik biasa disebut dengan alsiya>sah. Al-siya>sah merupakan bentuk mas}dar dari kata kerja
sa>sa-yasu>su, yang pelakunya disebut sa>’is. Secara etimologis,
kata

al-siya>sah

dapat

berarti

mengatur,

mengurus,

dan

memerintah.12 Siya>sah juga bisa berarti pemerintahan dan politik
atau membuat kebijaksanaan.13
Secara

terminologis,

siya>sah

adalah

mengatur

atau

memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan; 14
atau

membuat

kemaslahatan

manusia

dengan

membimbing

mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siya>sah adalah ilmu
pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar
negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta
kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan umum berdasarkan
keadilan

dan

istiqamah.15

Atau

mudahnya,

siya>sah

artinya

kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan;
mengatur dan menangani

urusan rakyat dan mendatangkan

kemaslahatan bagi mereka.16

11Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar bahasa Indonesia, h. 694.
12Jama>l al-Di>n Muh}ammad Ibn Mukarram al-Ans}a>ri> Ibn
Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, juz 6 (Bairut: Da>r al-Masyriq, 1968) h. 108; Luwi>s
Ma‘lu>f, Al-Munji>d fi> al-Lugah wa al-A‘lam (Bairut: Da>r al-Masyriq, 1986), h.
362.
13Abd al-Wahha>b Khalla>f, Al-Siya>sah al-Syar‘iyyah (Kairo: Da>r alAnsha>r, 1977), h. 4.
14Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, h. 108.
15Luwi>s Ma‘lu>f, Al-Munji>d fi> al-Lugah wa al-A‘lam, h. 362.

10

Dari berbagai definisi etika, komunikasi dan politik yang telah
penulis jelaskan di atas, maka dapat dikatakan, bahwa etika
komunikasi politik artinya kumpulan nilai yang berkenaan dengan
akhlak dalam proses komunikasi untuk mengatur atau memimpin
sesuatu dengan cara yang santun dan membawa kemaslahatan.
Dan etika komunikasi politik itu merupakan filsafat moral tentang
dimensi politis kehidupan manusia.
Dalam masyarakat, fungsi etika komunikasi politik terbatas
pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan dan
menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab; tidak
berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori, tetapi secara rasional,
obyektif, dan argumentatif.
Manfaat etika komunikasi politik tidaklah bersifat praktis. Ia
tidak bertugas mengkhutbahi para politisi atau untuk langsung
mempertanyakan legitimasi moral berbagai keputusan. Tetapi, etika
komunikasi politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk
menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip
moral dasar. Etika komunikasi politik dapat memberikan patokanpatokan orientasi dan pegangan normative bagi mereka yang
memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik
dengan tolok ukur martabat manusia.

16Yusuf al-Qardhawi, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, terj.
Kathur Suhardi (Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 34-35; J. Suyuthi
Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Cet. IV; Jakarta: Raja
Grafindo, 1999), h. 22-23.

11

Etika komunikasi politik tidak hanya menyangkut masalah
perilaku politikus, tetapi juga berhubungan dengan praktik institusi
sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi.
Karena, perilaku politikus hanya salah satu dimensi etika politik.
Sebuah kehendak yang baik, perlu didukung institusi yang adil. Dan
kehendak baik berfungsi mempertajam makna tanggung jawab,
sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan, lembaga sosial)
berperan mengorganisir tanggung jawab.
Atau dengan kata lain, etika komunikasi politik mengandung
aspek individu dan aspek sosial. Satu sisi, etika komunikasi politik
adalah etika individu dan etika sosial sekaligus. Disebut etika
individu, karena ia membahas masalah kualitas moral pelaku; dan
disebut etika sosial, karena ia merefleksikan masalah hukum,
tatanan sosial, dan institusi yang adil.
Selain itu, etika komunikasi politik ini memiliki tiga dimensi:
pertama adalah tujuan politik; ke dua berhubungan dengan
masalah pilihan sarana; ke tiga berhadapan dengan aksi politik,
yang terkait langsung dengan perilaku politikus.
Dimensi

tujuan,

terumuskan

dalam

upaya

mencapai

kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada
kebebasan dan keadilan.

Atau dengan kata lain, tujuan etika

komunikasi politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik,
bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup

12

kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. 17 Dan
kendala utama dalam masalah ini adalah upaya penerapan
kebijakan umum (policy) dalam manajemen publik. Berdasarkan
kebijakan
masyarakat

umum
dapat

ini,

wakil

membuat

rakyat

dan

evaluasi

kelompok-kelompok
pelaksanaan

kinerja

pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban. Kejelasan tujuan
yang tertuang dalam kebijakan publik tersebut, menunjukkan
ketajaman visi sang pemimpin dan kepedulian suatu partai politik
terhadap aspirasi masyarakat. Dan dimensi moralnya adalah
terletak pada kemampuan menentukan arah yang jelas terhadap
kebijakan umum dan akuntabilitasnya.18
Dimensi sarana – yang memungkinkan pencapaian tujuan –
meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik
penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi
sosial, yang ikut menentukan pengaturan perilaku masyarakat
dalam menghadapi masalah-masalah dasar. Pola-pola tersebut
mengandung imperatif normatif yang disertai sangsi. Dimensi
sarana (polity) ini, mengandung dua pola normatif. Pertama,
tatanan politik (hukum dan institusi) harus mengikuti prinsip
solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluratitas; struktur sosial
ditata secara politik menurut prinsip keadilan. Karena itu, asas
kesamaan dan masalah siapa yang diuntungkan atau siapa yang

17Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan, h. 204.
18Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan, h. 25-27.

13

dirugikan oleh hukum atau institusi tertentu, relevan untuk dibahas.
Ke dua, kekuatan-kekuatan politik ditata sesuai dengan prinsip
timbal balik. Dimensi moral pada tingkat sarana ini, terletak pada
peran etika dalam menguji dan mengkritisi legitimasi keputusankeputusan, institusi-institusi dan praktik-praktik politik.19
Sedangkan dalam dimensi aksi politik, pelaku memegang
peran sebagai penentu rasionalitas politik, yang terdiri dari
rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku).
Sebuah tindakan politik dapat dikatakan rasional, apabila pelakunya
mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan. Hal ini
sangat

tergantung

mempersepsi
berdasarkan

pada

kemampuan

kepentingan-kepentingan
peta

kekuatan

politik

yang

pelakunya,
yang
ada.

untuk

dipertaruhkan,
Dan

disposisi

kekuasaan ini membantu untuk memperhitungkan kemampuan dan
dampak aksi politiknya. Karenanya, penguasaan manajemen konflik
adalah syarat aksi politik yang etis. Dan aksi, mengandaikan
keutamaan; penguasaan diri dan keberanian memutuskan serta
menghadapi risikonya; fair dan adil dalam hubungan dengan yang
lain. Pada dimensi aksi ini, etika identik dengan tindakan yang
rasional

dan

bermakna.

Politik

mempunyai

makna,

karena

memperhitungkan reaksi yang lain; seperti harapan, protes, kritik,
persetujuan, atau penolakan. Dan makna etis akan semakin dalam,

19Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan, h. 27.

14

ketika tindakan politikus didasari oleh pembelaan dan keberpihakan
kepada kaum yang lemah atau korban.20
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan
utama etika komunikasi politik. Hukum sebagai lembaga penata
masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebagai lembaga
penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda
kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika
komunikasi politik membahas hukum dan kekuasaan.

20Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan, h. 28.

‫‪15‬‬

‫‪B. Kualitas Hadis tentang Etika Politik (Amar Makruf Nahi‬‬
‫)‪Mungkar‬‬
‫‪1. Materi Hadis‬‬

‫حدث عناَ أ عبوُ بك نر بن أ ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫كيِ‬
‫و‬
‫ناَ‬
‫ث‬
‫د‬
‫ح‬
‫ة‬
‫ب‬
‫يِ‬
‫ش‬
‫بيِ‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ع‬
‫ع‬
‫د‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع د ع ن ع ك ن ن‬
‫حد دث ععناَ‬
‫س ن‬
‫مث عدنىَّ ع‬
‫م ع‬
‫نحو ع‬
‫فعيِاَ ع‬
‫ن‬
‫ن ال ن ن‬
‫ح د‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫ن‬
‫جع ن ع‬
‫شعنب ع ن‬
‫فرر ع‬
‫ن ع‬
‫م ع‬
‫ة ك كعلهن ع‬
‫ح د‬
‫ن‬
‫ماَ ع ع ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫ن ع‬
‫ب وعهع ع‬
‫ذا‬
‫ن ك‬
‫م ن‬
‫ن ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫سل كم ر ع ع ن‬
‫طاَرك ك‬
‫ق بن ك‬
‫س بن ع ك‬
‫قعيِ ن ك‬
‫ث أكبيِ ب عك نرر عقاَ ع‬
‫ل‬
‫ديِ ن‬
‫ح ك‬
‫ع‬
‫ل من بدأ ع‬
‫أع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ال‬
‫ل‬
‫ب‬
‫ق‬
‫د‬
‫عيِ‬
‫ل‬
‫ا‬
‫م‬
‫وُ‬
‫يِ‬
‫ة‬
‫ب‬
‫ط‬
‫خ‬
‫ل‬
‫باَ‬
‫و‬
‫ن‬
‫ك‬
‫صعلةك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ع‬
‫د‬
‫ن‬
‫ن‬
‫د‬
‫صعلة ن قعب ن ع‬
‫قاَ ع‬
‫ج ع‬
‫ل‬
‫ل فع ع‬
‫ن فع ع‬
‫م إ كل عيِ نهك عر ن‬
‫منرعوا ن‬
‫قاَ ع‬
‫ع‬
‫ل ال د‬
‫ماَ هنعناَل ك ع‬
‫ل قعد ن ت نرك ع‬
‫قاَ ع‬
‫قاَ ع‬
‫ل أ عنبوُ‬
‫ك فع ع‬
‫خط نب عةك فع ع‬
‫ال ن ن‬
‫ك ع‬
‫ع‬
‫ماَ هع ع‬
‫ت‬
‫ذا فع ع‬
‫س ك‬
‫قد ن ق ع ع‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك ع‬
‫ع‬
‫مع ن ن‬
‫ضىَّ ع‬
‫سكعيِد ر أ د‬
‫قوُ ن‬
‫سوُ ع‬
‫ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫عر ن‬
‫ل ع‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَّ الل د ن‬
‫ل الل دهك ع‬
‫م ن‬
‫ع‬
‫م‬
‫عرأىَ ك‬
‫من نك عررا فعل نيِ نغعيِ ينره ن ب كيِ عد كهك فعإ ك ن‬
‫ن لع ن‬
‫م ن‬
‫من نك ن ن‬
‫ست عط كعن فعب ك ع‬
‫قل نب كهك‬
‫ساَن كهك فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ست عط كعن فعب كل ك ع‬
‫يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ك أع‬
‫‪21‬‬
‫ن‬
‫وعذ عل ك ع‬
‫ن‪.‬‬
‫ماَ‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ك‬
‫‪Artinya:‬‬
‫‪Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah‬‬
‫‪telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan. (dalam‬‬
‫‪riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami‬‬
‫‪Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami‬‬
‫‪Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah‬‬
‫‪keduanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dan ini‬‬
‫‪21Abu> al-H{usaini Muslim ibn H{ajja>j al-Qusyairi> al-Naisabu>ri>,‬‬
‫‪Shah}ih} Muslim, juz 1 (Beirut: Da>r al-Ji>l, t.th.), h. 69. Selanjutnya disebut‬‬
‫‪Ima>m Muslim.‬‬

16

adalah Hadis Abu Bakar, “Orang pertama yang berkhutbah
pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah
Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya,
“Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca
khutbah.” Marwan menjawab, “Sungguh, apa yang ada dalam
khutbah sudah banyak ditinggalkan.” Kemudian Abu Said
berkata, “Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan)
sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.,
bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran
hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya.
jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika
tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan
hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”
2. Takhri>j al-H{adis\
Takhri>j menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang
paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja yang
artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah,
dan

kelihatan.

Demikian

juga

kata

Al-ikhra>j

yang

artinya

menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang dengan
menjelaskan tempat keluarnya.22 Sedangkan takhrij secara istilah
adalah:

ِ‫ث كفي‬
‫عالت د ن‬
‫ج هنوُععالد يل عل ع ن‬
‫حد كيِ ن ك‬
‫موُن ك‬
‫ضكع نال ع‬
‫خركيِ ن ن‬
‫ة ع ععلىَّ ع‬
‫مصاَدره ا نل عصل كيِة ال دت كيِ أ ع‬
‫ن‬
َ‫يِا‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ه‬
‫د‬
‫ن‬
‫س‬
‫ه‬
‫ت‬
‫ج‬
‫ر‬
‫خ‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن د ك‬
‫ع ع ك ك ك‬
‫ع ع ن ع ن ن كعع ك‬
‫ن‬
. ‫جة ك‬
‫معرت عب عت كهك ك‬
‫حاَ ع‬
‫دا ع‬
‫عن ن ع‬
‫ع‬

Artinya:
Takhri>j adalah petunjuk untuk mengetahui tempat hadi>s\\\\\
yang terdapat dalam sumber aslinya dengan mengeluarkan
sanad serta menjelaskan martabatnya sesuai keperluan.23

22Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hi>s\ Fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s\
yang
diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Cet. I;
Pustaka al-Kautsar: Jakarta Timur, 2005), h. 189.

17

Adapun kata al-H{adij al-h}adi>s\ menurut para ulama
hadis:
a. Menurut Ibn al-S{ala>h{ Takhrij adalah
dan menjelaskan

“Mengeluarkan hadis

kepada orang lain dengan menyebutkan

mukharrij (penyusun kitab hadis sumbernya)”.24
b. Menurut Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, takhri>j pada dasarnya
mempertemukan dua perkara yang berlawanan dalam satu
bentuk.25
c. Mengemukakan hadis

berdasarkan sumbernya atau berbagai

sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang didalamnya disertakan
metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing serta
diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.26

23Mah}mu>d al-T}ah}h}a>n. Us}u>l al-Takhri>j
Asa>ni>d (Riya>d{: Maktabah Rasyad}, t.th.) h. 12.

wa

Dira>sah

al-

24Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Syaira>zi> Ibn alS}ala>h}, ‘Ulu>m al-H}adi>s\
(Cet. II; al-Madi>nah al-Munawwarah: alMaktabah al-‘Ilmiyah, 1973 M), h. 228. Selanjutnya disebut Ibnu S{alah}.

25Mah}mu>d al-T}ah}h}a>n, Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah alAsa>ni>d (Cet. III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M), hal. 7.
Lihat juga Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r alFikr, 1989), h. 27.
26Abustani Ilyas dan Ode Ismail Ahmad, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Cet
II, Zadahanifa Publishing: Surakarta, 2013), h. 115.

18

d. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadis yang tidak
diterangkan

oleh penyusun atau pengarang suatu kitab.

Misalnya:
1) Takhri>j Aha>dis\ al-Kasysya>f, Karya Jamaluddin Al-Hanafi
adalah suatu kitab yang mengusahakan dan menerangkan
derajat hadis yang terdapat di dalam kitab

Tafsir Al-

Kasysya>f, yang oleh pengarangnya tidak diterangkan derajat
hadisnya, apakah shahih, hasan, atau lainnya.
2) Al-Mugni> ‘An Hamli al-Asfa>r, karya Abdurrahim Al-‘Ira>q>,
adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadis yang
terdapat dalam Ihya> Ulu>m al-Di>n karya Al-Ghazali.27
Kata takhri>j dapat pula diartikan dalam beberapa arti, dan
paling popular adalah al-Istimba>t} (mengeluarkan), al-Tadri>b
(meneliti,

melatih),

al-Tauji>h

(menerangkan

atau

menghadapkan).28
Dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Takhrij al-H}adi>s\ adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber
aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan
menjelaskan derajatnya.29

27Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka
Setia, (t.th)), h. 132.
28M. Syuhudi Ismail, Metodologie Penilitian H}adi>s\ Nabi (Cet.1; Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 41.
29Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Cet. VI; Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 189.

19

Ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhri>j
hadi>s\ yaitu untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan
diteliti, mengetahui seluruh riwayat hadis akan diteliti dan untuk
mengetahui apakah ada syahid atau mutabi’.30
1. Manfaat Takhri>j
Manfaat takhrij secara umum banyak sekali di antaranya:
a. Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dari
suatu hadis beserta ulama’ yang meriwayatkannya.
b. Menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab
yang ditunjukinya.
c. Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah
munqati’ atau lainnya.
d. Memperjelas perawi hadis yang samar karena dengan adanya
Takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara
lengkap.
e. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan
dengan lafaz| dan yang dilakukan dengan makna saja.31
Adapun potongan lafadz h}adi>s\ yang akan dikaji oleh
peneliti adalah:

‫ع‬
.‫ه‬
‫من نك عررا فعل نيِ نغعيِ ينره ن ب كيِ عد ك ك‬
‫ن عرأىَ ن‬
‫ع‬
‫م ن‬

30Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi
Ciputat: MMCC, 2005), h. 66- 68.

(Cet. II;

31Mah}mu>d al-T{ah{h{a>n, Us{u>l al-Takhri>j Wa Dira>sa>t alAsa>ni>d (Beiru>t: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1978), h. 9.

‫‪20‬‬

‫‪Metode dengan menggunakan lafal pertama matan hadis.‬‬
‫‪Pada metode ini, penulis menggunakan kitab Mu}jam Mufakh}ras‬‬
‫‪dan menemukan petunjuk sebagai berikut. H}adi>s\ di bawah‬‬
‫>‪dinukil dari kitab Ziya>dah Jami‘, dikeluarkan oleh Muslim, Abu‬‬
‫‪D{a>wu>d, Imam Nasa>’i>, dan Ibnu Ma>jah dan Imam al‬‬‫‪Tur}mu>z}i>. Dan hadis di bawah berstatus s}ah}i>h}. Demikian‬‬
‫‪yang tercantum dalam Kitab al-Fath} al-Kabi>r.‬‬

‫حدث عناَ أ ع‬
‫ن‬
‫ن أ عكبيِ ع‬
‫ع‪ٌ،‬‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ك‬
‫ب‬
‫بوُ‬
‫شيِ نب ع ع‬
‫حد دث ععناَ وع ك‬
‫ع د ع‬
‫كيِ ع‬
‫ة‪ ٌ،‬ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ك ن‬
‫مث عدنىَّ‪ٌ،‬‬
‫س ن‬
‫م ع‬
‫ن‪ ٌ،‬ح وع ع‬
‫فعيِاَ ع‬
‫ن ن‬
‫ن ال ن ن‬
‫ح د‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫عع ن‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫ماَ‪ٌ،‬‬
‫جع ن ع‬
‫شعنب ع ن‬
‫ر‪ ٌ،‬ع‬
‫ن ع‬
‫م ع‬
‫ع‬
‫ة ك كعلهن ع‬
‫ح د‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫ف ر‬
‫ن ع‬
‫ب‬
‫طاَر‬
‫سل ك‬
‫ن ك‬
‫ق بن‬
‫س بن‬
‫ن قعيِ ن‬
‫م ن‬
‫ن ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫م‪ ٌ،‬ع ع ن‬
‫عع ن‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ر‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ل من بدأ ع‬
‫ث أ عبيِ بك نر ‪ -‬عقاَ ع ع‬
‫ وعهع ع‬‫ح ك‬
‫ل‪ :‬أود ن ع ن ع ع‬
‫ذا ع‬
‫ديِ ن ك ع ر‬
‫م ال نكعيِد ك قعب ن ع‬
‫ن‪.‬‬
‫كباَل ن ن‬
‫منرعوا ن‬
‫خط نب عةك يِ عوُن ع‬
‫صعلةك ع‬
‫ل ال د‬
‫صعلة ن قعب ن ع‬
‫قاَ ع‬
‫ج ع‬
‫ة‪ٌ،‬‬
‫ل‪ ٌ،‬فع ع‬
‫فع ع‬
‫ل ال ن ن‬
‫خط نب ع ك‬
‫م إ كل عيِ نهك عر ن‬
‫قاَ ع‬
‫ل‪ :‬ال د‬
‫قاَ ع ع‬
‫ماَ هنعناَل ك ع‬
‫ل‪ :‬قعد ن ت نرك ع‬
‫قاَ ع‬
‫د‪:‬‬
‫ك‪ ٌ،‬فع ع‬
‫فع ع‬
‫سكعيِ ر‬
‫ل أنبوُ ع‬
‫ك ع‬
‫ع‬
‫سوُ ع‬
‫ماَ هع ع‬
‫ل‬
‫ذا فع ع‬
‫س ك‬
‫قد ن ق ع ع‬
‫ت عر ن‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك ع‬
‫مع ن ن‬
‫ضىَّ ع‬
‫أ د‬
‫قوُ ن‬
‫ن عرعأىَ‬
‫م يِ ع ن‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫ل‪ » :‬ع‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَّ الل ن‬
‫اللهك ع‬
‫م ن‬
‫من نك عررا فعل نيِ نغعيِ ينره ن ب كيِ عد ك ك‬
‫ك‬
‫ست عط كعن‬
‫ه‪ ٌ،‬فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫م ن‬
‫من نك ن ن‬
‫ه‪ ٌ،‬وعذ عل ك ع‬
‫ك‬
‫ست عط كعن فعب ك ع‬
‫قل نب ك ك‬
‫ساَن ك ك‬
‫ه‪ ٌ،‬فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫فعب كل ك ع‬
‫ن لع ن‬
‫أع‬
‫ن‬
‫ن«ِ‪.‬‬
‫ماَ‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ك‬
‫‪atas‬‬

‫‪di‬‬

‫‪lafal‬‬

‫‪dengang‬‬

‫‪Iman‬‬

‫‪kelemahan‬‬

‫‪tentang‬‬

‫‪Hadis‬‬

‫‪ditemukan pada kitab Sah}i>h} Muslim, Juz I halaman, 69, juga‬‬

21

terdapat pada juz I halaman 70, dalam kitab Sunan Ibnu Majah
ditemukan sebanyak dua riwayat yang dimana terdapat pada Juz I
halaman 406, juga pada Juz 2 halaman 1330, sedangkan dalam
kitab Sunan an-Nasa>I ditemukan sebanyak 2 riwayat yang
terdapat pada Juz 8 halama 111, juga pada juz 2 halama 112, dan
pada kitab Sunan al-Tizmizi ditemukan sebannyak 1 riwayat yang
terdapat pada Juz. 4 halaman 39, dan pada kitab Sunan Abi
Da>wud terdapat pada Juz I halam 296, dan Juz 4 halaman 123,
yang terakhir ditemukan pada musnad Ahmad sebanyak 6 riwayat
pertama pada Juz 17 halama 127, juga pada Juz 17 halama 223, dan
pada Juz 18 halaman 42, juga pada Juz 18 halaman 67, Juz 18
halaman 78-79, Juz 18 halaman 378.
3. Struktur Sanad dan Redaksi Matan
Setelah melakukan penelusuran pada kitab matan hadis
dengan dibatasi pada

Kitab Sembilan Imam (Kutubu al-Tis‘ah)

berdasarkan petunjuk dari kitab-kitab takhri>j, peneliti menemukan
15 riwayat. Adapun rinciannya sebagai berikut:
a. Musnad Ah}mad Ibn H{anba>l

‫ حدث عناَ أ ع‬
‫حد دث ععناَ انل ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ش‬
‫م‬
‫ع‬
‫ة‬
ِ‫ي‬
‫و‬
َ‫عا‬
‫م‬
ُ‫بو‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع د ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ل بن رجاَرء ع عن أ ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ب‬
‫س‬
ِ‫ي‬
‫ق‬
‫ن‬
‫ع‬
‫و‬
‫ه‬
ِ‫بي‬
‫ع‬
‫ماَ ك‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ن‬
‫عيِ ع ن ك ع ع‬
‫إك ن‬
‫ن ك‬
‫س ع‬
‫ع ن‬
‫ك ك‬
‫ن ع‬
‫ن‬
‫طاَر‬
‫ن ك‬
‫ق بن‬
‫م ن‬
‫ب ك كعلهن ع‬
‫ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫ماَ ع ع ن‬
‫سل كم ر ع ع ن‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ع‬
‫أع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ج‬
‫ر‬
‫خ‬
‫أ‬
‫ل‬
َ‫قا‬
‫ي‬
‫ر‬
‫د‬
‫خ‬
‫ل‬
‫ا‬
‫د‬
ِ‫عي‬
‫س‬
ِ‫بي‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ر‬
‫منرعوا ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ع‬
‫ك ي‬
‫ن يِ ن ن‬
‫من نب ععر كفيِ يِ عوُنم ك ك‬
‫ج ب كهك‬
‫ال ن ك‬
‫خعر ن‬
‫عيِد ر وعل ع ن‬
‫م يِ عك ن ن‬

‫‪22‬‬

‫ل الصعلة ول عم يِك نن يِبدأ ن‬
‫خط نب عةك قعب ن ع‬
‫وعب عد عأ ع كباَل ن ن‬
‫د ك ع ن ع ن نن ع‬
‫قاَ ع‬
‫ب كعهاَ عقاَ ع‬
‫ت‬
‫خاَل ع ن‬
‫ل فع ع‬
‫ل فع ع‬
‫ن ع‬
‫منرعوا ن‬
‫م عر ن‬
‫قاَ ع‬
‫ف ع‬
‫ل عيِاَ ع‬
‫ج ر‬
‫ة أع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ك‬
‫يِ‬
‫م‬
‫ل‬
‫و‬
‫د‬
‫عيِ‬
‫م‬
‫وُ‬
‫يِ‬
‫ر‬
‫ب‬
‫ن‬
‫م‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ت‬
‫ج‬
‫ر‬
‫خ‬
‫ن‬
‫ك‬
‫سن د ع‬
‫ر‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ال س‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ت كباَل ن ن‬
‫يِ ن ن‬
‫ج ب كهك كفيِ يِ عوُنم ك ك‬
‫خط نب عةك‬
‫خعر ن‬
‫عيِد ر وعب عد عأ ع‬
‫قاَ ع‬
‫ن يِ نب ند عأ ن ب كعهاَ عقاَ ع‬
‫قعب ن ع‬
‫ل‬
‫ل فع ع‬
‫صعلةك وعل ع ن‬
‫ل ال د‬
‫م يِ عك ن ن‬
‫أع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ف‬
‫لوُا‬
‫قاَ‬
‫ذا‬
‫ه‬
‫ن‬
‫م‬
‫ي‬
‫ر‬
‫د‬
‫خ‬
‫ل‬
‫ا‬
‫د‬
‫عيِ‬
‫س‬
‫بوُ‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ر‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ك س‬
‫ع‬
‫قاَ ع ع‬
‫ن عقاَ ع‬
‫ماَ هع ع‬
‫ذا فع ع‬
‫ل فع ع‬
‫قد ن‬
‫ل أنبوُ ع‬
‫سكعيِد ر أ د‬
‫فنعل ر‬
‫سوُ ع‬
‫صدلىَّ‬
‫س ك‬
‫قع ع‬
‫ت عر ن‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك ع‬
‫مع ن ن‬
‫ضىَّ ع‬
‫ل الل دهك ع‬
‫ع‬
‫قوُ ن‬
‫م‬
‫م يِ ع ن‬
‫ن عرأىَ ك‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫من نك ن ن‬
‫ل ع‬
‫سل د ع‬
‫الل د ن‬
‫م ن‬
‫ع‬
‫ست ع ع‬
‫فع ع ن‬
‫ل‬
‫ن يِ نغعيِ يعره ن ب كيِ عد كهك فعل نيِ ع ن‬
‫طاَع ع أ ن‬
‫من نك عررا فعإ ك ن‬
‫نا ن‬
‫ن‬
‫وععقاَ ع‬
‫ست عط كعن‬
‫مدرة ر فعل نيِ نغعيِ ينره ن ب كيِ عد كهك فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ل ع‬
‫ساَن كهك‬
‫ساَن كهك فعإ ك ن‬
‫ست عط كعن ب كل ك ع‬
‫م يِ ع ن‬
‫ب كيِ عد كهك فعب كل ك ع‬
‫ن لع ن‬
‫ك أع‬
‫‪32‬‬
‫ن‬
‫قل نب كهك وعذ عل ك ع‬
‫ن‪.‬‬
‫ماَ‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫فعب ك ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ك‬
‫‪ ‬حدث عناَ يِزيِد أ ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ب‬
‫س‬
‫يِ‬
‫ق‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ة‬
‫ب‬
‫ع‬
‫ش‬
‫نيِ‬
‫ر‬
‫ب‬
‫خ‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع د ع ع ك ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ك ك‬
‫ن ع‬
‫ب عقاَ ع‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ق‬
‫ر‬
‫طاَ‬
‫ل ع‬
‫ن ك‬
‫خط ع ع‬
‫ن‬
‫م ن‬
‫ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫سل كم ر ع ع ن‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ن قعب ن ع‬
‫م‬
‫صعلةك كفيِ يِ عوُنم ك ال نكعيِد ك فع ع‬
‫منرعوا ن‬
‫قاَ ع‬
‫ع‬
‫ل ال د‬
‫ماَ ع‬
‫صعلة ن قعب ن ع‬
‫قاَ ع‬
‫ج ع‬
‫ل فع ع‬
‫ل ال ن ن‬
‫خط نب عةك‬
‫عر ن‬
‫كاَن ع ن‬
‫ل إ كن د ع‬
‫ت ال د‬
‫قاَم أ ع‬
‫ك يِاَ أ ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫قاَ ع‬
‫بوُ‬
‫ع‬
‫ف‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ف‬
‫باَ‬
‫فع ع‬
‫سكعيِد ر‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ل ت ععرىَ ذ عل ك ع ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ر‬
‫ل أع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ضىَّ‬
‫ق‬
‫د‬
‫ع‬
‫ق‬
‫ف‬
‫ذا‬
‫ه‬
‫ماَ‬
‫خد نركيس فع ع‬
‫ال ن ن‬
‫ع‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫قاَ ع د‬
‫‪32Abu> ‘Abdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn H{anba>l, Musnad Ah}mad‬‬
‫‪Ibn H{anba>l, juz 3 (Cet. I; Beirut: A>lam al-Kutub, 1998), h. 10. Selanjutnya‬‬
‫‪disebut Ibn H{anba>l.‬‬

‫‪23‬‬

‫سوُ ع‬
‫م‬
‫س ك‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫ت عر ن‬
‫ع‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَّ الل د ن‬
‫مع ن ن‬
‫ل الل دهك ع‬
‫ع‬
‫قوُ ن‬
‫م‬
‫يِ ع ن‬
‫من نك عررا فعل نيِ نغعيِ ينره ن ب كيِ عد كهك فعإ ك ن‬
‫ن لع ن‬
‫ن عرأىَ ن‬
‫ل ع‬
‫م ن‬
‫ست عط كعن فعب ك ع‬
‫قل نب كهك‬
‫ساَن كهك فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ست عط كعن فعب كل ك ع‬
‫يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ك أع‬
‫‪33‬‬
‫ن‬
‫وعذ عل ك ع‬
‫ن‪.‬‬
‫ماَ‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ن‬
‫س ن‬
‫فعيِاَ ن‬
‫ن ع‬
‫حد دث ععناَ ع عب ند ن الدر ن‬
‫‪ ‬ع‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫ح ع‬
‫ن عع ن‬
‫م ك‬
‫ن ع‬
‫ب‬
‫ن ك‬
‫م ن‬
‫ن ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫سل كم ر ع ع ن‬
‫طاَرك ك‬
‫ق بن ك‬
‫س ع بن ك‬
‫قعيِ ن ك‬
‫ة قعب ن ع‬
‫ل أود ن‬
‫عقاَ ع‬
‫م ال ن ن‬
‫خط نب ع ع‬
‫صعلةك‬
‫ن قعد د ع‬
‫ل ع‬
‫ل ال د‬
‫م ن‬
‫قاَ ع‬
‫ج ع‬
‫ت‬
‫خاَل ع ن‬
‫ل فع ع‬
‫ن فع ع‬
‫ن ع‬
‫منرعوا ن‬
‫م عر ن‬
‫منرعوا ن‬
‫قاَ ع‬
‫ف ع‬
‫ل عيِاَ ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ماَ هنعناَ ع‬
‫ل ت نرك ع‬
‫قاَ ع‬
‫ة عقاَ ع‬
‫ل‬
‫ن فع ع‬
‫سن د ع‬
‫ال س‬
‫ك ع‬
‫ك عيِاَ أعباَ فنعل ر‬
‫أ عبوُ سكعيِد أ ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ضىَّ‬
‫ق‬
‫د‬
‫ع‬
‫ق‬
‫ف‬
‫ذا‬
‫ه‬
‫ماَ‬
‫ع‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع ر د‬
‫سوُ ع‬
‫م‬
‫س ك‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫ت عر ن‬
‫ع‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَّ الل د ن‬
‫مع ن ن‬
‫ل الل دهك ع‬
‫ع‬
‫قوُ ن‬
‫يِ ع ن‬
‫من نك عررا فعل نيِ نغعيِ ينره ن ب كيِ عد كهك‬
‫ن عرأىَ ك‬
‫م ن‬
‫من نك ن ن‬
‫ل ع‬
‫م ن‬
‫ست عط كعن‬
‫ساَن كهك فعإ ك ن‬
‫فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ست عط كعن فعب كل ك ع‬
‫م يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ك أع‬
‫‪34‬‬
‫ن‬
‫قل نب كهك وعذ عل ك ع‬
‫ن‪.‬‬
‫ماَ‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫فعب ك ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ك ع ك‬
‫حد دث ععناَ انل ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ش‬
‫م‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن ع نب عيِ ند ر ع‬
‫م ع‬
‫‪ ‬ع‬
‫ح د‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫ع ن‬
‫ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫ل أع‬
‫ل بن رجاَرء ع عن أ ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫م‬
‫ل‬
‫و‬
‫قاَ‬
‫ه‬
‫بيِ‬
‫ماَ ك‬
‫ك‬
‫عيِ ع ن ك ع ع‬
‫إك ن‬
‫ع‬
‫ك‬
‫س ع‬
‫ن‬
‫د‬
‫ن‬
‫ن وعأ عود ن‬
‫ن‬
‫أع ن‬
‫ج ال ن ك‬
‫منرعوا ن‬
‫خعر ع‬
‫من نب ععر يِ عوُن ع‬
‫ل ع‬
‫م ال نكعيِد ك ع‬
‫م ن‬
‫قاَ ع‬
‫ج ع‬
‫خط نب عةك قعب ن ع‬
‫ل‬
‫ل فع ع‬
‫صعلةك فع ع‬
‫ب عد عأ ع كباَل ن ن‬
‫م عر ن‬
‫قاَ ع‬
‫ل ال د‬
‫من نب ععر‬
‫خاَل ع ن‬
‫ة أع ن‬
‫ن ع‬
‫سن د ع‬
‫ت ال ن ك‬
‫خعر ن‬
‫منرعوا ن‬
‫ت ال س‬
‫ج ع‬
‫ف ع‬
‫عيِاَ ع‬
‫‪33Ibn H{anba>l, Musnad Ah}mad Ibn H{anba>l, juz 3, h. 20.‬‬
‫‪34Ibn H{anba>l, Musnad Ah}mad Ibn H{anba>l, juz 3, h. 49.‬‬

‫‪24‬‬

‫خرج وبدأ ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ال‬
‫ل‬
‫ب‬
‫ق‬
‫ة‬
‫ب‬
‫ط‬
‫خ‬
‫ل‬
‫باَ‬
‫ت‬
‫ن‬
‫صعلةك‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ك يِ ن ن ع ن ع ع ع‬
‫ك‬
‫ع‬
‫وعل ع ن‬
‫د‬
‫ل أع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫عقاَ ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ف‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ف‬
‫لوُا‬
‫قاَ‬
‫ذا‬
‫ه‬
‫ن‬
‫م‬
‫د‬
‫عيِ‬
‫س‬
‫بوُ‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ر‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ر‬
‫ن‬
‫ن‬
‫عقاَ ع ع‬
‫ماَ هع ع‬
‫ت‬
‫ذا فع ع‬
‫س ك‬
‫قد ن ق ع ع‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك ع‬
‫مع ن ن‬
‫ضىَّ ع‬
‫لأ د‬
‫قوُ ن‬
‫سوُ ع‬
‫ل‬
‫م يِ ع ن‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫عر ن‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَّ الل د ن‬
‫ل الل دهك ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ست ع ع‬
‫طاَع ع أ ن‬
‫من نك عررا فعإ ك ن‬
‫نا ن‬
‫ن يِ نغعيِ يعره ن‬
‫ن عرأىَ ن‬
‫ع‬
‫م ن‬
‫م‬
‫ساَن كهك فعإ ك ن‬
‫ب كيِ عد كهك فعإ ك ن‬
‫ست عط كعن فعب كل ك ع‬
‫م يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ك أع‬
‫‪35‬‬
‫ن‬
‫قل نب كهك وعذ عل ك ع‬
‫ن‪.‬‬
‫ماَ‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫ست عط كعن فعب ك ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫يِ ع ن‬
‫ع‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ن‬
‫س ن‬
‫حد دث ععناَ وع ك‬
‫فعيِاَ ن‬
‫كيِعع ع‬
‫‪ ‬ع‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫ن عع ن‬
‫س بن ك‬
‫ن قعيِ ن ك‬
‫ل أع‬
‫ن ع‬
‫ن‬
‫ن‬
‫م‬
‫ل‬
‫و‬
‫ن ك‬
‫م ن‬
‫ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫ع ن‬
‫ب عقاَ ع د‬
‫سل كم ر ع ع ن‬
‫طاَرك ك‬
‫ق بن ك‬
‫ع‬
‫عيِد ر قعب ن ع‬
‫ن‬
‫ب عد عأ كباَل ن ن‬
‫م ك‬
‫منرعوا ن‬
‫خط نب عةك يِ عوُن ع‬
‫صعلةك ع‬
‫ل ال د‬
‫قاَ ع‬
‫ج ع‬
‫ل فع ع‬
‫حك عم ك فع ع‬
‫صعلة ن‬
‫م إ كل عيِ نهك عر ن‬
‫ن ال ن ع‬
‫قاَ ع‬
‫ل ال د‬
‫بن ن‬
‫ماَ هنعناَل ك ع‬
‫ن ت نرك ع‬
‫قاَ ع‬
‫قعب ن ع‬
‫ك‬
‫خط نب عةك فع ع‬
‫ل ال ن ن‬
‫منرعوا ن‬
‫ك ع‬
‫ل ع‬
‫خدري أ ع‬
‫ل أع‬
‫أع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ماَ هع ع‬
‫ذا‬
‫ل‬
‫ا‬
‫د‬
‫عيِ‬
‫س‬
‫بوُ‬
‫قاَ‬
‫ع‬
‫ف‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ف‬
‫باَ‬
‫ن‬
‫ك‬
‫ر‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ك س د‬
‫ر‬
‫سوُ ع‬
‫فع ع‬
‫ل الل دهك‬
‫س ك‬
‫قد ن ق ع ع‬
‫ت عر ن‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك ع‬
‫معن ن‬
‫ضىَّ ع‬
‫قوُ ن‬
‫ن عرعأىَ‬
‫م يِ ع ن‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫ل ع‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَّ الل د ن‬
‫ع‬
‫م ن‬
‫ك‬
‫ست عط كعن‬
‫من نك عررا فعل نيِ نغعيِ ينره ن ب كيِ عد كهك فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫م ن‬
‫من نك ن ن‬
‫قل نب كهك وعذ عل ك ع‬
‫ك‬
‫ست عط كعن فعب ك ع‬
‫ساَن كهك فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫فعب كل ك ع‬
‫ن لع ن‬
‫أع‬
‫‪36‬‬
‫ن‬
‫ن‪.‬‬
‫ماَ‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ك ع ك‬
‫‪35Ibn H{anba>l, Musnad Ah}mad Ibn H{anba>l, juz 3, h. 52.‬‬
‫‪36Ibn H{anba>l, Musnad Ah}mad Ibn H{anba>l, juz 3, h. 54.‬‬

‫‪25‬‬

‫حد دث ععناَ ن‬
‫ن‬
‫جع ن ع‬
‫شعنب ع ن‬
‫فرر ع‬
‫ن ع‬
‫م ع‬
‫‪ ‬ع‬
‫ح د‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫ة عع ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫ع‬
‫ن ع‬
‫ن‬
‫ن ك‬
‫بأ د‬
‫م ن‬
‫ن ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫سل كم ر ع ع ن‬
‫طاَرك ك‬
‫ق بن ك‬
‫س بن ك‬
‫قعيِ ن ك‬
‫ج ع‬
‫قاَ ع‬
‫ب قعب ن ع‬
‫ل‬
‫صعلةك فع ع‬
‫ن ع‬
‫ه عر ن‬
‫خط ع ع‬
‫منرعوا ع‬
‫ل لع ن‬
‫ع‬
‫ل ال د‬
‫ن ت نرك ع‬
‫قاَ ع‬
‫صعلة ن قعب ن ع‬
‫ك‬
‫خط نب عةك فع ع‬
‫ل ال ن ن‬
‫منرعوا ن‬
‫ه ع‬
‫ل لع ن‬
‫ال د‬
‫ل أ عبوُ سكعيِد أ ع‬
‫ك يِاَ أ ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ماَ هع ع‬
‫ع‬
‫ذا‬
‫قاَ‬
‫ع‬
‫ف‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ف‬
‫باَ‬
‫ر‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ذا ع ع‬
‫ع‬
‫د‬
‫ر‬
‫سوُ ن‬
‫ماَ ع عل عيِ نهك عقاَ ع‬
‫فع ع‬
‫ل الل دهك‬
‫قد ن ق ع ع‬
‫ل ل ععناَ عر ن‬
‫ضىَّ ع‬
‫ع‬
‫من نك نن‬
‫م‬
‫ن عرأىَ ك‬
‫ه ع عل عيِ نهك وع ع‬
‫م ع‬
‫سل د ع‬
‫صدلىَّ الل د ن‬
‫ع‬
‫م ن‬
‫ست عط كعن‬
‫من نك عررا فعل نيِ نن نك كنره ن ب كيِ عد كهك فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫ن لع ن‬
‫ن‬
‫ذا ع‬
‫قل نب كهك وع ع‬
‫ك‬
‫ست عط كعن فعب ك ع‬
‫ساَن كهك فعإ ك ن‬
‫م يِ ع ن‬
‫فعب كل ك ع‬
‫ن لع ن‬
‫أع‬
‫‪37‬‬
‫ن‬
‫ماَن‪.‬‬
‫ليِ‬
‫ا‬
‫ف‬
‫ع‬
‫ض‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ك ع‬
‫‪b. Imam Muslim‬‬
‫‪ ‬حدث عناَ أ ع‬
‫ن‬
‫ن أ عكبيِ ع‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ك‬
‫ب‬
‫بوُ‬
‫شيِ نب ع ع‬
‫حد دث ععناَ وع ك‬
‫ع د ع‬
‫كيِعع‬
‫ة ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ك ن‬
‫مث عدنىَّ‬
‫س ن‬
‫م ع‬
‫نحو ع‬
‫فعيِاَ ع‬
‫ن ن‬
‫ن ال ن ن‬
‫ح د‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫عع ن‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫ماَ‬
‫جع ن ع‬
‫شعنب ع ن‬
‫فرر ع‬
‫ن ع‬
‫م ع‬
‫ع‬
‫ة ك كعلهن ع‬
‫ح د‬
‫حد دث ععناَ ن‬
‫مد ن ب ن ن‬
‫ن ع‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ق‬
‫ر‬
‫طاَ‬
‫ن ك‬
‫ن‬
‫س بن‬
‫ن قعيِ ن‬
‫م ن‬
‫ن ن‬
‫شعهاَ ر‬
‫سل كم ر ع ع ن‬
‫عع ن‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك‬
‫ك�