PERLAKUAN KORBAN DAN TERSANGKA DALAM HUB

PERLAKUAN KORBAN DAN TERSANGKA DALAM HUBUNGAN
TINDAK PIDANA YANG DITINJAU LANGSUNG DARI HAK ASASI
MANUSIA
TUGAS KULIAH : KEBIJAKAN KRIMINAL

DISUSUN OLEH
SIGIT ATMO ARWENDO, S.STP
NIM : 091414453005

PROGRAM STUDI
MAGISTER SAINS HUKUM DAN PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
TA 2014/2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum dengan tegas telah mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang
bersifat lahiriyah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan
antara kepentingan para warga masyarakat. Dengan demikian hukum mempunyai
sifat memaksa dan mengikat, walaupun unsur paksaan bukanlah merupakan unsur

yang terpenting dalam hukum, sebab tidak semua perbuatan atau larangan dapat
dipaksakan. Dalam hal ini, memaksakan diartikan sebagai suatu perintah yang ada
sanksinya apabila tidak ditaati, dan sanksi tersebut berwujud sebagai suatu
penderitaan yang dapat memberikan penjeraan bagi si pelanggar hukum.
Di dalam suatu negara hukum atau Rule of law sesungguhnya mempunyai
sendi-sendi yang sifatnya universal dan bahkan cukup fundamental, seperti
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, adanya aturan hukum yang
mengatur tindakan negara atau pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal ini tentunya,
akan membawa konsekuensi pada hukum pidana khususnya.1
Negara Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara, memerlukan
adanya hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, sehingga segala bentuk
kejahatan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan adanya hukum dapat
menghindarkan pelanggaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun
penegak hukum itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum
yang dapat dipergunakan oleh negara Indonesia dalam mengatur tatanan
kehidupan dalam masyarakat.
Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan
pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan tidak

dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut
1 Djoko Prakoso.Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP,Jakarta: Ghalia Indonesia,1984, halaman. 51

sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Dalam melindungi hak
warga negara dan menciptakan proses hukum yang adil mencakup sekurangkurangnya :2
a. Perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara;
b. Pengadilan yang berhak menentukan salah tidaknya tersangka/terdakwa;
c. Sidang Pengadilan harus terbuka untuk umum (tidak boleh bersifat
rahasia);
d. Tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat
membela diri sepenuhnya.
Konsep negara berdasarkan hukum di Indonesia mengandung prinsipprinsip yang mencakup unsur-unsur perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM),
pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada
peraturan Undang-Undang dan adanya peradilan administrasi yang berdiri
sendiri.3
Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
(HAM), penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM)
dan kewajiban warga negara untuk keadilan tidak boleh diabaikan oleh setiap
warga negara, penyelenggara negara, lembaga negara dan lembaga
kemasyarakatan di pusat dan di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan

dengan hukum acara pidana.
Termasuk korban kejahatan dan tersangka/terdakwa, dimana mereka
berdua juga mendapatkan hak asasi manusia yang harus diberikan oleh hukum
dalam menyidik. Seperti korban kejahan mendapatkan hak seperti keamanan,
keselamatan dan rahasia korban oleh pihak penyidik harus bisa menjaganya agar
tidak di interprendesi agar tidak mendapat ancaman dari pihak luar.
Sedangkan tersangka adapun asas yang mengatur tentang perlindungan
terhadap hak asasi atau keluhuran harkat dan martabat manusia telah
2 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan
dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : ALUMNI. 2003. Hal 32

3 Kusnardi Moh dan Ibrahim Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Sastra Hudaya, 1983. Hal
156

dituangkan/diaturan dalam KUHAP dan dijabarkan menjadi 10 asas sebagai
berikut :
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan
b. Penagkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang dibari wewenang oleh

Undang-Unadang
c.

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau
dihadapkan di muka hukum sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

d. Keadan seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadilin tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan
mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan wajib diberikan ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidik dan para pejabat penegak
hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas
hukum tersebut dilarang, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukum
adminitrasi.
e. Peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara kosenkuen dalam
seluruh tingkat peradilan.
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk

melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penagkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberikan haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan meminta batuan penasehat hukum
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa
i. Sideng pemeriksaan pengadilan adalah sidang terbuka untuk umum
kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang

j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik
unuk melakukan penulisan makalah ilmiah ini dengan judul “Perlakuan Korban
Dan Tersangka Dalam Hubungan Tindak Pidana Yang Ditinjau Langsung
Dari Hak Asasi Manusia”
1.2. Masalah Pokok
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi
pokok dalam makalah ilmiah ini adalah :
1. Apakah hak-hak yang dimiliki tersangka dan terdakwa dalam hak asasi
manusia

2. Apakah ada pelindungan bagi saksi dan korban kejahatan dalam hakhaknya dalam ringkup hak asasi manusia

BAB 2

PENDAHULUAN
2.1. Hak Tersangka Dan Terdakwah
Semenjak tergulingnya Orde Baru dan bergantinya era perubahan atau
yang sering dikenal dengan Reformasi pada tahun 1998 dan serta berganti
Demokrasi pada tahun 2000 di Indonesia, membuat masyarakat bebas
berpendapat dan pemerintah wajib menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
dinegara ini, termasuk hak dari pelaku (tersangka dan terdakwah) dari tindak
pelanggaran hukum di Indonesia. Apalagi yang dikatakan negara hukum seperti
Indonesia harus menjunjung tinggi Hak dari setiap tersangka/terdakwa antara
lain:4
1.

Hak Untuk Segera Mendapatkan Pemeriksaan
Tersangka berhak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik
dan selanjutnya segera diajukan kepada penuntut umum dan oleh penuntut
umum segera diajukan ke pengadilan untuk segera diadilkan (pasal 50

KUHAP);
Dalam penjelasan pasal 50 KUHAP diterangkan bahwa diberikan hak
kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan
kemungkinan terkantung-kantungnya nasib seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan
sampai lama tidak mendapatkan pemeriksaan sehingga dirasakan tidak
adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak
wajar.

Untuk mempersiapkan membelaan, tersangka/terdakwah berhak untuk
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa mengerti olehnya tentang apa yang
disangkakan dan didakwakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai
(pasal 51 KUHAP).5
4 HMA Kuffal. Penyerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang ; KDT, 2011 hal. 134
5 Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Pendoman Pelaksanaan KUHAP. Jakarta; DEPKEH, 1982, hal
40

Dalam penjelasaan pasal 51 huruf a KUHAP diterapkan bahwa dengan
diketahui serta dimengerti oleh orang yang disangka melakukan tindakan
pidana tentang perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah dilakukan

olehnya maka ia akan merasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan
persiapan dalam usaha pembelaan.
Dengan demikian ia akan mengetahui berat ringannya sangkaan terhadap
dirinya sehingga selanjutnya ia akan dapat mempertimbangkan pembelaan
yang dibutuhkan, misalnya perlu atau tidaknya ia mengusahakan bantuan
2.

hukum untuk pembelaan itu tersebut.
Hak Memberikan Keterangan Secara Bebas
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka
atau terdakwah berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
atau hakim. Dalam penjelasan pasal 52 KUHAP diterangkan bahwa supaya
pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari yang
sebenarnya maka tersangka atau terdakwah harus dijauhkan dari rasa takut.
Oleh kerena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap
tersangka atau terdakwa. Ketentuan pada pasal 52 KUHAP tersebut
merupakan penjabaran dari asas fair play/kewajaran dalam proses peradilan
(beginsel van fair play in het proses).
Berdasarkan pasal 422 KUHP perbuatana memaksa orang/ tersangka/
terdakwa secara fisik atau psikis untuk memberikan pengakuan/keterangan

diancam dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
Keterangan/pengakuan yang diperoleh secara paksa merupakan
keterangan/ pengakuan yang tidak sah dan karena itu menurut hukum tindak

3.

mempunyai kekuatan pembuktian.
Hak Untuk Mendapatkan Bantuan Juru Bahasa
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidik dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak untuk setiap waktu (waktu jam kerja kantor) mendapatkan
bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 KUHAP. Dan
dalam hal tersangka atau terdakwa bisu atau tuli diberlakuakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada 178 jo pasal 53 KUHAP.
Oleh karena tidak semua tersangka atau terdakwa mengerti bahasa
Indonesia dengan baik, terutama orang asing, sehingga mereka mengerti apa

yang sebenarnya disangkakan/ didakwakan. Untuk itu maka tersangka/
4.

terdakwa berhak mendapatkan bantuan juru bahasa.

Hak Mendapat Bantuan Penasehat Hukum
Guna kepentingan pembelaan, terdakwa/tersangka berhak mendapatkan
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang (pasal 54 KUHAP). Untuk mendapatkan penasihat hukum
tersebut tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya
(pasal 56 KUHAP).
Ketentuan yang diatur dalam pasal 54 dan 55 KUHAP merupakan jaminan
bagi tersangka/terdakwa untuk setiap waktu ia memerlukan bantuan ia berhak
memilih sendiri penasihat hukum sesuai dengan yang ia kehendaki pada
setiap tingkat pemeriksa. Akan tetapi untuk pemeriksaan pada tingkat
penyidik penasehat hukum tersangka belum dapat melakukan pembelaan
seperti yang terjadi pada tingkat pemeriksaan disidang pengadilan, karena
pada pemeriksaan penyidikan Penasehat Hukum hanya dapat mengikuti
jalannya pemeriksaan secara pasif dalam arti hanya boleh mendamping
tersangka dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan (within sight and
within hearing). Dan untuk tidak pidana terhadap keamanan negara Panasehat
Hukum dapat melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap
tersangka within sight but not within hearing (Pasal 115 KUHAP).


5.

Hak Menghubungi Penasehat Hukum
Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi
penasehat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dan bagi
tersangka/terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan
berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam
menghadapi proses perkaranya (pasal 57 KUHAP).
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 71 ayat 1 KUHAP
hubungan tersangka/terdakwa dengan penasehat hukum sesuai dengan tingkat
pemeriksaan diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas LP/RUTAN
tanpa mendengar isi pembicaraannya. Dalam hal kejahatan terhadap
keamanan negara pejabat penegak hukum yang mengawasi hubungan

tersangka/terdakwa dengan penasehat hukum dapat mendengar isi
6.

pembicaraan (pasal 71 ayat 2 KUHAP).
Hak Mendapatkan Kunjungan Dokter Pribadi
Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan
menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik
yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak (pasal 58
KUHAP), serta berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh
pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilannya, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan
tersangka/terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh
tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi
penangguhannya (pasal 59 KUHAP).
Disamping hak tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam pasal 59
KUHAP, berdasarkan pasal 21 ayat 3 KUHAP kepada para pejabat penegak
hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) yang melakukan tindakan
penahanan, diwajibkan mengirim/memberikan tembusan surat perintah/
penetapan penahanan kepada keluarga tersangka/terdakwa dan bagi
tersangka/terdakwa warga negara asing tembusan surat perintah/penetapan
penahanan dikirimkan dialamatkan kepada perwakilan negaranya.

7.

Hak Menerima Kunjungan Keluarga
Menghubungi dan menerima kunjungan keluarga dari pihak yang
mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya guna mendapatkan jaminan
bagi penangguhan penahanan ataupun untuk mendapatkan bantuan hukum.
(pasal 60 KUHAP)
Secara langsung atau melalui perantaran penasehat hukumnya
menghubungi dan menerima kunjungan keluarganya dalam hal yang tidak ada
hubungannya dengan perkara tersangka/terdakwah untuk kepentingan

8.

perkerjaan atau kepentingan kekeluargaan. (pasal 61 KUHAP).
Hak Menerima Dan Mengirim Surat
Tersangka/terdakwa berhak mengirim surat kepada dan menerima surat
dari penasehat hukumnya dan keluarganya setiap diperlukan olehnya, untuk
keperluan itu bagi tersangka/terdakwa disediakan alat tulis menulis.

Surat menyurat antara tersangka/terdakwa dengan penasehat hukumnya
atau keluarganya tidak diperiksa penyidik/ penuntut umum/ hakim atau
pejabat rutan, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat
menyurat itu disalah gunakan
Dalam hal surat menyurat untuk tersangka/terdakwa itu diperiksa oleh
penyidik/ penuntut umum/ hakim/ pejabat rutan , hal ini diberitahu dengan
tersangka/terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya
9.

setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah ditilik” (pasal 62 KUHAP)
Hak Menerima Kunjungan Rohaniwan Dan Diadili Secara Terbuka
Untuk Umum.
 Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari


rohaniwan (pasal 63 KUHAP)
Terdakwa berhak diadali di sidang pengadilan terbuka untuk umum

(pasal 64 KUHAP).
10. Hak Mengajukan Saksi Yang Menguntungkan
Tersangka/terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi
dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna meberikan keterangan
yang menguntungkan bagi dirinya (pasal 65 KUHAP).
Saksi yang diajukan oleh tersangka/terdakwa disebut dalam bahasa Prancis
saksi a de charge yaitu saksi yang meringankan/ menguntungkan
tersangka/terdakwa, sebagai lawan dari saksi a charge yang diajukan oleh
penuntut umum, yaitu saksi yang keterangannya memberatkan/merugikan
tersangka/terdakwa.
Dalam pemeriksaan penyidik keterangan saksi a charge maupun a de
charge oleh penyidik harus dituangkan dalam BAP yang selanjutnya
dihimpun dalam satu berkas perkara hasil penyidik untuk diserang kepada
penuntu umum guna dipertimbangkan apakah telah memenuhi syarat untuk
dilimpahkan ke PN atau dihentikan penuntutannya.
Permintaan tersangka untuk pemeriksaan saksi a de charge dalam praktik
hukum tidak selalu dikabulkan oleh penyidik kalau dinilai dapat menghambat
pemeriksaan dan atau bertentangan dengan asas pemeriksaan cepat, sederhana
dan biaya ringan.
Akan tetapimenurut pasal 160 ayat 1 huruf c KUHAP, dalam hal ada saksi,
baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang

tercantum dalam surat perlimpahan perkara dan atau yang dimintak oleh
terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum selama persidangan
berlangsung atau sebelum dijatuhkannya putusan hakim ketua sidang wajib
mendengarkan keterangan saksi tersebut.
11. Hak Meminta Banding
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama (PN) kecuali terhadap putusan bebas
(vrijspraak), atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechts
vervolging) yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum
dan putusan pengadilan dalam acara cepat (pasal 67 KUHAP).
Berdasarkan pasal 67 KUHAP tedakwa atau penuntut umum tidak dapat
(tidak berhak) meminta pemeriksaan banding terhadap putusan pengadilan
negeri (pengadilan tingkat pertama) yang bentuk keputusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan dalam acara cepat.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka terhadap putusan lepas dari segala
tuntutan hukum (LDSTH) yang tidak menyangkut masalah kurang tepat
penerapan hukum, misalnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum karena
terbukti perbuatan terdakwa bukan meruapakan tindakan pidana, penuntut
umum dapat meminta pemeriksaan banding.
Adapun yang dimaksud dengan putusan LDSTH yang menyangkut
masalah kurang tepatnya penetapan hukum, misalnya dalam pemeriksaan di
muka sidang Pengadilan Negeri terbukti bahwa terdakwa melakukan tindak
pidana khusus (misalnya tindak pidana korupsi), sedangkan dalam surat
dakwaan terdakwa didakwa melakukan tindak pidana umum (penggelapan).
Terhadap putusan LDSTH yang demikian penuntut umum tidak dapat
meminta banding. Demikian pula terhadap putusan pengadilan negeri dalam
acara pemeriksaan cepat (pemeriksaan tindak pidana ringan) terdakwa atau
Penuntu Umum tidak dapat memintak banding kalau pidana yang dijatuhkan
berbentuk benda. Akan tetapi kalau pidana yang dijatuhkan berbentuk pidana
badan/perampasan kemerdekaan, maka terdakwa dapat meminta banding
(pasal 205 ayat 3 KUHAP).
12. Hak Menuntut Ganti Kerugi

Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitas
sebagaimana diatur dalam pasal 95 s/d 97 KUHAP. Tersangka, terdakwa/
terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan dan
diadili atau dikenakan tindakan lain ( pemasukan rumah, pengeledahan, dan
penyitaan) yang sah menurut hukum/tanpa alasan berdasarkan undangundang, termasuk penahanan yang lebih lama daripada pidana yang
dijatuhkan.
Apabila penangkapan, penahanan, dan tindakan lain sebagaimana
dimaksud pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau
cacat sehingga tidak dapat melakukan perkerjaan atau mati, besar ganti
kerugian maksimal Rp. 30.000.000 tuntutan ganti rugi tersebut hanya dapat
diajukan dalam tenggang waktu 3 bulan sejak pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Apabila perkara dihentikan penyidikannya atau
penuntutannya, maka jangka 3 bulan tersebut dihitung sejak saat
pemberitahuan berlakunya surat ketetapan penghentian penyidikan/
penuntutan atau penetapan praperadilan.
13. Hak Memperoleh Rehabilitas
Tersangka/terdakwa berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh
pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1
KUHAP)
Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasrkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat 1
yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan negara diputuskan oleh hakim
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 jo pasal 97 ayat 3
KUHAP. Putusan Hakim praperadilan berbentuk Penetapan KUHAP pasal 96
jo PP nomor 27 tahun 1983 pasal 13 jo 14 ayat 2
Ketentuan mengenai Rehabilitasi yang diatur dalam pasal 97 KUHAP
dijabarkan lebih lanjut dalam PP no 27 tahun 1983 BAB V pasal 12 s/d 15.
 Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai
berikut :

“memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat


serta martabatnya”.
Amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi
sebagai berikut :
“memilihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya”.
Pembahasan lebih lanjut mengenai rehabilitasi diuraikan dalam bab
tentang rehebilitasi.

14. Asas Praduga Tidak Bersalah
Tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66
KUHAP). Ketentuan ini merupakan penjelmaan dari asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocence) yang merupakan salah satu asas dalam
KUHAP, yaitu seperti orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
atau dihadapan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan yang menyatakan kesalahannya acara pidana
dikenakan asas siapa yang menyangka/mendakwa diwajibkan membuktikan
kebenaran dari dakwaannya.
Karena dalam proses pemeriksaan perkara pidana yang membuat/
menyampaikan dakwaan adalah jaksa penuntut umum, maka yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah jaksa PU (burden
of proof is always on the prosecutor). Akan tetapimenutut ketentuan yang
diatur dalam KUHAP dan dalam pratik proses pengadilan perkara pidana
pada umumnya Majelis Hakim dalam sidang pengadilan secara aktif juga
membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan surat dakwaan yang dibuat
oleh penuntut umum.
2.2. Hak bagi Saksi atau Korban Kejahatan
RUU KUHAP, dengan melihat landasan dan tujuan penyusunannya,
mengarah pada:6
6 Kutipan dari RUU KUHAP

1. penghormatan nilai-nilai HAM (non diskriminasi, persamaan kedudukan

dalam hukum dan pemerintahan;
2. supremasi hukum dengan adanya sistem peradilan pidana yang terpadu;
3. adanya kepastian, ketertiban, perlindungan hukum, dan HAM serta

keadilan masyarakat bagi semua pihak baik tersangka terdakwa, saksi
maupun korban; dan
4. menyesuaikan dengan berbagai instrumen HAM internasional yang telah

diratifikasi oleh Indonesia.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban ataupun keluarganya
mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang
disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi:7
a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya.
Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak
lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan.
Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
Hak untuk memperoleh kembali hak miliknya;
Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
Berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya.
Berhak mempergunakan upaya hukum
Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan

sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
j. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan
dengan kejahatan yang menimpa korban;
k. Hak atas kebebasan pribadi / kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan
nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang
yang secara khusus mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada
tanggal 11 agustus 2006, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa
7 Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya: PMN , 2010 hlm 51

materi dalam undangundang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan
pelaksananya, berlakunya undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi
upaya perlindungan korban kejahatan
Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur perlindungan
korban kejahatan (dan saksi) untuk disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian
menimbang daripada undang-undang ini, yang antara lain menyebutkan: penegak
hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat
menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik
maupun psikis dari pihak tertentu. Padahal kita tahu bahwa peran saksi atau
korban dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku
Keberadaan seorang saksi dan korban sebelum tahun 2006 merupakan
suatu hal yang kurang diperhitungkan. Didalam KUHAP sendiri, sebagai suatu
bentuk Hir/Rbg, memiliki kecenderungan dalam melindungi hak-hak warga
negara yang berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana.8
Namun sering kita lupa bahwa proses pembuktian membutuhkan
keterangan saksi atau saksi korban (korban yang bersaksi). Keberadaan keduanya
sering kali tidak dihiraukan oleh aparat penegak maupun hukum di Indonesia.
Keselamatan,baik diri sendiri maupun keluarganya pada kasus-kasus tertentu
menjadi taruhannya, atas kesaksiannya.
Pada tahun 2003, good will (itikad baik) dari pemerintah untuk melakukan
perlindungan terhadap saksi dan korban mulai tampak, tetapi baru sebatas pada
kasus- kasus tertentu. Perlindungan hukum yang diberikannya pun hanya dalam
peraturan pemerintah (PP) yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
tata cara Perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum, dan
hakim dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.
8Rocky Marbun, Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum, Jakarta :Visi Media, 2010, hlm 86.

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Baru pada tahun 2006, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) mengeluarkan peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.9 Dimaksud
dengan perlindungan dalam undang-undang ini adalah segala upaya pemenuhan
hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau
korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai
ketentuan undangundang.
Keberadaan saksi dan atau korban memang sangat diperlukan dan
merupakan suatu hal yang harus diperhatikan sebagai satu kesatuan dalam proses
pemeriksaan dalam peradilan pidana. Saksi sebagai alat bukti utama ditegaskan
dalam Pasal 184 KUHAP, yang menyebutkan: Alat bukti yang sah yaitu:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Urutan tersebut bukan hanya urutan, tetapi juga menggambarkan tingkat
kekuatan pembuktian, sehingga saksi merupakan alat bukti yang memiliki
kekuatan pembuktian utama (nomor satu). Pada prinsipnya perlindungan akan
hak-hak seseorang sebagai saksi telah diakomodasikan dalam KUHAP, tetapi
mengingat jenis tindak pidana yang semakin beragam dan menimbulkan efek atau
akibat bagi keselamatan jiwa dari saksi/korban atau keluarganya, sehingga ada
hal-hal khusus yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006 tersebut.
Hal-hal yang diatur diluar KUHAP sebagai berikut:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
9 Ibid. Hal 89

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
4. Mendapat penerjemah.
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. Mendapatkan identitas baru
10. Memperoleh penggantian biaya trasportasi sesuai dengan kebutuhan
11. Mendapatkan nasihat hukum
12. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
13. Mendapatkan tempat kediaman baru.
Sementara itu, untuk korban atas pelanggaran HAM Berat, selain berhak
atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan
bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.10 Perlindungan dan hak saksi
dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan. Bahkan, dalam memberikan
kesaksian didepan persidangan, jika karena kehadirannya membuat jiwanya
terancam, undang-undang dalam memberikan perlindungan terhadap saksi atau
korban atau pihak keluarga dengan cara melakukan kesaksian tanpa kehadirannya
di pemeriksaan depan persidangan. Atau seperti contoh dalam Kasus Nazaruddin
dengan saksi Terpidana kasus suap Wisma Atlet Mindo Rosalina Manullang ketika
ia dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan ia dikawal atau dijaga ekstra oleh
pihak keamanan karena dikatakan bahwa Rosa mendapat ancaman atau teror dari
anak buah Nazarudin diluar.11
Hal ini merupakan salah satu perwujudan dari lahirnya Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 dimana keselamatan dari seorang saksi menjadi prioritas
10 Rocky Marbun, Op.Cip. hal. 88
11 Tribunnews.com, Rosa Pakai Rompi Anti Peluru di Sidang Nazaruddin, 16 Januari 2012

dari lembaga yang dibentuk oleh Undang-undang tersebut atau sering disebut
dengan LPSK. Bahkan pada saat Rosa bersaksi dia memakai rompi anti peluru
sebagai bentuk upaya perlindungan.
keselamatan atas dirinya dari ancaman yang walaupun menurut penulis ini
sedikit berlebihan mengingat sudah banyak aparat keamanan yang berjaga diluar
pengadilan. Akan tetapi jika hal tersebut membuat seorang saksi nyaman maka
tidak ada salahnya diberikan perlindungan yang seperti itu. Pasal 10 UU Nomor
13 Tahun 2006 memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang memiliki
itikad baik untuk melaporkan tindak pidana dan juga saksi yang memberikan
kesaksiannya bahwa berdasarkan kesaksiannya tersebut ia tidak dapat dapat
dituntut, baik secara pidana maupun gugatan secara perdata dan seorang saksi
yang juga tersangka untuk kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan.12 Ini merupakan perlindungan hak
asasi seorang saksi yang diharapkan dapat memberikan keterangan sehingga
terjadi kejelasan dalam suatu perkara serta menjauhkannya dari perasaan tertekan
dan takut.
Dalam melakukan perlindungan atas hak-hak saksi dan korban,
pemerintah membentuk suatu lembaga yang disebut Lembaga Perlindungan Saksi
dan korban (LPSK) seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Lembaga ini
bertanggung jawab langsung kepada presiden. Permohonan agar terlindunginya
hak-hak saksi atau korban dapat diajukan kepada LPSK tersebut. Namun, tidak
serta merta permohonan tersebut disetujui, karena berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006, ketua LPSK melakukan penelitian terhadap
kasus tertentu dan dituangkan dalam keputusan LPSK.13
Pada pasal 44 undang-undang nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa
pada saat undang-undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan atau korban dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.14
12 H.R. Abdussalam, Kriminologi, Jakarta: Restu Agung, 2007, hlm 147
13 Ibid, hlm 150
14 Gloria Juris, (Jurnal Hukum Fakultas Hukum UNIKA Atmajaya, Jakarta Vol 7 no.2 Agustus 2002), hlm 174

Dengan demikian hak korban dan saksi untuk mendapatkan kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi sebagaimana tecantum dalam pasal 32 UU Nomor 36
tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan pasal 3 PP Nomor 3 tahun 2000
dianggap tidak bertentangan dengan UU Nomor 13 tahun 2006, meskipun
didalam undang-undang tersebut tidak diatur. Demikian juga pengaturan hal-hal
lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tetap berlaku.

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. KESIMPULAN
Hukum dengan tegas telah mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang
bersifat lahiriyah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan
antara kepentingan para warga masyarakat. suatu negara hukum atau Rule of law
sesungguhnya mempunyai sendi-sendi yang sifatnya universal dan bahkan cukup
fundamental, seperti pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, adanya
aturan hukum yang mengatur tindakan negara atau pemerintah dalam arti tindakan
aparatur negara tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Negara
Republik Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), penghayatan,
pengamalan dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kewajiban warga
negara untuk keadilan tidak boleh diabaikan oleh setiap warga negara,
penyelenggara negara, lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan di pusat dan
di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan hukum acara pidana.
Termasuk korban kejahatan dan tersangka/terdakwa, dimana mereka berdua
juga mendapatkan hak asasi manusia yang harus diberikan oleh hukum dalam
menyidik. Seperti korban kejahan mendapatkan hak seperti keamanan,
keselamatan dan rahasia korban oleh pihak penyidik harus bisa menjaganya agar
tidak di interprendesi agar tidak mendapat ancaman dari pihak luar. Sedangkan
tersangka/terdakwa mengatur tentang perlindungan terhadap hak asasi atau
keluhuran harkat dan martabat manusia telah dituangkan/diaturan dalam KUHAP

dan dijabarkan menjadi 14 hak dalam tersangka/terdakwa yang bisa dimiliki dan
berhak didapatkan, antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hak Untuk Segera Mendapatkan Pemeriksaan
Hak Memberikan Keterangan Secara Bebas
Hak Untuk Mendapatkan Bantuan Juru Bahasa
Hak Mendapat Bantuan Penasehat Hukum
Hak Menghubungi Penasehat Hukum
Hak Mendapatkan Kunjungan Dokter Pribadi
Hak Menerima Kunjungan Keluarga
Hak Menerima Dan Mengirim Surat
Hak Menerima Kunjungan Rohaniwan Dan Diadili Secara Terbuka Untuk

Umum
10. Hak Mengajukan Saksi Yang Menguntungkan
11. Hak Meminta Banding
12. Hak Menuntut Ganti Kerugi
13. Hak Memperoleh Rehabilitas
14. Asas Praduga Tidak Bersalah
3.2 SARAN
Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan, karena hak
tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi, persoalan hak
asasi manusia baru mendapat perhatikan ketika mengimplementasikannya dalam
kehidupan bersama manusia. Ia mulai menjadi perhatian manakalah ada hubungan
dan keterikatan antara individu dan masyarakat.
Hak asasi manusia juga terdapat pada terdakwa/tersangka yang dikenakan
hukum yang berlaku, dimana hak tersebut terhadap terdakwa/tersangka
diterangkan dan dijelaskan langsung pada KUHAP pada dari sebagian pasal dan
ayatnya. Sedangkan pada korban kejahatan diatur melalui Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang gunanya
sebagai perlindungan negara terhadap para korban kejahatan maupun saksi.

Dimana sebelum dibuat undang-undang tersebut korban dari kejahatan maupun
saksi tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas dalam melindungi hidupnya
ketika memberi pertanyaan seputar tindak pidana terhadap penyidik dalam
menegakkan hukum yang berlaku.
Terhadap terdakwa/tersangka dan saksi/korban kejahatan sangat perlu
peran aktif dari pemerintah dalam melindungi dan menjaga hak dari setiap
individu pada dua pelaku tersebut. Hukum yang tegas dan perlindungan hak asasi
manusia sangat diperlukan oleh dua objek pelaku dari terdakwa/tersangka maupun
saksi/korban kejahatan dalam hal dimata hukum.
Dizaman era demokrasi di Indonesia pada abad ini, perlindungan hak asasi
manusia sudah banyak terjadi perubahan kearah yang lebih baik, terhadap hukum
yang berlaku untuk setiap rakyatnya. Dimana itu dituangkan langsung melalui
KUHAP dan Undang-Undang yang berlaku dalam melidungi dan memberi hak
kepada masyarakatnya tanpa ada pandang bulu, sehingga negara yang berdasarkan
hukum atau Rule of law merupakan hal yang perlu dimiliki oleh negara hukum
agar bisa berjalan sesuai dengan cita-cita bangsa dan hal yang positif dalam
menegakkan hukum yang berlaku.

DAFTAR BACAAN

1.

Djoko Prakoso.Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP,Jakarta: Ghalia

2.

Indonesia,1984,
Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tidak Bersalah
dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana

3.

Indonesia. Bandung : ALUMNI. 2003
Kusnardi Moh dan Ibrahim Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia,

4.

Jakarta: PT. Sastra Hudaya, 1983
HMA Kuffal. Penyerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang ; KDT,

5.

2011
Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Pendoman Pelaksanaan

6.
7.

KUHAP. Jakarta; DEPKEH, 1982
Kutipan dari RUU KUHAP
Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana,

8.

Surabaya: PMN , 2010
Rocky Marbun, Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum, Jakarta :Visi
Media, 2010

9.

Tribunnews.com, Rosa Pakai Rompi Anti Peluru di Sidang Nazaruddin, 16
Januari 2012

10. H.R. Abdussalam, Kriminologi, Jakarta: Restu Agung, 2007
11. Juris, (Jurnal Hukum Fakultas Hukum UNIKA Atmajaya, Jakarta Vol 7 no.2
MeiAgustus 2002)