BAB V ETNOGENESIS RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA DALAM ALUR TEORITIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Pe

MATTA DALAM ALUR TEORITIK

Pada bagian sebelumnya Penulis telah mendudukan sejarah sosial dan etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta melalui telusuran atas narasi-narasi dan praktik-praktik sosial mereka. Telusuran tersebut menegaskan bahwa rumpun etnik memliki pemahaman sejarah kritis dan konstruktif berbasis pada pengalaman sosial-kultural-religi mandiri melalui perjalanan panjang fase-fase sejarah sosial mereka. Mereka telah membangun dan mengedepankan perspektif kritik sejarah melalui narasi-narasi dan praktik-praktik sosial tandingan-alternatif. Mereka menjadi the makers of their own life. Mereka menjadi kreator kolektif sejarah mereka. Inilah sejarah kritik-konstruktif lokal. Kini Penulis akan membahas lebih jauh fenomena historis etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta mengikuti perangkaan dan alur teoiritik yang telah penulis sediakan. Bagian ini akan dipaparkan melalui sub-sub bab seperti berikut: mengelola dua kompleks perjumpaan, Dualitas inkorporasi, Reidentifikasi identitas dan reafirmasi moralitas sosial, Membangun masyarakat multicultural serta Sumbanga teoritik.

A. Mengelola dua Kompleks Perjumpaan Internal dan Eksternal: Membangun Integrasi Sosial dan Sistem

Sebelumnya sudah diperlihatkan bagaimana rumpun Etnik Mbaham Matta menjalani dan mengelola perjumpaan internal maupun eksternal. Secara internal mereka harus melewati fase-fase sejarah sosial yang mengantar pada kesadaran sosial dan moralitas sosial baru. Kondisi mana telah

202 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

memampukan mereka mengatasi mental ghetto kerjawriya yang penuh dengan konflik, perang atau hongi, dan pengayauan serta ragam praktik-praktik tanpa moralitas sosial serta struktur sosial eksploitatif atas manusia. Mereka mampu melakukan transformasi sosial dengan membangun aliansi yang berbasis pada kekerabatan yang bertolak dari aliansi lintas marga dalam tiap kampung dan wilayah serta lintas suku di bawah payung bersama Mbaham Matta.

Mereka menata sebuah sistem sosial yang menjadi ruang interaksi antar marga, kampung, dan agama. Mereka menjadi aktor-aktor sosial individual dan kolektif dalam ruang sosial baru. Sistem kekerabatan menjadi basis kohesi dan solidaritas sosial baru. Melewati fase panjang keterisolasian dan perang hongi, mereka mengangkat sumpah kolektif untuk menguburkan semua paham dan praktik sosial yang menghancurkan dan merusak kehidupan. Mereka menemukan betapa pentingnya ontological security bagi tatanan kehidupan bersama. Mereka mengusung cita-cita etik-moral atau core value baru yakni idu-idu maninina, damai (peace). Kehidupan yang mencintai damai. Kata idu-idu maninina menunjuk kepada tindakan simbolik memangku dan menaruh tangan di atas kepala seseorang untuk memberi perlindungan dan rasa aman.

Di sisi ini rumpun etnik Mbaham Matta membangun integrasi sosial 1 atau integrasi internal melalui penataan

1 Meminjam istilah yang dipakai oleh Anthony Giddens, lihat: bab II tulisan ini, dengan perluasan tidak hanya menunjuk pada interaksi antar aktor individual, tetapi juga antar kolektivitas dalam masyarakat itu; Lihat

Nicos P. Mouzelis, Back to Sociological Theory: the Construction of Social Orders (New York: Palgrave Macmillan, 1991) yang merumuskan konsep integrasi sebagai “regularized ties, interchanges, or reciprocity of practices between either actors or collectivities. ” Resiporsitas praktik-praktik sosial ini bergerak atau mengayun antara relasi-relasi otonom dan dependensi relatif. Artinya: pada satu sisi ada aspek otonomi dan pada sisi lain aspek dependensi yang membentuk interdependensi antar tindakan atau aktivitas

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

interaksi sosial lintas aktor individual maupun kolektif dalam masyarakat baru berdasarkan perjanjian lintas marga dan aliansi wilayah yang diikat dengan sumpah kolektif (warqpa thumber) untuk hidup dalam idu-idu maninina demi terpeliharanya ontological security. Tahapan ini sangat penting karena menunjukkan secara historis bagaimana tahapan, proses dan dinamika etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta berlangsung. Integrasi sosial menjadi prasayarat utama dan menentukan bagi aliansi baru rumpun etnik Mbaham Matta dalam menghadapi perubahan-perubahan sistemik sebagai akibat dari perjumpaan dengan unsur-unsur politik- ekonomi dan agama-agama baru yang memasuki wilayah geografis dan kompleks sosial-kultural mereka.

Di sisi lain mereka menghadapi dan mengelola kedatangan unsur-unsur politik-ekonomi dan agama-agama baru yang membentuk suatu kompleks sistem eksternal

dengan integrasi sistem 2 di luar kompleks sistem sosial mereka. Suatu kompleks politik-ekonomi-religi baru yang menjadi pengarah bagi eksistensi mereka. Kompleks sistem sosial eskternal hadir melalui gerakan perluasan otoritas politik-ekonomi-dagang Kesulatanan Tidore dan Belanda. Dengan perluasaan otoritas ini ikut serta pula agama Islam, Protestan, dan Katolik. Komponen-komponen keagamaan ini hadir dengan gerakan dakwah, zending, dan misi masing- masing. Kehadiran, keberadaan dan perluasaan kekuasaan serta agama-agama ini telah dipaparkan pada Bab III-IV. Integrasi sistemik ini juga berjalan secara khas. Sistem politik kesultanan Tidore dan Belanda hadir sebagai kekuatan-

2 Meminjam juga istilah yang digunakan oleh Giddens, lihat: Bab II tulisan ini. Dan lihat catatan kaki nomor 299, ibid. Adanya relasi otonom dan

dependensi yang membentuk interdependensi antar aktor/kolektivitas ini mengantar kita untuk memahami relasi antara sistem sosial internal (sistem sosial mikro) dan sistem sosial eksternal (sistem sosial makro), antara integritas sosial dan integritas sistem sebagai relasi resiprokal (interdependen) dengan tetap ingat pada aspek otonomi masing-masing

204 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

kekuatan yang ada dalam perjanjian ekonomi-dagang. Hubungan kedua kekuatan politik-ekonomi ini sangat dinamis yang diakhiri dengan klaim politik Belanda atas Papua bagian Barat. Integrasi sistemik mewujud dalam tata pemerintahan maupun ekonomi lokal dengan sistem raja (petuanan) beserta struktur jabatannya. Kemudian sistem politik-ekonomi kesultanan diganti oleh tata pemerintahan-ekonomi Belanda sejak 1896. Bersamaan dengan itu gerakan dakwah dan misi agama-agama membangun sistem dan jejaring aktifitas mereka: dakwah rohani dan misi sosial.

Kita bisa melihat eksistensi lingkaran pertama dalam skema atau alur studi dan teoritik di bawah ini menggambarkan (1) eksistensi sistem sosial eksternal, sistem sosial makro, yang membentuk integrasi sistem yang terususun dari agama Islam, Protestan, dan Katolik dengan backing up politik-ekonomi Kesultanan Tidore dan Belanda; (2) eksistensi sistem sosial internal, sistem sosial mikro (singkat: sistim sosial) rumpun etnik Mbaham Matta yang berpusat dalam adat dan kekerabatan yang menerima dan merangkul agama Islam, Protestan, dan Katolik ke dalam ruang sosial-budaya mereka.

Alur studi dan kerangka teoritik

Selanjutnya kita bisa melihat proses dan dinamika rumpun etnik Mbaham Matta menerima kehadiran unsur- unsur sistemik eksternal (sistem sosial makro): agama-agama

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

dan politik-ekonomi. Melalui proses negosiasi dalam wilayah demarkasi sosial-kultural (ethnic boundary) rumpun etnik Mbaham Matta kita melihat dual proses, yakni inklusi dan kritikal. Dual proses ini menunjukkan kepada relevansi teoritik yang dikemumakan oleh Fredrik Barth terkait pemeliharaan wilayah demarkasi etnik (ethnic bondary) dalam sejarah etnogenesis etnik. Dalam area tertentu kelompok etnik diizinkan untuk berinteraksi yang membuka jalan bagi proses ambil-beri sosial-kultural. Proses ini yang penulis definisikan sebagai inklusi. Inklusi menunjuk kepada penerimaan unsur- unsur baru sistem politik-ekonomi dan agama-agama. Dalam pengalaman etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta terlihat bahwa atas dasar pemahaman tentang vision kultural Tete Teang dan komunitas gerakan Mahambodmur serta didukung penuh oleh sistim kekerabatan baru (aliansi-alianis lintas marga, kampung, wilayah) mereka menerima agama Islam, Protestan, dan Katolik. Mereka berpemahaman dasar bahawa agama-agama itu telah mereka terima, dan kini agama-agama itu datang secara langsung, dan mereka telah menyediakan ruang sosial-budaya untuk menerima agama-agama ini. Penerimaan agama-agama ini adalah dalam rangka mematutkan atau melayakkan mereka dalam kompleks sosial- kultural-religi baru. Inklusi ini dinyatakan melalui metafora:

“menerima agama-agama seumpama memilih dan mengenakan pakaian pada tubuh kami.” Mereka memilih atas dasar musyawarah dan pilihan bebas serta melalui pertukaran

sosial-religius yang khas sebagai adat mereka. Mereka tidak terbeban oleh perbedaan-perbedaan doktrin, kultus dan ritus serta sistim nilai dan etika yang dibawa oleh Islam, Protestan, dan Katolik. Mereka mempertahankan identitas sebagai individu dan kolektivitas adat yang menjunjung kekerabatan dan etika hidup damai. Penulis teringat pada percakapan dengan seorang tetua adat Mbaham Matta beberapa tahun lalu. Tetua adat ini menjawab pertanyaan Penulis tentang mengapa mereka menerima tiga agama sedemikian: “Kami

206 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

menerima ketiga agama, supaya berkatnya lengkap dan sempurna. Bila kami menerima hanya satu agama, maka

berkatnya juga terbatas dan terpotong.” Mereka menerima dan menempatkan agama-agama dalam struktur keruangan sosial

mereka sebagaimana digambarkan melalui metafora rumah yang disampaikan oleh Ustadz Jamhari Iha. 3 Metafora rumah secara turun-temurun mereka gunakan menjelaskan komunitas dialogis-komunikatif di mana ruang-ruang privat keagamaan (digambarkan dengan kamar-kamar tidur) tidak menghalangi anggota-anggota keluarga untuk setiap hari berjumpa dan bertukar pikiran serta membahas permasalahan atau tugas yang dihadapi dan dituntaskan di ruang publik (digambarkan dengan ruang tamu/ruang besar). Bahkan ruang dapur dengan satu tungku digunakan bersama oleh mereka tanpa kecanggungan dan kegamangan doktrinal agamawi. Dalam tradisi saling kunjung dalam perayaan hari raya Idulfitri dan Natal, kerabat di gunung (Kristen) telah menyiapkan peralatan masak, makan dan tidur yang dikhususkan bagi kerabat dari pantai (Muslim) dan sebaliknya. Peralatan-peralatan ini hanya diambil dan digunakan ketika kerabat mereka berkunjung dan menginap, setelah itu dibersihkan dan disimpan lagi secara rapih dan baik. Dalam beberapa kesempatan diskusi lepas dengan beberapa tokoh masyarakat Fakfak, metafora rumah ini juga digunakan secara bijak dan halus merespons kecenderungan fanatisme dan radikalisme agama untuk mencap atau mengaitkan satu daerah dengan kiblat-kiblat keagamaan. Terhadap isu atau topik bertendensi keagamaan itu muncul tanggapan bijak masyarakat lokal Fakfak untuk menghempang kecenderungan

provokatif tersebut: ”Mengapa kita mau hanya di teras atau serambi (bahasa Fakfak: stuf)? Kami mau duduk di dalam ruang utama, bukan di teras atau seram bi.” Ruang utama

3 Percakapan saat Bapak Ustadz Jamhari, seorang PNS asal kampung Ubadari, bersilahturahmi perayaan natal di rumah kami 26

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

adalah ruang keluarga, yang merupakan pusat perjumpaan, dialog dan diskusi mengenai pemecahan masalah-masalah dan tugas-tugas bersama. Sedangkan percakapan di teras rumah (stuf) adalah percakapan biasa, percakapan sambil lalu.

Beberapa metafora serta narasi dan praktik sosial lokal yang dikemukaan pada bab IV menunjukkan bahwa penerimaan atau inklusi rumpun etnik Mbaham Matta memiliki aspek kritikal sebagai sebuah alarm tentang adanya wilayah batas sosial etnik yang harus diketahui, dikenal, dan dihargai oleh aktor-aktor individual dan kolektif yang memasuki kompleks sosial-kultural-religi mereka. Mereka sebagai tuan rumah sosial-kultural telah menyediakan ruang- ruang sosial bagi yang datang dan mau hidup bersama mereka. Tetapi mereka tidak mau dipinggirkan atau disingkirkan dari ruang utama rumah sosial-budaya mereka atas nama doktrin agama sekalipun. Mereka ingin para tamu sosial-budaya-religi mengambil posisi dan peran inklusif juga.

Sikap penerimaan yang kritikal ini menunjuk kepada sinyal-sinyal pengidentifikasian kelompok etnik Mbaham Matta terhadap kelompok-kelompok sosial, kultural, religi yang datang. Di sini rumpun etnik Mbaham Matta mengidentifikasikan diri mereka sebagai penerima agama- agama yang tetap menjadikan kekerabatan sebagai tuas penggerak interaksi dan interelasi religius. Mereka tetap anak- anak adat Mbaham Matta yang menghidupi ethos kekerabatan dalam kehidupan keberagamaan mereka. Haji Rubahi Muri, Imam Kepala Mesjid Kampung Offie menegaskan dalam

metafora; “orang-orang tua mengajarkan kami bahwa hidup beragama kami seperti air laut, sekalipun dipotong dengan parang tidak akan pernah terputus atau terceraikan.” 4

4 Wawancara dengan Bapak Imam Haji Rubahi Muri pada 14 Januari

208 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Pada tataran integrasi sistem politik-ekonomi pada Bab IV telah dikemukan dua contoh yakni penerimaan institusi kerajaan Teluk Patipi dan Kerajaan Fatagar. Penulis telah mengemukan model strategi pengintegrasian sistem politik- ekonomi yang dipraktikan oleh rumpun etnik Mbaham Matta. Rumpun etnik Mbaham Matta Teluk Patipi membangun aliansi lintas marga dan kampung berbasis pada kekerabatan mereka melawan perebutan kekuasaan raja oleh seorang Imam di pusat kerajaan, Kampung Patipi Pasir. Perebutan kekuasaan itu kemudian dikukuhkan oleh surat keputusan Residen Ternate berdasarkan nasihat dari Pangeran Tidore Mohamad Tahir Alting dan Raja Misool Abdulmajij. Perlawanan aliansi lintas marga dan kampung serta agama berbasis kekerabatan ini berhasil mengembalikan kursi kekuasaan raja Teluk Patipi ke garis keturunan asal, yakni Iba.

Ketika raja Fatagar meninggal dunia potensial bagi terjadinya kekosongan jabatan raja dan sangat rentan terhadap perebutan kekuasaan antar faksi di kalangan keluarga kerajaan. Menghadapi situasi kritis ini marga tuan tanah (Kabes/Hindom) mengambil inisiatif berembuk dengan marga pendatang kemudian, yakni marga Tanggahma tentang pergantian raja tersebut. Karena alasan ketidakmampuan berkomunikasi politik-dagang Marga tuan tanah (Mayor) mendelegasikan otoritas raja kepada Marga Tanggahma. Tetapi marga Tanggahma juga menyatakan belum sanggup untuk tugas itu. Mereka kemudian menetapkan agar anak dari raja yang meninggal, yang adalah keponakan mereka sendiri dari Marga Uswanas/Tuturop, diangkat menjadi raja. Praktik sosial demikian menunjukkan adanya pola strategi etnik lokal menerima integrasi lanjut sistim politik-ekonomi kerajaan, tetapi mereka melalui pembangunan aliansi internal lintas marga setempat tetap memegang posisi menentukan. Tentu ini terkait erat dengan penegasan posisi otoritatif aliansi lokal dan keterjaminan serta perlindungan hak-hak politik dan

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

ekonomi mereka di bawah sistem besar politik-ekonomi Tidore/Belanda. Ini menunjukkan bagaimana etnik lokal memperkuat struktur aliansi dengan mendinamisir sistem sosial internal dalam konteks negosiasi politik dengan sistem eksternal dengan integrasi sistemnya yang lebih kuat dan berkuasa menjamin dan melindungi kelangsungan kekuasaan maupun kepentingan-kepentingan ekonomi mereka. Sekali lagi kita bisa lihat pola atau model strategi aliansi politik lokal lintas marga dan agama melalui skema diagram berikut ini:

Dari diagram ini kita bisa melihat bagaimana strategi penerimaan (inklusi) tetap memiliki aspek kritikal yang merupakan pembuka bagi negosiasi lanjut dari dalam integrasi sistem lokal mereka berhadapan dengan integrasi sistemik Tidore/Belanda. Dengan kata lain, mereka melakukan konsolidasi dalam lingkup sistim sosial yang bertujuan memperkuat integrasi sosial lokal. Posisi politik-ekonomi rumpun etnik Mbaham Matta yang tampak lemah mampu menegaskan otoritas dan kedaulatan lokal mereka dengan memanfaatkan institusi raja sebagai ruang negosiasi politik. Pada Bab III telah Penulis paparkan teori antropologi politik yang disampaikan oleh James Fox, yakni dapat menjelaskan

model strategi ini: installing the outsider inside. 5 Mengambil

210 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dan melantik orang luar dalam sturktur sosial dan politik adalah bagian dari strategi inkorporasi etnik lokal.

B. Dualitas Inkorporasi: incorporated-incorporating

Dualitas proses negosiasi, yakni inklusi dan kritikal, membawa kita kepada strategi kebudayaan rumpun etnik Mbaham Matta, yakni inkorporasi. Inkorporasi memiliki ragam

mode. 6 Penulis mendudukan inkorporasi sebagai strategi kebudayaan berdasarkan riset lapangan, di mana masyarakat lokal tidak menolak, tetapi manyambut dan merangkul serta memberi ruang kepada unsur-unsur sosial-kultural-religi- politik yang mendatangi mereka. Hal mana telah dipaparkan pada Bab IV. Sebagai pembanding bisa kita lihat bahwa dalam komunikasi keseharian ada satu yang menonjol dari perilaku sosial adatis etnik Mbaham Matta, yakni tabu menyatakan ketidak setujuan atau penolakan. Ini tampak dari dua kata

untuk menyatakan “ya” dalam bahasa Iha: njo dan ein. Kata njo merupakan jawaban ‘ya’ atau pernyataan setuju yang dalam

konteks tertentu belum mengindikasikan kepastian; agaknya merupakan jawaban demi sopan-santun (courtesy) untuk tidak menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan secara langsung. Kata ein adalah ya atau pernyataan setuju yang memiliki kepastian. Pembahasaan seperti ini mensinyalkan etika adatis mereka yang memang tetap memberikan ruang bagi kehadiran pihak lain sekalipun terdapat perbedaan. Perilaku moral adatis ini dipegang teguh oleh mereka yang secara sosial adalah marga-marga pemangku adat atau yang dituakan. Ini tampak dalam sosok pimpinan-pimpinan marga atau kampung yang

6 Lihat antara lain Jeffrey C . Alexander, “Theorizing the “modes of Incorporation”: Assimiliation, Hyphenation, and Multiculturalism as Vaieties

of Civil Participation” Sociological Theory 19:3 November 2001, pp.237-249; juga lihat: paparan teoritik dalam tulisan ini, pada Bab II.D

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

disebut para dupiat, khususnya dupiat hereditma, 7 yang selalu bersedia memperhatikan dan menolong orang lain. Dupiat hereditma adalah sosok sederhana, arif, tulus, dan selalu menghadirkan ketenangan dan memberikan jalan keluar.

Inkorporasi selalu dilihat dari satu arah, yakni dari sisi kelompok sosial dominan. Dalam riset ini ditemukan bahwa kelompok etnik lokal yang biasanya berposisi lebih lemah menghidupi inkorporasi sebagai strategi kebudayaan dalam interaksi sosial dengan kelompok-kelompok sosial-kultural- politik-religi yang lebih kuat. Rumpun etnik Mbaham Matta, baik dalam konteks sosial internal mapun sosial eksternal, menunjukkan bahwa mereka melakukan inkorporasi ganda secara resiprokal. Pada satu sisi mereka terinkoporasi (incorporated) ke dalam integrasi sistem (eksternal: sistem sosial makro). Ini mereka jalani secara sadar sebagaimana ditunjukan baik pada ranah integrasi sistem politik-ekonomi maupun sistem agama-agama. Dalam kesadaran pula mereka secara aktif menyediakan ruang-ruang sosial bagi kehadiran aktor-aktor individual, kolektif dan institusional dari sistem sosial besar (eksternal). Dengan kata lain, mereka menginkorporasi (incorporating) aktor-aktor individual, kolektif dan institusional dari sistem sosial eksternal dengan bawan-bawaan sosial, kultural, religi, politik, dan ekonomi masing-masing ke dalam rumah sosial-budaya lokal mereka.

Dengan begitu jelas bahwa dualitas inkorporasi yang dijalani oleh rumpun etnik Mbaham Matta sebagai aktor-aktor sosial subyektif-reflektif. Menurut Giddens aktor-aktor sosial adalah para agen aktif dan proaktif yang bertindak berdasarkan daya reflektif mereka sendiri. Mereka memiliki kemampuan memonitor aktivitas mereka dalam konteks interaksi sosial atau interaksi muka dengan muka. Masih

7 Berbeda dengan dupiat neingma yang hanya memperhatikan dan menolong orang-orang dekat, keluarga atau kelompoknya dan dupiat

212 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

menurut Giddens daya atau kapasitas reflektif para aktor sosial ini didukung dan bersumber dari kesadaran praktikal dan kesadaran diskursif mereka. Kesadaran praktikal menunjuk kepada apa yang para aktor tahu atau yakini tentang kondisi-kondisi sosial yang secara khusus mencakupi kondisi-kondisi tindakan mereka, tetapi mereka tidak dapat mengungkapkan atau menjelaskan itu. Ini mirip dengan konsep habitus yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang menekankan bahwa pengetahuan praktikal ini merupakan disposisi dalam diri para aktor yang mereka terima dari kultur kelas mereka. Tetapi menurut Bourdieu pengetahuan ini berada dalam level ketidaksadaran, biasanya bekerja secara

otomatik atau refleks sosial. 8 Keterbatasan konsep Bourdieu ini diatasi oleh Giddens dengan memasukan konsep kesadaran diskursif. Kesadaran diskursif menekankan bahwa para aktor atau agen dalam interaksi sosial memiliki kompetensi untuk mengetahui dan menjelaskan hampir sebagian besar apa yang mereka lakukan – bila ditanya mereka bisa menjelaskan. Tetapi kesadaran diskursif ini terkait dengan para aktor modern. Agaknya bagi Giddens, masyarakat suku (tribal) yang masih pada berkebudayaan lisan masih menggunakan kesadaran praktikal.

Telusuran atas narasi dan praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta memberikan kritik-korektif terhadap teorisasi praktik sosial Giddens. Pertama, Giddens membatasi para aktor dalam sistem sosial dan integrasi sosial hanya pada level individu. Penekanan pada individu juga mendominasi teorisasi Fredrik Barth sehingga mengabaikan importansi kolektivitas atau kelompok dan efek normatif dari kebudayaan. Barth lebih

8 Sangat mungkin karena Bourdieu melakukan riset antropologi sosial dalam masyarakat suku. Sementara teorisasi Giddens berpusar dalam

masyarakat modern. Menarik bahwa Fredrik Barth yang meneliti kelompok- kelompok suku pedalaman Birma malah mengidentifikasikan para aktor sosial subsusku pedalaman sebagai enterprenurial subjects yang melakukan

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

tegas lagi dengan mengategorikan aktor-aktor sosial etnik/subetnik sebagai enterpreneurial subjects. Sementara praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta menunjukkan bahwa para aktor sosial tidak hanya individu, tetapi lebih menekankan peran kelompok atau marga. Posisi ontologis kelompok marga sangat menentukan dalam membentuk narasi-narasi dan praktik-praktik sosial individu. Di mana adat atau kultur, yang tampak dalam pola-pola perilaku normatif, menjadi basis utama dan referensi serta tuas (giroskop) paradigmatik mereka sebagaimana ditegaskan oleh para teoris etnisitas konvergensif seperti Abner Cohen dan Charles F. Keyes. Temuan ini secara riset lebih dekat kepada teorisasi Bourdieu yang menekankan kelas sebagai basis eksitensi agensi, tetapi dalam rumpun etnik Mbaham Matta tidak mengenal sistem kelas sosial. Mereka berbasis penuh pada marga, kekerabatan, dan aliansi lintas marga.

Kedua, Giddens menempatkan para aktor atau agen dalam lingkup interaksi sosial tatap muka (sistim sosial- mikro) terkait dengan kompleks integrasi sosial. Ini berlaku untuk masyarakat suku (tribal). Padahal strategi kebudayaan etnik Mbaham Matta menanggapi aktivitas dalam konteks sistem sosial-makro dengan integrasi sistemnya menunjukkan bahwa para aktor lokal melalui aliansi lintas marga menegaskan otoritas dan kepentingannya melalui pemilihan pengganti raja yang mereka kehendaki. Untuk itu marga- marga utama di wilayah petuanan Fatagar mengirim utusan ke Seram yang bergerak cepat menjemput dan membawa pulang serta melantik keponakan mereka, Mafa, sebagai raja Fatagar. Mereka dengan sadar dan tegas memasuki tarung kekuasaan politik dalam ranah institusional kekuasaan kesultanan Tidore dan Belanda. Mereka memiliki pengetahuan tentang kondisi dan dinamika politik serta sadar posisi dan kepentingan mereka. Mereka sejak awal telah memandang dan memperlakukan insitusi raja, yang diinkorposasikan ke dalam

214 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

kehidupan mereka, sebagai ruang negosiasi kritis dengan aparatus kekuatan-kekuatan

sistemik politik-ekonomi Tidore/Belanda.

Telurusan ke dalam narasi-narasi dan praktik-praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta menunjukkan bahwa pemeliharaan ruang demarkasi sosial etnik (ethnic boundary) sebagaimana dikemukan oleh Fredrik Barth memang sangat penting dalam rangka identifikasi sosial (group identification) dan kelangsungan kekhasan kultural etnik. Dengan begitu teorisasi etnisitas Barth lebih memberi fokus pada dinamika internal etnogenesis yang berujung pada reproduksi sosial etnik.

instrumentalis ini mengabaikan dinamika etnogenesis di ruang eksternal atau ruang publik, yaitu perjumpaan dengan kekuatan-kekuatan sistemik politik-ekonomi dan agama-agama yang datang. Etnogenesis Mbaham Matta telah menunjukkan bahwa mereka, sebagai etnik lokal menyeberang masuk, melalui strategi dualitas inkorporasi ke dalam ruang publik tarung kekuasaan. Kritik korektif ini juga telah disinyalkan oleh antara lain Jenkins yang menyatakan bahwa Barth terlampau mengutamakan proses-proses identikasi kelompok, yang berlangsung dalam lingkup internal etnik dan mengabaikan proses-proses kategorisasi sosial yang berlangsung di luar lingkup etnik. Menurut Roberth Jenkins kompetisi lintas etnik atau kelompok dalam ruang publik ini terkait erat dengan relasi-relasi kekuasaan. Tetapi Jenkins pun tidak bertolak jauh dari pokok argumentasi Barth, yakni masyarakat etnik cenderung pada maintanenance of boundary yang inward looking.

Kecenderungan

teorisasi

Kritik ini membawa kepada pandangan bahwa rumpun etnik Mbaham Matta tidak hanya berkutat dalam ranah sistim sosial dengan integrasi sosialnya, tetapi mereka juga masuk ke dalam ranah sistem sosial-makro dengan integrasi sistemnya. Dengan ini mereka secara diam-diam ingin menunjukkan

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

model atau strategi mereka membangun jembatan dialog dan negosiasi berkelanjutan yang konstruktif-transformatif antara eksistensi

dengan eksistensi sosial-kultural-politik-religi kelompok pendatang. 9 Catatan ini sangat penting terkait teorisasi etnisitas atau etnogenesis dan transformasi sosial. Rumpun etnik Mbaham Matta tidak berhenti hanya pada titik maintenance of ethnic boundary, tetapi mereka menunjukkan gairah kelompok- kelompok etnik untuk mendinamisir dan mengelaborasi wilayah demarkasi sosial etnik mereka sebagai rumah perjumpaan dan model yang mereka tawarkan dalam usaha transformasi masyarakat secara menyeluruh.

sosial-kultural-politik-religi mereka

Karakter penting lain yang harus diberi perhatian dalam konteks etnogenesis Mbaham Matta adalah sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan menjadi giroskop atau tuas pemutar dan penggerak seluruh dinamika etnogenesis Mbaham Matta. Bermula dari pengalaman pahit dan kelam sepanjang fase kerjawriya, muncul kesadaran baru untuk memperbaharui ikatan-ikatan lintas marga dan kampung serta wilayah. Hal mana ditandai dengan sumpah kolektif warqpa thumber serta pembentukan aliansi-aliansi di bawah payung narasi keasalan bersama sebagai sesama turunan dari Gunung Mbaham yang menjangkau sejarah panjang migrasi sampai wilayah Matta.

9 Muncul catatan kritis kultural dari beberapa informan kunci dalam riset Penulis terkait istilah “kelompok atau kaum pendatang.” Mereka

menyatakan bahwa istilah “pendatang” yang penulis gunakan untuk orang- orang luar etnik mereka adalah kurang tepat. Menurut mereka yang dikategorikan sebagai ‘pendatang’ sesungguhnya adalah keturunan leluhur

mereka yang dulu pergi keluar. Para leluhur dulu berjanji akan kembali lagi. Kini mereka kembali melalui kaum ‘pendatang’ yang adalah saudara-saudara seketurunan. Fenomena ini terkiat dengan pandangan-pandangan gerakan

cargo-cult yang menjadi ciri khas wilayah kebudayaan Melanesia sampai kepualauan-kepulauan Pasifik. Lihat: G. W. Trompf (ed.), Cargo Cults and Millenarian Movements: Transoceanic Comparisons of New religious

216 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Jaringan kekerabatan mereka mengalir, terajut dan tertata rapih serta kokoh melalui perkawinan lintas keluarga, marga, kampung dan agama. Sejarah panjang praktik-praktik perkawinan mereka dengan suku-suku dari luar menjadi mekanisme sosial yang memperluas dan meragamkan kekerabatan rumpun etnik Mbaham Matta. Mereka sangat menghargai para ipar entah lelaki maupun perempuan dan keluarga. Besar. Karena itu mereka sering memberikan kepercayaan kepada para ipar lelaki untuk memegang tugas- tugas atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan dan masyarakat kampung. Praktik atau mekanisme sosial pengembangan kekerabatan yang bukan sedarah ini berlangsung atas seorang Pendeta yang berasal suku Tanimbar. Setelah bertugas beberapa tahun, Pendeta diundang oleh seorang Bapak yang adalah mayor di kampung tersebut. Mereka duduk melingkar di rumah panggung berhadapan. Kemudian Mama membuka kain putih yang di atasnya diletakkan mehak (minuman kopi lokal), pandoki (daun

pembungkus tembakau), dan tembakau lokal. 10 Bapak Mayor kemudian menyampaikan suara hatinya untuk mengangkat sang Pendeta menjadi anak dalam keluarga dan marga mereka. Bapak Mayor katakan bahwa setelah dia melihat kehidupan dan cara kerja serta pelayanan sang Pendeta dia sangat senang dan bahagia. Baginya Pendeta layak diangkat jadi anaknya. Kemudian Bapak keluarga berbicara dalam bahasa yang disampaikan kepada anak-anaknya yang lain bahwa sekarang Pendeta telah menjadi bagian dari keluarga dan marga

mereka. 11 Perluasan kekerabatan ini menjadi mekanisme sosial

penting yang menunjukkan bahwa rumpun etnik Mbaham Matta adalah masyarakat yang terbuka. Sikap kultural

10 Kain putih, mehak, pandoki, dan tembakau menunjukkan keseriusan dan pentingnya pertemuan tersebut.

11 Wawancara dengan Pendeta Rudi Falirat, S.Th. tanggal 2 Oktober

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

sedemikian memberi dasar bagi pengembangan kekerabatan yang bukan hanya atas dasar perkawinan, tetapi juga melalui mekanisme atau praktik sosial lainnya termasuk inkorporasi kemargaan dari yang tidak memiliki hubungan darah dan dari luar suku/daerah. Model perluasan kekerabatan ini terimplementasi secara jelas dalam acara adat kumpul harta (tomhormag) di mana orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah terlibat membawa sumbangan mereka. Kami dilibatkan dalam

tombhormag dalam lingkungan marga Rohohmana dan Hindom karena kami mengangkat orang tua saksi baptisan untuk anak kami dari marga Rohrohmana/Hindom. Tombhormag adalah acara adat yang sangat penting sebagai implementasi ikatan-ikatan kekerabatan (aliansi) dalam rumpun etnik Mbaham Matta. Partisipasi dalam acara adat ini memang berantai dan tak terputuskan. Hal ini ditandai dengan adanya rantai social interchange melalui pembayaran tanggungan harta. Model kekerabatan ini mendukung konsep dan proyek elaborasi kekerabatan yang disampaikan oleh Janet Carsten yakni relatedness: kekerabatan bisa dibangun atau terbangun karena ragam interaksi dalam ragam konteks atau peristiwa sosial. Dengan pendekatan kekerabatan seperti ini niscaya untuk membangun sistim kekerabatan baru dalam rangka pengembangan tatanan masyarakat luas yang multikultural.

proses-proses

C. Reidentifikasi Sosial dan Reafirmasi Moralitas Sosial

Dalam lingkup sejarah sosial internal rumpun etnik Mbaham Matta telah diperlihatkan bahwa berlangsung juga perubahan struktur sistem sosial dan struktur sistem kebudayaan. Migrasi dan perubahan fase kehidupan membawa kepada perjumpaan dan interaksi dengan kehadiran pihak-pihak lain. Ini tentunya memengaruhi jumlah dan kualitas partisipan dalam interaksi sosial. Secara khusus mulai pada fase hriet wriya dan kerja wriya serta peh wriya.

218 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Dari interaksi yang penuh kecurigaan dan permusuhan bahkan perang dan pengayauan berubah menjadi kehidupan dengan kultur saling aliansi atau band yang berbasis pada adat dan kekerabatan. Dari budaya perang membentuk budaya cinta damai (idu-idu maninina). Budaya masyarakat berkelas dan tertutup (patron-klien; tuan-budak; tuan tanah – pendatang, dll.) berubah menjadi masyarakat egaliter yang inklusif dan terbuka.

Perubahan struktur kebudayaan sedemkian jelas membawa pada reafirmasi moralitas sosial. Moralitas sosial keseharian masyarakat etnik Mbaham Matta ditandai antara lain dengan kearifan yang khas: (1) mereka tidak berbicara sembarang waktu dan sembarang ucapan; (2) mengutamakan musyawarah dengan pembicaraan-pembicaraan yang halus menggunakan ragam metafora yang mengajak kawan bicara memasuki lebih dalam maksud atau pendapat yang disampaikan; (3) menghormati status dan hak orang lain; (4) terbuka dan ramah; (4) nilai-nilai agama seperti cinta kasih, jangan mencuri, dll sangat dipegang.

struktur sistem kebudayaan, yang teorisasi Giddens disebut struktur (cultural stucture) atau dalam teorisasi Barth disebut cultural stuff perlu

Terkait dengan

perubahan

diajukan elaborasi mengikuti kritik Margareth S. Archer. 12 Archer melihat bahwa sebagai akibat dari fokusnya pada agensi manusia dan praktik sosial dalam interaksi sosial serta individualisme aktor sosial (begitu juga Barth), Giddens mengabaikan keberadaan kebudayaan (culture) sebagai entitas sistemik yang berdiri di luar sistem sosial. Bagi Archer Giddens telah menumpang-tindihkan (conflation) sistem kebudayaan (cultural system) dengan kebudayaan yang dipraktikan dalam interaksi sosial, yang Archer sebut sebagai socio-cultural system. Giddens lebih menekankan kebudayaan

12 Margareth S. Archer, Culture and Agency:The Place of Culture in

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

sebagai praktik sosial. Baginya yang disebut kebudayaan adalah yang dipraktikan dalam sistem sosial melalui interaksi- interaksi sosial tatap muka. Giddens mengembangkan pemahaman kebudayaan sebagai praksis. Dalam garis pikir ini, Giddens mengatakan bahwa para aktor sosial selalu berusaha mempertahankan theoritical understanding dasar-dasar tindakan atau aktivitas mereka. Mereka mempertahankan dasar-dasar tindakan atau aktivitas mereka itu karena sebagai praksis relevan dan bermanfaat dalam memelihara batas- batas ruang sosial-budaya etnik mereka. Sejalan dengan Barth bahwa kebudayaan itu adalah hasil pilihan praktis manusia dalam mengahadapi situasi dan mengejar tujuannya. Pandangan seperti ini berat sebelah dimana kebudayaan dilihat sekedar sebagai semacam tempat peralatan (tools kit) seperti yang didefinisikan oleh An Swidler. Ini berakibat negasi atas entitas sistim kebudayaan sebagai produsen keyakinan-keyakinan (beliefs), core values, kerangka makna dan tindakan. Bila paham ini semata yang kita pegang, maka kita tidak bisa menerangkan mengapa rumpun etnik Mbaham Matta begitu kokoh berpegang pada adat dan kekerabatan mereka, pada perjanjian aliansi-aliansi lintas marga mereka? Mengapa adat dan kekerabatan berposisi sangat kuat sebagai giroskop kebudayaan (cultural gyroscope) dalam proses- proses negosiasi dan inkorporasi yang dijalankan oleh rumpun etnik Mbaham Matta? Mengapa mereka menerima proses legitimizing identity tetapi tetap melakukan perlawanan kebudayaan serta bergerak menuju identifikasi sosial proyek dan transformasi sosial dengan tetap menjadikan adat dan kekerabatan sebagai basis? Harus dijawab secara tegas bahwa terdapat sebuah entitas sistem kebudayaan yang menjadi giroskop bagi keseluruhan proses-proses sosial-kultural etnik Mbaham Matta. Sistem kebudayaan ini memiliki daya pembentuk dan pengarah yang kuat dan mengatasi sistem sosial, human agensi, dan interaksi sosial. Jadi yang berubah dinamis adalah socio-cultural system, bukan cultural system.

220 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Cultural system mengalami perubahan dalam rentang waktu yang panjang. Socio-cultural system atau kebudayaan yang dipraktikan dalam interaksi sosial oleh para aktor inilah yang mengarah kepada reafirmasi moral sosial – tentu dengan tetap merujuk pada panduan asal sistem kebudayaan yang menyediakan peta dasar sistem keyakinan dan nilai, sistem pemaknaan dan tindakan serta sistem penataan institusional (sistem kekerabatan dan sistem perkawinan). Socio-cultural system menyediakan stok pengetahuan praktis (kesadaran praktis) interpretasi-interpretasi dan kerangka kerja kontekstual. Proses ini sedemikian juga berlangsung atas reidentifikasi sosial etnik Mbaham Matta.

Identitas sosial pun menjalani perubahan dan penguatan. Menurut Barth identifikasi sosial terkait erat dengan proses dan dinamika pemeliharaan batas sosial etnik (ethnic boundary). Identitas sosial bergerak bersama pergerakan ethnic boundary. Proses identifikasi ini berlangsung di dua ranah terkait, yakni ranah internal etnik atau kelompok dan ranah eksternal sistemik sebagaimana telah dijelaskan di atas. Identifikasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta berakar kuat dalam adat dan kekerabatan,

yang mereka ungkapkan melalui metafora: “pertama adat, barulah agama dan pemerintah. Adat yang membungkus agama dan pemerintah.” Integrasi mereka ke dalam lingkup keagamaan baru dan sistem pemerintahan (politik, ekonomi,

dll) mengantar mereka mengambil simbol-simbol, nilai, ajaran, etika, ritual keagamaan maupun perilaku politik baru, tetapi bagi mereka adat dan kekerabatanlah yang menjadi tuas atau sumbu penumpu dan penggerak identitas sosial mereka. Misalnya sekeras apapun perbedaan pandangan dan pilihan politik, pada ujungnya mereka akan kembali kepada narasi atau tuturan adat dan silsilah (kekerabatan). Sebegitu juga mereka tabu menjadikan perbedaan kiblat, ajaran, ritus, dan

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

etika sebagai pemisah atau pemecah belah kekerabatan dan nilai-nilai adat mereka.

Dalam konteks sedemikian kita mengakui adanya konsep atau pemahaman diri yang menjadi disposisi dalam diri mereka, yakni diri mereka adalah keberadaan yang mutualis. Diri sendiri adalah bagian dari diri orang lain atau diri kolektif. Dalam teori dikatakan bahwa mereka memahami diri sebagai poros partispasi (a node of participation). Sehingga kedirian mereka tidak dipahami dan diperlakukan secara individual, diri yang berada di dalam diri sendiri dan tertutup (atomistic), tetapi diri yang dividual. Diri yang dividual adalah diri yang terbuka dan terbagi dalam kolektivitas mereka. Diri mereka saling berpartisipasi atau saling mengambil bagian dalam semangat kekerabatan dan adat. Ini yang oleh Lieber disebut consocial personhood. Lieber

merumuskan demikian “The person is not an individual in our Western sense of the term. The person is instead a locus of

shared biogarphies: personal histories of people’s relationships with other people and with things .” Kedirian warga rumpun etnik Mbaham Matta adalah kedirian kolektif, mereka membawa kedirian kolektif dalam diri-diri mereka. Identitas mereka dibentuk dan diarahkan oleh kedirian kolektif ini, karena diri seseorang merupakan lokasi biografi-biografi bersama. Dalam konsep atau filsafat kedirian etnik sedemikian terdengar gaung pengaruh pemikiran Durkheim tentang masyarakat sebagai entitas yang mengatasi dan mengarahkan individu-individu.

Tetapi kedirian ini bukanlah kedirian yang statis, sebaliknya dinamis sebagimana telah ditunjukkan disepanjang sejarah etnogenesis Mbaham Matta. Mereka merupakan aktor- aktor kolektif berbasis kekerabatan yang memiliki pengetahuan tentang diri mereka dan kondisi-kondisi yang melingkupi mereka baik karena kesadaran praktikal maupun kesadaran diskursif yang mereka milik. Dalam tataran inilah

222 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dualitas struktur yang dikemukan oleh Anthony Giddens terjelaskan secara praktis riset. Sturktur budaya (atau mengikuti Archer: socio-cultrual system) kolektif yang menyediakan panduan keyakinan dan nilai serta kerangkan pemaknaan dan tindakan pada satu membatasi (constraining), tetapi pada pihak lain secara simultan memberdayakan (enabling) para aktor sosial melakukan restrukturasi, yaitu reformulasi dan rekonstruksi struktur kebudayaan dalam merespons situasi atau kebutuhan melalui praksis-praksis sosial mereka. Jadi di satu sisi terdapat aspek kuat atau tetap, di pihak lain terdapat aspek dinamis yang memungkinkan keterbukaan, inklusi dan transformasi.

Melihat konsistensi pengaruh basis kekerabatan dan adat terhadap identifikasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta, sebagaimana mereka telah tunjukkan dalam dinamika dualitas inkorporasi, mengantar Penulis memahaminya dalam kerangka teorisasi identitas yang dikemukakan oleh Manuel Castell. Ini penting karena terkait dengan imajinasi mereka membangun tatanan masyarakat multikultural. Dari pengamatan dan pengalaman hidup bersama mereka tampak bahwa ketiga kategori identitas yang dikemukaan Castell melekat membentuk sebuah tahapan dan pergerakan inklusif- kritikal dan resistensif-proyektif dalam proses-proses identifikasi sosial etnik Mbaham Matta. Penerimaan identitas legitimasi (inklusi) tidak menghasilkan sebuah komunitas etnik yang tertaklukan dan pasrah pada otoritas agama-agama yang mereka telah terima secara demokratis. Sikap kritis kultural etnik terhadap aspek-aspek keagamaan yang berkarakter penakluk hegemonik doktrinal tetap hidup. Sekalipun ethnic boundary telah mereka buka tetapi penjarakkan atau distansi dan sinyal alarm kritis kultural tetap hidup. Kondisi inilah yang mendorong berputarnya sumbu identifikas sosial resistensif dan proyektif mereka. Fenomena budaya ini dapat ditunjukan melalui diagram di bawah ini:

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

identitas proyek

identitas resisten-

si

legitimizing identity

Pada tahap pertama, mereka menerima identitas yang diprakarsai oleh institusi-instutusi politik-ekonomi dan keagamaan dominan. Kita dapat menyusuri fenomena ini dalam sejarah sosial mereka. Karakter kultural rumpun etnik Mbaham Matta yang tenang dan tidak reaktif-vulgar mendukung kondisi pelegitimasian identitas demikian. Mereka menjadi umat Islam, Protestan, dan Katolik. Mereka menjalani pendidikan, pengajaran, ritual dan menggunkan atribut- atribut sesuai kiblat keagamaan yang dianut. Castel menyebut tahap identifikasi sosial ini legitimizing identity.

Tahap kedua, bila diperhatikan dengan baik akan ditemukan sisi lain dari proses identifikasi sosial mereka. Mereka memang bukan tipe masyarakat yang suka berkampanye diri, tetapi identifikasi sosial mereka yang khas sesungguhnya menjadi kritik halus kebudayaan terhadap identifikasi sosial yang disebarkan atau ditanamkan antara lain oleh institusi-instusi, aparatur-aparatur keagamaan dominan-hegemonik. Penulis menanyakan kepada seorang Imam yang adalah salah seorang informan kunci tentang kunjungan penghotbah- penghotbah “keras” ke kampung mereka. Bapak Imam menyatakan bahwa “Kami tidak

menolak, kami mepersilahkan individu atau kelompok penghotbah itu untuk menjalankan tugas mereka di Mesjid. Kami ikut kegiatan dan mendengar apa yang mereka sampaikan. Tetapi kami tidak pernah akan mengakui dan

224 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

mengikuti ajaran-ajaran mereka yang radikal dan merendahkan agama-

agama lain.” 13

Penulis teringat pada narasi seorang Ketua DPRD Kabupaten Fakfak, Bapak Umar Patiran, dalam suatu pertemuan terkait pembinaan kerukunan umat beragama pada tahun 1992. Bapak Umar menyatakan bahwa mereka pernah meminta dengan tegas agar salah satu Khatib, yang bekerja di Kantor Pengadilan Agama Fakfak, dipulangkan ke daerah asal atau dipindahkan dari Fakfak. Karena khobtah- khotbahnya cenderung merusak sendi-sendi kehidupan beragama di Fakfak yang berasaskan kekerabatan atau kekeluargaan.

Ketika para penyusup (intruders) penyebar virus kerusuhan Maluku memasuki wilayah Teluk Patipi pada tahun 2000 mereka menyinggahi salah satu kampung Muslim. Mereka menyusup menggunakan boat dan membawa alat-alat perang seperti alat tajam dan senjata serta mesium. Mereka ingin memprovokasi warga muslim menyerang warga Kristen. Tetapi secara diam-diam warga kampung Muslim mendayung perahu ke kampung Kristen terdekat memberitahu kehadiran para intruder dan rencana mereka. Sesuai watak etnik Mbaham Matta yang tidak reaktif tetapi tenang, mereka melaporkan secara baik-baik kepada pihak keamanan. Para intruders diamankan dan dipulangkan ke daerah mereka.

Dalam lingkup kekristenanpun pengajaran-pengajaran dan khotbah-khotbah tabu untuk menyinggung atau merendahkan agama Islam. Warga Kristen sangat menghindari dan enggan atau tidak tertarik pada wacana-wacana doktrinal keagamaan narsistik. Dalam ajaran gerakan mesianik lokal Mahambotmur Yesus disapa sebagai kakak laki-laki tertua (Iha: nen). Sebutan ini memiliki makna etik terkait dengan

13 Wawancara dengan Bapak Haji Aman Patiran, salah satu Imam di

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik

kekerabatan dan identifikasi sosial mereka. Mereka memiliki satu saja kakak laki-laki yaitu Yesus. Itu berarti mereka semua adalah adik, sesama adik. Mereka setara sebagai adik-adik

apapun agama yang dianut. 14

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan pada Algoritma LFSR (Linear Feedback Shift Register) dalam Reposisi XOR dalam Pencarian Bilangan Acak Terbaik: Studi Kasus LFSR dengan 4 Bit dan 6 Bit

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: BINAKEL: Kajian terhadap Tema Bulanan Bina Keluarga Gereja Protestan Maluku (GPM) Tahun 2017 dari Perspektif Teologi Keluarga Maurice Eminyan

0 5 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Nateek bagi Pembentukan Identitas Sosial Etnik Cina Indonesia (ECI) di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Sonhalan Niki Niki

0 2 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Raport Online: Studi Kasus SD Masehi Pekalongan

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integritas Suricata Intrusion Detection System (IDS) dengan Mikrotik Firewall untuk Keamanan Jaringan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

3 9 21

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik S

0 0 36

BAB II KERANGKA TEORI: Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

1 1 49

BAB III RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA: KONTEKS GEOGRAFIS DAN HISTORIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi:

1 1 32

BAB IV RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA: TUAN RUMAH SOSIAL-BUDAYA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelus

1 1 82