PERBEDAAN KEMAMPUAN SEKSUAL ANTARA LANSIA PRIA YANG BEROLAHRAGA DAN TIDAK BEROLAHRAGA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
PERBEDAAN KEMAMPUAN SEKSUAL ANTARA LANSIA PRIA YANG BEROLAHRAGA DAN TIDAK BEROLAHRAGA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ATIKA ZULFA G0008202 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang segera tertulis diacu dalam naskah dan
disebutkan dalam daftar pustaka.Surakarta, 20 Desember 2011 Atika Zulfa G0008202
ABSTRAK
Atika Zulfa, G0008202, 2011. Perbedaan Kemampuan Seksual antara Lansia Pria
yang Berolahraga dan Tidak Berolahraga.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan
kemampuan seksual antara lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Subjek penelitian adalah lansia pria yang berolahraga
dan tidak berolahraga. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive
sampling . Data penelitian diperoleh dari dua macam kuesioner, yaitu kuesioner L- MMPI dan ASEX-male. Analisis statistik menggunakan uji tHasil: total 60 jumlah sampel terdiri atas 30 lansia pria yang berolahraga dan 30
lansia pria yang tidak berolahraga. Pada lansia yang berolahraga didapatkan rata-rata skor ASEX-male sebesar 20.77 dan SD sebesar 6.14. Pada lansia yang tidak
berolahraga didapatkan rata-rata skor ASEX-male sebesar 25.43 dan SD sebesar
5.24. Perbedaan kemampuan seksual antara lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga menghasilkan nilai signifikansi (p = 0.004).
Simpulan: Terdapat perbedaan kemampuan seksual yang secara statistik
signifikan antara lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga (p = 0.004).Kata kunci : kemampuan seksual, olahraga.
ABSTRACT
Atika Zulfa, G0008202, 2011. Sexual Ability Differences between The Elderly
who Exercise and Not Do Exercise.
Objectives: This study aims to find the difference between the elderly who
exercise and not do exercise.
Methods: This was an analytic observational research with cross sectional
approach. The subjects is the elderly who exercise and not do exercise. The
sampling technique using purposive sampling. The research data obtained by two
different questionaire, the L-MMPI questionnaire and Arizona Sexual
Experiences Scale (ASEX)-Male. Statitical analysis using t-test.
Results: Of the totals 60 number of samples consisted of 30 elderly who exercise
and 30 elderly who not do exercise. The elderly who exercise is obtained on
average sexual ability score of 20.77 and SD 6.14. The elderly who not do
exercise is obtained on average sexual ability score of 25.43 and SD 5.24. Sexual
ability differences between the elderly who exercise and not do exercise generate
significant value (p = 0.004).
Conclusion: Sexual ability differences between the elderly who exercise and not
do exercise generate significant value (p = 0.004).Key words : Sexual ability, elderly.
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan ridho-Nya skripsi
dengan judul “Perbedaan Kemampuan Seksual antara Lansia Pria yang
Berolahraga dan Tidak Berolahraga” dapat terselesaikan.
Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini tidaklah dapat
terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu:1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
2. I.G.B. Indro N, dr., Sp.KJ selaku pembimbing utama atas segala bimbingan, masukan, dan jalan keluar dari permasalahan yang timbul dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Novi Primadewi, dr., Sp.THT., M.Kes selaku pembimbing pendamping atas segala bimbingan dan masukan mulai dari awal penyusunan hingga akhir penelitian skripsi ini.
4. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) selaku penguji utama atas segala masukan dan koreksi untuk berbagai kekurangan dalam skripsi ini.
5. Sinu Andhy Yusuf, dr, M.Kes selaku anggota penguji atas masukan dan koreksi untuk berbagai kekurangan dalam skripsi ini.
6. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi beserta Staf
Bagian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
7. Papa, Mama, Mbah, dan semua saudara yang telah memberikan doa dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Yusuf Allan, Ratri Satya, Dwi Wirastama, Rakryan, Maria Leony, Dessy Hayu, Maulia, saudara, sahabat, rekan seperjuangan Pendidikan Dokter 2008 atas segala kerjasama dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Teman-teman angkatan 2010 yang bersedia meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner penelitian ini.
10. Pihak-pihak yang tidak dapat penulisan sebutkan satu-persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa
datang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.Surakarta, 2 Desember 2011
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................................................... viDAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1 B. Rumusan Masalah .................................................................
3 C. Tujuan Penelitian ...................................................................
3 D. Manfaat Penelitian .................................................................
3 BAB II. LANDASAN TEORI ..................................................................
4 A. Tinjauan Pustaka ...................................................................
4 B. Kerangka Pemikiran ..............................................................
15 C. Hipotesis ................................................................................
16 BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................
17 A. Jenis Penelitian ......................................................................
17 B. Lokasi Penelitian ...................................................................
17 C. Subjek Penelitian. ..................................................................
17 D. Teknik Sampling ...................................................................
18 E. Rancangan Penelitian ............................................................
19 F. Identifikasi Variabel Penelitian .............................................
19 G. Definisi Operasional Variabel ...............................................
20 H. Instrumen Penelitian ..............................................................
21 I. Cara Kerja ..............................................................................
22 J. Teknik Analisis Data .............................................................
22 BAB IV. HASIL PENELITIAN .................................................................
23 A. Deskripsi Sampel 23 .......................................................................
BAB V. PEMBAHASAN .........................................................................
27 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................
30 A. Simpulan ................................................................................
30 B. Saran ......................................................................................
30 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
31
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tipe Olahraga pada Lansia…………………………………….. 12Tabel 4.1 Distribusi Gangguan Kemampuan Seksual Berdasarkan Umur.. 24Tabel 4.2 Distribusi Gangguan Kemampuan Seksual Berdasarkan TingkatPendidikan……………………………………………………… 24
Tabel 4.3 Uji Normalitas Penyebaran Data dengan Kolmogorov-Smirnov.. 25Tabel 4.4 Hasil Analisis Data dengan Mann-Whitney…………………….. 25
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Gambar Bloxpot Perbedaan Rata-rata Kemampuan Seksual…… 26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian Lampiran 3. Data Pribadi Responden dan Informed Consent Lampiran 4. Kuesioner L-MMPI Lampiran 5. Kuesioner Arizona Sexual Experiences Scale (ASEX)-Male Lampiran 6. Data Mentah Hasil Penelitian Lampiran 7. Uji Normalitas Data dan Uji Analisis DataBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses menjadi tua merupakan suatu kondisi yang wajar dan tidak dapat
dihindarkan sebagai suatu fase kehidupan manusia. Sebagai suatu proses sudah barang tentu diperlukan persiapan sejak dini agar memiliki persiapan menghadapi ketuaan itu. Rentang kehidupan orang usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu (Dermatoto, 2006).
Menurut BPS (dalam Darmojo, 2010), pada tahun 2000 jumlah orang lanjut usia diproyeksikan sebesar 7,28 % dan pada tahun 2020 sebesar 11,34 %. Menurut Kinsella dan Tauber dari data USA-Bureau of the Census (dalam Darmojo, 2010), bahkan indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar seluruh dunia, antara tahun 1990 - 2025, yaitu sebesar 414 %.
Fakta yang tidak terbantahkan adalah pertambahan usia memang terus menggerogoti kebugaran fisik. Bagi yang rajin memelihara kesehatan, meskipun proses penuaan tetap tidak mungkin dihindarkan, tetapi efeknya bisa diminimalisir. Tetapi, jika seseorang melakukan perawatan kesehatan secara buruk, pengaruh proses penuaan terhadap kondisi fisik akan lebih cepat terjadi (Surbakti, 2008).
Pada hal ini, penting untuk mengukur kemampuan lansia dalam memilih jenis olahraga dan kegiatan fisik yang sesuai. Biasanya sudah ada keterbatasan dalam pergerakannya (Santoso, 2009).
Perubahan lain pada lansia yang mengalami kemunduran yaitu perubahan seksual. Masa berhentinya reproduksi keturunan (klimakterik) pada pria datang belakangan dibandingkan masa menopause pada wanita, dan memerlukan masa yang lebih lama. Pada umumnya ada penurunan potensi seksual selama usia enampuluhan, kemudian berlanjut sesuai dengan bertambahnya usia (Hurlock, 2003).
Diperkirakan 70 persen laki-laki yang berusia lebih dari 60 tahun aktif secara seksual. Aktivitas seksual biasanya dibatasi oleh tidak adanya pasangan.
Walaupun potensi seksual telah berkurang, tetapi tidak berarti bahwa keinginan seksualnya menurun, atau kemampuan untuk melakukan hubungan seksual menurun. Bagi pria dengan semakin bertambahnya usia, minat seksualnya lebih besar dibandingkan dengan aktivitas seksualnya (Hurlock, 2003).
Terdapat banyak bukti bahwa seks yang teratur dapat membantu hidup yang lebih lama. Untuk menunjang kehidupan seksual pada lansia, diperlukan kesehatan fisik dan emosional. Tubuh yang sehat didapatkan dari olahraga yang teratur. Sedangkan keadaan emosionalnya dapat dipengaruhi oleh keadaan fungsional dan fisik yang efektif (Kusuma, 2000).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang perbedaan kemampuan seksual pada lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian: Adakah perbedaan kemampuan seksual pada lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga? C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan seksual pada lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
Memperoleh wawasan dan pengetahuan tentang kemampuan seksual pada lansia pria serta dapat digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian selanjutnya dengan hasil yang lebih baik.
2. Manfaat praktis
Untuk menambah pengetahuan lansia tentang pentingnya olahraga dalam meningkatkan kualitas hidup, salah satunya yaitu kehidupan seksualitas yang juga penting dalam membina rumah tangga yang harmonis.
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Lansia
a. Pengertian Lansia Banyak istilah yang diberikan kepada orang usia lanjut, seperti
”melanus” (manusia lanjut usia), ”manula” (manusia usia lanjut), ”jompo”, dan lain sebagainya. Dari singkatan-singkatan tersebut, yang paling populer sampai sekarang adalah ”manula” karena dianggap paling tepat menurut tata bahasa Indonesia (Dermatoto, 2006).
Dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas dinyatakan bahwa yang disebut lansia adalah laki- laki maupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam usia ini, kemampuan fisik dan kognitif manusia sangat menurun. Hal itu nantinya juga berakibat pada berkurangnya tingkat produktivitas manusia (Dermatoto, 2006).
Usia tua juga diartikan sebagai periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang yang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2003). b. Klasifikasi Lansia WHO (dalam Dermatoto, 2006)memberi patokan pembagian umur usia lanjut sebagai berikut:
1) Usia pertengahan (middle age) berusia 45 - 55 tahun 2) Usia lanjut (erderly) berusia 60 - 74 tahun 3) Tua (old) berusia 75 - 90 tahun 4) Sangat tua (very old) berusia di atas 90 tahun
c. Karakteristik Lansia Proses menjadi tua ini dinamakan senescence (dari kata yunani yang artinya menjadi tua) dan proses ini ditandai khas oleh penurunan fungsi seluruh sistem tubuh yang bertahan secara bertahap sistem kardiovaskuler, pernafasan, kemih, endokrin, dan sistem imun.
Perubahan-perubahan menjadi tua, karena adanya reaksi alat-alat tubuh yang berubah karena telah mengalami proses degenerasi. Ini tak lain dari proses bahwa makin tinggi usia, makin banyak terjadi perubahan- perubahan di dalam tubuh. Perubahan yang paling umum adalah kelelahan, berkurangnya ketegapan dan kekuatan, kenaikan berat badan, berkurangnya kelenturan pada persendian, penurunan kemauan dan kemampuan seks, datangnya menopause (pada wanita), berkurangnya penglihatan dan pendengaran, penurunan keterampilan, dan berkurangnya stamina pada umumnya. Misalnya sel mengecil atau menciut, jaringan ikat baru menggantikan sel-sel yang menghilang atau menciut dengan akibat timbulnya kemunduran fungsi organ tubuh.
Menurut Kaplan dan Saddock (2002), perubahan biologis yang terjadi pada lansia antara lain: 1) Tingkat selular
Terjadi perubahan tempat dan sensitivitas reseptor dan peningkatan kolagen dan elastin intraselular.
2) Sistem imun Terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan neoplasia dan peningkatan fungsi badan autoimun.
3) Muskuloskeletal Terjadi penurunan tinggi badan karena pemendekan kolumna spinalis, penurunan massa otot dan kekuatan otot, kehilangan matriks tulang, serta degenerasi permukaan sendi. 4) Kulit
Terjadi perubahan warna rambut menjadi kelabu disebabkan penurunan produksi melanin di folikel rambut, pengeriputan umum kulit, penurunan aktivitas kelenjar keringat, dan pertumbuhan kuku melambat. 5) Genitourinarius dan reproduktif
Pada genitourinarius terjadi penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal. Fungsi organ reproduktif juga mengalami penurunan kekerasan ereksi, menghilangnya semburan ejakulasi, dan pembesaran prostat. Penurunan kekerasan ereksi dan menghilangnya semburan ejakulasi dapat berpengaruh terhadap seksualitas lansia.
6) Indera khusus Terjadi penebalan lensa optik, ketidakmampuan untuk berakomodasi, kehilangan pendengaran frekuensi tinggi, penurunan ketajaman pengecapan, pembauan, dan perabaan. 7) Daya ingat
Terjadi penurunan ingatan sederhana dan kemampuan menyandikan menghilang (transfer daya ingat jangka pendek ke jangka panjang dan sebaliknya). 8) Otak
Terjadi penurunan berat keseluruhan otak kira-kira 17 % pada lansia, penurunan aliran darah serebral dan oksigenasi.
9) Kardiovaskular Terjadi penurunan elastisitas katup jantung, peningkatan kolagen di pembuluh darah, dan perubahan hemostasis tekanan darah.
10) Gastrointestinal Terjadi penurunan aliran darah ke usus dan hati, perubahan absorpsi dari saluran gastrointestinal, serta konstipasi.
11) Endokrin Terjadi penurunan kadar estrogen pada wanita dan produksi testosteron pada laki-laki, serta androgen adrenal menurun. Androgen, khususnya testosteron, diperlukan, meskipun tidak mutlak, untuk timbulnya nafsu seks pada laki-laki. Jika terjadi penurunan produksi testosteron, secara umum terjadi penurunan libido dan kadang-kadang berkurangnya fungsi ereksi dan ejakulasi.
12) Respirasi Terjadi penurunan kapasitas vital. Menghilangnya refleks batuk, dan menurunnya kerja siliaris epitelium bronkial.
Selain perubahan biologis, juga terjadi perubahan psikologis pada lansia. Perubahan psikologis pada lansia meliputi frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, kecemasan, dan depresi (Maryam et al., 2008).
d. Perilaku Seksual pada Lansia Diperkirakan 70 persen laki-laki dan 20 persen wanita yang berusia lebih dari 60 tahun aktif secara seksual. Aktivitas seksual biasanya dibatasi oleh tidak adanya pasangan. Dorongan seksual tidak menurun saat laki-laki dan wanita menjadi tua. William Master dan Virginia Jhonson melaporkan fungsi seksual pada lansia, yaitu perubahan fisiologis yang diperkirakan terjadi pada laki-laki adalah bertambah panjangnya waktu yang diperlukan untuk terjadinya ereksi, menurunnya ukuran penis, dan rembesan ejakulasi (Kaplan & Saddock, 2002).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi minat dan perilaku seksual pada orang usia lanjut. Faktor psikologis dan faktor fisiologis mempunyai pengaruh penting. Apabila seseorang dalam keadaan sehat, maka kegiatan seksualnya akan mengalami penurunan secara bertahap. Seseorang yang tidak melakukan hubungan seksual pada usia lanjut, biasanya disebabkan oleh penyakit yang diderita (Hurlock, 2003).
Menurut Hurlock (2003), faktor-faktor umum yang mempengaruhi perilaku seksual pada masa usia lanjut, antara lain: 1) Pola perilaku seksual pada masa lalu 2) Kesesuaian dengan pasangan hidup 3) Sikap sosial 4) Status perkawinan 5) Masalah non-seksual yang telah membebani sebelumnya 6) Terlalu akrab 7) Impotensi 2.
Kemampuan Seksual
Kemampuan seksual adalah suatu kesanggupan dalam melakukan hubungan seksual. Terdapat dua komponen yang mempengaruhi kemampuan seksual pada pria, yaitu:
a. Ereksi Ereksi merupakan pengerasan penis yang dalam keadaan normal lemas yang memungkinkannya masuk ke vagina. Ereksi tidak disebabkan oleh kontraksi otot-otot rangka di dalam penis, tetapi akibat pembengkakan penis oleh darah. Penis sebagian besar terdiri dari jaringan erektil yang terdiri dari tiga kolom ruang-ruang vaskuler seperti spons yang berjalan di sepanjang organ. Apabila tidak terjadi rangsangan seksual, jaringan erektil hanya berisi sedikit darah karena arteriol dalam keadaan konstriksi. Akibatnya penis tetap kecil dan lemas. Selama perangsangan seksual, arteriol-arteriol itu berdilatasi dan jaringan erektil terisi oleh darah, sehingga penis membesar baik panjang maupun lebarnya serta menjadi lebih keras (kaku). Penimbunan darah ini dan peningkatan ereksi terjadi karena penurunan aliran darah vena. Vena-vena yang mendapat darah dari jaringan erektil tertekan akibat pembengkakan yang ditimbulkan oleh peningkatan aliran masuk darah arteri. Respons ini mengubah penis menjadi organ yang mengeras dan memanjang serta mampu masuk menembus vagina.
b. Ejakulasi Seperti ereksi, ejakulasi dilakukan oleh refleks spinal. Rangsangan taktil dan psikis yang memicu ereksi akan menyebabkan ejakulasi jika tingkat perangsangan menguat sampai ke puncak. Respon ejakulasi berlangsung dalam dua fase, yaitu emisi dan ekspulsi. Volume dan isi sperma pada ejakulat bergantung pada lama waktu sebelum ejakulasi. Volume rata- rata semen adalah 3 ml, berkisar antara 2,5 sampai 6 ml. Ejakulasi manusia rata-rata mengandung sekitar 300 sampai 400 juta sperma (120 juta/ml) (Sherwood, 2002).
3. Olahraga pada Usia Lanjut
Pada usia lanjut, terjadi penurunan massa otot serta kekuatannya, laju denyut jantung maksimal, keterbatasan gerak, gangguan keseimbangan, dan terjadinya peningkatan lemak tubuh. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa latihan dan olahraga pada lanjut usia dapat mencegah atau melambatkan kehilangan fungsional tersebut (Darmojo & Matrono, 2010).
Berbagai komponen aktivitas dan kebugaran (Santoso, 2009)
a. Daya tahan (endurance) Latihan daya tahan berfungsi antara lain untuk perbaikan fungsi organ tubuh, misalnya jantung, pernapasan, otot, sendi, dan tulang.
b. Kekuatan Kekuatan otot dan massa tulang pada lansia menurun sehingga kekuatan makin berkurang. Peranan latihan beban sangat penting untuk menguatkan tulang agar tidak mudah patah.
c. Kelenturan Terjadi keterbatasan gerak karena kelenturan juga berkurang.
Latihan kelenturan ini sangat penting untuk melakukan kegiatan sehari- hari.
d. Koordinasi dan keseimbangan Gangguan koordinasi dan keseimbangan merupakan penyebab utama lansia mudah jatuh. Diperlukan latihan untuk menguatkan otot-otot penyangga keseimbangan tubuh.
e. Kecepatan Hal ini tidak diperlukan lagi kecepatan gerakan fisik pada lansia.
Tabel 2.1. Tipe Olahraga pada LansiaTipe olahraga Rekomendasi aktivitas untuk lansia
Manfaat potensial Frekuensi Aerobik/daya tahan Jalan kaki
Bersepeda Berenang Senam aerobik Senam pernapasan
Kardio-pulmonal Kontrol gula darah terkontrol Berat badan turun/normal Tidur nyaman Mood dan kesadaran baik
4-7 kali/minggu 30 menit/hari
Kekebalan/kekuatan Latihan beban Kekuatan otot Massa tulang Fungsi fisik Mobilitas
2-3 kali/minggu 20-30 menit/hari
Keseimbangan dan fleksibilitas Peregangan Yoga Tai-chi Naik-turun tangga
Keseimbangan Mencegah jatuh Mobilitas
4-7 kali/minggu 30 menit/ hari
(Kilpatrick, 2004; Gledhill, 2002) Olahraga yang baik bagi seorang lansia atau penyandang penyakit degeneratif/metabolik adalah olahraga aerobik yang dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan daya pernapasan (Hartono, 2006).
4. Hubungan Olahraga dan Kemampuan Seksual
Menurut Penhollow dan Young (2004), olahraga selain untuk kesehatan, juga dapat meningkatkan kehidupan seksual sehingga lebih menyenangkan.
Jenis olahraga yang mempengaruhi kehidupan seksual antara lain: a. Daya tahan jantung Jantung yang sehat dan memiliki daya tahan baik dapat meningkatkan antusias seksual. Membangun ketahanan jantung dapat membuat jantung kuat dan membuat tubuh semakin sehat.
b. Daya tahan otot Latihan ketahanan otot dilakukan untuk mempertahankan posisi dalam aktivitas seksual, sehingga tubuh dapat menjadi kelebihan dalam aktivitas seksual yang lebih lama. Latihan ini berupa latihan kekuatan dasar yang targetnya adalah otot-otot tubuh antara lain pinggul, bokong, paha, punggung, bahu, dan lengan.
c. Kekuatan Kekuatan merupakan hal lain yang dibutuhkan dalam mempertahankan posisi dalam aktivitas seksual.
d. Fleksibilitas Latihan kelenturan dapat meningkatkan kehidupan seksual seseorang dengan memudahkan melakukan posisi yang disukai dalam aktivitas seksual dengan jumlah minimum terjadinya cedera.
Olahraga juga meningkatkan hormon yang dapat meningkatkan aktivitas seksual, antara lain epinefrin, testosteron, endorfin, dan dopamin (HGH, 2011).
Olahraga rutin dapat mempengaruhi sistem neurotransmitter dan sistem hormonal. Pada sistem neurotransmitter terdapat dopamin yang menyebabkan peningkatan motivasi/hasrat seksual dan meningkatkan refleks genital pada pria berupa ejakulasi dan ereksi (Hull et al., 2004). Sedangkan pada sistem hormonal akan meningkatkan epinefrin, endorphin, dan testosteron. Sistem hormonal akan merangsang hipotalamus untuk mensekresi Corticotropin-
Releasing Hormon e (CRH) dan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH).
CRH akan merangsang hipofisis anterior untuk menghasilkan
Adenocortocitropic Hormone
(ACTH). Setelah itu, medulla adrenal akan mensekresi epinefrin yang efek vasodilatasi, peningkatan kekuatan miokardial, bronkodilatasi yang membuat jantung dan pernafasan berfungsi dengan baik dan fisik menjadi lebih kuat (Guyton and Hall, 2002; Cardoso, 1997).
Sedangkan korteks adrenal akan mensekresi endorphin yang menyebabkan perasaan euphoria dan kecemasan yang berkurang (HGH, 2011). Peningkatan
Gonadotropin Releasing Hormone
(GnRH) akan meningkatkan Luteinizing
Hormone
(LH) dan Follicle-Stimulating Hormone (FSH). Pada pria, FSH berfungsi untuk mengatur spermatogenesis dalam testis. LH berfungsi untuk merangsang produksi testosteron oleh testis. Hormon testosteron yang disekresi menyebabkan timbulnya libido atau hasrat seksual (Guyton and Hall, 2002; Cardoso, 1997).
B. Kerangka Pemikiran
Faktor psikologis Faktor sosial
Lansia Faktor spiritual
Faktor organik
Olahraga
Sistem neurotransmitter Sistem hormonal
Dopamin Hipotalamus: Hipotalamus:
Sekresi GnRH sekresi CRH hasrat seksual Hipofisis anterior:
Sekresi LH dan Sekresi ACTH refleks genital
Sel leydig: Sekresi
Korteks adrenal: Medulla adrenal:
testosterone
Sekresi Sekresi
endorphin epinefrin
Libido/hasrat
1. Memperkuat
Kebahagiaan seksual
kekuatan
kecemasan
kontraksi jantung
2. Membuka saluran udara di paru-paru (relaksasi otot-
Kemampuan seksual baik Keterangan :
Fisik lebih kuat
: menyebabkan
: mempengaruhi
C. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: Ada perbedaan kemampuan seksual pada lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga.
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif epidemiologi observasi
analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2003).
B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stadion Manahan Surakarta untuk lansia pria yang berolahraga dan Posyandu Lansia di Surakarta untuk lansia pria yang tidak berolahraga pada bulan Juli - Oktober 2011.
C. Subyek Penelitian
1. Kriteria inklusi a. Pria lanjut usia 60 - 70 tahun.
b. Mempunyai pasangan hidup.
c. Bersedia menjadi responden penelitian.
d. Berolahraga rutin selama 6 bulan terakhir.
2. Kriteria eksklusi a. Kondisi lansia dengan keterbatasan mobilitas.
b. Tidak kooperatif.
c. Mempunyai kelainan pada alat reproduksi.
D. Teknik Sampling
Dalam penelitian ini sampel yang digunakan diambil dengan purposive
sampling
, yaitu subjek diambil dalam satu daerah yang sudah ditentukan namun hanya subjek yang berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya dapat dijadikan sampel. (Arief, 2003).
Jumlah sampel penelitian menggunakan analisis bivariat yang melibatkan sebuah variabel dependen dan variabel independen. setiap penelitian yang menggunakan analisis bivariat membutuhkan sampel minimal 30 subjek penelitian. Ukuran sampel tersebut merupakan ukuran sampel minimal setelah peneliti melakukan restriksi terhadap populasi sumber sampel. Pada penelitian ini dibutuhkan sampel sebanyak 60 subjek yang terdiri atas 30 lansia pria yang berolahraga dan 30 lansia pria yang tidak berolahraga (Murti, 2006).
E. Rancangan Penelitian F. Variabel Penelitian 1. Variabel tergantung : Aktivitas olahraga.
2. Variabel bebas : Kemampuan seksual.
Gambar 2. Skema Penelitian
Populasi Target
Purposive Sampling
Kriteria inklusi Informed consent
Kriteria eksklusi Olahraga
Sampel (60 lansia)
Skala L-MMPI Kuesioner biodata
ASEX-Male ASEX-Male Analisis data:
Uji independen t-test Hasil Hasil
Tidak olahraga
3. Variabel luar : a. Variabel terkendali meliputi usia dan status perkawinan.
b. Variabel tidak terkendali meliputi status gizi, faktor psikologis, riwayat pemakaian obat-obatan dalam jangka waktu lama, riwayat penyakit gangguan metabolik kronis dan degeneratif.
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Aktivitas olahraga Aktivitas olahraga pada penelitian ini yaitu lansia yang melakukan olahraga berupa jogging yang dilakukan 4 - 7 kali setiap minggu selama minimal 6 bulan dan berdurasi 30 menit. Skala pengukuran: nominal, yaitu berolahraga dan tidak berolahraga.
2. Variabel tergantung : Kemampuan seksual Kemampuan seksual adalah suatu kesanggupan dalam melakukan hubungan seksual. Kemampuan seksual pada penelitian ini akan menggunakan
Arizona Sexual Experiences Scale (
ASEX)-Male. Nilai total dari ASEX antara 5 - 30, dengan skor lebih tinggi mengindikasikan adanya gangguan perilaku seksual. Jika skor ≥19, satu nomor bernilai >5, atau tiga nomor bernilai >4, maka responden mempunyai gangguan perilaku seksual.
Skala pengukuran : numerik. H. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan media kuesioner baku yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner yang digunakan yaitu:
1. Kuesioner biodata
2. Lie Minnesota Multyphasic Personality Inventory (L-MMPI) digunakan untuk menguji kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan yang ada pada angket penelitian. Skala L-MMPI berisi 15 butir pertanyaan untuk dijawab responden dengan “ya” bila butir dalam L-MMPI sesuai dengan perasaan responden dan “tidak” bila tidak sesuai perasaan dan keadaan responden. Responden dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya bila jawaban “tidak” ≤10 (Graham, 1990 dalam Butcher, 2005).
3. Arizona Sexual Experiences Scale (ASEX)-Male merupakan kuesioner untuk mengetahui kemampuan seksual seseorang. Terdapat lima aspek yang dinilai yaitu, dorongan seksual, gairah seksual, ereksi penis, kemampuan untuk mencapai orgasme, dan kepuasan orgasme. Nilai total dari ASEX antara 5 - 30, dengan skor lebih tinggi mengindikasikan adanya gangguan kemampuan seksual. Jika skor
≥19, satu nomor bernilai >5, atau tiga nomor bernilai >4, maka responden mempunyai gangguan kemampuan seksual (McGauhey et al., 2000).
I. Cara Kerja 1. Responden mengisi data identitas diri.
2. Mengisi angket Lie Minnesota Multyphasic Personality Inventory (L-MMPI).
3. Mengisi Arizona Sexual Experiences Scale (ASEX)-Male.
4. Setelah diperoleh skor dari skala setiap variabel yang berupa skala nominal, dilakukan uji independent-t test.
J. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Uji normalitas sebaran sampel dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov karena jumlah sampel > 50 orang (Budiarto, 2004).
2. Uji independent-t test untuk mengetahui apakah ada perbedaan kemampuan seksual antara lansia yang berolahraga dan tidak berolahraga. Bila syarat
independent-t test
tidak terpenuhi maka digunakan uji non-parametrik Mann- Whitney (Murti, 2010).
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Sampel Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Oktober 2011 di stadion Manahan Surakarta dan Posyandu Lansia di Dusun Suruh Grogol Karanganyar, Surakarta. Subjek penelitian adalah lansia pria berusia 60 - 70 tahun, mempunyai pasangan
hidup, dan bersedia menjadi responden penelitian . Pada penelitian ini didapat total sampel sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 lansia pria yang berolahraga dan 30 lansia pria yang tidak berolahraga.
Tabel 4.1. Distribusi Gangguan Kemampuan Seksual Berdasarkan Umur Gangguan kemampuan Tidak gangguan
Usia seksual kemampuan seksual
n % n %60-65 tahun
18
30.00
18
30.00 66-70 tahun
23
38.33
1
1.67 Jumlah
41
68.33
19
31.67 Sumber : Data primer 2011 Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah sampel yang mengalami gangguan kemampuan seksual lebih banyak terdapat pada usia 66 - 70 tahun yaitu sebanyak 23 sampel (38.33 %). Sedangkan jumlah sampel yang tidak mengalami gangguan kemampuan seksual lebih banyak terdapat pada usia 60 - 65 tahun yaitu sebanyak 18 sampel (30 %).
Tabel 4.2. Distribusi Gangguan Kemampuan Seksual Berdasarkan Pendidikan Gangguan Tidak gangguanTingkat kemampuan seksual kemampuan seksual Pendidikan n % n %
SD
12
20.00
0.00 SMP
10
16.67
0.00 SMA
10
16.67
3
5.00 S1
9
15.00
16
26.67 Jumlah
41
68.34
19
31.67 Sumber : Data primer 2011 Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jumlah sampel dengan gangguan kemampuan seksual lebih banyak terdapat pada tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 12 sampel (20 %). Sedangkan jumlah sampel yang tidak mengalami gangguan kemampuan seksual lebih banyak terdapat pada tingkat pendidikan S1 yaitu sebanyak 19 sampel (31.67 %).
B. Analisis Statistika
Data penelitian yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji t yang merupakan uji parametrik dengan program SPSS 17.00. Uji ini digunakan bila skor kedua kelompok tidak berhubungan satu sama lain. Adapun syarat uji t adalah data berskala numerik, terdistribusi secara normal, dan variansi kedua kelompok dapat sama atau berbeda (untuk 2 kelompok). Untuk mengetahui bahwa data terdistribusi normal atau tidak, maka dilakukan uji normalitas. Suatu data dikatakan mempunyai sebaran normal jika didapatkan nilai p > 0.05 pada masing- masing kelompok tersebut. Uji normalitas yang dilakukan pada masing-masing sebaran data dilakukan dengan analitik dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji Kolmogorov-Smirnov dilakukan jika sampel lebih dari 50 sampel (Dahlan, 2005).
Tabel 4.2.Uji Normalitas Penyebaran Data dengan Kolmogorov Smirnov
Data Nilai p Keterangan
Berolahraga0.001 Distribusi tidak normal
Tidak berolahraga
0.000 Distribusi tidak normal Sumber : Data primer 2011
Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa sebaran data yang berolahraga dan tidak berolahraga tidak normal. Hal tersebut berarti penelitian ini tidak dapat menggunakan uji parametrik dengan uji t melainkan menggunakan alternatifnya yaitu uji non-parametrik Mann-Whitney.
Tabel 4.3. Hasil Analisis Data dengan Mann-Whitney KegiatanMann- N Mean Median SD P Olahraga whitney Berolahraga
30
20.77 20.00 6.140 262.50 0.004
Tidak berolahraga
30
25.43 27.50 5.244 Sumber : Data primer 2011
Pada Tabel 4.3, hasil data dianalisis dengan uji statistik uji non-parametrik Mann-Whitney dengan menggunakan program SPSS 17.0 for windows untuk mengetahui perbedaan kemampuan seksual. Dari uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.004. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan seksual yang secara statistik signifikan pada lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga.
Gambar 4.1. Gambar Boxplot Perbedaan Rata-Rata Kemampuan SeksualGambar 4.1 menunjukkan dengan lebih jelas perbedaan kemampuan seksual berdasarkan kegiatan olahraganya. Gambar tersebut memberikan informasibahwa tingkat kemampuan seksual lansia pria yang berolahraga lebih baik daripada lansia pria yang tidak berolahraga. dengan rata-rata skor kemampuan seksual pada lansia yang berolahraga 20.77 dan lansia pria yang tidak berolahraga 25.43.
BAB V PEMBAHASAN Pada tabel 4.1 diketahui bahwa sampel yang mengalami gangguan
kemampuan seksual lebih banyak adalah pada interval usia 66 - 70 tahun yaitu sebanyak 23 sampel (38.33 %). Sedangkan jumlah sampel yang tidak mengalami gangguan kemampuan seksual lebih banyak terdapat pada usia 60 - 65 tahun yaitu sebanyak 18 sampel (30 %). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, potensi seksualnya kan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2003) bahwa terdapat penurunan potensi seksual selama usia enampuluhan, kemudian berlanjut sesuai dengan bertambahnya usia.
Pada tabel 4.4 dapat dilihat dengan uji Mann-Whitney secara statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara aktivitas olahraga dengan kemampuan seksual. Hal ini dibuktikan dengan nilai p < 0,05. Hasil tersebut sesuai dengan teori bahwa olahraga yang teratur dapat mempengaruhi kemampuan seksual pada lansia.
Olahraga yang teratur dapat memperbaiki daya tahan jantung, daya tahan otot, kekuatan dan fleksibilitas sehingga dapat menunjang kehidupan seksual pada lansia.
Olahraga juga dapat menghasilkan hormon yang dapat memperkuat tubuh, meningkatkan kebahagiaan, dan meningkatkan hasrat seksual. hormon tersebut antara lain epinefrin, testosteron, endorfin, dan dopamin (Kusuma, 2000; Guyton and Hall, 2002; Cardoso, 1997; Penhollow and Young, 2004).
Meskipun secara statistik hasil penelitian bermakna, namun didapatkan 16 orang yang berolahraga mengalami gangguan kemampuan seksual. Hal ini mungkin disebabkan karena sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap hubungan seksual antara orang berusia lanjut dan keraguan terhadap kemampuan seksual mereka. Sikap sosial ini cenderung dapat menghilangkan motivasi untuk mengerjakan apa yang sebenarnya mampu untuk dikerjakan. Hal tersebut juga dapat disebabkan karena penyakit yang diderita oleh lansia tersebut atau pasangannya, sehingga mempengaruhi hubungan seksual dalam kehidupan rumah tangganya.
Berdasarkan Arizona Sexual Experiences Scale (ASEX)-Male, terdapat lima aspek yang dinilai yaitu dorongan seksual, gairah seksual, ereksi penis, kemampuan untuk mencapai orgasme, dan kepuasan orgasme. Dari kelima aspek tersebut, yang paling menggambarkan ada tidaknya gangguan kemampuan seksual pada penelitian ini yaitu keadaan ereksi penis. Seseorang dikatakan mengalami gangguan ereksi jika orang tersebut tidak mampu mempertahankan ereksi yang cukup dalam hubungan seksual. Gangguan ereksi ini bisa disebabkan oleh faktor fisik maupun psikis. Yang termasuk dalam faktor fisik adalah semua gangguan atau penyakit yang berkaitan dengan gangguan hormon, pembuluh darah, dan saraf. Sedangkan, faktor psikis yang mempengaruhi antara lain stres, kecemasan, kejenuhan, kejengkelan, perasaan bersalah, dan kekecewaan (Windhu, 2009).
Hasil penelitian yang telah dilakukan ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Penhollow dan Young (2004) meneliti tentang hubungan olahraga dengan daya tarik seksual Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa olahraga dapat meningkatkan potensi seksual sehingga kehidupan seksual menjadi lebih menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang berolahraga kemampuan seksualnya lebih baik daripada yang tidak berolahraga.
Hasil penelitian tersebut mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, yaitu terdapat perbedaan kemampuan seksual yang secara statistik signifikan antara lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam hal lokasi cakupan yang terlalu sempit dan masih banyak faktor-faktor lain yang dapat merancukan hasil penelitian seperti lingkungan dan konflik perkawinan.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan kemampuan seksual antara lansia pria yang berolahraga dan tidak berolahraga (p = 0.004). Tingkat kemampuan seksual pada lansia pria yang berolahraga lebih baik daripada lansia pria yang tidak berolahraga.
B. Saran
1. Para lansia sebaiknya melakukan olahraga secara rutin untuk memelihara atau meningkatkan kemandirian dalam kehidupan bio-psiko-sosialnya, yaitu secara biologis menjadi lebih mampu menjalani kehidupannya secara mandiri, secara psikologik dapat menyadari posisinya sebagai lansia serta terbebas dari stress dan beban psikologis lain, dan secara sosiologis lebih mampu bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya. Hal tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, salah satunya adalah kehidupan seksualnya.
2. Dalam berolahraga, sebaiknya dilakukan secara bertahap, teratur, dan memenuhi takaran yang diperlukan agar didapatkan hasil yang optimal.