Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

(1)

GAMBARAN AKTIVITAS HIDUP SEHARI-HARI DAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA DI UPT PELAYANAN SOSIAL LANSIA DAN ANAK BALITA

WILAYAH BINJAI DAN MEDAN

SKRIPSI

Oleh

NOVIA KARYANI PANGGABEAN 121121082

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Novia Karyani Panggabean

NIM : 121121082

Menyatakan dengan ini sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul : Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran Pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan kepada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan isinya sesuai dengan kaidah ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Medan, Februari 2014 Yang menyatakan,

Novia Karyani Panggabean NIM 121121082


(3)

(4)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis persembahkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayat-Nya serta Shalawat dan salam penulis hantarkan kepangkuan alam Nabi besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari Dan Gangguan Pendengaran Pada Lansia di UPT. Pelayanan

Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan’’.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses menyelesaikan Skripsi ini, sebagai berikut :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Fatwa Imelda, S.Kep.Ns, M.Biomed, CWCCA selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Pihak UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan yang telah memberikan informasi mengenai jumlah warga binaan lansia yang digunakan untuk kepentingan skripsi ini.

5. Mula Tarigan S.Kep.Ns, M.Kes selaku dosen penguji 1 yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi penelitian ini.


(5)

6. Ismayadi S.Kep.Ns, M.Kes selaku dosen penguji 2 yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penyelesaian skripsi penelitian ini.

7. Teristimewa kepada Ayahanda H. Abotnahri Panggabean dan Ibunda Hj. Syafrida Simatupang tercinta. Terima kasih tiada tara penulis persembahkan untuk doa yang tiada hentinya, dukungan moril maupun materil, nasehat, kasih sayang, cinta, perhatian, dan pengorbanan serta motivasi yang tulus untuk kelancaran penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.

8. Adikku yang tersayang dan tercinta Ardhiansa Panggabean dan Achmad Ikram Panggabean yang selalu mendoakan dan memberi dukungan kepada penulis.

9. Sahabat terbaik dan setia yang selalu mendampingi dan memberi support Meli Fitria, Beby Hermanti, Aisyah Gana Putri S.Psi (Ayik), dan Aprilansyah Rambe SE.

10. Teman-teman sejawat dan seperjuangan Ekstensi keperawatan 2012.

Dengan kerendahan hati penulis berharap mudah-mudahan Skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Medan, Januari 2014


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN... . i

LEMBARAN PENGESAHAN SKRIPSI... . ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK. ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut usia ... 7

2.1.1 Defenisi usia lanjut………… ... ... 7

2.1.2 Batasan Umur Lanjut Usia ... 7

2.1.3 Proses Menua.. ... 8

2.1.4 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia………….. ... 9

2.2 Gangguan Pendengaran……….. ... 11

2.2.1 Pengertian gangguan pendengaran.. ... 11

2.2.2 Anatomi telinga dan perubahannya…… ... 11

2.2.3 Jenis-jenis gangguan pendengaran pada lansia.. ... 14

2.2.4 Klasifikasi derajat gangguan pendengaran .. ... 16

2.2.5 Pemeriksaan gangguan pendengaran.... ... 17

2.3 Aktivitas Hidup Sehari-hari ... 19

2.3.1 Pengertian Aktivitas Hidup Sehari-hari. ... 19

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi AHS. ... 20

2.3.3 Manfaat AHS pada lansia... 24

2.4 Indeks ADL Barthel.. ... 25

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep ... 29

3.2 Definisi Operasional ... 30

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 32

4.2 Populasi dan Sampel ... 32

4.3 Lokasi dan Waktu penelitian ... 33

4.4 Pertimbangan Etik ... 33

4.5 Instrumen Penelitian ... 33

4.6 Validitas Data ... 34

4.7 Pengumpulan Data ... 34

4.8 Analisa Data……… ... 35

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian. ... 36


(7)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan. ... 48 6.2 Saran-saran. ... 49 DAFTAR PUSTAKA ... 50 LAMPIRAN

1.Inform Consent

2.Komisi Etik Penelitian Kesehatan 3.Surat Penelitian

4.Instrumen Penelitian

5.Rencana Anggaran Penelitian 6.Jadwal Tentatif Penelitian 7.Riwayat Hidup


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.2.4 Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran………...16

Tabel 2.4.1 Indeks Barthel………...26

Tabel 3.1 Defenisi Operasional………...,...30

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Lansia Di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan (n=45)………...37 Tabel 5.2. Observasi Gangguan Pendengaran pada Lansia dengan

Pemeriksaan Garpu Tala (n=45)…………...38 Tabel. 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden berdasarkan

Pertanyaan AktivitasSehari-hari(n=45)………...40 Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden berdasarkan

Kategori Tingkat Kemampuan lansia dalam melaksanakan


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Telinga………12 Gambar 2. Garpu Tala……… 17 Gambar 3. Pemeriksaan Pendengaran Tes Rinne dan Tes Weber………… 19


(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Kerangka Penelitian Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari Pada Lansia……...29


(11)

Judul : Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran Pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

Nama : Novia Karyani Panggabean NIM : 121121082

Program : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2014

ABSTRAK

Kemampuan lansia dalam aktivitas hidup sehari-hari didefenisikan sebagai kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas dan fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari yang dilakukan secara rutin. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran aktivitas hidup sehari-hari dan gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Perubahan yang terjadi pada lansia dapat mengakibatkan keterbatasan lansia dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari. Kemampuan aktivitas hidup sehari-hari lansia diukur dengan Indeks Barthel, meliputi mengontrol BAB, mengontrol BAK, membersihkan diri, penggunaan toilet, makan, transfer (tidur-duduk), mobilisasi, berpakaian, naik turun tangga dan mandi. Jenis penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian sebanyak 45 orang. Penelitian dilakukan mulai bulan November - Desember 2013. Hasil penelitian menunjukkan rentang usia responden 75-90 tahun (73,3%), mayoritas responden perempuan (51,1%), pendidikan tidak bersekolah (53,3%), dan lama tinggal dipanti lebih dari tiga tahun (60%). Gambaran gangguan pendengaran pada lansia dari hasil pemeriksaan tes garpu tala yaitu pemeriksaan telinga kanan sebagian besar lansia mengalami tuli konduktif (64,4%), dan pemeriksaan telinga kiri sebagian besar besar mengalami tuli sensorineural (60%). Tingkat kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas gidup sehari-haritergolong mandiri (57,8%).


(12)

Title : Description of Activities of Daily Living and Impaired Hearing on Elderly at UPT Social Services Seniors and Toddlers in Binjai and Medan Area

Student Name : Novia Karyani Panggabean Student Number : 121121082

Major : Bachelor of Nursing (S.Kep)

Year : 2014

ABSTRACT

Ability elderly in activities of daily living defined as the elderly’s ability in conducting activity and function daily life done routinely. Research purposes to know picture activity of daily living and impaired hearing on elderly at UPT Social services aged and toddlers in region of Binjai and Medan. The changes that occur in the elderly can lead to limitations of elderly in carrying out daily living activities. Ability of daily living activities of the elderly is measured with an index of Barthel, include bowel control, controlling urination, and cleaning themselves, the use of the toilet, eating, sleeping around, mobilization, clothing, up and down stairs and taking bath. This type of descriptive research. Sample in the research as many as 45 people. Research conducted from November to December 2013. The results showed respondents age range of 75-90 years (73, 3%), the majority of female respondents (51, 1%), education (53,3% did not attend school), and length of stay in the social house more than three years (60%). Overview of hearing loss in the elderly of tuning fork tests examination results examination right ear most of the elderly are having conductive deafness (64,4%) and examination of the left ear is mostly experienced deaf sensorineurial (60%). The level of ability of the elderly in their daily living activities as do independent (57,8%).


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam Pembangunan Nasional, telah menunjukkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang medis atau ilmu kedokteran sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia. Akibatnya jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat dan bertambah cenderung lebih cepat (Nugroho, 2000).

Menurut BKKBN (2012), usia harapan hidup penduduk Indonesia pada tahun 1980 hanya 52,2 tahun. Pada tahun 1990, meningkat menjadi 59,8 tahun. Pada tahun 1995, berkisar 63,6 tahun. Pada tahun 2000 mencapai 64,5 tahun. Pada tahun 2010 berusia pada 67,4 tahun, dan tahun 2020 diperkirakan mencapai 71,1 tahun. Meningkatnya usia harapan hidup tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu majunya pelayanan kesehatan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, perbaikan gizi dan sanitasi, dan meningkatnya pengawasan terhadap penyakit infeksi. Saat ini, di seluruh dunia, jumlah lanjut usia diperkirakan lebih dari 629 juta jiwa (satu dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun), dan pada tahun 2025, lanjut usia akan mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2008).


(14)

Menurut dr. Heriawan Soejono dari Divisi Geriatri Departemen Penyakit Dalam FKUI, salah satu masalah penting yang dihadapi para lansia adalah kesehatan. Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain pendengaran dan penglihatan mulai berkurang, mudah lelah, dan gerakan menjadi lamban (Maryam, 2008).

Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstrukur lanjut usia (aging struktural population) karena pada tahun 2010 jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18,57 juta jiwa, meningkat sekitar 7,93% dari tahun 2000 yang sebanyak 14,44 juta jiwa sehingga diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 34,22 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010).

Indera pendengaran merupakan indikator penting bagi lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Lansia sering mengalami gangguan komunikasi karena mengalami penurunan penglihatan, pendengaran, wicara, dan persepsi. (Nugroho, 2000).

Presbikusis adalah keadaan yang paling sering dijumpai untuk menggambarkan gangguan pendengaran pada lansia, yaitu hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada tinggi dan biasanya terjadi pada usia di atas 65 tahun (Nugroho, 2000).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muyassaroh (2012), ada beberapa faktor resiko dari presbikusis yang masih bisa dimodifikasi untuk pencegahan dan


(15)

pengurangannya seperti diabetes melitus, hiperkolesterol, merokok, dan paparan bising.

Orang berusia lanjut kehilangan kemampuan mendengar bunyi dengan nada yang sangat tinggi sebagai akibat dari berhentinya pertumbuhan saraf dan berakhirnya pertumbuhan organ-organ basal yang mengakibatkan matinya rumah siput di dalam telinga, dan pria lebih banyak kehilangan pendengaran pada masa tuanya dibandingkan wanita. (Maryam, 2008).

Secara global WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara, 50% dari gangguan pendengaran ini sebenarnya dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang benar dan deteksi dini dari penyakit. Dari hasil WHO Multi Center Study pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 (empat) negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%) dan 3 (tiga) negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%) (Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian, 2006).

Menurut penelitian oleh Kartika (2010), terdapat hubungan antara gangguan pendengaran dengan kualitas hidup dan komunikasi sosial, dan pasien yang mengalami gangguan pendengaran lebih beresiko terjadinya penurunan kualitas hidup dan komunikasi sosial dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan pendengaran.

Gangguan pendengaran adalah kondisi kronis yang paling umum ketiga di Negara Amerika Serikat dan merupakan nomor satu dalam gangguan komunikasi


(16)

dari usia, antara 25-40% dari penduduk berusia 65 tahun atau lebih tua, dan tuna rungu (19,20). Menurut penelitian, prevalensi presbikus meningkat seiring bertambahnya usia, mulai dari 40% sampai 60% pada lansia berusia 75 tahun dan lebih dari 80% pada pasien berusia 85 tahun (ASHA, 2008).

Lansia dengan gangguan pendengaran akan mengalami penurunan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Menurut Raina et al. 2004 & Muszalik 2011 dalam Najiyatul (2012) mengatakan bahwa kemandirian dalam melakukan Activity Daily Living (ADL) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, gangguan sensori (penglihatan dan pendengaran), perubahan situasi kehidupan, aturan sosial, usia, dan penyakit.

Aktivitas sehari-hari adalah gambaran seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau fungsi hidup sehari-hari secara rutin dan bersifat universal. Aktivitas sehari-hari perlu diukur, dan Indeks ADL Barthel merupakan alat/instrumen ukur yang dipakai untuk menilai kemampuan ADL pada lanjut usia. Indeks ADL Barthel meliputi mengendalikan rangsang buang air besar, mengendalikan rangsang buang air kecil, membersihkan diri (sikat gigi, sisir rambut, bercukur, cuci muka), penggunaan jamban/toilet –masuk dan keluar WC (melepas, memakai celana, membersihkan/menyeka, menyiram), makan, berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya, mobilitas/berjalan, berpakaian, naik-turun tangga dan mandi. Agung (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Indeks ADL Barthel merupakan alat/instrumen ukur yang andal dan sahih serta dapat digunakan untuk mengukur status fungsional dasar usia lanjut di Indonesia.


(17)

Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran aktivitas sehari-hari pada lansia dan gangguan pendengaran. Penelitian ini penting dilakukan untuk dapat melihat gambaran aktivitas sehari-hari pada lansia dan gangguan pendengaran dan juga mengevaluasi keefektifan pelayanan yang selama ini diberikan pada lansia. Penelitian ini langsung dilaksanakan di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita di Wilayah Binjai dan Medan adalah salah satu unit pelaksana dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumatera Utara yang dalam kegiatannya memberikan pelayanan sosial kepada lansia.

Dari survey awal yang peneliti lakukan pada 30 Mei sampai 02 Juni 2013 yaitu berdasarkan data dari poliklinik kesehatan UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan, didapatkan data warga binaan lansia berjumlah 180 orang dengan perbandingan jumlah laki–laki sebanyak 78 orang dan perempuan sebanyak 102 orang, dan jumlah lansia yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 30 orang.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran aktivitas sehari-hari dan gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan?


(18)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran aktivitas sehari-hari dan gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Wilayah Binjai dan Medan

Sebagai masukan untuk UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan dalam perawatan lansia tentang kemampuan melakukan ADL, agar dapat semakin memandirikan lansia dalam aktivitas sehari – hari.

1.4.2 Keperawatan Komunitas

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran keperawatan komunitas, khususnya keperawatan gerontik dalam memberikan perawatan pada lansia dan gangguan pendengaran khususnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya agar bisa mencari perbandingan aktivitas sehari-hari pada lanjut usia dan gangguan pendengaran di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Wilayah Binjai dan Medan dengan yang di rawat oleh keluarga di rumah.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia

2.1.1 Defenisi Lanjut Usia

Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 pasal 1 ayat (2), (3), (4) tentang Kesehatan mengatakan “Lanjut Usia” adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008).

Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial (Fatimah, 2010).

Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).

2.1.2 Batasan Umur Lanjut Usia

Berikut ini adalah batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari pendapat berbagai ahli yang dikutip dari Nugroho (2000).

2.1.2.1Menurut World Health Organization (WHO) 1. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun 2. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun 3. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun 4. Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun


(20)

2.1.2.2Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro

Masa dewasa muda (elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun Masa dewasa penuh (middle years) : 25-60 atau 65 tahun Masa lanjut usia (geriatric age) : > 65 atau 70 tahun 1. Usia 70-75 tahun (young old)

2. Usia 75-80 tahun (old)

3. Usia lebih dari 80 tahun (very old) 2.1.3 Proses Menua

Menurut Boedhi Darmojo (2000), menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit, tetapi suatu proses perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang, dimana lansia akan mengalami 13 i, yaitu imobilisasi; instabilitas (mudah jatuh); intelektualitas terganggu (demensia); isolasi (depresi); inkontinensia; impotensi; imunodefisiensi; infeksi mudah terjadi; impaksi (konstipasi); iatrogenesis (kesalahan diagnosa); insomnia; impairment of (gangguan pada) penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, komunikasi, dan integrasi kulit; inaniation (malnutrisi) (Maryam, 2008).

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang hanya di mulai dari satu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. (Nugroho, 2008).


(21)

2.1.4 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik dan psikososial (Fatimah, 2010):

1. Perubahan Fisik

a. Perubahan Sel : Perubahan yang terlihat mengakibatkan penurunan tampilan dan fungsi fisik. Kemampuan tubuh mempertahankan homeostatis berkurang seiring penuaan seluler. Sistem organ tidak efisien lagi akibat dari berkurangnya sel dan jaringan dan kemampuan sel memperbarui diri sendriri menjadi berkurang.

b. Perubahan Kardiovaskular : Meskipun fungsi dipertahankan dalam keadaan normal, tetapi sistem kardiovaskular berkurang cadangannya dan kemampuannya dalam merespon stress menurun.

c. Perubahan sistem pernafasan : Hal yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas paru dan fungsi paru meliputi penurunan efisiensi otot pernafasan, penurunan luas permukaan alveoli, dan penurunan efisiensi batuk.

d. Perubahan integumen : bertambahnya usia mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit, dimana epidermis dan dermis menjadi lebih tipis. Kulit menjadi lebih kering dan rentan terhadap iritasi sehingga menyebabkan perubahan terhadap suhu dan pajanan sinar matahri yang ekstrim menurun.

e. Perubahan sistem reproduksi : Ketika menopause produksi estrogen dan progesteron oleh ovarium menurun, ukuran vagina yang mengecil, dan


(22)

hilangnya elastisitas, uterus dan ovarium mengalami atrofi. Pada lansia laki-laki, ukuran penis dan testis mengecil dan kadar androgen menurun.

f. Perubahan genitourinaria : Perubahan yang termasuk meliputi penurunan laju filtrasi, kandung kemih dan uretra kehilangan tonus otot. Retensi urin yang terjadi meningkatkan proses infeksi.

g. Perubahan gastrointestinal : Lansia biasanya mengeluh adanya perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motilitas gaster menurun sehingga terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung. h. Perubahan Musculoskeletal : Ukuran otot berkurang dan otot

kehilangan kekuatan, fleksibilitas dan ketahanannya sebagai akibat penurunan aktivitas dan penuaan.

i. Perubahan sistem persarafan : Pada lansia terjadi perubahan struktur dan fungsi sistem saraf. Massa otak berkurang secara progresif akibat dari berkurangnya sel saraf yang rusak dan tidak dapt diganti. Impuls saraf dihantar lebih lambat, sehingga lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk merespon dan bereaksi.

j. Perubahan sensorik : kehilangan sensorik akibat penuaan mengenai organ sensorik penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba, dan penghidu serta dapat mengancam interaksi dan komunikasi dengan lingkungan.


(23)

2. Perubahan Psikososial

Lansia yang sehat secara psikososial dapat dilihat dari kemampuannya beradaptasi terhadap kehilangan fisik, sosial, dan emosional serta mencapai kebahagiaan, kedamaian, dan kepuasan hidup.ketakutan menjadi tua dan tidak mampu produktif lagi memunculkan gambaran negatif tentang proses menua.

2.2 Gangguan Pendengaran Pada lansia 2.2.1 Defenisi Gangguan Pendengaran Pada Lansia

Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya usia sebab lansia merupakan kelompok yang beresiko tinggi mengalami perubahan sensori (pendengaran dan penglihatan) dikarenakan perubahan fisiologis yang normal. Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Lansia yang mengalami gangguan pendengaran akan bisa menarik diri dari lingkungan sosialnya dengan menghindari komunikasi atau sosialisasi karena merasa terisolasi akibat ketidakmampuannya dalam berkomunikasi dengan orang lain (Potter & Perry, 2006).

2.2.2 Anatomi Telinga dan Perubahannya

Telinga sebagai organ indera pendengaran secara normal berfungsi untuk mengirimkan suatu pola yang akurat ke otak dan semua suara yang diterima dari lingkungan, intensitas relatif suara, dan asal arah suara (Potter & Perry, 2006).


(24)

Menurut Lueckenotte (1998), Telinga terbagi dalam tiga bagian yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga sebagai organ pendengaran dan ekuilibrum, berisi reseptor-reseptor yang menghantarkan gelombang suara ke dalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang berespon pada gerakan kepala.

Gambar 1. Anatomi Telinga

Telinga luar terdiri dari aurikula atau pinna dan kanal auditorius eksternal. Fungsi telinga luar adalah untuk menerima suara. Aurikel tersusun atas sebagian besar kartilago yang tertutup dengan kulit. Komponen-komponen utamanya adalah heliks, antiheliks, antitragus, lobulus, konka, dan fossa triangular. Sesuai pertamabahan usia seseorang, kartilago terus dibentuk dalam telinga, dan kulit telinga berkurang elastisitasnya dan aurikel tampak lebih besar dari lobulus. Perubahan-perubahan yang menyertai proses penuaan ini adalah pengeriputan lobulus dalam suatu pola oblique linier.Saluran auditorius sedikit berbentu S yang kira-kira panjangnya 2,5 cm dan memanjang dari aurikel sampai dengan membran timpani. Pada proses penuaan, saluran menjadi dangkal sebagai akibat lipatan ke


(25)

dalam pada dinding kanalis, silia menjadi lebih kasar dan kaku dan produksi serumen berkurang.

Telinga tengah adalah bagian yang berisi-udara terletak di dalam tulang temporal, berfungsi memperkuat bunyi yang ditangkap. Bagiannya terdiri dari tiga tulang artikulasi-maleus, inkus, dan stapes-yang dihubungkan ke dinding ruang timpanik oleh ligamen. Membran timpani memisahkan telinga tengah dari kanalis auditorius eksternal. Vibrasi membran menyebabkan tulang-tulang bergerak dan mentransmisikan gelombang bunyi yang selanjutnya bergerak melalui cairan dalam telinga tengah dan merangsang reseptor pendengaran. Membran timpani sedikit cekung. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida dan bagian bawah pars tensa. Perubahan atrofi pada membran karena proses penuaan mengakibatkan penampilan dangkal, teregang, putih atau abu-abu. Perubahan ini tidak mempunyai pengaruh jelas pada pendengaran.

Telinga dalam atau labirin, mengandung organ fungsional untuk mendengar. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang luar dan labirin membranosa dalam labirin tulang. Labirin tulang adalah struktur dan fungsi yang dibagi dalam tiga area yaitu vestibula, kanalis semisirkularis, dan koklea. Koklea adalah bagian yang menggulung yang berisi organ corti, unit fungsional pendengaran. Perubahan-perubahan degeneratif pada koklea dan neuron-neuron jaras auditorius yang lebih tinggi mengakibatkan presbikusis, bilateral, penurunan pendengaran sensorineural yang dimulai pada usia pertengahan. Kemampuan untuk mendengar bunyi frekuensi tinggi yang pertama


(26)

kali dipengaruhi diikuti dengan bunyi dengan rentang menengah, kemudian bunyi dengan frekuensi rendah.

2.2.3 Jenis-jenis Gangguan Pendengaran pada Lansia

Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya usia. Dengan makin lanjutnya usia terjadi degenerasi primer di organ corti berupa hilangnya sel epitel syaraf yang dimulai pada usia pertengahan, dan hal yang sama juga terjadi pada serabut aferen dan eferen sel sensorik dari koklea, dan penurunan elastisitas membran basalis di koklea dan membran timpani (Darmojo & Martono, 2000).

Berbagai kelainan pendengaran dan organ yang berhubungan adalah: 1. Gangguan Pendengaran Tipe Konduktif yaitu kerusakan yang bersifat mekanik, sebagai akibat dari kerusakan kanalis auditorius, membran timpani atau tulang-tulang pendengaran. Keadaan ini paling mudah dikoreksi secara medis atau operatif. Penyebab gangguan pendengaran tipe konduktif pada lansia adalah adanya serumen obturans, yang justru sering dilupakan pada pemeriksaan. Hanya dengan membersihkan lobang telinga dari serumen ini pendengaran bisa menjadi lebih baik.

2. Gangguan Pendengaran Tipe Sensori-Neural yaitu penyebab utamanya adalah kerusakan neuron vestibulokoklear akibat bising, presbikusis, obat yang oto-toksik, hereditas, reaksi pasca radang dan komplikasi aterosklerosis.

Presbikusis atau kehilangan pendengaran neurosensori, senile atau progresif ditandai dengan disfungsi unsur sensorik telinga simetris (sel rambut) atau struktur telinga (serat saraf koklear). Presbikusis sering terjadi pada lansia


(27)

dan menyerang pria dan wanita, biasanya lebih banyak pada pria. Penyebab pastinya tidak diketahui, tetapi insiden kehilangan pendengaran sensorineural meningkat seiring pertambahan usia. Faktor resiko yang mempengaruhi presbikusis adalah terpajan suara bising, hiperkolesterol, hipertensi, faktor-faktor metabolik dan herediter. Tanda dan gejala yang dialami adalah sulit memahami orang berbicara dengan suara bernada rendah, sulit mendengar di percakapan kelompok dan tempat yang banyak suara latar yang bising, sulit membedakan bunyi “s” dan “th”, menganggap bicara orang lain seperti bergumam atau tidak jelas (Fatimah, 2010).

Presbikusis terbagi menjadi dua yaitu presbikusis perifer dan presbikusis sentral. Presbikusis perifer yaitu dimana para lansia hanya mampu untuk mengidentifikasi kata. Alat bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi harus diperhatikan untuk menghindari berteriak/berbicara terlalu keras karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga. Sedangkan presbikusis sentral, dimana lansia mengalami gangguan untuk mengidentifikasi kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar sangat kurang. Oleh karena itu percakapan dengan lansia harus sedikit lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi (Maryam, 2008).


(28)

2.2.4 Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran

Derajat/Tingkat Gangguan Pendengaran Menurut WHO Derajat/Tingkat

Gangguan

Nilai Audiometri ISO (rata-rata dari 500, 1000, 2000, 4000 Hz)

Gambaran Kerusakan

0 (Tidak ada gangguan) 10-25 Db Tidak ada atau sangat sedikit gangguan pendengaran. Masih dapat mendengar suara bisikan.

1 (Gangguan ringan) 26-40 dB Dapat mendengar dan

mengulangi kata percakapan suara normal jarak 1 meter.

2 (Gangguan sedang) 41-60 dB Dapat mendengar dan

mengulangi kata dengan menggunakan nada tinggi jarak 1 meter

3 (Gangguan berat) 61-80 Db Dapat mendengar beberapa

kata dengan diteriaki ke telinga yang baik.

4 ( Gangguan sangat berat)

81 dB atau lebih besar

Tidak dapat mendengar dan mengerti walaupun sudah diteriaki dengan nada tinggi.


(29)

2.2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran Pada Lansia 1. Tes Garpu Tala

Gambar 2. Garpu Tala a. Tes Rinne

Tes Rinne membandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara. Pada pasien normal atau tuli saraf, akan didapatkan konduksi udara lebih baik daripada tulang. Pada pasien tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik daripada konduksi udara (Satyanegara, 2010). Pemeriksaaan ini dilakukan di dalam ruangan yang tenang dan tidak bising. Sebelum dilakukan pemeriksaan, terlebih dahulu peneliti akan menjelaskan prosedur, tujuan, dan manfaat pemeriksaan kepada klien. Selanjutnya jika pasien sudah mau dan mengerti, pemeriksaan akan dilaksanakan. Tempatkan garpu tala yang bergetar pada tulang mastoid (BC) dan mulai memperhatikan waktu dalam detik. Instruksikan klien untuk menandakan kapan bunyi tidak lagi terdengar, dan dengan cepat pindahkan garpu tala yang masih bergetar ke liang telinga (AC). Dan instruksikan kembali klien untuk menandakan kapan lagi bunyi sudah tidak terdengar. Perhatikan waktu dalam


(30)

detik, dan lanjutkan pada telinga yang lainnya (Leuckenotte, 1998). Hasil yang didapatkan dari uji Rinne adalah (Positif) bila masih terdengar dan (negatif) bila tidak ada terdengar. Interpretasi hasilnya yaitu positif jika hantaran udara (AC) 2 kali lebih lama dari normal, positif bila AC>BC dinamakan tuli sensorineural, dan negatif bila AC<BC atau AC=BC yang dinamakan tuli konduktif (Widyawati, 2012).

b. Uji Weber

Tes weber dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan dengan cara meletakkan garpu tala yang sudah dibunyikan pada bagian tengah dahi pasien. Pemeriksaan dilakukan di dalam ruangan yang tenang , nyaman, dan tidak bising. Setelah peneliti menjelaskan tentang pemeriksaan, manfaat, dan tujuannya, peneliti langsung memulai tindakan. Pasien diminta mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Hasilnya adalah normal jika bunyi terdengar sama keras pada telinga kanan dan kiri (tidak ada lateralisasi). Pada tuli saraf, bunyi terdengar lebih keras pada telinga sehat, sedangkan pada tuli konduktif bunyi terdengar lebih keras pada telinga yang mengalami gangguan/sakit (Satyanegara, 2010).

c. Tes Schwabach

Tes schwabach membandingkan pendengaran pasien dengan pendengaran pemeriksa. Garpu tala dibunyikan dan ditempatkan dekat liang telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengar bunyi garpu tala tersebut, garputala ditempatkan dekat liang telinga pemeriksa. Apabila masih terdengar


(31)

bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan schwabach lebih pendek (untuk konduksi suara) berarti tuli sensorineural dan dikatakan schwabach lebih memanjang berarti tuli konduktif (Satyanegara, 2010).

Gambar 3. Pemeriksaan Pendengaran Tes Rinne dan Tes Weber

2.3 Aktivitas Hidup Sehari-hari Pada Lansia 2.3.1 Defenisi Aktivitas Hidup Sehari-hari Pada Lansia

Aktivitas hidup sehari-hari adalah fungsi-fungsi yang bersifat fundamental terhadap kehidupan mandiri klien yang meliputi mandi, berpakaian, pergi ke kamar mandi, berpindah tempat (duduk-tidur), kontinen (BAK/BAB), dan makan. Kemampuan lansia dalam aktivitas hidup sehari-hari didefenisikan sebagai kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas dan fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia secara rutin dan universal. Untuk menilai aktivitas hidup sehari-hari digunakan berbagai skala seperti Katz Index, Barthel,


(32)

dan Functional Activities Questioner (FAQ) (Gallo, 1998) (Kane & Kane, 1981) dalam Ediawati (2012).

Aktivitas hidup sehari-hari merupakan semua kegiatan yang dilakukan oleh lanjut usia setiap hari seperti mandi, berpakaian, makan, atau melakukan mobilisasi (Luekenotte, 1998). Seiring dengan proses penuaan maka terjadi berbagai kemunduruan kemampuan dalam beraktifitas karena adanya kemunduran kemampuan fisik, penglihatan dan pendengaran sehingga terkadang seorang lanjut usia membutuhkan alat bantu untuk mempermudah dalam melakukan berbagai aktivitas sehari hari tersebut (Stanley, 2006) dalam (Napitupulu, Pranata Desy 2011).

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Hidup Sehari-hari pada Lansia

Kemp dan Mitchel (dalam Blackburn dan Dulmus, 2007) menyebutkan bahwa aktivitas sehari-hari pada lansia dipengaruhi oleh depresi. Kemp dan Mitchel juga menyebutkan kemampuan aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan ketakutan, kemarahan, kecemasan, penolakan dan ketidakpastian. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari pada lansia adalah sebagai berikut (Potter, 2005):

1. Faktor-faktor dari dalam diri sendiri

a. Umur

Mobilitas dan aktivitas sehari-hari adalah hal yang paling vital bagi kesehatan total lansia. Perubahan normal muskuloskelatal terkait usia pada lansia termasuk penurunan tinggi badan, redistribusi massa otot dan lemak subkutan,


(33)

peningkatan porositas tulang, atrofi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan dan kekakuan sendi-sendi yang menyebabkan perubahan penampilan, kelemahan dan lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan (Stanly dan Beare, 2007).

b. Kesehatan fisiologis

Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi dalam aktifitas sehari-hari, sebagai contoh sistem nervous mengumpulkan dan menghantarkan, dan mengelola informasi dari lingkungan. Sistem muskuluskoletal mengkoordinasikan dengan sistem nervous sehingga seseorang dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan. c. Fungsi kognitif

Kognitif adalah kemampuan berfikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Keliat,1995). Tingkat fungsi kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Fungi kognitif menunjukkan proses menerima, mengorganisasikan dan menginterpestasikan sensor stimulus untuk berfikir dan menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif yang meliputi perhatian memori, dan kecerdasan. Gangguan pada aspek-aspek dari fungsi kognitif dapat mengganggu dalam berfikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari.

d. Fungsi psikologis

Fungsi psikologis menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik.


(34)

Proses ini meliputi interaksi yang komplek antara perilaku interpersonal dan interpersonal. Kebutuhan psikologis berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang. Meskipun seseorang sudah terpenuhi kebutuhan materialnya, tetapi bila kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan dirinya merasa tidak senang dengan kehidupanya, sehingga kebutuhan psikologi harus terpenuhi agar kehidupan emosionalnya menjadi stabil (Tamher, 2009).

e. Tingkat stres

Stres merupakan respon fisik non spesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Faktor yang menyebabkan stres disebut stressor, dapat timbul dari tubuh atau lingkungan dan dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stres dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Stres dapat mempunyai efek negatif atau positif pada kemampuan seseorang memenuhi aktifitas sehari-hari (Miller, 1995).

2. Faktor-faktor dari luar meliputi : a. Lingkungan keluarga

Keluarga masih merupakan tempat berlindung yang paling disukai para lanjut usia. Lanjut usia merupakan kelompok lansia yang rentan masalah, baik masalah ekonomi, sosial, budaya, kesehatan maupun psikologis, oleh karenanya agar lansia tetap sehat, sejahtera dan bermanfaat, perlu didukung oleh lingkungan yang konduktif seperti keluarga. Budaya tiga generasi (orang tua, anak dan cucu) di bawah satu atap makin sulit dipertahankan, karena ukuran rumah di daerah perkotaan yang sempit, sehigga kurang memungkinkan para lanjut usia tinggal bersama anak (Hardywinoto, 2005). Sifat dari perubahan sosial yang mengikuti


(35)

kehilangan orang yang dicintai tergantung pada jenis hubungan dan definisi peran sosial dalam suatu hubungan keluarga. Selain rasa sakit psikologi mendalam, seseorang yang berduka harus sering belajar keterampilan dan peran baru untuk mengelola tugas hidup yang baru, dengan perubahan sosial ini terjadi pada saat penarikan, kurangnya minat kegiatan, tindakan yang sangat sulit. Sosialisasi dan pola interaksi juga berubah. Tetapi bagi orang lain yang memiliki dukungan keluarga yang kuat dan mapan, pola interaksi independent maka proses perasaan kehilangan atau kesepian akan terjadi lebih cepat, sehingga seseorang tersebut lebih mudah untuk mengurangi rasa kehilangan dan kesepian (Lueckenotte, 2000).

b. Lingkungan tempat kerja

Kerja sangat mempengaruhi keadaan diri dalam mereka bekerja, karena setiaap kali seseorang bekerja maka ia memasuki situasi lingkungan tempat yang ia kerjakan. Tempat yang nyaman akan membawa seseorang mendorong untuk bekerja dengan senang dan giat.

c. Ritme biologi

Waktu ritme biologi dikenal sebagai irama biologi, yang mempengaruhi fungsi hidup manusia. Irama biologi membantu mahluk hidup mengatur lingkungan fisik disekitarnya. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama sakardia diantaranya faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap. Serta cuaca yang mempengaruhi aktifitas sehar-hari. Faktor-faktor ini menetapkan jatah perkiraan untuk makan dan bekerja.


(36)

2.3.3 Manfaat Kemampuan Aktifitas Sehari-hari pada Lansia

a. Meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual lansia. Terdapat banyak faktor yang dapat membatasi dorongan dan kemauan seksual pada lanjut usia khususnya pria. Sejumlah masalah organik dan jantung serta sistem peredaran darah, sistem kelenjar dan hormon serta sistem saraf dapat menurunkan kapasitas dan gairah seks. Efek samping dari berbagai obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan beberapa macam penyakit dapat menyebabkan masalah organik, selain itu masalah psikologis juga berpengaruh terhadap kemampuan untuk mempertahankan gairah seks (Bandiyah, 2009).

b. Kulit tidak cepat keriput atau menghambat proses penuaan

c. Meningkatkan keelastisan tulang sehingga tulang tidak mudah patah. d. Menghambat pengecilan otot dan mempertahankan atau mengurangi

kecepatan penurunan kekuatan otot. Pembatasan atas linkup gerak sendi banyak terjadi pada lanjut usia, yang sering terjadi akibat keketatan/kekakuan otot dan tendon dibanding sebagai akibat kontraktur sendi. Keketatan otot betis sering memperlambat gerak dorso-fleksi dan timbulnya kekuatan otot dorsoflektor sendi lutut yang diperlukan untuk mencegah jatuh ke belakang.

e. Self efficacy (keberdayagunaan mandiri) yaitu suatu istilah untuk menggambarkan rasa percaya diri atas keamanan dalam melakukan aktivitas. Hal ini berhubungan dengan ketidaktergantungan terhadap instrumen ADL (IADL). Dengan keberdayagunaan mandiri ini seorang


(37)

lanjut usia mempunyai keberanian dalam melakukan aktivitas atau olah raga (Darmojo, 2006).

2.4 Indeks ADL Barthel

Indeks ADL barthel adalah suatu alat yang cukup sederhana untuk menilai perawatan diri, dan mengukur harian seseorang berfungsi secara khusus aktivitas sehari-hari dan mobilitas (Lueckenotte, 2000). Indeks ADL Barthel (modifikasi Collin C, Wade DT) dalam Agung (2006) menjelaskan, adalah suatu alat/instrumen ukur ADL (activity daily living) berupa kuesioner terdiri dari 10 item yaitu, mengendalikan rangsang buang air besar, mengendalikan rangsang buang air kecil, membersihkan diri (sikat gigi, sisir rambut, bercukur, cuci muka), penggunaan jamban/toilet –masuk dan keluar WC (melepas, memakai celana, membersihkan/menyeka, menyiram), makan, berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya, mobilitas/berjalan, berpakaian, naik-turun tangga dan mandi. Skor antara 0-20. Skor 20 = mandiri, skor 12-19 = ketergantungan ringan, skor 9-11 = ketergantungan sedang, skor 5-8 = ketergantungan berat, skor 0-4 = ketergantungan total.

Menurut penelitian Agung, Iskandar (2006) bahwa kuesioner ADL Barthel merupakan instrumen ukur yang andal dan sahih serta dapat digunakan untuk mengukur status fungsional dasar usia lanjut Indonesia.


(38)

Tabel 2.4.1 Indeks ADL Barthel

No. Aktivitas Kemampuan Skor

1. Mengendalikan rangsang

buang air besar (BAB)

Tidak terkendali/ tidak teratur Kadangkala tidak terkendali Terkendali teratur

0 1

2

2. Mengendalikan rangsang

berkemih (BAK)

Tidak terkendali/ menggunakan kateter

Kadangkala tidak berkemih Terkendali teratur

0

1 2 3. Membersihkan diri (muka,

sisir rambut, sikat gigi, bercukur, cuci muka)

Membutuhkan bantuan orang lain

Mandiri

0

1 4. Penggunaan toilet Tergantung perlu pertolongan

orang lain Perlu bantuan Mandiri 0 1 2

5. Makan Tidak mampu

Perlu pertolongan orang lain Mandiri

0 1 2

6. Berpindah posisi dari

tempat tidur ke kursi dan sebaliknya

Tidak mampu

Perlu bnatuan 2 orang Perlu bantuan satu orang

0 1 2


(39)

Mandiri 3

7. Mobilitas/ berjalan Tidak mampu

Mobilitas dengan kursi roda Berjalan dengan bantuan 1 orang Mandiri 0 1 2 3

8. Berpakaian Tergantung orang lain

Sebagian dibantu Mandiri

0 1 2

9. Naik turun tangga Tidak mampu

Perlu pertolongan orang lain Mandiri

0 1 2

10 Mandi Tergantung orang lain

Mandiri

0 1 Skor Total (0–20)

Total skor Indeks ADL Barthel : .... Keterangan:

A. Untuk setiap komponen/butir indeks ADL Barthel:

1. Jika membutuhkan enema/pencahar disebut inkontinen (dinilai 1 minggu sebelumnya).

2. Kadangkala : maksimal 1 kali/24 jam (dinilai 1 minggu sebelumnya)

3. Dinilai 24-48 jam sebelumnya. Kebersihan diri termasuk: sikat gigi, menyisir, bercukur,cuci muka,


(40)

4. Mampu mencapai WC, mencopot celana, membersihkan kotoran dari tubuh, berpakaian dan meninggalkan WC (mandiri)

5. Mampu mengkonsumsi makanan normal(tidak hanya berbentuk lunak), tidak dibantu orang lain (mandiri).

Perlu bantuan: makanan dipotongkan tetapi klien makan sendiri 6. Dari tempat tidur/berbaring ke kursi/duduk

Tidak mampu: tidak ada keseimbangan atau tidak mampu duduk. 7-10 sudah jelas.

B. Penilaian untuk setiap komponen/butir indeks ADL Barthel berdasarkan pengamatan, wawancara penilai terhadap aktivitas actual performance (yang benar-benar dikerjakan oleh subyek).

C. Total skor = 20 : Mandiri

= 12-19 : Ketergantungan Ringan = 9-11 : Ketergantungan Sedang = 5-8 : Ketergantungan Berat = 0-4 : Ketergantungan Total


(41)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Adapun kerangka konseptual untuk penelitian gambaran aktivitas sehari-hari pada lansia dengan gangguan pendengaran adalah:

Skema 3.1 : Kerangka Penelitian Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari Pada Lansia Mengalami Gangguan Pendengaran.

Lansia dengan gangguan pendengaran a. Tuli Konduktif b. Tuli Sensorineur al Indeks Barthel: 1. BAB (buang air

besar),

2. BAK (buang air kecil),

3. Membersihkan diri,

4. Ke toilet 5. Makan,

6. Berpindah posisi 7. Mobilitas/berjalan, 8. Berpakaian, 9. Naik-turun tangga 10. Mandi.

Tingkat Kemampuan: 1. Mandiri

2. Ketergantungan ringan

3. Ketergantungan Sedang

4. Ketergantungan Berat

5. Ketergantungan total


(42)

3.2 Defenisi Operasional

Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variab el Defenisi Operasional Alat Ukur

Hasil Ukur Skala

Gangg uan Penden garan Pada Lansia Gangguan yang terjadi secara perlahan-lahan

secara fisiologis dan mekanik yang terjadi pada lansia berusia 60 tahun ke atas.

Pemeri ksaan dengan garpu tala Pemeriksaan Garpu Tala

1. Rinne: Bila masih terdengar disebut Rinne

positif (Tuli Sensorineural), bila

tidak terdengar disebut Rinne negatif (Tuli Konduktif).

2. Weber: Tuli konduktif yaitu bunyi terdengar lebih keras pada telinga yang sakit dan tuli saraf yaitu bunyi terdengar pada telinga yang sehat.

3. Schwabach: apabila klien masih mendengar meskipun pemeriksa sudah tidak mendengar berarti schwabach memanjang (tuli konduktif) dan apabila pemeriksa masih mendengar meskipun

Ordin al


(43)

tidak lagi terdengar oleh penderita berarti schwabach memendek (tuli sensorineural). Aktivit as Hidup Sehari-hari Aktivitas sehari-hari yang dilakukan lansia setiap hari, mengendalikan

rangsang buang air besar, mengendalikan rangsang buang air kecil, membersihkan diri (sikat gigi, sisir rambut, bercukur,

cuci muka), penggunaan

jamban/toilet –masuk dan keluar WC (melepas, memakai celana,

membersihkan/menye

ka, menyiram), makan, berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya,

mobilitas/berjalan, berpakaian, naik-turun tangga dan mandi.

Kuesion er yang terdiri dari 10 pertanya an

1. Mandiri = 20 2. Ketergantungan ringan = 12 -19 3. Ketergantungan sedang = 9–11

4. Ketergantungan berat = 5 –8

5. Ketergantungan total = 0 - 4

Ordin al


(44)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif yaitu rancangan penelitian yang bertujuan mengetahui Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran Pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami gangguan pendengaran yang tinggal di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Berdasarkan data Maret - April 2013 didapatkan jumlah lansia yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 30 orang.

4.2.2 Sampel

Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini besarnya sampel menggunakan rumus Arikunto, yaitu jika jumlah subjek lebih dari 100 orang maka jumlah sampel dapat diambil 25-30% dari jumlah subjek (Arikunto, 2005). Dalam penelitian ini diambil sampel sebesar 25% dari populasi yaitu 180 orang, maka jumlah sampel yang diambil adalah 45 orang. Dalam penelitian ini besarnya sampel menggunakan tehnik purposive sampling yaitu tehnik pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri


(45)

berdasarkan ciri, atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi (Notoatmodjo,2010).

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan di Jl. Perintis Kemerdekaan No. 2 Cengkehturi Binjai. Peneliti mengambil lokasi ini dengan alasan UPT Pelayanan Sosial Lansia merupakan unit yang dikelola oleh pemerintah Sumatera Utara dan memiliki kapasitas jumlah lansia yang cukup banyak sehingga peneliti mendapatkan sampel sesuai kriteria dan sesuai harapan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2013 .

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari Fakultas Keperawatan dan izin dari Dinas Sosial UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan. Setelah diberi ijin selanjutnya peneliti akan memberikan penjelasan kepada responden tentang maksud, tujuan, manfaat dan efek serta prosedur penelitian. Tindakan selanjutnya peneliti memberikan penjelasan tentang cara pengisian instrumen dan apabila bersedia menjadi responden dipersilahkan untuk menandatangani surat persetujuan.

Penelitian ini juga telah dilindungi oleh Komisi Etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian yaitu kuesioner data demografi (KDD),


(46)

kuesioner Aktivitas hidup sehari-hari Indeks Barthel dan lembar data observasi gangguan pendengaran. Kuesioner data demografi (KDD) meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan lama di panti. Lembar observasi gangguan pendengaran yaitu berisi tentang pemeriksaan garpu tala (rinne, weber, dan schwabach). Kuesioner Aktivitas hidup sehari-hari meliputi mengendalikan rangsang buang air besar, mengendalikan rangsang buang air kecil, membersihkan diri (sikat gigi, sisir rambut, bercukur, cuci muka), penggunaan jamban/toilet – masuk dan keluar WC (melepas, memakai celana, membersihkan/menyeka, menyiram), makan, berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya, mobilitas/berjalan, berpakaian, naik-turun tangga dan mandi.

4.6 Uji Validitas

Penelitian ini tidak melakukan uji validitas dan reabilitas kembali karena telah diuji kesahihannya oleh Agung (2006) dimana nilai p<0,001 artinya bahwa Indkes Barthel merupakan instrumen/alat ukur yang andal dan sahih serta dapat digunakan untuk mengukur status fungsional dasar usia lanjut di Indonesia.

4.7 Pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dan garpu tala. Pemeriksaan gangguan pendengaran dilakukan dengan tes garpu tala. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran gangguan pendengaran tuli konduktif atau tuli sensorineural. Setelah itu peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang prosedur, tujuan dan manfaat penelitian. Kemudian Peneliti meminta kesediaan calon responden untuk mengikuti penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan responden pengumpulan data dimulai. Pemeriksaan gangguan


(47)

pendengaran dilakukan di sebuah ruangan yang tenang dan tidak bising. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan garpu tala untuk tes rinne, weber, dan schwabach. Setelah mendapatkan data mengenai klasifikasi gangguan pendengaran, maka hasilnya peneliti tuliskan di dalam lembar observasi gangguan pendengaran, maka selanjutnya peneliti akan memberikan 2 lembar kuesioner selanjutnya kepada klien. Peneliti memberikan kuesioner hanya pada responden yang mengalami gangguan pendengaran. Data yang telah terkumpul di analisa dan dikategorikan ke dalam 5 kategori yaitu mandiri, ketergantungan ringan, ketergantungan sedang, ketergantungan berat, dan ketergantungan total.

Pemeriksaan gangguan pendengaran dan pengisisan kuesioner dilakukan berlangsung selama 20 menit atau lebih untuk 1 orang lanjut usia.

4.8 Analisa Data

Setelah semua data terkumpul maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama editing yaitu mengecek data demografi, kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Koding yaitu memberi kode atau angka tertentu untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa data. Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan analisis deskriptif dengan program SPSS 16,0. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan presentase untuk mendeskripsikan aktivitas hidup sehari-hari dan gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita di Wilayah Binjai dan Medan.


(48)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini mencakup karakteristik demografi responden, gambaran lansia dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari, dan pemeriksaan gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.

5.1.1. Data Demografi

Hasil penelitian pada tabel menunjukkan bahwa mayoritas lansia yang tinggal di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan sebagian besar berusia 75-90 tahun sebanyak 33 orang atau 73.3%. Berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa lansia perempuan berjumlah 23 orang atau 51.1%. Dan untuk tingkat pendidikan, sebagian besar lansia tidak bersekolah yaitu 24 orang atau 53.3%, dan sebagian besar lansia telah tinggal di panti >3 tahun sebanyak 27 orang atau 60%.


(49)

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Lansia Di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan (n=45)

Karakteristik Responden Jumlah Presentase

Usia 60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun 12 orang 33 orang 26.7% 73.3% Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan terakhir Tidak sekolah SD SMP SMA Diploma Sarjana 22 orang 23 orang 24 orang 17 orang 3 orang 1 orang 48.9% 51.1% 53.3% 37.8% 6.7% 2.2%

Lama di Panti < 1 tahun 1-3 tahun >3 tahun 8 orang 10 orang 27 orang 17.8% 22.2% 60%%


(50)

5.1.2. Observasi Gangguan Pendengaran Pada Lansia

Tabel 2. Observasi Gangguan Pendengaran pada Lansia dengan Pemeriksaan Garpu Tala (n=45)

Dari hasil Tabel 2, dapat dilihat gambaran gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan, yaitu dari hasil pemeriksaan garpu tala uji rinne pada telinga kanan responden sebagian besar mengalami tuli konduktif sebanyak 29 orang atau 64.4%, untuk uji rinne pada telinga kiri responden sebagian besar juga mengalami tuli sensorineural sebanyak 27 orang atau 60%,

a. Pemeriksaan Tes Rinne Gangguan

Pendengaran

Rinne Kanan

Persentase Rinne Kiri Persentase

Tuli Konduktif 29 64.4% 18 40%

Tuli Sensorineural 16 35.6% 27 60%

dan pada uji weber didapatkan hasil bahwa sebagian besar lansia mengalami tuli konduktif yaitu 27 orang atau 60%.

b. Pemeriksaan Tes Weber

Gangguan Pendengaran Weber Persentase

Tuli Konduktif 27 60%


(51)

dan pada tes schwabach kanan didapatkan hasil sebagian besar mengalami tuli konduktif yaitu 26 orang atau 57,8% dan pada tes schwabach kiri didapatkan hasil sebagian besar mengalami tuli sensorineural yaitu 27 orang atau 60%.

c. Pemeriksaan Tes Schwabach Gangguan

Pendengaran

Schwabach Kanan

Persentase Schwabach Kiri

Persemtase

Tuli Konduktif 26 57,8% 18 40%

Tuli

Sensorineural

19 42,2% 27 60%

d. Gangguan Pendengaran Pada Lansia

5.1.3. Aktivitas Hidup Sehari-hari Pada Lansia

Tingkat kemampuan lansia dalam aktivitas sehari-hari berbeda-beda pada setiap individu. Dari tabel 3 dapat dilihat lansia dapat mengontrol BAB secara teratur (62.2%), lansia dapat mengontrol BAK secara teratur (95,6%), membersihkan diri seperti berdandan yaitu 93.3%, 68.9% mandiri dalam penggunaan toileting, mandiri dalam makan yaitu 82.2%, mandiri dalam transfer (berpindah posisi dari duduk-tidur) yaitu 66,7%, 64.4% mandiri dalam melaksanakan mobilisasi, mandiri dalam berpakaian 86.7%,mandiri untuk naek tangga yaitu 60%, dan mandiri dalam mandi yaitu 71,1%.

No. Telinga Kanan Telinga Kiri

Tuli Sensorineural Tuli Konduktif Tuli Sensorineural Tuli Konduktif


(52)

Tabel. 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden berdasarkan pertanyaan Aktivitas Sehari-hari (n=45)

Indeks Barthel Frekuensi (n) Persentase Mengontrol BAB:

Tidak terkendali Kadangkala Terkendali teratur Mengontrol BAK:

Tidak terkendali Kadangkala Terkendali teratur Membersihkan diri:

Membutuhkan bantuan Mandiri

Pergi ke tolet: Tergantung Sedikit bantuan Mandiri Makan: Tidak mampu Perlu dibantu Mandiri Transfer: Tidak mampu

Perlu banyak bantuan Perlu sedikit bantuan Mandiri

Mobilisasi :

Tidak mampu

Mobilitas dengan kursi roda Berjalan dengan 1 orang mandiri

Berpakaian : tergantung sebagian dibantu mandiri

Naik turun tangga : tidak mampu butuh bantuan mandiri Mandi: tergantung mandiri 2 15 28 2 43 3 42 3 11 31 1 7 37 2 2 11 30 3 10 3 29 1 5 39 12 6 27 4 41 4,4% 33,3% 62,2% 4,4% 95,6% 6,7% 93,3% 6,7% 24,4% 68,9% 2,2% 15,6% 82,2% 4,4% 4,4% 24,4% 66,7% 6,7% 22,2% 6,7% 64,4% 2,2% 11,1% 86,7% 26,7% 13,3% 60% 8,9% 91,1%


(53)

Sebagian besar lansia yang berada di UPT. Pelayanaan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari dengan Mandiri sebanyak 26 orang atau (57.8%).

Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat Kemampuan lansia dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari n=45

Karakteristik Skor Frekuensi Persentase

Mandiri 20 26 57.8%

Ketergantungan ringan 12-19 14 31.1%

Ketergantungan sedang 9-11 2 4.4%

Ketergantungan berat 5-8 1 2.2%

Ketergantungan total 0-4 2 4.4%

5.2. PEMBAHASAN

Hasil analisa karakteristik umur responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia lanjut 75-90 tahun (Old) yaitu sebanyak 33 orang atau 73.3%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinajumita (2011) di Puskesmas Payakumbuh Utara bahwa jumlah usia lansia di atas 70 tahun sebanyak 52,2% lebih banyak di banding usia lansia 60-69 tahun. Berbeda dengan hasil penelitian Ediawati (2012) di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 dan 03 Jakarta Timur, dimana jumlah usia lansia 75 tahun ke bawah lebih banyak yaitu 66,4%.

Hasil analisa jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar responden lansia berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 51,1%. Jumlah lansia perempuan


(54)

lebih tinggi dari pada jumlah lansia laki-laki. Hasil ini sebanding dengan penelitian Najiyatul et al (2012) di UPT PSLU Pasuruan bahwa jumlah responden lansia yang perempuan lebih banyak (64%) dibanding laki-laki. Berbeda dengan penelitian Suhartini (2004) dalam Rinajumita (2011), dimana jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan responden berjenis kelamin perempuan yaitu 56 orang atau 53,8%. Menurut data Susenas (2009) dalam Ediawati (2012) jumlah lansia perempuan sebanyak 10,44 juta orang atau 8.96% dari seluruh penduduk perempuan sedangkan lansia laki-laki hanya berjumlah 8,88 juta orang atau 7.76% dari seluruh penduduk laki-laki. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa usia harapan hidup lansia perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki.

Hasil analisa tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa tingjat pendidikan responden sebagian besar tidak bersekolah yaitu sebanyak 23 orang atau 53,3%. Hal ini sesuai dengan penelitian Mahfiroh et al (2013) di Panti Sosial Tresna Werdha Mulia Dharma Kabupaten Kubu Raya dimana pada hasil penelitiannya sebagian besar pendidikan lansia yang tinggal di panti adalah tidak sekolah 51,2% atau 22 orang. Berbeda dengan hasil penelitian Najiyatul et al (2012) di UPT. PSLU Pasuruan menyatakan bahwa lansia yang berpendidikan SD lebih besar yaitu 61%. Responden mengatakan bahwa rendahnya pendidikannya disebabkan tidak adanya uang untuk biaya sekolah dan dulunya mereka juga tidak begitu dianjurkan untuk sekolah apalagi perempuan.

Hasil analisa lama tinggal menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah tinggal di panti selama lebih dari 3 tahun sebanyak 32 orang atau 71.1%.


(55)

Manusia yang telah terbiasa mandiri selama rentang bertahun-tahun akan terus berusaha mempertahankan kemandirian itu dalam beraktivitas sehari-hari selama mungkin (Putri 2011) dalam Mahfiroh et al (2013). Dalam rentang waktu lebih dari satu tahun dapat memungkinkan lansia untuk beradaptasi sehingga lansia tersebut dapat mengoptimalkan kemandirian nya.

Hasil analisa observasi gangguan pendengaran dengan tes garpu tala yaitu tes rinne pada telinga sebelah kanan didapatkan hasil sebagian besar lansia mengalami tuli konduktif yaitu 29 orang atau 64.4% dan untuk tes rinne telinga kiri didapatkan hasil sebagian besar lansia mengalami tuli sensorineural yaitu 27 orang atau 60%. Untuk tes weber didapatkan hasil sebagian besar mengalami tuli konduktif yaitu 27 orang atau 60%. Pada tes schwabach telinga kanan, didapatkan hasil sebagian besar lansia mengalami tuli konduktif yaitu 26 orang atau 57,8% dan pada tes schwabach telinga kiri didapatkan hasil sebagian besar lansia mengalami tuli konduktif yaitu 27 orang atau 60%. Gambaran gangguan pendengaran pada lansia dari hasil pemeriksaan tes garpu tala yaitu pemeriksaan telinga kanan sebagian besar lansia mengalami tuli konduktif (64,4%), dan pemeriksaan telinga kiri sebagian besar besar mengalami tuli sensorineural (60%).

Menurut peneliti, gangguan pendengaran yang dialami oleh lansia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya riwayat jatuh, riwayat terpapar bising, penggunaan obat, kurangnya memelihara kebersihan telinga, dan suka mengorek-ngorek telinga. Menurut Muyassaroh (2012) Laki-laki lebih banyak mengalami penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi dan hanya sedikit penurunan pada frekuensi rendah bila dibandingkan dengan perempuan.


(56)

Perbedaan jenis kelamin pada ambang dengar frekuensi tinggi ini disebabkan laki-laki umumnya lebih sering terpapar bising di tempat kerja dibandingkan perempuan.

Mayoritas lansia yang mengalami gangguan pendengaran juga berdampak pada psiokososial dan proses komunikasinya. Lansia lebih sering terlihat sendiri. Ketika diajak untuk mengobrol, kebanyakan lansia minder dan malu karena sulit untuk berkomunikasi. Ancaman yang terjadi bila pendengaran terganggu adalah isolasi sosial, depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Adanya gangguan pendengaran tentunya akan mempengaruhi proses komunikasi. Gejala gangguan pendengaran pada lanjut usia pertama kali adalah kesulitan untuk mengerti percakapan, dan berkurangnya kemampuan menentukan jenis dan arah suara

Lansia yang mengalami gangguan pendengaran juga akan membuat kualitas hidupnya menurun. Hasil penelitian Djamin (2010) menyatakan bahwa kualitas hidup lansia dengan gangguan pendengaran paling banyak adalah yang mengalami gangguan ringan sampai sedang 30 orang atau (49,2%).

Hasil penelitian kemandirian responden dengan menggunakan Indeks Barthel yang meliputi kemampuan untuk mengontrol BAB, mengontrol BAK, membersihkan diri seperti berdandan, penggunaan toileting, makan, transfer (berpindah posisi dari duduk-tidur), mobilisasi, berpakaian, naik turun tangga, dan mandi menunjukkan bahwa sebagian besar lansia memiliki tingkat kemandirian yang mandiri dalam aktivitas hidup sehari-hari yaitu sebanyak 26 orang atau 57,8%. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Rinajumita (2011) di wilayah kerja


(57)

Puskesmas dimana sebagian besar responden dapat melakukan aktivitasnya sendiri/mandiri yaitu 87.78%.

Hampir seluruh responden mandiri dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari seperti dapat mengontrol BAB secara teratur 62.2%, lansia dapat mengontrol BAK secara teratur 95,6%, membersihkan diri seperti berdandan yaitu 93.3%, 68.9% mandiri dalam penggunaan toileting, mandiri dalam makan yaitu 82.2%, mandiri dalam transfer (berpindah posisi dari duduk-tidur) yaitu 66,7%, 64.4% mandiri dalam melaksanakan mobilisasi, mandiri dalam berpakaian 86.7%, mandiri untuk naek turun tangga yaitu 60%, dan mandiri dalam mandi yaitu 71,1%, dan aktivitas hidup sehari-hari yang paling sedikit dilakukan secara mandiri yaitu naek turun tangga (60%). Ediawati (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hampir seluruh responden mandiri dalam melakukan aktivitas seperti mandi (96,5%), berpakaian (95,8%), BAK/BAB (96,5%), ke kamar mandi (96,5%), makan (100%), dan berpindah tempat/berjalan (95,1%). Penelitian ini juga sesuai dengan Rahmayanti (2011) yang juga menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di Panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan sebagian besar 82,8 % lansia masih dapat melakukan transfer secara mandiri, 17,2 % lansia mampu berjalan secara mandiri, 28,1 % mampu toileting secara mandiri, 64,1% mampu membersihkan diri secara mandiri, 39,1% kotinen teratur untuk BAB, 14,1% kontinen teratur untuk BAK, 23,4% mampu mandi secara mandiri, 21,9% mandiri dalam berpakaian, 20,3% makan secara mandiri dan 9,4% mampu mandiri naik turun tangga.


(58)

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan mandiri dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Poerwadi (2001) dalam Zakarya (2009) mengartikan mandiri adalah dimana seseorang dapat mengurusi dirinya sendiri, ini berarti bahwa jika seseorang sudah menyatakan dirinya siap mandiri berarti dirinya ingin sesedikit mungkin meminta pertolongan atau tergantung kepada orang lain. Menurut peneliti, kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari didukung karena lansia masih beranggapan bisa melakukannya sendiri, dan sudah terbiasa melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan dari pegawai panti. Terbatasnya bantuan yang diterima lansia dari petugas membuat lansia untuk tetap harus mandiri dalam memenuhi segala aktivitasnya.

Lansia yang tinggal di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan berarti tinggal jauh dengan anggota keluarga dan sudah memutuskan untuk hidup sendiri bersama teman-teman di panti. Ada 18 wisma yang terdapat di panti untuk menampung para lansia. Setiap wisma ada 1 pengasuh yang setiap harinya membersihkan ruangan wisma. Dan ada 2 wisma yaitu anyelir dan asoka yang dipantau khusus dan difasilitasi dengan masing-masing 1 pengasuh untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. Lansia yang tinggal di dalamnya memiliki ketergantungan yang berat dan total karena disertai dengan penyakit. Hanya beberapa orang lansia saja yang tidak dapat melakukan aktivitas sebanyak 1 orang atau 2,2% untuk ketergantungan berat dan 2 orang atau 4,4% untuk ketergantungan total.


(59)

Gambaran gangguan pendengaran yang dialami oleh lansia juga masih dalam batas yang gangguan sederhana sehingga tidak mengganggu aktivitas. Selain itu, mandiri nya lansia dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari dikarenakan adanya pemeliharaan kesehatan dan pantauan kesehatan oleh petugas yang rutin di poliklinik. Lansia yang mengalami masalah kesehatan di beri pemahaman untuk pergi ke poliklinik yang masih berada dalam kawasan panti. Hari senin-kamis dilakukan gotong royong dan hari selasa-sabtu dilakukan senam pagi agar lansia tidak mengalami gangguan anggota gerak, persendian dan tulang sehingga lansia dapat melakukan aktivitas secara mandiri. Latihan aktifitas fisik sangat penting bagi orang lanjut tua untuk menjaga kesehatan, mempertahankan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, dan meningkatkan kualitas kehidupan (Luekenotte, 2000) dalam Mahfiroh et al (2013). Kualitas hidup lansia akan semakin meningkat jika ia mampu mempertahankan status kesehatannya dan mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-harinya.


(60)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai gambaran aktivitas hidup sehari-hari dan gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.

1. Lansia yang tinggal di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan sebagian besar berusia antara 75-90 tahun, lansia berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan lansia berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan lansia masih rendah yaitu sebagian besar tidak sekolah dan hanya sedikit yang sampai kepada tingkat SMA, lansia yang tinggal di panti sebagian besar sudah tinggal selama >3 tahun.

2. Gambaran gangguan pendengaran pada lansia dari hasil pemeriksaan tes garpu tala, yaitu pemeriksaan telinga kanan sebagian besar lansia mengalami tuli konduktif (64,4%), dan pemeriksaan telinga kiri sebagian besar besar mengalami tuli sensorineural (60%).

3. Gambaran aktivitas hidup sehari-hari lansia di panti sebagian besar adalah mandiri. Lansia masih tetap mempertahankan kemandiriannya dalam melakukan aktivitas hidup setiap harinya. Keterbatasan bantuan dari petugas panti juga salah satu faktor yang mendorong agar lansia tetap


(61)

mandiri. Lansia yang telah tinggal lebih dari setahun di panti juga sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan di panti untuk tetap mempertahankan kemandiriannya. Dari 18 wisma yang ada di panti, ada 2 wisma yang dihuni oleh lansia dengan keterbatasan yang sangat kurang sehingga membutuhkan pengasuh dalam memenuhi atau melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

6.2. Saran-saran

6.2.1. UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Wilayah Binjai dan Medan

Agar tetap memperhatikan status kesehatan lansia di panti sehingga lansia tetap bisa sehat dan mandiri dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari. 6.2.2. Bidang Pendidikan

Untuk dapat meningkatkan asuhan keperawatan dan pendidikan kesehatan kepada para lansia. Sehingga informasi yang diberikan dapat menambah pengetahuan serta wawasan lansia dalam mempertahankan kesehatannya. 6.2.3. Bagi penelitian selanjutnya

Untuk penelitian selanjutnya agar bisa mencari perbandingan aktvitas hidup sehari-hari dan gangguan pendengaran pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Wilayah Binjai dan Medan dengan yang di rawat oleh keluarga di rumah.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Iskandar. (2006). Uji Keandalan dan Kesahihan Indeks Activity of Daily Living Barthel Untuk Mengukur Status Fungsional Dasar Pada Lanjut Usia

di RSCM. Diambil tanggal 31 Mei 2013 dari

____. (2012). Hearing Loss of Elderly. Diambil tanggal 10 mei 2013 dari

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Sosial. (2012). Lansia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Sosial. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik penduduk lanjut usia 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Darmojo , R. Boedhi dan H. Hadi Hartono. (2000). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Djamin, Riskiana. (2010). Kualitas Hidup Lansia Dengan Gangguan Pendengaran. Diambil tanggal 22 Desember 2013

Ediawati, Eka. (2012). Gambaran Tingkat Kemampuan dalam Activity of Daily Living (ADL) dan Resiko Jatuh Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 dan 03 Jakarta Timur. Diambil tanggal 01 Juni 2013 dari http://www.lontar.ui.ac.id

Fatimah. (2010). Merawat Manusia Lanjut Usia. Jakarta: Trans Info Media.

Kartika, M Ratna A. (2010). Hubungan Antara Gangguan Pendengaran Penderita Geriatri dengan Kualitas Hidup dan Komunikasi di Poli Geriatri

RSUD Dr. Soetomo. Diambil tanggal 07 Juni 2013 dari

Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. (2006). Lueckenotte, Annette G. (1998). Pengkajian Gerontologi. Edisi 2. Jakarta: EGC. Mahfiroh, Inta et al. (2013). Hubungan Pola Aktivitas Pemenuhan Kebutuhan

Dasar Dengan Tingkat Stress Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha Mulia Dharma Kabupaten Kubu Raya. Diambil tanggal 16 Januari 2014 Maryam, Siti et al. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:


(63)

Muyassaroh. (2012). Faktor Resiko Presbikusis. Diambil tanggal 05 Juni 2013 da

Najiyatul, Fadhia et al. (2012). Hubungan Fungsi Kognitif dengan Kemandirian dalam Melakukan Activity of daily Living (ADL) pada Lansia di UPT PSLU Pasuruan. Diambil tanggal 01 Juni 2013 dari http://journal.unair.ac.id Napitupulu, Pranata Desy. (2011). Tingkat Kemampuan Aktivitas Sehari-hari

pada Lansia dengan Penyakit Kronis. Diambil tanggal 19 Mei 2013 dari http://www.repository.usu.ac.id

Nugroho, Wahjudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Nugroho, Wahjudi. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC. Nugroho, Wahjudi. (2009). Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta:

EGC.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Rahmayati. (2011). Kemampuan Fungsional Lansia di Panti Werdha UPT.

Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Diambil tanggal 19 Mei 2013 dari

Rinajumita. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kemandirian Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Lampasi Kecamatan Payakumbuh Utara. Diambil tanggal 03 Januari 2014.

Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Volume 2. Jakarta: EGC.

Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tamher, S dan Noorkasiani. (2008). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Zakarya, Ahmad. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kemandirian Pada Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 04 Margaguna Jakarta Selatan. Diambil tanggal 10 Januari 2014.


(64)

(65)

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran Pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

Oleh

Novia Karyani Panggabean

Saya adalah mahasiswa Ekstensi B Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi gambaran aktivitas hidup sehari-hari dan gangguan pendengaran pada lansia. Untuk keperluan tersebut saya mengharap kesediaan bapak/ ibu menjadi responden dalam penelitian ini. Informasi yang saya dapatkan ini hanya akan digunakan untuk pengembangan ilmu keperawatan dan tidak akan dipergunakan untuk maksud- maksud lain.

Partisipasi Bapak/ Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga Bapak / Ibu bebas untuk menjadi responden penelitian atau menolak tanpa ada sanksi apapun. Jika Bapak/ Ibu bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, silahkan Bapak/ Ibu menandatangani formulir persetujuan ini. Terima kasih atas partisipasi Bapak / Ibu dalam penelitian ini.

Medan, 2013

Peneliti Responden


(66)

KUESIONER

Kode :

Tanggal/Waktu : PETUNJUK

1. Membacakan pertanyaan yang ada pada Instrumen dengan jelas kepada responden

2. Memberikan tanda check list (√) pada jawaban yang telah diberi kotak pilihan sesuai jawaban responden.

A. DATA DEMOGRAFI

1. Jenis Kelamin : ( ) Laki-laki ( ) Perempuan

2. Usia : ( ) 60-74 tahun ( ) 75-90 tahun

( ) >90 tahun

3. Pendidikan Terakhir : ( ) Tidak Sekolah ( ) SMA

( ) SD ( ) DIPLOMA

( ) SMP ( ) SARJANA

4. Lama di Panti : ( ) < 1 tahun ( ) 1-3 tahun ( ) > 3 tahun


(67)

Kode : Tanggal/waktu :

B. Kuesioner Indeks ADL Barthel

Berilah tanda chek list (√) pada salah satu kolom jawaban yang sesuai dengan kondisi anda !

No Aktivitas Kemampuan Check

list(√ ) 1 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu

mengendalikan rangsang BAB?

Tidak terkendali/tidak teratur Kadang kala tidak terkendali (1x.minggu)

Terkendali teratur

2 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu mengendalikan rangsang BAK?

Tidak terkendali atau menggunakan kateter

Kadangkala tidak terkendali (1x/24 jam)

Terkendali teratur 3 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu

dalam membersihkan diri (lap muka, sisir rambut, sikat gigi, bercukur, cuci muka) ?

Membutuhkan bantuan orang lain

Mandiri

4 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu dalam pergi ke toilet, masuk dan keluar WC (melepas, memakai celana, membersihkan/menyeka, menyiram) ?

Tergantung pertolongan orang lain

Perlu bantuan pada beberapa aktivitas , tetapi aktivitas lain bisa dilakukan sendiri

Mandiri 5 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu Tidak mampu


(68)

untuk makan? Perlu dibantu memotong makanan

Mandiri 6 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu

dalam berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya?

Tidak mampu

Perlu banyak bantuan orang untuk bisa duduk (2 orang) Perlu sedikit bantuan saja (1 orang)

Mandiri 7 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu

dalam melakukan mobilitas (berjalan) ?

Tidak mampu (imobil)

Bisa pindah atau mobilitas dengan kursi roda

Berjalan dengan bantuan 1 orang

Mandiri 8 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu

dalam memakai baju (berpakaian)?

Tergantung bantuan orang lain

Sebagian dibantu orang lain Mandiri

9 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu untuk naik dan turun tangga?

Tidak mampu

Butuh bantuan orang lain Mandiri

10 Bagaimana kemampuan Bapak/ Ibu untuk mandi?

Mandiri

Tergantung orang lain Mandiri


(69)

(70)

(71)

(72)

(73)

(74)

(75)

(76)

(77)

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Novia Karyani

Tempat Tanggal Lahir : Sibolga, 02 April 1991

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Rasak No. 58 Sibolga

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 081228 Sibolga : 1996-2002

2. SMP Negeri 1 Sibolga : 2002-2005

3. SMA Negeri 1 Sibolga : 2005-2008


(1)

Membersihkan Diri

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid membutuhkan bantuan

orang lain 3 6.7 6.7 6.7

mandiri 42 93.3 93.3 100.0

Total 45 100.0 100.0

Pergi ke Toilet

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid tergantung pertolongan

orang lain 3 6.7 6.7 6.7

sedikit bantuan 11 24.4 24.4 31.1

mandiri 31 68.9 68.9 100.0

Total 45 100.0 100.0

Makan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak mampu 1 2.2 2.2 2.2

perlu di bantu 7 15.6 15.6 17.8

Mandiri 37 82.2 82.2 100.0

Total 45 100.0 100.0

Transfer

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak mampu 2 4.4 4.4 4.4

dibantu 2 orang 2 4.4 4.4 8.9

dibantu 1 orang 11 24.4 24.4 33.3

mandiri 30 66.7 66.7 100.0


(2)

Mobilitas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak mampu 3 6.7 6.7 6.7

menggunakan kursi roda 10 22.2 22.2 28.9

dibantu 1 orang 3 6.7 6.7 35.6

mandiri 29 64.4 64.4 100.0

Total 45 100.0 100.0

Berpakaian

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid bergantung bantuan

orang lain 1 2.2 2.2 2.2

sebagian dibantu 5 11.1 11.1 13.3

mandiri 39 86.7 86.7 100.0

Total 45 100.0 100.0

Naik dan turun tangga

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak mampu 12 26.7 26.7 26.7

perlu dibantu 6 13.3 13.3 40.0

mandiri 27 60.0 60.0 100.0

Total 45 100.0 100.0

mandi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak mampu 4 8.9 8.9 8.9

dibantu 41 91.1 91.1 100.0


(3)

Observasi Pemeriksaan Garpu Tala di UPT Pelayanan Sosial Lansia Wilayah Binjai dan Medan

Nama Responden

Telinga Kanan Telinga Kiri

Uji Rinne

Uji Weber

Uji

Schwabach

Uji Rinne Uji

Weber Uji


(4)

PROSEDUR PEMERIKSAAN TES GARPU TALA PADA LANSIA GANGGUAN PENDENGARAN

Tujuan : Untuk mengetahui gambaran perbandingan tuli konduktif dan tuli

sensorineural pada telinga kanan dan kiri.

Sasaran :Lansia yang mengalami gangguan pendengaran di UPT. Pelayanan Sosial

Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.

Hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan:

a. Lansia yang akan menjadi responden telah mendapat penjelasan tentang pemeriksaan yang akan dilakukan

b. Lansia merasa nyaman, tidak terpaksa, dan terlindungi privasinya c. Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang dan tidak ribut


(5)

PROSEDUR PEMERIKSAAN TES GARPU TALA

No Uji Rinne Uji Weber Uji Schwabach

1. Uji rinne adalah uji

yang dilakukan untuk membandingkan

hantaran tulang dan udara pada telinga yang diperiksa.

1. Garpu tala 512 Hz

digetarkan lembut

2. Tempatkan garpu

tala yang bergetar di dasar tulang mastoid

3. Minta klien untuk

memberitahu anda ketika suara tidak terdengar lagi

4. Catat interval waktu ketika garpu tala dipindahkan ke meatus auditorius 2,5 cm

5. Minta klien untuk

memberi tahu anda ketika suara tidak terdengar lagi

6. Catat hasil

Hasil : Bila masih

terdengar disebut Rinne

positif (Tuli Sensorineural), bila

Uji weber adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan.

1. Getarkan garpu tala

512 Hz lembut

2. Berdiri di depan

pasien dan letakkan garpu tala pada bagian tengah dahi klien.

3. Minta klien untuk

menunjukkan apakah ia mendengar atau merasa bunyi pada telinga kanan atau telinga kiri.

4. Catat hasil

Hasil : Apabila bunyi

garputala terdengar lebih keras pada telinga yang sakit (lateralisasi ke telinga yang sakit) disebut tuli konduktif dan apabila terdengar lebih keras pada telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat)

Uji schwabach adalah uji yang dilakukan untuk membandingkan

hantaran tulang telinga orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.

1. Getarkan garpu tala

512 Hz lembut

2. Letakkan tangkai

garpu tala yang digetarkan di tulang mastoideus

pemeriksa, dan jika sudah tidak terdengar lagi diletakkan pada klien atau sebaliknya.

Hasil : apabila klien

masih mendengar meskipun pemeriksa sudah tidak mendengar berarti schwabach


(6)

tidak terdengar disebut Rinne negatif (Tuli Konduktif).

disebut tuli sensorineural.

memanjang (tuli konduktif) dan apabila

pemeriksa masih mendengar meskipun tidak lagi terdengar oleh

penderita berarti schwabach memendek (tuli sensorineural).


Dokumen yang terkait

Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Penglihatan Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

6 43 83

Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

1 7 109

Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 0 11

Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 0 2

Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 0 6

Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 2 25

2.1.2 Batasan Umur Lanjut Usia - Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Pendengaran pada Lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 0 22

Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Penglihatan Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia - Gambaran Aktivitas Hidup Sehari-hari dan Gangguan Penglihatan Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan

0 0 25

GAMBARAN AKTIVITAS HIDUP SEHARI-HARI DAN GANGGUAN PENGLIHATAN PADA LANSIA DI UPT PELAYANAN SOSIAL LANSIA DAN ANAK BALITA WILAYAH BINJAI DAN MEDAN

0 0 10