Efektivitas Bentuk Fisik Ransum Yang Mengandung Pod Kakao (Theobroma cacao L.) Fermentasi Aspergillus niger Terhadap karkas Kelinci Rex Lepas Sapih

TINJAUAN PUSTAKA Karekteristik dan Potensi Ternak Kelinci

  Menurut sistem binomial, bangsa kelinci diklasifikasikan sebagai berikut: Ordo : Lagomorpha Family : Leporidae Subfamily : Laporine Genus : Lepus, Orictolagus sp (Rans, 2004).

  Seekor kelinci bisa menghasilkan anak dengan kisaran 48-74 ekor dalam setahun, lebih banyak dibandingkan dengan sapi (0,9), domba (1,5), dan kambing (1,5) seperti yang tertera dalam tabel 1. Kelinci mempunyai konversi daging yang cukup tingggi dibandingkan ternak lain yaitu 29%.

  Tabel 1. Perbandingan Hasil Daging beberapa Hewan Ternak

  Jumlah Total bobot Konversi karkas

Jenis ternak Bobot induk anak/tahun karkas/tahun terhadap bobot

dewasa (kg) (ekor) (kg) induk (%)

  Sapi 500 0,9 173 0,35 Domba

  60

  1.5 38 0,63 Kambing 45 1,5 24 0,53 Kelinci intensif 4 48,0 117 29,00 Kelinci hibrid 4 74,0 144 29,00

  Sumber: Manshur (2009)

  Kelinci memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan ternak yang sangat penting didunia. Budidayanya cocok dilakukan oleh masyarakat karena tidak membutuhkan tanah yang luas dan modal yang besar serta mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat (Sitorus et al, 1982).

  Tujuan pemeliharaan kelinci di Indonesia cukup beragam, mulai dari sebagai kelinci hias, kelinci penghasil bulu dan kelinci penghasil daging. Kelinci hias adalah jenis kelinci yang dipelihara sebagai hewan kesayangan (pet) yang didasarkan pada bentuk dan ukuran tubuh kecil, lucu serta berbulu indah, tebal dan lembut. Contohnya antara lain angora, loop, jersey, woolies, lions, fuzzy dan mini rex. Tujuan pemeliharaan kelinci kedua adalah penghasil bulu yang bernilai ekonomi tinggi sehingga podensi untuk di eksport. Contoh kelinci penghasil kulit bulu adalah rex dan satin. Sementara kelinci pedaging memiliki kriteria persentase karkas 50-60%, bobot badan mencapai 2 kg pada umur 8 minggu dan memiliki laju pertumbuhan tinggi yaitu sekitar 40 g/ekor/hari. Beberapa jenis kelinci pedaging antara lain Flemish Giant, new Zealand white, Vlameusreus, satin, rex, rexa , persilangan antara Flemish dengan kelinci lokal (Masanto dan Agus, 2010).

  Kelinci Rex

  Menurut Masanto dan Agus (2010), bangsa kelinci Rex di temukan pertama kali oleh seorang peternak di Prancis pada tahun 1919. Kemudian satu tahun berikutnya (tahun 1920) bangsa kelinci ini terlihat pada beberapa pameran hewan di benua Eropa, setelah peristiwa tersebut popularitasnya meningkat dengan cepat sehingga pada tahun 1929 kelinci Rex di ekspor ke Amerika, awalnya bangsa kelinci ini dikembangkan untuk menjadikan hewan peliharaan karena bulunya yang istimewa, halus seperti beledu. Disamping itu kelinci bangsa ini juga diambil daging kulit-bulunya. Beberapa tahun kemudian mulai terdapat usaha-usaha untuk mengembangkan sebagai penghasil bahan baku pada industri garmen, mahalnya ongkos tenaga kerja menjadi kendala utama bagi negeri tersebut untuk mengembangkan kelinci Rex kearah industri. Tabel 2. Produksi dan reproduksi kelinci Rex Data

  Keterangan Lama penyapihan 6-8 minggu Umur dewasa kelamin 2 bulan Umur dewasa tubuh 4 bulan Lama bunting

  29-32 hari Lama produksi

  1-3 tahun Bobot dewasa

  2,7-3,6 kg

  Sumber: Kartadisastra (1994)

  Kelinci Rex pertama kali masuk ke Indonesia secara import melalui Balai Penelitian Ternak Ciawi pada bulan Februari 1988, dengan tujuan untuk mengkaji pertumbuhan badan dan pemanfaatan kulit-bulu. Bobot dewasa kelinci bekisar 2,7-3,6 kg (Sarwono, 2001).

  Pakan Ternak Kelinci

  Pakan bagi ternak sangat besar peranannya. Pemberian pakan yang seimbang diharapkan dapat memberikan produksi yang tinggi. Pakan yang diberikan hendaknya memiliki persyaratan kandungan gizi yang lengkap seperti protein, karbohidrat, mineral, vitamin, digemari ternak dan mudah dicerna (Anggorodi, 1990).

  Faktor makanan merupakan salah satu faktor utama dalam mengendalikan ternak kelinci. Oleh arena itu berhasilnya usaha ternak kelinci (daging,kulit, bulu) juga sangat tergantung pada perhatian peternak pada penyajian mutu makanan beserta volumenya. Makanan harus mencukupi jumlah zat gizi yang dibutuhkan kelinci sesuai fase pertumbuhannya. Ada pun zat-zat yang harus dipenuhi adalah vitamin, mineral, hidrat arang, protein, lemak dan air (AAK, 1996).

  Bahan makanan yang sering diberikan kepada ternak kelinci adalah: hijauan, umbi, biji dan hay. Hijauan dalah tanaman yang dapat tumbuh seperti rumput, daun-daun, sayur-sayuran kaya vitamin, mineral dan protein. Adapun daun-daun sayuran yang dapat diberikan seperti kol, sawi, kangkung, daun turi, daun kacang tanah, kacang panjang, demikian pula rumput yang relatif lunak dan batangnya halus, umbian dalam keadaan segar mengandung air sekitar 60-90%, dan bahan kering sekitar 5-40%. Contohnya wortel, ubi jalar, ubi kayu. Biji yang bisa diberikan kepada kelinci adalah biji padi dan legeum. Keduanya disebut konsentrat, karena masing-masing berkonsentrasi gizi tinggi. Hay diberikan hanya sebagai pelengkap karena kadar proteinnya tinggal 50% dari hijauan tersebut dalam keadaan segar (Sumoprastowo, 1989).

  Potensi Pod Kakao

  Pod kakao merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan tanaman kakao. Buah coklat yang terdiri dari 74% kulit, 2% plasenta dan 24% biji. Hasil analisa proksimat mengandung 22% protein dan 3-9% lemak (Nasrullah dan A. Ella, 1993).

  Pod kakao merupakan kulit bagian terluar yang menyelubungi biji kakao dengan tekstur kasar, tebal dan agak keras. Pod kakao segar mengandung kadar air sekitar 85% sehingga mudah menjadi busuk. Pemanfaatan pod kakao menjadi mulsa yang ditebarkan disekitar tanaman dapat menjadi inang bagi pertumbuhan cendawan (Phytophthora palmivora) yang dapat menggangu perkembangan tanaman kakao (Tequia et al., 2004).

  Hasil ikutan pertanian dan perkebunan pada umumnya mempunyai kualitas yang rendah karena berserat kasar yang tnggi dan dapat mengandung anti nutrisi. Pod kakao mengandung lignin dan theobromin yang sangat tinggi (Aregheore, 2000). Selain mengandung serat kasar yang tingi sekitar 40,03% dan protein yang rendah sebesar 9,71% (Laconi, 1998), pod kakao mengandung selulosa 36,23%, hemiselulosa 1,14% dan lignin 20-27,95% (Ammirroenas, 1990). Lignin yang berkatan dengan selulosa tidak bisa dimanfatkan oleh ternak. Upaya peningkatan kualitas dan nilai gizi pakan serat hasil ikutan perkebunan yang berkualitas rendah merupakan upaya strategis dalam meningkatkan ketersediaan pakan.

  Aspergillus niger Sebagai Bahan Fermentasi

  Fermentasi adalah aktifitas mikroba untuk memperoleh energi melelui substrat yang berguna untuk keperluan metabolisme dan pertumbuhannya (Ranchman, 1989). Fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan substrat bahan pangan tersebut. Hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis substrat, jenis mikroba dan kondisi sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba tersebut (Winarno et al, 1990).

  Proses fermentasi tidak akan berlangsung tanpa adanya enzim katalis spesifik yang hanya dapat dikeluarkan oleh mikroorganisme tertentu. Proses mirkroorganisme memperoleh sejumlah energi untuk pertumbuhannya dengan jalan merombak bahan yang memberikan zat-zat hara atau mineral bagi mikroorganisme seperti hidrat arang, protein, vitamin dan lain-lain (Fardiaz, 1988). Selanjutnya Cowan (1984) menyatakan bahwa pemeliharaan media fermentasi merupakan faktor yang sangat penting dalam memproduksi enzim dari mikroba, disamping faktor kondisi fermentasi, spesies mikroba yang digunakan dan metode pemurnian enzim yang dilakukan. Media yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba dapat berupa media cair dan media padat ataupun semi padat.

  Aspergillus niger adalah kapang anggota genus aspergillus, family

  Eurotiaceae, ordo Eutiales, subclass Plectomycetetidae, kelas ascomycetes, sub divisi Ascomycotina, dan divisi Amastigmycota. Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Aspergillus niger menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler seperti amylase, amiloglukosidase, pektinase, selulase, katalase dan glukosidase (hardjo et al, 1998). Lehninger (1991) menambahkan Aspergillus niger menghasilkan enzim urease yang memecahkan urea menjadi asam amino dan CO

  2 yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino.

  Aspergillus niger bersifat aerob, sehingga membutuhkan oksigen untuk

  pertumbuhannya. Temperature optimum bagi pertumbuhannya adalah antara

  35 C-37

  C. kisaran pH antara 2,0-8,5 dengan pH optimum antara 5,0-7,0 dan membutuhkan kadar air media antara 65-70%. Aspergillus niger mempunyai ciri yaitu berupa benang-benang tunggal yang disebut hifa berupa kumpulan benang- benang padat menjadi suatu bahan yang disebut miselium, tidak mempunyai klorofil dan hidupnya heterotrof serta berkembang biak secara vegetatif dan generatif (Fardiaz, 1989).

  Teknologi pengolahan Pakan Berbentuk Pellet

  Berbagai tehnik prosesing pakan digunakan dalam penyiapan bahan makanan ternak. Perlakuan terhadap bahan pakan dapat secara nyata mengubah nilai gizi dari bahan-bahan tersebut. Panas akan merubah beberapa kandungan gizi atau sebaliknya, beberapa zat gizi yang lain menjadi naik nilai kegunaannya.

Pembentukan “pellet” dapat meningkatkan konsumsi sedangkan penggilingan dapat mempengaruhi daya cerna dari protein dan karbohidrat. Sangatlah penting

  bagi pemberi makan untuk berhati-hati terhadap bahan pakan yang mengalami perlakuan baik untuk pengawetan, pemurnian, pengkonsentrasian atau untuk menaikkan nilai gizinya. Jadi, diperlukan penjelasan-penjelasan dari hasil bahan pakan, metode prosesing, seperti: pengawetan, pemisahan, pengurangan ukuran dan perlakuan-perlakuan panas (Hartadi, 2005).

  Untuk membuat pakan bentuk crumble atau pellet dari pakan bentuk tepung maka harus dilakukan proses lebih lanjut. Selain itu juga perlu dilakukan pengujian kepadatan atau kerekatannya jika mau dibuat pakan bentuk pellet. Caranya, ambil pakan yang berbentuk secukupnya lalu dijemur. Setelah kering, kalau pellet yang dihasilkan keras dan tidak mudah pecah berarti baik. Namun jika pellet kurang keras dan mudah pecah maka dapat diberikan tambahan perekat sintesis (white pellard) atau tepung tapioka. Penambahan bahan tersebut bertujuan untuk membantu tingkat kekerasan pellet seperti yang diinginkan (Rasidi 2002).

  Bobot Potong

  Bobot potong merupakan bobot hidup akhir seekor ternak sebelum dipotong/disembelih. Semakin tinggi bobot sapih pada seekor ternak maka semakin tinggi pula bobot potong. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula. Semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh (Muryanto dan Prawirodigdo 1993). Potongan komersial kelinci juga sangat dipengaruhi oleh bobot potongnya (Herman, 1983).

  Sebelum penyembelihan dilakukan, sebaiknya dilakukan Starving yaitu perlakuan terhadap kelinci, dimana kelinci tersebut tidak diberi pakan selama 6-10 jam. Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk mengosongkan usus yang akan menentukan besarnya persentase karkas. Perlu diperhatikan bahwa untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan penurunan berat badan khususnya pada daerah tropis, maka selama perlakuan ini kelinci harus mendapatkan air minum yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya. Penyemblihan pada kelinci pada prinsipnya adalah sama dengan ternak lainnya yakni memutuskan saluran darah balik (Vena Jugularis) pada bagian atara kepala dan leher untuk menghasilkan daging dan kulit yang berkualitas tinggi. Penyembelihan dapat dilakukan oleh dua orang, seorang memegang ternak dan seorang lagi menyembelihnya, tetapi orang yang sudah berpengalaman melakukannya sendiri. Penyembelihan dilakukan dengan pisau yang cukup tajam dan diarahkan pada leher untuk memutuskan vena

  jugularis . Kemudian setelah selesai disembelih, kelinci segera digantung dengan

  kaki belakang ke arah atas, untuk mempercepat pengeluaran darah (Kartadisastra, 1997). Glukosa adalah gula yang penting untuk mengontrol metabolisme energy ternak pedaging, termasuk dalam pembentukan gliogen. Secara persentase urat daging tidak banyak glikogen (hanya 1 persen) dibandingkan dengan hati (2-8 persen). Namun total massa daging dalam tubuh sangat besar sehingga jumlah glikogen yang disiman dalam urat daging cukup besar (Parakkasi, 1995). Stres sebelum pemotongan seperti iklim, tingkah laku yang agresif diantara ternak atau gerakan yang berlebihan dan pemuasaan yang terlalu lama mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan atau habisnya glikogen otot dan akan menurunkan persentase karkas.

  Bobot Karkas dan Persentase Bobot Karkas

  Karkas pada ternak kelinci diperoleh dari hasil penimbangan dari daging bersama tulang kelinci yang telah dipisahkan dari kepala sampai batas pangkal leher dan dari kaki sampai batas pergelangan kaki, isi rongga perut, darah, ekor dan kulit. Besarnya bobot karkas tergantung besarnya kelinci yang akan dipotong selain itu kondisi kelinci juga sangat berpengaruh diantaranya yang memiliki bentuk badan bulat, berbadan lebar padat dan singset menunjukkan keadaan fisik yang prima dan bertenaga kuat mencerminkan kandungan dagingnya yang banyak dan merupakan penghasil daging yang baik (Sarwono, 2001).

  Karkas pada ternak kelinci adalah bagian tubuh yang sudah disembelih dipisahkan kepala, jari sampai pergelangan kaki, kulit, ekor, jeroan (usus, jantung, hati dan ginjal). Menurut pembagiannya, karkas ternak kelinci dapat dipotong sesuai dengan porsinya masing-masing menjadi delapan potong daging yaitu:

  Dua potong kaki depan

  • Dua potong bagian dada sampai leher
  • Dua potong pinggang
  • Dua potong kaki belakang (Kartadisastra, 1998).
  • Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dan bobot hidup yang mempunyai faktor penting dalam produksi ternak potong sebenarnya, karena dalam bobot hidup masih terdapat saluran pencernaan dan organ dalam yang beratnya untuk masing-masing ternak berbeda. Persentase karkas dipengaruhi oleh bertambahnya umur serta bobot hidup dan akan diikuti dengan peningkatan bobot karkas yang dihasilkan, selain itu persentase karkas juga dipengaruhi oleh umur potong dan jenis kelamin (Soeparno, 1994).

  Faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah umur potong dan jenis kelamin. Kelinci jantan umur 5 bulan menghasilkan karkas sebesar 46 % dan betina 44 %. Kelinci jantan umur 8 bulan menghasilkan karkas sebesar 50 % dan betina 55 %. Seekor kelinci jantan dapat menghasilkan karkas sebanyak 43-52 % dan betina 50-59 % dari berat hidupnya (Farel dan Raharjo, 1984).