SURVEI ENTOMOLOGI, MAYA INDEX DAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK TERHADAP KEPADATAN LARVA Aedes spp DI DESA KEDIRI, KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

SURVEI ENTOMOLOGI, MAYA INDEX DAN PERILAKU

PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK TERHADAP

KEPADATAN LARVA

Aedes spp

DI DESA KEDIRI,

KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN

I GEDE PANDU WIRANATHA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

SURVEI ENTOMOLOGI, MAYA INDEX DAN PERILAKU

PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK TERHADAP

KEPADATAN LARVA

Aedes spp

DI DESA KEDIRI,

KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN

I GEDE PANDU WIRANATHA

1420015026

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

UNIVERSITAS UDAYANA

SURVEI ENTOMOLOGI, MAYA INDEX DAN PERILAKU

PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK TERHADAP

KEPADATAN LARVA

Aedes spp

DI DESA KEDIRI,

KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN

Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

I GEDE PANDU WIRANATHA

1420015026

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(4)

(5)

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puja dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1) Universitas Udayana Program Studi Kesehatan Masyarakat dengan judul ”SURVEI ENTOMOLOGI, MAYA INDEX DAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK

TERHADAP KEPADATAN LARVA Aedes spp DI DESA KEDIRI

KECAMATAN KEDIRI KABUPATEN TABANAN” tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1) Universitas Udayana Program Studi Kesehatan Masyarakat. Dalam menyelesaikan Skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., PhD, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. I Gede Herry Purnama, ST., MT., MIDEA. selaku Kepala Bagian Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberi bimbingan penulis dan telah meluangkan waktunya dalam menyelesaikan Skripsi ini.

3. Sang Gede Purnama, S.KM., MSc. selaku pembimbing yang telah memberi bimbingan penulis dan telah meluangkan waktunya dalam menyelesaikan Skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Staf tata usaha Program Studi Kesehatan Masyarakat atas bantuan dan dukungannya kepada penulis dalam Skripsi ini.


(7)

vi

5. Kepala Desa Kediri, Kelian Banjar beserta staf yang sudah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan membantu dalam pengumpulan data.

6. Bapak, ibu, seluruh keluarga dan pacar yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan Skripsi ini.

7. Teman-teman IKM Martikulasi Angkatan Tahun 2014 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut membantu dalam penyelesaian Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Skripsi ini.

Besar harapan penulis, semoga Skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Denpasar, 27 Juni 2016


(8)

vii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Juni 2016

I Gede Pandu Wiranatha

SURVEI ENTOMOLOGI, MAYA INDEX DAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK TERHADAP KEPADATAN LARVA Aedes spp DI DESA KEDIRI, KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN

TABANAN ABSTRAK

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Salah satu desa di Kabupaten Tabanan dengan jumlah DBD tertinggi yaitu Desa Kediri. Perilaku masyarakat dalam membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk tidak dilakukan secara rutin dan banyaknya wadah yang dapat menjadi tempat penampungan air terutama pada musim hujan sehingga berdampak pada rendahnya angka bebas jentik (ABJ) dan berisiko dalam menyebarkan demam berdarah dengue di lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui situasi larva, maya index dan perilaku (pengetahuan, sikap tindakan) terhadap kepadatan larva Aedes spp

Penelitian ini termasuk jenis observasional analitik dan waktu pelaksanaannya termasuk penelitian cross sectional. Data diperoleh dianalisis untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas dan tergantung meliputi pengetahuan, sikap, tindakan, pendidikan, pekerjaan, maya index, container index (CI), house index (HI) dan breteau index (BI).

Hasil penelitian menunjukkan dari survei entomologi yang didapatkan house index sebesar (33,11%), container index (10,44%), breteau index (54,54%) dan angka bebas jentik (66,89%). Maya index dalam kategori tinggi dan kontainer jenis bak mandi di dalam rumah positif paling banyak ditemukan sebesar 20 kontainer (58,8%) sedangkan luar rumah pada ban bekas sebesar 14 kontainer (28%). Hasil pengetahuan tergolong baik dan tingkat pendidikan tergolong tinggi sedangkan pada pekerjaan responden kebanyakan bekerja. Hasil bivariat menunjukkan bahwa karakteristik responden (tingkat pendidikan dan pekerjaan) tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan nilai p > 0,05. Sedangkan pada perilaku (tingkat pengetahuan, sikap, tindakan) responden dimana variabel sikap dan tindakan memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai p < 0,05. Hasil multivariat menunjukkan bahwa tindakan paling berpengaruh besar terhadap kepadatan larva. Diharapkan masyarakat lebih berperan aktif dalam pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M plus dan petugas kesehatan meningkatkan penyuluhan serta pemantauan jentik secara berkala.


(9)

viii PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM MEDICAL FACULTY

UNIVERSITY UDAYANA

AREA OF INTEREST ENVIRONMENTAL HEALTH Mini thesis , June 2016

SURVEY ENTOMOLOGY, MAYA INDEX AND BEHAVIOR AGAINST MOSQUITO NEST ERADICATION OF Aedes spp LARVA DENSITY IN THE

VILLAGE KEDIRI, KEDIRI DISTRICT, TABANAN

ABSTRACT

Dengue hemorrhagic fever (DHF) disease is still a public health problem. Kediri village is the highest number of dengue in Tabanan district. People's behavior in cleaning up mosquito breeding sites is not routinely done and the amount of container that can be a reservoir of water, especially during the rainy season so the impact on the low rate of larva free index and the risk of the spread of dengue fever in the neighborhood. This study was conducted to determine the situation of the larvae, a virtual index and behavior (knowledge, attitude, action) to the density of larvae of Aedes spp.

This research is observational analytic and its execution time is cross sectional research. The data obtained were analyzed to determine the relationship between independent and dependent variables include knowledge, attitude, action, education, employment, the virtual index, container index (CI), house index (HI) and breteau index (BI).

The results showed entomology obtained from a survey of house index (33.11 %), container index (10.44%), breteau index (54.54 %) and larva free index (66.89%). Maya index in the high category and container type bathtub in the house most commonly found positive by 20 containers (58.8 %) while outdoors on used tires by 14 containers (28%). Bivariate results indicate that the respondent characteristics (level of education and employment) do not have statistically significant correlation with the value of p > 0.05. While in behavior (knowledge, attitude, action) of respondents where variable attitudes and actions have a meaningful relationship with a value of p < 0.05. Expected public more active role in mosquito eradication through 3M plus and medical workers to improve counseling and periodic monitoring of mosquito larvae.


(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan umum ... 5

1.4.2 Tujuan khusus ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat praktis ... 6

1.5.2 Manfaat teoritis ... 6

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 7


(11)

x

2.2 EndemisitasDBD ... 8

2.2.1 Endemis ... 8

2.2.2 Stratifikasi kecamatan dbd ... 8

2.3 Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD ... 8

2.3.1 Klasifikasi ... 9

2.3.2 Morfologi... 10

2.3.3 Bioekologi ... 13

2.4 Surveilans Entomologi Vektor DBD ... 17

2.4.1 Teknis pengamatan vektor dbd ... 17

2.4.2 Pengukuran maya index ... 20

2.5 Metode Pengendalian Vektor ... 22

2.6 Perilaku Kesehatan Faktor yang Berhubungan Dengan Tindakan PSN ... 24

2.6.1 Pengetahuan ... 25

2.6.2 Sikap ... 26

2.6.3 Tindakan ... 26

2.6.4 Tingkat Pendidikan ... 27

2.6.5 Pekerjaan ... 27

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1Kerangka Konsep ... 28

3.2Hipotesis ... 29

3.3Variabel dan Definisi Operasional ... 30

3.3.1 Variabel Penelitian ... 30

3.3.2 Hubungan antar variabel ... 30


(12)

xi BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian ... 35

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

4.2.1 Tempat penelitian ... 35

4.2.2 Waktu penelitian ... 35

4.3 Populasi dan Sampel ... 36

4.3.1 Populasi penelitian ... 36

4.3.2 Sampel penelitian ... 36

4.3.3 Teknik pengambilan sampel ... 38

4.4 Pengumpulan Data ... 40

4.4.1 Jenis data ... 40

4.4.2 Cara pengumpulan data ... 40

4.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 41

4.5.1 Teknik pengolahan data ... 41

4.5.2 Teknik analisis data ... 43

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 45

5.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 45

5.3 Indeks Jentik Nyamuk Berdasarkan House Index (HI) Container Index (CI) dan Breteau index (BI) ... 46

5.4 Tingkat Kepadatan Dan Risiko Penularan DBD ... 47

5.5 Analisis Maya Index Berdasarkan (HRI, BRI) ... 48

5.6 Analisis Larva Aedesspp Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air ... 50

5.7 Analisis Perilaku (Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan) Pemberantasan Sarang Nyamuk ... 52


(13)

xii

5.8 Hubungan Perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) PSN

Terhadap Kepadatan Larva Aedes spp ... 53

5.9 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Terhadap Kepadatan Larva Aedes spp ... 55

6.0 Analisis Faktor Risiko Perilaku Yang Paling Berpengaruh Terhadap Kepadatan Larva Aedes spp ... 56

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Nilai Indeks Larva Aedes spp ... 58

6.2 Tingkat Kepadatan Dan Risiko Penularan DBD ... 59

6.3 Maya Index Berdasarkan HRI dan BRI ... 60

6.4 Jenis Tempat Penampungan Air Dan Tempat Perindukan Aedes spp ... 62

6.5 Perilaku (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan) Pemberantasan Sarang Nyamuk ... 64

6.6 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Terhadap Kepadatan Larva Aedes spp ... 67

6.7 Hubungan Perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) Terhadap Kepadatan Larva Aedes spp ... 69

6.8 Keterbatasan Penelitian ... 75 DAFTAR PUSTAKA


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 2.1 Larva Index ... 19

Tabel 2.2 Kategori Maya Index ... 21

Tabel 4.1 Data Proporsional Cluster Random Sampling ... 39

Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan ... 46

Tabel 5.2 Nilai Indeks Kepadatan Jentik Aedes Di Desa Kediri ... 47

Tabel 5.3 Jenis Tempat Penampungan Air (TPA) Berdasarkan HRI dan BRI ... 48

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Rumah Berdasarkan BRI dan HRI ... 49

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Rumah Berdasarkan Kategori Status Maya Index Di Desa Kediri... 49

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Jenis dan Persentase Kontainer Berdasarkan Letak Kontainer di Desa Kediri ... 50

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi dan Persentase Kontainer Positif Larva Berdasarkan Letak Kontainer di Desa Kediri... 51

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan perilaku PSN (pengetahuan, sikap dan tindakan) ... 52

Tabel 5.9 Hubungan Perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) PSN terhadap kepadatan Larva Aedes spp ... 53

Tabel 6.0 Distribusi Frekuensi Karakteristik Kuesioner Berdasarkan Tindakan ... 55

Tabel 6.1 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan terhadap kepadatan larva Aedes spp ... 55


(15)

xiv

Tabel 6.2 Hasil Analisis Multivariabel Faktor Risikio Perilaku PSN Terhadap Kepadatan Larva Aedes spp Di Desa Kediri ... 57


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 2.1Siklus Penularan Penyakit DBD ... 7

Gambar 2.2 Nyamuk Aedes aegypti ... 9

Gambar 2.3 Telur Aedes aegypti ... 10

Gambar 2.4 Larva (jentik) Aedes aegypti dan Aedes albopictus ... 11

Gambar 2.5 Pupa Aedes aegypti dan Aedes albopictus... 12

Gambar 2.6 Nyamuk Dewasa Aedes aegypti dan Aedes albopictus ... 13

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 28


(17)

xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Daftar Singkatan

ABJ : Angka Bebas Jentik

BI : Breteau Index

BRI : Breeding risk index

CFR : Case Fatality Rate

CI : Container Index

DBD : Demam Berdarah Dengue

DF : Density figure

DHF : Dengue Hemorrhagic Fever dpl : Diatas permukaan laut

HI : House Index

HRI : Hygiene risk indikator

IR : Insiden Rate

IVM : Intergrated Vektor Management

MI : Maya Index

PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk PV : Pengendalian Vektor

TPA : Tempat Penampungan Air WHO : World Health Organization Daftar Lambang

% : Persen

˚C : Derajat Celcius


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Lembar Observasi ... 84

Lampiran 2. Lembar Kuesioner ... 85

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 89

Lampiran 4. Jadwal Penelitian ... 90

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian ... 91

Lampiran 6. Rekapan Data ... 92

Lampiran 7. Hasil Uji Statistik... 95

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ... 105


(19)

1

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena jumlah penderitanya terus bertambah dan penyebarannya semakin luas serta menimbulkan suatu kejadian luar biasa dengan kematian yang besar (Suyasa et al., 2008). Nyamuk Aedes aegypti telah diketahui sebagai penyebar virus dengue, nyamuk ini merupakan vektor yang paling dominan dalam penularan DBD. Di Indonesia ada 2 jenis nyamuk Aedes yang bisa menularkan virus dengue yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Wati, 2015).

Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini terdapat di rumah maupun di luar rumah. Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1.000 meter di atas permukaan laut (Kemenkes RI, 2014). Nyamuk Aedes aegypti lebih berperan dalam penularan DBD, dalam kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia seringkali muncul di musim pancaroba, khususnya bulan Januari di awal tahun. Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita. Meskipun secara umum terjadi penurunan kasus pada tahun 2014


(20)

2

dibandingkan tahun sebelumnya namun beberapa Provinsi mengalami peningkatan jumlah kasus DBD khususnya Provinsi Bali (Kemenkes RI, 2014).

Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi sebagai penyumbang kasus DBD di Indonesia. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Bali tiga tahun terakhir dari 2013-2015 terjadi peningkatan jumlah kasus DBD pada setiap tahunnya. Pada tahun 2013 tercatat dengan jumlah kasus sebanyak 7.077 , angka kesakitan (IR)= 172,45 per 100.000 penduduk dan angka kematian kasus (CFR)= 0,11%, Tahun 2014 dengan jumlah kasus 8.629, (IR)= 205,3 per 100.000 penduduk (CFR)= 0,20%, dan tahun 2015 terjadi peningkatan dengan jumlah kasus 9.907, (IR)= 246,0 per 100.000 penduduk dan (CFR)= 0,293% (Dinkes Prov Bali, 2015).

Kabupaten Tabanan adalah salah satu daerah endemis di Provinsi Bali. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan pada tahun 2013 terdapat 794 kasus. Pada tahun 2014 terdapat 477 kasus, sedangkan untuk data tahun 2015 terdapat peningkatan kasus sebesar 846 kasus. Kabupaten Tabanan memiliki 20 puskesmas yang tersebar di masing-masing kecamatan. Kecamatan Kediri merupakan salah satu kecamatan dengan jumlah kasus DBD paling tinggi. Kecamatan Kediri dibagi menjadi tiga puskesmas, yaitu puskesmas Kediri I, Kediri II, dan Kediri III. Dari ke tiga puskesmas yang ada di kecamatan tersebut, Kediri I merupakan penyumbang DBD terbanyak. Data dari tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2013 terdapat 235 kasus, tahun 2014 sebanyak 122 kasus, dan tahun 2015 terjadi peningkatan sebanyak 152 kasus dengan angka bebas jentik (ABJ) sebesar 88%. Puskesmas Kediri I memiliki wilayah kerja sebanyak 6 desa terdiri dari Desa Kediri, Pandak Bandung, Nyitdah, Abiantuwung, Pejaten dan Banjar Anyar. Salah satu desa dengan jumlah DBD tertinggi yaitu Desa Kediri. Dalam 3 tahun terakhir, pada tahun


(21)

3

2013 jumlah kasus sebanyak 113 kasus, tahun 2014 sebanyak 57 kasus dan tahun 2015 terdapat 25 kasus (Dinkes Kabupaten Tabanan, 2015).

Meskipun terjadi penurunan kasus, namun Desa Kediri merupakan desa endemis DBD. Berbagai upaya telah dilakukan puskesmas dalam upaya penanggulangan DBD seperti penggunaan insektisida dengan melakukan pengasapan, abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk serta penyuluhan kesehatan, namun hasilnya kurang optimal hal ini dilakukan pada saat kasus dilaporkan dan belum berjalannya kegiatan kader jumantik di Kabupaten Tabanan sehingga kurangnya upaya preventif yang dilakukan oleh masyarakat dalam menekan jumlah kasus DBD.

Banyaknya jumlah perkembangbiakan nyamuk potensial yang sulit dipantau seperti kaleng bekas, drum, ban bekas, lubang pohon dan penggunaan wadah air suci yang terbuka ditempatkan di Pura oleh masyarakat Hindu Bali dapat menjadi salah satu faktor risiko yang mempengaruhi penyebaran nyamuk (Purnama, 2012). Perilaku masyarakat dalam membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk tidak dilakukan secara rutin dan banyaknya wadah yang dapat menjadi tempat penampungan air terutama pada musim hujan sehingga berdampak pada rendahnya angka bebas jentik (ABJ) dan berisiko dalam menyebarkan demam berdarah dengue di lingkungan. Berbagai informasi yang didapatkan oleh masyarakat tentang tempat perkembangbiakan nyamuk dan penanggulangan demam berdarah akan mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam memberantas demam berdarah. Sehingga evaluasi pengetahuan, sikap dan tindakan sangat penting untuk meningkatkan upaya penanggulangan vektor demam bedarah dengue secara efektif dan efisien. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian tentang survei entomologi, maya index, dan perilaku pemberantasan sarang nyamuk terhadap kepadatan larva Aedes spp di Desa Kediri.


(22)

4

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang didapat yaitu belum berjalannya kegiatan kader jumantik di Kabupaten Tabanan sehingga upaya preventif yang dilakukan oleh masyarakat dalam menekan jumlah kasus DBD masih kurang. Perilaku masyarakat dalam membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk tidak dilakukan secara rutin dan banyaknya wadah yang dapat menjadi tempat penampungan air terutama pada musim hujan seperti kaleng bekas, drum, ban bekas, lubang pohon dan penggunaan wadah air suci oleh masyarakat Hindu Bali sehingga berdampak pada rendahnya angka bebas jentik (ABJ) dan berisiko dalam menyebarkan demam berdarah dengue di lingkungan. Berbagai informasi yang didapatkan oleh masyarakat tentang tempat perkembangbiakan nyamuk dan penanggulangan demam berdarah akan mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam memberantas demam berdarah. Sehingga penelitian tentang survei entomologi, maya index dan perilaku pemberantasan sarang nyamuk sangat penting dilakukan untuk meningkatkan upaya penanggulangan vektor demam bedarah dengue secara efektif dan efisien.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah situasi larva, maya index dan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) pemberantasan sarang nyamuk terhadap kepadatan larva Aedes spp di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan?


(23)

5

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui situasi larva, maya index dan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) pemberantasan sarang nyamuk terhadap kepadatan larva Aedes spp di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui indeks jentik nyamuk (HI, CI, BI) di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan

2. Mengetahui maya index nyamuk (BRI, HRI) di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan

3. Untuk mengetahui jenis tempat penampungan air (TPA) yang ditemukan sebagai tempat perindukan larva Aedes spp di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan

4. Mengetahui perilaku pemberantasan sarang nyamuk (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap kepadatan larva Aedes spp di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.

5. Mengetahui hubungan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) PSN terhadap kepadatan larva Aedes spp di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. 6. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan pekerjaan terhadap kepadatan larva


(24)

6

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat praktis

1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tempat-tempat perindukan nyamuk Aedes spp sehingga dapat menjadi acuan dalam melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk.

2. Sebagai bahan masukan kepada pengelola program Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit di Puskesmas khususnya sebagai pertimbangan dalam penentuan strategi pencegahan dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD).

1.5.2 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi kepada masyarakat mengenai jenis, tempat perindukan Aedes spp dan masukan bagi keilmuan epidemiologi khususnya dalam memahami faktor yang berpengaruh terhadap kepadatan vektor.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei entomologi dalam bidang DBD untuk mengamati kepadatan jentik, jenis perindukan vektor DBD dan mengukur tingkat perilaku masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk serta ilmu yang diterapkan dalam penelitian adalah pengendalian vektor dan entomologi kesehatan yang dilakukan di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.


(25)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari sifat demam adalah demam tinggi, lebih dari 38.5ºC, penurunan trombosit disertai dengan kepala nyeri (pusing), lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, perdarahan dikulit berupa bintik perdarahan. Disertai dengan gejala lain seperti mimisan, berak darah, muntah darah, dan kesadaran menurun (Irianto, 2009).

Penyebab DBD adalah virus dengue sebagai agen penyebab DBD desebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arboviroses) yang dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotype yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Virus ini memerlukan masa inkubasi selama 4-7 hari (Wati, 2009).

Gambar 2.1 Siklus Penularan Penyakit DBD Sumber : Kemenkes RI, 2014


(26)

8

2.2 Endemisitas DBD

2.2.1 Endemis

Endemis adalah suatu keadaan dimana suatu penyakit atau agen infeksi tertentu secara terus menerus ditemukan dalam suatu wilayah atau dapat dikatakan sebagai suatu penyakit yang umum ditemukan disuatu wilayah (Ayuningtyas, 2013).

2.2.2 Stratifikasi Kecamatan DBD

Menurut Kemenkes RI, 2014 stratifikasi kecamatan DBD adalah sebagai berikut :

1. Kecamatan endemis yaitu kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir, terdapat kasus ataupun kematian karena demam berdarah dengue secara berurutan, meskipun jumlahnya hanya satu.

2. Kecamatan sporadis yaitu kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus ataupun kematian karena penyakit demam berdarah dengue tetapi tidak berurutan disetiap tahunnya.

3. Kecamatan potensial yaitu kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah diketemukan kasus ataupun kematian karena penyakit DBD, tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah yang lain dan presentasi rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan 5%.

4. Kecamatan bebas yaitu kecamatan yang dalam tiga tahun terakhir tidak pernah ada

penderita DBD dan persentasi rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%.

2.3 Nyamuk Aedes Aegypti Sebagai Vektor DBD

Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama (primer) dalam penyebaran

penyakit DBD dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder yang juga penting dalam


(27)

9

hitam dengan bintik-bintik putih dengan jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter, menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 dan sore hari pukul 16.00-17. Siklus normal infeksi demam berdarah dengue terjadi antara manusia, nyamuk Aedes aegypti, manusia. Dari darah penderita yang dihisap, nyamuk betina dapat menularkan virus dengue. Aedes aegypti dikenal mempunyai kebiasaan hidup pada genangan air jernih pada bejana buatan manusia yang berada di dalam dan luar rumah (Wirayoga, 2013).

Gambar 2.2 Nyamuk Aedes aegypti Sumber : Cutwa, 2014

2.3.1 Klasifikasi

Klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Arthropoda, Sub Phylum : Mandibulata, Kelas : Insecta, Sub Kelas : Pterygota, Ordo : Diptera, Sub Ordo : Nematocera, Famili : Culicidae, Sub family : Culicinae, Genus : Aedes, Sub Genus : Ategomia, Species : Aedes aegypti (Ayuningtyas, 2013).


(28)

10

2.3.2 Morfologi

1. Nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus

a. Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali di keluarkan, lalu menjadi berwarna coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, dengan panjang kurang lebih 0,5 mm. Saat diletakkan telur berwarna putih, 15 menit kemudian telur berubah warna menjadi abu-abu kemudian menjadi hitam. Telur menetas dalam waktu 1-2 hari dan TPA yang disukai adalah yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung (Sucipto, 2011).

Gambar 2.3 Telur Aedes aegypti Sumber : Sivanathan, 2006 b. Larva (jentik)

Larva Aedes aegypti terdiri dari kepala, toraks dan abdomen, yang bergerak sangat lincah dan sangat sensitif terhadap getaran dan cahaya. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air dan pada waktu istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada disekitar dinding tempat penampung air sedangkan Aedes albopictus hidup dan berkembang di kebun dan semak-semak (Sembel, 2009).


(29)

11

Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai pertumbuhan larva tersebut, yaitu : instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm, instar II : berukuran 2,5-3,8 mm, instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II, instar IV : berukuran paling besar 5 mm. larva mengambil makanannya di dasar TPA sehingga di sebut bottom feeder, dan mengambil oksigen di udara. Larva menjadi pupa membutuhkan waktu 7 – 9 hari untuk larva Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada suhu sekitar 25ºC - 30ºC (Kemenkes RI, 2014).

1 2

3 4

Keterangan : 1. Larva Aedes aegypti 3.Larva Aedes albopictus 2. Gigi-gigi sisir dalam satu baris 4. Ada seperti sisir dalam satu baris Gambar 2.4 Larva (jentik) Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Sumber : Cutwa, 2014 c. Pupa

Pupa berbentuk seperti “koma” lebih besar namun lebih ramping dibanding jentiknya. Ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.

Gerakannya lamban dan sering berada di permukaan air. Masa stadium pupa Aedes aegypti


(30)

12

1 2

3 4

4.

Keterangan : 1. Pupa Aedes aegypti 2. Dayung pupa terdapat tunggul 3. Pupa Aedes albopictus 4. Dayung pupa terdapat bulu Gambar 2.5 Pupa Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Sumber : Cutwa, 2014

d. Nyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti betina. Perbedaan morfologi antara nyamuk Aedes aegypti yang betina dengan yang jantan terletak pada perbedaan morfologi antenanya, Aedes aegypti jantan memiliki antena berbulu lebat sedangkan yang betina berbulu agak jarang/tidak lebat. Umur nyamuk betina 8-15 hari, nyamuk jantan 3-6 hari dan seekor nyamuk betina Aedes aegypti setelah 3 hari menghisap darah mampu menghasilkan 80-125 butir telur dengan rata-rata 100 butir telur (Sucipto, 2011). Nyamuk Aedes albopictus dewasa mempunyai ciri-ciri fisik sebagai berikut torak mempunyai gambaran sebuah pita putih longitudinal. Ae.


(31)

13

Albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya (Sembel, 2009).

1 2 3

4 5 6

Keterangan : 1. Nyamuk Aedes aegypti 2. Torak berbentuk piala 3. Kaki berwarna belang-belang 4. Nyamuk Aedes albopictus 5. Torak terdapat simbul garis putih 6. Terdapat belang hitam putih pada kaki.

Gambar 2.6 Nyamuk Dewasa Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Sumber : Cutwa, 2014

2.3.3 Bioekologi

1. Siklus Hidup

Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami metamorphosis sempurna, yaitu : telur-jentik (larva)-pupa-nyamuk. Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 608 hari, dan stadium kepompong (pupa) berlangsung antara 24 hari. Pertumbuhan dan telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Kemenkes RI, 2014).


(32)

14

2. Tempat perkembangbiakan nyamuk

Menurut Kemenkes RI (2011) Tempat perkembangbiakan Aedes. Ialah tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus terdapat pada daerah peternakan unggas (misalnya ayam), larva banyak dijumpai pada tendon minuman unggas. Pada daerah pedesaan dengan rumpun bambu, maka bekas tebangan bambu yang ada genangan

air merupakan tempat bertelur nyamuk Aedes albopictus (Sembel, 2009).

Menurut Kemenkes RI (2011) habitat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Tempat penampungan (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti : drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti : tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak control pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barang-barang bekas (contoh : ban, botol, plastik dan lain-lain.

c. Tempat penampungan air alamiah seperti : lubang pohon, lubang batu, pelepah

daun, tempurung kelapa, pelapah pisang dan potongan bambu dan tempurung coklat/karet dan lain-lain.

Penelitian yang dilakukan Ayuningtyas (2013) Dari hasil penelitian 55 rumah yang diperiksa terdapat 45 rumah yang memiliki kontainer dengan air jernih/bersih 46,7% positif jentik Aedes aegypti. Sehingga keberadaan jentik Aedes aegypti lebih banyak pada kontainer dengan air jernih/bersih dibandingkan dengan kontainer dengan air keruh/kotor. Penelitian lain yang dilakukan oleh Widjaja (2012) dari 30 kontainer yang positif larva bahwa jenis kontainer bak mandi paling banyak ditemukan positif


(33)

15

jentik Aedes aegypti dan ditemukan Ae. Albopictus pada bak mandi (26%), tempayan (11%), pot bunga 3%, ember (3%) dan ban bekas sebesar (2%).

3. Perilaku Nyamuk Dewasa

Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk semntara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina menghisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari (Kemenkes RI, 2014).

Nyamuk betina meletakkan telur diatas permukaan air, menempel pada dinding tempat-tempat perindukan, tempat perindukan yang disenangi nyamuk biasanya berupa barang buatan manusia untuk keperluan manusia misalnya bak mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil bekas, tempurung, dan lain-lain. Setiap bertelur dapat mencapai 100 butir, setelah nyamuk menetas biasanya singgah di semak, tanaman hias di halaman, tanaman pekarangan, yang berdekatan dengan pemukiman manusia dan singgah dipakian kotor yang tergantung seperti baju, topi, celana, kerudung (Zulkoni, 2013).

4. Penyebaran

Kemampuan terbang nyamuk Aedes. Betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas didaerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas di rumah maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan


(34)

16

berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ± 1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak (Kemenkes RI, 2014).

5. Variasi Musiman

Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Kemenkes RI, 2014).

6. Faktor lingkungan

Menurut Sucipto (2011) Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang berbasis lingkungan, artinya lingkungan sangat berperan dalam terjadinya penularan penyakit tersebut. Beberapa faktor lingkungan, diantaranya sebagai berikut :

1. Curah hujan, sangat penting dalam kelangsungan hidup nyamuk Ae. Aegypti, curah hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban udara dan menambah jumlah tempat perkembangan nyamuk Aedes di luar rumah.

2. Pengaruh suhu/temperatur, suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25ºC- 27ºC. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali kurang dari 10ºC atau lebih dari 40ºC.

3. Pengaruh kelembaban udara, kebutuhan kelembaban yang tinggi mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab dan basah sebagai tempat hinggap atau istirahat. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk menjadi pendek.


(35)

17

4. Faktor kepadatan penduduk, kepadatan penduduk yang sangat tinggi di beberapa Negara daerah tropis menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering terjadi.

2.4 Surveilans Entomologi Vektor DBD

Surveilans vektor DBD meliputi proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan, analisis dan interpretasi data vektor serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak instansi terkait secara sistematis dan terus menerus. Tujuan dari surveilans adalah untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor, tempat perindukan, indek larva (HI, CI, BI) serta mengetahui cara pengendalian vektor DBD.

Surveilans vektor DBD merupakan unsur penting dalam pelaksanaan program pengendalian penyakit DBD antara lain dalam pengambilan keputusan atau kebijakan dan menentukan tindak lanjut dari data yang diperoleh dalam rangka menentukan tindakan pengendalian vektor secara efisien dan efektif (Kemenkes RI, 2014).

2.4.1 Teknis Pengamatan Vektor DBD

Dalam metode surveilans vektor DBD yang di peroleh antara lain adalah data-data kepadata-datan vektor. Untuk memperoleh data-data-data-data tersebut tentulah diperlukan kegiatan survei, ada beberapa metode survei seperti, metode survei telur, survei terhadap jentik, dan nyamuk.

1. Survei telur

Survei ini dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap) yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya dan gelas plastik/kaca. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah atau tempat yang gelap dan lembab.


(36)

18

2. Survei jentik

Survei jentik yaitu kegiatan untuk mengetahui positif atau negatifnya jentik di dalam maupun diluar rumah serta tempat-tempat umum yang ada disekitarnya. Adapun cara dalam melakukan survei jentik yaitu :

a. Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes. Di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui ada tidaknya jentik.

b. Jika pada pengliatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½-1 menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada jentik.

c. Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau air keruh.

Menurut Kemenkes RI, 2014 Metode survei jentik dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Single larva

Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air dengan mengambil satu ekor jentik menggunakan cidukan (gayung plastik) atau menggunakan pipet panjang jentik lalu diidentifikasi lebih lanjut serta jentik yang diambil ditempatkan dalam botol kecil dan diberi label.

2. Visual

Cara ini cukup dilakukan dengan melihat atau tidaknya jentik di setiap genangan air tanpa mengambil jentiknya.

Dalam menghitung kepadatan jentik, digunakan ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti seperti :

1. House index (HI) yaitu adalah persentase rumah yang positif jentik dari seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa di lokasi penelitian.

Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik

X 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa


(37)

19

2. Kontainer Index (CI) persentase kontainer yang positif jentik dari seluruh kontainer yang diperiksa di lokasi penelitian.

3. Breteau index (BI) Jumlah penampung air yang positif jentik dalam per100 rumah/ bangunan yang diperiksa.

Berdasarkan hasil survei larva dapat ditentukan dengan density figure. Density figure adalah kepadatan jentik Aedes aegypti yang merupakan perhitungan dari HI, CI, BI yang di nyatakan dengan skala 1-9 dan di bandingkan dengan tabel larva Index. Apabila angka DF kurang dari 1 menunjukkan risiko penularan rendah, 1 – 5 risiko penularan sedang dan diatas 5 risiko penularan tinggi.

Tabel 2.1 Larva Index Density Figure

(DF)

House Index (HI)

Kontainer Index (CI)

Breteau Index (BI)

1 1 – 3 1 – 2 1 – 4

2 4 – 7 3 – 5 5 – 9

3 8 – 17 6 – 9 10 – 19

4 18 – 28 10 – 14 20 – 34

5 29 – 37 15 – 20 35 – 49

6 38 – 49 21 – 27 50 – 74

7 50 – 59 28 – 31 75 – 99

8 60 – 76 32 – 40 100 – 199

9 >77 >41 >200

Sumber : Lestari et al, 2014

Jumlah kontainer yangditemukan jentik

X 100% Jumlah kontainer yang diperiksa

Jumlah kontainer yang ditemukan jentik

X 100% 100 rumah yang diperiksa


(38)

20

c. Survei Nyamuk

Dilakukan dengan cara menangkap nyamuk dengan menggunakan umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.

2.4.2 Pengukuran Maya Index

Kondisi tempat potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat diketahui dengan menggunakan indikator maya index (MI). MI merupakan indikator baru yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah lingkungan di perumahan atau komunitas berisiko tinggi atau tidak sebagai tempat perkembangbiakan (breeding sites) nyamuk Aedes spp, di dasarkan pada status kebersihan daerah tersebut dan ketersediaan tempat-tempat yang mungkin berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk (Miller et al, 1992 dalam Dhewantara, 2015 ). MI juga digunakan sebagai upaya pengendalian DBD di suatu daerah, karena dapat diketahui tingkat risiko dan tempat perkembangbiakan yang paling disukai, sehingga berguna untuk menentukan prioritas dalam penyusunan program pengendalian jentik nyamuk. Menurut Miller 1992 dalam Dhewantara 2015, tempat perindukan dibedakan menjadi 3, yaitu tempat yang dapat dikontrol (controllable sites) atau dikendalikan oleh manusia seperti ember, pot bunga, talang air, drum minyak, sumur, bak mandi, tempat minum burung, tower, bak air. Selain itu juga sampah atau tempat yang sudah dipakai (disposable sites) seperti botol bekas, kaleng bekas, ban bekas, ember bekas, lubang pada bambu, pohon berlubang, tempurung kelapa, genangan air, toples bekas. Tempat yang selalu terkontrol (undercontrol sites) seperti kolam yang berisi ikan. MI diperoleh dengan mengkombinasikan 2 indikator sebagai berikut :


(39)

21

a. Breeding risk index (BRI) adalah proporsi dari controllable sites di setiap rumah.

b. Hygiene risk indikator (HRI) adalah proporsi dari disposable sites di setiap rumah.

Menurut Lazono dan Avila (2002), kedua indikator ini dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan distribusi tertil dibawah ini yaitu :

a. X < (µ -0,3) = Rendah

b. (µ - 0,3) ≤ X < (µ -0,3) = Sedang c. (µ -0,3) = Tinggi

Nilai BRI dan HRI di setiap rumah disusun dalam matrik 3 X 3 untuk menentukan kategori maya index rendah, sedang, tinggi.

Tabel 2.2 Kategori Maya Index

Indikator BRI 1 (rendah) BRI 2 (sedang) BRI 3 (tinggi)

HRI 1 (rendah) Rendah Rendah Sedang

HRI 2 (sedang) Rendah Sedang Tinggi

HRI 3 (tinggi) Sedang Tinggi Tinggi

Sumber : Lazono dan Avila (2002)

Penelitian yang dilakukan Dhewantara & Dinata, 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar jenis controllable containers (BRI kategori tinggi) umumnya berada di dalam rumah dan aspek kebersihan di sekitar rumah cukup baik (HRI kategori rendah).

Jumlah controllable sites di setiap rumah yang diperiksa Rata-rata kontainer

Jumlah disposable sites di setiap rumah yang diperiksa Rata-rata kontainer


(40)

22

2.5Metode Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit. Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai penularan (Kemenkes RI, 2014). Berbagai metode pengendalian vektor (PV) DBD yaitu :

1. Kimiawi

Pengendalian vektor dengan cara kimiawi menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih popular dimasyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/foging dan pengabutan dingin sedangkan pra dewasa (jentik) digunakan

larvasida temephos (Abate) 1% yang ditaburkan dalam tempat-tempat penampungan

air (Sucipto, 2011). 2. Biologi

Pengendalian vektor biologi yaitu pengendalian larva nyamuk dengan cara menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah ikan pemakan jentik seperti cupang, dan gabus (Sucipto, 2011). Jenis lain dalam pengendalian vektor biologi misalnya aplikasi parasit (Romanomermes iyengeri), bakteri (Baccilus thuringiensis israelensis) ditujukan untuk stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam perkembangbiakan vektor (Kemenkes RI, 2014).


(41)

23

3. Manajemen lingkungan

Pengelolaan lingkungan dengan melibatkan perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan monitoring merupakan suatu kegiatan untuk memodifikasi atau manipulasi faktor lingkungan dengan suatu usaha untuk mengubah lingkungan dan mencegah atau meminimalkan vektor DBD untuk itu lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman (WHO, 2011)

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M Plus (menguras, menutup, dan memanfaatkan barang bekas, dan plusnya menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dan lain-lain), dan menghambat pertumbuhan vektor dengan cara menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah (Kemenkes RI, 2014)

4. Pengendalian vektor terpadu (Intergrated Vektor Management)

IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada peningkatan peran serta sector lain melalui kegiatan PSN anak sekolah (Kemenkes RI, 2014).

5. Pengendalian Cara mekanik

Pengendalian DBD yang lain adalah dengan cara mekanik, yaitu mencegah gigitan nyamuk dengan memakai pakian yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali muka dan penggunaan net atau kasa di rumah-rumah (Sembel, 2009).


(42)

24

2.6Perilaku Kesehatan dan Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan

Pemberantasan Sarang Nyamuk

Perilaku merupakan hasil dari pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan, sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan (Alma, 2013). Sedangkan menurut Hendrik L. Blum dalam Notoadmodjo (2010) faktor - faktor yang mempengaruhi status kesehatan antara lain : keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan, ke empat faktor ini saling mempengaruhi satu sama lainnya. Apabila dihubungkan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) faktor lingkungan yang kurang baik seperti pembuangan sampah, penyediaan tempat air bersih akan mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti khususnya jentik nyamuk. Sedangkan faktor perilaku yang berhubungan dengan PSN demam berdarah dengue menurut Kemenkes RI, 2014 seperti :

1. Menguras dan menyikat tempat penampungan air (TPA) seperti bak mandi/wc, drum dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali.

2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air (TPA) seperti gentong air, tempayan dan lain-lain.

3. Menyingkirkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

4. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lain yang sejenis seminggu sekali

5. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak.

6. Menutup lubang pagar pada pagar bambu atau pohon dengan tanah atau adukan semen.


(43)

25

7. Menabur bubuk larvasida misalnya pada tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air.

8. Memelihara ikan memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak-bak penampungan air.

2.6.1 Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorng terhadap objek melalui indera yang dimilikinya, (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Purnama (2010), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Umur

Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola piker seseorang. Semakin bertambah usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.

3. Penyuluhan

Meningkatkan pengetahuan masyarakat juga melalui metode penyuluhan, dengan pengetahuan bertambah seseorang akan merubah perilakunya.


(44)

26

4. Media Massa

Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tapi ia mendapatkan informasi yang banyak melalui berbagai media seperti : televisi, radio, surat kabar, majalah maka dari itu media massa akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.

5. Sosial Budaya

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa penalaran apakah yang dilakukan baik atau burung dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya.

2.6.2 Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian sikap adalah reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Adnani, 2011).

2.6.3 Tindakan (Pratice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung dan suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas atau sarana dan prasarana (Notoadmodjo, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2007) bahwa individu yang tidak melakukan dan melakukan 1 M (menguras atau menutup saja) berisiko 2,22 dan 5,85 kali lebih besar untuk menderita DBD daripada yang melakukan PSN (3M). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahardika (2009) disebutkan bahwa ada hubungan antara perilaku membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air,


(45)

27

menguras tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas, membuang sampah pada tempatnya dan membakarnya, menggantung pakaian, dan memakai lotion anti nyamuk dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).

2.6.4 Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju pada kedewasaan (jasmani dan rohani). Tujuan pendidikan adalah mengubah tingkah laku individu maupun masyarakat kearah yang diinginkan. Sehubungan dengan hal ini maka tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku dan merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan kearah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan (Notoatmodjo, 2007 dalam Riyadi, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2012) disebutkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan tinggi dan melakukan tindakan PSN DBD dengan baik sebanyak 43 (72,9%) dan pendidikan rendah melakukan PSN dengan baik sebanyak 33 (60%) serta uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan PSN DBD di Kelurahan Ballparang Kecamatan Rappocini.

2.6.5 Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lama bekerja merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan kehidupannya sehari-hari (Hidayah, 2009).

Penelitian yang dilakukan Dewi (2015) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara dengan nilai p value 0,909 > 0,05.


(1)

2.5Metode Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit. Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai penularan (Kemenkes RI, 2014). Berbagai metode pengendalian vektor (PV) DBD yaitu :

1. Kimiawi

Pengendalian vektor dengan cara kimiawi menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih popular dimasyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/foging dan pengabutan dingin sedangkan pra dewasa (jentik) digunakan

larvasida temephos (Abate) 1% yang ditaburkan dalam tempat-tempat penampungan

air (Sucipto, 2011). 2. Biologi

Pengendalian vektor biologi yaitu pengendalian larva nyamuk dengan cara menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah ikan pemakan jentik seperti cupang, dan gabus (Sucipto, 2011). Jenis lain dalam pengendalian vektor biologi misalnya aplikasi parasit (Romanomermes iyengeri), bakteri (Baccilus thuringiensis israelensis) ditujukan untuk stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam perkembangbiakan vektor (Kemenkes RI, 2014).


(2)

3. Manajemen lingkungan

Pengelolaan lingkungan dengan melibatkan perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan monitoring merupakan suatu kegiatan untuk memodifikasi atau manipulasi faktor lingkungan dengan suatu usaha untuk mengubah lingkungan dan mencegah atau meminimalkan vektor DBD untuk itu lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk

Aedes aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer

buatan yang berada di daerah pemukiman (WHO, 2011)

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M Plus (menguras, menutup, dan memanfaatkan barang bekas, dan plusnya menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dan lain-lain), dan menghambat pertumbuhan vektor dengan cara menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah (Kemenkes RI, 2014)

4. Pengendalian vektor terpadu (Intergrated Vektor Management)

IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada peningkatan peran serta sector lain melalui kegiatan PSN anak sekolah (Kemenkes RI, 2014).

5. Pengendalian Cara mekanik

Pengendalian DBD yang lain adalah dengan cara mekanik, yaitu mencegah gigitan nyamuk dengan memakai pakian yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali muka dan penggunaan net atau kasa di rumah-rumah (Sembel, 2009).


(3)

2.6Perilaku Kesehatan dan Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk

Perilaku merupakan hasil dari pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan, sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan (Alma, 2013). Sedangkan menurut Hendrik L. Blum dalam Notoadmodjo (2010) faktor - faktor yang mempengaruhi status kesehatan antara lain : keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan, ke empat faktor ini saling mempengaruhi satu sama lainnya. Apabila dihubungkan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) faktor lingkungan yang kurang baik seperti pembuangan sampah, penyediaan tempat air bersih akan mempengaruhi perkembangan nyamuk

Aedes aegypti khususnya jentik nyamuk. Sedangkan faktor perilaku yang berhubungan

dengan PSN demam berdarah dengue menurut Kemenkes RI, 2014 seperti :

1. Menguras dan menyikat tempat penampungan air (TPA) seperti bak mandi/wc, drum dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali.

2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air (TPA) seperti gentong air, tempayan dan lain-lain.

3. Menyingkirkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

4. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lain yang sejenis seminggu sekali

5. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak.

6. Menutup lubang pagar pada pagar bambu atau pohon dengan tanah atau adukan semen.


(4)

7. Menabur bubuk larvasida misalnya pada tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air.

8. Memelihara ikan memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak-bak penampungan air.

2.6.1 Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorng terhadap objek melalui indera yang dimilikinya, (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Purnama (2010), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Umur

Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola piker seseorang. Semakin bertambah usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.

3. Penyuluhan

Meningkatkan pengetahuan masyarakat juga melalui metode penyuluhan, dengan pengetahuan bertambah seseorang akan merubah perilakunya.


(5)

4. Media Massa

Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tapi ia mendapatkan informasi yang banyak melalui berbagai media seperti : televisi, radio, surat kabar, majalah maka dari itu media massa akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.

5. Sosial Budaya

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa penalaran apakah yang dilakukan baik atau burung dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya.

2.6.2 Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian sikap adalah reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Adnani, 2011).

2.6.3 Tindakan (Pratice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung dan suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas atau sarana dan prasarana (Notoadmodjo, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2007) bahwa individu yang tidak melakukan dan melakukan 1 M (menguras atau menutup saja) berisiko 2,22 dan 5,85 kali lebih besar untuk menderita DBD daripada yang melakukan PSN (3M). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahardika (2009) disebutkan bahwa ada hubungan antara perilaku membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air,


(6)

menguras tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas, membuang sampah pada tempatnya dan membakarnya, menggantung pakaian, dan memakai lotion anti nyamuk dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).

2.6.4 Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju pada kedewasaan (jasmani dan rohani). Tujuan pendidikan adalah mengubah tingkah laku individu maupun masyarakat kearah yang diinginkan. Sehubungan dengan hal ini maka tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku dan merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan kearah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan (Notoatmodjo, 2007 dalam Riyadi, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2012) disebutkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan tinggi dan melakukan tindakan PSN DBD dengan baik sebanyak 43 (72,9%) dan pendidikan rendah melakukan PSN dengan baik sebanyak 33 (60%) serta uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan PSN DBD di Kelurahan Ballparang Kecamatan Rappocini.

2.6.5 Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lama bekerja merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan kehidupannya sehari-hari (Hidayah, 2009).

Penelitian yang dilakukan Dewi (2015) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara dengan nilai p value 0,909 > 0,05.