INTERVENSI BALANCE STRATEGY EXERCISE LEBIH BAIK DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS DARIPADA ISOTONIC QUADRICEPS EXERCISE DENGAN BEBAN 1 KILOGRAM PADA LANSIA.

(1)

SKRIPSI

INTERVENSI BALANCE STRATEGY EXERCISE LEBIH BAIK

DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS

DARIPADA ISOTONIC QUADRICEPS EXERCISE DENGAN BEBAN 1

KILOGRAM PADA LANSIA

I GUSTI AGUNG GEDE RAMA WINTARA

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

i

SKRIPSI

INTERVENSI BALANCE STRATEGY EXERCISE LEBIH BAIK

DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS

DARIPADA ISOTONIC QUADRICEPS EXERCISE DENGAN BEBAN 1

KILOGRAM PADA LANSIA

Oleh:

I GUSTI AGUNG GEDE RAMA WINTARA

NIM. 1202305016

HALAMAN JUDUL

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

(4)

(5)

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Intervensi Balance Strategy Exercise Lebih Baik dalam Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Daripada Isotonic Quadriceps Exercise dengan Beban 1 Kilogram pada Lansia”.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Prof.Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof.Dr.dr.I Nyoman Adiputra, MOH, PFK selaku ketua Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana.

3. I Putu Sutha Nurmawan, SSt. FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Dr. dr. I Made Muliarta, M. Kes selaku pembimbing sekaligus pengajar yang telah

banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. dr. I Putu Adiartha Griadhi, M. Fis selaku penguji sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Dosen-dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.


(7)

vi

7. Ibu, Bapak dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh teman-teman Axoplasmic yang selalu membantu dan memberikan semangat.

9. Indah Permatahati, Agus Saputra, Dedy Gunawan, Aditya Mahardika dan Wahyu Mahendra atas bantuan dan support dalam pembuatan skripsi ini.

10.Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak penulis sangat harapkan.

Denpasar, Mei 2016


(8)

vii

INTERVENSI BALANCE STRATEGY EXERCISE LEBIH BAIK DALAM MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS DARIPADA ISOTONIC QUADRICEPS EXERCISE DENGAN BEBAN 1 KILOGRAM PADA LANSIA

ABSTRAK

Sistem biologis mengalami penurunan seiring bertambahnya usia. Salah satu yang mengalami penurunan adalah sistem keseimbangan. Keseimbangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi baik saat diam maupun saat bergerak. Keseimbangan yang memburuk menyebabkan peningkatan resiko jatuh pada lansia. Berdasarkan teori yang menyatakan Balance Strategy Exercise dan Quadriceps Strategy Exercise dapat meningkatkan keseimbangan dinamis lansia. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan Balance Strategy Exercise dan Isotonic Quadriceps Exercise dengan beban 1 kilogram dalam meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia yang berusia diatas 60 tahun di Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

Penelitian eksperimental ini telah dilakukan dengan rancangan Pre and Post Two Group Design. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik Simple Random Sampling. Sampel berjumlah 26 orang lansia yang berusia diatas 60 tahun di Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan menunjukkan bahwa rerata selisih peningkatan keseimbangan dinamis pada kelompok Balance Strategy Exercise dan kelompok Isotonic Quadriceps Exercise (27,00 dan 24,92) dengan nilai p = 0,007 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi dengan Balance Strategy Exercise menghasilkan peningkatan keseimbangan dinamis pada lansia lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan pelatihan Isotonic Quadriceps Exercise.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan dengan Balance Strategy Exercise lebih baik dalam meningkatkan keseimbangan dinamis daripada pelatihan dengan Isotonic Quadriceps Exercise dengan beban 1 kilogram pada lansia yang berusia diatas 60 tahun di Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

Kata kunci: Kesimbangan Dinamis, Balance Strategy Exercise, Isotonic Quadriceps Exercise, Functional Gait Assessment.


(9)

viii

BALANCE STRATEGY EXERCISE INTERVENTION IS BETTER FOR INCREASING DYNAMIC BALANCE THAN ISOTONIC QUADRICEPS

EXERCISE WITH 1 KILOGRAM LOAD AMONG ELDERLY ABSTRACT

Biological systems decreased with aging. One of them is the balance system. Balance is an ability to maintain the center of gravity when stationary and when moving. Deteriorated balance cause increased risk of falls in the elderly. Based on the theory that Balance Strategy Exercise and Isotonic Quadriceps Exercise can improve the dynamic balance in the elderly. This study was conducted to compare Balance Strategy Exercise and Isotonic Quadriceps Exercise with 1 kilogram load in improving dynamic balance of elderly aged over 60 years at Pitra Village, Penebel District, Tabanan.

This experimental research has been done with Pre and Post Two Groups Design. The sampling technique is simple random sampling. The amount of samples is 26 elderly aged over 60 years at Pitra Village, Penebel District, Tabanan showed that the average difference in improvement of dynamic balance in Balance Strategy Exercise Group and Isotonic Quadriceps Exercise with 1 kilogram load (27,00 and 24, 92) with the amount of p = 0,007 (p > 0,05). This indicate that balance Strategy Exercise result in dynamic balance improvement for elderly is significantly greater than the Isotonic Quadriceps Exercise.

It can be concluded that Balance Strategy Exercise is better for improving dynamic balance compared with Isotonic Quadriceps Exercise with 1 kilogram load in elderly aged over 60 years at Pitra Village, Penebel District, Tabanan.

Keywords: Dynamic Balance, Balance Exercise Strategy, Isotonic Quadriceps Exercise, Functional Gait Assessment.


(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II ... 6

TINJUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Lansia ... 6

2.1.1 Pengertian Lansia ... 6

2.1.2 Klasifikasi Lansia ... 6

2.2 Keseimbangan ... 7

2.2.1 Definisi Keseimbangan ... 7

2.2.2 Fisiologi Keseimbangan Dinamis ... 8

2.2.3 Anatomi Sistem Keseimbangan ... 9

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan ... 15

2.2.5 Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia ... 19

2.3 Kekuatan Otot... 21

2.4 Balance Strategy Exercise ... 23

2.4.1 Ankle Strategy Exercise ... 24

2.4.2 Hip Strategy Exercise ... 25

2.4.3 Stepping Strategy Exercise ... 26


(11)

x

2.5.1 Metode Pelatihan De Lorme dan Watkins ... 27

2.5.2 Metode Pelatihan ... 28

2.6 Mekanisme Peningkatan Keseimbangan Dinamis setelah Latihan ... 28

BAB III ... 31

KERANGKA BERFIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 31

3.1 Kerangka Berfikir ... 31

3.2 Kerangka Konsep ... 33

3.3 Hipotesis ... 34

BAB IV ... 35

METODE PENELITIAN ... 35

4.1 Desain Penelitian ... 35

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

4.3 Populasi dan Sampel ... 36

4.3.1 Populasi ... 36

4.3.2 Sampel ... 36

4.3.3 Besar Sampel ... 37

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 38

4.4 Variabel Penelitian ... 39

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 39

4.5.1 Keseimbangan Dinamis ... 39

4.5.2 Balance Strategy Exercise... 39

4.5.3 Isotonic Quadriceps Exercise ... 39

4.5.4 Usia ... 39

4.6 Instrumen Penelitian ... 40

4.7 Prosedur Penelitian ... 40

4.7.1 Prosedur Pendahuluan ... 40

4.7.2 Prosedur Pelaksanaan ... 41

4.8 Alur Penelitian ... 46

4.9 Teknik Analisis Data ... 47

BAB V ... 49

HASIL PENELITIAN ... 49

5.1 Data Karakteristik Sampel... 49


(12)

xi

5.3 Pengujian Hipotesis ... 52

5.3.1 Uji T-Berpasangan (Paired Samples T-test) Sebelum dan Sesudah Perlakuan 52 5.3.2 Uji Independent Samples T-test Sebelum Perlakuan Pada Kelompok 1 dan Kelompok 2 ... 54

5.3.3 Uji Independent Samples T-test Sesudah Perlakuan Pada Kelompok 1 dan Kelompok 2 ... 55

5.3.4 Uji Beda Selisih Keseimbangan Dinamis Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pada Kelompok 1 dan Kelompok 2 dengan Independent Samples T- test ... 56

BAB VI ... 58

PEMBAHASAN ... 58

6.1 Karakteristik Sampel ... 58

6.2 Distribusi dan Varians Sampel Penelitian ... 59

6.3 Pelatihan Balance Strategy Dapat Meningkatkan Keseimbangan Dinamis pada Lansia ... 59

6.4 Pelatihan Isotonic Quadriceps dapat Meningkatkan Keseimbangan Dinamis pada Lansia ... 61

6.5 Pelatihan dengan Balance Strategy Exercise Lebih Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Pada Lansia ... 63

BAB VII ... 65

SIMPULAN DAN SARAN... 65

7.1 Simpulan ... 65


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-1 Proses Fisiologi Keseimbangan (Waston et al., 2008) ... 9

Gambar 2-2 Sistem Vestibular (Encyclopedia Britannica, 1997) ... 10

Gambar 2-3 Krista Ampularis (Mardjono M, 2008) ... 11

Gambar 2-4 Makula Statika (Mardjono M, 2008) ... 12

Gambar 2-5 Sistem Visual (Prasad dan Galleta, 2011) ... 15

Gambar 2-6 Otot quadriceps femoris tampak dari depan ... 23

Gambar 2-7 Ankle Strategy Exercise (Satria, 2015) ... 25

Gambar 2-8 Hip Strategy Exercise (Satria, 2015) ... 26

Gambar 2-9 Stepping Strategy Exercise (Satria, 2015) ... 27

Gambar 2-10 Protokol De Lorme dan Watkins (Pujiastun, 2001) ... 27

Gambar 3-1 Kerangka Konsep ... 33

Gambar 4-1 Desain Penelitian ... 35

Gambar 4-2 Ankle Strategy Exercise (Yuliana, 2014) ... 43

Gambar 4-3 Hip Strategy Exercise (Leimkuehler p,e) ... 44

Gambar 4-4 Stepping Strategy Exercise (Leimkuehler p,e) ... 44

Gambar 4-5 Gerakan Isotonic Quadriceps Exercise (Panton, 2004) ... 45

Gambar 4-6 Alur Penelitian ... 46

Gambar 5-1 Grafik Rerata Nilai Keseimbangan Sebelum dan Sesudah Perlakuan ... 53


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 5-1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Usia, IMT dan Jenis Kelamin ... 50

Tabel 5-2 Hasil Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Peningkatan Keseimbangan pada Lansia ... 51

Tabel 5-3 Hasil Uji Sebelum dan Sesudah Perlakuan Kelompok 1 ... 52

Tabel 5-4 Hasil Uji Sebelum dan Sesudah Perlakuan Kelompok 2 ... 52

Tabel 5-5 Hasil Uji Independent Samples T-test Sebelum Perlakuan ... 54

Tabel 5-6 Hasil Uji Independent Samples T-test Sesudah Perlakuan ... 55

Tabel 5-7 Hasil Uji Beda Selisih antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan dengan Independent Samples T- test ... 56


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Notoatmojo, 2007). Batasan lanjut usia menurut dokumen perkembangan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka pencanangan hari lanjut usia nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh Presiden RI, batas umur lanjut usia adalah 60 tahun atau lebih (Setiabudi, 1999). Batasan lansia menurut WHO meliputi, usia pertengahan (middleage) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu usia antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 76 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (veryold) yaitu usia diatas 90 tahun. Jumlah populasi lanjut usia dibeberapa daerah Indonesia menurut BPS pada tahun 2010, di DIY:12,48%, Jawa Timur 9,36%, Jawa Tengah 9,26%, Jawa Barat 7,09%. dan Bali 8,77%. Maka dengan demikian berdasarkan ketentuan badan dunia, Indonesia termasuk sebagai negara berstruktur penduduk tua (populasi lansia di atas 7 %).

Saat memasuki usia lanjut manusia mengalami beberapa kemunduran pada sistem-sistem biologisnya. Akumulasi defisit pada usia lanjut seperti kelemahan otot, gangguan keseimbangan dan abnormalitas neuromuscular yang berakibat terjadinya penurunan mobilitas yang dapat meningkatkan resiko jatuh dan kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Menurunnya kemampuan biologis tersebut menyebabkan populasi lansia rawan mengalami kejadian jatuh. Faktor yang mempengaruhi adanya kejadian jatuh pada lansia yakni faktor diri


(16)

2

sendiri, faktor aktivitas, faktor lingkungan dan faktor obat-obatan. Faktor host (diri lansia) salah satunya adalah mengenai masalah keseimbangan pada tubuh yang sering menyebabkan lansia tiba-tiba jatuh (Probosuseno, 2008).

Survei komunitas melaporkan, sekitar 30% lansia di atas 60 tahun pernah mengalami jatuh setiap tahunnya dan separuhnya pernah jatuh lebih dari sekali. Bahkan pada lanjut usia di atas 80 tahun, sekitar 50% pernah mengalami jatuh. Walaupun tidak semua kejadian jatuh mengakibatkan luka atau memerlukan perawatan, tetapi kejadian luka akibat jatuh meningkat terutama pada usia di atas 85 tahun. Pada lansia yang jatuh, sekitar 5% mengalami patah tulang, sekitar 1% patah tulang paha dan 5-11% mengalami luka berat. Luka merupakan penyebab kematian nomor lima pada lansia dan sebagian besar luka terjadi akibat jatuh (Probosuseno, 2008).

Masalah keseimbangan yang menurun pada lansia merupakan penyebab kejadian jatuh pada populasi lansia, terutama keseimbangan dinamis yang diperlukan untuk menunjang kegiatan berjalan. Keseimbangan dinamis merupakan kemampuan tubuh untuk mempertahankan posturnya pada saat Center of Gravity (COG) berubah seperti saat berjalan.

Keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks dari sistem somatosensorik (visual,vestibular,proprioceptive) dan motorik (muskuloskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basalganglia,Cerebellum, dan area assosiasi (Batson, 2009).


(17)

3

Equilibrium adalah sebuah bagian penting dari pergerakan tubuh dalam menjaga tubuh tetap stabil sehingga manusia tidak jatuh walaupun tubuh berubah posisi. Statis Equlibrium yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan pada posisi diam seperti pada waktu berdiri dengan satu kaki, berdiri diatas balance board. Dinamik Equilibrium adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan posisi pada waktu bergerak. Keseimbangan bukanlah kualitas yang terisolasi, namun mendasari kapasitas kita untuk melakukan berbagai kegiatan yang merupakan kehidupan kegiatan normal sehari-hari (Huxham et al.,2001).

Metode untuk menilai resiko jatuh pada lansia salah satunya adalah Functional Gait Assessment (FGA). Functional Gait Assessment adalah alat ukur keseimbangan yang digunakan untuk mengukur tingkat resiko jatuh pada lansia dengan mengukur mobilitas sejauh 6 meter. Pengukuran keseimbangan dengan Functional Gait Assessment dilakukan karena keseimbangan merupakan faktor utama terjadinya jatuh dan penelitian lain yang menyebutkan 30% lansia dengan umur diatas 60 tahun pernah mengalai jatuh tiap tahunnya atau lebih. Pada subjek tes yang mendapat skor Functional Gait Assessment dibawah 22 dari skor maksimal 30 diklasifikasikan beresiko jatuh lebih besar (Diane et al.,2010).

Untuk meningkatkan keseimbangan dinamis dan mengurangi resiko jatuh pada lansia maka harus ada program latihan yang diberikan. Ada beberapa program latihan yang bisa diberikan pada lansia, salah satunya adalah Balance Strategy Exercise yang merupakan kombinasi dari Ankle Strategy exercise, Hip Strategy exercise, dan Stepping Strategy exercise. Selain itu ada juga latihan Isotonic


(18)

4

Quadriceps Exercise yang memfokuskan pada penguatan otot quadriceps untuk meningkatkan keseimbangan.

Kedua program itu dapat meningkatkan keseimbangan dan menurunkan resiko jatuh pada Functional Gait Assessment. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menganalisa sekaligus untuk memberikan kontribusi pada hidup lansia. 1.2 RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah Balance Strategy Exercise dapat meningkatkan keseimbangan dinamis pada populasi lansia?

2. Apakah Isotonic Quadriceps Exercise dapat meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia?

3. Apakah Balance Strategy Exercise lebih baik dalam meningkatkan keseimbangan dinamis daripada Isotonic Quadriceps Exercise pada lansia. 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa:

a. Balance Strategy Exercise meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia usia diatas 60 tahun di Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

b. Isotonic Quadriceps Exercise meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia usia diatas 60 tahun di Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.


(19)

5

c. Balance Strategy Exercise lebih baik dalam meningkatkan keseimbangan dinamis daripada Isotonic Quadriceps Exercise pada lansia usia diatas 60 tahun di Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

1.1 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah

a. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan para pembaca (mahasiswa) tentang pengaruh Balance Strategy Exercise dan Isotonic Quadriceps Exercise dalam meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia.

b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi para pembaca (mahasiswa) dalam mengembangkan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan tindakan fisioterapi dalam mengurangi resiko jatuh pada lansia.

b. Dapat dijadikan salah satu pilihan latihan sebagai langkah preventif dalam menangani resiko jatuh.


(20)

6

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Menurut UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Notoatmojo, 2007). Sedangkan dalam bukunya Hardywinoto (2005) mengatakan yang dimaksud dengan kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Batasan lanjut usia menurut dokumen perkembangan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka pencanangan hari lanjut usia nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh Presiden RI, batas umur lanjut usia adalah 60 tahun atau lebih (Setiabudi, 1999).

2.1.2 Klasifikasi Lansia

Ada beberapa pembagian lansia, antara lain: menurut Depkes RI, WHO, dan menurut pasal 1 Undang – undang No. 4 tahun 1965.

a. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut: kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai senium.

b. Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut: usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45


(21)

7

sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

c. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1965: “Seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari orang lain” (Mubarak, 2009).

2.2 Keseimbangan

2.2.1 Definisi Keseimbangan

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan dan mengatur posisi tubuh saat di tempat atau ketika bergerak. Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi atas dasar dukungan, biasanya ketika dalam posisi tegak. Keseimbangan terbagi menjadi 2 yaitu statis dan dinamis (Abrahamova & Hlavacka, 2008).

Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh. Dimana center of gravity tidak beruhah. Contoh keseimbangan statis adalah sewaktu berdiri dengan satu kaki dan saat berdiri di atas papan keseimbangan. Sedangkan keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana center of gravity selalu berubah. Keseimbangan dinamis merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi ketika bergerak. Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan selama transisi dari dinamis ke statis yang membutuhkan integrasi visual, vestibular, dan


(22)

8

input proprioseptik untuk menghasilkan respon kontrol tubuh untuk berada dalam base of support (Distefano, 2009).

Equilibrium adalah sebuah bagian penting dari pergerakan tubuh dalam menjaga tubuh tetap stabil sehingga manusia tidak jatuh walaupun tubuh berubah posisi. Statis Equlibrium yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan pada posisi diam seperti pada waktu berdiri dengan satu kaki, berdiri diatas balance board. Dinamik Equilibrium adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan posis pada waktu bergerak. Keseimbangan bukanlah kualitas yang terisolasi, namun mendasari kapasitas kita untuk melakukan berbagai kegiatan yang merupakan kehidupan kegiatan normal sehari-hari (Huxham et al., 2001).

2.2.2 Fisiologi Keseimbangan Dinamis

Keseimbangan merupakan tugas kontrol motorik kompleks yang melibatkan deteksi dan integrasi informasi sensorik untuk menilai posisi dan gerakan tubuh dalam ruang dan pelaksanaan respon muskuloskeletal yang sesuai untuk mengontrol posisi tubuh dalam konteks lingkungan dan tugas. Kontrol keseimbangan memerlukan interaksi sistem saraf, muskuloskeletal dan efek kontekstual dari lingkungan.

Komponen kontrol keseimbangan pada sistem saraf yaitu: 1) Proses sensori yang melibatkan visual, vestibular, dan sistem somatosensorik, 2) Integrasi sensorimotor penting untuk menghubungkan sensasi ke respon motor serta untuk adaptasi dan antisipasi, 3) Strategi motorik untuk merencanakan, memprogram, dan mengeksekusi respon keseimbangan. Kontribusi dari sistem muskuloskeletal


(23)

9

meliputi alignment postural, fleksibilitas muskuloskeletal seperti lingkup gerak sendi (LGS), integrasi sendi, performa otot, dan sensasi (sentuhan, tekanan, vibrasi, proprioseptif dan kinestetik). Efek kontekstual dari lingkungan yang berinteraksi dengan keduanya, yaitu: pencahayaan, permukaan, dan gravitasi (Kisner dan Colby, 2007).

Mempertahankan keseimbangan penting bagi tubuh untuk menyangga tubuh melawan gravitasi, mempertahankan pusat massa tubuh agar seimbang dengan bidang tumpu, dan menstabilkan bagian tubuh yang lain ketika bergerak.

2.2.3 Anatomi Sistem Keseimbangan

Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh sistem indera yang terdapat di tubuh manusia bekerja secara bersamaan jika salah satu sistem mengalami gangguan maka akan terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh (imbalance). Sistem indera dalam keseimbangan seperti vestibular, somatosensoris (tactile & somatosensory), dan visual.


(24)

10

a. Sistem Vestibular

Sistem vestibular meliputi labirin (aparatus vestibularis), nervus vestibularis dan vestibular sentral. Labirin terletak dalam pars petrosa os temporalis dan dibagi atas koklea (alat pendengaran) dan aparatus vestibularis (alat keseimbangan). Aparatus vestibularis terdiri atas satu pasang organ otolith dan tiga pasang kanalis semisirkularis. Otolith terbagi atas sepasang kantong yang disebut sakulus dan utrikulus. Sakulus dan utrikulus masing-masing mempunyai suatu penebalan atau makula sebagai mekanoreseptor khusus. Makula terdiri dari sel-sel rambut dan sel penyokong. Labirin membranosa terpisah dari labirin tulang oleh rongga kecil yang terisi dengan perilimf, organ membranosa itu sendiri berisi endolimf. Urtikulus, sakulus, dan bagian kanalis semisirkularis yang melebar (ampula) mengandung organ reseptor yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan.


(25)

11

Setiap kanalis semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya untuk membentuk ampula, yang berisi organ reseptor sistem vestibular, krista ampularis. Rambut-rambut sensorik krista tertanam pada salah satu ujung massa gelatinosa yang memanjang yang disebut kupula, yang tidak mengandung otolith. Pergerakan endolimf di kanalis semisirkularis menstimulasi rambut-rambut sensorik krista, yang dengan demikian, merupakan reseptor kinetik (reseptor pergerakan).

Gambar 2-3 Krista Ampularis (Mardjono M, 2008)

Utrikulus dan sakulus mengandung organ resptor lainnya, makula utrikularis dan makula sakularis. Reseptor ini menghantarkan implus statik, yang menunjukkan posisi kepala terhadap ruangan, ke batang otak. Struktur ini juga memberikan pengaruh pada tonus otot. Implus yang berasal dari reseptor labirin membentuk bagian aferen lengkung refleks yang berfungsi untuk mengkoordinasikan otot ekstraokular, leher, dan tubuh sehingga


(26)

12

keseimbangan tetap terjaga pada setiap posisi dan setiap jenis pergerakan kepala.

Stasiun berikutnya untuk transmisi implus di sistem vestibular adalah nervus vestibulokokhlearis. Ganglion vestibulare terletak di kanalis auditorius internus; mengandung sel-sel bipolar yang prosesus perifernya menerima input dari sel resptor di organ vestibular, dan yang proseus sentral membentuk nervus vestibularis. Nervus ini bergabung dengan nervus kokhlearis, yang kemudian melintasi kanalis auditorius internus, menembus ruang subarakhnoid di cerebellopontine angle, dan masuk ke batang otak di taut pontomedularis. Serabut-serabutnya kemudian melanjutkan ke nukleus vestibularis, yang terletak di dasar ventrikel keempat.


(27)

13

b. Sistem Somatosensoris

Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang panjang dan saling berhubungan satu sama lainnya yang mana Sistem Somatosensori memiliki tiga neuron yang panjang yaitu: primer, sekunder dan tersier.

Primary Neuron, memiliki badan sel pada dorsal root ganglion didalam saraf spinal (area sensasi berada pada daerah kepala dan leher), dimana bagian ini akan menjadi suatu terminal dari ganglia saraf trigeminal atau ganglia dari saraf sensorik kranial lainnya).  Second Neuron, neuron ini berada di medulla spinalis dan brain stem

dan meiliki sel tubuh yang baik. Akson neuron ini naik ke sisi berlawan di medulla spinalis dan brain stem, (Akson dari banyak neuron berhenti pada bagian thalamus (Ventral Posterior nucleus, VPN), dan yang lainnya pada sistem retikuler dan cerebellum.  Third Neuron, berperan dalam hal sentuhan dan rangsangan nyeri,

neuron ketiga memiliki tubuh sel dalam VPN dari thalamus dan berakhir di gyrus postcentralis dari lobus parietal.

Sistem somatosensori tersebar melalui semua bagian utama tubuh mamalia (dan vertebrata lainnya). Terdiri dari reseptor sensori dan motorik (aferen) neuron di pinggiran (kulit, otot dan organ-organ misalnya), ke neuron yang lebih dalam dari sistem saraf pusat. Sistem somatosensori adalah sistem sensorik yang beragam yang terdiri dari reseptor dan pusat pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik seperti sentuhan, temperatur, proprioception (posisi tubuh), dan nociception (nyeri). Reseptor


(28)

14

sensorik menutupi kulit dan epitel, otot rangka, tulang dan sendi, organ, dan sistem kardiovaskular. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus (Willis Jr, 2007).

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang.

c. Sistem Visual

Sistem visual (penglihatan) yaitu mata mempunyai tugas penting bagi kehidupan manusia yaitu memberi informasi kepada otak tentang posisi tubuh terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan obyek sekitarnya. Dengan input visual, maka tubuh manusia dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan sehingga sistem visual langsung memberikan informasi ke otak, kemudian otak memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal (otot & tulang) dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Pada gambar dibawah ini kita dapat melihat sistem visualisasi pada tubuh manusia (Prasad dan Galleta, 2011).


(29)

15

Gambar 2-5 Sistem Visual (Prasad dan Galleta, 2011) 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan

Keseimbangan dipengaruhi oleh banyak faktor, dibawah ini adalah faktor yang mempengaruhi keseimbangan pada tubuh manusia yaitu:

1. Faktor Biomekanik merupakan faktor yang mempengaruhi keseimbangan meliputi derajat gerak, kekuatan otot, dan stabilitas yang berfungsi untuk mendeteksi terhadap perubahan gerak dan bidang gerakan untuk merespon dengan gerakan yang efektif dan sesuai. Komponen-komponennya adalah sebagai berikut:

a. Pusat Gravitasi (Center of Gravity-COG) merupakan titik gravitasi yang terdapat pada semua benda baik benda hidup maupun mati. Titik pusat gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda secara merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka


(30)

16

tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun berubah, maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan (unstable). Titik pusat gravitasi selalu berpindah secara otomatis sesuai dengan arah atau perubahan berat, jika center of gravity terletak di dalam dan tepat di tengah maka tubuh akan seimbang, jika berada di luar tubuh maka akan terjadi keadaan unstable. Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak terdapat pada 1 inchi di depan vertebrae sacrum 2 (Huxam, 2005).

b. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG) merupakan garis khayalan yang berada vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan Base of Support (Huxam, 2005).

c. Bidang tumpu (Base of Support-BOS) merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya daerah bidang tumpu dengan pusat gravitasi. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi maka tubuh akan semakin stabil (Huxam, 2005).

d. Kekuatan otot (Muscle Strenght) adalah kemampuan otot atau grup otot untuk menghasilkan tegangan secara maksimal baik secara statis maupun dinamis. Otot yang kuat merupakan otot yang dapat berkontraksi dan berileksasi dengan baik, jika otot kuat makan


(31)

17

keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan dengan baik (Knudson, 2007).

2. Faktor fisik adalah faktor-faktor yang terkait dengan kondisi fisik seseorang :

a. Umur: Umur akan mempengaruhi keseimbangan. Usia anak-anak merupakan usia pertumbuhan sehingga kemampuan fisik belum sempurna akibat belum dikondisi matur, sedangkan setelah usia 30 tahun terjadi penurunan kapasitas fisik terkait dengan penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh, kira-kira sebesar 0,8 – 1% per tahun, tetapi olahraga dapat mengurangi kecepatan penurunan fisik (Ruhayati dan Fatmah, 2011).

b. Jenis kelamin: Jenis kelamin mempengaruhi berkaitan dengan kekuatan maksimal otot yang berhubungan dengan luas permukaan tubuh, komposisi tubuh, kekuatan otot, jumlah hemoglobin, hormon, kapasitas paru-paru, dan sebagainya. Sampai pubertas biasanya kebugaran pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan, tapi setelah pubertas kebugaran laki-laki dan perempuan biasanya semakin berbeda, terutama yang berhubungan dengan daya kardiorespiratori (Ruhayati dan Fatmah, 2011).

c. Genetik: Level kemampuan fisik seseorang dipengaruhi oleh gen yang ada dalam tubuh. Genetik atau keturunan yaitu sifat-sifat spesifik yang ada dalam tubuh seseorang dari sejak lahir. Sifat genetik mempengaruhi perbedaan dalam ledakan kekuatan, pergerakan


(32)

18

anggota tubuh, kecepatan lari, fleksibilitas, dan keseimbangan pada setiap orang. Selain itu, sifat genetik mempengaruhi fungsi pergerakan anggota tubuh dan kontraksi otot, berhubungan dengan perbedaan jenis serabut otot seseorang, dimana serabut otot skeletal memperlihatkan beberapa struktural, histokimiawi, dan sifat karakteristik yang berbeda-beda (Ruhayati dan Fatmah, 2011). d. Aktivitas fisik: Kegiatan fisik bersifat aerobik mempengaruhi

komponen kebugaran jasmani. Aktivitas fisik dapat menigkatkan daya tahan kardiovaskular, mengurangi lemak tubuh, meningkatkan keseimbangan, dan fleksibilitas. Aktivitas fisik terbagi dalam dua kategori, yaitu aktivitas fisik terstruktur (kegiatan olahraga) dan aktivitas fisik tidak terstruktur (kegiatan sehari-hari). Terdapat tiga aspek dapat menggambarkan tingkat aktivitas fisik seseorang, yaitu pekerjaan, olahraga dan kegiatan di waktu luang (Ruhayati dan Fatmah, 2011).

e. Orientasi ruang: Orientasi ruang adalah kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan keadaan gravitasi, BOS, surround visual dan referensi internal mengarahkan postur terhadap gravitasi. Orientasi ruang merupakan dasar untuk manusia menavigasi sebuah lingkungan dan memberikan respon yang sesuai (Horak, 2006).

f. Motoric strategy: Motoric strategy adalah sistem gerakan yang digunakan untuk merespon terhadap perubahan gerakan dan


(33)

19

lingkungan agar individu tetap berada dalam keadaaan yang seimbang (Horak, 2006).

g. Sensoric Strategy: Sensoric strategy adalah penggunaan panca indra, dan sensoris tubuh untuk mendapat informasi sensorik dari somatosensoris, visual dan vestibular, kemudian mengintegrasikan input sensoris yang didapat untuk menafsirkan kompleks lingkungan sensorik. Subjek kemudian mengubah sensorik dan merespon terhadap perubahan gerak dan lingkungan (Horak, 2006).

2.2.5 Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia

Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013).

Sistem visual, seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006).


(34)

20

Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006).

Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).

Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat


(35)

21

menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersdanung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009).

2.3 Kekuatan Otot

Kekuatan otot adalah merupakan kekuatan suatu otot atau grup otot yang dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang maksimum. Kekuatan otot merupakan suatu hal penting untuk setiap orang, karena kekuatan otot merupakan suatu daya dukung gerakan dalam menyelesaikan tugas-tugas. Setelah umur 30 tahun, manusia akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot total per dekade. Kekuatan otot akan berkurang secara bertahap seiring bertambahnya umur. Penurunan kekuatan otot tidak hanya mengganggu keseimbangan tubuh juga berhubungan dengan peningkatan resiko jatuh. Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk melakukan suatu pekerjaan yang berulang-ulang atau kontraksi pada waktu yang sama (Janssen et al, 2000).

Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri,


(36)

22

(3) peningkatan resiko jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi lansia berhubungan erat dengan kekuatan otot yang bersifat individual. Lansia dengan kekuatan otot quadriceps yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk dan berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder dan Wagner, 1994). Penelitian menunjukkan bahwa kelemahan otot abduktor sendi panggul dapat mengurangi kemampuan mempertahankan keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan pemulihan gangguan postural. Kelambanan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons terhadap keseimbangan (Bonder dan Wagner, 1994).

Kelompok otot pada anggota gerak bawah yang penting dalam fungsi mobilitas adalah kelompok otot quadriceps femoris, iliopsoas, dan plantar fleksor Kelompok otot quadriceps femoris dan iliopsoas mempunyai peran utama saat kaki pada bagian awal kontak dengan tanah. Otot quadricepss femoris merupakan otot besar yang membentuk kontur paha bagian depan. Otot quadricepss femoris terdiri dari empat otot yaitu (1) otot rectus femoris, (2) otot vastus lateralis, (3) otot vastus medialis, dan (4) otot vastus intermedius. Fungsi utama otot quadricepss femoris adalah sebagai penggerak ekstensi sendi lutut.


(37)

23

Gambar 2-6 Otot quadriceps femoris tampak dari depan

2.4 Balance Strategy Exercise

Pelatihan Balance Strategy Exercise adalah serangkaian gerakan yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan keseimbangan dinamis melalui stretching maupun strengthening (Kloos & Heiss, 2007). Ada beberapa gerakan yang digunakan dalam balance exercise, diantaranya plantar flexion, hip flexion, knee flexion, and side leg raise. Gerakan-gerakan ini berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot pada anggota tubuh bagian bawah yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia (Kusnanto dkk, 2007). Dalam gerakan balance exercise dimana terdapat gerakan pada ekstremitas bawah tubuh. Gerakan plantar fleksi didapatkan gerakan yang mengkontraksikan otot gastrocnemius dan soleus, pada gerakan knee fleksi ada penguluran pada grup otot hamstring, sedangkan hip fleksi lebih pada latihan kontraksi secara aktif untuk


(38)

otot-24

otot gluteus maximus, sedangkan side leg rise untuk mengkontraksikan otot tensor facia latae (Masitoh, 2013).

2.4.1 Ankle Strategy Exercise

Ankle Strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari ankle dan kaki. Ankle Strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk menstabilkan sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki. Pada goyangan ke depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini mengaktifkan otot gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang tubuh. Pada respon goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior, otot quadriceps diikuti otot abdominal (Yuliana, 2014).


(39)

25

Gambar 2-7 Ankle Strategy Exercise (Satria, 2015)

2.4.2 Hip Strategy Exercise

Hip Strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip Strategy exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan penyangga digerakkan ke belakang, subjek miring ke depan pada sendi panggul dengan mengaktifkan otot-otot abdominal, otot-otot quadriceps, dan tibialis anterior. Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas, atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan pengimbangan tekanan (Yuliana, 2014).


(40)

26

Gambar 2-8 Hip Strategy Exercise (Satria, 2015)

2.4.3 Stepping Strategy Exercise

Stepping Strategy exercise menggambarkan tahapan dengan kaki atau menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam merespon gangguan yang menyebabkan subjek goyang melebihi batas stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan kembali keseimbangan (Yuliana, 2014).


(41)

27

Gambar 2-9 Stepping Strategy Exercise (Satria, 2015) 2.5 Latihan Isotonik Otot Quadriceps Femoris

Latihan isotonik merupakan latihan dinamis dengan beban konstan tapi kecepatan gerakan tidak terkontrol, dimana otot berkontraksi melawan tahanan dari beban yang konstan, dengan bagian yang bergerak dalam lingkup gerak sendinya secara penuh.

2.5.1 Metode Pelatihan De Lorme dan Watkins

Protokol De Lorme dan Watkins. Program protokol De Lorme dan Watkins menggunakan 10 RM yaitu beban maksimal yang dapat diangkat 10 kali, setiap sesi latihan terdiri dari 3 set masing-masing 10 repetisi. Latihan 5 kali per minggu. (Foss, 1998).


(42)

28

2.5.2 Metode Pelatihan

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beban 1 kilogram dilakukan 3 kali seminggu. Dengan waktu tiap latihan berlangsung 20-30 menit. Latihan dilakukan 10 kali repetisi, istirahat 1-2 menit lalu ulangi 10 kali repetisi. Pada lansia jumlah set yang dipakai yaitu 3 set. Selalu untuk menarik nafas saat menganggkat dan untuk mengeluarkan nafas saat kembali ke posisi semula. Tidak boleh untuk menahan nafas pada saat latihan. Usahakan agar waktu yang digunakan pada saat mengangkat selama 2-3 detik dan waktu yang digunakan pada saat kembali ke posisi semula selama 3-4 detik.

2.6 Mekanisme Peningkatan Keseimbangan Dinamis setelah Latihan

Tiga sistem gerakan untuk mengontrol keseimbangan yang digunakan oleh sistem saraf pusat ketika tubuh mengalami gangguan yaitu, melalui gerak refleks, respon postural otomatis, dan gerakan volunter. Gerakan volunter dikontrol oleh sistem kortikal dengan tingkat latensi paling lama jika dibandingkan gerakan seperti respon postural otomatis yang dimediasi oleh batang otak atau bagian subkortikal dengan tingkat latensi menengah, dan gerak refleks yang dimediasi oleh medula. Ketiga sistem gerakan ini akan berintegrasi dalam menjaga keseimbangan postural tubuh (Colby dan Kisner, 2007).

Pelatihan keseimbangan mengaktifkan sistem gerakan volunter dan respon postural otomatis tubuh. Ketika melakukan pelatihan maka tubuh mengirimkan informasi sensoris melalui mekanoreseptor terkait perubahan sensasi posisi tubuh dari persendian ke sistem saraf bermielin besar. Informasi ini diteruskan ke dalam sistem kolumna dorsalis lemniskus medialis dan berakhir pada girus postsentralis


(43)

29

dari korteks serebri (area somatosensorik I) dan diolah di dalam korteks serebri (Squire et al., 2008).

Korteks serebri (area korteks motorik primer, area premotorik, dan area motorik pelengkap) akan mengolah informasi sensoris untuk menghasilkan sinyal motorik. Penjalaran sinyal motorik ini akan diteruskan ke serabut piramidal melalui traktus kortikospinal lateralis medula spinalis dan berakhir pada interneuron di region intermediet dari substansia grisea medula, beberapa sinyal berakhir di neuron penyiar radiks dorsalis, dan berakhir secara langsung di neuron-neuron motorik anterior. Neuron motorik anterior mengadakan potensial aksi pada terminal saraf (Squire et al., 2008).

Potensial aksi akan membuka banyak kanal kalsium dalam membran saraf terminal, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi ion kalsium pada membran terminal. Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di dalam membran terminal ini akan meningkatkan laju penggabungan vesikel asetilkolin dan menimbulkan eksositosis asetilkolin ke dalam ruang sinaps. Kanal asetilkolin yang terbuka memungkinkan ion positif yang penting seperti natrium (Na+), kalium (K+), dan kalsium (Ca2+) dapat bergerak mudah melewatinya. Peristiwa ini akan menciptakan suatu perubahan potensial positif setempat di dalam membran serabut otot yang disebut potential end plate yang akan menimbulkan suatu potensial aksi yang menyebar di sepanjang membran otot. Potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium dan ion-ion ini akan menimbulkan kekuatan tarik-menarik antar filamen aktin dan miosin lalu menghasilkan proses kontraksi otot (Squire et al., 2008). Sistem somatosensoris juga akan memberikan


(44)

30

suatu umpan balik yang ditujukan ke korteks motorik melalui sistem sensorik radiks dorsalis dengan mengatur ketepatan kontraksi otot. Sinyal somatosensorik ini timbul di kumparan otot, organ tendon otot, dan reseptor taktil yang terletak di kulit yang menutupi otot yang akan menimbulkan positive feedback enhancement yaitu sebuah umpan balik yang merangsang kontraksi otot (Guyton dan Hall, 2008).

Neuron berada pada keadaan terfasilitasi pada awal pelatihan, yaitu besarnya potensial membran mendekati nilai ambang untuk peletupan daripada keadaan normal tetapi belum cukup mencapai batas peletupan. Pelatihan keseimbangan yang dilakukan dengan frekuensi dua kali seminggu selama lima minggu memberikan efek berupa adaptasi neural. Adaptasi neural terdiri dari sumasi spasial dan sumasi temporal di sistem saraf. Sumasi spasial merupakan penjumlahan potensial postsinaps secara simultan dengan cara mengaktivasi ujung-ujung saraf multipel pada daerah membran neuron yang luas sedangkan sumasi temporal merupakan peningkatan tempo peletupan ujung saraf presinaptik sehingga menyebabkan peningkatan potensial efektif postsinaps yang terjadi. Adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu keadaan dimana peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-sama. Dengan meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan terjadi peningkatan kekuatan otot (Guyton dan Hall, 2008).

Dengan adanya peningkatan keseimbangan dan kekuatan otot akan meningkatkan kontrol dinamik berkaitan dengan gait dan locomotion. Dengan peningkatan semua komponen tersebut maka akan menurunkan resiko jatuh.


(1)

Gambar 2-7 Ankle Strategy Exercise (Satria, 2015) 2.4.2 Hip Strategy Exercise

Hip Strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip Strategy exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan penyangga digerakkan ke belakang, subjek miring ke depan pada sendi panggul dengan mengaktifkan otot-otot abdominal, otot-otot quadriceps, dan tibialis anterior. Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas, atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan pengimbangan tekanan (Yuliana, 2014).


(2)

Gambar 2-8 Hip Strategy Exercise (Satria, 2015) 2.4.3 Stepping Strategy Exercise

Stepping Strategy exercise menggambarkan tahapan dengan kaki atau menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam merespon gangguan yang menyebabkan subjek goyang melebihi batas stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan kembali keseimbangan (Yuliana, 2014).


(3)

Gambar 2-9 Stepping Strategy Exercise (Satria, 2015)

2.5 Latihan Isotonik Otot Quadriceps Femoris

Latihan isotonik merupakan latihan dinamis dengan beban konstan tapi kecepatan gerakan tidak terkontrol, dimana otot berkontraksi melawan tahanan dari beban yang konstan, dengan bagian yang bergerak dalam lingkup gerak sendinya secara penuh.

2.5.1 Metode Pelatihan De Lorme dan Watkins

Protokol De Lorme dan Watkins. Program protokol De Lorme dan Watkins menggunakan 10 RM yaitu beban maksimal yang dapat diangkat 10 kali, setiap sesi latihan terdiri dari 3 set masing-masing 10 repetisi. Latihan 5 kali per minggu. (Foss, 1998).


(4)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beban 1 kilogram dilakukan 3 kali seminggu. Dengan waktu tiap latihan berlangsung 20-30 menit. Latihan dilakukan 10 kali repetisi, istirahat 1-2 menit lalu ulangi 10 kali repetisi. Pada lansia jumlah set yang dipakai yaitu 3 set. Selalu untuk menarik nafas saat menganggkat dan untuk mengeluarkan nafas saat kembali ke posisi semula. Tidak boleh untuk menahan nafas pada saat latihan. Usahakan agar waktu yang digunakan pada saat mengangkat selama 2-3 detik dan waktu yang digunakan pada saat kembali ke posisi semula selama 3-4 detik.

2.6 Mekanisme Peningkatan Keseimbangan Dinamis setelah Latihan

Tiga sistem gerakan untuk mengontrol keseimbangan yang digunakan oleh sistem saraf pusat ketika tubuh mengalami gangguan yaitu, melalui gerak refleks, respon postural otomatis, dan gerakan volunter. Gerakan volunter dikontrol oleh sistem kortikal dengan tingkat latensi paling lama jika dibandingkan gerakan seperti respon postural otomatis yang dimediasi oleh batang otak atau bagian subkortikal dengan tingkat latensi menengah, dan gerak refleks yang dimediasi oleh medula. Ketiga sistem gerakan ini akan berintegrasi dalam menjaga keseimbangan postural tubuh (Colby dan Kisner, 2007).

Pelatihan keseimbangan mengaktifkan sistem gerakan volunter dan respon postural otomatis tubuh. Ketika melakukan pelatihan maka tubuh mengirimkan informasi sensoris melalui mekanoreseptor terkait perubahan sensasi posisi tubuh dari persendian ke sistem saraf bermielin besar. Informasi ini diteruskan ke dalam sistem kolumna dorsalis lemniskus medialis dan berakhir pada girus postsentralis


(5)

dari korteks serebri (area somatosensorik I) dan diolah di dalam korteks serebri (Squire et al., 2008).

Korteks serebri (area korteks motorik primer, area premotorik, dan area motorik pelengkap) akan mengolah informasi sensoris untuk menghasilkan sinyal motorik. Penjalaran sinyal motorik ini akan diteruskan ke serabut piramidal melalui traktus kortikospinal lateralis medula spinalis dan berakhir pada interneuron di region intermediet dari substansia grisea medula, beberapa sinyal berakhir di neuron penyiar radiks dorsalis, dan berakhir secara langsung di neuron-neuron motorik anterior. Neuron motorik anterior mengadakan potensial aksi pada terminal saraf (Squire et al., 2008).

Potensial aksi akan membuka banyak kanal kalsium dalam membran saraf terminal, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi ion kalsium pada membran terminal. Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di dalam membran terminal ini akan meningkatkan laju penggabungan vesikel asetilkolin dan menimbulkan eksositosis asetilkolin ke dalam ruang sinaps. Kanal asetilkolin yang terbuka memungkinkan ion positif yang penting seperti natrium (Na+), kalium (K+), dan kalsium (Ca2+) dapat bergerak mudah melewatinya. Peristiwa ini akan menciptakan suatu perubahan potensial positif setempat di dalam membran serabut otot yang disebut potential end plate yang akan menimbulkan suatu potensial aksi yang menyebar di sepanjang membran otot. Potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium dan ion-ion ini akan menimbulkan kekuatan tarik-menarik antar filamen aktin dan miosin lalu menghasilkan proses kontraksi otot (Squire et al., 2008). Sistem somatosensoris juga akan memberikan


(6)

dorsalis dengan mengatur ketepatan kontraksi otot. Sinyal somatosensorik ini timbul di kumparan otot, organ tendon otot, dan reseptor taktil yang terletak di kulit yang menutupi otot yang akan menimbulkan positive feedback enhancement yaitu sebuah umpan balik yang merangsang kontraksi otot (Guyton dan Hall, 2008).

Neuron berada pada keadaan terfasilitasi pada awal pelatihan, yaitu besarnya potensial membran mendekati nilai ambang untuk peletupan daripada keadaan normal tetapi belum cukup mencapai batas peletupan. Pelatihan keseimbangan yang dilakukan dengan frekuensi dua kali seminggu selama lima minggu memberikan efek berupa adaptasi neural. Adaptasi neural terdiri dari sumasi spasial dan sumasi temporal di sistem saraf. Sumasi spasial merupakan penjumlahan potensial postsinaps secara simultan dengan cara mengaktivasi ujung-ujung saraf multipel pada daerah membran neuron yang luas sedangkan sumasi temporal merupakan peningkatan tempo peletupan ujung saraf presinaptik sehingga menyebabkan peningkatan potensial efektif postsinaps yang terjadi. Adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu keadaan dimana peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-sama. Dengan meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan terjadi peningkatan kekuatan otot (Guyton dan Hall, 2008).

Dengan adanya peningkatan keseimbangan dan kekuatan otot akan meningkatkan kontrol dinamik berkaitan dengan gait dan locomotion. Dengan peningkatan semua komponen tersebut maka akan menurunkan resiko jatuh.


Dokumen yang terkait

PENGARUH CORE STABILITY EXERCISE DAN ANKLE Pengaruh Core Stability Exercise Dan Ankle Balance Strategy Exercise Terhadap Keseimbangan Statis.

0 2 10

PENGARUH CORE STABILITY EXERCISE DAN ANKLE Pengaruh Core Stability Exercise Dan Ankle Balance Strategy Exercise Terhadap Keseimbangan Statis.

0 2 14

PENDAHULUAN Pengaruh Core Stability Exercise Dan Ankle Balance Strategy Exercise Terhadap Keseimbangan Statis.

0 2 4

PENGARUH PEMBERIAN CORE STABILITY EXERCISE DENGAN METODE PILATES EXERCISE TERHADAP KESEIMBANGAN Pengaruh Pemberian Core Stability Exercise Dengan Metode Pilates Exercise Terhadap Keseimbangan Dinamis Pada Anggota Posyandu Lansia Bagas Waras Colomadu.

0 3 12

PELATIHAN 12 BALANCE EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS DARIPADA BALANCE STRATEGY EXERCISE PADA LANSIA DI BANJAR BUMI SHANTI, DESA DAUH PURI KELOD, KECAMATAN DENPASAR BARAT.

0 0 12

PEMBERIAN OTAGO HOME EXERCISE PROGRAMME LEBIH BAIK DALAM MENGURANGI RISIKO JATUH DARIPADA BALANCE STRATEGY EXERCISE PADA LANSIA DI TABANAN.

32 117 67

Pemberian pelatihan balance strategy exercise lebih baik daripada pelatihan core stability exercise dalam meningkatkan keseimbangan dinamis pada Lansia di Banjar Bumi Santi Denpasar Barat.

0 6 12

PENGARUH PENAMBAHAN CORE STABILITY EXERCISE PADA 12 BALANCE EXERCISE MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS LANSIA NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH PENAMBAHAN CORE STABILITY EXERCISE PADA 12 BALANCE EXERCISE MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS LANSIA - DIGILIB UNISAY

1 3 15

Perbedaan Pengaruh Pemberian Balance Strategy Exercise Dan Resistance Band Exercise Terhadap Peningkatan Keseimbangan Dinamis Pada Atlet Taekwondo - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 16

Perbedaan Pengaruh Pemberian Theraband Exercise Dan 12 Balance Exercise Terhadap Keseimbangan Dinamis Lansia - DIGILIB UNISAYOGYA

0 1 13