T2 322013034 BAB III

(1)

1

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

Penyelesaian perkara Tindak Pidana Penggelapan di Polrestabes Semarang.

Di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Besar Semarang (Polrestabes Semarang) perkara penggelapan kususnya di unit III Penyidikan Sat Reskrim periode Januari 2014 sampai dengan Agustus 2014 laporan yang masuk mencapai 30 laporan, 6 laporan pelapor menghendaki proses penyidikanya di tangguhkan dengan pertimbangan kedua belah pihak yang berperkara telah menyelesaikan kerugian materiel yang dialami oleh pelapor, sedangkan sisanya perkara-perkara tersebut masih dalam tahap penyelidikan (belum diselesaikan) dan hanya satu laporan yang di limpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum.

Obyek perkara yang sering di laporkan ke Polrestabes Semarang, berbentuk kerugian materiel berupa BPKB, Kendaraan roda 4, kendaraan roda 2, sertifikat tanah, uang hasil penjualan barang, perkara penggelapan ini sering terjadi karena adanya rasa saling percaya pelapor/korban sehingga bersedia menyerahkan barang tersebut kepada orang yang sudah dipercaya, karena pelaku sebelumnya sudah mempunyai niat jahat sehingga terjadilah perbuatan penggelapan yakni dengan maksud memiliki sesuatu barang dengan melawan hak atau tanpa seijin pemiliknya/yang berhak , data yang diperoleh sebagai berikut :


(2)

2

Tabel1

Jumlah kasus/perkara penggelapan periode Januari 2014 s/d Agustus 2014: No Nomor & tanggal

Laporan

Obyek Perkara Nilai kerugian

Modus Operandi Hub. dgn pelapor

Pekerjaan terlapor

Tindak lanjut

1 LP/B/08/I/2014, 10-2-2014

Daihatsu Xenia Rp.150.000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

2 LP/B/225/II/2014, 7-2-2014

Honda Vario Rp.11.000.000

Pinjam Kenalan Swasta Lidik 3 LP/B/673/IV/2014,

04-4-2014

Toyota Avanza Rp.150.000.000

Sewa Teman Swasta Lidik

4 LP/B/603/IV/2014, 10-4-2014

Izusu Truck Rp.200.000.000

Dititipkan Karyawan Sopir Lidik 5 LP/B/616/IV/2014,

13-4-2014

Yamaha Jupiter Rp.8.000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

6 LP/B/576/IV/2014, 4-4-2014

Ford Fiesta Rp.200.000.000

Sewa Teman Swasta Lidik

7 LP/B/679/IV/2014, 24-4-2014

Toyota Inova Rp.200.000.000

Titip untuk dijual Teman Swasta Lidik 8 LP/B/712/V/2014,

02-5-20114

Yamaha Jupiter Rp.9.000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

9 LP/B/734/V/2014, 06-5-2014

Kia Rio Rp.190.000.000

Pinjam Teman Swasta Lidik

10 LP/B/927/VI/2014, 6-6-2014

Toyota Avanza Rp.109.000.000

Sewa Teman Swasta Lidik

11 LP/B/928/VI/2014, 6-6-2014

Daihatsu Espas Rp.100.000.000

Digadaikan Kenalan Swasta Lidik 12 LP/B/1017/VI/2014,

24-6-2014

Yamaha Vega Rp.8.000.000.

Pinjam Kenalan Swasta Lidik 13 LP/B/1032/VI/2014,

27-6-2014

Besi Rp.8.000.000.

Pinjam Karyawan Sopir Lidik 14 LP/B/1043/VI/2014,

29-6-2014

Uang tunai Rp.8.500.000.

Dititip utk di kirim Karyawan Sopir Lidik 15 LP/B/1054/VII/2014,

01-7-2014

Uang tunai Rp.30.000.000.

Dititip utk disetor Karyawan Swasta Lidik 16 LP/B/1164/VII/2014,

18-7-2014

Sertifikat tanah Rp.90.000.000.

Dititip tdk diserahkan

Keponakan Swasta Lidik 17 LP/B/1242/VIII/2014

, 6-8-2014

Uang tunai Rp.563.000.000

Titip utk di setorkan

Teman Swasta Lidik 18 LP/B/1267/VIII/2014

, 9-8-2014

Yamaha RX Rp.5000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

19 LP/B/1274/VIII/2014 , 10-8-2014

Yamaha Mio. Rp.9000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

20 LP/B/1287/VIII/2014 , 11-8-2014

Izusu Elf Rp.200.000.000

Sewa Nasabah Swasta Lidik

21 LP/B/1366/VIII/2014 , 27-8-2014

Uang tunai Rp.75.000.000

Dititp untuk di setor

Karyawan Swasta Lidik 22 LP/B/1338/VIII/2014

, 28-8-2014

Daihatsu Xenia Rp.100.000.000

Digadaikan Teman Swasta Lidik 23 LP/B/1345/VIII/2014

, 28-8-2014

Uang tunai Rp.72.000.000

Dititip untuk di setor

Karyawan Swasta Lidik 24 LP/B/125/I/2014,

22 -1-1014

KBM Toyota Avanza, Rp.150.000.000

Pinjam Kenalan Swasta Limpah Kejaksaan 25 LP/B/296/II/2014,

19 -2-2014

BPKB Yamaha Rp.9.000.000.

Dititipkan Teman Swasta Di cabut 26 LP/B/654/IV/2014,

21-4-2014

Uang tunai Rp.270.000.000

Titip membeli barang

Kenalan PNS Di cabut 27 LP/B/793/V/2014,

13-5-2014

Uang tunai Rp.38.000.000.

Dititip untuk setor Karyawan Karyawan Di cabut 28 LP/B/818/V/2014,

19-5-2014

Uang tunai Rp.68.000.000.

Gunakan uang perusahaan

Karyawan Karyawan Di cabut 29 LP/B/1195/VII/2014,

25-7 -2014

Uang tunai Rp.101.000.000

Dititip utk setor Karyawan Karyawan Di cabut 30 LP/B/1237/VIII/2014

6-8 -2014

Uang tunai Rp.11.500.000.

Titip utk disetorkan

Teman Swasta Di cabut


(3)

3

Data diatas adalah jumlah perkara yang belum dan yang terselesaikan pada akhir Agustus 2014, dan perkara yang belum terselesaikan seiring perkembangan waktu dapat di selesaikan walaupun tidak mencapai 100% dengan cara pendekatan Restoratif Justice atau dengan melimpahkanya pada Penuntut Umum.

Penyelesaian perkara yang penting untuk diperhatikan adalah perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan. Keadilan restoratif menitik beratkan pada proses pertanggung jawaban pidana secara langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat, jika pelaku dan korban serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa telah tercapainya suatu keadilan melalui usaha musyawarah bersama maka

pemidanaan (ultimumremedium) dapat dihindari. Telah menjadi pendapat

umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan konsep seperti ini maka kepentingan yang hendak dilindungi ialah hak-hak umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan.

Sistem Restorative Justice merupakan suatu bentuk dari proses

penyelesaian yang merupakan jalan keluar dari permasalahan antara

beberapa pihak yang mengalami kerugian, dan sistem Restorative Justice

tersebut dalam pelaksanaannya lebih bersifat mudah karena pihak korban maupun pelaku melakukan musyawarah secara kekeluargaan yang disertai oleh pihak fasilitator untuk mendapatkan hasil yang cepat, mudah, dan tidak adanya proses ke Pengadilan.


(4)

4

Restorative Justice mengandung prinsip – prinsip dasar meliputi :

1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana

2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya

3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.

Dalam penggunaan dan mengoperasionalisasikan progarm restoratif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Program keadilan restoratif harus tersedia secara umum pada semua tahap proses peradilan pidana

b. Proses restoratif harus dapat menarik persetujuan atau menghentikan proses tersebut setiap saat selama proses tersebut berlangsung. Kesepakatan harus diperoleh dengan sukarela oleh para pihak dan hanya berisi kewajiban yang wajar dan proporsional

c. Semua pihak harus mengakui fakta – fakta dasar dari kasus sebagai dasar

untuk berpartisipasi dalam proses restoratif. Partisipasi tidak boleh digunakan sebagai bukti pengakuan bersalah dalam proses hukum selanjutnya

d. Faktor – faktor seperti ketidakseimbangan kekuatan dan usia para pihak,

jatuh tempo atau kapasitas intelektual merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan proses restoratif. Demikian pula,


(5)

5

ancaman yang jelas untuk setiap keselamatan para pihak juga harus dipertimbangkan dalam melakukan proses restoratif. Pandangan dari para pihak sendiri tentang bersesuaian dengan hasil dari proses restoratif, dan e. Bilamana proses tidak dapat berlanjut atau hasil tidak mungkin tercapai,

maka pejabat peradilan pidana melakukan semua yang mereka bisa untuk mendorong pelaku untuk bertanggung jawab kepada korban dan masyarakat yang terkena dampak, serta mengupayakan reintegrasi korban dan/atau pelaku ke masyarakat.

Terkait dengan restorative justice, sebagai upaya menyelesaikan

perkara tindak pidana penggelapan secara damai diluar pengadilan dengan mengembalikan kerugian korban dan memulihkan hubungan antara korban dan pelaku serta dengan masyarakat. Maka polisi dalam posisi bekerja sama dalam rangka menyelesaikan masalah dan harus memahami kemauan warga

masyarakat yang dilayaninya. Namun pelaksanaan restorative justice

keberadaannya belum diakui oleh negara, sehingga pada situasi seperti inilah maka polisi menentukan pilihan dan munculnya tindakan diskresi kepolisian.

Menurut Iptu Slamet Widodo bahwa di wilayah hukum Polrestabes

Semarang dalam waktu satu bulan di Unitnya menangani laporan tentang penggelapan sebanyak 5 (lima) laporan dengan obyek perkara berupa uang dan barang berharga lainya, dan para pelakunya teridentifikasi dengan jelas karena saling mengenal dengan latar belakang pendidikan pelaku dan


(6)

6

korban menengah keatas dan rata-rata dalam kehidupan sehari-hari

tergolong mampu.2

Penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan pendekatan restorative justice di Polrestabes Semarang dilakukan intinya perkara tersebut dapat di selesaikan diluar pengadilan, karena adanya kehendak bersama antara pihak korban dengan pelaku. Selanjutnya kesepakatan tersebut disampaikan kepada Penyidik di Polrestabes Semarang, dengan mengajukan permohonan, menyatakan mencabut pengaduan dan/atau menyatakan kehendak mereka agar kasus tersebut diselesaikan secara damai, tidak diteruskan ke pengadilan.

Lebih lanjut, menurut Iptu Slamet tindakan penyelesaian perkara dengan kesepakatan kedua belah pihak yang dilakukan oleh Penyidik

termasuk tindakan Diskresi Kepolisian.3 Ditambahkan bahwa selama ia

menyelesaikan perkara dengan pendekatan Restoratif Justice, tidak pernah mendapat komplin dikemudian hari dan sebagian besar merasa sangat terbantu dengan penyelesaian tersebut.

Berkaitan dengan diskresi kepolisian sampai dengan saat ini pelaksanaan diskresi hanya berdasarkan pada penilaian dan pengambilan keputusan secara pribadi, ini terkait belum adanya pedoman yang jelas tentang diskresi yang dapat digunakan sebagai pegangan oleh anggota dalam melakukan diskresi. Karena penyelesaian dengan diluar pengadilan dapat diterima oleh semua pihak, dengan menyelesaikannya dengan segera

2 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo.

Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016

3 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo


(7)

7

maka dapat mencegah konflik yang lebih besar. Keadilan yang dihasilkan juga dapat mencerminkan kepentingan semua pihak. Sebenarnya, hal ini sesuai dengan falsafah hukum budaya indonesia dimana masyarakat Indonesia sejak dahulu lebih senang damai dan tentram serta menyelesaikan

permasalahan yang ada dengan cara-cara damai. Menurut Iptu Slamet

Widodo, bahwa landasan hukum dalam penyelesaian perkara penggelapan di

kepolisian adalah Perkap No 7 tahun 2008 Pasal 14 huruf f tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri.4

Penerapan penyelesaian perkara dengan cara perdamaian, umum

menyebutnya Alternatif Disput Resolution (ADR), disebabkan adanya

beberapa kelemahan dalam proses penyelesaian permasalahan

sosial/permasalahan pidana melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Kelemahan tersebut antara lain: (a) lambannya penyelesaian perkara; (b) mahalnya biaya perkara; (c) timbulnya masalah baru; (d) peradilan tidak tanggap dan tidak responsif; (e) putusan pengadilan tidak mampu menyelesaiakan masalah secara tuntas; (f) kemampuan dan pengetahuan hakim yang bersifat generalis; dan (g) untuk kepentingan yang lebih baik bagi yang berperkara agar tercipta situasi kamtibmas yang kondusif di dalam masyarakat.

Penyelesaian tindak pidana dengan cara perdamaian sebagai bagian dari Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan langkah yang tepat dan sangat diperlukan untuk mencapai penyelesaian terbaik. Manfaat bagi

4 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo


(8)

8

pelaku dan korban adalah memperbaiki hubungan sosial dan kekeluargaan yang lebih harmonis. Dalam pelaksanaan penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian, bisa bersumber dari pelaku dan korban serta dari pihak luar (pihak ketiga). Dari pihak pelaku dan korban, misalnya, saat menjelang waktu yang ditentukan, kesepakatan tersebut diingkari sehingga

memunculkan masalah baru.5

Surat Kapolri No : B/3022/XII/2009/SDE OPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui ADR yang ditindak

lanjuti dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri Nomor :

STR/583/VIII/2012, tanggal 18 Agustus 2012, yang menjelaskan mengenai

rambu-rambu hukum Implementasi Restoratif Justice oleh Penyidik Jajaran

Reskrim.6

Bagi polisi, manfaat penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian pada tingkat penyidikan antara lain adalah (a) perkara tersebut

cepat selesai/Crime Clier (CC); (b) mempersingkat waktu penahanan

sehingga risiko jiwa dapat dikurangi; (c) prosesnya cepat dan tidak adanya tunggakan kasus serta memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan serta menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat: (d) situasi tidak berkembang menjadi konflik komunal yang mengganggu masyarakat; (e) mengurangi biaya penyidikan dan pemberkasan perkara; (f) terciptanya situasi yang kondusif; (g) silaturahmi antar masyarakat tetap terjalin dengan baik serta terciptanya situasi kamtibmas yang aman kondusif; dan (h) dengan mengingat kedudukanya polisi sebagai ujung tombak yang

5 Sumber: Omang Suparman, Bagian Reskrim, Polres Cirebon Kota , 31 Oktober 2013

6 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo


(9)

9

menyentuh langsung masyarakat, maka polisi dapat memerankan diri sebagai babinkamtibmas di samping sebagai penegak hukum.

Bagi pelaku, manfaatnya penyelesaian kasus pidana dengan perdamaian, antara lain (a) dapat segera bebas dan tidak masuk lapas; (b) penanganan kasusnya tidak terlalu lama dan pelaku mendapatkan efek jera atas kejadian tersebut; (c) adanya kesempatan untuk dapat berbuat baik dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain serta tidak melanggar hukum; dan (d) perkara tidak sampai ke pengadilan.

Bagi korban, manfaatnya penyelesaian kasus pidana dengan perdamaian antara lain: (a) kerugian yang diderita oleh korban bisa kembali, tidak ada perasaan saling dendam; (b) dapat menuntut ganti rugi kepada pelaku sesuai dengan kerugiannya; (c) penanganan kasusnya tidak terlalu lama dan mendapatkan keadilan karena apa yang ia inginkan sudah ia dapatkan; (d) penyelesaian tersebut bermanfaat kembali pada kehidupan di masyarakat dengan saling gotong royong dan saling membantu; (e) dapat menuntut ganti rugi kepada pelaku sehingga punya daya tawar yang jelas apabila pelaku mengharapkan perdamaian; dan (f) adanya kepuasan apabila kasusnya segera ditangani oleh polisi dan terpenuhinya kerugian yang dialami.

Di masa datang, penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian perlu diatur dengan Undang-Undang sehingga tidak ada kebimbangan bagi polisi. Dasar dasar hukum sekarang berlaku berada di bawah Undang-Undang. Apabila permintaan penyelesaian kasus pidana dengan cara


(10)

10

perdamaian merupakan permintaan masyarakat dan ada dasar hukumnya, hal itu lebih baik

Dalam penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian perlu diatur dengan Undang-Undang, supaya ada dasar yang jelas sebagai alternatif penyelesaian kasus. Dengan adanya penyelesaian kasus pidana melalui cara perdamaian, di masa datang pihak pelaku dan korban tidak mempunyai rasa dendam yang berkelanjutan, membuat suasana lingkungan nyaman dan hubungan bermasyarakat menjadi harmonis.

Dengan melihat beberapa peristiwa yang terjadi; seperti kasus-kasus yang ada di masyarakat, kasus pidana dengan kerugian yang sangat kecil menjadi sorotan media masa, masyarakat dan aparat terkesan kaku dalam penegakan hukun serta sudah adanya langkah kepolisian dalam menyelesaikan masalah melaui jalur ADR, sangatlah perlu diatur dalam Undang-Undang untuk memberikan kepastian hukum dan sebagai dasar/acuan penyidik dalam penyelesaian perkara.

Hambatan dalam penyelesaian kasus pidana dengan perdamaian adalah (1) memerlukan waktu untuk mencapai suatu kesepakatan damai dari kedua belah pihak ; dan (2) menunggu adanya orang-orang yang dipercaya atau tokoh-tokoh masyarakat yang bisa menyelesaikan suatu kesepakatan damai dari kedua belah hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan penyelesaian kasus pidana penggelapan dengan cara perdamaian adalah meskipun korban telah mufakat berdamai dengan korban dan pelaku bersedia memberikan ganti rugi, terkadang keluarga korban belum


(11)

11

menerima ganti rugi atau ganti rugi yang diterimanya tidak sesuai dengan kerugian yang dialami oleh korban.

Dalam versi penyidik secara umum manfaat penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian pada tingkat penyidikan: (a) prosesnya lebih cepat; (b) biaya lebih murah; (c) sifatnya informal karena segala sesuatunya ditentukan oleh pihak yang bersangkutan/bersengketa; (d) menjaga hubungan baik; (e) mudah mengadakan perbaikan; (f) bersifat final sesuai dengan kesepakatan; (g) adanya pertemuan/tatap muka pihak yang bersengketa; dan (h) tata cara penyelesaian sengketa diatur sendiri oleh para pihak yang bersengketa.

B. Analisis

1. Problematika/Permasalahan Hukum.

Keadilan restoratif (restoratif justice) adalah sebuah upaya atau

pendekatan model baru di Indonesia yang sangat dekat dengan asas Musyawarah yang merupakan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pemidanaan

adalah sebagai upaya hukum terakhir (ultimumremedium) dapat dihindari,

jika konflik yang muncul dalam masyarakat dapat diselesaikan oleh kedua pihak dengan mengutamakan rasa keadilan dari kedua pihak yang bersengketa. Keadilan restorative memberikan solusi terbaik dalam

menyelesaikan kasus kejahatan yang bersifat privaat antara orang-orang

(natuurlijkepersonen) atau pun badan hukum (recht personen) yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan.


(12)

12

Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah perbaikan tatanan

sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan.7

Keadilan restoratif tidak hanya ditujukan pada pelaku tindak pidana (dader) saja tetapi sebaliknya merehabilitasi konflik terhadap keadilan dan

hukum yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana tersebut.8 Keadilan

restoratif menitik beratkan pada proses pertanggung jawaban pidana secara langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat, jika pelaku dan korban serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa telah tercapainya suatu keadilan melalui usaha musyawarah bersama maka pemidanaan (ultimumremedium) dapat dihindari. Hal ini menunjukan bahwa pelaku bukanlah objek utama dari pendekatan keadilan restorative melainkan rasa

keadilan serta pemulihan konflik itu sendiri yang menjadi objek utamanya.9

Sehingga pendekatan keadilan restoratif adalah cara yang cocok dalam proses penyelesaian perkara pidana, dengan pendekatan keadilan restorative dapat memenuhi asas pengadilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, Telah menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan konsep seperti ini maka kepentingan yang hendak dilindungi ialah hak-hak umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan. Dalam hal mediasi adalah usaha-usaha yang hanya diterapkan dalam perkara-perkara perdata sedangkan dalam perkara pidana mediasi dianggap tidak bisa.

7 RufinusHutahuruk, Penaggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu

Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal 107

8Ibid, hal 106. 9 ibid


(13)

13

Diperoleh data bahwa penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes Semarang lebih banyak jumlahnya di banding dengan penyelesaian yang lanjut dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum :

Namun permasalahan yang di hadapi oleh Penyidik Polri dalam menyelesaikan perkara tindak pidana Penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice, meliputi :

a. Belum ada Skep Kapolri yang mengatur tentang Restoratif Justice. b. Belum ada penegasan dalam KUHAP tentang Penyelesaian dengan

Pendekatan Restoratif Justice.

c. Dalam KUHP Perkara Penggelapan adalah Delik Biasa

d. Undang-undang Kepolisian sepanjang memenuhi sarat sarat yang telah ditentukan.

e. Belum ada Undang-undang perlindungan terhadap korban yang mengatur tentang ganti rugi atau pengembalian kerugian.

Dan dari proses peradilan yang dilaksanakan ternyata ditemui berbagai kendala, antara lain:

1. Sistim peradilan tidak mampu menangani semua masalah pidana, 2. Tidak mampu memenuhi rasa keadilan korban,

3. Tidak mampu memenuhi rasa keadilan pelaku, yakni setelah pelaku diputus kemudian jalani hukuman di lembaga kemudian selesai jalani hukuman, pada saat dia kembali ke masyarakat maka kehidupannya tidak akan normal lagi.


(14)

14

Disis lain dalam proses penyidikan Polri terdapat kendala dalam penanganan perkara penggelapan diantaranya minimnya anggaran operasional di Kepolisian dan pelaku yang melarikan diri. Sedangkan syarat penyelesaian perkara penggelapan yang ditempuh selama ini adalah adanya kesepakatan ganti rugi yang dialami oleh korban, dan perkara penggelapan dapat di selesaikan dengan cepat. Mengapa di Polrestabes Semarang semua perkara tindak pidana penggelapan tidak di selesaikan dengan pendekatan restoratif Justice, Menurut Iptu Slamet karena pelaku tidak punya kemampuan untuk mengembalikan kerugian yang dialami korban, pihak korban menolak penyelesaian secara damai dan menghendaki perkara tersebut di sidangkan dimeja hijau sampai mendapat putusan hukum yang

tetap dan menjadi pembelajaran hukum bagi pelakunya10

Secara sosiologis permasalahan hukum mengenai penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dapat dilakukan dengan tindakan Diskresi Kepolisian. Peran Polisi secara umum dikenal sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan pelaku tindak pidana. Dalam pasal 2 Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi

Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.Dan pasal 4

Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara

10 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo


(15)

15

Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat

dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif.

Kemudian istilah Diskresi Kepolisian menurut Pasal 15 Ayat 2 huruf

k dikenal dengan “kewenangan lain”, menurut Pasal 16 Ayat (1) huruf l

dikenal dengan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan

menurut Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP dikenal dengan istilah “tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab”.

Dalam tugas- tugas kepolisian khususnya tindakan penyelidikan dan penyidikan maka tindakan Diskresi Kepolisian harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

Artinya berjalan sesuai dengan hukum positif maupun hukum lainnya yang berlaku ditempat dimana Diskresi Kepolisian diambil oleh seorang petugas. Dalam system hukum di Indonesia dikenal 4 (empat) macam sumber hukum antara lain adalah hukum Negara atau hukum positif, hukum adat istiadat, hukum agama, dan kebiasan- kebiasaan.


(16)

16

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; artinya tindakan yang diambil diatur dalam aturan tertentu sebagai suatu kewajiban hukum untuk wajib ditegakkan.

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; artinya dapat diterima dengan akal yang sehat bagi lingkungan dimana tindakan itu diambil.

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; artinya pada pelaksanaannya atau cara penyampaian dilapangan dilakukan

berdasarkan kejadian yang hanya pada saat–saat tertentu (emergencies)

tanpa pengamatan ataupun penelitian yang mendalam tentang apa yang diputuskannya tersebut.

e. menghormati HAM. Artinya sesuai dengan ketentuan HAM dan tidak melanggar ketentuan HAM tersebut.

Pasal 16 ayat 1 Undang- undang No. 2 Tahun 2002, pasal 18 Undang-undang No. 2 tahun 2002 dan pasal 7 ayat 1 sub j KUHAP bila tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas, dapat disalah artikan pelaksanaan diskresi yang dapat menjurus pada tindakan penyimpangan diskresi kepolisian.

Menurut praktiknya, ada beberapa pertimbangan umum yang menjadi tujuan dan/atau pegangan dalam penerapan diskresi kepolisian, yaitu untuk :

1) Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam jangka waktu lama.


(17)

17

2) Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Sebab tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin bertambah, sehingga tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk mengurangi beban pekerjaan.

3) Adanya keinginan korban, pelaku dan pihak keluarga agar perkara diselesaikan secara damai, mengingat melalui cara-cara formal dapat dipastikan akan ada pihak yang kalah dan ada yang menang;

4) Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban terhadap pelaku, sehingga korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang.

2. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan

Konsep pendekatan restorative merupakan perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi bangsa Arab purba, bangsa Yunani, dan bangsa Romawi di mana asas-asasnya sesuai dengan asas-asas yang ada dalam kebudayaan Indonesia juga dalam menyelesaikan

masalah termasuk penyelesaian masalah tindak pidana.11

Di Indonesia penerapan keadilan restoratif berdasarkan pada jiwa

bangsa (Volksgeist) Indonesia sendiri yang tercantum dalam Pancasila

sebagai ideology dari negara Indonesia sendiri bahwa hukum itu berasal dari

jiwa bangsa (volksgeist) Indonesia sendiri. Di mana diberikan kesempatan

pada musyawarah hingga menuju pada mufakat dalam menemukan titik temu yang adil bagi kedua belah pihak.

11 RufinusHutahuruk, Penaggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan


(18)

18

Dalam penyelesaian tindak pidana melalui keadilan restoratif terhadap suatu konflik atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari tindak pidana, antara hubungan-hubungan sosial anggota masyarakat tersebut yang harus diselesaikan dan dipulihkan oleh seluruh pihak secara bersama-sama, di mana asas musyawarah untuk mencapai mufakat bersama guna menemukan jati diri keadilan itu sendiri yang ada di dalam batin tiap orang, proses penyelesaiannya dengan pemberian kesempatan kepada kedua belah pihak untuk berperan dalam proses penyelesaian tindak pidana tersebut.

Umbreit sebagaimana dikutip Rufinus Hutahuruk menjelaskan bahwa:

restoratif justice is a “victim-centered response to crime that allows the victim, the offender, their families, and representatives of the community to address the harm caused by the crime”. (keadilan

restoratif adalah sebuah “respon tindak pidana yang berpusat pada

korban yang mengijinkan korban, pelaku tindak pidana, pihak keluarga mereka, dan perwakilan komunitas masyarakat untuk menyelesaikan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak

pidana”.)12

Dasar utama dari penyelesaian tindak pidana melalui keadilan restorative merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar alat untuk mendorong kedua belah pihak untuk bermediasi penal dalam hal menemukan suatu kesepakatan, tetapi keadilan restoratif bertujuan untuk menembus hati dan pikiran dari kedua belah pihak yang terlibat konflik agar dapat memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi pemulihan yang bersifat mencegah.

Penerapan keadilan restoratif pada sistem peradilan dalam kewenangan Kepolisian Republik Indonesia, dapat dilihat dari sudut hukum,


(19)

19

pekerjaan kepolisian tidak lain berupa penerapan atau penegakan hukum,

dengan kata lain polisi menjadi status quo dari hukum.13 Dari hal ini

menunjukan bahwa tugas kepolisian wajib sejalan dengan apa yang diminta oleh hukum pidana materil dan hukum pidana formil, sehingga hukum menjadi titik sentral dan menjadikan Kepolisian sebagai hamba hukum itu sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo gaya pemolisian seperti itu, dikenal

dengan sebutan “Polisi Antagonis” yaitu polisi yang memposisikan dirinya

berhadapan dengan rakyat.14 Dari hal ini kepolisian perlu melihat asas-asas

yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga polisi dapat menempatkan rakyat sebagai pusatnya bukan hanya berpatokan pada hukum saja.

Ketika polisi memang menjadi pelindung, penganyom, dan pelayan dari masyarakat sesungguhnya, maka hukum tidak dijadikan patokan utama. Tanpa melihat sifat batiniah, melihat dari hati nurani. Sehingga polisi tidak lagi terkurung dengan rumusan formal perundang-undangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tetapi melihat kasus itu

sesuai dengan hati dan pikirannya.15 Di mana ia melihat lebih dalam lagi

kepada kebiasaan-kebiasaan yang melekat sejak dahulu di dalam kehidupan rakyat itu sendiri. Sehingga polisi di sini memiliki keberanian untuk keluar dari lingkaran hukum tertulis yang selama ini.

Sehingga penerapan keadilan restorative di kepolisian berlandaskan pada diskresi atau kebijakan, hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan

13 Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, AswajaPresindo, Jogjakarta, 2013, h. 25 14Ibid., h. 26


(20)

20

dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 16 ayat 1 huruf i , mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan pasal 16 ayat 2 huruf c

bahwa dalam hal penyelidikan dan penyidikan memenuhi syarat “ harus

patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya”.

Melalui kebijakan ini pihak kepolisian diberikan kewenangan untuk menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dalam hal melakukan penyidikan, apakah perkara ini dapat diselesaikan pada tahap pertama dalam sistem peradilan yaitu penyidikan, ataukah patut dilanjutkan dan diperiksa pada tahap penuntutan. Namun diskresi ini sering kali takut digunakan oleh pihak kepolisian karena kurangnnya pengetahuan dan ketakutannya akan hukum positif, dan menjadi ketakutan oleh kepolisian akan penilaian masyarakat awam yang beranggapan bahwa diskresi kepolisian ini adalah acara ilegal yang merupakan akal-akalan dari pihak kepolisian guna mengambil untung dari pihak-pihak yang berperkara. Padahal dalam praktik pemeriksaan kasus pidana, ide awal munculnya diskresi lebih banyak

berasal dari pihak yang berperkara, khususnya pihak korban.16

Sehingga dasar daripada penerapan keadilan restoratif pada kepolisian berdasarkan pada diskresi yang diberikan oleh undang-undang. Roscoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, mengartikan diskresi kepolisian yaitu:

an authority conferred by law to act in certain condition or

situation; in accordance with official’s or an official agency’s own

considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals”, jika


(21)

21

diterjemahkan dalam terjemahan bebas: (otoritas yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi tertentu atau; dengan sesuai pejabat atau badan resmi memiliki pertimbangan dan hati nuraninya sendiri. Itu adalah ide dari moral, dan berasal dari zona seimbang

antara hokum dan moral).17

Dan sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, bahwa :

“Diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan

kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya”.18

Dalam tugas kejaksaan sebagai penuntut umum, diberikan pula tugas oleh undang-undang dalam hal kewenangan untuk menghentikan suatu

perkara melalui apa yang disebut dengan Deponeering atau penghentian

penuntutan. Kata Deponeering sendiri berasal dari bahasa Belanda, di mana

dalam bahasa Belanda sendiri terdapat 2 istilah yang digunakan terkait

dengan Deponeering yaitu Deponeren dan Seponeren.19van Der Tas dalam

kamus hukum Belanda-Indonesia memberikan pengertian Deponeren, yaitu

tidak menuntut, mengesampingkan. Sedangkan Seponeren juga memiliki

arti yang sama yaitu tidak menuntut, mengesampingkan.20

Pengadilan sebagai suatu institusi terakhir dalam hal menentukan putusan akan nasib seseorang dari hal ini menurut Mahrus Ali mengatakan

bahwa “Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem hukum formal yang terlepas dari masyarakat”,21

Seperti yang dijelaskan dalam perkara penggelapan dalam Pasal 372

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yaitu: “Barang siapa

dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang

17Ibid., h. 41 18Ibid., h. 42

19 O. C. Kaligis, Deponeering Praktek dan Teori, Alumni, Bandung, 2011, h. 4 20Ibid.,


(22)

22

seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada

dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena

penggelapan....”

Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tentang penggelapan ialah:

1. Barang siapa

2. Sengaja

3. Melawan hukum

4. Menguasai barang seluruh atau sebagian milik orang lain.

Perkara penggelapan lebih cocok jika dilakukan pengaduan bukan laporan yaitu di mana dasar utama dari pengajuan perkara tersebut ialah kerugian sebagai hasil dari penggelapan tersebut. Sehingga tidak cocoklah jika dikatakan perkara penggelapan pada umumnya, murni harus diselesaikan dengan suatu proses peradilan konvensional. Dari pengertian ini menunjukan bahwa tindak pidana penggelapan tidak perlu dibagi menjadi dua delik seperti yang kita kenal yaitu delik aduan dan delik umum. Sedangkan dasar utama dari tindak pidana penggelapan ialah kerugian yang dialami oleh pihak korban. Pertanggungjawabannya tidak menghilangkan unsur publiknya namun proses perbaikan morilnya dapat langsung dinilai oleh masyarakat dan korban dari tindak pidana penggelapan itu sendiri.

Konsep sanksi pemidanaan dalam keadilan restoratif tidak mengenal pemidanaan yang bertujuan untuk membalas, tetapi lebih mengarah pada konsep pemulihan konflik antara pihak yang menjadi korban dengan pihak yang melakukan suatu tindak pidana, beberapa konsep sanksi pidana yang dapat di terapkan dalam keadilan restoratif yaitu:


(23)

23

1. Restitusi (Ganti Rugi)

Restitusi ialah suatu proses penggantian kerugian, di mana pelaku tindak pidana melakukan ganti rugi kepada korban dari pelaku tindak pidana atas segala perbuatan yang mengakibatkan kerugian tersebut pada korban tindak pidana.

Menurut Weitekamp sebagaimana yang dikutip oleh Rufinus Hutahuruk, Restitusi secara proaktif melibatkan pelanggar dan korban dalam memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ditujukan kepada

korban.22

2. Kompensasi terhadap Korban

Kompensasi menjadikan suatu proses wujud

pertanggungjawaban pidana yang dapat menyelesaikan konflik yang bersifat batiniah. Bahwa konsep kompensasi ini adalah wujud lanjut dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana penggelapan yang sifatnya yaitu untuk mengobati luka batin akan hak dan rasa kepercayaan yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana. Konsep penerapan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana penggelapan lebih baik dari sistem pemidanaan dan proses peradilan konvensional yang memakan waktu yang begitu lama serta biaya yang tidak sedikit baik dari korban maupun pemerintah sendiri dalam hal memfasilitasi proses pemeriksaan, hingga pada proses eksekusi dari pada perkara penggelapan itu sendiri.


(24)

24

Sedangkan penyelesaian sengketa yang melalui lembaga non peradilan yaitu lembaga khusus yang menangani masalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau disebut juga Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penetapan ahli. Akan tetapi, biasanya penyelesaian sengketa melalui ADR ini lebih banyak dalam

bidang bisnis.23 ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus

perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau

Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”. tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

Mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang

dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman

disebut “Der AußergerichtlicheTatausgleich” (disingkat ATA24) dan dalam

istilah Perancis disebut “de mediation pénale”.35 Mediasi pidana yang

dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles)

sebagai berikut:25

1. Penanganan konflik (Conflict Handling Konfliktbearbeitung)

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses

23Siti Juwariyah, S.HI. Potret Mediasi dalam Islam

24 Di Austria terdiri dari ATA-J (AußergerichtlicherTatausgleichfürJugendliche) untuk anak, dan

ATA-E (AußergerichtlicherTatausgleichfürErwachsene) untuk orang dewasa.


(25)

25

komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

2. Berorientasi pada proses (Process Orientation (Prozessorientierung))

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari hasil yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhankebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut.

3. Proses informal (Informal Proceeding -Informalität)

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

4. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous

Participation –ParteiautonomiSubjektivierung)

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif), pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya

penyelesaian kasus di luar pengadilan.26

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak

26https://idid.facebook.com/media/set/?set=a.341434969250056.78560.336216119771941&type=3


(26)

26

hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan lain sebagainya. Implikasi praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai

hukum positif yang berlaku.27

Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana, inilah yang dikenal dengan mediasi penal. Hal ini diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Namun surat edaran Kapolri tersebut rupanya belum cukup kuat untuk menjadi dasar hukum mediasi penal. Akan lebih efekif apabila substansi dari kebijakan Kapolri tersebut di kodifikasikan dalam sebuah regulasi positif, sehingga tidak ada keraguan dari Penyidik untuk menyelenggarakan mediasi dalam penanganan perkara pidana.

Tindak pidana penggelapan merupakan tindak pidana yang memberikan kerugian bagi korbannya, dimana hal ini terjadi karena adanya

27http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&taSk=view&id=140&Itemid=36, 3


(27)

27

sebab yang dapat menimbulkan akibat. Bagi pelaku tindak pidana penggelapan, penyebab dari adanya suatu tindak pidana penggelapan lebih kepada kesalahan penyalahgunaan kepercayaan sebagaimana telah diatur dalam pasal 372 KUHP. Adapun isi dari Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut ;

Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapn, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,-

Sehingga dengan mediasi penal memungkinkan perkara tindak pidana penggelapan secara umumnya untuk dipakai keadilan rertoratif melalui mediasi penal dalam penyelesaian perkaranya. Sebagaimana yang tercantum dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang

berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen

A/CONF.169/6) “...it is possible that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving fraud....” yang dalam terjemahan bebas

Bahasa Indonesia: “itu memungkinkan beberapa masalah yang serius yang

merupakan kasus yang rumit dan panjang yang melibatkan Fraud

(penipuan, penggelapan, atau kecurangan”. sehingga dari hal ini pula

memungkinkan terwujudnya apa yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang


(28)

28

dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”,28 yang di mana dalam penjelasannya:

“ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan

dan penyelesain perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan

efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara

yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesain perkara tidak mengorbankan ketelitian

dalam mencari kebenaran dan keadilan”.29

Dari apa yang dijelaskan dalam penjelasan dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak menjelaskan arti cepat namun sebagaimana yang di artikan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia cepat ialah : “Dalam waktu singkat, segera”.30 Maka mediasi penal ini sebagai bagian dari keadilan restoratif dapat menjadi sarana penyelesaian yang cepat, sederhana dan memakan biaya ringan dimana memungkinkan dipakai dalam penyelesaian perkara tindak pidana

penggelapan sebagai suatu delik yang berdimensi privat antara korban dan

pelaku tindak pidana itu.

28 www.komisiyudiasial.go.id, (Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman), 5 oktober 2014, h. 1, pasal 2

29Ibid, h. 11, lihat penjelasan pasal 2


(1)

23 1. Restitusi (Ganti Rugi)

Restitusi ialah suatu proses penggantian kerugian, di mana pelaku tindak pidana melakukan ganti rugi kepada korban dari pelaku tindak pidana atas segala perbuatan yang mengakibatkan kerugian tersebut pada korban tindak pidana.

Menurut Weitekamp sebagaimana yang dikutip oleh Rufinus Hutahuruk, Restitusi secara proaktif melibatkan pelanggar dan korban dalam memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ditujukan kepada korban.22

2. Kompensasi terhadap Korban

Kompensasi menjadikan suatu proses wujud pertanggungjawaban pidana yang dapat menyelesaikan konflik yang bersifat batiniah. Bahwa konsep kompensasi ini adalah wujud lanjut dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana penggelapan yang sifatnya yaitu untuk mengobati luka batin akan hak dan rasa kepercayaan yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana. Konsep penerapan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana penggelapan lebih baik dari sistem pemidanaan dan proses peradilan konvensional yang memakan waktu yang begitu lama serta biaya yang tidak sedikit baik dari korban maupun pemerintah sendiri dalam hal memfasilitasi proses pemeriksaan, hingga pada proses eksekusi dari pada perkara penggelapan itu sendiri.


(2)

24

Sedangkan penyelesaian sengketa yang melalui lembaga non peradilan yaitu lembaga khusus yang menangani masalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau disebut juga Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penetapan ahli. Akan tetapi, biasanya penyelesaian sengketa melalui ADR ini lebih banyak dalam bidang bisnis.23 ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”. tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

Mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang

dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut “Der AußergerichtlicheTatausgleich” (disingkat ATA24) dan dalam istilah Perancis disebut “de mediation pénale”.35 Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:25

1. Penanganan konflik (Conflict Handling Konfliktbearbeitung)

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses

23Siti Juwariyah, S.HI. Potret Mediasi dalam Islam

24 Di Austria terdiri dari ATA-J (AußergerichtlicherTatausgleichfürJugendliche) untuk anak, dan ATA-E (AußergerichtlicherTatausgleichfürErwachsene) untuk orang dewasa.


(3)

25

komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi. 2. Berorientasi pada proses (Process Orientation (Prozessorientierung))

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari hasil yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhankebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut.

3. Proses informal (Informal Proceeding -Informalität)

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

4. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation –ParteiautonomiSubjektivierung)

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif), pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan.26

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak

26https://idid.facebook.com/media/set/?set=a.341434969250056.78560.336216119771941&type=3 , 3 April 2016


(4)

26

hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan lain sebagainya. Implikasi praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku.27

Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana, inilah yang dikenal dengan mediasi penal. Hal ini diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Namun surat edaran Kapolri tersebut rupanya belum cukup kuat untuk menjadi dasar hukum mediasi penal. Akan lebih efekif apabila substansi dari kebijakan Kapolri tersebut di kodifikasikan dalam sebuah regulasi positif, sehingga tidak ada keraguan dari Penyidik untuk menyelenggarakan mediasi dalam penanganan perkara pidana.

Tindak pidana penggelapan merupakan tindak pidana yang memberikan kerugian bagi korbannya, dimana hal ini terjadi karena adanya

27http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&taSk=view&id=140&Itemid=36, 3 April 2016


(5)

27

sebab yang dapat menimbulkan akibat. Bagi pelaku tindak pidana penggelapan, penyebab dari adanya suatu tindak pidana penggelapan lebih kepada kesalahan penyalahgunaan kepercayaan sebagaimana telah diatur dalam pasal 372 KUHP. Adapun isi dari Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut ;

Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapn, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900,-

Sehingga dengan mediasi penal memungkinkan perkara tindak pidana penggelapan secara umumnya untuk dipakai keadilan rertoratif melalui mediasi penal dalam penyelesaian perkaranya. Sebagaimana yang tercantum dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) “...it is possible that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving fraud....” yang dalam terjemahan bebas

Bahasa Indonesia: “itu memungkinkan beberapa masalah yang serius yang merupakan kasus yang rumit dan panjang yang melibatkan Fraud

(penipuan, penggelapan, atau kecurangan”. sehingga dari hal ini pula memungkinkan terwujudnya apa yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi: “Peradilan dilakukan


(6)

28

dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”,28 yang di mana dalam penjelasannya:

“ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesain perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesain perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan”.29

Dari apa yang dijelaskan dalam penjelasan dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak menjelaskan arti cepat namun sebagaimana yang di artikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia cepat ialah : “Dalam waktu singkat, segera”.30 Maka mediasi penal ini sebagai bagian dari keadilan restoratif dapat menjadi sarana penyelesaian yang cepat, sederhana dan memakan biaya ringan dimana memungkinkan dipakai dalam penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan sebagai suatu delik yang berdimensi privat antara korban dan pelaku tindak pidana itu.

28 www.komisiyudiasial.go.id, (Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman), 5 oktober 2014, h. 1, pasal 2

29Ibid, h. 11, lihat penjelasan pasal 2