PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP FISIKA SISWA SMP.

(1)

LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP

FISIKA SISWA SMP

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Fisika

Oleh

MUHAMMAD IBRAHIM NH. 060913

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013


(2)

Penerapan Pembelajaran Penemuan

(

Discovery Learning

) untuk

Meningkatkan Pemahaman Konsep

Fisika Siswa SMP

Oleh

Muhammad Ibrahim NH.

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Muhammad Ibrahim 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

(4)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY

LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP

FISIKA SISWA SMP

Muhammad Ibrahim NH. NIM. 060913

Pembimbing I : Drs. Sutrisno, M.Pd. Pembimbing II: Endi Suhendi, S.Si., M.Si. Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA-UPI

ABSTRAK

Penelitian berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP” ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya pemahaman konsep siswa SMP untuk mata pelajaran IPA-Fisika di sekolah yang dijadikan tempat penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa setelah diterapkannya Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment dengan desain one group pretest posttest design. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII A salah satu SMP di kota Garut yang diambil dengan teknik purposive sampling. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tes pemahaman konsep berupa soal-soal berbentuk pilihan ganda dan lembar observasi keterlaksanaan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Analisis data yang dilakukan adalah dengan cara menghitung skor gain yang dinormalisasi. Hasil analisis data diperoleh rata-rata gain yang dinormalisasi sebesar 0,608, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan pemahaman konsep fisika siswa SMP setelah diterapkan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) berada pada kategori sedang.

Kata kunci : Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning), Pemahaman Konsep.


(5)

APPLICATION OF DISCOVERY LEARNING MODEL (DISCOVERY LEARNING) TO IMPROVE UNDERSTANDING OF THE CONCEPT OF

PHYSICS STUDENTS SMP

Muhammad Ibrahim NH. NIM. 060913

Supervisor I: Drs. Sutrisno, M.Pd. Supervisor II: Endi Suhendi, S.Si., M.Sc. Department of Physics Education, FPMIPA-UPI

ABSTRACT

The study entitled "Application of Learning Model Discovery (Discovery Learning) to Enhance Student Understanding of Physics Concepts Junior" is motivated by the limited understanding of the concept of junior high school students to science subjects-Physics in school to be a place of research. This study aims to determine the students' increased understanding of the concept after the implementation of Learning Model Discovery (Discovery Learning). The method used in this study is quasi experiment with the design of one group pretest-posttest design. The samples in this study were students of class VII A one junior high school in the town of Garut taken by purposive sampling technique. Retrieval of data in this study performed using test understanding of concepts in the form of questions and multiple-choice observation sheet implementation Learning Model Discovery (Discovery Learning). Data analysis was performed by calculating the normalized gain scores. The results of the analysis of data obtained by the average normalized gain of 0.608, so it can be concluded that an increased understanding of the physics concept junior high school students after the applicable Discovery Learning Model (Discovery Learning) middle category.

Keywords: Learning Model Discovery (Discovery Learning), Understanding Concepts.


(6)

DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Batasan Masalah... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Variabel Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional... 11

H. Populasi dan Sampel Penelitian ... 12

BAB IIMODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING) DAN PEMAHAMAN KONSEP FISIKA SISWA ... 13

A. Teori Belajar Penemuan ... 13


(7)

D. Hubungan Discovery Learning dengan Pemahaman Konsep Fisika

Siswa ... 25

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

A. Metode Penelitian ... 29

B. Desain Penelitian ... 30

C. Instrumen Penelitian... 31

D. Proses Pengembangan Instrumen ... 33

E. Teknik Pengumpulan Data ... 45

F. Prosedur dan Tahap Penelitian ... 46

G. Teknik Pengolahan Data Penelitian ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Pelaksanaan Penelitian dan Analisis Keterlaksanaan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) ... 52

B. Analisis Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN ... 68


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya adalah dalam hal melengkapi bahan ajar, meningkatkan kualitas pengajar, maupun melalui pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum ini yaitu pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Berkaitan dengan mata pelajaran fisika yang tergabung dalam rumpun IPA, KTSP menyatakan bahwa :

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitar. (Depdiknas, 2006 : 377)

Sehingga dengan kata lain proses pembelajaran dalam KTSP harus berpusat pada siswa (student-centered).


(9)

menjadi tuntutan dalam kurikulum satuan pendidikan yakni Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Tahap awal dalam penentuan KKM tersebut adalah terlebih dahulu guru menentukan KKM untuk setiap indikator pembelajaran berdasar pada kompleksitas materi, penerimaan siswa terhadap materi dan daya dukung yang ada pada satuan pendidikan tersebut; dari rata-rata KKM indikator tersebut akan diperoleh KKM kompetensi dasar; begitu seterusnya sampai pada akhirnya diperoleh KKM untuk satu mata pelajaran. Oleh karena itu guru di satuan pendidikan berhak menentukan standar ketuntasan untuk masing-masing mata pelajarannya. Atas dasar itulah maka siswa dinyatakan tuntas apabila nilai yang didapatkan siswa mencapai KKM yang telah ditentukan. Standar ketuntasan ini merupakan tolak ukur ketuntasan belajar, yang merupakan tahapan awal pelaksanaan penilaian prestasi belajar sebagai bagian dari langkah pengembangan KTSP.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa penyelenggaraan pembelajaran fisika dalam KTSP dimaksudkan sebagai wahana atau sarana untuk melatih para siswa agar dapat menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip fisika melalui pengembangan kompetensi yang dimilikinya berdasarkan fakta-fakta empiris di lapangan. Agar proses pembelajaran Fisika seperti demikian, maka pembelajaran Fisika harus dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga siswa diberi pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Hal inilah yang sampai saat ini menjadi persoalan dalam proses pembelajaran Fisika di satuan pendidikan. Kebanyakan pembelajaran Fisika sangat teoritik dan tidak terkait dengan


(10)

lingkungan dimana siswa berada. Hal ini diduga menyebabkan pemahaman konsep fisika yang diharapkan tidak tercapai secara maksimal. Mundilarto (2005) dalam Maulana, Irfan (2010) menyatakan bahwa:

Secara umum, rendahnya rata-rata perolehan nilai pada mata pelajaran fisika mengindikasikan proses pembelajarannya belum dapat berlangsung sebagai mana mestinya. Kondisi itu antara lain disebabkan konsep fisika selama ini lebih sering disampaikan guru kepada siswa sebagai fakta, bukan sebagai peristiwa atau gejala alam yang harus diamati, diukur, dan didiskusikan.

Kondisi rendahnya pemahaman konsep fisika siswa untuk mata pelajaran Fisika juga terjadi di salah satu sekolah yang ada di kota Garut. Peneliti telah melakukan studi pendahuluan di suatu SMP pada tanggal 8 September 2010. Studi pendahuluan ini dibuktikan dengan surat keterangan telah melakukan studi pendahuluan nomor 420/ SMPM/PMP/IV/2010 dan dapat dilihat pada lampiran G.1. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam studi pendahuluan adalah observasi, kuesioner, wawancara, tes pemahaman konsep dan studi dokumentasi. Dalam hal ini, observasi dilakukan untuk mengetahui kegiatan pembelajaran fisika yang terjadi, sedangkan kuesioner peneliti gunakan untuk mengetahui pendapat para siswa mengenai kegiatan pembelajaran fisika yang mereka biasa lakukan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kendala apa yang dirasakan guru selama pembelajaran. Tes pemahaman konsep dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep fisika siswa dengan cara memberikan beberapa soal pemahaman konsep. Adapun studi dokumentasi yang peneliti lakukan


(11)

kegiatan observasi, peneliti menggunakan instrumen berupa lembar observasi. Sedangkan untuk kuisioner, peneliti menggunakan instrumen berupa angket. Lembar angket, observasi, wawancara dan soal tes pemahaman konsep dapat dilihat pada bagian lampiran H.1.1, H.1.2, H.1.3 dan H.1.4.

Setelah dilakukan analisis terhadap data-data hasil studi pendahuluan tersebut diperoleh informasi sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penyebaran angket diperoleh informasi bahwa 53,13% siswa (responden) tidak menyukai fisika, 59,37% siswa (responden) belajar fisika hanya dengan menghapalkan rumus saja. Data analisis angket yang dimaksud dapat dilihat pada lampiran H.2.1.

2. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru Fisika diperoleh informasi bahwa pemahaman konsep fisika siswa untuk mata pelajaran Fisika masih belum sesuai harapan (masih rendah). Hal ini dibuktikan dengan perolehan nilai rata-rata ulangan harian Fisika salah satu kelas sebesar 54,18 dan sebanyak 52,18% dari keseluruhan siswa kelas VII yang ada di sekolah tersebut mendapatkan nilai ulangan harian Fisika di bawah KKM kompetensi dasar yang diujikan yaitu sebesar 65. Data nilai ulangan harian siswa dapat dilihat pada lampiran H.3. Selain itu pula, dari hasil wawancara ini diperoleh informasi bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep-konsep fisika yang kebanyakan bersifat abstrak. Kendala guru untuk melakukan eksperimen atau demonstrasi


(12)

adalah karena keterbatasan alat, waktu, biaya serta belum memiliki laboratorium sendiri.

3. Berdasarkan hasil tes pemahaman konsep diperoleh informasi bahwa dari 32 siswa yang mengikuti tes pemahaman konsep hanya 10 siswa yang mencapai nilai KKM. Dengan kata lain hanya 31,25 % dari seluruh siswa yang memenuhi KKM. Adapun nilai rata-rata siswa yang mengikuti tes adalah sebesar 52,81. Berdasarkan informasi tersebut dapat dikatakan bahwa pemahaman konsep fisika siswa masih rendah. Data analisis hasil tes pemahaman konsep dapat dilihat pada lampiran H.2.4.

4. Berdasarkan hasil observasi kelas diperoleh informasi bahwa proses pembelajaran yang dilakukan di kelas lebih sering didominasi oleh guru, dengan metode yang digunakan adalah metode ceramah. Guru lebih menekankan pada penyampaian materi pembelajaran secara utuh tanpa melalui pengolahan potensi yang ada pada diri siswa maupun yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan data dan analisis data hasil studi pendahuluan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti menyimpulkan bahwa pemahaman konsep fisika siswa pada mata pelajaran Fisika di sekolah tersebut juga masih dalam kategori rendah. Rendahnya pemahaman konsep fisika tersebut diduga karena proses pembelajaran yang dilaksanakan belum tepat. Kebanyakan metode belajar yang digunakan guru adalah ceramah. Proses pembelajaran seperti itu belum sesuai dengan proses pembelajaran yang disarankan pada


(13)

kurikulum KTSP yaitu pembelajaran yang mengembangkan kompetensi yang dimiliki oleh siswa atau berpusat pada siswa (student centred).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ternyata ada kaitan antara rendahnya pemahaman konsep fisika siswa dengan proses pembelajaran yang diterapkan. Untuk itu diperlukan model pembelajaran yang dapat membantu proses belajar siswa sesuai harapan KTSP sehingga pemahaman konsep fisika siswa dapat meningkat. Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu proses pembelajaran sesuai harapan KTSP dan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep fisika siswa adalah model pembelajaran penemuan (Discovery Learning).

Discovery learning adalah salah satu model dalam pengajaran teori kognitif dengan mengutamakan peran guru dalam menciptakan situasi belajar yang melibatkan siswa belajar secara aktif dan mandiri. Keunggulannya dengan model Discovery Learning siswa terlibat langsung dalam pembelajaran sehingga siswa dapat mengalami dan menemukan sendiri konsep-konsep fisika. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek belajar. Pada model Discovery Learning ini kegiatan pembelajarannya berpusat pada siswa (student-centered) karena kegiatannya lebih ditekankan pada proses mentalnya saja seperti mengamati, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Tugas guru pada model ini adalah memilih masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Tugas selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka pemecahan masalah. Guru hanya berperan sebagai


(14)

pembimbing dalam pembelajaran. Selanjutnya siswa yang berperan aktif dalam pembelajaran untuk menemukan dan memecahkan masalah yang telah diberikan.

Adapun beberapa keuntungan dari Discovery Learning menurut Jerome Bruner (Dahar, 1989:103) :

1. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya.

2. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.

3. Secara khusus belajar penemuan melatih ketrampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.

Penelitian tentang Discovery Learning ini juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Ali Gunay Balim (2009) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul :”The effects of Discovery Learning on Students’ success and Inquiry Learning Skills” menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok control dalam hal prestasi akademik baik dalam hal kognitif maupun afektifnya. Penelitian lainnya dilakukan oleh Aidawati (2009) dalam skripsinya yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika Siswa SMP, serta Dodi Siswanto (2001) dalam skripsinya Efektivitas Model Inquiry Dan Model Discovery Terhadap Prestasi


(15)

Belajar IPA-Fisika Siswa SLTP Pada Pokok Bahasan Tekanan, hasilnya terdapat peningkatan yang signifikan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis akan melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh model Discovery Learning terhadap pemahaman konsep siswa. Penelitian ini diberi judul :

PENERAPAN PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY

LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP

FISIKA SISWA SMP”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diajukan adalah :“Bagaimanakah peningkatan pemahaman konsep fisika siswa setelah diterapkan model pembelajaran penemuan (Discovery Learning)?

Agar rumusan masalah lebih terarah, maka dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peningkatan pemahaman konsep fisika siswa ditinjau dari aspek translasi setelah diterapkan model Discovery Learning?

2. Bagaimanakah peningkatan pemahaman konsep fisika siswa ditinjau dari aspek interpretasi setelah diterapkan model Discovery Learning?

3. Bagaimanakah peningkatan pemahaman konsep fisika siswa ditinjau dari aspek ekstrapolasi setelah diterapkan model Discovery Learning?


(16)

C.Batasan Masalah

Untuk memperjelas ruang lingkup masalah yang akan diteliti, maka perlu dijelaskan batasan masalah yang digunakan pada penelitian ini, yaitu:

Peningkatan yang dimaksud adalah meningkatnya pemahaman konsep siswa (yang meliputi kemampuan translasi, interpretasi dan ekstrapolasi) dilihat dari adanya perbedaan yang signifikan skor pretest dan posttest setelah diterapkan Discovery Learning pada tiap seri pembelajaran.

D.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep fisika siswa SMP setelah diterapkannya model pembelajaran penemuan (Discovery Learning).

Adapun tujuan khususnya yaitu :

1. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan pemahaman konsep fisika siswa ditinjau dari aspek translasi setelah diterapkan model Discovery Learning.

2. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan pemahaman konsep fisika siswa ditinjau dari aspek interpretasi setelah diterapkan model Discovery Learning.


(17)

3. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan pemahaman konsep fisika siswa ditinjau dari aspek ekstrapolasi setelah diterapkan model Discovery Learning.

E.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris tentang pengaruh penggunaan model Discovery Learning terhadap pemahaman konsep fisika siswa, yang nantinya dapat memperkaya hasil penelitian sejenis dan dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan, seperti guru, lembaga-lembaga pendidikan, para praktisi/pemerhati pendidikan, para peneliti dan lain-lain.

F. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas dan variabel terikat. Sugiono (2008: 61) menjelaskan bahwa “variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab berubahnya variabel terikat, sedangkan variabel terikat merupakan variabel yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas”. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran penemuan (Discovery Learning) dan variabel terikatnya adalah pemahaman konsep fisika siswa.


(18)

G.Definisi Operasional

Supaya tidak terjadi perbedaan persepsi mengenai definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, definisi operasional variabel penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Discovery Learning adalah salah satu model pembelajaran yang melibatkan berbagai proses mental siswa untuk menemukan suatu pengetahuan (konsep dan prinsip) dengan cara mengasimilasi berbagai pengetahuan (konsep dan prinsip) yang dimiliki siswa.

Bruner menyatakan bahwa belajar penemuan (Discovery Learning) merupakan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, berusaha untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang mneyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 1989:103). Penerapan Discovery Learning Amien (1987) dalam Zulkifli (2005) menggunakan tiga tahap yang diawali tahap diskusi, tahap proses, dan tahap pemecahan masalah. Untuk mengetahui bagaimana tercapainya penerapan model ini dengan benar maka dilihat dari keterlaksanaan langkah-langkah pembelajaran pada saat model pembelajaran ini diterapkan, yaitu dengan menggunakan lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran penemuan (Discovery Learning).

2. Kata pemahaman berasal dari kata dasar paham yang artinya pandai dan mengerti benar tentang suatu hal (kamus besar bahasa Indonesia tahun


(19)

pembuatan, cara memahami atau memahamkan (KKBI). Dalam hal ini pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman konsep fisika. Adapun pemahaman konsep yang dimaksud adalah pemahaman konsep menurut Bloom yang meliputi pemahaman translasi, interpretasi dan ekstrapolasi. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes pemahaman konsep berupa soal pilihan ganda yang diberikan dalam bentuk pretes dan postes.

H. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung maupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang dibatasi oleh suatu kriteria atau pembatasan tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di salah satu SMP di Garut tahun ajaran 2011/2012. Sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VIIA di SMP tersebut. Penentuan sampel ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan atau tujuan tertentu” (Arikunto, 2006: 140). Teknik sampling ini dilakukan karena kesulitan peneliti untuk melakukan sampling secara random di sekolah tempat penelitian karena pihak sekolah tidak mengizinkan formasi kelas yang telah terbentuk diacak untuk keperluan penelitian.


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian, desain penelitian, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, prosedur dan tahap penelitian serta teknik pengolahan data.

A. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana peningkatan pemahaman konsep fisika siswa setelah diterapkannya Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Oleh karena itu, terdapat sebuah variabel bebas berupa Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning), dan sebuah variabel terikat berupa pemahaman konsep fisika. Dalam penelitian ini penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) mampu meningkatkan pemahaman konsep fisika siswa. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tentu terdapat variabel lain yang juga dapat mempengaruhi pemahaman konsep fisika siswa, disamping penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengontrol variabel lain seperti ada siswa yang mengikuti les diluar jam sekolah yang mungkin dapat mempengaruhi pemahaman konsep fisika siswa. Oleh karena itu, metode yang paling cocok digunakan dalam penelitian ini


(21)

menggunakan seluruh subjek dalam kelompok belajar (intact group) untuk diberi perlakuan (treatment), bukan menggunakan subjek yang diambil secara acak.

Selain itu, pemilihan metode eksperimen semu (quasi eksperiment) karena penelitiannya dilaksanakan pada satu kelompok siswa (kelompok eksperimen) tanpa ada kelompok pembanding (kelompok kontrol). Hal ini dikarenakan peneliti tidak diperbolehkan untuk melakukan seleksi subjek secara acak dari tiap kelas untuk dijadikan satu kelompok, karena subjek telah terbentuk dalam satu kelas.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan bagaimana penelitian dilaksanakan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah one group pretest posttest design. Desain ini digunakan peneliti dengan alasan bahwa dalam desain one group pretest posttest design, pelaksanaan tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest) dilaksanakan pada waktu yang sama dengan proses perlakuan (treatment) sehingga meminimalisir adanya pengaruh dari variabel lain terhadap nilai hasil tes akhir. Alasan lainnya yaitu teknik sampling yang digunakan berupa teknik nonrandom sampling. Disamping itu penggunaan satu sampel tanpa adanya kelompok kontrol juga menjadi alasan peneliti memilih desain ini.


(22)

Dalam pelaksanaannya peneliti melakukan tiga kali pertemuan (treatment). Hal itu dilakukan karena materi pembelajarannya banyak, sehingga tidak cukup untuk disampaikan dalam satu kali pertemuan.

Tabel 3.1

Desain Penelitian One Group Pretest Posttest Design

Pretest (T) Treatment (X) Posttest (T’)

T1, T2, T3 X1, X2, X3 T1, T2, T3

Keterangan :

T1, T2, T3 : Pretest (tes awal) dan Postes (tes akhir) untuk seri 1, 2, dan 3 X1, X2, X3 : Treatment (perlakuan) merupakan pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang digunakan berupa instrumen tes dan instrumen nontes. Dan teknik analisis instrumennya meliputi validitas butir soal, reliabilitas, taraf kesukaran, serta daya pembedanya. Berikut ini penjelasan masing-masing instrumen penelitian tersebut beserta analisis instrumennya.


(23)

1. Instrumen Tes

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pemahaman konsep fisika berupa tes objektif yang dilaksanakan sebelum dan sesudah treatment diberikan. Instrumennya berupa soal-soal berbentuk pilihan ganda. Tes ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman konsep fisika siswa sebelum dan sesudah treatment diberikan. Instrumen tes yang digunakan untuk pretest dan posttest merupakan instrumen yang sama. Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada pengaruh perbedaan instrumen terhadap perubahan pemahaman konsep fisika yang terjadi.

Sebelum instrumen tes ini digunakan dalam pelaksanaan penelitian, terdapat beberapa tahapan yang dilakukan:

a. Pembuatan kisi-kisi instrumen

Langkah pertama yang dilakukan dalam penyusunan instrumen tes adalah membuat kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi ini disajikan dalam bentuk matriks yang memuat nomor soal, ranah/ jenjang kognitif (aspek pemahaman konsep), indikator soal, soal, serta kunci jawaban.

b. Judgement expert

Judgement expert ini merupakan salah satu langkah validasi instrumen berupa validasi isi dan validasi konstrak. Validasi isi berkaitan dengan relevansi setiap butir soal dengan materi pembelajaran yang disampaikan. Sedangkan validasi konstrak berkaitan dengan relevansi indikator kompetensi dengan soal. Dalam hal ini yang menjadi pen-judgement adalah dua orang dosen.


(24)

c. Uji coba instrumen

Instrumen yang telah di-judgement kemudian diujicobakan untuk mengetahui validitas, tingkat kesukaran, serta daya pembeda setiap butir soal, dan reliabilitas instrumen melalui kegiatan analisis hasil uji coba. d. Pembuatan keputusan

Setelah dilakukan analisis hasil uji coba, langkah terakhir adalah memberikan keputusan berkaitan dengan butir soal yang akan digunakan atau dibuang.

Secara keseluruhan instrumen yang dimaksud dapat dilihat pada lampiran B.1.

2. Instrumen Non-Tes

Instrumen non-tes yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran penemuan (Discovery Learning) yang dilaksanakan oleh observer. Hal yang diamati adalah kegiatan guru selama pembelajaran. Secara keseluruhan instrumen yang dimaksud dapat dilihat pada lampiran F.3.

D. Proses Pengembangan Instrumen

Proses pengembangan instrumen penelitian lebih banyak dilakukan terhadap instrumen tes. Sebelum instrumen tes digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu penulis mengujicobakan instrumen tersebut kepada siswa yang telah memperoleh materi yang akan diujicobakan. Data hasil uji coba


(25)

atau tidak digunakan dalam penelitian. Berikut dipaparkan analisis-analisis yang digunakan untuk mengetahui layak atau tidaknya instrumen tes penelitian.

a. Validitas Butir Soal

Validitas merupakan syarat yang terpenting dalam suatu alat evaluasi. Suatu teknik evaluasi dikatakan mempunyai validitas yang tinggi (disebut valid) jika teknik evaluasi atau tes itu dapat mengatur apa yang sebenarnya akan diukur (Purwanto, 2009 : 137). Secara garis besar ada dua macam validitas, yaitu validitas logis dan validitas empiris. Validitas logis untuk sebuah instrumen evaluasi menunjuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan hasil penalaran. Validitas logis ini dapat dicapai apabila instrumen disusun mengikuti sesuai ketentuan. Validitas logis terbagi menjadi dua, yaitu validitas isi dan validitas konstrak. Validitas isi menunjuk suatu kondisi sebuah instrumen yang disusun berdasarkan isi materi pelajaran yang dievaluasi. Validitas konstrak menunjuk pada suatu kondisi sebuah instrumen yang disusun berdasarkan konstrak (aspek-aspek kejiwaan) yang seharusnya dievaluasi.

Validitas empiris sebuah instrumen menunjuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid apabila sudah diuji dari pengalaman. Validitas empiris ada dua macam, yaitu concurrent


(26)

validity dan predictive validity. Sebuah tes dikatakan memiliki concurrent validity jika hasilnya sesuai dengan pengalaman. Sedangkan apabila sebuah tes mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dapat dikatakan tes tersebut memiliki predictive validity.

Uji validitas tes yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah uji validitas isi (Content Validity). Hal ini karena validitas isi mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang akan diberikan. Dengan kata lain, karena instrumen yang digunakan oleh peneliti disusun berdasarkan isi materi pelajaran tertentu yang dievaluasi maka untuk menguji kevalidan instrumen tersebut digunakanlah validitas isi. Untuk mengetahui validitas isi tes, dilakukan judgement terhadap butir-butir soal yang dilakukan oleh dua orang dosen.

Sebuah item butir soal dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada item menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata lain, sebuah item butir soal memiliki validitas yang tinggi jika skor pada item mempunyai kesejajaran dengan skor total. Kesejajaran ini dapat diartikan dengan korelasi. Dengan demikian, untuk mengetahui validitas yang dihubungkan dengan kriteria digunakan uji statistik, yakni teknik korelasi Pearson Product Moment, yaitu :

 

 

N XY X Y


(27)

Keterangan:

xy

r : Koefisien korelasi antara variabel X dan Y, dua variabel yang dikorelasikan.

N : Jumlah siswa uji coba (testee) X : Skor tiap item

Y : Skor total tiap butir soal

(Arifin, 2009) Nilai koefisien korelasi yang diperoleh diinterpretasikan dengan melihat tabel interpretasi nilai koefisien product moment berikut:

Tabel 3.2 Interpretasi Validitas

Koefisien Korelasi Kriteria validitas 0,80 < rxy  1,00 sangat tinggi 0,60 < rxy  0,80 Tinggi 0,40 < rxy  0,60 Cukup 0,20 < rxy  0,40 Rendah

0,00 < rxy  0,20 sangat rendah

(Arifin, 2009)


(28)

Selain validitas dari butir soal, faktor lain yang turut menentukan kualitas suatu tes adalah tingkat kesukaran atau indeks kesukaran dari setiap butir soalnya. “Tingkat kesukaran atau indeks kesukaran (difficulty indeks) adalah bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya sesuatu

soal” Arikunto (2009: 207). Tingkat kesukaran ini dapat juga disebut

sebagai taraf kemudahan (facility level), seperti yang di kemukakan oleh Munaf (2001: 62) “Taraf kemudahan suatu butir soal ialah proporsi dari keseluruhan siswa yang menjawab benar pada butir soal tersebut”. Tingkat kesukaran dinyatakan dalam bentuk indeks, semakin besar indeks tingkat kesukaran suatu butir soal semakin mudah butir soal tersebut. Tingkat kesukaran butir soal atau disebut juga tingkat kemudahan butir soal pada penelitian ini ditentukan dengan rumus berikut:

JS B P

Dengan:

P = Taraf kesukaran B = Jumlah jawaban benar JS = Jumlah peserta tes

(Arikunto, 2009) Nilai indeks tingkat kesukaran yang diperoleh dari perhitungan diatas, diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria tingkat kesukaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3.


(29)

Tabel 3.3

Interpretasi Indeks Tingkat Kesukaran Butir Soal

Indeks

Kriteria Tingkat Kesukaran

0,00 – 0,29 Sukar

0,30 – 0,69 Sedang

0,70 – 1,00 Mudah

(Arikunto, 2009)

c. Daya Pembeda Butir Soal

Faktor lain yang turut menentukan kualitas instrumen tes adalah daya pembeda butir soal. “Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang tidak pandai (berkemampuan rendah)” Arikunto (2009: 211). Sejalan dengan itu, Munaf (2001: 63) mengemukakan bahwa “Daya pembeda (discriminating power) suatu butir soal adalah bagaimana kemampuan butir soal itu untuk membedakan siswa yang termasuk kelompok tinggi (upper group) dengan siswa yang termasuk kelompok rendah (lower group)”. Dengan demikian, butir soal yang memiliki daya pembeda yang baik ialah butir soal yang dapat dijawab dengan benar oleh


(30)

siswa yang pandai dan tidak dapat dijawab dengan benar oleh siswa yang kurang pandai.

Besarnya indeks daya pembeda butir soal pada penelitian ini ditentukan dengan rumus berikut:

Daya pembeda (DP)

B B A A J B J B   Dengan :

DP = Indeks daya pembeda

A

B = Jumlah kelompok atas yang menjawab benar

A

J = Jumlah peserta tes kelompok atas

B

B = Jumlah kelompok bawah yang menjawab benar

B

J = Jumlah peserta tes kelompok bawah

(Arikunto, 2009) Nilai indeks daya pembeda yang diperoleh dari perhitungan diatas, diinterpretasikan dengan menggunakan tabel kriteria daya pembeda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Interpretasi Daya Pembeda Butir Soal Indeks Daya Pembeda Kriteria Daya Pembeda

Negatif Sangat buruk, harus dibuang

0,00<DP≤0,20 Buruk (poor)


(31)

0,40<DP≤0,70 Baik (good)

0,70<DP≤1,00 Baik sekali (excellent)

(Arikunto, 2009)

d. Reliabilitas Perangkat Tes

Selain validitas butir soal, tingkat kesukaran butir soal dan daya pembeda butir soal yang telah dijalaskan terlebih dahulu, faktor lain yang menentukan kualitas instrumen tes adalah reliabilitas perangkat tes.

“Reliabilitas adalah tingkat atau derajat konsistensi dari suatu instrumen”

Arifin (2009: 258). Lebih lanjut Arikunto (2006: 178) mengemukakan bahwa:

Reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument itu sudah baik. Instrument yang baik tidak akan bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Instrument yang sudah dapat dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Apabila datanya memang benar sesuai dengan kenyataannya, maka berapa kalipun diambil tetap akan sama.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa reliabilitas tes adalah tingkat konsistensi suatu tes, yaitu sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang konsisten. Untuk mengetahui reliabilitas perangkat tes bentuk pilihan ganda untuk instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan metode K-R 20 dengan rumus berikut:


(32)

∑ Dengan :

r11 = koefisien reliabilitas yang sudah disesuaikan p = proporsi subjek yang menjawab benar

q = proporsi subjek yang menjawab salah(q = 1 - p ) Σpq = jumlah hasil perkalian antara p dan q

n = banyaknya item

S = standar deviasi dari tes

(Arikunto, 2009) Nilai reliabilitas perangkat tes yang diperoleh dari perhitungan diatas diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria reliabilitas tes seperti yang ditunjukan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Interpretasi Reliabilitas Tes Koefisien

Korelasi

Kriteria reliabilitas

0,80 < r  1,00 Sangat tinggi 0,60 < r  0,80 Tinggi 0,40 < r  0,60 Cukup 0,20 < r  0,40 Rendah 0,00 < r  0,20 Sangat rendah


(33)

Berdasarkan analisis-analisis yang telah dipaparkan sebelumnya, maka sebelum instrumen tersebut dipakai, peneliti telah melakukan uji coba soal pada tanggal 26 Januari 2012. Uji coba instrumen dilakukan pada siswa yang memiliki karakteristik hampir sama dengan siswa yang dijadikan sampel penelitian. Dengan alasan itu, instrumen diujicobakan pada kelas VIII di sekolah yang sama yang sudah mendapatkan materi yang akan dijadikan materi penelitian. Instrumen tes yang diujicobakan berupa 42 soal pilihan ganda yang terdiri dari 14 soal untuk tes pertemuam ke-1, 14 soal untuk tes pertemuan ke-2, dan 14 soal tes untuk pertemuan ke-3.

Berdasarkan hasil uji coba instrumen tersebut diperoleh data skor siswa (data terdapat pada lampiran B.2). Data hasil uji coba instrumen tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui kriteria masing-masing butir soal yang telah diujikan. Berikut ini adalah rekapitulasi mengenai validitas butir soal, daya pembeda butir soal, tingkat kesukaran butir soal dan reliabilitas instrumen secara keseluruhan.

Tabel 3.6

Rekapitulasi Validitas Butir Soal, Daya Pembeda Butir Soal, Tingkat Kesukaran Butir Soal dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

No Validitas Daya Beda

Tingkat

Kesukaran Reliabilitas KET

Nilai Katagori Nilai Katagori Nilai Katagori Nilai Katagori

1 0.370 Rendah 0.267 Sedang 0.733 Mudah 0.758 Tingggi dipakai

2 0.545 Cukup 0.533 Baik 0.667 Sedang dipakai

3 0.687 Tinggi 0.467 Baik 0.233 Sukar dipakai

4 0.405 Rendah 0.133 Buruk 0.667 Sedang dibuang

5 0.536 Cukup 0.467 Baik 0.367 Sedang dipakai

6 0.194

Sangat


(34)

No Validitas Daya Beda

Tingkat

Kesukaran Reliabilitas KET

Nilai Katagori Nilai Katagori Nilai Katagori Nilai Katagori

7 0.711 Tinggi 0.467 Baik 0.433 Sedang dipakai

8 0.527 Cukup 0.467 Baik 0.300 Sedang dipakai

9 0.513 Cukup 0.467 Baik 0.367 Sedang dipakai

10 0.459 Cukup 0.200 Buruk 0.767 Mudah dipakai

11 0.011

Sangat

Rendah 0.133 Buruk 0.200 Sukar dibuang

12 0.668 Tinggi 0.600 Baik 0.567 Sedang dipakai

13 0.516 Cukup 0.133 Buruk 0.867 Mudah dipakai

14 0.242 Rendah 0.200 Buruk 0.633 Sedang dibuang

15 0.693 Tinggi 0.600 Baik 0.700 Mudah 0.873

Sangat

Tinggi dipakai

16 0.733 Tinggi 0.667 Baik 0.600 Sedang dipakai

17 0.170

Sangat

Rendah 0.133 Buruk 0.933 Mudah dibuang

18 0.619 Tinggi 0.400 Sedang 0.200 Sukar dibuang

19 0.543 Cukup 0.533 Baik 0.533 Sedang dipakai

20 0.533 Cukup 0.600 Baik 0.367 Sedang dipakai

21 0.683 Tinggi 0.600 Baik 0.367 Sedang dipakai

22 0.644 Tinggi 0.533 Baik 0.600 Sedang dipakai

23 0.439 Cukup 0.333 Sedang 0.633 Sedang dipakai

24 0.487 Cukup 0.333 Sedang 0.300 Sedang dipakai

25 0.375 Rendah 0.200 Buruk 0.367 Sedang dibuang

26 0.549 Cukup 0.400 Sedang 0.333 Sedang dipakai

27 0.683 Tinggi 0.667 Baik 0.533 Sedang dipakai

28 0.523 Cukup 0.267 Sedang 0.467 Sedang dibuang

29 0.366 Rendah 0.267 Sedang 0.533 Sedang 0.728 Tinggi dipakai

30 0.466 Cukup 0.267 Sedang 0.533 Sedang dipakai

31 0.639 Tinggi 0.467 Baik 0.433 Sedang dipakai

32 0.157

Sangat

Rendah 0.133 Buruk 0.467 Sedang dibuang

33 0.500 Cukup 0.400 Sedang 0.400 Sedang dipakai

34 0.792 Tinggi 0.533 Baik 0.600 Sedang dipakai

35 0.298 Rendah 0.133 Buruk 0.667 Sedang dibuang

36 0.707 Tinggi 0.600 Baik 0.300 Sedang dipakai

37 0.748 Tinggi 0.667 Baik 0.533 Sedang dipakai

38 0.533 Cukup 0.533 Baik 0.733 Mudah dipakai

39 0.362 Rendah 0.467 Baik 0.567 Sedang dibuang

40 0.547 Cukup 0.600 Baik 0.633 Sedang dipakai

41 0.265 Rendah 0.000 Buruk 0.533 Sedang dibuang

42 0.579 Cukup 0.400 Sedang 0.400 Sedang dipakai


(35)

mempertimbangkan hasil uji coba tersebut, penulis memilih butir soal yang layak digunakan dalam penelitian. Dari 42 butir soal yang diujicobakan ternyata hanya 30 butir soal yang memiliki kriteria yang layak untuk dijadikan instrumen penelitian. Soal-soal yang dinyatakan layak menjadi instrumen penelitian ini dibagi kedalam tiga pertemuan pembelajaran yaitu pertemuan ke-1 sebanyak 10 butir soal (butir soal no: 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 12 dan 13); pertemuan ke-2 sebanyak 10 butir soal (butir soal no: 15, 16, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26 dan 27); dan pertemuan ke-3 sebanyak 10 butir soal (butir soal no: 29, 30, 31, 33, 34, 36, 37, 38, 40 dan 42). Perhitungan validitas butir soal, daya pembeda butir soal, tingkat kesukaran butir soal, dan reliabilitas instrumen selengkapnya dapat dilihat pada lampiran B.3. Sedangkan soal-soal yang telah dirancang kembali untuk penelitian dapat dilihat pada lampiran C.2.

Berdasarkan hasil analisis pada lampiran B.3, instrumen tes yang akan digunakan telah disusun kembali dan dikelompokkan kedalam tiga aspek yaitu aspek translasi, interpretasi, dan ekstrapolasi. Hal ini bertujuan untuk keperluan analisis peningkatan pemahaman konsep tiap aspek berdasarkan taksonomi Bloom. Adapun distribusi soal tiap aspek tersebut dapat di lihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7

Distribusi Soal Pemahaman Konsep Aspek

Pemahaman (C2) Pertemuan Nomor Soal Jumlah Soal


(36)

Aspek

Pemahaman (C2) Pertemuan Nomor Soal Jumlah Soal

2 15, 16, 21 3 29, 31, 38 Interpretasi

1 5, 7, 8, 12

12 2 19, 22, 23, 26

3 33, 34, 37, 40

Ekstrapolasi

1 2, 3, 9

9 2 20, 24, 27

3 30, 36, 42

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang dilakukan untuk memperoleh data yang mendukung pencapaian tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan ialah tes, wawancara dan angket.

a. Tes

Menurut Arikuto (2009), “tes adalah penilaian yang komprehensif terhadap seorang individu atau keseluruhan usaha evaluasi program”. Dalam penelitian ini, instrumen tes yang digunakan adalah tes tertulis (paper and pencil test) yaitu tes pemahaman konsep berupa soal pilihan ganda yang dibuat berdasarkan indikator pemahaman (C2). Butir soal yang dimaksud dapat dilihat pada lampiran C.1.


(37)

Kegiatan wawancara dilakukan sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan. Kegiatan wawancara ini ditujukan untuk guru mata pelajaran fisika yang berada di tempat penelitian. Adapun maksud dan tujuan dari kegiatan wawancara ini ialah untuk mengetahui beberapa hal diantaranya: kondisi siswa di sekolah tempat penelitian, nilai standar kelulusan/KKM yang ditetapkan oleh sekolah, kegiatan pembelajaran yang selama ini dilaksanakan oleh guru dan siswa serta kondisi sekolah seperti sarana dan prasarana yang tersedia. Format wawancara secara lebih rinci dapat dilihat pada lampiran H.1.3.

c. Angket

Pengumpulan data dengan teknik angket dilakukan ketika studi pendahuluan. Angket disebarkan kepada siswa guna memperkuat data studi pendahuluan yang telah diperoleh sebelumnya. Angket untuk kegiatan studi pendahuluan ini dapat dilihat pada lampiran H.1.1.

d. Lembar Observasi

Pengumpulan data dengan menggunakan lembar observasi dilakukan ketika model pembelajaran diterapkan. Lembar observasi ini dibuat dalam bentuk isian yang harus dijawab “ya” atau “tidak” dan disertai dengan alasan jawaban tersebut. Lembar observasi ini digunakan untuk mengetahui terlaksana atau tidaknya model pembelajaran penemuan (Discovery Learning). Lembar observasi ini diberikan kepada observer yang terdiri dari guru mata pelajaran fisika di tempat penelitian dan


(38)

rekanan mahasiswa. Lembar observasi ini diisi ketika pembelajaran di dalam kelas sedang berlangsung. Secara keseluruhan lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran penemuan (Discovery Learning) ini dapat dilihat pada lampiran F.1.

F. Prosedur dan Tahap Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

a. Tahap Persiapan

1) Melakukan studi lapangan / studi pendahuluan. 2) Merumuskan masalah penelitian.

3) Melakukan studi literatur. 4) Menyusun proposal penelitian.

5) Menghubungi pembimbing untuk proses bimbingan.

6) Membuat dan menyusun perangkat pembelajaran serta instrumen penelitian.

7) Mengkonsultasikan dan judgment instrumen penelitian kepada dua dosen dan guru mata pelajaran fisika yang berada di sekolah tempat penelitian akan dilaksanakan.

8) Mengujicobakan instrumen penelitian yang telah dijudgment.

9) Menganalisis hasil uji coba instrumen penelitian, kemudian menentukan soal yang layak untuk dijadikan insrumen penelitian.


(39)

Muhammad Ibrahim, 2013

Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1) Memberikan tes awal (pretest) kepada sampel penelitian untuk mengetahui kemampuan awal siswa.

2) Memberikan perlakuan kepada sampel berupa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

3) Memberikan tes akhir (posttest) kepada sampel penelitian untuk mengetahui prestasi belajar siswa.

c. Tahap Akhir

1) Mengolah dan menganalisis data penelitian

2) Memberikan kesimpulan dan saran berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data.

Studi Lapangan Merumuskan

Masalah

Studi Literatur

Perangkat Pembelajaran

Pengembangan Instrumen Penelitian

Validasi Instrumen


(40)

G. Teknik Pengolahan Data Penelitian

1. Penskoran

Skor yang diberikan untuk jawaban benar adalah 1, sedangkan untuk jawaban salah adalah 0. Skor total dihitung dari banyaknya jawaban yang cocok dengan kunci jawaban.

2. Menghitung rata-rata (mean) skor pretest dan posttest

Nilai rata-rata (mean) dari skor tes baik pretest maupun posttest dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

̅

Dengan :

̅ = nilai rata-rata skor pretest maupun posttest X = skor tes yang diperoleh setiap siswa

N = banyaknya data

3. Menghitung rerata skor gain yang dinormalisasi.

Setelah data pretest dan posttest diperoleh, data tersebut diolah untuk menentukan rerata skor gain yang dinormalisasi. Besarnya skor gain yang dinormalisasi ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

Dengan:

<g> = Rerata skor gain yang dinormalisasi Sf = Skor posttest


(41)

Skor gain yang dinormalisasi ini diinterpretasikan untuk menyatakan kategori peningkatan pemahaman konsep yang terjadi untuk setiap pertemuannya. Kriteria yang digunakan diadopsi dari Richard R. Hake (1998).

Tabel 3.8

Kategori Skor Gain yang Dinormalisasi

Rentang <g> Kategori

0.7 < (<g>)≤1,0 tinggi 0.3 < (<g>) ≤0.7 sedang

(<g>) ≤ 0.3 rendah

(Hake : 1998) 4. Analisis Keterlaksanaan Model Pembelajaran

Keterlaksanaan model yang dikembangkan dari hasil lembar observasi yang telah diisi oleh observer. Setiap indikator pada fase pembelajaran muncul terlaksana/muncul diberikan skor satu, dan jika tidak muncul diberikan skor nol. Data yang diperoleh dari lembar observasi diolah dari banyaknya skor dari masing-masing observer dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk persentase. Adapun persentase data lembar observasi tersebut dihitung dengan menggunakan rumus:


(42)

100% kegiatan

a terlaksan yang

kegiatan model

naan keterlaksa

(%)  

Setelah data dari lembar observasi tersebut diolah, kemudian dinterpretasikan dengan mengadopsi kriteria persentase angket seperti pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Kriteria Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran

KM (%) Kriteria

KM = 0 Tak satu kegiatan pun terlaksana 0 < KM < 25 Sebagian kecil kegiatan terlaksana 25 < KM < 50 Hampir setengah kegiatan terlaksana

KM = 50 Setengah kegiatan terlaksana 50 < KM < 75 Sebagian besar kegiatan terlaksana 75 < KM < 100 Hampir seluruh kegiatan terlaksana

KM = 100 Seluruh kegiatan terlaksana

(Budiarti dalam Yudiana: 2009) Keterangan:


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, secara umum dapat dikemukakan kesimpulan yang diperoleh dan saran yang mudah-mudahan bermanfaat seperti yang dikemukakan berikut ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas VII suatu SMP di kota Garut mengenai “Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP” dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan pemahaman konsep siswa setelah diterapkan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Peningkatan pemahaman konsepnya berada pada kategori sedang dengan rata-rata gain yang dinormalisasi sebesar 0,608.

Adapun peningkatan pemahaman konsep pada tiap aspeknya antara lain :

1. Pada aspek translasi terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata gain yang diormalisasi sebesar 0,587 berada pada kategori sedang.

2. Pada aspek interpretasi terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata gain yang dinormalisasi sebesar 0,634 berada pada kategori sedang.

3. Pada aspek ekstrapolasi terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata gain yang dinormalisasi sebesar 0,537 berada pada kategori sedang.


(44)

B. Saran

Berdasarkan keseluruhan kegiatan penelitian yang telah dilakukan, diajukan beberapa saran, diantaranya:

1. Kepada para guru disarankan untuk menggunakan Model Pembelajaran Penemuan ( Discovery Learning ) sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa SMP.

2. Karena pada penelitian ini hanya meninjau dari jenjang kognitif saja, maka kepada peneliti lainnya disarankan untuk melakukan penelitian pengaruh penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) ditinjau dari jenjang yang lainnya seperti pada jenjang afektif maupun psikomotornya sehingga dapat dilihat konsistensi pengaruh penerapan pembelajaran penemuan (Discovery Learning) dalam kegiatan pembelajaran.

3. Karena keterbatasan alat eksperimen, siswa melakukan eksperimen secara bergantian. Hal ini menyebabkan ketidakefektifan waktu eksperimen siswa seperti yang terjadi dalam pertemuan ke-2 dan pertemuan ke-3. Oleh karena itu alangkah baiknya apabila setiap kelompok mendapat alat eksperimen masing-masing.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Aam. (2011). Metode Pembelajaran Penemuan(Discovery). [Online]. Tersedia : http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2113721-metode-pembelajaran-penemuan-discovery.html [17 Desember 2011]

Adis, Susila. (2003). Perbandingan Prestasi Belajar IPA-FISIKA Siswa SMP dengan Metode Discovery-Inquiry dan Metode Reseptip. Skripsi UPI : Tidak diterbitkan.

Aidawati. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry Untuk Meningkan Penguasaan Konsep Fisika Siswa SMP. Skripsi S1 FPMIPA Jurusan Pendidikan Fisika UPI : Tidak diterbitkan.

Anonim. (2005, 19 September). Pembelajaran Fisika Belum Optimal. Republika

[Online], 1 halaman. Tersedia:

http://www.fisikanet.lipi.go.id/utamacgi?artikel&1174823769&20. [10 April 2010]

Arifin, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Balim, Ali Gunay. (2009). The Effect of discovery Learning on Students Success and Inquiry Learning Skills. [Online] Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2113721-the-effect- of-discovery-learning-on-students-success-and-inquiry-learning-skills.html [17 Desember 2010]


(46)

Bloom, Benjamin S. et al. (1979). Taxonomy of Educational Objectives Book I Cognitive Domain. London: Longman Group LTD.

Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

David Sastra, I Putu., Trisna Yanti, Ni Putu dan Ari Novi Mayuni, Ni Nyoman. (2009). Jenis- jenis Penelitian. Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA universitas Pendidikan Ganesha Singaraja : Tidak diterbitkan.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

Dharma, Surya. (2008). Strategi Pembelajaran MIPA. Jakarta : Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.

Dzaki, M.F. (2009). Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Tersedia : [Online] http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/model-pembelajaran-penemuan-terbimbing.html [16 Maret 2011]

Hake, Richard. R. (1998). Interactive Engagement Methods in Introductory

Mechanic Course. Tersedia [online]:

http://www.Physics.indana/edu/sad/IEM_2bfdf. [6 Februari 2010] Kanginan, M. (2006). IPA Fisika untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga

Maulana, Irfan. (2010). Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika siswa SMA. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Munaf, Syambasri. (2001). Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung : Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.


(47)

Ozek, Neil & Selahattin. (2005). ”Use of J. Bruner’s Learning Theory in a Physical Experimental Actifity”. J. Phys. Tchr. Educ. Online 2 (3). Februari 2005. Illinois State University Physics Dept.

Pamungkas, Dudi. (2009). Teori Belajar yang Melandasi Proses Pembelajaran. [Online] Tersedia: http://www.sman1-ciamis.com/berita-dan- artikel/74-artikel-lepas/218-teori-belajar-yang-melandasi-proses-pembelajaran.html [27 Juli 2010]

Panggabean, L. P. (2001). Statistika Dasar. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Purwanto, M.Ngalim. (2009). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.

Pusat Penelitian Kebijakan Dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Metode Penelitian Pengembangan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Sagala, Syaiful. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Siswanto, Dodi. (2001). Efektivitas Model Inquiry Dan Model Discovery

Terhadap Prestasi Belajar IPA-Fisika Siswa SLTP Pada Pokok Bahasan Tekanan. Skripsi S1 FPMIPA Jurusan Pendidikan Fisika UPI: Tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tim Penyusun Universitas Pendidikan Indonesia. (2006). Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Bandung: Universitas pendidikan Indonesia.


(48)

Wahyudi. (2008). Discovery Learning. [Online] Tersedia : http://wahyudiuksw.blogspot.com/2008/10/discovery-learning.html [17 April 2010]

Yudiana, H. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Fisika Berbasis Fenomena untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Siswa SMA. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Zahroh, Ati Novita. (2009). Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses Dalam

Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Pada Pokok Bahasan Pembiasan Cahaya. Skripsi S1 FPMIPA Jurusan Pendidikan Fisika UPI : Tidak diterbitkan.

Zulkifli. (2005). Pembelajaran Pemantulan cahaya Berbasis Penemuan Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Penalaran fisika Siswa SMA. Tesis Program Pascasarjana UPI : Tidak diterbitkan.


(1)

Muhammad Ibrahim, 2013

Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, secara umum dapat dikemukakan kesimpulan yang diperoleh dan saran yang mudah-mudahan bermanfaat seperti yang dikemukakan berikut ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas VII suatu SMP di kota Garut mengenai “Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP” dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan pemahaman konsep siswa setelah diterapkan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Peningkatan pemahaman konsepnya berada pada kategori sedang dengan rata-rata gain yang dinormalisasi sebesar 0,608.

Adapun peningkatan pemahaman konsep pada tiap aspeknya antara lain :

1. Pada aspek translasi terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata gain yang diormalisasi sebesar 0,587 berada pada kategori sedang.

2. Pada aspek interpretasi terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata gain yang dinormalisasi sebesar 0,634 berada pada kategori sedang.

3. Pada aspek ekstrapolasi terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata gain yang dinormalisasi sebesar 0,537 berada pada kategori sedang.


(2)

63

Muhammad Ibrahim, 2013

Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

B. Saran

Berdasarkan keseluruhan kegiatan penelitian yang telah dilakukan, diajukan beberapa saran, diantaranya:

1. Kepada para guru disarankan untuk menggunakan Model Pembelajaran Penemuan ( Discovery Learning ) sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa SMP.

2. Karena pada penelitian ini hanya meninjau dari jenjang kognitif saja, maka kepada peneliti lainnya disarankan untuk melakukan penelitian pengaruh penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) ditinjau dari jenjang yang lainnya seperti pada jenjang afektif maupun psikomotornya sehingga dapat dilihat konsistensi pengaruh penerapan pembelajaran penemuan (Discovery Learning) dalam kegiatan pembelajaran.

3. Karena keterbatasan alat eksperimen, siswa melakukan eksperimen secara bergantian. Hal ini menyebabkan ketidakefektifan waktu eksperimen siswa seperti yang terjadi dalam pertemuan ke-2 dan pertemuan ke-3. Oleh karena itu alangkah baiknya apabila setiap kelompok mendapat alat eksperimen masing-masing.


(3)

Muhammad Ibrahim, 2013

Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Aam. (2011). Metode Pembelajaran Penemuan(Discovery). [Online]. Tersedia : http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2113721-metode-pembelajaran-penemuan-discovery.html [17 Desember 2011]

Adis, Susila. (2003). Perbandingan Prestasi Belajar IPA-FISIKA Siswa SMP dengan Metode Discovery-Inquiry dan Metode Reseptip. Skripsi UPI : Tidak diterbitkan.

Aidawati. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry Untuk Meningkan Penguasaan Konsep Fisika Siswa SMP. Skripsi S1 FPMIPA Jurusan Pendidikan Fisika UPI : Tidak diterbitkan.

Anonim. (2005, 19 September). Pembelajaran Fisika Belum Optimal. Republika

[Online], 1 halaman. Tersedia:

http://www.fisikanet.lipi.go.id/utamacgi?artikel&1174823769&20. [10 April 2010]

Arifin, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Balim, Ali Gunay. (2009). The Effect of discovery Learning on Students Success and Inquiry Learning Skills. [Online] Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2113721-the-effect- of-discovery-learning-on-students-success-and-inquiry-learning-skills.html [17 Desember 2010]


(4)

65

Muhammad Ibrahim, 2013

Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Bloom, Benjamin S. et al. (1979). Taxonomy of Educational Objectives Book I Cognitive Domain. London: Longman Group LTD.

Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

David Sastra, I Putu., Trisna Yanti, Ni Putu dan Ari Novi Mayuni, Ni Nyoman. (2009). Jenis- jenis Penelitian. Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA universitas Pendidikan Ganesha Singaraja : Tidak diterbitkan.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

Dharma, Surya. (2008). Strategi Pembelajaran MIPA. Jakarta : Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.

Dzaki, M.F. (2009). Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Tersedia : [Online] http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/model-pembelajaran-penemuan-terbimbing.html [16 Maret 2011]

Hake, Richard. R. (1998). Interactive Engagement Methods in Introductory

Mechanic Course. Tersedia [online]:

http://www.Physics.indana/edu/sad/IEM_2bfdf. [6 Februari 2010]

Kanginan, M. (2006). IPA Fisika untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga

Maulana, Irfan. (2010). Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika siswa SMA. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Munaf, Syambasri. (2001). Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung : Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.


(5)

Muhammad Ibrahim, 2013

Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Ozek, Neil & Selahattin. (2005). ”Use of J. Bruner’s Learning Theory in a Physical Experimental Actifity”. J. Phys. Tchr. Educ. Online 2 (3). Februari 2005. Illinois State University Physics Dept.

Pamungkas, Dudi. (2009). Teori Belajar yang Melandasi Proses Pembelajaran. [Online] Tersedia: http://www.sman1-ciamis.com/berita-dan- artikel/74-artikel-lepas/218-teori-belajar-yang-melandasi-proses-pembelajaran.html [27 Juli 2010]

Panggabean, L. P. (2001). Statistika Dasar. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Purwanto, M.Ngalim. (2009). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.

Pusat Penelitian Kebijakan Dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Metode Penelitian Pengembangan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Sagala, Syaiful. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Siswanto, Dodi. (2001). Efektivitas Model Inquiry Dan Model Discovery

Terhadap Prestasi Belajar IPA-Fisika Siswa SLTP Pada Pokok Bahasan Tekanan. Skripsi S1 FPMIPA Jurusan Pendidikan Fisika UPI: Tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tim Penyusun Universitas Pendidikan Indonesia. (2006). Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Bandung: Universitas pendidikan Indonesia.


(6)

67

Muhammad Ibrahim, 2013

Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) Untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Wahyudi. (2008). Discovery Learning. [Online] Tersedia : http://wahyudiuksw.blogspot.com/2008/10/discovery-learning.html [17 April 2010]

Yudiana, H. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Fisika Berbasis Fenomena untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Siswa SMA. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Zahroh, Ati Novita. (2009). Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Pada Pokok Bahasan Pembiasan Cahaya. Skripsi S1 FPMIPA Jurusan Pendidikan Fisika UPI : Tidak diterbitkan.

Zulkifli. (2005). Pembelajaran Pemantulan cahaya Berbasis Penemuan Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Penalaran fisika Siswa SMA. Tesis Program Pascasarjana UPI : Tidak diterbitkan.