Gaya Komunikasi Anggota DPRD (Studi Kasus Gaya Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anggota DPRD Perempuan di Provinsi Sumatera Utara)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Konteks Masalah
Begitu banyak permasalahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia

khususnya yang menimpa kaum perempuan seperti kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, perdagangan manusia, eksploitasi,
hingga kurangnya perlindungan hukum bagi perempuan hanyalah segelintir
permasalahan yang ada. Menurut Catatan Akhir Tahun 2014 terdapat 293.220
kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen
dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan
mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. bentuk-bentuk kekerasan meliputi
penelantaran tanggung jawab, penganiayaan jasmani dan psikis, serta pernikahan
paksa ataupun pernikahan dini (Kompas, 27 April 2015).
Data

Kepolisian


Negara

Republik

Indonesia

tahun

2011-2013

menunjukkan, ada total 509 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) .
Mayoritas, 213 kasus adalah eksploitasi ketenagakerjaan, 205 adalah eksploitasi
seksual, 31 kasus bekerja tidak sesuai dengan perjanjian, dan 5 kasus bayi yang
diperjualbelikan. Data menyebutkan korban terbanyak adalah perempuan dewasa
berjumlah 418 orang, disusul dengan 218 orang anak perempuan. Para perempuan
umumnya mengalami eksploitasi ketenagakerjaan serta eksploitasi seksual
(Kompas, 24 Agustus 2015). Permasalahan ini menandakan bahwa perlu ada
perhatian lebih untuk memperjuangkan ataupun melindungi hak-hak perempuan.
Ironis memang disaat para perempuan mengharapkan perwakilan mereka
di DPR untuk mendengarkan aspirasi mereka, justru kaum perempuan yang duduk

di parlemen masih tergolong minim. Tidak dipungkiri hingga saat ini, lembaga
legislatif di Indonesia (tingkat Provinsi, maupun Kabupaten/Kota) masih
didominasi kaum pria. Lebih dari sepuluh tahun setelah reformasi 1998, Indonesia
banyak mengalami perubahan dalam berbagai bidang, sosial-politik maupun
ekonomi-budaya. Masalah perubahan tersebut, apakah bergerak kearah yang lebih
baik bagi masyarakat, atau sebaliknya adalah perdebatan yang hampir setiap hari

1

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

2

kita dengar, baca, dan lihat. Tapi satu hal yang pasti, dalam dunia sosialpolitik, isu perempuan dalam kaitannya dengan peran dan posisi mereka dalam
politik, sangat mengemuka.
Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi
keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif maupun legislatif
sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik,
pengambil keputusan, dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih

jauh tertinggal disbanding laki-laki. Sepanjang dekade 1990an salah satu isu
strategis yang diperjuangkan gerakan perempuan adalah situasi minimnya
representasi perempuan dan dominasi laki-laki di arena poltik formal.
Sementara Undang-undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan
anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan
yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan. Kendati berbagai perangkat hukum telah menlegitimasi partisipasi
politik bagi perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik
masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya.
Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik
dan

lembaga-lembaga

politik

formal

jumlahnya


masih

sangat

rendah

dibandingkan dengan laki-laki. Di lembaga legislatif misalnya jumlah perempuan
pada tahun 1999 menurun menjadi 9% dibandingkan dengan tahun 1997 sebanyak
12% dari jumlah anggota legislatif yang ada, dan kembali meningkat di tahun
2004 menjadi 12%, dan tahun 2009 kembali meningkat menjadi 18%.
Seiring dengan berjalannya waktu, nilai dan norma sosial terus berubah,
perempuan juga mengalami berbagai kemajuan dan menunjukkan peningkatan
dari segi kualitas dan kuantitas di bidang pendidikan, sosial, dan ketenagakerjaan
meski belum secara signifikan. Pada tanggal 18 Februari 2003, kuota perempuan
disahkan. Permasalahan kuota terdapat dalam batang tubuh UU Pemilu pasal 65
ayat 1 yang berbunyi : Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan
calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap
daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30% (JurnalPerempuan: 61).


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

3

1

Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di
parlemen di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk
memantapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan
keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini
terpinggirkan, dan juga mengubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik dan
demokratis.
Berdasarkan dari sensus data, Badan Pusat Statistik (BPS) 2014 dan 2015
merilis kalau jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 254,9 juta jiwa. Dari data
tersebut, rinciannya adalah penduduk laki-laki berjumlah 128,1 juta jiwa dan
perempuan berjumlah 126,8 juta jiwa (news.fimadani.com). Berdasarkan data ini
menegaskan bahwa sebenarnya penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia
hampir seimbang. Tentu saja sebenarnya peluang legislatif perempuan di
parlemen periode 2014-2019 sangat tinggi bahkan mampu menembus angka 30

persen seperti yang termuat dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Tantangan berat selama ini adalah masih adanya keraguan di kalangan
masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan
peran di kancah politik karena kalangan tertentu beranggapan bahwa dunia politik
merupakan milik laki-laki. Sesungguhnya keragu-raguan itu sangat tidak
beralasan sebagaimana dijelaskan Saparinah Sadli bahwa perempuan dan laki-laki
mempunyai potensi kecerdasan yang sama. Hal tersebut telah dibuktikan dalam
sejumlah studi psikologi tentang taraf intelegensi perempuan dan laki-laki. Dalam
realitas sehari-hari perempuan Indonesia sejak masih di dunia pendidikan maupun
dalam menerapkan keahliannya tidak kalah dengan laki-laki bahkan kerap kali
jauhl ebih baik (Kompas, 18 November 2002).
Persoalan yang dihadapi perempuan lebih disebabkan kendala nilai sosial
budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di
lembaga-lembaga elite tersebut kendati dari aspek kemampuan intelegensia,
manajerial, dan kepemimpinan, perempuan memiliki kualitas yang memadai,
namun sering tidak dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi dan jabatanjabatan strategis lainnya.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara


4

4

Tidak sedikit pula perempuan yang bekerja di ranah publik harus
membawa urusan kerumahtanggaan ke tempat bekerja. Misalnya membawa anak
ke tempat kerja, datang terlambat karena harus memasak dan mengantar anak ke
sekolah, serta sederet pekerjaan rumah yang dibawa dalam dunia kerja. Beban,
tanggung jawab akan pendidikan dan kehidupan anak sering kali dibebankan
kepada perempuan, sehingga ketika tiba di tempat kerja, perempuan tidak dapat
bekerja dengan baik. Tanggung jawab yang lebih berat, rutinitas dan mobilitas
jabatan publik membuat banyak perempuan akhirnya memilih tidak ingin bersaing
dengan kaum laki-laki dalam perebutan jabatan politik.
Banyak yang membuat keterlibatan perempuan di jabatan strategis belum
diprioritaskan. Suka tidak suka harus diakui bahwa di lingkungan kita, laki-laki
pasti dianggap pemimpin dan ditasbihkan layak menjadi pemimpin. Kelayakan
tersebut biasanya ditunggangi oleh kondisi budaya patriarki yang secara masif
memposisikan laki-laki sebagai kaum kelas satu. Mitos-mitos seperti seringkali
membuat perempuan belum memiliki tempat yang sejajar dalam tatanan strategis.

Sesuai dengan pendapat (Fakih, 2001 dalam Jurnal Perempuan:69): “marginalisasi
terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensioanl yang disebabkan oleh
banyak hal, bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi
da kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.”
Indonesia yang selama ini diyakini menganut sistem pemerintahan terpusat
dan ditandai dengan gaya represif, kurang memberi peluang berjalannya proses
demokratisasi dan yang paling tidak diuntungkan adalah perempuan. Oleh sebab
itu, memasuki era reformasi sekarang ini sudah waktunya perempuan
mengoptimalkan peranannya di badan politik formal guna mengubah kebijakan
yang masih didominasi kepentingan laki-laki.
Perempuan harus mengejar ketertinggalannya selama ini dengan bekerja
ekstra. Memberdayakan para kandidat yang akan duduk di lembaga politik formal
dengan membekali diri baik pendidikan, kemampuan kepemimpinan, dan civic
education, guna mendukung kinerjanya sebagai tokoh politik. Perjuangan kedepan
adalah bagaimana strategi yang harus ditempuh agar keterwakilan perempuan di
parlemen sebanyak 30% menjadi kenyataan. Untuk itu, perlu mendorong parpolparpol yang ada untuk menominasikan 30% calon legislatif perempuan.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara


5

Partai politik merupakan jalur paling efektif yang dapat digunakan untuk
meningkatkan jumlah keterwakilan secara signifikan karena partai politik
merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam
pemilihan umum,selain itu adalah jalur non partai politik atau independen yang
dapat mengikuti pemilihan umum. Selain itu, penting meningkatkan pendidikan
politik bagi perempuan pemilih sehingga mereka secara cerdas menyuarakan
aspirasi mereka.
Duduknya perempuan sebagai pejabat publik tentu saja bukan tanpa
rekomendasi dan keahlian khusus, beberapa tahun setelah reformasi di Indonesia
bergulir, semakin berkurang pemanfaatan dinasti politik, pengkultusan serta
popularitas yang membawa perempuan menjadi pejabat negara. Banyak diantara
mereka (kecuali dalam banyak kasus di beberapa pemilihan kepala daerah dan
rekrutmen dalam partai politik) yang dipilh karena keahlian dan pengalaman
bidangnya. Secara kauntitatif, perempuan yang duduk sebagai pejabat publik
semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Terlihat pada hasil pemilu periode 2009-2014, dimana perempuan yang
menjadi anggota DPR sebanyak 100 orang dari 560 anggota DPR (sekitar 18,2%).
Namun berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi perempuan

untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, belum mendapatkan
hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Proporsi anggota legislatif perempuan
yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30 persen pada Pemilu 2014.
Justru proporsi tersebut mengalami penurunan dari 18,2% persen pada
tahun 2009 , menjadi 17,3 persen di tahun 2014. Padahal kandidat perempuan
yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik
mengalami peningkatan dari 33,6 persen pada tahun 2009 menjadi 37 persen pada
tahun 2014. Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, ternyata hanya mampu
menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (sekitar
17,32%) di DPR (berita satu, 16 September 2014).
Perempuan telah berhasil mewarnai sektor publik dan masih dalam proses
untuk kita melihat hasil-hasil kerja mereka, sebagaimana harapan kita terhadap
hasil-hasil pejabat publik laki-laki. Masuknya perempuan dalam sektor publik
inilah kita akan segera melihat sejauh mana kesetaraan gender akan menjadi

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

6


harapan tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (Mariana Amiruddin
dalam Jurnal Perempuan hal 91).
Kendati demikian perbedaan perempuan dan laki-laki juga didapati ketika
mereka berbicara atau berkomunikasi. Berbicara adalah berkata, bercakap,
berbahasa, mengutarakan isi pikiran, melisankan sesuatu yang dimaksudkan
(KBBI, 2005:165). Pada dasarnya cara berbicara antara wanita dan pria berbeda,
Kramer (1977) dan Tannen (1990) dalam (Frances Elaine Donelson, 1999)
menyatakan stereotip bahwa wanita terus menerus berbicara, namun pada
kenyataannya pria lebih banyak berbicara daripada wanita secara natural, dan
bahkan ketika berbicara di sebuah alat perekam. Secara umum, pria menunjukkan
dominansi dan statusnya dengan mengontrol setiap percakapan.
Dalam kualitas suara jika disadari lebih dalam, saat berbicara pria bernada
lebih rendah dari wanita. Perbedaan anatomi tubuh pada pria dan wanita bukan
hal yang membedakan secara utuh tentang perbedaan nada bicara tersebut, ketika
memasuki masa puber suara yang dikeluarkan pria dan wanita juga akan berbeda.
Bahkan, mereka juga harus belajar mengeluarkan suara sewajarnya yang
disesuiakan dengan jenis kelaminnya. Dalam suatu percakapan di telinga pria,
suara orang-orang biasanya hanya terdiri dari tiga macam: rendah, sedang, dan
tinggi. Namun, wanita mendengarkan suara dengan lebih rinci: air keran menetes,
tangis bayi, anak kucing mengeong, dll (Kompasiana, 10 Oktober 2011).
Intonasi juga sangat berpengaruh dalam menyampaikan suatu informasi,
sebuah kalimat biasa akan berbeda arti jika diucapkan dengan intonasi yang
berbeda. Wanita lebih banyak menggunakan intonasi suara saat berbicara,
sedangkan pria menggunakan intonasi yang konstan, McConnel-Ginet (1978)
dalam Matlin (1987) menyatakan bahwa kepastian intonasi terlihat pada wanita,
seperti sopan dan terlihat gembira. Selain itu, terdapat sejumlah perbedaan bentuk
komunikasi nonverbal antara perempuan dan laki-laki, dan bentuk-bentuk itu
meliputi wajah terutama yang menyangkut mata, tubuh, sentuhan, suara, ruang,
waktu, daya tarik fisik, pakaian, dan lingkungan. Semua hal ini tidak luput dari
perhatian perempuan, terlebih perempuan yang memiliki jabatan sebagai anggota
dewan perwakilan rakyat yang lingkungannya didominasi oleh kaum laki-laki,

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

7

dan tentunya mereka tidak dapat begitu saja mengabaikan komunikasi verbal dan
non verbal.
Oleh karena pentingnya komunikasi baik verbal dan non verbal, tidak
hanya kesuksesan karirnya di dalam politik, tapi juga berdampak bagi dunia
politik. Saat melakukan sebuah tugas politik yang melibatkan masyarakat
misalnya, para anggota dewan perempuan akan lebih mudah untuk berbaur
dengan orang-orang dari beragam latar belakang, sehingga memudahkan
pemerintah untuk mengetahui aspirasi, keluhan serta kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti gaya
komunikasi verbal dan nonverbal anggota DPRD perempuan di Provinsi Sumatera
Utara dalam lingkungan organisasinya yang didominasi oleh kaum laki-laki.

1.2

Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah duraikan di atas, maka dapat

dirumuskan fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gaya
komunikasi verbal dan nonverbal anggota DPRD perempuan di Provinsi Sumatera
Utara.

1.3

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gaya komunikasi verbal anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) perempuan di Sumatera Utara dalam melakukan
interaksi dalam organisasinya (public sphere).
2. Untuk mengetahui gaya komunikasi nonverbal anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) perempuan di Sumatera Utara dalam melakukan
interaksi dalam organisasinya (public sphere).

1.4

Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
dan menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. Selain itu
diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam memperkaya
wawasan Ilmu Komunikasi khususnya komunikasi verbal dan non verbal.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

8

2. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menguji pengalaman
teoritis penulis selama mengikuti studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara, terutama pada Departemen Ilmu
Komunikasi.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan informasi
kepada mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU terkait gaya komunikasi
verbal dan nonverbal anggota DPRD perempuan di kota Medan.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Gaya Komunikasi Anggota DPRD (Studi Kasus Gaya Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anggota DPRD Perempuan di Provinsi Sumatera Utara)

2 29 155

Gaya Komunikasi Pada Mahasiswa Hedonisme (Studi Deskripstif Kualitatif Tentang Gaya Komunikasi Verbal & Nonverbal Pada Mahasiswa Hedonisme di Universitas Sumatera Utara)

6 66 112

Gaya Komunikasi Anggota DPRD (Studi Kasus Gaya Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anggota DPRD Perempuan di Provinsi Sumatera Utara)

0 0 16

Gaya Komunikasi Anggota DPRD (Studi Kasus Gaya Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anggota DPRD Perempuan di Provinsi Sumatera Utara)

0 2 2

Gaya Komunikasi Anggota DPRD (Studi Kasus Gaya Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anggota DPRD Perempuan di Provinsi Sumatera Utara)

0 0 17

Gaya Komunikasi Anggota DPRD (Studi Kasus Gaya Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anggota DPRD Perempuan di Provinsi Sumatera Utara)

0 0 3

Gaya Komunikasi Anggota DPRD (Studi Kasus Gaya Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anggota DPRD Perempuan di Provinsi Sumatera Utara)

0 0 41

Gaya Komunikasi Pada Mahasiswa Hedonisme (Studi Deskripstif Kualitatif Tentang Gaya Komunikasi Verbal & Nonverbal Pada Mahasiswa Hedonisme di Universitas Sumatera Utara)

0 1 11

Gaya Komunikasi Pada Mahasiswa Hedonisme (Studi Deskripstif Kualitatif Tentang Gaya Komunikasi Verbal & Nonverbal Pada Mahasiswa Hedonisme di Universitas Sumatera Utara)

0 0 2

Gaya Komunikasi Pada Mahasiswa Hedonisme (Studi Deskripstif Kualitatif Tentang Gaya Komunikasi Verbal & Nonverbal Pada Mahasiswa Hedonisme di Universitas Sumatera Utara)

0 0 8