Pengaruh Experiential Marketing terhadap Kepuasan Pelanggan untuk Mendorong Minat Beli Ulang pada Rumah Makan 100 Batu Bara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai experiential marketing telah banyak dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya.

Oleh karena itu, peneliti berupaya melakukan

tinjauan terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki bahasan yang
hampir sama, yaitu mengenai experiential marketing.
Rujukan yang pertama diambil dari penelitian yang berjudul “The Study
of Relationship among Experiential Marketing, Service Quality, Customer
Satisfaction, and Customer Loyalty” oleh Zena dan Hadisumarto tahun 2012.
Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui mengetahui bagaimana
dampak kegiatan experiential marketing yang diterapkan oleh Strawberry Cafe
terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Data yang berhasil
dikumpulkan sebanyak 142 data, namun yang bisa diolah dan dianalisa lebih
lanjut hanya 80 data. Alat analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan Lisrel. Penelitian ini
menemukan bahwa memang kegiatan experiential marketing yang dilakukan
Strawberry Cafe dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan.

Rujukan yang kedua adalah penelitian yang berjudul “Pengaruh
Experiential Marketing terhadap Repurchase Intention melalui Customer
Satisfaction sebagai Variabel Intervening (Studi pada Nanny’s Pavillon
Bathroom- Pacific Place)” oleh Farisya tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisa pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention
melalui kepuasan konsumen sebagai variabel perantara. Sampel berjumlah 150

Universitas Sumatera Utara

orang pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential marketing
mempengaruhi repurchase intention dengan kepuasan sebagai perantara.
Rujukan ketiga adalah penelitian yang berjudul “The Impact Of
Experiential Marketing Use On The Customer Perceived Value And Satisfaction
In Lithuanian Restaurants” oleh Kanopaité tahun 2015. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisa dampak experiential marketing, customer perceived value, dan
kepuasan pelanggan di Restoran Lituania. Sampel sebanyak 243 di teliti melalui
online survey dan face to face. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
yang signifikan antara experiential marketing dan customer perceived value,
antara experiential marketing dan cutomer satisfaction.
Rujukan keempat adalah penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh

Experiential Marketing dan Kualitas Layanan terhadap Kepuasan Pelanggan
untuk Mendorong Minat Beli Ulang (Studi Kasus Pada Member Sanggar Senam
Kharisma)” oleh Lionora tahun 2015. Data sampel adalah sebanyak 150
reswponden dengan teknik analisis data menggunakan regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential marketing serta kualitas layanan
berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Sedangkan kepuasan pelanggan
juga berpengaruh positif terhadap minat beli ulang.
Rujukan

kelima

adalah

penelitian

berjudul

“Analisis

Pengaruh


Experiential Marketing Terhadap Repeat Purchase Dengan Customer Satisfaction
Sebagai Mediating Variable Di De Mandailing Cafe UC Boulevard Surabaya”.
Sampel adalah sebanyak 200 responden. Penelitian ini menggunakan teknik
Structural Equation Modeling (SEM ) dengan hasil peneltian menunjukkan bahwa
experiential marketing berpengaruh signifikan terhadap repeat purchase,

Universitas Sumatera Utara

Experiential Marketing berpengaruh signifikan terhadap customer satisfaction,
dan customer satisfaction memediasi pengaruh antara experiential marketing
terhadap repeat purchase secara parsial.
Dari kelima rujukan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
experiwntial marketing berpengaruh terhadap kepuasan. Kelima rujukan tersebut
dapat dilihat secara singkat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1.
Hasil Penelitian Terdahulu
No


Nama
(Tahun)

Judul

Metode
Penelitian

Hasil Penelitian

Zena
dan
Hadisumarto
(2012)

The
Study
of
Relationship
among

Experiential Marketing,
Service
Quality,
Customer Satisfaction,
and Customer Loyalty

Structural
Equation
Modeling (SEM)

Experiential
marketing
used by Strawberry Cafe
can affect the customer
loyalty. The factors that
make consumers satisfied
with Strawberry Café is
the quality of service of
this restaurant.


2

Farisya
(2012)

Pengaruh
Experiential
Marketing
terhadap
Repurchase
Intention
melalui
Customer
Satisfaction
sebagai
Variabel
Intervening
(Studi pada Nanny’s
Pavillon
BathroomPacific Place)


Analisis
deskriptif dan
Structural
Equation Model
(SEM)

Terdapat pengaruh yang
kuat dan positif antara
variabel
experiential
marketing
terhadap
repurchase
intention
terhadap
customer
satisfaction
sebagai
perantara.


3

Kanopaité
(2015)

The
Impact
Of
Experiential Marketing
Use On The Customer
Perceived Value And
Satisfaction
In
Lithuanian Restaurants

Quantitative
research with
online
survey

and ‘face to
face’ method

Data analysis showed that
there was a two-way
relationship
between
experiential
marketing
and customer perceived
value, as well as two-way
relationship
between
satisfaction and retention.

1

Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.1.

Hasil Penelitian Terdahulu
No

Nama
(Tahun)

4

Lionora
(2015)

5

Wijaya
Subagyo
(2014)

dan

Judul


Metode
Penelitian

Hasil Penelitian

Analisis Pengaruh
Experiential
Marketing
dan
Kualitas Layanan
terhadap Kepuasan
Pelanggan
untuk
Mendorong Minat
Beli Ulang (Studi
Kasus
Pada
Member Sanggar
Senam Kharisma)

Analisis
data
kualitatif
dan
analisis
data
kuantitatif

Hasil dari penelitian yang
telah dilakukan menunjukan
bahwa experiential marketing
serta
kualitas
layanan
berpengaruh positif terhadap
kepuasan
pelanggan,
Sedangkan
kepuasan
pelanggan juga berpengaruh
positif terhadap minat beli
ulang

Analisis Pengaruh
Experiential
Marketing
Terhadap
Repeat
Purchase Dengan
Customer
Satisfaction
Sebagai Mediating
Variable Di De
Mandailing
Cafe
UC
Boulevard
Surabaya.

Analisis
deskriptif dan
Structural
Equation Model
(SEM)

Experiential
marketing
berpengaruh
signifikan
terhadap repeat purchase,
Experiential
Marketing
berpengaruh
signifikan
terhadap
customer
satisfaction, dan customer
satisfaction
memediasi
pengaruh antara experiential
marketing terhadap repeat
purchase secara parsial.

Pada penelitian ini, peneliti akan menganalisis pengaruh experiential
marketing terhadap kepuasan pelanggan untuk mendorong minat beli ulang pada
Rumah Makan 100 Batu Bara. Terdapat persamaan dengan 5 rujukan penelitian di
atas, yaitu variabel X (experiential marketing) dan variabel intervening
(kepuasan). Selain itu terdapat beberapa perbedaan variabel yang diteliti dalam
penelitian ini dengan rujukan penelitian di atas, yaitu pada penelitian Zena dan
Hadisumarto (2012), di mana terdapat variabel service quality dan customer
loyalty; penelitian oleh Kanopaité (2015), di mana terdapat variabel customer
perceived value; dan penelitian oleh Lionora (2015), di mana terdapat variabel
kualitas pelayanan.

Universitas Sumatera Utara

Tak hanya mengenai variabel, teknik analisis data juga memiliki
perbedaan, sebagian besar kelima penelitian di atas menggunakan Structural
Equation Modeling (SEM) sedangkan penelitian ini menggunakan analisis jalur
(path).

2.1.Minat Beli Ulang
Minat beli adalah tahap kecenderungan responden untuk bertindak
sebelum keputusan membeli benar-benar dilaksanakan. Terdapat perbedaan antara
pembelian aktual dan minat pembelian. Bila pembelian aktual adalah pembelian
yang benar-benar dilakukan oleh konsumen, maka minat pembelian adalah niat
untuk melakukan pembelian pada kesempatan mendatang. Meskipun merupakan
pembelian yang belum tentu akan dilakukan pada masa mendatang namun
pengukuran

terhadap

minat

pembelian

umumnya

dilakukan

guna

memaksimumkan prediksi terhadap pembelian aktual itu sendiri.
Menurut Durianto,dkk (2001:109), minat beli merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu, serta
berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Minat beli
merupakan pernyataan mental konsumen yang merefleksikan rencana pembelian
sejumlah produk dengan merek tertentu. Pengetahuan akan niat beli sangat
diperlukan para pemasar untuk mengetahui niat beli konsumen pada masa yang
akan datang.
Intention to buy juga didefinisikan sebagai pernyataan yang berkaitan
dengan batin yang mencerminkan rencana dari pembeli untuk membeli suatu
merek tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (Howard et al dalam

Universitas Sumatera Utara

Kurniawan, Santoso, dan Dwiyanto, 2007). Minat beli ulang merupakan bagian
dari perilaku pembelian. Minat beli ulang ini biasanya terjadi karena telah
terbentuknya loyalitas pelanggan, sehingga terjadilah pembelian berulang ini.
Minat beli ulang ini juga sangat berhubungan dengan kepuasan pelanggan, jika
pelanggan tidak merasa puas maka pelanggan tidak akan melakukan pembelian
selanjutnya. Sehingga kepuasan yang diperoleh seorang pelanggan, dapat
mendorong ia melakukan pembelian ulang, menjadi loyal terhadap produk
tersebut ataupun loyal terhadap toko tempat dia membeli barang tersebut sehingga
pelanggan dapat menceritakan hal-hal yang baik kepada orang lain. Minat beli
ulang yang tinggi mencerminkan tingkat kepuasan yang tinggi dari konsumen
ketika memutuskan untuk mengkonsumsi suatu produk atau jasa.
Menurut Ferdinand dalam Lionora (2015 :17) terdapat empat indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur minat beli ulang. Keempat indikator
tersebut yakni (1) minat transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk
membeli produk, (2) minat referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk
mereferensikan produk kepada orang lain, (3) minat preferensial, yaitu minat yang
menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki preferensi utama pada produk
tersebut. Preferensi ini dapat berubah bila terjadi sesuatu dengan produk
preferensinya, (4) minat eksploratif, minat ini menggambarkan perilaku seseorang
yang selalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari
informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa minat beli ulang adalah di mana pelanggan
memiliki niat atau keinginan untuk melakukan pembelian selanjutnya, yang
diakibatkan oleh pengalaman positif yang dirasakan oleh pelanggan

Universitas Sumatera Utara

2.2.Kepuasan Pelanggan
2.2.1. Pengertian Kepuasan Pelanggan
Di tengah ketatnya persaingan bisnis yang terjadi saat ini, perusahaan
berlomba untuk dapat menang dalam persaingan. Beragam cara ditempuh
perusahaan untuk dapat menjadi market leader. Mulai dari menciptakan produk
yang unik, mematok harga yang rendah, menjanjikan layanan prima, dan lain
sebagainya. Cara-cara tersebut dilakukan tidak lain untuk menjaga kepuasan
konsumen. Kepuasan pelanggan telah menjadi konsep sentral dalam teori dan
praktik pemasaran, serta merupakan salah satu tujuan esensial bagi aktivitas bisnis
(Tjiptono, 2005:348). Kata kepuasan atau satisfaction berasal dari bahasa Latin
“satis” (artinya cukup baik, memadai) dan “facio” (artinya melakukan atau
membuat). Jadi, secara sederhana kepuasan dapat diartikan sebagi upaya
pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai (Tjiptono, 2005:349).
Menurut Lovelock et al. (2010:60), kepuasan adalah semacam penilaian
perilaku yang terjadi setelah pengalaman mengonsumsi layanan. Kebanyakan
hasil riset menunjukkan bahwa konfirmasi atau diskonfirmasi dari ekspektasi
prakonsumsi adalah faktor yang menentukan dari kepuasan. Berikut ini akan
dipaparkan definisi kepuasan pelanggan menurut beberapa ahli :
1. Menurut Oliver (1997) dalam Tjiptono (2012:311), kepuasan pelanggan
adalah “the consumer’s fulfillment response”, yaitu penilaian bahwa fitur
produk atau jasa, atau produk/jasa itu sendiri, memberikan tingkat
pemenuhan berkaitan dengan konsumsi yang menyenangkan, termasuk
tingkat under-fulfillment dan over-fulfillment.

Universitas Sumatera Utara

2. Menurut Kotler dan Keller (2009:177), kepuasan pelanggan adalah
perasaan

senang

atau

kecewa

seseorang

yang

dihasilkan

dari

membandingkan suatu kinerja produk yang dirasakan dengan kinerja (atau
hasil) yang diharapkan.
3. Menurut Supranto (2006:233), kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang
setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dirasakan dengan harapannya.
Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kepuasan pelanggan menggambarkan perasaan positif yang dialami
pelanggan ketika mengkonsumsi/menggunakan produk/jasa.
2.2.2. Manfaat Kepuasan Pelanggan
Menurut Tjiptono dan Diana (2003:102), kepuasan pelanggan dapat
memberikan beberapa manfaat, yaitu:
1. Hubungan antara perusahaan dan para pelanggan menjadi harmonis
2. Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang
3. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan
4. Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang
menguntungkan bagi perusahaan
5. Reputasi perusahaan menjadi baik di mata pelanggan
6. Laba yang diperoleh dapat meningkat

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan
Dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor
utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan (Lupiyoadi, 2001:158), yaitu :
1. Kualitas jasa
Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa
produk yang mereka gunakan berkualitas.
2. Kualitas pelayanan
Terutama untuk industri jasa, pelanggan akan merasa puas bila mereka
mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan.
3. Emosional
Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain
akan kagum terhadap dia bila menggunakan jasa dari perusahaan yang
cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi. Kepuasan yang
diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial atau self-esteem
yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu.
4. Harga
Produk yang mempunyai kualitas sama tetapi menetapkan harga yang relatif
murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya.
5. Biaya
Pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu
membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas
terhadap produk atau jasa itu.

Universitas Sumatera Utara

2.2.4. Model Kepuasan Pelanggan
Tjiptono (2005:356) menerangkan tentang model kepuasan pelanggan, di
antaranya model expectancy disconfirmation model, equity theory, attribution
theory, experientially-based affective feelings, assimilation-contrast theory,
opponent process theory, serta model anteseden dan konsekuensi pelanggan.
1. Expectancy Disconfirmation Model
Model ini mendefiniskan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi yang
memberikan hasil di mana pengalaman yang dirasakan setidaknya sama baiknya
dengan yang diharapkan. Model ini ditunjukkan dalam Gambar 2.1.

Produk
Lama/pengalaman
produk
Ekspektasi bagaimana

Evaluasi atas kinerja

merek seharusnya

aktual merek

Evaluasi
ketidaksesuaian antara

Kinerja gagal
memenuhi
harapan

Kinerja tidak
selalu berbeda
dengan harapan

Kinerja sesuai
dengan harapan

Gambar 2.1 Model ekspektasi diskonfirmasi dari kepuasan/ketidakpuasan

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan konsumsi atau pemakaian produk atau merek tertentu dan
juga merek lainnya dalam kelas produk yang sama, pelanggan membentuk
harapannya mengenai kinerja seharusnys dari merek bersangkutan. Harapan atas
kinerja ini dibandingkan dengan kinerja aktual produk (yakni persepsi terhadap
kualitas produk). Jika kualitas lebih rendah daripada harapan, yang terjadi adalah
ketidakpuasan emosional (negative disconfirmation). Bila kinerja lebih besar
daripada harapan, terjadi kepuasan emosional (positive disconfirmation).
Sedangkan bila kinerja sama dengan harapan, maka yang terjadi adalah
konfirmasi harapan (simple disconfirmation atau non-satisfaction).
2. Equity Theory
Sejumlah peneliti berpendapat bahwa setiap orang menganalisis
pertukaran antara dirinya dengan pihak lain guna menentukan sejauh mana
pertukaran tersebut adil atau fair. Equity theory beranggapan bahwa orang
menganalisis rasio input dan hasilnya (outcome) dengan rasio input dan hasil
mitra pertukarannya. Jika ia merasa bahwa rasionya unfavorable dibandingkan
anggota lainnya dalam pertukaran tersebut, ia cenderung akan merasakan adanya
ketidakadilan.
3. Attribution Theory
Attribution theory mengidentifikasi proses yang dilakukan seseorang
dalam menentukan penyebab aksi atau tindakan dirinya, orang lain dan objek
tertentu. Atribusi yang dilakukan seseorang dapat sangat mempengaruhi kepuasan
purnabelinya terhadap produk atau jasa tertentu, karena atribusi memoderasi
perasaan puas atau tidak puas.

Universitas Sumatera Utara

4. Experientially-Based Affective Feelings
Pendekatan eksperiensial berpandangan bahwa tingkat kepuasan
pelanggan dipengaruhi perasaan positif dan negatif yang diasosiasikan pelanggan
dengan barang atau jasa tertentu setelah pembeliannya. Dengan kata lain, selain
pemahaman kognitif mengenai diskonfirmasi harapan, perasaan yang timbul
dalam proses purnabeli juga mempengaruhi perasaan puas atau tidak puas
terhadap produk yang dibeli.
5. Assimilation-Contrast Theory
Menurut teori ini, konsumen mungkin menerima penyimpangan (deviasi)
dari ekspektasinya dalam batas tertentu. Apabila produk atau jasa yang dibeli dan
dikonsumsi tidak terlalu berbeda dengan apa yang diharapkan pelanggan, maka
kinerja produk atau jasa tersebut akan diasimilasi atau diterima dan produk atau
jasa bersangkutan akan dievaluasi secara positif (dinilai memuaskan). Akan tetapi,
jika kinerja produk atau jasa melampaui zona penerimaan konsumen (zone of
acceptance), maka perbedaan yang ada akan dikontraskan sedemikian rupa
sehingga akan tampak lebih besar dari sesungguhnya.
6. Opponent Process Theory
Teori ini berusaha menjelaskan mengapa pengalaman konsumen yang
pada mulanya sangat memuaskan cenderung dievaluasi kurang memuaskan pada
kejadian atau kesempatan berikutnya. Dasar pemikirannya adalah pandangan
bahwa organisme akan beradaptasi dengan stimuli di lingkungannya, sehingga
stimulasi berkurang intensitasnya sepanjang waktu.

Universitas Sumatera Utara

7. Model Anteseden dan Konsekuensi Pelanggan
Dalam model tersebut, anteseden kepuasan pelanggan meliputi
ekspektasi pelanggan, diskonfirmasi ekspektasi, kinerja, affect; dan equity
(penilaian konsumen terhadap keadilan distributif, prosedural, dan interaksional).
Sedangkan konsekuensi kepuasan pelanggan diklasifikasikan menjadi tiga
kategori, yaitu perilaku komplain, perilaku word-of-mouth, dan minat pembelian
ulang (repurchase intention).
2.2.5. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Paling tidak ada empat metode yang banyak dipergunakan dalam
mengukur kepuasan pelanggan (Kotler, 2005:366) :
1. Sistem keluhan dan saran
Setiap organisasi jasa yang berorientasi pada pelanggan wajib
memberikan kesempatan seluasnya-luasnya bagi para pelanggannya untuk
menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang
digunakan biasa berupa kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis,
kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, website, dan lain-lain.
Informasi-informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide
baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya
untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang
timbul.
2. Ghost shopping
Salah satu metode untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan
pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk
berperan sebagai pelanggan potensial jasa perusahaan dan pesaing. Mereka

Universitas Sumatera Utara

diminta melaporkan berbagai temuan penting berdasarkan pengalamannya
mengenai kekuatan dan kelemahan jasa perusahaan dibandingkan para pesaing.
Selain itu, para ghost shopper juga dapat mengobservasi cara perusahaan dan
pesaingnya melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab pertanyaan
pelanggan, dan menangani setiap masalah atau keluhan pelanggan.
3. Lost customer analysis
Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti
membeli atau yang telah beralih pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu
terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan atau penyempurnaan
selanjutnya.
4. Survei kepuasan pelanggan
Umumnya sebagian besar penelitian mengenai kepuasan pelanggan
menggunakan metode survey, baik via pos, telepon, e-mail, maupun wawancara
langsung. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan
balik langsung dari pelanggan dan juga memberikan sinyal positif bahwa
perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka.

2.3. Experiential Marketing
2.3.1. Pengertian Experiential Marketing
Experience atau pengalaman adalah kejadian pribadi dengan makna
emosional yang diciptakan oleh interaksi dengan produk atau merek yang terkait
rangsangan (Holbrook dan Hirschman dalam Adeusun dan Ganiyu). Hal ini dapat
dicapai melalui partisipasi dalam pertemuan pribadi yang relevan, kredibel, dan
mengesankan. Experiential marketing merupakan suatu metodologi yang dapat

Universitas Sumatera Utara

mengubah dengan cepat wajah pemasaran.

Beberapa pengertian mengenai

experiential marketing yaitu:
Adaptasi dari Marketing Aesthetics (Andrawina, 2013) mengungkapkan
bahwa :

“Experiential marketing adalah pendekatan baru dalam bidang disiplin ilmu
pemasaran yang mengacu pada peristiwa individual yang terjadi, baik
bersifat rasional maupun emosional, dikarenakan adanya stimulasi tertentu
atau rangsangan dari luar yang membentuk suatu persepsi dan mempunyai
dampak terhadap perilaku individu tersebut pada masa yang akan datang”.

Menurut Kartajaya (2009), experiential marketing adalah : “Suatu konsep
pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal
dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif
terhadap produk dan service”.
Smilansky (2005: 13) mengartikan experiential marketing sebagai :
“Proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan,
menguntungkan, melibatkan pelanggan melalui komunikasi dua arah yang
membawa kepribadian merek untuk hidup dan memberikan nilai tambah pada
target audiens”.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
experiential marketing merupakan strategi pemasaran yang mengacu pada
penciptaan pengalaman nyata pelanggan terhadap merek/produk/jasa untuk
meningkatkan penjualan sekaligus menciptakan customer loyalty (loyalitas
pelanggan).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2.

Manfaat Experiential Marketing

Experiential marketing telah banyak digunakan oleh berbagai bidang
usaha bisnis untuk menciptakan hubungan pengalaman dengan pelanggan. Ada
beberapa manfaat menerapkan experiential marketing bagi sebuah usaha bisnis
menurut pandangan Schmitt (1999: 33), antara lain :
1.

Membangkitkan kembali merek yang sedang menurun

2.

Untuk membedakan satu produk dengan produk pesaing

3.

Untuk menciptakan citra dan identitas sebuah perusahaan

4.

Untuk mempromosikan inovasi-inovasi

5.

Untuk mendorong percobaan, pembelian , dan loyalitas konsumen.

2.3.3.

Karakteristik Experiential Marketing

Schmitt membagi experiential marketing menjadi empat karakteristik,
yaitu : “Fokus kepada pengalaman konsumen, menguji situasi konsumen,
mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi, dan
metode dan perangkat bersifat elektik”. Berikut penjelasannya :
1. Fokus pada pengalaman konsumen
Experiential marketing fokus kepada pengalaman konsumen yang
timbul dari proses menghadapi, menjalani, atau melewati situasi-situasi tertentu
yang memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional
yang menggantikan nilai-nilai fungsional.

Pengalaman menghubungkan

perusahaan beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong
terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya.

Universitas Sumatera Utara

2. Menguji situasi konsumen
Schmitt mengatakan bahwa pelanggan tidak mengevaluasi setiap produk
hanya sebagai item saja, atau menganalisis fitur dan manfaatnya saja. Akan tetapi
sebaliknya, pelanggan akan bertanya bagaimana setiap produk itu sesuai dengan
situasi konsumsi mereka secara keseluruhan dan bagaimana pengalaman yang
diberikan melalui situasi konsumsi. Para pemasar experiential percaya bahwa
peluang terbesar untuk mempengaruhi sebuah merek terjadi pada periode pascapembelian, yaitu selama mengkonsumsi. Pengalaman selama konsumsi adalah
faktor penting yang menentukan kepuasan konsumen dan loyalitas merek.
3. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi
Pelanggan merupakan makhluk yang rasional dan emosional, kedua sifat
tersebut akan memicu konsumsi. Dalam experiential marketing, konsumen bukan
hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosionalnya.
Pemasar tidak boleh memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat keputusan
yang rasional saja karena konsumen lebih menginginkan untuk dihibur,
dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif.
4. Metode dan perangkat bersifat elektik
Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih
bersifat elektik. Artinya, metode dan perangkat yang digunakan lebih bergantung
pada objek yang diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi
daripada menggunakan suatu standar yang sama.

Universitas Sumatera Utara

2.3.4.

Pendekatan Experiential Marketing

Schmitt (1999: 99-188) membagi pendekatan experiential marketing atau
yang dikenal sebagai SEMs (Strategic Experiential Modules) ke dalam 5 tipe
experience, yaitu : “sense, feel, think, act, dan relate”.
1. Sense
Sense marketing mengacu pada kelima fungsi panca indera manusia yaitu
penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan sentuhan.

Tujuan

keseluruhan dari sense marketing adalah untuk menghasilkan kenikmatan estetika
(kegembiraan, keindahan, kepuasan) pelanggan melalui rangsangan terhadap
panca indera.

Organisasi dapat menggunakan sense marketing untuk

membedakan dirinya dan produk-produknya di pasar, memotivasi pelanggan
untuk membeli produknya, dan memberikan nilai kepada pelanggan. Terdapat
tiga tujuan strategis antara lain :
a. Sense sebagai pendiferensiasi
Organisasi dapat menggunakan sense marketing sebagai pembeda dari
produk pesaing di dalam pasar. Sense marketing akan memikat konsumen karena
tampil dengan cara yang berbeda dan spesial sehingga organisasi mampu
mendistribusikan nilai kepada konsumen dengan baik.
b. Sense sebagai motivator
Sense marketing dapat memotivasi pelanggan untuk mencoba produk dan
membelinya. Pokok persoalan utamanya adalah bagaimana untuk merangsang
pelanggan tanpa memaksa atau acuh kepada mereka. Dengan tingkat optimal dari
stimulasi dan aktivasi, kampanye sense dapat menjadi sebuah kekuatan motivasi
yang kuat.

Universitas Sumatera Utara

c. Sense sebagai penyedia nilai
Sense marketing dapat mendistribusikan nilai yang unik kepada
konsumen, tidak hanya tentang fiture dan benefit tetapi sebuah experience yang
dapat merangsang panca indera konsumen.
Untuk membedakan produk perusahaan melalui ketertarikan inderawi,
maka perlu diperhatikan rangsangan apa yang paling tepat untuk menciptakannya
(stimuli).

Sementara itu, untuk memotivasi konsumen, perlu dilakukan

identifikasi proses (processes). Pada akhirnya, untuk menciptakan suatu nilai,
kita

harus

memahami

konsekuensi

dari

ketertarikan

inderawi

tersebut

(consequences). Stimuli, Processes, dan Consequences tersebut dikenal dengan SP-C Model.
2. Feel
Feel marketing memikat perasaan dan emosi pelanggan dengan tujuan
untuk menciptakan pengalaman afektif dari sekedar suasana positif terhadap
merek menjadi emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan.
Pengalaman afektif adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang
bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan
mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Jika pemasar ingin menggunakan
pengalaman afektif sebagai strategi pemasaran, maka diperlukan pemahaman
lebih baik mengenai suasana hati (moods) dan emosi (emotions).
1. Suasana hati (moods)
Moods dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang
spesifik. Keadaan suasana hati dapat dipengaruhi oleh apa yang terjadi selama

Universitas Sumatera Utara

konsumsi produk dan pada gilirannya, dapat mempengaruhi evaluasi menyeluruh
konsumen atas produk tersebut.
2. Emosi (emotions)
Emosi merupakan keadaan afektif yang rangsangannya diketahui secara
spesifik dan intens. Emosi selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang,
events, perusahaan, produk, komunikasi). Emosi dapat digerakkan oleh tiga aspek
utama, yaitu events, agents, dan objects. Events dapat dikatakan sebagai situasi
pada saat mengonsumsi produk, agents merupakan perusahaan dan sales people,
sedangkan objects dapat digambarkan sebagai produk yang ditawarkan.
Situasi konsumsi merupakan hal terpenting bagi feel marketing. Ketika
konsumen menggunakan produk dan mendapatkan pengalaman terhadap merek,
saat itu konsumen benar-benar menemukan pelayanan dan tenaga penjualan, maka
perusahaan bisa mendapatkan most complex, seperti: emosi yang berkaitan dengan
suka cita, sedih, bahagia, puas, dendam, lega, ketakutan, dan sebagainya. Jika
sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten
bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat
dan bertahan lama.
3. Think
Tujuan utama dari think marketing adalah mendorong konsumen untuk
terlibat dalam suatu pemikiran seksama dan kreatif yang berdampak pada
penilaian kembali perusahaan dan produk. Sekaligus juga berperan penting dalam
merubah asumsi dan ekspektasi konsumen yang kuno. Think marketing harus
berupaya agar konsumen berpikir positif terhadap produk atau jasa yang
ditawarkan perusahaan dengan cara membuat konsumen merasa baik (feel good).

Universitas Sumatera Utara

Dalam Think marketing terdapat dua jenis pemikiran yang harus
diperhatikan, yaitu : Pemikiran kovergen dan divergen. Pemikiran konvergen
dimaksudkan untuk menganalisis dan mengambil keputusan terhadap suatu
masalah spesifik.

Sedangkan pemikiran divergen dimaksudkan untuk

memunculkan ide baru (perceptual fluency), fleksibilitas atau flexibility
(kemampuan untuk menyesuaikan perspektif dengan mudah), dan kemampuan
untuk memunculkan ide-ide asli yang luar biasa (originality).

Schmitt

mengemukakan tiga cara agar kampanye think berhasil, yaitu :
1. Kejutan (surprise)
Menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal
ataupun konseptual.

Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam

membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif.
Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari
yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan, atau sesuatu
yang sama sekali lain dari yang mereka harapkan yang pada akhirnya dapat
membuat pelanggan merasa senang.
2. Memikat (intrigue)
Jika kejutan dimulai untuk membangun sebuah harapan, kampanye
intrigue mencoba membangkitkan rasa ingin tahu pelanggan, apa saja yang
memikat pelanggan. Misalnya, dengan diberikannya paket makan yang menarik.
Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang
membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan,
dan pengalaman pelanggan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

3. Provokasi (provocation)
Provokasi dapat merangsang diskusi, menciptakan perdebatan, atau
kejutan tergantung pada tujuan kelompok target yang diharapkan.

Provokasi

dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif.
4. Act
Act berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh). Hal
ini berhubungan tentang bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan
mengekspresikan gaya hidupnya.

Perubahan gaya hidup seringkali lebih

memotivasi, menginspirasi, dan spontan secara alami dan dapat membuat
pelanggan berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang
baru, dan merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Selain pengalaman fisik dan
gaya hidup, terdapat pengalaman yang terkait dengan konsumen lainnya. Perilaku
konsumen tidak hanya bergantung pada kepercayaan, sikap, dan minat mereka,
tetapi juga kepercayaan terhadap kelompok rujukan dan norma sosial.
Act marketing didesain untuk menciptakan experience pelanggan yang
berhubungan dengan physical body, pola perilaku jangka panjang, dan lifesyle
serta pengalaman yang terjadi sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain. Act
bergerak melampaui sensasi, afeksi, dan kognisi. Act Experience meliputi :
1.

Pengalaman tubuh/fisik (physical body experience)
Physical body (flesh, motor action, dan body signals) tidak hanya

menghasilkan sensasi dan persepsi dari dunia luar (seperti persepsi produk,
perusahaan, web site, dll.).

Tubuh kita (the flesh), juga merupakan sumber

experience, contohnya adalah ketika seseorang ke salon untuk memotong rambut,
spa, manicure, semuanya mengenai tubuh (flesh). Motor action, tindakan tertentu

Universitas Sumatera Utara

yang menghasilkan keadaan kejiwaan dalam bentuk experience. Body signals,
bermacam gerak tubuh yang menunjukkan emosi seseorang. Sebagai pemasar,
penjual, dan pengiklan, pemasar dapat menggunakan sinyal tubuh yang sama
untuk mempengaruhi perilaku konsumen, dan environmental influences on
physical desires (mengalokasikan pemasaran produk tepat dengan keinginan
konsumen pada waktu dan kondisi yang sesuai).
2. Gaya hidup (lifestyle)
Dalam literatur pemasaran, gaya hidup mengacu pada pola hidup
seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas orang yang bersangkutan,
minat, dan pendapatnya. Untuk mengekspresikan lifestyle-nya, konsumen
membutuhkan markers (penanda) dan indikator, yaitu lifestyle brand. Pemasar
perlu sensitif terhadap trend lifestyle dan memastikan bahwa brand tersebut
diasosiasikan sebagai bagian dari lifestyle. Hanya dengan cara itu kita dapat
menciptakan pengalaman gaya hidup yang paling efektif.
3. Interaksi (interact)
Perilaku orang tergantung tidak hanya pada kepercayaan, sikap, dan
tujuan orang tersebut, melainkan juga pada kepercayaan kelompok referensi dan
norma sosial.
5. Relate
Relate marketing berisikan aspek-aspek dari sense, feel, think, act
marketing serta menitik beratkan pada penciptaan persepsi positif di mata
pelanggan. Relate Marketing mengembangkan suatu experience di luar sensasi
pribadi individu, perasaan, kesadaran, dan tindakan dengan menghubungkan
individu pada konteks sosial budaya yang lebih luas dalam merefleksikan suatu

Universitas Sumatera Utara

merek.

Tujuan berhubungan dengan orang lain tampaknya dimotivasi oleh

kebutuhan untuk kategorisasi dan pencarian makna. Relate experience dibentuk
oleh beberapa hal berikut: kin relations (hubungan kerabat), social role (peran
sosial), social influence (pengaruh sosial), social categorization (kategorisasi
sosial), social identity (identitas sosial), brand communities (komunitas merek),
group membership (kelompok keanggotaan).
2.3.5.

Alat-alat Penting dari Experiential Marketing : Experience Providers
(ExPros)

“Experience

providers

(Expros)

merupakan

alat

taktis

untuk

mengimplementasi kelima tipe experience (sense, feel, think, act, dan relate),
terdiri dari: communications, identities, products, co-branding, environment, web
sites, dan people” (Schmitt, 1999 :72 - 74).
a. Communications (komunikasi) : mencakup periklanan, komunikasi perusahaan
internal dan eksternal (seperti magalogs, brosur dan koran, laporan tahunan, dll.)
serta kampanye public relations.
b. Visual/verbal identity (identitas visual/verbal) : mencakup nama perusahaan,
logo dan lambing.
c. Product presence (kehadiran produk) : mencakup desain produk, pengemasan
dan penampakan produk, dan karakter merek yang digunakan sebagai bagian dari
pengemasan dan poin dari material penjualan.
d. Co-branding (kerja sama merek) : mencakup event marketing dan sponsorship,
aliansi dan partnership, perizinan, penempatan produk dalam film, kerja sama
kampanye dan tipe lain dari pengaturan kerja sama.

Universitas Sumatera Utara

e. Spatial environment (lingkungan spasial) : mencakup gedung, bangunan
kantor, lahan pabrik, toko ritel, dan gerai‐gerai promosi.
f. Web sites dan media elektronik
g. People (orang) : mencakup sales people, perwakilan perusahaan, penyedia jasa,
penyedia pelayanan pelanggan dan siapa saja yang terlibat dengan perusahaan
atau merek.
2.4. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah pondasi utama dari proyek penelitian. Hal
ini merupakan jaringan hubungan antar variabel yang secara logis diterangkan,
dikembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah yang telah diidentifikasi
melalui proses wawancara, observasi dan survey literature (Kuncoro, 2003:4).
Experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan
untuk membentuk pelanggan – pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi
mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan service.
Strategic Experiential Modules (SEMs) merupakan modul yang dapat digunakan
untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman bagi konsumen. Strategic
Experiential Modules (SEMs) meliputi : Sense, Feel, Think, Act, Relate (Schimitt,
2004 : 89).
Sebenarnya

tujuan

utama

experiential

marketing

adalah

untuk

menciptakan holistic experience, yaitu pengalaman-pengalaman yang unik, positif
dan mengesankan bagi konsumen yang mencakup sense, yang bertujuan untuk
menyentuh sensory experience dari diri konsumen melalui kelima panca indera
konsumen sehingga konsumen merasa berkesan dengan produk/jasa kita. Pada
dasarnya sense marketing yang diciptakan oleh produsen dapat berpengaruh

Universitas Sumatera Utara

positif maupun negatif terhadap kepuasaan. Mungkin saja suatu produk dan jasa
yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera konsumen atau
mungkin juga konsumen menjadi sangat puas.
Feel yang bertujuan untuk membentuk pengalaman afektif yang
konsumen dapat dari pemasar. Affective experience adalah tingkat pengalaman
yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan
yang positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Untuk
restoran misalnya, apakah restoran itu dapat memberikan kenyamanan, pelayanan
yang baik dan ramah, dan bagaimana sikap pemasar dalam menangani keluhan
konsumen.
Think marketing adalah untuk mempengaruhi pelanggan agar terlibat
dalam pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan kesadaran melalui proses
berfikir yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk dan
jasanya. Misalnya, konsumen dapat mengartikan makna logo produk/jasa,
beragam paket yang ditawarkan membuat konsumen berpikir bahwa restoran
tersebut murah dan enak.
Act digunakan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan segala
bentuk interaksi terhadap konsumen yang dapat memberikan pengaruh positif
terhadap kepuasaan konsumen. Ketika act marketing mampu mempengaruhi
perilaku dan gaya hidup pelanggan maka akan berdampak positif terhadap
kepuasan konsumen karena pelanggan merasa bahwa produk atau jasa tersebut
sudah sesuai dengan gaya hidupnya. Misalnya, restoran menjadi tempat ketiga
setelah rumah dan kantor ketika berkumpul bersama keluarga dan rekan kerja.

Universitas Sumatera Utara

Relate bertujuan untuk membentuk hubungan yang baik antara konsumen
dengan suatu produk/jasa dan merek. Relate marketing dapat memberikan
pengaruh yang positif atau negatif terhadap kepuasan konsumen. Ketika relate
marketing tidak berhasil meningkatkan individu dengan apa yang ada di luar
dirinya maka konsumen tersebut tidak akan mungkin puas dan memberikan
dampak yang negatif.
Dari kelima experience tersebut, terlihat bahwa pemasar ingin menarik
hati konsumen untuk dapat menjadi pelanggan yang loyal nantinya dan untuk
mengukur keberhasilan penerapan experiential marketing tersebut, pemasar dapat
melihatnya dari tingkat kepuasan konsumen setelah merasakan experience yang
diterimanya.
Yang dalam Farisya (2010) meneliti tentang kepuasan konsumen yang
menunjukkan arah yang positif antara pengalaman pembelian sebelumnya dengan
tingkat kepuasan. Dengan adanya pengalaman terhadap pembelian sebelumnya
kemungkinan hanya sedikit ketidaksesuaian antara harapan dan kinerja serta
kemungkinan kecil terhadap ketidakpuasan.
Dari definisi-definisi seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, minat
beli ulang diartikan sebagai keputusan konsumen untuk melakukan pembelian
kembali suatu produk atau jasa berdasarkan apa yang telah diperoleh dari
perusahaan yang sama. Dengan pengalaman yang sudah diperoleh sebelumnya,
dengan suatu produk atau jasa tertentu maka akan menimbulkan kesan positif
sehingga konsumen akan melakukan pembelian ulang.
Oliver dalam Farisya (2012 : 39) menyatakan bahwa di dalam banyak
penelitian, banyak yang membahas kepuasan konsumen terlihat adanya hubungan

Universitas Sumatera Utara

antara kepuasan konsumen dengan pembelian ulang, di mana apabila konsumen
memperoleh kepuasan atas suatu produk atau jasa yang dikonsumsi, maka
konsumen tersebut cenderung untuk melakukan pembelian ulang.
Dari uraian tersebut, maka dapat digambarkan kerangka konseptual
sebagai berikut :

Experiential Marketing
Sense (X1)

Feel (X2)

Kepuasan
Pelanggan
(Y1)

Think (X3)

Minat Beli
Ulang
(Y2)

Act (X4)

Relate (X5)

Gambar 2.2. Kerangka Konseptual
2.5. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena,
atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis merupakan
pernyataan penelitian tentang hubungan antara variabel – variabel dalam
peneliatian, serta merupakan pernyataan yang paling spesifik (Sinulingga, 2014 :
114).
Berdasarkan kerangka konseptual dan perumusan masalah, maka
dihipotesiskan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

H1

: Sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.
H2

: Feel berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.
H3

: Think berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.
H4

: Act berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.
H5

: Relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

pada Rumah Makan 100 Batu Bara.
H6

: Sense,Feel, Think, Act, dan Relate mempunyai pengaruh positif dan

signifikan secara simultan terhadap kepuasan pelanggan pada Rumah Makan 100
Batu Bara.
H7

: Sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.
H8

: Feel berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.
H9

: Think berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.
H10

: Act berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.
H11

: Relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang pada

Rumah Makan 100 Batu Bara.

Universitas Sumatera Utara

H12

:

Sense,Feel, Think, Act, dan Relate mempunyai pengaruh positif dan

signifikan secara simultan terhadap minat beli ulang pada Rumah Makan 100
Batu Bara.
H13

:

Sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang

melalui kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100
Batu Bara.
H14

: Feel

berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang melalui

kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100 Batu
Bara.
H15

:

Think berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang

melalui kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100
Batu Bara.
H16

:

Act berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang melalui

kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100 Batu
Bara.
H17

:

Relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang

melalui kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada Rumah Makan 100
Batu Bara.

Universitas Sumatera Utara