Ekoleksikal Tanaman Obat Bahasa Melayu Serdang

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS

2.1

Kajian Pustaka
Ekolinguistik terbilang baru dalam kajian Linguistik. Dalam istilah lain,

kajian ini dikenal pula dengan istilah ekologi bahasa. Istilah ekologi pertama kali
dikenalkan oleh Ernest Haeckel (1834-1914). Ekologi merupakan cabang ilmu
yang

mempelajari

bagaimana

makhluk

hidup

dapat


mempertahankan

kehidupannya dengan mengadakan hubungan antara makhluk hidup dan benda tak
hidup di tempat hidupnya atau lingkungannya.
Istilah Ekolinguistik (ekologi bahasa) berhubungan dengan kata
„ekologi‟ yaitu ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan
lingkungannya dan bahasa. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan
intelektual, sosial, dan emosional manusia dan merupakan penunjang keberhasilan
dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Pembelajaran bahasa diharapkan
membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain,
mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan
analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.
Pendekatan pembelajaran ikut berperan dalam keberhasilan proses
pembelajaran bahasa. Itulah sebabnya pendekatan pembelajaran juga perlu
dikembangkan untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dan
menyenangkan apabila berinteraksi dengan baik antara lingkungan dan bahasa.

Universitas Sumatera Utara


Lingkungan bahasa adalah keseltuhan kondisi yang memungkinkan
pembelajar bahasa mendapatkan berbagai masukan tentang bahasa yang hendak
dipelajarinya. Masukan-masukan itu bersifat formal dan informal (alamiah).
Kualitas lingkungan bahasa amat menentukan dalam mencapai keberhasilan
pembelajaran bahasa baru yang dipelajari, mungkin mereka mendapatkan sedikit
keterampilan membaca tetapi keterampilan mendengar dan berbicara akan tetap
rendah karena berhadapan dengan bahasa yang baru. Oleh karena itu lingkungan
bahasa yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kesempatan seluasluasnya bagi pembelajar untuk mendapatkan pajanan yang berkaitan dengan
bahasa yang sedang dipelajarinya.
Kajian

Ekolinguistik

memiliki

parameter

yaitu


interrelationships

(interelasi bahasa dan lingkungan), environment (lingkungan ragawi dan social
budaya) dan diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan) (Haugen dalam Fill
dan Muhlhausler, 2001:1). Lebih jauh Ekolinguistik menyoroti pula sumber daya
manusia, sumber daya budaya, dan kaitannya dengan simbolisasi verbal dalam
bahasa-bahasa dunia. Ini mencakup penggunaan berkas-berkas lingual (kata, teks)
sebagai cermin (pemahaman) tentang lingkungan social dan lingkungan alami
termasuk penggunaan

simbol-simbol bahasa dan budaya yang mencerminkan

relasi simbolis verbal manusia dengan manusia dan manusia dengan alam di
sekitarnya.
Lingkungan bahasa dalam Ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan
sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Lingkungan ragawi
menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara (pesisir,
lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah hujan, dasar

Universitas Sumatera Utara


ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas fauna, flora, dan sumber-sumber
mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat
yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama,
etika, bentuk organisasi politik, dan seni.

2.1.1 Leksikal
Chaer (2008:60) menyatakan, “Makna leksikal adalah bentuk ajektif yang
diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabulary, kosa kata, perbendaharaan
kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna.” Jika leksikon dipersamakan dengan kosakata atau perbendaharaan
kata, maka leksem dapat dipersamakan dengan kata. Dengan demikian, makna
leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem,
atau bersifat kata. Dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai
dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil kehidupan kita.
Contohnya, kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang
pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak
jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing atau dalam kalimat Panen kali
ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas


merujuk kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain, tetapi dalam kalimat
yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam bukanlah dalam

makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada
seorang manusia, yang perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus.
Dilihat dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa makna
leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti

Universitas Sumatera Utara

yang dilambangkan kata itu. Makna leksikal suatu kata sudah jelas bagi seorang
bahasawan tanpa kehadiran kata itu dalam suatu konteks kalimat. Berbeda dengan
makna yang bukan makna leksikal, yang baru jelas apabila berada dalam konteks
kalimat atau satuan sintaksis lain.
Contoh lain kata bangsat tanpa konteks kalimat dan konteks situasi jika
kita mendengar kata bangsat maka yang terbayang di benak kita adalah jenis
binatang penghisap darah yang disebut juga kata busuk atau kepinding atau
orang yang berbuat jahat. Jika kita mendengar kata memotong maka yang

terbayang dalam benak kita adalah pekerjaan untuk memisahkan atau

menceraikan yang dilakukan dengan benda tajam. Tetapi kata bangsat yang

berarti penjahat dan kata memotong yang berarti mengurangi akan terbayang
dalam benak kita apabila kata-kata tersebut dipakai di dalam kalimat. Misalnya
dalam kalimat Dasar bangsat uangku disikatnya juga dan kalimat Kalau mau
memotong gajiku sebaiknya bulan depan saja.

Kata-kata yang dalam gramatikal disebut kata penuh (full word) seperti
kata meja, tidur , dan cantik memang memiliki makna leksikal tetapi yang disebut
kata tugas (function word) seperti kata dan, dalam, dan karena tidak memiliki
makna leksikal.
Kridalaksana (1982:98) mendefinisikan leksikal sbb:
1. Komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan
pemakaian kata dalam bahasa.
2. Kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau suatu
bahasa; kosa kata; perbendaharaan kata.

Universitas Sumatera Utara

3. Daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang

singkat dan praktis.
a. Kata benda
b. Kata kerja
c. Kata sifat

2.1.2 Tanaman Obat
Indonesia adalah negara agraris yang terkenal akan kekayaan rempahrempah dan berbagai jenis tanaman. Dari dahulu hingga sekarang tanaman herbal
ataupun tanaman obat dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tapi
sayang sekali banyak warga Indonesia saat ini malah lebih memilih produk
kesehatan luar negeri dibanding negeri sendiri. Padahal tak perlu jauh-jauh ke
negeri orang dengan biaya yang sangat mahal sekali, di negeri kita jauh lebih kaya
dan alami dalam segi pengobatan.
Tanaman obat atau yang biasa kita sebut tanaman herbal sangat banyak
sekali jenisnya dan manfaatnya, dari mulai mampu mengobati penyakit kelas
ringan bahkan penyakit sampai ke penyakit kelas berat. Selain itu tanaman obat
juga sudah banyak teruji ampuh dibandingkan dengan obat-obatan yang dicampur
bahan kimia. Tumbuhan obat merupakan salah satu ramuan paling utama
produk-produk obat herbal. Tanaman obat adalah bahan yang berasal dari
tanaman yang masih sederhana, murni, belum diolah. Tumbuhan obat adalah
tanaman atau bagian tumbuhan yang digunakan menjadi bahan obat tradisional

atau obat herbal, bagian tanaman yang dipakai untuk bahan pemula bahan baku
obat.

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan tanaman obat sebagai obat bisa dengan cara diminum,
ditempel, dihirup sehingga kegunaannya dapat memenuhi konsep kerja reseptor
sel dalam menerima senyawa kimia atau rangsangan.
Contoh khazanah leksikal tanaman obat Melayu Serdang adalah:
Temu Putih Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe syn. Curcuma pallida
Lour. (Heyne)) adalah salah satu spesies dari famili Zingiberaceae yang telah
dikomersilkan penggunaan rhizomanya sebagai tanaman obat dan empon-empon.
Temu putih disebut pula sebagai temu kuning. Produk alaminya banyak
digunakan dalam industri parfum, pewarna untuk industri pangan, dan sebagai
obat atau campuran obat. Khasiatnya bermacam-macam, namun biasanya terkait
dengan pencernaan.
Lebih lengkap, rimpangnya dipakai sebagai obat kudis, radang kulit,
pencuci darah, perut kembung, dan gangguan lain pada saluran pencernaan serta
sebagai obat pembersih dan penguat (tonik) sesudah nifas. Penelitian
menunjukkan


bahwa

temu

putih

juga

memiliki

aktivitas

antitumor,

hepatoprotektif, anti-peradangan, dan analgesik.

2.1.3 Melayu Serdang
Adapun kawasan Melayu terbagi ke dalam dua kabupaten yakni
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai yaitu Propinsi Sumatera

Utara. Suku Melayu Serdang, adalah suku Melayu yang mendiami wilayah
Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatra Utara dan Kabupaten Deli
Serdang. Suku Melayu Serdang ini banyak bermukim di wilayah Perbaungan, Sei
Rampah, Bandar Kalipah dan lain-lain tersebar di seluruh kecamatan yang berada

Universitas Sumatera Utara

di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatra Utara.
Awalnya Melayu Serdang hanya satu bahagian saja,
Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Deli Serdang dahulunya bersatu,
sebelum terjadinya pemekaran pada kedua kabupaten tersebut.
Kabupaten Serdang Bedagai yang beribukota Sei
Rampah adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Deli Serdang
sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003
tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada
18 Desember 2003, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri.
Bupatinya adalah Ir. H. T. Erry Nuradi, MBA, wakil bupati adalah Ir. H.
Soekirman serta sekretaris kepala daerah adalah Ir. H. Djaili Azwar, M.Si. Ketiga
pimpinan ini dikenal sebagai pimpinan yang sangat kompak, sehingga menjadikan
Serdang Bedagai menjadi kabupaten pemekaran terbaik


di Indonesia, dan

kabupaten terbaik di sumatera utara. Proses lahirnya undang-undang tentang
pembentukan Sergai sebagai kebupaten pemekaran merujuk pada usulan yang
disampaikan melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Sumatera Utara Nomor 18/K/2002 Tanggal 21 Agustus 2002 tentang Persetujuan
Pemekaran Kabupaten Deli Serdang. Kemudian Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26/k/DPRD/2003 tanggal 10
Maret 2003 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Deli Serdang Atas Usul Rencana Pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2
(dua) Kabupaten Deli Serdang (induk) dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Kabupaten yang luasnya mencapai 1900,22 kilometer persegi ini, terdiri atas 243
desa/kelurahan yang berada dalam 13 kecamatan. (lihat Sinar, T, Thyrhaya Zein)

Universitas Sumatera Utara

Secara struktur fisik dan budaya, suku Melayu Serdang ini tidaklah
berbeda dengan suku Melayu lainnya, seperti suku Melayu Deli, Melayu Langkat,
Melayu Asahan, Melayu Labuhan Batu, Melayu Asahan dan Melayu Riau.
Karena mereka semua berasal dan berakar dari satu budaya yang sama, hanya saja
karena telah terpisah-pisah, sehingga terjadi perbedaan-perbedaan kecil yang tidak
terlalu menyolok. Salah satu budaya tari dari suku Melayu Serdang yang terkenal
adalah Tari Serampang Dua belas. Tarian ini merupakan tarian tradisional Melayu
yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang.

Masyarakat Melayu Serdang, hampir seluruhnya memeluk Agama Islam,
seperti masyarakat Melayu lainnya yang menjadikan Agama Islam sebagai agama
Melayu dan agama adat, beberapa budaya dan adat-istiadat disesuaikan dengan
ajaran Islam, oleh karena itu MMS dalam hal tanaman obat selalu memperhatikan
dan menjaga kehalalannya. Mereka menggunakan tanaman obat yang baik, berkat,
dan tidak memudharatkan. Contohnya: mergat „nira‟. Bahagian pada mergat yang
dinamai secara khusus adalah nira yakni air yang keluar dari tangkai setelah
dipukul.

Pada dasarnya nira halal, karena tidak bercampur dengan bahan

yang dapat memabukkan sehingga menjadi haram ketika dikonsumsi. Nira yang
dikatakan haram apabila nira ini sengaja difermentasikan (dibasikan) sehingga
dapat membabukkan ketika kita mengkonsumsinya. Maka dari itu masyarakat
Melayu sering menggunakan kulit manggis agar nira dapat bertahan lama atau
awet sehingga tidak basi yang dapat memabukkan apabila dikonsumsi. Nira dapat
memperbanyak ASI bagi wanita menyusui. Oleh karena itu bagi wanita yang baru
melahirkan disarankan untuk mengkonsumsi nira agar dapat mempercepat ASI

Universitas Sumatera Utara

dan memperbanyak ASI. Selain itu nira juga dapat menyembuhkan penyakit
diabetes. Walau begitu mereka masih memercayai berbagai hal takhyul dan halhal ghaib serta tempat-tempat keramat yang menurut mereka bisa memengaruhi
kehidupan dan rezeki mereka.
Suku Melayu Serdang berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek
Serdang. Bahasa Melayu Serdang, berbeda dengan bahasa Melayu Deli dalam hal
dialek, tapi hampir sama dengan bahasa Melayu Langkat yang menggunakan
dialek "e".

Salah

satu

tradisi

budaya

suku

Melayu

Serdang,

adalah tradisi tepung tawar. Tradisi ini sebagai upacara untuk mengungkapkan
rasa syukur akan sesuatu yang mereka dapatkan dengan melaksanakan upacara
yang disebut tepung tawar. Tradisi ini dilaksanakan oleh MMS sejak abad ke-15
dan dirubah dan disesuaikan dengan tata cara agama Islam.
Mata pencaharian MMS adalah sebagian besar sebagai petani,
nelayan, selebihnya pedagang, perajin anyaman tikar, perajin atap rumbia, dan
perajin keranjang bambu. Mereka juga berdagang pisang sale. Selain itu banyak
juga dari mereka yang menjadi pegawai negeri di kantor-kantor pemerintah serta
menjadi wiraswasta.

2.2

Landasan Teori

2.2.1 Teori Ekolinguistik
Teori ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam tulisannya yang
bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi
bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini.
Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para

Universitas Sumatera Utara

pakar bahasa dapat bekerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam
memahami interaksi antarbahasa (Haugen dalam Fill& Mühlhäusler, 2001:57).
Analisis dalam ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu
analisis wacana eko-kritis dan ekologi linguistik. Wacana eko-kritis tidak terbatas
pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan
lingkungan

dan

pihak-pihak

yang

terlibat

dengan

lingkungan

dalam

pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini
menyertakan pula penganalisisan pelbagai macam wacana yang berdampak besar
terhadap ekosistem mendatang. Misalnya, wacana ekonomi neo-liberal, ketakterhubungan dari konstruksi konsumerisme, gender, politik, pertanian, dan alam.
Disamping itu, wacana eko-kritis bukan sebatas memfokuskan pada penulusuran
ideologi-ideologi yang berpotensi merusak, melainkan mencari representasi
diskursif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan masyarakat secara
ekologis.
Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11-12) menyebut, ada sepuluh ruang
kajian ekologi bahasa yaitu:
1.

Linguistik historis komparatif, menjadikan bahasa-bahasa kerabat di suatu
lingkungan geografis sebagai fokus kaji untuk menemukan relasi historis
genetisnya.

2.

Linguistik demografi, mengkaji komunitas bahasa tertentu di suatu kawasan
untuk memerikan kuantitas sumber daya (dan kualitas) penggunaan bahasabahasa beserta ranah-ranah dan ragam serta registrasinya (sosiolek dan
fungsiolek).

Universitas Sumatera Utara

3.

Sosiolinguistik, yang fokus utama kajiannya atas variasi sistematik antara
struktur bahasa dan stuktur masyarakat penuturnya.

4.

Dialinguistik, yang memfokuskan kajiannya pada jangkauan dialek-dialek
dan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat bahasa, termasuk di habitat
baru, atau kantong migrasi dengan dinamika ekologinya.

5.

Dialektologi, mengkaji dan memetakan variasi-variasi internal sistem bahasa.

6.

Filologi, mengkaji dan menjejaki potensi budaya dan tradisi tulisan,
propeknya, kaitan maknawi dengan kajian dan atau kepudaran budaya, dan
tradisi tulisan lokal.

7.

Linguistik preskriptif, mengkaji daya hidup bahasa di kawasan tertentu di
kawawan tertentu, pembakuan bahasa tulisan dan bahasa lisan, pembakuan
tata bahasa (sebagai muatan lokal yang memang memerlukan kepastian
bahasa baku yang normatif dan pedagogis).

8.

Glotopolitik, mengkaji dan memberdayakan pula wadah, atau lembaga
penanganan masalah-masalah bahasa (secara khusus pada era otonomi
daerah, otonomi khusus, serta pendampingan kantor dan balai bahasa).

9.

Etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural
linguistics) yang membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya,
pola pikir dan imajeri (Palmer, 1996 dalam Mbete, 2009) dalam kaitan
dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual, kreasi wacana iklan
yang berbasiskan bahasa lokal.

10. Tipologi, membedah derajat keuniversalan dan keunikan bahasa-bahasa.
Pendekatan ekolinguistik memandang bahasa sebagai wadah yang secara
fungsional merekam pengetahuan manusia tentang lingkungan alam sekitarnya

Universitas Sumatera Utara

juga lingkungan sosial budaya sebagai tanda adanya relasi dan interaksi mereka
dengan alam. Selaras dengan pandangan Sapir (dalam Fill dan Muhlhauser, Eds
2001:2). Khazanah kosa kata dan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya dan
lengkap

mencerminkan

serta

mereflesikan

perbendaharaan

pengetahuan

komunitas penuturnya tentang lingkungan ragawinya, sosialnya, gagasan-gagasan
mereka juga karakter lingkungan hidup, dan kebudayaan para pemilik bahasa itu.
Terdapat tiga parameter ekolinguistik yaitu:
1.

Parameter

Kesalingterhubungan

(Interrelationships),

Interaksi

(Interaction) dan Ketersalinggantungan (Interdepedensi).
Parameter kesalingterhubungan merupakan hubungan timbal balik antara
makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya yang dikodekan ke
dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Keberadaan spesies dan kondisi
kehidupan mereka tidak dapat dipandang sebagai dua bagian yang terpisah, tetapi
sebagai satu bagian yang utuh.
Ketersalinghubungan antara sirih dengan lingkungan alam dan lingkungan
sosial masyarakat tutur BMS. Sirih digunakan sebagai tanaman obat sangat
berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara adat rumpun Melayu. Sirih
merupakan flora khas Melayu Serdang. MMS sangat menjunjung tinggi budaya
upacara makan sirih

khususnya saat upacara penyambutan tamu dan

menggunakan sirih sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit.
Ketersalinghubungan sirih dengan MMS sangat erat sekali, hampir dalam
keseluruhan adat dan tradisi MMS tidak terlepas dengan sirih. Interaksi antara
masyarakat Melayu dengan sirih sangat terlihat jelas bahwa sirih sangat
membutuhkan Masyarakat Melayu untuk menjaga, merawat, dan melestarikan

Universitas Sumatera Utara

tanaman sirih begitu juga sebaliknya Masyarakat Melayu sangat membutuhkan
sirih

Sirih bukan hanya dipakai dalam adat dan istiadat tetapi juga sangat

dibutuhkan MMS dalam hal pengobatan. Daun sirih juga bersifat menahan
perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan saluran pencernaan.
Selain itu juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak dan menghentikan
perdarahan. Kegunaan sirih lainnya yaitu: batuk, sariawan, bronchitis, jerawat,
keputihan, sakit gigi, bau mulut, asma, dan sebagainya. Untuk pemakaian luar
yaitu: luka bakar, kurap kaki, bisul, sakit mata, menghilangkan gatal, mengurangi
produksi ASI yang berlebihan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Masyarakat
Melayu sangat bergantung kepada sirih.
Budaya Melayu terdapat tepak yang berisikan sirih dan disajikan kepada
tamu hingga sekarang masih tetap dilakukan. Biasanya

tepak sirih

tersebut

dilengkapi permen. Bagi ibu-ibu yang memunyai anak gadis sirih dibawa pulang
untuk digunakan kepada anak gadisnya yang belum mendapatkan jodoh padahal
sudah berusia lanjut. Ada suatu kepercayaan dalam penutur BMS bahwa jika anak
gadis memakan sirih tersebut maka anak gadis itu akan segera mendapat jodoh.
Oleh karena itu pepatah Melayu mengatakan setepak sirih sejuta pesan. Hal ini
membuktikan bahwa sirih berinterelasi, berinteraksi dan berinterdepedensi dengan
Masyarakat Melayu. (wawancara dengan ibu nino, 60, 10 Juni 2015)
2.

Parameter Lingkungan (Environment)
Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan berinterdepedensi dengan

pelbagai entitas yang ada di lingkungan tertentu (ecoregion). Manusia sebagai
makhluk ekologis yang memang tidak dapat tidak membutuhkan segala yang ada
demi hidupnya secara biologis, baik hewan maupun tumbuhan. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Muhlhauser (2003:37) bahwa klarifikasi hewan dan tumbuhan secara nyata
merupakan refleksi dari lingkungan dengan keanekaragaman hayatinya tempat
tinggal masyarakat tersebut.
Contohnya daun seribu guna dikenal penutur BMS daun yang agak
panjang dan bewarna hijau. Daun ini dapat menyembuhkan segala macam
penyakit. Daun ini diyakini oleh penutur BMS dapat mengobati seperti: gangguan
syaraf, gangguan pencernaan, dan dapat mengurangi nyeri haid. Daun gelinggang
dikenal oleh penutur BMS untuk menghilangkan rasa gatal dengan cara
digosokkan pada bagian kulit yang terasa gatal. Selain itu juga dapat
menghilangkan kurap, kudis, panu dan kutu air. (lihat Faridah, 2014:138)
3.

Parameter Keberagaman (Diversity)
Fill dan Muhlhauser (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman

(diversity) perbendaharaan kosa kata sebuah bahasa memancarkan lingkungan
fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat bahasa itu berada dan
digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi
yang menyangkut topografi seperti iklim, biota, curah hujan, sedangkan
lingkungan kebudayaan berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek
kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni, dan lain
sebagainya.
Leksikal sirih merupakan tanaman asli Indonesia yang hidupnya dengan
cara merambat. Ditinjau dari segi bentuk dan kategori leksikalnya sirih termasuk
leksikal dasar kategori nomina atau benda. Khazanah kebahasaan BMS yang
menggambarkan keberagaman jenis (spesies) dengan sejumlah nama anak jenis
(subspesies) tampak pada sejumlah varietas sirih berikut ini: (a) sirih utan, yakni

Universitas Sumatera Utara

bagi penutur BMS sirih utan bukan hanya untuk dikonsumsi dan penghormatan
kepada tamu. Sirih utan juga dipercaya sebagai obat dengan cara mengunyah,
menyembur, dan memilis. (b) sirih merah, yakni sirih yang berwarna merah yang
sering digunakan oleh penutur BMS untuk pengobatan berbagai macam penyakit
(c) sirih bertemu urat yakni, dikatakan sirih bertemu urat karena urat-urat sirih
bertemu.
Kajian ekolinguistik merancang sebuah teori linguistik yang dihubungkan
dengan teori dialektikal praksis sosial yang dikenal sebagai The three
dimensionality of praxis (Tiga dimensi praksis sosial. Teori tiga dimensi praksis

sosial merupakan teori yang diaplikasikan dalam mengamati lingkungan dan isuisu lingkungan untuk menjelaskan tentang norma-norma bahasa lingkungan yang
dipresentasikan dalam bentuk kerangka teori. Menurut Lindo dan Jeppe
(2000:10)(lihat Nuzwaty, 2014:32) teori tiga dimensi tersebut adalah:

1.

Dimensi ideologis, yaitu hubungan individual dan mental kolektif, kognitif,

dan sistem psikis seseoang yang terlefleksi pada bahasa, khasanah kebahasaan
dengan kandungan maknanya/prilakunya dan adanya idelogi atau adicita
masyarakat.
Dalam kehidupan sosial MMS setiap anak-anak yang demam dapat diobati
dengan bunga raya merah dan bunga raya putih, karena kedua tanaman obat ini
dipercaya bagi MMS dapat menghilangkan panas pada sakit demam.
Tanaman bunga raya merah, yang dijadikan sebagai obat adalah daunnya
saja. Daun bunga raya yang diremas-diremas di dalam semangkuk air hingga
mengental. Semakin lama daun bunga raya diremas maka air di dalam mangkuk
semakin mengental. Kemudian air yang sudah mengental dan bercampur dengan

Universitas Sumatera Utara

daun bunga raya ini disapu-sapukan di atas kepala, yang disebut oleh MMS
adalah „jaram‟. Hal ini berguna untuk melenyapkan penyakit panas atau demam
pada tatanan dimensi ideologis. Waktu yang diperbolehkan untuk melakukan
penjaraman sejak sore menjelang malam dan atau sampai pada pagi hari. Jika
penjaraman dilakukan pada saat siang hari MMS memercayainya sebagai sesuatu

yang tidak baik bagi kesehatan.
Bunga raya putih digunakan untuk mengobati panas atau demam dengan

hanya penggunaan akarnya. Akar bunga raya putih ini diambil beberapa ikat yang
dalam BMS disebut kecak. Kemudian akar ini direndam dengan air masak.
Diamkan beberapa jam, setelah itu air rendaman tersebut diminum. MMS
meyakini bahwa apabila hal ini dilakukan dapat mengobati penyakit cacar.
2.

Dimensi sosiologis, yaitu tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan
antara sesama untuk membangun, menjalin, dan memelihara keharmonisan
hubungan individual secara kolektif.
Kebiasaan atau tradisi „jaram‟ masih digunakan di dalam kehidupan sosial

dalam tatanan dimensi sosiologis, budaya yang diturunkan dari generasi ke
generasi berikutnya. Kedekatan relasi MMS dengan leksikon bunga raya atau
derajat kedekatan (degree of familiriaty) tercermin pada derajat keakraban dan
pengetahuannya yang dipahami sebagai tradisi dan budaya dengan pengetahuan,
pemahaman, dan pengalaman berinteraksi, berinterelasi, dan berinterdepedensi.
3.

Dimensi biologis, yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup
berdampingan dengan alam serta seluruh isinya, termasuk ke dlamnya

spesies

flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro organisme.

Universitas Sumatera Utara

Bunga raya merupakan bunga yang cantik dengan warna yang bermacam-

macam, seperti merah, putih, merah muda, dan orange. Bunganya besar, keras,
dan tidak berbau.

Pohon bunga raya merupakan tumbuhan yang mudah

ditanam dan dibudidayakan. Bunga raya biasanya ditanam oleh MMS di
pekarangan rumah mereka. Kedekatan relasi itu tampak pada pemahaman dan
perkembangan biologis tanaman tersebut dalam tatanan dimensi biologis yang
diidentifikasi dengan warna yang beragam, selanjutnya oleh penutur MMS
menjadikannya sebagai salah satu tanaman obat yang dapat menghilangkan panas
atau demam yang terekam secara verbal di dalam kognitif MMS dalam tatanan
dimensi ideologis dan dimensi sosiologis pada kehidupan sosial MMS.

2.2.2 Relasi Semantis
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Dalam setiap bahasa, termasuk
bahasa Indonesia, sering ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasi
semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya. Pendekatan semantik
leksikal yang digunakan pada kajian ini adalah ranah relasi semantis. Teori yang
digunakan untuk memaparkan relasi semantis ekoleksikal tanaman obat BMS
adalah teori Saeed (2000:63). Teori relasi semantis menurut Saeed adalah:
1.

a.

Homonim

Homonim adalah bentuk kata secara fonologi sama tetapi maknanya tidak
berhubungan (Saeed, 2000:63). Selain homonim, ada juga istilah homograf dan
homofon. Secara harfiah homonim dapat diartikan sebagai nama sama untuk
benda atau hal lain dan maknanya berbeda.

Universitas Sumatera Utara

Contoh: kata „bisa‟ berarti : 1. dapat atau mampu
2. racun ( bisa ular)
b.

Homograf yaitu tulisan sama tetapi pelafalan dan makna berbeda.

Contoh: kata „apel‟ berarti : 1. nama buah
2. upacara
c.

Homofon yaitu bunyi sama tetapi tulisan dan makna berbeda.

Contoh : kata „bang‟ berarti: panggilan untuk laki-laki yang lebih tua
kata „bank‟ berarti: badan usaha di bidang keuangan.
2.

Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga

frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Contoh: kata „kepala‟ berarti:
1.

Bagian tubuh dari leher ke atas

2.

Bagian dari suatu berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku

dan
3.

3.

kepala jarum.
Pemimpin atau ketua seperti kepala sekolah, kepala kantor dsb.

Sinonim
Sinonim adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama.
Contoh: kata „pandai‟ dan „pintar‟
Kata pandai dan pintar termasuk kata yang bersinonim karena memiliki

arti yang sama.

Universitas Sumatera Utara

4.

Antonim
Antonim merupakan relasi leksikal yang menggambarkan makna yang

bertentangan. Maksudnya adalah suatu ungkapan yang maknanya dianggap
kebalikan dari makna ungkapan lain. Contoh: kata „besar‟ dan „kecil‟
Kata besar dan kecil termasuk kata yang berantonim karena memiliki arti
yang berlawanan.

5.

Hiponim
Secara harfiah berarti nama yang termasuk di bawah nama lain. Hiponim

kata yang ruang lingkupnya lebih khusus atau disebut kata khusus. Untuk kata
ruang lingkupnya yang lebih luas disebut hipernim atau kata umum.
Contoh: kata anggrek, melati, mawar merupakan hiponim dari hipernim
kata „bunga‟

6.

Meronim
Meronim adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

sebagian atau keseluruhan hubungan leksikal. Contoh:
pohon

batang

daun

cabang ranting

akar

2.2.3 Semantik Leksikal
Kridalaksana (1982:184) semantik leksikal adalah penyelidikan makna
unsur kosakata suatu bahasa pada umumnya. Kajian semantik leksikal adalah
pembahasan makna alamiah kata. Yang dimaksud dengan makna kata dalam

Universitas Sumatera Utara

semantik leksikal adalah makna kata yang dianggap sebagai satuan yang mandiri
bukan makna kata dalam kalimat (lihat Pateda, 2001:74). Sibarani (1997:7)
mengatakan “Setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya
bahasa yang bersangkutan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa makna kata sesuai dengan
referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera atau makna yang sungguhsungguh nyata dalam kehidupan kita disebut semantik leksikal. Contoh: cekur
referennya „kencur‟ halia referennya „jahe‟ betik referennya „pepaya‟.
Dalam

pembahasan

semantik

leksikal

kata

merupakan

tumpuan.

Sebagaimana yang dikemukakan Sweet dalam Palmer (1976:37) yang
membagikan kata ke dalam tiga bagian, yaitu kata penuh (full words), kata tugas,
dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini
bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya: nomina, verba,
adjektiva, dan adverbial.

2.2.4

Semantik Kognitif
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya

“Knowing”, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah
perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan (Neissser, 1976).
Semantik (dari Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting,
dari kata sema , tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang
terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain,
Semantik adalah pembelajaran tentang makna.

Universitas Sumatera Utara

Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada
pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan
pikiran (Lyions 1995: 97). Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut
kognitifist dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan
lingkungan yang berkesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi
merupakan proses yang mengalir serta sambung-menyambung, dan menyeluruh.
Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet
yang terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau paragraf yang diserap dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, kemudian membentuk
sebuah

makna/arti,

mengalir

total

secara

bersamaan.

(tps://id.wikipedia.org/wiki/Semantik)
Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
akses langsung terhadap realita, oleh karena itu realitas sebagaimana tercermin
dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan pengalaman
mereka. Bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme yang
terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses koseptualisasi ini, menurut
penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara
manusia memahami dan membicarakan dunia.

Universitas Sumatera Utara

2.3

Penelitian Relevan

2.3.1 Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional
di

Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Kajian
Ekolinguistik (Rasna, 2010)
Penelitian yang dilakukan oleh Rasna dengan judul “Pengetahuan dan

Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam
Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Penelitian ini
membahas secara ekolinguistik adanya penyusutan bentuk leksikal tumbuhan/
tanaman obat para remaja sehingga para remaja tidak mengenal leksikal tanaman
obat, contohnya beluntas. Hal ini terjadi karena (a) adanya perubahan
sosiokultural, (b) perubahan sosioekologis secara fisik, dan (c) faktor
sosioekonomis.
Persamaan penelitian Rasna dengan penelitian ini sama-sama meneliti
tentang leksikal tanaman obat, tetapi penelitian yang dilakukan oleh Rasna
membahas pengetahuan dan sikap para remaja di Kabupaten Buleleng terhadap
tanaman obat tradisional beserta faktor-faktor apa saja yang membuat para remaja
tidak mengenal leksikal tanaman obat tradisional di Kabupaten Buleleng.
Penelitian ini diteliti dari segi semantik, yaitu meneliti relasi semantis yang
terbentuk pada ekoleksikal tanaman obat BMS.

2.3.2 Pergeseran Leksikon Kuliner Melayu Serdang Terhadap Remaja
Perbaungan

Kabupaten serdang Bedagai ( Sinar, T, S, 2011)

Generasi muda Melayu Serdang saat ini sudah tidak mengenal lagi
kuliner Melayu Serdang, makanan khas Melayu Serdang. MMS malah menenal

Universitas Sumatera Utara

dan mengetahui dengan baik kuliner modern yang identik dengan kuliner khas
barat seperti: pizza , humberger, spaghetty, kentucky dan makanan lain yang cepat
saji dan praktis (fast food). Metode yang digunakan dalam penelitian Sinar ini
adalah metode kualitatif dan kuantitatif dengan instrumen untuk pengumpulan
data dilakukan di Kec. Perbaungan yang berada dalam lingkungan Kesultanan
Serdang masa lalu di Kabupaten Serdang Bedagai.
Penelitian ini menemukan kuliner khas Melayu Serdang yang sudah tidak
dikenal lagi oleh penutur remaja Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai seperti:
botok kampung, bubur lambuk, gulai darat atau terung sembah, gulai pisang
emas, gulai kacang hijau, pekasam kepah, emping padi, senat, kueh makmur, kue
pakis, dan sebagainya.

Perbedaan penelitian Sinar dengan penelitian ini adalah penelitian Sinar
menganalisis mengenai leksikon kuliner Melayu Serdang yang terletak di
Perbaungan Kecamatan Serdang Bedagai, sedangkan penelitian ini membahas
tentang ekoleksikal tanaman obat Melayu Serdang.

2.3.3 Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas
Bahasa

Aceh di

Ekolinguistik. (Nuzwaty,

Desa

Trumon

Aceh

Selatan:

Kajian

2014)

Penelitian ini memukan metafora yang digunakan oleh penutur bahasa
Desa Trumon terbentuk dari sifat alamiah flora dan fauna yang ada di lingkungan
alam. Kemidian ditemukan bahwa pada umumnya metafora di Desa Trumon yang
terbentuk dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh dan pengalaman
indrawi penggunaan bahasa tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Metode yang digunakan pada penelitian Nuzwaty adalah metode
deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori
ekolinguistik dengan tiga parameter ekolingustik yaitu, kesalingterhubungan
(interrelationship), lingkungan (environment), keberagaman (diversity), dan juga
teori metafora konseptual kognitif linguistik.
Perbedaan dengan penelitian Nuzwati dengan penelitian ini adalah
penelitian Nuzwaty membahas mengenai keterkaitan metafora dengan lingkungan
alam di Desa Trumon Aceh Selatan, sedangkan penelitian ini membahas
ekoleksikal tanaman obat Melayu Serdang.
2.3.4 Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang:
Kajian Ekolinguistik (Faridah, 2014)
Penelitian Faridah ini membahas tentang khazanah ekoleksikal bahasa
Melayu Serdang, sikap dan pengetahuan Melayu Serdang terhadap leksikalnya,
serta membahas faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa Melayu
Serdang. Metode yang dipakai pada penelitian Faridah adalah metode kualitatif
dan kuantitatif. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah ekolinguistik.
Beberapa sikap bahasa oleh penutur BMS yang akan diuji adalah bangga, sadar,
dan setia.
Faridah membuktikan bahwa dalam pilihan bahasa penutur tua
menggunaka bahasa BMS di ranah rumah dengan penutur muda, namun penutur
muda menjawab dengan bahasa Indonesia. Antara sesama penutur tua di rumah
menggunakan BMS sedangkan sesama penutur muda menggunakan bahasa
Indonesia. Jadi Faridah membuktikan tiga ketegori sikap positif yakni bangga,
setia, dan sadar terhadap BMS tidak dimiliki oleh penutur usia muda. Hanya

Universitas Sumatera Utara

penutur tua yang masih setia menggunakan BMS sehingga BMS mengalami
pergereran ke bahasa Indonesia.

Perbedaan penelitian Faridah dengan

penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Faridah membahas tentang
ekoleksikal BMS, sikap pada penutur BMS, dan faktor-faktor yang menyebabkan
BMS telah mengalami pergeseran, sedangkan penelitian ini membahas tentang
ekoleksikal tanaman obat BMS dan relasi semantis pada leksikal tanaman obat.
2.4 MODEL PENELITIAN

BAHASA MELAYU SERDANG
(BMS)

Leksikal Tanaman Obat BMS

Khazanah
Ekoleksikal Tanaman
Obat MS

Relasi Semantis yang
Terbentuk

Leksikal Daun, Buah
Rempah-rempah

Homonim, Polisemi,
Sinonim, Antonim,
Hiponim dan Meronim

Ekolinguistik,

Semantik

Unsur Leksikal

Universitas Sumatera Utara