Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Induksi Tunas Mikro Dari Eksplan Bonggol Pisang Kepok (Musa paradisiaca L)

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Klasifikasi botani tanaman pisang kepok menurut Tjitrosoepomo (2009)
adalah sebagai berikut : Regnum : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub divisi :
Angiospermae Classis : Monocotyledoneae Ordo : Musales Familia : Musaceae
Genus : Musa Spesies : Musa paradisiaca L.
Pisang merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara, yaitu berasal dari
Semenanjung Malaysia dan Filipina. Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa
pisang berasal dari Brasil dan India. Dari sini kemudian menyebar hingga ke daerah
Pasifik. Saat ini, hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil
pisang. Tumbuhan pisang banyak terdapat dan tumbuh baik di daerah tropis dan sub
tropis. 10 Pisang adalah salah satu jenis buah-buahan yang dapat tumbuh di daerah
yang beriklim, yang banyak mengandung vitamin A, B1, B2,B6 dan C. Pisang
merupakan tanaman terna yang tidak mengenal musim. Pisang merupakan salah satu
tanaman unggulan lokal. Pengembangan pisang secara komersial dihadapkan pada
kesulitan mendapatkan bibit yang bermutu baik dalam jumlah besar dan dalam waktu
singkat. Secara konvensional pisang ini dapat diperbanyak dengan teknik pemisahan
anakan dan perbanyakan bonggol

(Satuhu dan Supriyadi, 2000).


Tanaman pisang merupakan tanaman herba tahunan yang mempunyai sistem
perakaran dan batang di bawah tanah. Pohon pisang berakar rimpang yang
berpangkal pada umbi batang. Batang yang berdiri tegak di atas tanah dan terbentuk
dari pelepah daun yang saling menelungkup dan disebut batang semu. Tinggi batang
semu berkisar antara 3,5 – 7,5 meter (Satuhu dan Supriyadi, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Daun pisang letaknya tersebar dengan helaian daun berbentuk lanset
memanjang, dan mudah sekali robek oleh hembusan angin yang keras karena tidak
mempunyai tulang-tulang pinggir yang menguatkan lembaran daun. Bunga
berkelamin satu, berumah satu dan tersusun dalam tandan. Daun pelindung berukuran
panjang 10 – 25 cm, berwarna merah tua, berlilin, dan mudah rontok. Bunga tersusun
dalam dua baris yang melintang. Bakal buah berbentuk persegi, sedangkan bunga
jantan tidak ada. Setelah bunga keluar, bunga membentuk sisir pertama, kedua
danseterusnya (Satuhu dan Supriyadi, 2000).
Pisang kepok di Filipina dikenal dengan nama pisang saba, sedang di
Malaysia dikenal dengan nama pisang nipah. Buahnya enak dimakan setelah diolah
terlebih dahulu. Bentuk buahnya agak pipih, sehingga kadang disebut pisang gepeng.
Beratnya pertandan dapat mencapai 14 sampai 22 kg dengan jumlah sisir 10 sampai

16. Setiap sisir terdiri dari 12 sampai 20 buah. Bila matang warna kulit buahnya
kuning penuh (Torres, 1989).
Pisang kepok banyak jenisnya, yang terkenal antara lain pisang kepok kuning
dan putih. Pisang kepok putih warna dagingnya putih, dan pisang kepok kuning
warna dagingnya kuning. Pisang kepok kuning mempunyai rasa yang lebih enak
dibandingkan dengan pisang kepok putih, karenanya pisang kepok kuning lebih
disukai (Widyastuti, 2002).
Kultur Jaringan
Metode kultur jaringan pisang juga mempunyai keunggulan-keunggulan lain
seperti dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu singkat, relative
bebas penyakit, seragam dan tidak tergantung pada musim (Yuwono, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Teknik kultur jaringan dilakukan sebagai alternative perbanyakan tanaman,
bukan dengan menggunakan tanah, melainkan dalam medium buatan di dalam tabung
(botol). Teknik ini sudah berkembang luas sehingga bagian tanaman yang digunakan
sebagai bahan awal perbanyakan tidak hanya berupa jaringan melainkan juga dalam
bentuk sel sehingga dikenal teknik sel. Oleh karena itu teknik ini secara umum
disebut sebagai teknik in-vitro (Yuwono, 2006).

Kultur jaringan itu sendiri dapat diartikan suati metode untuk mengisolasi
bagian tanaman serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik. Sehingga bagian
tersebut dapat memeperbanyak diri dan beregenarasi menjadi tanaman lengkap
(Hartman et al., 2002).
Teknik kultur jaringan yaitu suatu cara menumbuhkan organ tanaman seperti
tunas pucuk, batang, daun, akar, dan biji dalam suatu wadah/botol yang berisi media
dalam keadaan aseptil/steri. Beberapa kegunaan dari teknik kultur jaringan adalah
untuk perbanyakan tanaman, memeperbaiki sifat-sfat tanaman, utnuk produksi
metabolit sekunder dan untuk melakukan konservasi tanaman secara in vitro. Dalam
hal perbanyakan tanaman, beberapa kelebihan dapat diperoleh anatara lain calon bibit
dapat disimpan dalam botol secara efisien dalam penggunaan tempat dan ruang, bibit
dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan seragam, sehingga menghasilkan buah
yang ukurannya seragam pula. Selain waktunya cepat, serta bebas penyakit, bibit
yang diperbanyak melalui kultur jaringan, akan mempunyai sifat yang sama sma
dengan induknya dan tersedia sepanjang tahun. Walaupun biaya untuk peralatan,
bahan kimia dan listrik relative mahal, akan tetapi karena bibit yang produksi
jumlahnya sangat banyak bahkan dapat mencapai jutaan, maka secara ekonomis

Universitas Sumatera Utara


teknik ini tetap dapat diperhitungkan. Demikian pula kelemahan lain seperti
terjadinya kontaminasi dapat diatasi dengan pengelolaan yang intensif mulai dari
penanganan calon bahan eksplan dirumah kaca sampai kepada penanganan subkultur
yang cermat dan pengelolaan ruang media dan ruang kultur yang tepat. Secara garis
besar perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan terdiri dari 5 tahap yaitu
1.Persiapan bahan eksplan dan media, 2.Perlakuan sterilisasi dan isolasi tunas untuk
bahan eksplan , 3.Pada media multiplikasi tunas, 4. Penanaman pada media
perakaran, dan 5. Aklimatisasi (Inovasi teknologi hortikultura).
Eksplan
Penyedian bibit Perbanyakan tanaman pisang biasanya dilakukan secara
vegetatif yaitu dengan pemisahan anakan (sucker) yang tumbuh dari bonggolnya, dan
dengan bonggol tanaman pisang. Bibit anakan yang digunakan adalah bibit anakan
dewasa karena paling cepat menghasilkan buah diikuti bibit anakan sedang, anakan
muda, dan tunas anakan. Bibit pisang dipilih yang sehat dan baik (Satuhu dan
Supriyadi, 2000).
Tanaman pisang terdiri dari akar, bonggol, batang, daun, bunga dan buah.
Akarnya berupa akar serabut yang berpangkal pada umbi batang (bonggol). Akar
terbanyak terdapat di bagian bawah tanah yang tumbuh sampai kedalaman 75
sampai 150 cm di dalam tanah. Akar yang berada di bagian samping umbi batang
(bonggol) tumbuh ke samping atau mendatar (Satuhu dan Supriyadi, 2000).

Bonggol pisang dapat dimanfaatkan untuk diambil patinya, pati ini
menyerupai pati tepung tapioca. Potensi kandungan pati bonggol pisang yang besar

Universitas Sumatera Utara

dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan bakar yaitu, bioetanol

(Yuanita et al.,

2008)
Media Kultur Jaringan
Media merupakan salah satu faktor yang penting dalam kultur jaringan. Media
tumbuh pada sistem kultur jaringan harus dapat memenuhi kebutuhaneksplan.
Umumnya, media dalam kultur jaringan merupakan campuran air danhara yang
mengandung garam-garam anorganik, dan zat pengatur tumbuh.
Garam-garam anorganik menyediakan unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg,
dan Na) dan unsur-unsur hara mikro (B, Co, Mn, I, Fe, Zn, dan Cu) (Abidin, 1994).
Media kultur jaringan dibedakan menjadi 2 yaitu media dasar dan media
perlakuan. Media dasar yang sering digunakan untukteknik kultur jaringan adalah
media dasar Murashige dan Skoog (1962). Media Murashige dan Skoog yang sering

digunakan mengandung unsur-unsur haramakro dan mikro yang diperlukan tanaman
untuk pertumbuhan danperkembangannya. Media untuk kultur jaringan selain
memerlukan unsur harajuga memerlukan bahan organik lain seperti gula, vitamin,
asam amino, myoinositol, zat pengatur tumbuh, dan bahan organik kompleks alami
(Gunawan, 1992).
Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama
disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan
yang di kulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponentambahan.
Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon, vitamin dan pengatur
tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik,

Universitas Sumatera Utara

metabolik dan ekstra tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan
sel dan perbanyakannya (Wetter dan Constabel, 1991).
Jenis dan komposisi media sangat memerlukan biaya produksi dan
keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Teknik perbanyakan bibit secara
in vitro dapat dilakukan setiap waktu tanpa dipengaruhi oleh musim. Walaupun
demikian, biaya produksi bibit denagan teknik kultur jaringan sangat mahal, karena
pada umumnya digunakan Murrashige dan Skoog yang merupakan media

petumbuhan denagn bahan pemadat agar yang diperkaya dengan berbagai senyawa
organik, vitamin dan zat pengatut tumbuh (Sutarto et al., 2003)
Lingkungan In Vitro
Lingkungan tumbuh merupakan salah satu faktor pendukung dalam kultur
jaringan. Lingkungan tumbuh yang dibutuhkan tanaman yang ditumbuhkan secara
kultur in vitro dapat berbeda dengan tanaman yang ditumbuhkan secara in vivo.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangankultur
secara in vitro adalah cahaya, temperatur, kelembaban, CO2 dan O2. Unsur cahaya
yang perlu diperhatikan adalah kualitas cahaya,panjang penyinaran dan intensitas
cahaya (Wetherell, 1982).
Cahaya yang baik untuk pertumbuhan kultur adalah cahaya putih. Lampu
fluoresent sangat baik dan sangat efisien dalampenggunaan energi bila dibandingkan
dengan lampu pijar.Bentuk lampu fluoresen memungkinkan penyebaran cahaya yang
lebih baikdengan panas yang dikeluarkan relatif rendah (Gunawan, 1992).
Tahap persiapan eksplan dan tahap penggandaan membutuhkan penyinaran
100 footcandle,sedangkan tahap pembesaran membutuhkan penyinaran 300-1000

Universitas Sumatera Utara

footcandle. Suhu pada kultur jaringan biasanya dipertahankan konstanpada 24-26°C.

Kelembaban ruang kultur yang terlalu tinggi menyebabkanterjadinya pertumbuhan
mikroba di luar kultur. Hal ini dapat menaikkan derajatkontaminasi (Wetherell,
1982).
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang dalam
konsentrasi rendah (< 1 mM) dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengaruh sitokinin di dalam in
vitro berhubungan dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, dan
menghambat pertumbuhan akar tanaman, sedangkan peranan auksin dalam kultur in
vitro terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel dan pertumbuhan akar
(Widyastuti dan Donowati, 2008).
Dalam kultur jaringan, dua golongan

zat pengatur tumbuh yang sangat

penting adalah sitokinin dan auksin. IAA adalah zat pengatur tumuh yang tergolong
auksin. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin
dapat meningkatkan sintesa protein. Dengan adanya kanaikan sintesa protein, maka
dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan. Adapun kinetin
tergolong zat penugatur tumbuh dalam kelompok sitokinin. Kinetin adalah kelompok

sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Dalam
pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh
interaksi terhadap deferensiasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Auksin

adalah

sekelompok

senyawa

yang

fungsinya

merangsang

pemanjangan sel –sel pucuk yang spectrum aktivitasnya menyerupai IAA (Indole3-

Universitas Sumatera Utara


acetid acid). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya auksin meningkatkan
pemanjangan sel, pembelahan sel, dam pembentukan akar adventif. Auksin
berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar,
namun kahadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan
embryogenesis somatic pada kultur suspense sel. Konsentrasi auksin yang rendah
akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan konsentrasi merangsang
tinggi

merangsang

pembentukan

kalus

dan

menekan

morfogenesis


(Zulkarnain, 2009).
Sitokinin merupakan nama kelompok hormone tumbuh yang sangat penting
sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogensis dalam kultur jaringan. Seperti halnya
pada auksin, selain sitokinin alami juga terdapat sintesisnya yang tergolong dalam
zat pengatur tumbuh. Kinetin adalah merupakan sitokinin yang pertama kali
ditemukan oleh mahasiswa professor Skoog’s bernama Carlos Miller (1954) pada
laboratotrium di Universitas Wisconsin, yaitu senyawa yang sangat aktif yang
terbentuk dari hasil penguraian sebagian DNA tua sperma ikan hering atau DNA
yang diautoklaf yang menyebabkan terus tumbuhnya kalus tembakau
(Santoso dan Nursandi, 2001).
Sitokinin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah kinetin,
benziladenin (BA atau BAP), san zeatin. Zeatin adalah sitokinin yang disintesis
secara alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah kinetin sintetik (Zulkarnain, 2009).
Menurut (Santoso dan Nursandi 2001) beberapa penelitian yang utama dan
sesuai dengan namanya jelas mempunyai kaitan erat dengan sel, secara lebih luas
perannya dapat dijabarkan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Sitokinin berperan dalam

memacu pembentangan sel, pembesaaran dan

pembelahan sel.
2. Sitokinin berperan dalam penundaan senessen (penuaan),
3. Sitokinin berperan mengarahkan transport zat hara, yaitu member peran signal
kearah mana zat hara akan dibawa atau ditransport,
4. Peran sitokinin yang lain adalah mendorong proses morfogenesis, pertunasan,
pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi,
pembukaan stomata, pembungaan dan pembentukan buah partenokarpi,
5. Dalam kultur jaringan sitokinin telah terbukti dapat menstimulir terjadinya
pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi
meristem ujung, menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan
klorofil pada kalus
Terdapat kisaran ineraksi yang luas antara kelompok auksin dengan kelompok
sitokinin. Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berineraksi pula dengan
senyawa-senyawa kimia lainnya dan dipengaruhi oleh factor-faktor lingkungan,
seperti cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu auksin dapat bereaksi dengan
menyerupai sitokinin, atau sebaliknya (Kyte,1983). Meskipun demikian, baik auksin
maupun sitokinin , keduanya sring kali diberikan secara bersamaan pada medium
kultur intuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun ratio yang dibutuhkan
untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama, terdapat keragaman yang
tinggi antargenus, antarspesiesbahkan antar kultivar dalam hal jenis takaran auksin
dan sitokinin untuk menginduksi terjadinya morfogenesis (Zulkarnain, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Umumnya sitokinin paling banyak terdapat di organ muda (biji,buah,daun)
dan di ujung akar. Daun, buah dan biji muda, tidak mudah memindahkan sitokininnya
ketempat lain, baik melalui xylem maupun floem. Sitokininnya eksogen menghambat
pertumbuhan in vitro jika konstrasi zpt dalam jaringan menjadi berlebihan. Tidak
mudah untuk mengatasi masalah ini tanpa mengukur konsentrasi dalam sitokinin
pada irisan jaringan, terutama pada sel epidermis yang diduga mmenghalangi
keseluruhan laju pemanjangan (Salisbury dan Ross, 1992). Auksin terutama untuk
pertumbuahn kalus suspense sel dan pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin
dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki. Pemilihan konsentrasi dan jenis
auksin ditentukan oleh kemampuan dari jaringan yang di kultur (eksplan) untuk
mensintesis auksin secara alamiah. Pada sitokinin dengan konsentrasi tinggi yang
mendorong proliferasi tunas sebaliknya menghambat penghambat akar. Zat penagtur
pada eksplan tergantung dari zat penagtur tumnuh endogen dan zat pangatur pada
eksplan tergantung dari zat pengatur eksogen yang diserap dari media tumbuh.
Konsentrasi yang diperlukan dari masing-masing ZPT auksin dan sitokinin
tergantung dari jenis eksplan, genotip, kondisi kultur serta jenis aukssin dan sitokinin
yang dipergunakan (Wattimena et al, 1992).
Perbanyakan Tanaman Pisang Secara Konvensional
Perbanyakan pisang di tingkat petani dilakukan secara konvensional. terdapat
4 cara perbanyakan, yaitu dengan anakan langsung, anakan semai, bit anakan (mini
bit), dan bit bonggol. Anakan langsung merupakan bibit pisang yang berasal dari
pemisahan anakan untuk langsung ditanam di kebun. Bibit yang paling baik
digunakan adalah anakan pedang (sword sucker). Anakan semai merupakan bibit

Universitas Sumatera Utara

yang berasal dari anakan rebung atau anakan yang memiliki bonggol terlalu kecil.
Untuk menghindari stres lingkungan, anakan ini disemai terlebih dahulu di polybag
sebelum ditanam di kebun. Bit anakan (mini bit) merupakan bibit yang berasal dari
anakan yang terlebih dahulu diinduksi untuk menumbuhkan tunas aksilar. Setelah
tunas aksilar muncul, barulah bonggol dibelah untuk kemudian ditanam kembali
sebanyak tunas yang muncul. Bit bonggol merupakan perbanyakan dengan cara
membelah bonggol dengan ukuran 10 cm x 10 cm. sesuai dengan jumlah mata tunas
yang ada kemudian hasil belahan langsung ditanam di kebun. Kelemahan teknik
konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang seragam dan benar-benar sehat
dalam waktu singkat

(Santoso, 2013)

Kajian Kultur Jaringan Tanaman Pisang
Kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk menumbuhkan kembangkan
bagian tanaman in vitro secara aseptik dan aksemik pada media kultur berisi hara
lengkap dan kondisi lingkungan terkendali untuk tujuan tertentu. Prinsip yang
mendasari kultur jaringan adalah teori totipotensi sel, konsep Skoog dan Miller, dan
adanya sifat kompeten, dediferensiasi, dan determinasi tanaman. Teori totipotensi sel
dikemukakan oleh Schwann dan Shcleiden pada tahun 1838 menyatakan bahwa
setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetic untuk dapat tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman utuh jika kondisinya sesuai. Teori ini baru terbukti
berkat penemuan hormone auksin dan percobaan yang dilakukan oleh Skoog dan
miller pada tahun 1957. Skoog dan Miller menyebutkan bahwa reggenerasi tunas dan
akar in vitro (organogenesis) dikontrol secara hormonal oleh sitokinin dan auksin.
Namun kecepatan organogenesis maupun embriogenesis dipengaruhi oleh sifat

Universitas Sumatera Utara

kompeten, dediferensiasi, dan determinasi eksplan tanaman. Eksplan yang kompeten
akan memberi respon dengan terbentuknya organ ataupun embrio. Proses ini di kenal
sebagai inductive event. Pada inductive event inilah akan terjadi proses
dediferensiasi, yaitu perubahan sel tanama nyang

sudah terspesialisasi menjadi

bentuk yang tidak terspesialisasi dan kembali ke kondisi meristematik. Pada kondisi
meristematik ini signal lingkungan (hormonal) mengarahkan sel-sel eksplan untuk
membentuk organ tunas maupun akar (organogenesis) dan embrio (embryogenesis).
Determinasi terjadi apabila eksplan yang sudah terinduksi tetap berkembang menjadi
organ atau embrio meskipun berada di lingkungan yang sudah tidak di beri signal
hormonal.
Menurut Yusnita (2003), terdapat lima tahapan dalam perbanyakan tanaman secara
kultur jaringan, yaitu:
1. Tahap 0 merupakan tahap pemilihan dan persiapan tanaman induk untuk
eksplan. Tanaman yang akkan dikulturkan harus jelas jenis dan varietasnya,
serta terbebas dari hama dan penyakit tanaman. Sumber eksplan juga penting
diperhatikan seperti bagian diambil sebagai eksplan,umur fisiologis tanaman
dan ukuran eksplan hal ini akan menetukan tingkat sterilisasi eksplan.
2. Tahap 1 merupakan inisiasi kultur. Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan
kultur yang aseptic dan aksenik. Sterilisasi merupakan salah langkah yang
harus dilakukan untuk mendapatkan kultur yang bebas kontaminan. Sterilisasi
induk eksplan dapat dilakukan dengan karantina tanaman induk di rumah baca
disertai dengan pemberian perlakuankhusus terhadap tanaman induk.
Sterilisasi permukaan eksplan dapat dilakukan menggunakan bahan kimia

Universitas Sumatera Utara

sperti NaOCL, CaOCL, etanol, dan HgCl2.peningkatan efektifitas sterilisasi
dapat dilakukan dengan penambahan tween 20 sebanyak 2 tetes/100 ml.
Menurut Sandra (2013), Tween-20 dapat merendahkan tegangan permukaan
bahan desinfektan sehingga bahan desinfektan htersebut dapat menyentuh
lekukan-lekukan maupun rongga-rongga kecil seperti celah di anatara bulubulu halus nyang ada di eksplan sehingga eksplan benar-benar steril. Setiap
bahan

tanaman

sumber

eksplan

morfologi

permukaan,lingkungan

tumbuh,musim pengambilan eksplan,umur tanaman, dan kondis tanaman. Hal
terpenting dalam sterilisasi adalah bagaiman menjaga agar eksplan benarbenar steril dengan tetap menjaga tidak terjadi kerusakan jaringan eksplan
akibat tingginya konsentrasi desinfektan. Selain sterilisasi,masalh yang sering
muncul pada tahap ini adalah terjadinya pencoklatan. Senyawa ini bersifat
toksik sehingga mengganggu pertumbuahnn bahkan dapat mematikan
jaringan eksplan.
3. Tahap 2 merupakan tahap multiplikasi propagul, Multiplikasi propagul
merupakan perbanyakan tunas maupun embrio tanaman. Tahap ini dilakukan
dengan mengkondisikan eksplan pada lingkungan hormonal yang sesuai.
Setelah diperoleh banyak tunas,subkultur dapat dilakukan yang terlalu banyak
dapat menurunkan mutu tunas karena terjadi vitrifikasi (kandungan air dalam
tanaman tinggi,sukulensi dan penyimpangan genetic.
4. Tahap 3 merupakan tahap persiapan untuk transfer propagul kelingkungan
eksternal,seperti pemanjangan tunas,induksi dan perkembangan akar.

Universitas Sumatera Utara

5. Tahap 4 merupakan tahap aklimatisasi planlet ke lingkungan eksternal.
Konsep dasar aklimatisasi adalah memindahkan planlet ke media aklimatisasi
denahgn intensitas cahaya rendah dan kelembaban nisbi tinggi kemudian
berangsur-angsur intensitas cahaya dinaikkan dan kelembabapan diturunkan.
Media kultur termasuk hal penting dalam pembiakan tanaman dengan kultur
jaringan. Salah satu jenis media kultur yang paling sering dilakukan adalah media
hasil percobaan Murashige dan Skoog pada tahun 1962 yang dikenal sebagai media
MS. MS sering digunakan karena cocok untuk berbagi jeins tanaman. Terdapat media
lain yang dikembangkan seperti Lin dan Staba untuk kultur wortel,Nitsch dan Nitsch
untuk kultur anther, Gamborg untuk kultur suspense kedelai, Schenk dan Hidebrant
(SH) untuk kultur monokotil dan dikotol dan WPM untuk tanaman berkayu atau
tanaman hias perdu (Sandra, 2013)

Universitas Sumatera Utara