Spektrum Jamur Penyebab Kelainan Kulit pada Kaki Pelajar di SMAN 15 Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mikosis
Mikosis didefinisikan sebagai infeksi jamur yang disebabkan organisme
eumycotic yang oportunistik dan patogenik, seperti: Dermatophytes spp., Candida
spp., Aspergillus spp., Feomycetes spp., Cryptococcus, dan beberapa spesies fungi
lainnya (Kazemi, 2013). Mikosis terdiri dari mikosis superfisialis, intermedia dan
profunda (Goldsmith, et al., 2012). Faktor yang mempengaruhi mikosis adalah
udara yang lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya
sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik, penggunaan obat
antibiotik, steroid, sitostatika yang tidak terkendali (Brooks, et al., 2013).

2.1.1. Dermatofitosis
Jamur golongan dermatofitosis terdiri dari 3 genus yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Microsporum menyerang rambut dan kulit.
Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang
kulit dan jarang pada kuku (Brooks, et al., 2013).
Golongan dermatofita bersifat mencerna keratin. Gambaran klinis
dermatofita menyebabkan beberapa bentuk klinis yang khas, satu jenis
dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya
(Brooks, et al., 2013).


2.1.1.1. Definisi
Dermatofitosis adalah infeksi jaringan yang mengandung zat tanduk
(keratin) misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita (Brooks, et al., 2013).

5
Universitas Sumatera Utara

6

2.1.1.2. Epidemiologi:
Dermatofita tergolong jamur contagious, berspora dan memiliki hifa
sepanjang sel kulit dan rambut yang mati, merupakan serpihan dari orang yang
terinfeksi, membuat infeksi berulang menjadi sering (Brooks, et al., 2013). Infeksi
sub - kutaneus yang jarang yang disebabkan jamur ini dapat terjadi pada pasien
AIDS (Kazemi, 2013). Dermatofita yang menginfeksi manusia diklasifikasikan
berdasarkan habitat mereka antara lain sebagai berikut :
A. Antrophophilic dermatophyta sering dikaitkan dengan manusia dan
ditransmisikan baik melalui kontak langsung atau melalui fomit yang

terkontaminasi
B. Zoophilic dermatophyta sering dikaitkan dengan hewan-hewan, jamur
ini ditransmisikan kepada manusia baik melalui kontak langsung
dengan hewan tersebut misalnya hewan peliharaan dan melalui
produksi hewan tersebut seperti wol.
C. Geophilic dermatophyta adalah jamur tanah yang ditransmisikan
kepada manusia melalui paparan langsung ke tanah atau ke hewan yang
berdebu.

2.1.1.3. Etiologi
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang teridiri
dari tiga genus, yaitu genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Dari 40 spesies dermatofita yang sudah dikenal, hanya 23 spesies yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang, yang terdiri dari spesies
Trichophyton, spesies Microsporum dan spesies Epidermophyton. Selain sifat
keratinofilik, setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes
tertentu. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang kadang menyerang manusia, misalnya Microsporum canis dan Trichophyton
verrucosum. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan
dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Microsporum
gypseum (Goldsmith, et al., 2012).


Universitas Sumatera Utara

7

Umumnya gejala-gejala klinik yang timbulkan oleh golongan zoofilik dan
golongan geofilik pada manusia bersifat akut dan sedang serta lebih mudah
sembuh (Goldsmith, et al., 2012).
Dermatofita yang antropofilik terutama menyerang manusia karena
memilih manusia sebagai hospes tetapnya. Golongan jamur ini dapat
menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif karena reaksi
penolakan tubuh yang sangat ringan. Contoh jamur yang antropofilik ialah
Microsporum audouinii dan Trichophyton rubrum (Goldsmith, et al., 2012).
1. Trichophyton
a) T. interdigitale
Makroskopis: Koloni seperti kapas berwarna putih kekreman, permukaan
menggunduk. Tidak ada pigmen pada potato dextrose agar. Uji urease
positif membedakannya dengan T. Rubrum Mikroskopis: Mikrokonidia
sangat banyak berkelompok berbentuk bulat, menyerupai sekelompok
buah anggur pada cabang-cabang terminalnya dan banyak terdapat hifa

yang menyerupai spiral (Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.1
Mikroskopis
Trichophyton interdigitale

Gambar 2.2
Kultur
Trichophyton interdigitale

(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012 Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)
b) T. rubrum
Makroskopis: Mempunyai titik tengah putih dan menggunduk dengan
pinggiran berwarna maroon. Pada potato dextrose agar berwarna merah
muda, dan tes urease negatif. Mikroskopis:

Mikrokonidia

banyak,


Universitas Sumatera Utara

8

berkelompok atau satu – satu sepanjang hifa, berbentuk seperti air mata
(Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.3

Gambar 2.4

Mikroskopis

Kultur

Trichophyton rubrum

Trichophyton rubrum


(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)
c)

T. verrucosum
Makroskopis: Kecil dan sedikit timbul, meskipun terkadang rata, berwarna
putih kekuning – kuningan. Perlu thiamine dan inositol untuk tumbuh
Mikroskopis : Rantai klamidokonidia pada Saboraud Dextrose Agar
(Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.5
Mikroskopis
Trichophyton verrucosum

Gambar 2.6
Kultur
Trichophyton verrucosum

(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)


Universitas Sumatera Utara

9

d) T. tonsurans
Makroskopis: Pertumbuhan koloni lambat, permukaan datar/ berbenjol benjol. Mempunyai tepi menyerupai bulu. Warna bervariasi cream, abu abu, kuning, dan merah coklat dengan dasar kuning sampai merah.
Mikroskopis : Mikrokonidia banyak sepanjang sisi hifa dan makrokonidia
jarang (Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.7

Gambar 2.8

Mikroskopis

Koloni

Trichophyton tonsurans


Trichophyton tonsurans

(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)
e)

T. violaceum
Makroskopis: Permukaan menonjol dan menyerupai lilin. Warna violet.
Mikroskopis: Makrokonidia/ mikrokonidia jarang. Terlihat hifa irreguler
dan klamidokonidia. (Goldsmith, et al., 2012).

.
Gambar 2.9
Mikroskopis
Trichophyton violaceum

Gambar 2.10
Kultur
Trichophyton violaceum


(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)

Universitas Sumatera Utara

10

f) T. schoenleinii
Makroskopis: Berwarna keputihan, bagian tengah berlipat dan lebih
tinggi dari pinggir. Pigmen dari tak berwarna ke kekuning - kuningan
Mikroskopis : Makrokonidia/ mirokonidia tidak ada. Banyak ditemukan
hifa berbentuk Favic chandeliers (Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.11
Mikroskopis
Trichophyton schoenleinii

Gambar 2.12
Kultur
Trichophyton schoenleini


(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)
2. Microsporum
a)

M. canis
Makroskopis: Permukaan datar berwarna putih hingga kuning terang.
Mikroskopis: Makrokonidia banyak dijumpai. Ukurannya besar, ujung
rucing, dinding tebal serta kasar dan ada tonjolan-tonjolan kecil pada
ujungnya (Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.13

Gambar 2.14

Mikroskopis
Kultur
Microsporum canis
Microsporum canis

(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)

Universitas Sumatera Utara

11

b) M. gypseum
Makroskopis: Permukaan rata dan berglanuler dan pigment tan hingga
buff.
Mikroskopis: Makrokonidia besar, bentuk bujur telur, dinding tipis dan
tanpa knob (Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.15
Mikroskopis
Microsporum gypseum

Gambar 2.16
Kultur
Microsporum gypseum

(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)
3) M. audouinii
Makroskopis: Permukaan datar. Warna koloni abu - abu kuning sampai
coklat keputihan, dan dasar koloni merah coklat.
Mikroskopis : klamidokonidia terminal dan hifa pectinate (Goldsmith, et
al., 2012).

Gambar 2.17
Gambar 2.18
Mikroskopis
Kultur
Microsporum audouinii
Micosporum audouinii
(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)

Universitas Sumatera Utara

12

3. Epidermophyton
a)

E. Floccosum
Makroskopis: Koloni tipis berbulu dengan central fold dan pigment
kekuningan dan hijau - keabuan.
Mikroskopis: Makrokonidia berbentuk gada dan berdinding tipis dan ada
yang tebal (Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.19
Mikroskopis
Epidermophyton floccosum

Gambar 2.20
Kultur
Epidermophyton floccosum

(Dikutip dari: Goldsmith, et al., 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.8th ed. New York: Mc Graw – Hill.)
2.1.1.4. Patogenesis dan Cara Penularan
Dermatofita mempunyai banyak enzim (keratinoliyik, protease, lipase,
dll.) sebagai faktor virulensi untuk melekat dan menginvasi lapisan kulit, kuku,
dan rambut dan dermatofita menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi. Akibat
degradasi keratin dan pelepasan mediator proinflamasi, akan terjadi respon
inflamasi pada host.
Dermatofita menempel pada permukaan keratin dengan arthroconidia.
Setelah beberapa jam, spora mulai bergerminasi untuk mempersiapkan langkah
selanjutnya dalam menginvasi. Elemen fungi yang bergerminasi tersebut
mensekresikan protease, lipase, dan ceramidase tertentu. Dermatofita akan
melawan respon host seperti asam lemak fungistatik, proliferasi epidermal, dan
sekresi mediator inflamasi hingga cell mediated – immunity. Mekanisme
pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi invasi tersebbut adalah keratinosit.
Keratinosit mensekresikan peptida antimikroba, seperti: human β defensin – 2,

Universitas Sumatera Utara

13

dan sitokin inflamasi seperti IFN – α, TNFα, IL - 1β, 8, 16, dan 17 yang
mengaktifkan sistem imun. Tingkat pertahanan tubuh selanjutnya ialah cell –
mediated immunity yang menghasilkan hipersensitivitas tipe delayed terhadap
fungi yang menginvasi (Goldsmith, et al., 2012).
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung.
Penularan langsung dapat melalui fomit, epitel, dan rambut – rambut yang
mengandung jamur baik dari manusia atau dari binatang, dan tanah. Penularan tak
langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang – barang
atau pakaian, debu, atau air (Goldsmith, et al., 2012).

2.1.1.5. Prosedur Diagnostik
Diagnosis klinis infeksi dermatofita dapat dipastikan dengan deteksi
mikroskopik dari elemen fungal melalui kultur, atau bukti histologis adanya hifa
pada stratum korneum. Evaluasi mikroskopis melalui KOH 10% untuk
membuktikan ada atau tidaknya dermatofitosis. KOH 10% mempunyai nilai false
negative sebesar 15% (Goldsmith, et al., 2012).
Penentuan spesies dari fungi superfisialis didasarakan pada karakteristik
makroskopis, mikroskopis, dan metabolismenya. Media isolasi untuk morfologi
makroskopis umumnya digunakan Sabouraud’s dextrose agar (SDA). Kultur
diinkubasi pada suhu ruangan selama 4 minggu sebelum dinyatakan tidak ada
pertumbuhan (Goldsmith, et al., 2012).

2.1.1.6. Tinea Pedis
Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, kecuali pada bagian dorsal
kaki, karena digolongkan menjadi tinea korporis. Tinea pedis adalah dermtofitosis
yang paling umum. Pengguna sepatu dan kaos kaki yang tertutup mempunyai
peluang tinggi terkena tinea pedis. Penyebab paling sering tinea pedis adalah T.
rubrum, T. interdigitale, dan E. floccosum. Tinea pedis mempunyai 4 macam
gambaran klinis yaitu interdigital, mocassin (hiperkeratotik kronis), vesikulobula,
dan ulseratif akut (Goldsmith, et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2.21 Tinea pedis tipe mocassin
(Dikutip dari: Hare, 2013. Fungal Culture. National Health Service. London.)

Gambar 2.22 Tinea pedis tipe vesikulobula (a) dan interdigitalis (a&b)
(Dikutip dari: Hare, 2013. Fungal Culture. National Health Service. London.)

Universitas Sumatera Utara

15

2.1.2. Infeksi kandida (kandidiasis)
Genus Candida terdiri dari grup yang heterogen lebih dari 200 spesies.
Kandidiasis merupakan segala jenis infeksi yang disebabkan oleh spesies dari
genus Candida (Goldsmith, et al., 2012).
Beberapa spesies dari genus Candida dapat menyebabkan kandidiasis.
Mereka adalah anggota dari flora normal kulit, membran mukosa, dan
gastrointestinal tract. Spesies candida berkoloni pada permukaan mukosa
manusia sesaat setelah dia lahir, dan risiko untuk infeksi endogen selalu ada
(Goldsmith, et al., 2012).

2.1.2.1. Definisi
Kandidiasis adalah infeksi akut atau kronik yang disebabkan oleh
Candida, umumnya pada kulit dan membran mukosa, tetapi juga bisa
menyebabkan infeksi sistemik (Goldsmith, et al., 2012).
2.1.2.2. Epidemiologi
Candida hanya menggunakan hewan dan manusia sebagai host – nya,
tetapi Candida juga bisa ditemukan pada lingkungan rumah sakit, seperti pada:
ventilasi air conditioner, lantai, respirator, dan pada tenaga medis. Kolonisasi
orofaring oleh Candida diobservasi mencapai 50% dari individual yang sehat dan
mungkin bisa dideteksi sebesar 40 – 65% pada sample tinja normal. C. albicans
ada pada mukosa vagina sebagai organisme komensalisme pada 20 – 25% wanita
sehat tanpa simptom dan 30% pada wanita hamil yang tergolong sehat.
Kandidiasis vulvovaginal

adalah penyebab kedua terbanyak vaginitis pada

perempuan. Spesies Candida adalah penyebab utama infeksi fungi pada pasien
dengan immunocompromised. Lebih dari 90% orang dengan HIV tanpa terapi
antiretroviral yang sangat aktif menderita kandidiasis orofaring dan 10%
menderita kandidiasis esofagus (Goldsmith, et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

16

2.1.2.3. Etiologi
Spesies kandida yang paling umum adalah: C. albicans, C. glabrata, C.
tropicalis, C. parapsilosis, C. krusei, C.guilliermondii, C. lusitaniae, C. kefyr
(Goldsmith, et al., 2012).
2.1.2.4. Patogenesis
Sekitar 50% - 60% dari infeksi kandida disebabkan oleh C. albicans. C.
albicans mempunyai faktor virulensi termasuk molekul adhesi untuk perlekatan,
sekresi proteinase [asparty] proteinase (SAP1 – 9) yang menghancurkan selubung
sel, dan mampu mengubah diri ke bentuk hifa yang dianggap penting sebagai
virulensi. C. albicans. Spesies C. glabrata dan C. albicans ditemukan pada sekitar
70% - 80% pasien dengan kandidiasis yang invasif (Goldsmith, et al., 2012).
2.1.2.5. Prosedur Diagnostik
Pemeriksaan mikroskopis langsung dari spesimen atau isolasi dari kultur
dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya kandida atau tidak. Pada infeksi kandida
superfisialis, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis kerokan
kulit.atau pulasan dari kulit, kuku, atau permukaan mukosa yang ada hifa,
pseudohifa, atau sel budding kandida. Pulasan KOH 10%, gram, atau pewarnaan
methylen blue berguna untuk mendeteksi sel fungi. Untuk identifikasi dari C.
albicans digunakan agar Sabouraud ditambah antibiotik, dalam 2 – 5 hari akan
muncul koloni mukoid keputihan (Goldsmith, et al., 2012).
2.1.2.6. Kandidiasis kutan
Kandidiasis kutan terjadi umumnya akibat infeksi sekunder kulit dan kuku
pada pasien yang mempunyai faktor predisposisi. Kandidiasis kutan terjadi
sebagai infeksi yang kronik atau sub – akut. Spektrum dari kandidiasis kutan di
antaranya diaper rash, kandidiasis intertrigo, folikulitis kandida, otomikosis, dan
paronkia (Goldsmith, et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

17

C. albicans mempunyai predileksi untuk berkoloni pada lipatan kulit,
zona triginosa, di mana lingkungannya lembab dan hangat. Lokasi umum untuk
kandida intertrigo adalah genitokrural, glutea, interdigital, dan inframammae.
Faktor predisposisinya antara lain obesitas, diabetes melitus, pemakaian pakaian
ketat, dan faktor pekerjaan. Erupsi pruritus terlihat sebagai bercak eritem yang
lunak dan plak tipis dengan vesikopustul yang kecil. Pustul akan membesar dan
pecah, meninggalkan sisik dan bekas kemerahan yang menyebabkan maserasi dan
fisura. Infeksi kandidiasis kutan didiagnosa dengan gambaran tipikalnya dan
dipastikan dengan pemeriksaan KOH 10%, dan jika perlu, dilakukan kultur
(Goldsmith, et al., 2012).

Gambar 2.23 Kandidiasis kutan pada telapak kaki
(Dikutip dari: Diven, 2008. Fungal. University of Texas Medical Branch. Texas.)

Universitas Sumatera Utara