ARTI KENDUREN DAN MAKNANYA DALAM BUDAYA
ARTI KENDUREN DAN MAKNANYA DALAM BUDAYA
JAWA
13.57 Admin
Kenduren pada dasarnya adalah ritual selametan yakni berdoa bersama yang dihadiri para tetangga
dan dipimpin oleh pemuka adat atau tokoh yang dituakan di satu lingkungan. Biasanya disajikan juga
tumpeng lengkap dengan lauk pauknya yang nantinya akan dibagikan kepada yang hadir.
Dalam tradisi Jawa, Kenduren sendiri terdiri dari berbagai jenis. Kenduren Wetonan, Sabanan,
Likuran, Badan, Ujar, dan Muludan.
Kendurenan Wetonan merupakan selametan yang dilakukan pada hari lahir. Hal in ini juga kerap
dilakukan hampir setiap warga. Tidak semua anggota keluarga dilakukan tradisi Kenduren Weton
saat ia merayakan hari lahir. Biasanya satu keluarga hanya merayakan satu kali wetonan yakni pada
saat hari lahir anak tertua dalam keluarga tersebut.
Dalam kenduri tiap orang menjadi “kita”. Kepala desa, siapa pun dia, apa pun agama dan aliran
politiknya, dia itu “kita”. Dan karena itu maka dia wajib didukung, kelemahannya ditutup,
kekurangannya ditambah, aibnya jangan dibeberkan ke manamana karena bukankah aib kepala
desa juga aib “kita”.
Pada dasarnya pesan yang tersirat dalam tiap jenis kenduri di desa adalah mengkukuhkan makna
kekitaan “kita”. Kesatuan sikap dan citacita bersama diteguhkan kembali. Dan bila ada —memang
ada saja— keretakan kecil antara hati dengan hati, maka melalui kenduri persatuan diperketat.
Dengan suapan nasi, bunyi dan isi doa, dan dengan salaman tangan yang tulus, yang retak itu
ditambal dan menjadi utuh kembali.
Kenduri merupakan mekanisme sosial untuk merawat keutuhan, dengan cara memulihkan keretakan,
dan meneguhkan kembali citacita bersama, sekaligus melakukan kontrol sosial atas penyimpangan
dari citacita bersama tadi. Kenduri sebagai suatu institusi sosial menampung dan merepresentasikan
banyak kepentingan. Dan tiap “kita”, di sana, menemukan rasa aman. Dalam kenduri tak ada pihak
yang kalah atau dikalahkan. Di sana semua pihak terhormat. Tiap orang menang, dan bahagia!!.
Manifestasi di lapangan
Tujuan dari kenduren itu sendiri adalah meminta selamat buat yang didoakan, dan keluarganya. Di
beberapa daerah, kenduren itu sendiri bisa ditemui dengan jenis yang bermacammacam, seperti:
1. Kenduren wetonan (wedalan), dinamakan wetonan karena tujuannya untuk selametan pada hari
lahir (weton, jawa) seseorang. Di beberapa tempat, kenduren jenis ini dilakukan oleh hampir setiap
warga, biasanya satu keluarga satu weton yang dirayakan, yaitu yang paling tua atau dituakan dalam
keluarga tersebut. Kenduren ini di lakukan secara rutinitas setiap selapan hari (1 bulan).
2. Kenduren munggahan. Kenduren ini menurut cerita tujuannya untuk menaikkan para leluhur.
Beberapa tempat di menybutnya sebagai selamaten pati, artinya kenduren ini ditujukan sebagai do’a
untuk ahli kubur dari keluarga yang menggelar kenduren tersebut. Bagi sebagaian orang kenduren ini
juga biasanya dikenal sebagai kenduren/selamatan ke7, ke40, ke100 dan ke1000 hari wafatnya
seseorang.
3. Kenduren likuran. Kenduren ini dilaksanakan pada tanggal 21 bulan Ramadhan, yang di
maksudkan untuk memperingati Nuzulul Qur’an.
4. Kenduren badan (lebaran/mudunan). Kenduren ini dilaksanakan pada hari Raya Idul Fitri, pada
tanggal 1 syawal (aboge). Kenduren ini sama seperti kenduren Likuran, konon hanya tujuannya yang
berbeda yaitu untuk menurunkan leluhur. Yang membedakan hanya, sebelum kenduren badan,
biasanya didahului dengan nyekar ke makam leluhur dari masingmasing keluarga.
5. Kenduren ujar. Kenduren ini dilakukan oleh keluarga tertentu yang punya maksud atau tujuan
tertentu, atau yang punya
ujar/omong atau citacita. Kenduren ini juga sering dilakukan ketika seseorang telah memperoleh
anugerah, seperti lulus sekolah, mendapatkan pekerjaan, naik jabatan dan lain sebagainya.
6. Kenduren mauludan. Kenduren ini dilakukan pada tanggal 12 bulan Maulud. Dalam sebagian
tradisi kenduren juga dilakukan dilakukan di harihari besar Islam.
Kerap kali kita jumpai dalam berbagai kesempatan di berbagai daerah mengenai ritual kenduri ini
berbedabeda, baik dalam bentuk nama, pelaksanaan, konsep yang dipakai bahkan menu sajiannya.
Namun, dari kesekian macam ritual tersebut mempunyai nilai subtansi yang sama, yaitu berdo’a. Baik
untuk sang empunya hajat maupun orang lain.
Munajat do’a inilah yang dahulu konon diperoleh dari dampak keluwesan dan dinamisasi ajaran
ajaran yang dibawah oleh walisongo dalam menyebarkan dawaidawai sabda ilahi melalui produk
ajaranNya, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto (http://www.antaranews.com) menegaskan bahwa
budaya kenduri kematian yang dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan
karena pengaruh Hindu atau Budha karena di kedua agama itu tidak ditemukan ajaran kenduri.
Agus menegaskan bahwa, dalam agama Hindu atau Budha tidak dikenal kenduri dan tidak pula
dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, ke40, ke100 atau ke1.000. Bahwa catatan
sejarah menunjukkan orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke
40, ke100 dan ke1.000. Orangorang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari
Assyuro dan maulid Nabi Muhammad SAW.
Dari mencermati fakta tersebut, maka Agus berkeyakinan tradisi kenduri, termasuk khaul adalah
tradisi khas Campa yang jelasjelas terpengaruh faham Syi`ah. Demikian juga dengan perayaan 1
dan 10 Syuro, pembacaan kasidahkasidah yang memujimuji Nabi Muhammad menunjukkan
keterkaitan tersebut.
Jika kita mau merunut sejarah, istilah kenduri itu sendiri jelasjelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah
karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makanmakan memperingati
Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.
Fenomena sublimasi nilai ritual dan budaya ini jika ditinjau dari aspek sosioh
JAWA
13.57 Admin
Kenduren pada dasarnya adalah ritual selametan yakni berdoa bersama yang dihadiri para tetangga
dan dipimpin oleh pemuka adat atau tokoh yang dituakan di satu lingkungan. Biasanya disajikan juga
tumpeng lengkap dengan lauk pauknya yang nantinya akan dibagikan kepada yang hadir.
Dalam tradisi Jawa, Kenduren sendiri terdiri dari berbagai jenis. Kenduren Wetonan, Sabanan,
Likuran, Badan, Ujar, dan Muludan.
Kendurenan Wetonan merupakan selametan yang dilakukan pada hari lahir. Hal in ini juga kerap
dilakukan hampir setiap warga. Tidak semua anggota keluarga dilakukan tradisi Kenduren Weton
saat ia merayakan hari lahir. Biasanya satu keluarga hanya merayakan satu kali wetonan yakni pada
saat hari lahir anak tertua dalam keluarga tersebut.
Dalam kenduri tiap orang menjadi “kita”. Kepala desa, siapa pun dia, apa pun agama dan aliran
politiknya, dia itu “kita”. Dan karena itu maka dia wajib didukung, kelemahannya ditutup,
kekurangannya ditambah, aibnya jangan dibeberkan ke manamana karena bukankah aib kepala
desa juga aib “kita”.
Pada dasarnya pesan yang tersirat dalam tiap jenis kenduri di desa adalah mengkukuhkan makna
kekitaan “kita”. Kesatuan sikap dan citacita bersama diteguhkan kembali. Dan bila ada —memang
ada saja— keretakan kecil antara hati dengan hati, maka melalui kenduri persatuan diperketat.
Dengan suapan nasi, bunyi dan isi doa, dan dengan salaman tangan yang tulus, yang retak itu
ditambal dan menjadi utuh kembali.
Kenduri merupakan mekanisme sosial untuk merawat keutuhan, dengan cara memulihkan keretakan,
dan meneguhkan kembali citacita bersama, sekaligus melakukan kontrol sosial atas penyimpangan
dari citacita bersama tadi. Kenduri sebagai suatu institusi sosial menampung dan merepresentasikan
banyak kepentingan. Dan tiap “kita”, di sana, menemukan rasa aman. Dalam kenduri tak ada pihak
yang kalah atau dikalahkan. Di sana semua pihak terhormat. Tiap orang menang, dan bahagia!!.
Manifestasi di lapangan
Tujuan dari kenduren itu sendiri adalah meminta selamat buat yang didoakan, dan keluarganya. Di
beberapa daerah, kenduren itu sendiri bisa ditemui dengan jenis yang bermacammacam, seperti:
1. Kenduren wetonan (wedalan), dinamakan wetonan karena tujuannya untuk selametan pada hari
lahir (weton, jawa) seseorang. Di beberapa tempat, kenduren jenis ini dilakukan oleh hampir setiap
warga, biasanya satu keluarga satu weton yang dirayakan, yaitu yang paling tua atau dituakan dalam
keluarga tersebut. Kenduren ini di lakukan secara rutinitas setiap selapan hari (1 bulan).
2. Kenduren munggahan. Kenduren ini menurut cerita tujuannya untuk menaikkan para leluhur.
Beberapa tempat di menybutnya sebagai selamaten pati, artinya kenduren ini ditujukan sebagai do’a
untuk ahli kubur dari keluarga yang menggelar kenduren tersebut. Bagi sebagaian orang kenduren ini
juga biasanya dikenal sebagai kenduren/selamatan ke7, ke40, ke100 dan ke1000 hari wafatnya
seseorang.
3. Kenduren likuran. Kenduren ini dilaksanakan pada tanggal 21 bulan Ramadhan, yang di
maksudkan untuk memperingati Nuzulul Qur’an.
4. Kenduren badan (lebaran/mudunan). Kenduren ini dilaksanakan pada hari Raya Idul Fitri, pada
tanggal 1 syawal (aboge). Kenduren ini sama seperti kenduren Likuran, konon hanya tujuannya yang
berbeda yaitu untuk menurunkan leluhur. Yang membedakan hanya, sebelum kenduren badan,
biasanya didahului dengan nyekar ke makam leluhur dari masingmasing keluarga.
5. Kenduren ujar. Kenduren ini dilakukan oleh keluarga tertentu yang punya maksud atau tujuan
tertentu, atau yang punya
ujar/omong atau citacita. Kenduren ini juga sering dilakukan ketika seseorang telah memperoleh
anugerah, seperti lulus sekolah, mendapatkan pekerjaan, naik jabatan dan lain sebagainya.
6. Kenduren mauludan. Kenduren ini dilakukan pada tanggal 12 bulan Maulud. Dalam sebagian
tradisi kenduren juga dilakukan dilakukan di harihari besar Islam.
Kerap kali kita jumpai dalam berbagai kesempatan di berbagai daerah mengenai ritual kenduri ini
berbedabeda, baik dalam bentuk nama, pelaksanaan, konsep yang dipakai bahkan menu sajiannya.
Namun, dari kesekian macam ritual tersebut mempunyai nilai subtansi yang sama, yaitu berdo’a. Baik
untuk sang empunya hajat maupun orang lain.
Munajat do’a inilah yang dahulu konon diperoleh dari dampak keluwesan dan dinamisasi ajaran
ajaran yang dibawah oleh walisongo dalam menyebarkan dawaidawai sabda ilahi melalui produk
ajaranNya, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto (http://www.antaranews.com) menegaskan bahwa
budaya kenduri kematian yang dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan
karena pengaruh Hindu atau Budha karena di kedua agama itu tidak ditemukan ajaran kenduri.
Agus menegaskan bahwa, dalam agama Hindu atau Budha tidak dikenal kenduri dan tidak pula
dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, ke40, ke100 atau ke1.000. Bahwa catatan
sejarah menunjukkan orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke
40, ke100 dan ke1.000. Orangorang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari
Assyuro dan maulid Nabi Muhammad SAW.
Dari mencermati fakta tersebut, maka Agus berkeyakinan tradisi kenduri, termasuk khaul adalah
tradisi khas Campa yang jelasjelas terpengaruh faham Syi`ah. Demikian juga dengan perayaan 1
dan 10 Syuro, pembacaan kasidahkasidah yang memujimuji Nabi Muhammad menunjukkan
keterkaitan tersebut.
Jika kita mau merunut sejarah, istilah kenduri itu sendiri jelasjelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah
karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makanmakan memperingati
Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.
Fenomena sublimasi nilai ritual dan budaya ini jika ditinjau dari aspek sosioh