HUKUM WARIS DALAM KUHPER DAN HI (1)
HUKUM WARIS DALAM
KUHPERDATA DAN HUKUM ISLAM
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Hukum Perdata”
Dosen Pengampu :
Dewi Iriani, M.H
Disusun Oleh :
Dwi Rahayu (210115118)
Arga Arya (210115073)
Muhammad Joko (210115106)
Neng Eri Sofiana (210115128)
PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH
JURUSAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
(IAIN) PONOROGO
Tahun 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian dan konsep warisan?
2. Bagaimana penggolongan Ahli waris?
3. Apa itu surat wasiat?
4. Hal-hal apa saja yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak warisannya?
5. Bagaimana prinsip-prinsip pembagian warisan?
BAB II
PEMBAHASAN
1
A. Pengertian dan Konsep Warisan
1. Pengertian dan Konsep Warisan Menurut KUHPerdata
Hukum waris ialah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan
itu kepada orang lain.1
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang
dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajibankewajiban kepribadian tidak dapat diwariskan.2
Konsep perdata dalam hal ini dibagi menjadi dua golongan, jika terdapat
orang-orang pada golongan pertama, mereka itulah yang berhak bersama-sama
mewarisi semua harta peninggalan, sedangkan yang lainnya tidak mendapat
apapun, barulah jika tidak terdapat golongan pertama, golongan kedua tampil
sebagai pewaris dari harta peninggalan.
Golongan pertama tersebut adalah anak-anak beserta keturunan dalm garis
lencang ke bawah, dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Golongan kedua adalah orang tua atau saudara-saudara dari si meninggal. Pada
asasnya orang tua disamakan dengan saudara. Namun bagi orang tua terdapat
peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari
seperempat harta peninggalan.3 Secara ringkas, pengolongan ahli waris ialah:4
Ahli waris golongan I Termasuk dalam ahli waris golongan I yaitu anak-anak
pewaris berikut keturunannya dalam garis lurus ke bawah dan janda/duda.
Pada golongan I dimungkinkan terjadinya pergantian tempat (cucu
menggantikan anak yang telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris).
Mengenai pergantian tempat ini, Pasal 847 KUHPerdata menentukan bahwa
tidak ada seorang pun dapat menggantikan tempat seseorang yang masih
hidup, misalnya anak menggantikan hak waris ibunya yang masih hidup.
1 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
tanpa tahun, hlm. 255.
2 Subekti, pokok-pokok hukum perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1996, hlm. 96.
3 Ibid, hlm. 99
4 Effendi Perangin, Hukum Waris, Jakarta : Raja Grafindo Persada, tanpa tahun, hlm. 132135.
2
Apabila dalam situasi si ibu menolak menerima warisan, sang anak bertindak
selaku diri sendiri, dan bukan menggantikan kedudukan ibunya.
Ahli waris golongan II Termasuk dalam ahli waris golongan II yaitu ayah, ibu,
dan saudarasaudara pewaris.
Ahli waris golongan III Termasuk dalam ahli waris golongan III yaitu kakek
nenek dari garis ayah dan kakek nenek dari garis ibu.
Ahli waris golongan IV Termasuk dalam ahli waris golongan IV yaitu sanak
saudara dari ayah dan sanak saudara dari ibu, sampai derajat ke enam.
2. Pengertian dan Konsep Warisan Menurut Hukum Islam
Dalam istilah hukum Islam, waris disebut juga dengan faraidh, artinya
bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak
menerimanya.5 Menurut Pasal 1716 huruf a, yang dimaksud dengan hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing. Namun KHI membedakan pengertian
harta waris dengan harta peninggalan, hal ini terdapat dalam pasal yg sama huruf d
dan e, harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya, sedangkan harta waris
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Apa-apa yang ditinggalkan, bersifat dan berlaku umum, dapat dikatakan
bahwa warisan terdiri atas beberapa macam. Bentuk yang lazim adalah harta yang
berwujud benda, baik yang bergerak maupun tidak bergerak dan segala hak
kebendaan yang dapat dinilai dengan harta, dan yang mungkin dapat diwarisi.7
Adapun asas hukum kewarisan, ialah:8
a. Asas Ketauhidan atau prinsip ketuhanan, bahwa terlebih dahulu harus
didasarkan pada keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasulullah SAW.
b. Asas Keadilan, yakni sesuai ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
c. Asas Persamaan, yakni hak persamaan hak di mata hukum, bahwa hak-hak
yang seharusnya diterima oleh manusia, baik laki-laki maupun perempuan
direalisasikan sebagaimana seharusnya.
5 Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2011, hlm. 169.
6 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, Permata Press, tanpa tahun, hlm. 53.
7 Dedi supriyadi, sejarah hokum islam, Bandung ; CV. Pustaka Setia, 2010, hlm. 413.
8 Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ibid, hlm.
173-192.
3
d. Asas Bilateral atau sistem kekeluargaan yang dianut suatu bangsa, yang tidak
melahirkan clan atau memandang suku, sehingga sesuai dengan apa yang
ditentukan dalam al-Qur’an.
Sedangkan asas-asas kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam
ialah:9
a. Asas ijbari, yakni mengenai cara peralihan harta waris yang di dalam pasalnya
ditegaskan dengan kata ‘harus’, yakni harus dibagi sesuai ketentuan yang ada;
b. Asas bilateral, yang menjelaskan bahwa pihak laki-laki dan perempuan
serempak menjadi ahli waris dalam pasal tersebut;
c. Asas individual, mengenai bagian ahli waris dan perwalian jika penerima
belum dewasa;
d. Asas keadan berimbang, adanya penyesuaian perolehan yang dilakukan pada
waktu penyesuaian pembagian warisan melalui aul atau membebankan
kekurangan harta yang akan dibagi kepada semua hali waris yang berhak
sesuai kadar masing-masing, raj atau dengan mengembalikan kelebihan yang
didapat, takharuj atau tasaluh (damai) berdasarkan kesepakatan bersama.
B. Penggolongan Ahli Waris
1. Penggolongan Ahli Waris Menurut KUHPerdata
Pasal 832, Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah
keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar
perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturanperaturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup
terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang
wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta
peninggalan mencukupi untuk itu.
Berdasarkan hal ini, penggolongan ahli waris dibagi menjadi, yaitu:10
a. Keturunan, namun dalam BW Pasal 582 menyebutkan bahwa anak laki-laki
tidak dibeda-bedakan dalam masalah kelaminnya.
b. Anak angkat, di dalam BW tidak mengenal angkat, seperti pada pasal 12 dari
peraturan tersebut, anak angkat itu disamakan dengan anak kandung.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suami, atau suami yang ditinggal mati oleh istri
disamakan sebagaimana haknya dengan seorang anak, ini sesuai dengan Pasal
852a.
2. Penggolongan Ahli Waris Menurut Hukum Islam
9 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 288-291.
10 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000,
hlm. 24-42.
4
Hal ini telah diatur dalam KHI Pasal 174, yakni:11
1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek.
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya :
anak, ayah, ibu, janda atau duda.
C. Surat Wasiat (Testament)
1. Surat Wasiat (Testament) Menurut KUHPerdata
Surat wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang
apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.12 Pada asasnya suatu pernyataan
ini keluar dari satu pihak saja, dan dapat dirubah sewaktu-waktu oleh pembuatnya.
Menurut KUHPerdata Pasal 875, Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta
berisi pernyataan seseorang tentang apa yangdikehendakinya terjadi setelah ia
meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.13
Suatu testament berisi erfstelling, yakni penunjukkan seorang atau
beberapa orang menjadi ahliwaris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari
warisan. Orang yang ditunjuk itu dinamakan testamentaire erfgenaam, yang
mempunyai arti ahliwaris menurut warisan. Kedudukannya sama dengan seorang
ahliwaris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si
meninggal.
Suatu testament juga dapat berisikan suatu legaat, yaitu suatu pemberian
kepada seseorang, yang dapat berupa:14
a.
b.
c.
d.
Satu atau beberapa benda tertentu;
Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misal seluruh benda yang bergerak;
Hak vruchtgebruik atas sebagian atau seluruh warisan;
Sesuatu hak lain terhadap boedol, misalnya hak untuk mengambil satu atau
beberapa benda tertentu dari boedol.
Orang yang mendapatkan legaat disebut legataris, ia bukan ahliwaris,
sehingga tidak berhak menggantikansi meninggal dalam hak-hak dan kewajiban-
11 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, ibid, hlm. 54-55.
12 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, ibid, hlm. 106.
13 Subekti dan Tjitrosubidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1992, hlm. 194.
14 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Ibid, hlm. 107.
5
kewajibannya. Ia berhak menuntut penyerahan benda tau pelaksanaan hak yang
diberikan kepadanya.
Isi suatu testament tidak hanya mengenai harta kekayaan saja, namun dapat
berisi penunjukkan seorang wali untuk anak-anak si meninggal, pengakuan
seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang
excuteurtestamentair atau seorang yang dikuasakan mengawasi dan mengatur
pelaksanaan testament.
Bentuk testament terdapat tiga macam, yaitu:
a. Openbaar testament, yang dibuat di hadapan notaris dan dua saksi.
b. Olographis testament, ditulis dengan tulisan tangan si meninggal
(eigenhanding), lalu diserahkan pada notaris untuk disimpan (gedeponeerd)
dan disaksikan oleh dua orang saksi.
c. Testament tertutup atau rahasia, tidak diwajibkan ditulis tangan oleh yang
meninggal tapi tetap diserahkan pada notaris dengan empat orang saksi.
Pada Pasal 921 BW hanya menyebutkan tentang adanya ketiga macam
testament tersebut.15 Dalam undang-undang juga dikenal codicil, yakni orang yang
meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam
pemberian atau pembagian warisanitu sendiri, misalnya hanya mengenai
pemakaman. Adapun penarikan testament dapat dilakukan secara tegas
(uitdrukkelijk) dengan membuat testament yang baru atau secara diam-diam
(stilwzjigend) dengan membuat testament baru yang bertentangan dengan
testament yang lama.
2. Surat Wasiat Menurut Hukum Islam
Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya,
dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksankan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain di luar harta peninggalan. 16
Menurut asal hukumnya, wasiat adalah tindakan yang dilakukan karena kemauan
hati, maka tidak ada syariat yang mewajibkannya. Orang yang berwasiat disebut
al-musi, dalam ketentuan KHI terdapat ketentuan bagi yang akan membuat wasiat,
yakni dalam Pasal 194, yang berbunyi:17
15 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, ibid, hlm. 100.
16 Aulia Muthiah dan Novy Sri Pratiwi Hardani, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2015, hlm. 120.
17 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, ibid, hlm. 60.
6
1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan
tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada
orang lain atau lembaga.
2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru
dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Sedangkan yang menerima wasiat adalah al-musalah, yakni orang-orang
atau badan yang menerima wasiat yang bukan ahli waris dan secara hukum dapat
dipandang cakap untuk menerima sesuatu hak atau benda.18 Orang yang menerima
wasiat adalah orang yang hidup dan memiliki kecakapan untuk menerima wasiat.
Wasiat sendiri tidak dapat dilaksankan kecuali berdasarkan persetujuan ahli waris,
hal ini diatur dalam pasal 195 (3), yakni: Wasiat kepada ahli waris berlaku bila
disetujui oleh semua ahli waris.
Barang yang diwariskan pun (al-musalih) harus barang yang bisa dimiliki,
seperti harta, rumah dan kegunaannya. Di dalam membuat wasiat pun terdapat ijab
kabul yang di dalam ketentuan KHI menyatakan bahwa wasiat dilakukan di
hadapan notaris atau dua orang saksi. Namun dalam kadarnya, ulama sepakat agar
tidak melebihi sepertiga dari harta warisannya. Berikut pasal yang mengatur
mengenai ketentuan wasiat:
1. Pasal 195
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis
dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta
warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di
hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di
hadapan Notaris.
2. Pasal 196, Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan
dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan
menerima harta benda yang diwasiatkan.
D. Hal-Hal yang Mengakibatkan Seseorang Kehilangan Hak Warisannya
18 Aulia Muthiah dan Novy Sri Pratiwi Hardani, Hukum Waris Islam, ibid, hlm.121.
7
1. Hal-Hal yang Mengakibatkan Seseorang Kehilangan Hak Warisannya
Menurut KUHPerdata
Dalam hal menerima waris, pada dasarnya semua orang cakap menerima
waris meskipun seorang bayi yang baru lahir. Namun dalam hal tersebut terdapat
ketentuan-ketentuan yang menyebabkan seseorang tidak layak menjadi ahli waris
(onwaardig). Hal tentang tidak pantasnya seseorang dianggap sebagai ahli waris
ini dalam burgerlijk wetboek diatur dengan : 19
a) Dalam pasal-pasal 838, 839, dan 840 untuk ahli waris tanpa testament.
b) Dalam pasal 912 untuk ahli waris dengan testament.
Pasal 838 KUHPer yang dianggap tak patut
menjadi waris dan
karenanyapun dikecualikan dari pewarisan ialah :20
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau
mencoba membunuh si yang meninggal.
2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu
pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan
hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si
yang meninggal.
Pasal 839. Tiap tiap waris, yang karena tak patut telah dikecualikan dari
pewarisan, berwajib mengembalikan segala hasil dn pendapatan yang telah
dinikmatinya semenjak warisan jatuh meluang.
Pasal 840. Apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak
patut menjadi waris atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris,
maka tidaklah meeka karena kesalahan orang tua tadi dikecualikan dari
pewarisan, namn orang tua iu lah sama sekali tak berhak menuntut supaya
diperbolehkan menikmati hasil barang-barang dari warisan yang mana, menurut
19 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2000, Hlm. 141.
20 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1992, Hlm. 187.
8
udang-undang hak nikmat hasilnya diberikan kepada orang tua atas barang –
barang anaknya.
Pasal 912. Mereka yang telah dihukum karena membunuh si yang
mewariskan, lagipun mereka yang telah menggelapkan membinasakan dan
memalsu surat wasiatnya, dan akhirnyapun mereka dengan paksaan atau
kekerasan telah mencegah si yang mewariskan tadi, akan mencabut atau
mengubah surat wasiatnya , tiap-tiap mereka itu, sepertipun tiap-tiap istri atau
suami dan anak-anak mereka, tak diperbolehkan menarik suatu keuntungan dari
surat wasiat yang mewariskan.
Selain itu, oleh undang-undang telah ditetapkan bahwa ada orang-orang
yang berhubung dengan jabatan atau pekerjaannya maupun hubungannya dengan
si meninggal, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat
yang diperbuat oleh si meninggal. Mereka ini diantaranya ialah notaries yang
membuatkan surat wasiat itu serta saksi-saksi yang menghadiri pembuatan
testament itu, pendeta yang melayani atau dokter yang merawat si meninggal
selama sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian warisan dalam surat wasiat
kepada orang-orang yang mungkin menjadi perantara dari orang ini dapat
dibatalkan. Sebagai orang-orang perantara ini oleh undang-undang dianggap
anak-anak dan istri dari orang-orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan
dari tastement itu.21
2. Hal-Hal yang Mengakibatkan Seseorang Kehilangan Hak Warisannya
Menurut Hukum Islam
Menurut Ash-Shabuni, sebab orang tidak mendapatkan harta waris, ialah:22
a. Karena seorang hamba sahaya atau budak
b. Karena membunuh
c. Perbedaan Agama
Sedangkan menurut Paal 173 Bab II tentang Ahli Waris Kompilasi Hukum
Islam, dinyatakan bahwa Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena:23
21 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, ibid, hlm. 97.
22 Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ibid, hlm.
206-209.
23 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam (KHI), ibid, hlm. 54.
9
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat para pewaris;
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Sedangkan dalam hukum islam, terdapat 3 macam ahli waris yang tidak
pantas menerima warisan, yakni:24
1. Ahliwaris yang telah mengakibatkan meninggalnya peninggal warisan.
2. Murtad, yakni meninggalkan agama islam masuk agama lain.
3. Orang yang sudah sejak lama tidak menganut agama islam.
E. Prinsip-Prinsip Pembagian Warisan (Fidei-Commis dan Legietieme Portie)
1. Prinsip-Prinsip Pembagian Warisan (Fidei-Commis dan Legietieme Portie)
Menurut KUHPerdata
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan
warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab
intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang saja.
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undangundang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak,
masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian
berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang
meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurangkurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua,
separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari
yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
24 Elise T. Sulistini dan Rudy T. Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara
Perdata, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hlm. 70.
10
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus
yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli
warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang
demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah
menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus
memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah
suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan
diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang
keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan
barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa
hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan
juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilanpanggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang
dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris
yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan
pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan
selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi
ahli waris dan karenanya tidak
berhak mewaris ialah:
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang
lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau
mencabut surat wasiatnya.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
pewaris.
2. Prinsip-Prinsip Pembagian Warisan (Fidei-Commis dan Legietieme Portie)
Menurut Hukum Islam
Prinsip dan Dasar Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan islam
mempunyai prinsip yang dapat disimpulkan sebagai berikut:25
25 Effendi Perangin, Hukum Waris, ibid, hlm. 132-135.
11
a. Hukum kewarisan islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan
kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan
wasiat kepada orang lain yang dikehendaki.
b. Kewarisan merupakan ketetapan hukum; yang mewariskan tidak dapat
menghalangi ahli waris dari haknya atas harta peninggalan tanpa memerlukan
pernyataan menerima dengan suka rela atau atas putusan pengadilan, tetapi ahli
waris tidak dibebani melunasai hutang pewaris dari harta pribadinya.
c. Kewarisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan
perkawinan atau pertalian darah.
d. Hukum kewarisan Islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada
sebanyak mungkin ahli waris yang sederajat, dengan menentukan bagian
tertentu kepada beberapa ahli waris. Misalnya, jika ahli waris terdiri dari ibu,
istri, seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya
mendapat bagian.
e. Hukum kewarisan islam tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan;
anak yang sulung, menengah atau bungsu, telah besar atau baru saja lahir, telah
berkeluarga atau belum, semua berhak atas harta peninggalan orang tua,
namun besar kecil bagian yang diterima dibedakan sejalan dengan besar kecil
beban kewajiban yang harus dituaikan dalam kehidupan keluarga,
f. Hukum kewarisan islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris
diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup seharin 1/-hari, disamping
memandang jauh dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.
g. Bagian tertentu dari harta peninggalan adalah 2/3, 1/2, 1/3, ¼, 1/6 dan 1/8.
Ketentuan tersebut bersifat tetap karena diperoleh dari Alqur’an, dan bersifat
ta’abbudi yang wajib dilaksanakan menurut ketentuan yang ada. Yang
disebutkan terakhir inilah yang melekatkan nilai keagamaan pada hukum
kewarisan islam itu.
Prinsip pembagian waisan dalam Islam tertuang dalam KHI Bab III
tentang Besarnya Bahagian yang dimulai dari:26
a. Pasal 176, Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian,
bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian,
dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
b. Pasal 177, Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. *
26 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, ibid, hlm. 55-56.
12
c. Pasal 178
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih.
Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat
sepertiga bagian.
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau
duda bila bersama-sama dengan ayah.
d. Pasal 179, Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagaian.
e. Pasal 180, Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda
mendapat seperdelapan bagian.
f. Pasal 181, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
g. Pasal 182, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang
ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua
mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu
dengan saudara perempuan.
13
BAB III
KESIMPULAN
1.
Hukum waris ialah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang
2.
setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Dalam istilah hukum Islam, waris disebut juga dengan faraidh, adapun menurut KHI
Pasal 171 huruf a, yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah
hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing.
3. Penggolongan ahli waris dalam KUHPerdata dibagi menjadi, yaitu:
a. Keturunan, namun dalam BW Pasal 582 menyebutkan bahwa anak laki-laki tidak
dibeda-bedakan dalam masalah kelaminnya.
b. Anak angkat, di dalam BW tidak mengenal angkat, seperti pada pasal 12 dari
peraturan tersebut, anak angkat itu disamakan dengan anak kandung.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suami, atau suami yang ditinggal mati oleh istri
4.
disamakan sebagaimana haknya dengan seorang anak, ini sesuai dengan Pasal 852a.
Penggolongan ahli waris dalam Hukum Islam di Indonesia diatur dalam KHI Pasal 174,
yakni:
a. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dari nenek.
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak,
5.
ayah, ibu, janda atau duda.
Surat Wasiat (Testament) Menurut KUHPerdata ialah suatu pernyataan dari seseorang
tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Adapun Bentuk testament
terdapat tiga macam, yaitu:
a. Openbaar testament, yang dibuat di hadapan notaris dan dua saksi.
14
b. Olographis testament, ditulis dengan tulisan tangan si meninggal (eigenhanding), lalu
diserahkan pada notaris untuk disimpan (gedeponeerd) dan disaksikan oleh dua orang
saksi.
c. Testament tertutup atau rahasia, tidak diwajibkan ditulis tangan oleh yang meninggal
6.
tapi tetap diserahkan pada notaris dengan empat orang saksi.
Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa
pesan tentang apa yang harus dilaksankan para penerima wasiat terhadap harta
peninggalannya atau pesan lain di luar harta peninggalan. Adapun pasal yang mengatur
mengenai ketentuan wasiat:
a. Pasal 195
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan
dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan
kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di
hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan
Notaris.
b. Pasal 196, Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan
tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta
7.
benda yang diwasiatkan.
Hal-hal yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak warisannya menurut KUHPerdata
diatur dalam:
Dalam pasal-pasal 838, 839, dan 840 untuk ahli waris tanpa testament.
Dalam pasal 912 untuk ahli waris dengan testament.
8.
Sedangkan hal-hal yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak warisannya menurut
menurut Paal 173 Bab II tentang Ahli Waris Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan bahwa
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para
pewaris;
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
9.
hukuman yang lebih berat.
Prinsip pembagian waisan dalam Islam tertuang dalam KHI Bab III tentang Besarnya
Bahagian yang dimulai dari:
15
Pasal 176, Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua
orang atau lebih mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila
anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki
adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177, Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. *
Pasal 178
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila
tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga
bagian.
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179, Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.
Pasal 180, Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian.
Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga
bagian.
Pasal 182, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh
bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara lakilaki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saebani, Beni dan Falah, Syamsul. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2011.
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.
https://bem.law.ui.ac.id/materi-hukum-waris.ppt
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
tanpa tahun.
16
Muthiah, Aulia dan Sri Pratiwi Hardani, Novy. Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2015.
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000.
Perangin, Effendi. Hukum Waris. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Tanpa tahun.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakata: PT. Intermasa, 1995.
Subekti. Tjitrosubidio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1992.
Sulistini, Elise T, dan Erwin, Rudy T. Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara
Perdata. Jakarta : Bina Aksara. 1987.
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Permata Press, tanpa tahun.
17
KUHPERDATA DAN HUKUM ISLAM
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Hukum Perdata”
Dosen Pengampu :
Dewi Iriani, M.H
Disusun Oleh :
Dwi Rahayu (210115118)
Arga Arya (210115073)
Muhammad Joko (210115106)
Neng Eri Sofiana (210115128)
PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH
JURUSAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
(IAIN) PONOROGO
Tahun 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian dan konsep warisan?
2. Bagaimana penggolongan Ahli waris?
3. Apa itu surat wasiat?
4. Hal-hal apa saja yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak warisannya?
5. Bagaimana prinsip-prinsip pembagian warisan?
BAB II
PEMBAHASAN
1
A. Pengertian dan Konsep Warisan
1. Pengertian dan Konsep Warisan Menurut KUHPerdata
Hukum waris ialah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan
itu kepada orang lain.1
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang
dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajibankewajiban kepribadian tidak dapat diwariskan.2
Konsep perdata dalam hal ini dibagi menjadi dua golongan, jika terdapat
orang-orang pada golongan pertama, mereka itulah yang berhak bersama-sama
mewarisi semua harta peninggalan, sedangkan yang lainnya tidak mendapat
apapun, barulah jika tidak terdapat golongan pertama, golongan kedua tampil
sebagai pewaris dari harta peninggalan.
Golongan pertama tersebut adalah anak-anak beserta keturunan dalm garis
lencang ke bawah, dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Golongan kedua adalah orang tua atau saudara-saudara dari si meninggal. Pada
asasnya orang tua disamakan dengan saudara. Namun bagi orang tua terdapat
peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari
seperempat harta peninggalan.3 Secara ringkas, pengolongan ahli waris ialah:4
Ahli waris golongan I Termasuk dalam ahli waris golongan I yaitu anak-anak
pewaris berikut keturunannya dalam garis lurus ke bawah dan janda/duda.
Pada golongan I dimungkinkan terjadinya pergantian tempat (cucu
menggantikan anak yang telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris).
Mengenai pergantian tempat ini, Pasal 847 KUHPerdata menentukan bahwa
tidak ada seorang pun dapat menggantikan tempat seseorang yang masih
hidup, misalnya anak menggantikan hak waris ibunya yang masih hidup.
1 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
tanpa tahun, hlm. 255.
2 Subekti, pokok-pokok hukum perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1996, hlm. 96.
3 Ibid, hlm. 99
4 Effendi Perangin, Hukum Waris, Jakarta : Raja Grafindo Persada, tanpa tahun, hlm. 132135.
2
Apabila dalam situasi si ibu menolak menerima warisan, sang anak bertindak
selaku diri sendiri, dan bukan menggantikan kedudukan ibunya.
Ahli waris golongan II Termasuk dalam ahli waris golongan II yaitu ayah, ibu,
dan saudarasaudara pewaris.
Ahli waris golongan III Termasuk dalam ahli waris golongan III yaitu kakek
nenek dari garis ayah dan kakek nenek dari garis ibu.
Ahli waris golongan IV Termasuk dalam ahli waris golongan IV yaitu sanak
saudara dari ayah dan sanak saudara dari ibu, sampai derajat ke enam.
2. Pengertian dan Konsep Warisan Menurut Hukum Islam
Dalam istilah hukum Islam, waris disebut juga dengan faraidh, artinya
bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak
menerimanya.5 Menurut Pasal 1716 huruf a, yang dimaksud dengan hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing. Namun KHI membedakan pengertian
harta waris dengan harta peninggalan, hal ini terdapat dalam pasal yg sama huruf d
dan e, harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya, sedangkan harta waris
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Apa-apa yang ditinggalkan, bersifat dan berlaku umum, dapat dikatakan
bahwa warisan terdiri atas beberapa macam. Bentuk yang lazim adalah harta yang
berwujud benda, baik yang bergerak maupun tidak bergerak dan segala hak
kebendaan yang dapat dinilai dengan harta, dan yang mungkin dapat diwarisi.7
Adapun asas hukum kewarisan, ialah:8
a. Asas Ketauhidan atau prinsip ketuhanan, bahwa terlebih dahulu harus
didasarkan pada keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasulullah SAW.
b. Asas Keadilan, yakni sesuai ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
c. Asas Persamaan, yakni hak persamaan hak di mata hukum, bahwa hak-hak
yang seharusnya diterima oleh manusia, baik laki-laki maupun perempuan
direalisasikan sebagaimana seharusnya.
5 Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2011, hlm. 169.
6 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, Permata Press, tanpa tahun, hlm. 53.
7 Dedi supriyadi, sejarah hokum islam, Bandung ; CV. Pustaka Setia, 2010, hlm. 413.
8 Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ibid, hlm.
173-192.
3
d. Asas Bilateral atau sistem kekeluargaan yang dianut suatu bangsa, yang tidak
melahirkan clan atau memandang suku, sehingga sesuai dengan apa yang
ditentukan dalam al-Qur’an.
Sedangkan asas-asas kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam
ialah:9
a. Asas ijbari, yakni mengenai cara peralihan harta waris yang di dalam pasalnya
ditegaskan dengan kata ‘harus’, yakni harus dibagi sesuai ketentuan yang ada;
b. Asas bilateral, yang menjelaskan bahwa pihak laki-laki dan perempuan
serempak menjadi ahli waris dalam pasal tersebut;
c. Asas individual, mengenai bagian ahli waris dan perwalian jika penerima
belum dewasa;
d. Asas keadan berimbang, adanya penyesuaian perolehan yang dilakukan pada
waktu penyesuaian pembagian warisan melalui aul atau membebankan
kekurangan harta yang akan dibagi kepada semua hali waris yang berhak
sesuai kadar masing-masing, raj atau dengan mengembalikan kelebihan yang
didapat, takharuj atau tasaluh (damai) berdasarkan kesepakatan bersama.
B. Penggolongan Ahli Waris
1. Penggolongan Ahli Waris Menurut KUHPerdata
Pasal 832, Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah
keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar
perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturanperaturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup
terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang
wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta
peninggalan mencukupi untuk itu.
Berdasarkan hal ini, penggolongan ahli waris dibagi menjadi, yaitu:10
a. Keturunan, namun dalam BW Pasal 582 menyebutkan bahwa anak laki-laki
tidak dibeda-bedakan dalam masalah kelaminnya.
b. Anak angkat, di dalam BW tidak mengenal angkat, seperti pada pasal 12 dari
peraturan tersebut, anak angkat itu disamakan dengan anak kandung.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suami, atau suami yang ditinggal mati oleh istri
disamakan sebagaimana haknya dengan seorang anak, ini sesuai dengan Pasal
852a.
2. Penggolongan Ahli Waris Menurut Hukum Islam
9 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 288-291.
10 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000,
hlm. 24-42.
4
Hal ini telah diatur dalam KHI Pasal 174, yakni:11
1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek.
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya :
anak, ayah, ibu, janda atau duda.
C. Surat Wasiat (Testament)
1. Surat Wasiat (Testament) Menurut KUHPerdata
Surat wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang
apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.12 Pada asasnya suatu pernyataan
ini keluar dari satu pihak saja, dan dapat dirubah sewaktu-waktu oleh pembuatnya.
Menurut KUHPerdata Pasal 875, Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta
berisi pernyataan seseorang tentang apa yangdikehendakinya terjadi setelah ia
meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.13
Suatu testament berisi erfstelling, yakni penunjukkan seorang atau
beberapa orang menjadi ahliwaris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari
warisan. Orang yang ditunjuk itu dinamakan testamentaire erfgenaam, yang
mempunyai arti ahliwaris menurut warisan. Kedudukannya sama dengan seorang
ahliwaris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si
meninggal.
Suatu testament juga dapat berisikan suatu legaat, yaitu suatu pemberian
kepada seseorang, yang dapat berupa:14
a.
b.
c.
d.
Satu atau beberapa benda tertentu;
Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misal seluruh benda yang bergerak;
Hak vruchtgebruik atas sebagian atau seluruh warisan;
Sesuatu hak lain terhadap boedol, misalnya hak untuk mengambil satu atau
beberapa benda tertentu dari boedol.
Orang yang mendapatkan legaat disebut legataris, ia bukan ahliwaris,
sehingga tidak berhak menggantikansi meninggal dalam hak-hak dan kewajiban-
11 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, ibid, hlm. 54-55.
12 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, ibid, hlm. 106.
13 Subekti dan Tjitrosubidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1992, hlm. 194.
14 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Ibid, hlm. 107.
5
kewajibannya. Ia berhak menuntut penyerahan benda tau pelaksanaan hak yang
diberikan kepadanya.
Isi suatu testament tidak hanya mengenai harta kekayaan saja, namun dapat
berisi penunjukkan seorang wali untuk anak-anak si meninggal, pengakuan
seorang anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan seorang
excuteurtestamentair atau seorang yang dikuasakan mengawasi dan mengatur
pelaksanaan testament.
Bentuk testament terdapat tiga macam, yaitu:
a. Openbaar testament, yang dibuat di hadapan notaris dan dua saksi.
b. Olographis testament, ditulis dengan tulisan tangan si meninggal
(eigenhanding), lalu diserahkan pada notaris untuk disimpan (gedeponeerd)
dan disaksikan oleh dua orang saksi.
c. Testament tertutup atau rahasia, tidak diwajibkan ditulis tangan oleh yang
meninggal tapi tetap diserahkan pada notaris dengan empat orang saksi.
Pada Pasal 921 BW hanya menyebutkan tentang adanya ketiga macam
testament tersebut.15 Dalam undang-undang juga dikenal codicil, yakni orang yang
meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam
pemberian atau pembagian warisanitu sendiri, misalnya hanya mengenai
pemakaman. Adapun penarikan testament dapat dilakukan secara tegas
(uitdrukkelijk) dengan membuat testament yang baru atau secara diam-diam
(stilwzjigend) dengan membuat testament baru yang bertentangan dengan
testament yang lama.
2. Surat Wasiat Menurut Hukum Islam
Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya,
dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksankan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain di luar harta peninggalan. 16
Menurut asal hukumnya, wasiat adalah tindakan yang dilakukan karena kemauan
hati, maka tidak ada syariat yang mewajibkannya. Orang yang berwasiat disebut
al-musi, dalam ketentuan KHI terdapat ketentuan bagi yang akan membuat wasiat,
yakni dalam Pasal 194, yang berbunyi:17
15 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, ibid, hlm. 100.
16 Aulia Muthiah dan Novy Sri Pratiwi Hardani, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2015, hlm. 120.
17 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, ibid, hlm. 60.
6
1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan
tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada
orang lain atau lembaga.
2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru
dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Sedangkan yang menerima wasiat adalah al-musalah, yakni orang-orang
atau badan yang menerima wasiat yang bukan ahli waris dan secara hukum dapat
dipandang cakap untuk menerima sesuatu hak atau benda.18 Orang yang menerima
wasiat adalah orang yang hidup dan memiliki kecakapan untuk menerima wasiat.
Wasiat sendiri tidak dapat dilaksankan kecuali berdasarkan persetujuan ahli waris,
hal ini diatur dalam pasal 195 (3), yakni: Wasiat kepada ahli waris berlaku bila
disetujui oleh semua ahli waris.
Barang yang diwariskan pun (al-musalih) harus barang yang bisa dimiliki,
seperti harta, rumah dan kegunaannya. Di dalam membuat wasiat pun terdapat ijab
kabul yang di dalam ketentuan KHI menyatakan bahwa wasiat dilakukan di
hadapan notaris atau dua orang saksi. Namun dalam kadarnya, ulama sepakat agar
tidak melebihi sepertiga dari harta warisannya. Berikut pasal yang mengatur
mengenai ketentuan wasiat:
1. Pasal 195
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis
dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta
warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di
hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di
hadapan Notaris.
2. Pasal 196, Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan
dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan
menerima harta benda yang diwasiatkan.
D. Hal-Hal yang Mengakibatkan Seseorang Kehilangan Hak Warisannya
18 Aulia Muthiah dan Novy Sri Pratiwi Hardani, Hukum Waris Islam, ibid, hlm.121.
7
1. Hal-Hal yang Mengakibatkan Seseorang Kehilangan Hak Warisannya
Menurut KUHPerdata
Dalam hal menerima waris, pada dasarnya semua orang cakap menerima
waris meskipun seorang bayi yang baru lahir. Namun dalam hal tersebut terdapat
ketentuan-ketentuan yang menyebabkan seseorang tidak layak menjadi ahli waris
(onwaardig). Hal tentang tidak pantasnya seseorang dianggap sebagai ahli waris
ini dalam burgerlijk wetboek diatur dengan : 19
a) Dalam pasal-pasal 838, 839, dan 840 untuk ahli waris tanpa testament.
b) Dalam pasal 912 untuk ahli waris dengan testament.
Pasal 838 KUHPer yang dianggap tak patut
menjadi waris dan
karenanyapun dikecualikan dari pewarisan ialah :20
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau
mencoba membunuh si yang meninggal.
2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu
pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan
hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si
yang meninggal.
Pasal 839. Tiap tiap waris, yang karena tak patut telah dikecualikan dari
pewarisan, berwajib mengembalikan segala hasil dn pendapatan yang telah
dinikmatinya semenjak warisan jatuh meluang.
Pasal 840. Apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak
patut menjadi waris atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris,
maka tidaklah meeka karena kesalahan orang tua tadi dikecualikan dari
pewarisan, namn orang tua iu lah sama sekali tak berhak menuntut supaya
diperbolehkan menikmati hasil barang-barang dari warisan yang mana, menurut
19 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2000, Hlm. 141.
20 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1992, Hlm. 187.
8
udang-undang hak nikmat hasilnya diberikan kepada orang tua atas barang –
barang anaknya.
Pasal 912. Mereka yang telah dihukum karena membunuh si yang
mewariskan, lagipun mereka yang telah menggelapkan membinasakan dan
memalsu surat wasiatnya, dan akhirnyapun mereka dengan paksaan atau
kekerasan telah mencegah si yang mewariskan tadi, akan mencabut atau
mengubah surat wasiatnya , tiap-tiap mereka itu, sepertipun tiap-tiap istri atau
suami dan anak-anak mereka, tak diperbolehkan menarik suatu keuntungan dari
surat wasiat yang mewariskan.
Selain itu, oleh undang-undang telah ditetapkan bahwa ada orang-orang
yang berhubung dengan jabatan atau pekerjaannya maupun hubungannya dengan
si meninggal, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat
yang diperbuat oleh si meninggal. Mereka ini diantaranya ialah notaries yang
membuatkan surat wasiat itu serta saksi-saksi yang menghadiri pembuatan
testament itu, pendeta yang melayani atau dokter yang merawat si meninggal
selama sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian warisan dalam surat wasiat
kepada orang-orang yang mungkin menjadi perantara dari orang ini dapat
dibatalkan. Sebagai orang-orang perantara ini oleh undang-undang dianggap
anak-anak dan istri dari orang-orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan
dari tastement itu.21
2. Hal-Hal yang Mengakibatkan Seseorang Kehilangan Hak Warisannya
Menurut Hukum Islam
Menurut Ash-Shabuni, sebab orang tidak mendapatkan harta waris, ialah:22
a. Karena seorang hamba sahaya atau budak
b. Karena membunuh
c. Perbedaan Agama
Sedangkan menurut Paal 173 Bab II tentang Ahli Waris Kompilasi Hukum
Islam, dinyatakan bahwa Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena:23
21 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, ibid, hlm. 97.
22 Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ibid, hlm.
206-209.
23 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam (KHI), ibid, hlm. 54.
9
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat para pewaris;
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Sedangkan dalam hukum islam, terdapat 3 macam ahli waris yang tidak
pantas menerima warisan, yakni:24
1. Ahliwaris yang telah mengakibatkan meninggalnya peninggal warisan.
2. Murtad, yakni meninggalkan agama islam masuk agama lain.
3. Orang yang sudah sejak lama tidak menganut agama islam.
E. Prinsip-Prinsip Pembagian Warisan (Fidei-Commis dan Legietieme Portie)
1. Prinsip-Prinsip Pembagian Warisan (Fidei-Commis dan Legietieme Portie)
Menurut KUHPerdata
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan
warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab
intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang saja.
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undangundang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak,
masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian
berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang
meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurangkurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua,
separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari
yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
24 Elise T. Sulistini dan Rudy T. Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara
Perdata, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hlm. 70.
10
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus
yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli
warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang
demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah
menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus
memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah
suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan
diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang
keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan
barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa
hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan
juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilanpanggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang
dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris
yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan
pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan
selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi
ahli waris dan karenanya tidak
berhak mewaris ialah:
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang
lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau
mencabut surat wasiatnya.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
pewaris.
2. Prinsip-Prinsip Pembagian Warisan (Fidei-Commis dan Legietieme Portie)
Menurut Hukum Islam
Prinsip dan Dasar Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan islam
mempunyai prinsip yang dapat disimpulkan sebagai berikut:25
25 Effendi Perangin, Hukum Waris, ibid, hlm. 132-135.
11
a. Hukum kewarisan islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan
kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan
wasiat kepada orang lain yang dikehendaki.
b. Kewarisan merupakan ketetapan hukum; yang mewariskan tidak dapat
menghalangi ahli waris dari haknya atas harta peninggalan tanpa memerlukan
pernyataan menerima dengan suka rela atau atas putusan pengadilan, tetapi ahli
waris tidak dibebani melunasai hutang pewaris dari harta pribadinya.
c. Kewarisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan
perkawinan atau pertalian darah.
d. Hukum kewarisan Islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada
sebanyak mungkin ahli waris yang sederajat, dengan menentukan bagian
tertentu kepada beberapa ahli waris. Misalnya, jika ahli waris terdiri dari ibu,
istri, seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya
mendapat bagian.
e. Hukum kewarisan islam tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan;
anak yang sulung, menengah atau bungsu, telah besar atau baru saja lahir, telah
berkeluarga atau belum, semua berhak atas harta peninggalan orang tua,
namun besar kecil bagian yang diterima dibedakan sejalan dengan besar kecil
beban kewajiban yang harus dituaikan dalam kehidupan keluarga,
f. Hukum kewarisan islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris
diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup seharin 1/-hari, disamping
memandang jauh dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.
g. Bagian tertentu dari harta peninggalan adalah 2/3, 1/2, 1/3, ¼, 1/6 dan 1/8.
Ketentuan tersebut bersifat tetap karena diperoleh dari Alqur’an, dan bersifat
ta’abbudi yang wajib dilaksanakan menurut ketentuan yang ada. Yang
disebutkan terakhir inilah yang melekatkan nilai keagamaan pada hukum
kewarisan islam itu.
Prinsip pembagian waisan dalam Islam tertuang dalam KHI Bab III
tentang Besarnya Bahagian yang dimulai dari:26
a. Pasal 176, Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian,
bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian,
dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
b. Pasal 177, Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. *
26 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, ibid, hlm. 55-56.
12
c. Pasal 178
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih.
Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat
sepertiga bagian.
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau
duda bila bersama-sama dengan ayah.
d. Pasal 179, Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagaian.
e. Pasal 180, Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda
mendapat seperdelapan bagian.
f. Pasal 181, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
g. Pasal 182, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang
ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua
mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu
dengan saudara perempuan.
13
BAB III
KESIMPULAN
1.
Hukum waris ialah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang
2.
setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Dalam istilah hukum Islam, waris disebut juga dengan faraidh, adapun menurut KHI
Pasal 171 huruf a, yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah
hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing.
3. Penggolongan ahli waris dalam KUHPerdata dibagi menjadi, yaitu:
a. Keturunan, namun dalam BW Pasal 582 menyebutkan bahwa anak laki-laki tidak
dibeda-bedakan dalam masalah kelaminnya.
b. Anak angkat, di dalam BW tidak mengenal angkat, seperti pada pasal 12 dari
peraturan tersebut, anak angkat itu disamakan dengan anak kandung.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suami, atau suami yang ditinggal mati oleh istri
4.
disamakan sebagaimana haknya dengan seorang anak, ini sesuai dengan Pasal 852a.
Penggolongan ahli waris dalam Hukum Islam di Indonesia diatur dalam KHI Pasal 174,
yakni:
a. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dari nenek.
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak,
5.
ayah, ibu, janda atau duda.
Surat Wasiat (Testament) Menurut KUHPerdata ialah suatu pernyataan dari seseorang
tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Adapun Bentuk testament
terdapat tiga macam, yaitu:
a. Openbaar testament, yang dibuat di hadapan notaris dan dua saksi.
14
b. Olographis testament, ditulis dengan tulisan tangan si meninggal (eigenhanding), lalu
diserahkan pada notaris untuk disimpan (gedeponeerd) dan disaksikan oleh dua orang
saksi.
c. Testament tertutup atau rahasia, tidak diwajibkan ditulis tangan oleh yang meninggal
6.
tapi tetap diserahkan pada notaris dengan empat orang saksi.
Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa
pesan tentang apa yang harus dilaksankan para penerima wasiat terhadap harta
peninggalannya atau pesan lain di luar harta peninggalan. Adapun pasal yang mengatur
mengenai ketentuan wasiat:
a. Pasal 195
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan
dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan
kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di
hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan
Notaris.
b. Pasal 196, Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan
tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta
7.
benda yang diwasiatkan.
Hal-hal yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak warisannya menurut KUHPerdata
diatur dalam:
Dalam pasal-pasal 838, 839, dan 840 untuk ahli waris tanpa testament.
Dalam pasal 912 untuk ahli waris dengan testament.
8.
Sedangkan hal-hal yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak warisannya menurut
menurut Paal 173 Bab II tentang Ahli Waris Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan bahwa
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para
pewaris;
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
9.
hukuman yang lebih berat.
Prinsip pembagian waisan dalam Islam tertuang dalam KHI Bab III tentang Besarnya
Bahagian yang dimulai dari:
15
Pasal 176, Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua
orang atau lebih mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila
anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki
adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177, Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. *
Pasal 178
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila
tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga
bagian.
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179, Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.
Pasal 180, Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian.
Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga
bagian.
Pasal 182, Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh
bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara lakilaki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saebani, Beni dan Falah, Syamsul. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2011.
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.
https://bem.law.ui.ac.id/materi-hukum-waris.ppt
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
tanpa tahun.
16
Muthiah, Aulia dan Sri Pratiwi Hardani, Novy. Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2015.
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000.
Perangin, Effendi. Hukum Waris. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Tanpa tahun.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakata: PT. Intermasa, 1995.
Subekti. Tjitrosubidio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1992.
Sulistini, Elise T, dan Erwin, Rudy T. Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara
Perdata. Jakarta : Bina Aksara. 1987.
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Permata Press, tanpa tahun.
17