FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KE (3)

JURNAL PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
KATARAK DI POLIKLINIK BALAI KESEHATAN MATA
MASYARAKAT(BKMM) PROVINSI
SULAWESI SELATAN

Rahmat Hasnur1, Afrida2, Sukriyadi3

Mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan STIKES Nani Hasanuddin
Makassar
2
Dosen tetap Program Studi S1 Keperawatan STIKES Nani
Hasanuddin Makassar
3
Dosen tetap Program Studi S1 Keperawatan STIKES Nani
Hasanuddin Makassar
1

PROGRAM STUDI S1ILMU KEPERAWATAN
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar


1

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
KATARAK DI POLIKLINIK BALAI KESEHATAN MATA
MASYARAKAT(BKMM) PROVINSI
SULAWESI SELATAN
Rahmat Hasnur1, Afrida2, Sukriyadi3
ABSTRAK
Katarak adalah cacat mata, yaitu buramnya dan berkurang elastisitasnya
lensa mata. Hal ini terjadi karena adanya pengapuran pada lensa. Pada
orang yang terkena katarak pandangan menjadi kabur dan daya
akomodasi berkurang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian katarak di Poli Klinik
Balai Kesehatan mata Masyarakat (BKMM) Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis


penelitian ini adalah penelitian Analitik Korelatif dan menggunakan
metode Cross Sectional menggunakan desain uji Chi Square Test
dengan interval kemaknaan α 0.05. Sampel berjumlah 99 orang
responden yang didapatkan dengan menggunakan teknik Purposive
Sampling yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah
ditetapkan. hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara
umur (p = 0.048 : OR : 9.97), komplikasi DM (p = 0.01, OR : 10.04)
dan trauma (p = 0.04, OR : 9.9) dengan kejadian katarak.
Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan
antara umur responden, komplikasi DM dan trauma dengan
kejadian katarak di Poli Klinik Balai Kesehatan Mata Masyarakat
(BKMM) Provinsi Sulawesi Selatan. Disarankan kepada masyarakat
agar lebih memperhatikan lagi tentang penyait katarak baik itu
tentang bahaya, akibat dan cara pengobatan agar dapat
menghindari sedini mungkin kejadian katarak.
Kata Kunci : Katarak, Umur, Komplikasi DM, Trauma.

Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar


2

PENDAHULUAN
Katarak merupakan penyakit mata yang sangat di kenal
masyarakat saat ini. Hal ini akibat mulai terdapat kesadaran pada
lansia bahwa katarak adalah kelainan pada masa lanjut (Ilyas,
2006).
Katarak berasal dari bahasa yunani katarrhakies, Inggris
cataract, dan latincataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa
Indonesia disebut bular, dimana penglihatan seperti tertutupi air
terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan
kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi
akibat kedua-duanya (Ilyas, Yulianti. 2012).
Katarak merupakan keadaan keruh lensa mata yang biasanya
bening dan transparan. Bila katarak berkembang lensa menjadi
berkabut seperti jendela berkabut di tempat yang dingin. Lensa
yang terletak di belakang manik mata bersifat membiaskan dan
memfokuskan cahaya pada retina atau selaput jala. Bila lensa
menjadi keruh atau katarak cahaya tidak dapat di fokuskan pada

retina dengan baik sehingga penglihatan menjadi kabur. Kekeruhan
pada lensa yang kecil tidak banyak mengganggu penglihatan. Bila
kekeruhannya tebal maka penglihatan sangat terganggu, sehingga
perlu dilakukan tindakan pada lensa yang keruh tersebut. Biasanya
katarak yang mengakibatkan penglihatan kabur dapat mengganggu
penglihatan sehingga kadang-kadang sampai tidak melihat atau
berkabut tebal sekali (Ilyas, 2006).
Katarak umunnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan
tetapi dapat juga akibat kelainan congenital dan penyulit penyakit
mata lokal menahun. Bermacan-macan penyakit mata dapat
mengakibatkan katarak seperti glaucoma, ablasi, uveitis dan
retinitis pigmentosa dan katarak dapat berhubungan proses
penyakit intraocular lainnya. Katarak dapat disebabkan bahan toksi
khusus (kimia dan fisik), keracunan beberapa jenis obat dapat
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

3

menimbulkan katarak seperti, eserin (0,25-0,5℅), kortikosteroid,

ergot, dan antikolinesterase tropical. Kelainan sistemik atau
metabolik yang dapat menimbulkan katarak adalah diabetes
melitus, galaktosemi, dan distrofi miotonik (Ilyas, Yulianti. 2012).
Umumnya penderita katarak banyak ditemukan pada
kelompok umur 40 tahun atau lebih, sesungguhnya 60℅ dari
kebutaan diatas umur 60 tahun adalah diakibatkan katarak. Dengan
menjadi tuanya seseorang maka lensa mata akan kekurangan air
dan menjadi lebih padat. Lensa akan menjadi keras tengahnya
sehingga kemampuannya memfokuskan benda dekat berkurang.
Hal ini mulai terlihat pada usia 45 tahun dimana mulai timbul
kesukarang melihat dekat (Ilyas, 2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun (19891999) lebih dari separuh (52℅) kebutaan disebabkan katarak,
sedangkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan
bahwa sebanyak 20 juta penduduk buta karna katarak hal ini
diperkirakan kebutaan karena katarak di dunia saat ini mencapai 17
juta orang. Untuk itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan
vision 2020 bekerja keras untuk menurungkan angka kebutaan
yang dikhawatirkan dapat mencapai 80 juta pada tahun 2020
(James, Bron, 2009).
Menurut Instansi Kesehatan Nasional (IKN) di negara maju

seperti Amerika serikat terdapat 4 juta orang berisiko menjadi buta.
Data berdasarkan laporan baru pusat statistik tahun 2003, jumlah
usia lanjut tahun 2025 akan mengalami peningkatan 414 persen di
bandingkan keadaan tahun 2000. Selain itu, masyarakat di
Indonesia dikenal memiliki kecenderungan menderita katarak 15
tahun lebih cepat bila dibandingkan penderita di daerah subtropis
lainnya dan jika tingkat penyakit mata terus berkembang, maka
Indonesia berpeluang untuk menggeser posisi Afrika yang kini
tercatat sebagai negara yang memiliki penderita penyakit katarak
terbesar di dunia.
Data Departemen Kesehatan (2011)
Indonesia menjadi
negara dengan penderita katarak tertinggi di Asia Tenggara.
Menurut data, angka penderita katarak di Indonesia sebesar 1,5
persen. Menurut para ahli, tingginya angka kebutaan di Indonesia
disebabkan usia harapan hidup orang Indonesia semakin
meningkat. Hingga kini, penyakit mata yang banyak ditemui di
Indonesia adalah mata katarak (0,8 persen), glukoma (0,2 persen)
serta kelainan refraksi (0,14 persen), (Putro, 2012). Gangguan
penglihatan dan kebutaan menjadi masalah kesehatan serius di

Indonesia, data Kementerian Kesehatan (KEMKES) menyebutkan
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

4

katarak merupakan 50% dari penyebab utama kebutaan di tanah
air. Direktur Bina Upaya Kesehatan (BUK) Dasar KEMKES dr. Dedi
Kuswenda mengatakan, dengan meningkatnya usia harapan orang
Indonesia maka prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan
juga cenderung meningkat, sebab katarak merupakan salah satu
masalah kesehatan utama pada usia lanjut (Sambuanga, 2011).
Berdasarkan rekapitulasi medical record di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan data umum
penyakit mata pada tahun 2010 sebanyak 22.707 pasien, kemudian
pada tahun 2011 sebanyak 25.346 pasien, dan pada tahun 2012
sebanyak 30.879 pasien. Sedangkan data khusus untuk penderita
penyakit katarak mulai dari tahun 2010 sebanyak 5.205 pasien,
kemudian pada tahun 2011 sebanyak 6.634 pasien, dan pada
tahun 2012 sebanyak 7.386 pasien. Jadi menurut data di atas dapat

disimpulkan bahwa dari tahun 2010-2012 terjadi peningkatan dari
tahun ke tahun.
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degenerative
atau bertambahnya usia seseorang akan tetapi katarak dapat pula
terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil
muda. Penyebab katarak lainnya meliputi, cacat bawaan, masalah
kesehatan seperti diabetes melitus, penggunaan obat tertentu
khususnya steroid, mata tanpa pelindung terkena sinar matahari
dalam waktu yang cukup lama, operasi mata sebelumnya, trauma
(kecelakaan) pada mata, dan merokok juga dapat menyebabkan
katarak.
Berdasarkan uraian pada data yang di peroleh secara
keseluruhan mengalami peningkatan jumlah katarak di Poliklinik
Balai Kesehatan Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan. Maka
dengan ini penulis berminat untuk melakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian katarak di
Poliklinik Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi
Selatan.
BAHAN DAN METODE
Jenis Penelitian, Populasi dan Sampel

Jenis penelitian ini adalah penelitian Analitik Korelatif dan
menggunakan metode Cross Sectional. Penelitian ini dilakukan di
Poliklinik Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi
Selatan pada 10 Juni sampai dengan 24 Juni 2013. Populasi dalam penelitian
ini adalah penderita katarak yang mengunjungi Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, berdasarkan
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

5

jumlah pasien pada tahun 2012 sebanyak 7.386 Orang. Jumlah
sampel sebanyak 99 orang responden yang didapatkan dengan
menggunakan teknik Purposive Sampling yang sesuai dengan
kriteria sampel yang telah ditetapkan.
Untuk mendapatkan jawaban yang bituhkan maka peneliti menetapkan beberapa
kriteria sampel, yaitu :
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien yang dirawat di Poliklinik Balai Kesehatan Mata
Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki tandatanda katarak.

b. Bersedia untuk diteliti hingga penelitian ini berakhir
2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien katarak yang tidak berada di Poliklinik Balai Kesehatan
Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan pada waktu
penelitian.
b. Menolak untuk melanjutkan penelitian
c. Tidak kooperatif
Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner
yang terdiri dari beberapa pertanyaan yang telah disediakan
oleh peneliti kepada Responden.
2. Data Sekunder
Data sekunder juga digunakan sebagai data pelengkap
untuk data primer yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti seperti jumlah keseluruhan di Poliklinik Balai Kesehatan
Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan. Data ini diperoleh
dari instansi yang terkait yaitu di Balai Kesehatan Mata
Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan.
Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual (dengan mengisi
kuesioner yang di sediakan).Adapun langkah langkah pengolahan
data yaitu sebagai berikut.
1. Selecting.
Selecting merupakan pemilihan untuk mengklasifikasikan
data menurut kategori.
2. Editing.
Editing di lakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan
yang sudah di isi, meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan
pengisian dan konsistensi dari setiap jawaban.
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

6

3. Koding.
Koding merupakan tahap selanjutnya yaitu dengan
memberi kode pada jawaban responden.
4. Tabulasi Data.
Setelah dilakukan editing dan koding dilanjutkan dengan
pengolahan data kedalam suatu table menurut sifat sifat yang di
miliki sesuai dengan tujuan penelitian.
Setelah data ditabulasi, selanjutnya dilakukan analisa data
yaitu sebagai berikut :
a. Analisa Univariat
Dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan
cara mendiskripsikan tiap variabel yang digunakan dalam
penelitian dengan melihat distribusi frekuensi, mean, median
dan modus.
b. Analisa Bivariat.
Dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
bebas secara sendiri sendiri dengan variabel terikat dengan
menggunakan uji statistik Chi-Square, SPSS.
HASIL PENELITITAN
1. Analisa Univariat
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
No.
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase
1 Laki-Laki
54
54,5
2 Perempuan
45
45,5
Total
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.1, maka diketahui bahwa responden dengan jenis
kelamin laki-laki sebanyak 54 orang responden (54.5%) sedangkan responden
dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 45 orang responden (45.5%).

Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

7

No
.
1
2
3
4

Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
D3/ S1
Total

Freuensi

Persentase

25
20
41
13
99

25,4
20,2
41,4
13,1
100

Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.2, maka diketahui bahwa kelompok tingkat
pendidikan paling banyak adalah SMA dengan jumlah responden sebanyak 41
orang responden (41.4%), sedangkan yang paling sedikit adalah D3/ S1dengan
jumah responden sebanyak 13 orang (13.1%).
Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Pekerjaan di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
No
Pekerjaan Reponden
Frekuensi
Persentase
.
1 Pegawai Negeri Sipil
8
8,1
2 Pensiunan
2
2
3 Ibu Rumah Tangga
28
28,3
4 Swasta
20
20,2
5 Petani/ Pedagang
16
16,2
6 Buruh
8
8,1
7 Lainnya
17
17,2
Total
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.3, maka diketahui bahwa kelompok pekerjaan paling
banyak adalah ibu rumah tangga dengan jumlah responden sebanyak 28 orang
(28.3%), sedangkan kelompok pekerjaan paling sedikit adalah pensiunan dengan
jumlah responden sebanyak 2 orang (2%).

Tabel 5.4
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

8

Disribusi Responden Berdasarkan Kelompok Agama di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
No
Agama Responden
Frekuensi
Persentase
.
1 Islam
92
92,9
2 Katolik
2
2
3 Protestan
5
5,1
Total
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.4, maka diketahui bahwa kelompok Agama paling
banyak adalah Islam dengan jumlah responden sebanyak 92 orang (92.9%),
sedangkan paling sedikit adalah Katolik dengan jumlah responden sebanyak 2
orang (2%).
Tabel 5.5
Distribusi responden Berdasarkan Kelompok Umur di di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
No
Umur Responden
Frekuensi
Persentase
.
1 Risiko Tinggi
86
86,9
2 Risiko Rendah
13
13,1
Total
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.5, maka diketahi bahwa umur responden dengan
kelompok risiko tinggi sebanyak 86 orang responden (86.9%), sedangkan
kelompok umur dengan risiko rendah sebanyak 13 orang responden (13.1%).
Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Komplikasi DM di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
No
Komplikasi DM
Frekuensi
Persentase
.
1 Risiko Tinggi
48
48,5
2 Risiko Rendah
51
51,5
Total
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.6, maka diketahui bahwa Komplikasi DM dengan
risiko tinggi sebanyak 48 orang responden (48.5%), sedangkan komplikasi DM
dengan risiko rendah sebanyak 51 orang responden (51.5%).

Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

9

Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Trauma di Poliklinik Balai Kesehatan
Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
No
Trauma
Frekuensi
Persentase
.
1 Risiko Tinggi
58
58,6
2 Risiko Rendah
41
41,4
Total
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.7, maka diketahui bahwa Trauma dengan risiko
tinggi sebanyak 58 orang responden (58.6%), sedangkan Trauma dengan risiko
rendah sebanyak 41 orang responden (41.4%).
Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Katarak di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
No
Kejadian Katarak
Frekuensi
Persentase
.
1 Katarak
77
77,8
2 Tidak Katarak
22
22,2
Total
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan Tabel 5.8, maka diketahui bahwa responden yang menderita
katarak sebanyak 77 orang responden (77.8%), sedangkan responden yang tidak
menderita katarak sebanyak 22 orang responden (22.2%).
2. Analisa Bivariat
Tabel 5.9
Hubungan Umur dengan Kejadian Katarak di Poliklinik Balai Kesehatan
Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi SelatanTahun 2013
Kejadian Katarak
Total
Tidak
Odds
Umur
Katarak
p
Katarak
Ratio
n
%
n
%
n
%
Risiko Tinggi
68
68,7
18
18,2
86
86,9
Risiko Rendah
9
9,1
4
4
13
13.1
9.97
0,048
Total
77
77,8
22
22,2
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

10

Berdasarkan Tabel 5.9, maka diketahui bahwa dari total 86 orang
responden (86.9%) dengan kategori umur risiko tinggi, 68 orang responden
(68.7%) diantaranya menderita katarak sedangkan 18 orang lainnya (18.2%) tidak
menderita katarak. Sedangkan dari total 13 orang responden (13.1%), 9 orang
diantaranya (9.1%) menderita katarak dan 4 orang (4%) lainnya tidak menderita
katarak.
Hal tersebut di atas dipengaruhi oleh subvariabel yang lain yaitu
komplikasi DM dan trauma. Sehingga tidak dapat memberikan jaminan bahwa
orang yang dalam umur risiko rendah tidak menderita katarak, begitupun
sebaliknya. Hal ini berdasarkan dari responden dengan umur risiko tinggi tapi
tidak katarak sebanyak 18 orang (18.2%), dimana 8 orang (8.1%) diantaranya
memiliki komplikasi DM dan trauma pada kategori risiko rendah. Sedangkan dari
total 9 orang (9.1%) responden dengan umur risiko rendah tapi menderita katarak,
7 orang responden (7.1%) pada kategori trauma risiko tinggi dan 2 orang (2%)
lainnya pada kategori Komplikasi DM risiko Tinggi.
Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan uji Chi Square, maka
berdasarkan Fisher Exact Test diperoleh nilai p = 0.048. hal ini berarti ada
hubungan antara umur dengan kejadian katarak karena p < α 0.05.
Dari nilai Odds Ratio 9.97, menunjukkan bahwa responden dengan umur
risiko tinggi berpeluang 9.97 kali lebih besar mengalami katarak jika
dibandingkan dengan responden dengan umur risiko rendah.
Tabel 5.10
Hubungan Komplikasi DM dengan Kejadian Katarak di Poliklinik Balai
Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
Kejadian Katarak
Odds
Total
p
Tidak
Ratio
Komplikasi DM
Katarak
Katarak
n
%
n
%
n
%
Risiko Tinggi
37
37,4
11
11,1 48 48,5
Risiko Rendah
40
40,4
11
11,1 51
51.5 10.04
0,01
Total
77
77,8
22
22,2 99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasarkan tabel 5.10, maka diketahui bahwa dari total 48 orang (48.5%)
responden dengan kategori komplikasi DM risiko tinggi, 37 orang responden
(37.4%) menderita katarak dan 11 orang responden (11.1%) lainnya tidak
menderita katarak. Sedangkan dari total 51 orang responden (51.5%) dengan
kategori komplikasi DM risiko rendah, 40 orang (40.4%) responden menderita
katarak dan 11 orang responden (11.1%) lainnya tidak menderita katarak.
Hal tersebut diatas dipengaruhi oleh subvariabel lain yaitu umur dan
trauma, sehingga tidak menjamin bahwa orang dengan komplikasi DM kategori
risiko tinggi menderita katarak begitupun sebaiknya. Hal ini berdasar dari total 11
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

11

orang responden (11.1%) dalam kategori komplikasi DM risiko tinggi yang tidak
menderita katarak, 3 orang (3%) diantaranya berada dalam kondisi trauma risiko
rendah dan 1 orang lainnya (1%) berada dalam kategori umur risiko rendah.
Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan uji Chi Square, maka
berdasarkan Fisher Exact Test diperoleh nilai p = 0.01. hal ini berarti ada
hubungan antara komplikasi DM dengan kejadian katarak karena p < α 0.05.
Dari nilai Odds Ratio 10.04, menunjukkan bahwa responden dengan
Komplikasi DM risiko tinggi berpeluang 10.04 kali lebih besar mengalami
katarak jika dibandingkan dengan responden dengan kategori komplikasi DM
risiko rendah.
Tabel 5.11
Hubungan Trauma dengan Kejadian Katarak di Poliklinik Balai Kesehatan
Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
Kejadian Katarak
Total
Odds
Trauma
Katarak
Tidak Katarak
p
Ratio
n
%
n
%
n
%
Risiko Tinggi
45
45,5
13
13,1
58 58,6
Risiko Rendah
32
32,2
9
9,1
41 41,4
9.9
0,04
Total
77
77,8
22
22,2
99
100
Sumber : Data Primer 2013

Berdasakan Tabel 5.11, maka diketahui bahwa dari total 58 orang
responden (58.6%) trauma dengan kategori risiko tinggi, 45 orang responden
(45.5%) mengalami katarak, dan 13 orang lainnya (13.1%) tidak mengalami
katarak. Sedangkan dari total 41 orang responden (41.4%) trauma dengan
kategori risiko rendah, 32 orang responden (32.2%) mengalami katarak, dan 9
orang lainnya (9.1%) tidak mengalami katarak.
Hal tersebut di atas dipengaruhi oleh subvariabel lainnya yaitu umur dan
komplikasi DM sehingga tidak memberikan jaminan bahwa orang dengan trauma
kategori risiko tinggi semuanya mengalami katarak, begitupun sebaliknya. Hal ini
berdasar pada dari 13 orang responden (13.1%) kategori trauma risiko tinggi, 2
orang responden (2%) berada pada kategori umur dan Komplikasi DM risiko
rendah, 1 orang responden (1%) berada dalam kategori umur risiko rendah namun
komplikasi DM risiko tinggi, 6 orang responden (6.1%) berada dalam kategori
umur risiko tinggi dan komplikasi DM risiko tinggi, dan 4 orang responden (4%)
berada dalam kondisi umur risiko tinggi namun Komplikasi DM risiko rendah.
Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan uji Chi Square, maka
berdasarkan Fisher Exact Test diperoleh nilai p = 0.04. hal ini berarti ada
hubungan antara trauma dengan kejadian katarak karena p < α 0.05.
Dari nilai Odds Ratio 9.9, menunjukkan bahwa responden dengan trauma
risiko tinggi berpeluang 9.9 kali lebih besar mengalami katarak jika dibandingkan
dengan responden dengan kategori trauma risiko rendah.
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

12

PEMBAHASAN
1. Hubungan Umur dengan Kejadian Katarak
Hasil analisa univariat menunjukkan bahwa dari total 99 orang responden
didapatkan sebagian besar, yaitu 86 orang responden (86.9%) dalam kategori
umur risiko tinggi, sedangkan kelompok umur dengan risiko rendah sebanyak 13
orang responden (13.1%).
Dari hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara umur dengan kejadian katarak di Poliklinik Balai Kesehatan
Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan. Risiko tinggi umur responden maka
akan semakin memicu kejadian katarak.
Maka hipotesa yang disajikan peneliti diterima karena ada hubungan yang
signifikan antara umur dengan kejadian katarak. Demikian pula dengan odds
ratio menunjukkan bahwa responden dengan umur risiko tinggi berpeluang 9.97
kali lebih besar mengalami katarak jika dibandingkan dengan responden dengan
umur risiko rendah.
Hal senada diungkapkan ahli spesialis mata dari Klinik Rumah Sakit
Ciptomangunkusumo, dr Cosmos Octavianus Mangunsong SpM. Dia mengatakan
bahwa katarak pada umumnya disebabkan terjadinya proses degenerasi pada lensa
alamiah yang terdapat dalam mata kita. Jenis katarak ini dinamakan katarak
senilis (Fraid, A.M. 2011).
Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Heri
Ruslan (2012) yang menyatakan bahwa faktor pencetus terjadinya katarak adalah
multifaktorial. Tak hanya fakor eksternal seperti seringnya terpapar sinar
matahari, namun juga dari faktor internal yaitu usia seseorang.
Juga pendapat yang dikemukakan oleh Dokter Freddy Arsjad SpM, dokter
ahli bedah mata dari RSPAD Gatot Subroto Jakarta (2009), menuturkan bahwa
faktor pemicu terbesar penyakit katarak adalah usia senja. Katarak merupakan
kondisi saat lensa mata seseorang sudah kabur. Paling banyak penderitanya
berusia 50 tahun ke atas. Umumnya, penderita katarak pandangannya mulai
kabur. Sementara untuk pengobatannya dilakukan operasi.
Hasil penelitian ini juga relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Anggun Trithias Arimbi (2012) yang dalam penelitiannya berjudul “Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Katarak Degeneratif Di RSUD Budhi Asih”
menyatakan bahwa responden kategori umur 55-64 tahun berisiko menderita
katarak 5.6 kali dibandingkan dengan responden yang berada pada umur 30-44
tahun dengan (95% CI : 1.8 – 17.3). hal ini bermakna secara statistik karena nilai
p value = 0.003 (p < α 0.05). sedangkan responden kategori umur 65 tahun ke atas
berisiko menderita katarak 35.4 kali dibandingka dengan responden pada
Rahmat Hasnur, Afrida, Sukriyadi
STIKES Nani Hasanuddin Makassar

13

kelompok umur 30-44 tahun dengan (95% IK : 10.2 – 122.3). hal ini bermakna
secara statistik karena nilai p value = 0.000 (p < α 0.05).
Juga penelitian yang dilakukan oleh Adi Subhan (2011) yang dalam
penelitiannya yang berjudul “hubungan usia lanjut dengan kejadian katarak pasien
yang berobat di poli mata RSUD Dr. M Yunus Propinsi Bengkulu” yang
menyatakan bahwa sebagian besar responden dengan katagori pra usia lanjut
(48,7%), sebagian besar responden mengalami kejadian katarak (72,4%) dan ada
hubungan yang signifikan antara usia lanjut dengan kejadian katarak di dapat nilai
X2=10.904 dengan p=0.004