IKLAN POLITIK TV DALAM PRESEPSI PEMILIH

Nurlita Prima Regiati
13/349612/SP25826
IKLAN POLITIK TV DALAM PRESEPSI PEMILIH PEMULA JURUSAN
ILMU KOMUNIKASI UGM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Iklan dapat menjadi sarana pemasaran yang efektif karena iklan
umumnya memiliki sifat persuasif dan hiperbola yang secara otomatis
mudah

dicerna

masyarakat

dan

dapat

menjadi


alternatif

untuk

mengenalkan atau mempromosikan suatu produk pada khalayak.Sama
halnya dengan iklan politik yang dapat mempersuasi masyarakat dan
memperkenalkan kandidat politik pada masyarakat.Dibalik konten iklan
politik yang umumnya berisi janji-janji politik yang diusung kandidat dan
citra

baik

yang

ingin

ditunjukkan

kandidat,


iklan

politik

dapat

mempengaruhi masyarakat dengan slogannya yang mudah diingat.Visimisi dan kharisma yang ditunjukkan kandidat politik dalam iklan juga
dapat membuat masyarakat percaya bahwa kandidat yang bersangkutan
adalah yang terbaik.
Sayangnya perkembangan media yang dibuntuti dan ditunggangi oleh
para pelaku politik ini ternyata menimbulkan banyak dampak negatif.Sifat
iklan yang hiperbola banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik untuk
merepresentasikan

dirinya

dan

organisasinya


demi

kepentingan

kekuasaan.Selain untuk mempersuasi khalayak, iklan politik juga menjadi
sarana persaingan strata antar para kandidat politik. Ketua Badan
Pengawas Periklanan, Ridwan Handoyo mengakui, “Ada perubahan iklan
politik di Indonesia. Saat ini iklan politik lebih untuk membangun brand
awareness, individual awareness, danparty awareness.”1
Dari sekian banyak penelitian tentang iklan politik yang telah
dilakukan, para ahli komunikasi membagi efek iklan politik menjadi 3
1Inggried Dwi Wedhaswary, “Iklan Politik, Contohlah Iklan Rokok!”, lipsus.kompas.com, 23 Agustus 2008

kategori2; pertama adalah efek kognitif bagi pengetahuan pemilih,yang
kedua efek afektif bagi presepsi pemilih terhadap kandidat,terakhir,
efeknya terhadap kebiasaan pemilih termasuk preferensi pemungutan
suara.
Penelitian menunjukkan bahwa iklan politik dapat menentukan pilihan
para pemilih. Berikut beberapa kebiasaan masyarakat pemilih yang
dipengaruhi oleh iklan politik3:

1. Jacobsen (1967), Reid dan Soley (1983), serta Craig dan Cherif
(1988) membuktikan adanya hubungan antara perolehan suara
yang didapatkan seorang kandidat dengan jumlah uang yang
mereka keluarkan untuk kepentingan kampanye (baik secara
keseluruhan atau hanya untuk iklan politik saja).
2. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cundy (1986), Kaid dan Sanders
(1978), serta Mulder (1979) membuktikan bahwa pemilih akan
memilih seorang kandidat karena menilai pesan yang terkandung
dalam iklan mereka.
3. Sementara itu hasil penelitian yang dirilis oleh Shaw pada tahun
1999 menunjukkan bahwa perolehan suara seorang kandidat
meningkat saat dirinya tampil langsung dalam kampanyenya.
4. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rothschild dan Ray pada
tahun 1974 menunjukkan bahwa suara pemilih yang tidak terlalu
mengerti tentang politik dan pemerintahan akan sangat dipengaruhi
oleh iklan.
Namun dalam penelitian-penelitian sebelumnya, belum ada yang
memfokuskan obyek kajian mereka pada kaum pemilih pemula. Padahal
kaum pemilih pemula notabene adalah kaum pemilih yang masih berada
dalam usia remaja, dan secara psikologis masih belum stabil. Pilihan

mereka akan lebih mudah dipengaruhi oleh pihak atau hal-hal dari luar
diri mereka, berbeda dengan pemilih lama yang notabene sudah lebih
dewasa.
B. Rumusan Masalah
2Lynda Lee Kaid, Handbook of Political Communication Research (London: Lawrence Erlbaum Associates,
2004), h. 167
3Ibid, h. 170-171

Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan iklan politik TV di Indonesia?
2. Bagaimana Hubungan antara iklan politik dan presepsi pemilih
pemula?
3. Bagaimana presepsi pemilih pemula di Jurusan Ilmu Komunikasi
UGM terhadap iklan politik TV Indonesia saat ini?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka peneliti dapat menuliskan
tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Menjelaskan perkembangan iklan politik TV di Indonesia.
2. Mengetahui hubungan antara iklan politik dan presepsi pemilih

pemula.
3. Mengetahu presepsi pemula di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM
terhadap iklan politik TV Indonesia saat ini.
D. Kajian Teoritik
Negara demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah sebuah negara
dimana pemerintahannya berasal, dikelola, dan didedikasikan untuk
rakyat. Untuk itu negara demokrasi harus bisa menjamin hak-hak setiap
individu di dalamnya, namun di sisi lain tetap menuntut mereka untuk
menghargai hak-hak orang lain seperti yang sudah tertulis di dalam
undang-undang. Negara demokrasi memiliki beberapa karakteristik,
yaitu4:
1. Memiliki undang-undang atau konstitusi yang telah disepakati dan
disetujui bersama sebagai dasar hukum tertinggi dari suatu negara.
2. Siapapun yang berpartisipasi dalam proses demokrasi harus sesuai
dengan apa yang disebut Bobio sebagai ‘substantial proportion of
the people’.
3. Adanya keleluasaan untuk memilih.
4. Kemampuan masyarakat untuk memilih secara rasional.
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, sangat
menuntut adanya hubungan yang transparan antara pemerintah dan

4Brian McNair, An Introduction to Political Communication, Edisi 5 (London: Routledge, 2003), h. 18

masyarakat, atau biasa disebut dengan komunikasi politik. Denton dan
Woodwards mendefinisikan Komunikasi Politik sebagai diskusi tentang
alokasi sumber daya, kekuasaan resmi, dan sanksi resmi. 5Komunikasi ini
mencakup

bentuk

menyebutkan

komunikasi

komunikasi

verbal

simbolik,

dan


tertulis,

sementara

namun
Doris

tidak
Graber

menambahkan bahwa komunikasi ini juga mencakup bentuk komunikasi
nonverbal seperti bahasa tubuh atau aksi-aksi politik seperti pemboikotan
dan protes.6
Salah satu bentuk dari komunikasi politik adalah iklan politik. Iklan
politik dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi dimana sebuah
sumber

(biasanya


kandidat

politik

atau

partai

politik)

membeli

kesempatan untuk menunjukkan pesan-pesan politik mereka dengan
tujuan mengubah perilaku, kepercayaan dan kebiasaan politik penerima
pesan melalui saluran-saluran massa.7Definisi ini sesuai dengan model
komunikasi yang dibuat oleh Berlo (1960) yaitu, source-message-channelreceiver-effect yang merupakan pengembangan dari model komunikasi
tradisional rancangan Lasswell (1948).
Berikut ini merupakan skema yang menunjukkan elemen-elemen yang
terlibat dalam proses komunikasi politik dalam sebuah negara:


5Ibid, h. 3
6Ibid
7Lynda Lee Kaid, Op. Cit, h. 156

Iklan politik dapat kita kategorikan sebagai bentuk dari Kampanye
Politik Modern. Kampanye Politik Modern adalah cara yang digunakan
masyarakat dalam negara demokrasi untuk menentukan siapa yang akan
memerintah mereka.8Kampanye politik sendiri merupakan salah satu
bentuk komunikasi politik yang paling nyata, terlebih menjelang Pemilihan
Umum (Pemilu) seperti saat ini.
Dengan mudah kita dapat menjumpai berbagai bentuk kampanye
politik mulai dari berbagai macam bentuk media luar ruangan seperti
baliho, poster dan stiker, hingga yang paling modern adalah iklan politik di
layar kaca bahkan internet. Kampanye politik ini diperkirakan akan terus
meningkat

frekuensinya,

sampai


ditetapkan

masa

akhir

kampanye

menjelang Pemilu 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia sedikit
banyak telah merubah metode kampanye yang digunakan oleh kandidatkandidat politik negeri ini. Kampanye politik yang awalnya didominasi oleh
konvoi keliling kota, pidato politik, penempelan stiker, pemasangan baliho,
pembagian pamflet, atau media luar ruangan yang lain, sekarang
bergeser menjadi persaingan kampanye di layar kaca. Bentuk dari
kampanye di layar kaca ini misalnya iklan politik, acara debat politik,
8Arnold Steinberg, Kampanye Politik Dalam Praktek (Jakarta: PT Intermasa, 1981), h.1

maupun acara-acara yang memang dibuat oleh sang kandidat sendiri
dengan tujuan menarik simpati masyarakat.
Media memang memiliki perananan yang sangat penting dalam
komunikasi politik, terutama dalam kampanye politik menjelang Pemilu.
Perkembangan media massa di Indonesia, telah memberikan pengaruh
yang besar terhadap metode kampanye yang dilakukan kaum elit politik
masa

kini.

Kaum

elit

politik

masa

kini

dituntut

untuk

dapat

memaksimalkan manfaat dari media massa demi memenuhi tujuan politik
dirinya maupun golongannya. Khusus untuk saat ini, tujuan dari sebagian
besar kaum elit politik Indonesia adalah memenangkan Pemilu 2014
mendatang, dan memegang tonggak kekuasaan di Negeri ini.
Penggunaan media dalam kampanye politik, terutama media televisi ini
dipacu oleh masalah “pencitraan”.
“Perkembangan demokrasi di tanah air memasuki era baru yang
ditandai dengan kebangkitan para media strategis, image makers,
dan konsultan politik di belakang tim sukses kampanye para calon
presiden. Indonesia telah memasuki era “President for Sale” dimana
kemenangan kandidat dalam Pemiluakan sangat ditentukan oleh
kepiawaian konsultan politik dan biro iklan dalam menjual isu, citra
diri, dan janji-janji politisi yang menjadi kliennya. Iklan-iklan politik
di televisi menjual kandidat presiden, seperti produsen menjajakan
sabun dan sikat gigi.”9
Hal ini sudah terbukti dalam Pemilu 2004 yang lalu. Kemenangan
pasangan SBY-JK yang diusung Koalisi Kerakyatan dalam Pemilu Presiden
dilihat sebagai kemenangan “citra” yang dikemas secara apik oleh tim
komunikasi, mengalahkan pasangan Mega-Hasyim yang masih percaya
pada kekuatan “mesin politik lama”, yaitu partai-partai politik besar-kecil
yang tergabung dalam Koalisi Kebangsaan.10
Citra adalah segala sesuatu yang telah dipelajari seseorang, yang
relevan

dengan

situasi

dan

tindakan

yang

bisa

terjadi

di

9T. Yulianti, “President for Sale”, dalam Akhmad Danial, Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik
Pasca Orde Baru (Cet. I; Yogyakarta: LKis, 2009), h. 5
10Akhmad Danial, Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru (Cet. I; Yogyakarta: LKis
Yogyakarta, 2009), h. 5

dalamnya.11Dalam citra tercakup aspek kognisi, afeksi dan konasi
seseorang. Citra dengan kata lain merupakan kecenderungan yang
tersusun dari pikiran, perasaan dan kesudian seseorang.Citra ini selalu
berubah seiring dengan bertambahnya pengalaman seseorang.
Berikut ini adalah beberapa manfaat penting citra dalam dunia politik12:
1. Memberi jalan kepada seseorang untuk memahami peristiwa politik.
2. Memberikan dasar untuk menilai obyek politik.
3. Memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain.
Citra merupakan kebutuhan bagi semua orang.Hal ini disadari betul
oleh para pelaku politik, dan mereka memanfaatkan hal ini untuk
kepentingan dirinya maupun golongannya sendiri. Para pelaku politik
mengungkapkan

imbauannya

dalam

bentuk

lambang

untuk

membangkitkan opini publik, terutama citra yang simpatik diantara
khalayak massa.
Opini publik dapat diartikan sebagai proses yang menggabungkan
pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara
pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah
dan bertanggung jawab atas tercapainya ketertiban sosial dalam situasi
yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat
tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. 13 Opini
publik sendiri memiliki beberapa karakteristik yaitu14:
1. Terdapat isi, arah, dan intensitas.
2. Ditandai oleh kontroversi.
3. Memiliki volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi itu
menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensinya langsung
dan tak langsung.
4. Relatif tetap.
Banyak yang menyamakan opini publik ini dengan presepsi publik,
padahal opini dan presepsi merupakan dua hal yang berbeda walaupun
keduanya sering berkaitan.

Presepsi sendiri merupakan rangkaian dari

11Dan Nimmo, Political Communication and Public Opinion and America, diterjemahkan oleh Tjun Surjaman
dengan judul Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Cetakan 3; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 4
12Ibid, h. 6-7
13Ibid, h. 3
14Ibid, h. 25

proses pemikiran yang terdiri dari tanggapan, penafsiran, pendapat,
penilaian, pandangan atau reaksi seseorang terhadap suatu obyek yang
menjadi perhatiannya.15 Dengan kata lain presepsi adalah salah satu
unsur pembentuk opini.
Presepsi

merupakan

inti

dari

komunikasi,

sedangkan

rangkaian

penafsiran merupakan inti presepsi yang identik dengan penyandian balik
dalam proses komunikasi. Presepsi disebut inti komunkasi karena tanpa
akurasi presepsi, komunikasi tak akan berjalan efektif. Presepsi adalah
faktor terpenting dalam proses seleksi informasi, yaitu memilih sebuah
pesan dan mengesampingkan pesan lain yang sejenis. Jadi hasil
penangkapan makna dan pesan pada suatu produk komunikasi bisa
disebut sebagai presepsi.
Pada setiap penyelenggaraan Pemilu terdapat golongan pemilih yang
baru pertama kali berhak mendapatkan kesempatan memilih.Kelompok
pemilih ini sering disebut sebagai pemilih pemula. Rentang usia mereka
berkisar antara 17 hingga 21 tahun dan rata-rata berstatus sebagai
pelajar atau mahasiswa.
Potensi suara pemilih muda patut diperhitungkan oleh partai politik dan
calon legislatifnya.Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Komisioner KPU mengatakan
bahwa,“Jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 nanti mencapai 14 juta
jiwa.”16Kelompok jenis ini jelas memiliki karakteristik yang berbeda jika
dibandingkan dengan pemilih yang sudah berpengalaman.
Suatu jajak pendapat yang diadakan Litbang harian Kompas pada 25
hingga 27 November 2008 menemukan bahwa mayoritasresponden yang
merupakan pemilih pemula dan diwawancarai melalui telepon(86,4%)
menyatakan akan menggunakan hak suara mereka dalam Pemilu. 17
Alasannya adalah pemikiran bahwa hasil Pemiluakan berdampak pada
kehidupan mereka baik langsung maupun tidak langsung.
E. Metode Penelitian
 Tipe Penelitian

15Deddy Sumardi, “Memahami Perbedaan Presepsi dengan Opini”, deddysumardi.wordpress.com, 6 April 2012
16Deytrie Robekka Aritonang, “Pemilih Pemula Capai 14 Juta”, kompas.com, 25 Juli 2013
17GIANIE, “Memetakan Minat Pemilih Pemula”, kompas.com, 1 Desember 2008

Menurut pendekatan analisisnya, penelitian untuk penulisan makalah
ini termasuk dalam klasifikasi penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif lebih
menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif
serta analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati
dengan menggunakan logika ilmiah. Bahan analisis dalam makalah ini
adalah hubungan antara fenomena iklan politik TV dengan presepsi
masyarakat pemilih pemula.
Metode penelitian yang dipakai untuk membuat makalah ini adalah
metode penelitian deskriptif.Metode penelitian deskriptif merupakan
metode

penelitian

yang

berusaha

mendeskripsikan

suatu

gejala,

peristiwa, atau kejadian yang terjadi saat ini.Penelitian deskriptif hanya
melakukan analisis sampai pada taraf deskripsi.Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai subyek yang
diteliti.Kebanyakan

pengolahan

datanya

didasarkan

pada

analisis

presentase dan analisis kecenderungan (trend) tanpa mengaitkan dengan
keadaan populasi dimana data tersebut diambil.
 Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui
sumbernya, yaitu pihak-pihak yang terkait dengan masalah-masalah
dalam penelitian. Peneliti menentukan kelompok populasi yang akan
dijadikan responden, setelah itu mengambil sampel secara acak
(random) dengan menyebarkan angket online pada responden.Data
primer juga didapatkan peneliti dengan melakukan wawancara pada
beberapa sampel.
b. Data Sekunder
Data

sekunder

adalah data

yang

diperoleh

dengan

tidak

berinteraksi langsung dengan obyek penelitian. Dalam makalah ini,
peneliti memperoleh data-data melalui buku referensi, artikel di
Internet, dan data lain seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PERKPU) menjelang Pemilu 2014.
 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan unit yang dijadikan sebagai obyek
analisis.Populasi dalam penelitian ini adalah kelompok pemilih pemula
pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada khususnya
mahasiswa angkatan tahun 2013.
 Teknik Pengumpulan Data
a. Survey
Yaitu suatu cara melakukan pengamatan di mana indikator
mengenai variabel adalah jawaban-jawaban terhadap pertanyaan
yang diberikan kepada responden baik secara lisan maupun tertulis.
Survey dilakukan satu kali, dan peneliti tidak berusaha mengatur
atau menguasai situasi.Jadi perubahan dalam variabel adalah hasil
dari peristiwa yang terjadi dengan sendirinya.
b. Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung
kepada informan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan
(interview

guide).

Peneliti

berperan

mengkomunikasikan

pertanyaan-pertanyaan inti sebagaimana tertera dalam inverview
guide sehingga informan dapat memahami pertanyaan tersebut.
Dalam wawancara penulis dimungkinkan dapat menggali lebih jauh
jawaban

informan

dengan

pertanyaan-pertanyaan

baru

yang

merupakan pengembangan dari pertanyaan inti dalam interview
guide.
c. Observasi
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan dan
pencatatan yang dilakukan secara sistematis terhadap gejala-gejala
sosial yang relevan dengan obyek penelitian. Penulis menggunakan
observasi

non

partisan,

yakni

peneliti

tidak

secara

penuh

mengambil bagian dari kehidupan yang diteliti. Penulis hanya
mengadakan

pengamatan

dan

pencatatan

terhadap

sikap,

pendapat, pengetahuan, pemahaman, kegiatan dan hal-hal lain
yang sekiranya dapat mendukung penelitian.
d. Studi Pustaka

Suatu

teknik

pengumpulan

data

dengan

mengamati

dan

mempelajari data-data obyek penelitian dari buku-buku literatur,
artikel-artikel, serta dari sumber-sumber lain yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian tersebut.
 Teknik Analisis Data
Dalam analisa kualitatif, terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi
bersamaan:
a. Menelaah sumber data, dimulai dengan keseluruhan data yang
tersedia dari hasil wawancara, survey, observasi, studi pustaka
maupun sumber lain.
b. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan hasil penelitian di
lapangan. Melalui kegiatan ini peneliti dapat menggolongkan,
mengarahkan dan mengorganisasi data sehingga dapat ditarik
kesimpulan akhir.
c. Menarik kesimpulan atau verifikasi, merupakan langkah terakhir
dari

kegiatan

analisis

kualitatif.

Penerapan

kesimpulan

ini

tergantung pada besarnya kumpulan catatan di lapangan.

BAB II
ISI
A.

Iklan Politik TV di Indonesia
Peran media dalam proses demokrasi di Indonesia sangatlah krusial.

Sistem

pemerintahan demokrasi haruslah didukung oleh media yang

bebas, sehat, dan aktif.18Media massa adalah sumber informasi paling
18Bernd-Peter Lange dan David Ward, The Media and Elections: A Handbook and Comparative Study (New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), h. x

vital bagi masyarakat di negara demokrasi. Informasi sangat diperlukan
masyarakat agar masyarakat bisa mengerti akan dinamika politik yang
ada saat ini. Informasi ini juga dapat membantu mereka membentuk
argumen yang kuat untuk menyikapi kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah.
Perkembangan

media,

terutama

radio

dan

televisi

memberikan

dampak yang sangat signifikan dalam hal kampanye politik. Iklan politik
awalnya hanya berbentuk komunikasi interpersonal dari mulut ke mulut,
atau berbentuk komunikasi publik sepeti pidato bahkan debat politik yang
hanya ditonton oleh beberapa orang. Kampanye politik yang awalnya
hanya bisa dinikmati oleh ratusan atau ribuan orang berubah menjadi
sebuah komunikasi massa tentang politik dengan melibatkan jutaan
orang.
Saat ini televisi menjadi media yang banyak digunakan dalam
kampanye-kampanye

politik

karena

dianggap

dapat

menjangkau

masyarakat secara lebih luas dan cepat. Kandidat politik ataupun partai
politik tidak segan-segan menghabiskan milyaran uangnya demi membeli
spot iklan politik di televisi. Mereka menganggap metode iklan di televisi
ini adalah yang paling ampuh untuk menarik perhatian khalayak. Era iklan
politik di layar kaca secara tidak langsung menimbulkan persaingan lain
dalam

bidang

periklanan.

Biro-biro

iklan

berlomba-lomba

untuk

menawarkan pelayanan terbaik mereka dalam membuat iklan yang paling
efektif untuk menarik perhatian masyarakat dan membantu klien politisi
mereka memenangkan Pemilu.
Dalam iklan politik program kerja calon pemimpin politik disamakan
dengan produk barang dan jasa, sehingga bisa diperjual-belikan dengan
pendekatan advertorial.Kualitas pribadi kandidat seperti postur fisik,
kecakapan, hobi, prestasi, rekam jejak dan kemampuan tertentu yang
dianggap istimewa dapat dijadikan bentuk pencitraan diri.Hal ini sedikit
banyak menunjukkan bahwa Indonesiamerasakan imbas perkembangan
serupa yang terjadi di negara-negara yang secara politik dan ekonomi
sudah jauh lebih maju.

Di Amerika Serikat kampanye presidensial yang berbentuk iklan politik
pertama kali ditayangkan tahun 1952.Iklan ini mempromosikan kandidat
Dwight Eisenhower.19 Sejak saat itu, iklan politik menjadi sebuah hal yang
sangat mendominasi proses politik di Amerika Serikat. Kandidat presiden
di Amerika Serikat tidak segan-segan menghabiskan jutaan dolar uangnya
untuk kepentingan iklan politik menjelang kampanye.
“Dikabarkan bahwa H.W. Bush and Dukakis sudah menghabiskan
sekitar 80 juta dolar untuk kepentingan iklan politik di media elektronik
pada tahun 1988. Pada Pemilu tahun 2000, giliran Al Gore dan George
W. Bush yang menghabiskan lebih dari 240 juta dolar untuk
kepentingan yang sama. Seiring berjalannya waktu, semakin fantastis
pula

jumlah

dana

yang

dialokasikan

para

kandidat

Pemilu

presidensialnegara tersebut untuk kepentingan iklan.”20
Selain dengan dana fantastis yang biasa dihabiskan oleh kandidat
presidennya, Amerika juga terkenal dengan praktek iklannya yang
mengundang banyak kontroversi. Iklan politik di Amerika Serikat dianggap
penuh

dengan

konten

dan

kritik

yang

negatif.Kebijakan

yang

membolehkan kandidat untuk mengkritik lawan politik dalam pidatonya
membuat iklan kampanye politik di negeri tersebut dinilai sangat negatif
dalam dua dekade terakhir.
Di Perancis iklan politik TVpertama kali muncul pada tahun 1956.Iklan
politik ini dibuat untuk kepentingan Pemilu 2 Januari 1956. 21 Tiap kandidat
atau partai politik diberi waktu lima menit untuk beriklan, dan dibatasi
oleh beberapa point peraturan, seperti menggambarkan penampilan
kandidat, kondisi pengambilan gambar yang sama, dan persiapan untuk
tampil sekitar tiga puluh menit.
Tahun 1994, giliran politisi negara Italia yang menggunakan metode
Iklan Politik.Partai pertama yang mengeluarkan iklan politik adalah ‘Forza
Italia’, sebuah partai yang didirikan oleh Silvio Berlusconi.Partai ini
dideskripsikan sebagai sebuah media-party, partai yang tidak memiliki
ideologi maupun struktur organisasi yang mengikat seperti parta-partai
19Brian McNair, Op. Cit, h. 101
20Brian McNair, Op. Cit, h. 96
21Bernd-Peter Lange dan David Ward , Op. Cit, h. 103

lainnya.Sayangnya karena belum adanya aturan yang memadai untuk
mengatur tentang iklan politik TV saat itu, terjadi eksploitasi potensi
political marketing oleh Forza Italia di negara tersebut.22
Sedikit lebih terlambat dari negara maju lainnya, politisi negara Jerman
baru melihat potensi iklan politik di layar kaca pada tahun 2002.
Sebelumnya kampanye di negara ini berkutat pada media radio saja.
Acara di televisi menjelang pemilihan umum didominasi oleh debat-debat
yang diadakan oleh partai politik. Baru pada tahun 2002, teknik kampanye
politik bergeser menjadi lebih menekankan pembetukan ‘image’ sang
kandidat dibandingkan dengan debat dari satu program ke program lain. 23
Perbedaan peran yang dimainkan iklan politik maupun peraturan
tentang iklan politik televisi di banyak negara dipengaruhi oleh sejumlah
faktor.Misalnya sistem politik negara yang bersangkutan, sistem Pemilu,
dan sistem pertelevisian yang berlaku di negara tersebut.Namun pada
dasarnya, tujuan akhir dari pembuatan sebuah iklan politik adalah
membuat khalayak berpendapat bahwa sosok kandidat maupun visi-misi
yang mereka junjung adalah yang paling tepat untuk negara mereka.
Di Indonesia sendiri, iklan politik sudah menjadi bagian yang sangat
identik dengan Pemilu.Sudah sejak akhir tahun 2012 yang lalu, kita dijejali
oleh berbagai macam usaha persuasif partai-partai politik maupun caloncalon presiden negeri ini.Baliho, spanduk, poster dan media luar ruangan
lainnya dianggap sudah mulai ketinggalan jaman dan merusak keindahan
lingkungan.Walaupun

begitu,

metode

konvensional

ini

masih

tetap

digunakan oleh beberapa kandidat maupun partai politik.
Kampanye politik menjelang Pemilu 2014, kini di dominasi oleh iklan
politik di televisi.Jika kita ingat, sejak akhir tahun 2012 lalu, iklan-iklan
politik di televisi sudah mulai beredar.Dimulai dari iklan partai Nasional
Demokrasi (Nasdem), sebuah partai baru besutan Surya Paloh, diikuti oleh
iklan politik yang mempromosikan kandidat dari parta Golongan Karya
(Golkar), Aburizal Bakrie.
Selanjutnyadisusul oleh pentolan partai Gerindera, Prabowo Subianto
dan sampai Desember 2013 ini semakin banyak saja calon presiden yang
22Bernd-Peter Lange dan David Ward , Op. Cit, h. 3
23

mengedarkan iklan politiknya di saluran-saluran TV dalam negeri. Bahkan
salah satu pasangan kandidat politik yaitu Wiranto dan Hari Tanoe sudah
memiliki program kampanye sendiri di sebuah stasiun televisi swasta milik
Hari Tanoe.
Sebenarnya isu iklan politik ini sudah mulai diungkit pada era Pemilu
tahun 1992, alasannya karena kampanye yang bersifat hura-hura di luar
ruangan, seperti pawai dan konvoi sangat rawan kriminalitas.Bentrokan
antar pendukung parpol sangat sering terjadi selama pelaksanaan
konvoi.Hal ini membuat Kasospol ABRI saat itu, Letjen Harsudiono Hartas
mengusulkan agar format kampanye kedepannya dapat memberikan
pendidikan politik yang baik bagi rakyat.
Sayangnya pada masa itu metode ini masih urung diterapkan. Padahal
di Amerika Serikat, metode kampanye dengan menggunakan sarana
media massa sudah mulai diterapkan sejak tahun 1988. Saat itu mantan
presiden George W.H. Bush menggunakan iklan politik yang tergolong
kasar namun efektif untuk memojokkan lawan politiknya pada Pemilu,
Michael Dukakis.
DalamPemilu tahun 1997 konteks perpindahan Pemilu dari jalan raya
ke layar kaca mulai dianggap penting, dan ini menimbulkan kesadaran
peserta Pemiluagar lebih memanfaatkan media massa untuk kampanye
meskipun belum berbentuk iklan politik. Pada bulan Desember 1998,
barulah iklan politik di televisi mulai muncul.PKB menjadi partai pertama
yang menayangkan iklan politiknya di saluran televisi dalam negeri, TPI.
Sayangnya pada masa itu kelahiran iklan politik belum didukung oleh
adanya regulasi iklan politik yang memadai, dan celakanya hal itu masih
tetap berlanjut pada Pemilu selanjutnya di tahun 2004.Sejumlah catatan
mengenai televisi dan iklan politik di dalamnya hanya dibahas secara
sekilas. Peraturan tentang iklan politik di layar kacapun belum membahas
secara detail tentang penayangan iklan-iklan ini.
Pada perkembangan selanjutnya, peraturan tentang penyiaran iklan
politik ini terus mendapatkan revisi. Regulasi terbaru yang mengatur
tentang penyiaran iklan politik di Indonesia adalah, Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 15 tahun 2013 yang merupakan revisi dari

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 tahun 2013. Hal ini dilakukan
agar kampanye yang dilakukan pihak-pihak terkait tetap menjunjung
asas-asas keadilan dan sesuai dengan ketentuan jurnalistik yang ada.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 tahun 2013 pasal
59A, tercantum ketentuan bahwa Pejabat Negara, Pimpinan dan Anggota
DPRD yang menjadi calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dilarang menjadi
pemeran iklan layanan masyarakat institusinya pada media cetak, media
elektronik atau media luar ruang, 6 (enam) bulan sebelum hari
pemungutan

suara.Jelas

tercantum

bahwa

pihak

yang

melakukan

kampanye dilarang menjadi pemeran iklan yang mereka edarkan di Media
apapun.
Aturan ini diberlakukan untuk menghindari tingkat subjektifitas pemilih
yang memilih atau tidak memilih suatu partai, calon legislatif ataupun
pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya berdasarkan sosoknya
saja.Hal ini tentunya baik untuk menghindari pemilih yang memilih calon
legislatif hanya berdasarkan popularitasnya saja.Sayangnya aturan ini
masih sering dilanggar oleh para oknum politik.
Iklan politik memang sudah lebih dulu dikenal oleh Amerika dan dapat
dikatakan bahwa ini merupakan gaya kampanye model baru di Indonesia
pasca orde baru dan sebuah proses “Amerikanisasi”. Proses ini ditandai
dengan dua gejala spesifik yaitu kampanye berbiaya tinggi dan adanya
permainan citra.
Pada Pemilu 2004 lalu, Indonesi Corruption Watch mencatat jumlah
biaya yang dihabiskan partai-partai politik di Indonesia untuk kepentingan
kampanye sebagai berikut24:
1. PDI Perjuangan
2. Partai Golkar

: Rp. 1.892.070.
: Rp. 644.316.500.

3. PAN

: Rp. 437.981.500.

4. PKS

: Rp. 357.300.000.

5. PKB

: Rp. 243.711.500.

6. PPP

: Rp. 157.675.000.

7. PKPB

: Rp. 146.215.175.

24“Dana Kampanye Putaran Pertama Pemilu 2004”, tempo.co.id, 19 Desember 2004

8. PBB

: Rp. 96.585.000.

9. PBR

: Rp. 67.987.500.

10.

Partai Demokrat : Rp. 64.530.000.

11.

PNBK

: Rp. 17.713.000.

12.

PIB

: Rp. 21.420.000.

13.

PDK

: Rp. 48.000.000.

Data diatas memang cukup mengejutkan, mengingat nominal fantastis
yang rela dikeluarkan partai-partai politik untuk kepentingan kampanye
mereka. Dalam artikel yang sama bahkan diungkapkan bahwa, PDI
Perjuangan tercatat sudah mengeluarkan sekitar Rp. 27.000.000, khusus
untuk iklan politik di televisi saja.Disusul oleh Partai Golkar yang
mengeluarkan Rp. 14.000.000 untuk pemasangan iklan di televisi.
Hal serupa juga terjadi dalam Pemilu tingkat daerah (Pilkada). Situs
berita online tempo.co mengungkapkan,
“Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, audit KPU melaporkan bahwa
pasangan Jokowi-Ahok menerima Rp. 16.310.000.00 sebagai dana
kampanye, dan menggunakan Rp. 16.090.000.000 dari keseluruhan
dana tersebut untuk kepentingan kampanye politik baik yang berupa
iklan politik maupun rapat-rapat umum pada putaran pertama. Jumlah
yang lebih fantastis dihabiskan oleh pasangan Foke-Nara. Kubu ini
memiliki pemasukan dana kampanye hingga Rp. 62.630.000.000 dan
menggunakan

RP.

62.570.000.000

dari

dana

tersebut

untuk

kampanye.”25
Iklan politik memang merupakan bagian dari strategi pengenalan diri
dan mengambil hati audiens.Iklan politik sebenarnya tidak hanya sebagai
alat beriklan, namun juga untuk meningkatkan popularitas agar dikenal
dan dipilih. Dengan adanya pesan visual dan verbal yang bersifat lokal,
akan sangat mudah untuk merubah pandangan politik dan presepsi
masyarakan dengan sinisme politik.
B.

Iklan Politik TV dan Presepsi Pemilih Umum
Devlin (1986) menyebutkan 8 tipe iklan politik TV26:

25Ananda W. Teresia, “Dana Kampanye Rp. 16 Miliar, Ini Reaksi Jokowi”, tempo.co, 3 Agustus 2012
26Brian McNair, Op. Cit, h. 107-109

1. Iklan Primitif: Biasanya artifisial, kaku, dan tampak dibuat-buat.
2. Talking Heads: Dirancang untuk menyoroti isu dan menyampaikan
citra

bahwa

kandidat

mampu

menangani

isi

tersebut

dan

melakukannya nanti.
3. Iklan Negatif: Menyerang kebijakan kandidat atau partai lawan.
4. Iklan Konsep: Dirancang untuk menggambarkan ide-ide besar dan
penting mengenai kandidat.
5. Cinema-Verite: Menggunakan situasi informal dan alami, misalnya
dengan menanyangkan kandidat yang sedang berbicara akrab dan
spontan dengan rakyat kecil, atau satu sisi kehidupan pribadi
keluarganya, atau dunia pekerjaannya.
6. Iklan Kesaksian: Wawancara pada orang yang secara dipilih secara
acak

untuk

merepresentasikan

dukungan

rakyat

biasa

pada

kandidat yang bersangkutan.
7. Testimonial:

Hampir

mirip

dengan

Iklan

Kesaksian,

namun

wawancara dilakukan pada seseorang yang terpandang atau cukup
terkenal .
8. Reporter Netral: Rangkaian laporan yang terkesan netral megenai
kandidat atau lawannya dan memberikan kesempatan kepada
pemirsa untuk memberikan penilaian.
Dalam Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013, pada pasal 9 dan 10
disebutkan bahwa materi kampanye Partai Politik peserta Pemilu meliputi
visi, misi dan program partai politik untuk meyakinkan dan mendapatkan
dukungan pemilih. Dalam Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kampanye, Pasal 18 dijelaskan bahwa iklan politik
haruslah memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu
untuk menyampaikan tema dan materi kampanye dengan menentukan
durasi, frekuensi, bentuk dan substansi penyiaran berdasarkan kebijakan
redaksional.
Sayangnya, fakta yang ada disekitar kita memperlihatkan bahwa
adanya pembagian proporsi yang tidak seimbang kepada peserta
pemilihan umum untuk berkampanye, terutama melalui iklan di Media
Massa.Kepemilikan stasiun TV menjadi penyebab terbesar dari masalah

ini. Kepemilikan saluran televisi sedikit banyak memicu media massa ikut
menjadi aktor politik, bukan lagi sekedar fasilitator dalam proses politik.
Beberapa stasiun TV menyediakan ruang kepada pemiliknya untuk
menyiarkan iklan politik mereka banyak-banyaknya, dan menekan bahkan
sama sekali tidak memberikan ruang untuk beriklan bagi pihak lawannya.
Di stasiun televisi Global TV bahkan ada sebuah program khusus yang
digagas oleh pasangan Wiranto-Hari Tanoe (Win-HT).
Masih dalam pasal yang sama, poin kedua menyebutkan bahwa materi
dan

substansi

peliputan

berita

harus

sesuari

dengan

peraturan

perundang-undangan dan kode etik jurnalistik. Kita tahu sendiri bahwa
sebuah berita haruslah obyektif dan sesuai dengan fakta yang ada.Yang
terjadi saat ini adalah, banyak berita yang dibelokkan untuk kepentingan
politik. Membentuk sebuah citra baik suatu partai dan cenderung
memberi frame negatif pada pihak lawannya.
Contoh kasusnya dapat kita lihat pada pemberitaan kasus penyuapan
Ratu Atut dan Akil Mochtar. Di stasiun Metro TV, berita yang disiarkan
cenderung

menekankan

pada

hubungan

antara

Ratu

Atut

yang

merupakan anggota Partai Golongan Karya (Golkar), dan Akil yang
merupakan mantan anggota partai yang sama dengan pola komunikasi
internal di dalam partai Golkar yang dianggap tidak bersih. Sedangkan di
stasiun televisi lain, yaitu TV ONE sama sekali tidak membahas tentang
partai golkar bahkan cenderung menegaskan bahwa hal itu tak ada
kaitannya dengan partai. Pemberitaan hanya berfokus pada individu Ratu
Atut dan Akil Mochtar sendiri.
Dominasi

iklan

kampanye

Pemilu

komersial

yang

menggeser

keberadaan iklan layanan masyarakat juga sebenarnya merupakan
pelanggaran dari pasal 45 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013. Masih
dalam pasal yang sama, diatur pula bahwa media harus menanyangkan
iklan kampanye Pemilu layanan non partisipan paling tidak sekali dalam
sehari dengan durasi 60 detik, namun aturan ini juga tak diindahkan oleh
oknum-oknum yang bersangkutan.
KPU seakan tak berdaya untuk menghadapi masalah tentang iklan
kampanye di Indonesia ini.Iklan politik yang ada sejak akhir tahun 2012

lalu sudah dapat dikategorikan sebagai kampanye dini. Hadar Nafis
Gumay,

Komisioner

KPU

dalam

wawancaranya

dengan

Kompas

mengungkapkan bahwa,
“Idealnya Undang-Undang Pemilu maupun Undang-Undang Pemilihan
Presiden dibuat secara detail namun wewenang tersebut ada di DPR dan
pemerintah. KPU juga akan menggandeng Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) untuk mengawasi jalannya kampanye di media, namun KPI juga
tidak dapat menjerat oknum media massa yang melakukan pelanggaran
ini”27
Fajar Junaedi, penulis buku ‘Komunikas Politik: Teori, Aplikasi, dan
Strategi di Indonesia’ dalam peluncuran bukunya tersebut 19 Juni 2013
yang lalu mengatakan bahwa
“Biaya tinggi yang dikeluarkan kandidat untuk kepentingan iklan politik
tidak sebanding dengan bentuk iklan yang dalam tataran kreativitas dan
eksekusi masih jauh dari kata baik.Harus kita akui bahwa meskipun
kebanyakan dari iklan politik di Indonesia bukan termasuk kategori
negatif ataupun menyerang, iklan politik di negara ini dapat dibilang
masih sangat kaku dan tradisional.”28
Walaupun
penyampaian

begitu,
dan

dalam

pasal

penyusunan

selanjutnya

materi

tetap

kampanye

diatur

cara

tersebut.Misalnya

dengan menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak
menggangu kepentingan umum, mendidik, bijak, beradab, santun, dan
sebagainya.
Iklan politik yang saat ini ada di Indonesia hanya memperlihatkan sisi
ketokohan saja, tidak menampilkan ide atau gagasan bagi bangsa ini.
Hamdi

Muluk,

mengatakan

Pengamat

bahwa,

iklan

Psikologi
politik

Politik

Universitas

merupakan

pengalih

Indonesia
perhatian

masyarakat dari sisi negatif sang tokoh. Politisi saat ini sedang
membangun karakter mereka melalui dasar marketing, bukan lagi dengan
pengabdian pada masyarakat.29
27Sabrina Asril, “Iklan Politik Merajalela, KPU Mengaku Tak Berdaya”, kompas.com, 11 Desember 2013
28Bambang Sutopo Hadi, “Akademisi: Iklan Politik di Indonesia Cenderung Kaku”, antaranews.com, 19 Juni
2013
29Bahri Kurniawan, “Pengamat: Iklan Politik Pengalih Perhatian Sisi Negatif Tokoh”, tribunnews.com, 15
Desember 2013

Fenomena yang belakangan ini muncul adalah iklan politik yang selalu
mempertontonkan kehidupan rakyat kaum menengah kebawah, ataupun
kaum yang terpinggirkan sekaligus menjadikan mereka pemeran iklan
mereka. Jika mereka tidak bisa menimbun suara dengan memanfaatkan
popularitas yang dimiliki sosok dalam partai mereka, maka kini mereka
menemukan strategi lain yaitu dengan menunjukkan betapa besar
kepedulian mereka terhadap rakyat kecil ini.
Hampir semua iklan politik yang kita lihat di televisi menyorot
kehidupan kaum menengah kebawah ini.Kelompok masyarakat yang
disorot dalam iklan politik ini bermacam-macam, mulai dari kaum petani,
nelayan, pedagang kecil, masyarakat di pedalaman, siswa-siswi yang
tidak mendapatkan fasilitas belajar yang layak, dan sebagainya. Intinya
dalam iklan tersebut mereka ingin

menunjukkan bagaimana calon

presiden

diiklankan

atau

partai

politik

yang

didalamnya

sangat

mengayomi dan peduli terhadap nasib rakyat kecil. Pesan tersirat dari
iklan-iklan ini adalah bagaimana mereka akan menyejahterakan rakyat
kecil tersebut jika tonggak kekuasaan ada di tangan mereka nantinya.
Sasaran dari iklan mereka ini dapat dipastikan adalah kaum-kaum
menengah kebawah, dengan tingkat pendidikan rendah yang notabene
masih sangat awam dengan dunia politik dan cenderung lebih mudah
terbuai oleh janji-janji manis. Saat ini televisi sudah bukan lagi menjadi
barang mewah bagi masyarakat Indonesia, hampir semua orang memiliki
televisi di rumah mereka walaupun mereka bukanlah kaum menengah ke
atas dengan latar belakang pendidikan yang tinggi.
Saat ini, hampir semua iklan politik di Indonesia memiliki karakteristik
yang sama. Iklan politik yang ditayangkan di saluran-saluran TV dalam
negeri cenderung mengambil latar belakang lingkungan yang kumuh dan
kehidupan rakyat menengah kebawah maupun yang terpinggirkan. Ada
yang menunjukkan kandidat yang sedang ‘blusukan’ ke pasar tradisional,
ada yang menunjukkan kandidat sedang menanam padi bersama petani,
ada yang menampilkan kandidat yang memberikan sumbangan pada
masyarakat miskin, dan sebagainya.

Rakyat kecil dijadikan sasaran utama dalam iklan-iklan politik yang
beredar saat ini, karena sebagian besar penduduk Indonesia masih
tergolong kaum menengah kebawah dengan tingkat pendapatan serta
pendidikan yang rendah.Status negara Indonesia yang masih merupakan
negara

berkembang,

menyebabkan

isu-isu

kesejahteraan

dan

pembangunan nasional menjadi sorotan utama. Di Indonesia yang
merupakan

negara

agraris,

isu

swasembada

pangan

menjadi

signifikantermasuk swasembada produk lokal lain selain pangan.
Iklan yang ada seperti sekarang ini diharapkan dapat membentuk
presepsi

masyarakat

yang

baik

terhadap

kandidat

yang

bersangkutan.Para kandidat ingin membentuk citra yang baik atas dirinya
kepada publik.Hal ini perlu untuk menarik simpati rakyat, agar mereka
memilih kandidat tersebut saat pemilu nanti.
Secara etimologis presepsi berasal dari bahasa latin‘preceptio’ atau
‘precipere’ yang berarti menerima atau mengambil. Dalam arti sempit
Leavitt mendefinisikan presepsi sebagai pengelihatan atau bagaimana
cara seseorang melihat sesuatu. Dalam arti luas, Leavitt mendeskripsikan
presepsi sebagai pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang
memandang atau mengartikan sesuatu.30
Presepsi merupakan proses menilai sehingga memiliki sifat evaluatif
dan cenderung subjektif. Evaluatif, karena dengan presepsi seorang
individu dapat menilai baik, buruk, positif atau negatif sebuah rangsangan
inderawi yang diterimanya.Cenderung subjektif, karena setiap individu
memiliki perbedaan kapasitas menangkap rangsangan inderawi. Selain itu
setiap individu memiliki perbedaan filter konseptual dalam melakukan
presepsi, sehingga pengolahan rangsangan pada tiap individu akan
menghasilkan makna yang berbeda pula.
Alex Sobur, dalam bukunya ‘Psikologi Umum’ (2003:447) memberikan
3 tahap proses intepretasi31:
1. Seleksi : Penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar,
intensitas, dan jenisnya.

30Alex Sobur, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 445
31Ibid, h. 447

2. Intepretasi: Mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai
arti bagi seseorang.
3. Reaksi: Tingkah laku setelah berlangsung proses seleksi dan
interpretasi.
Jadi proses presepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan
pembulatan terhadap informasi yang sampai, serta melakukan reaksi atas
informasi

tersebut.

Presepsi

sering

dihubungkan

dengan

sensasi.Desiderato mengungkapkan bahwa dalam menafsirkan makna
informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tapi juga ekspektasi,
motivasi, dan memori.David Krech dan Ricard S. Crutcfied menyebutnya
sebagai faktor fungsional dan struktural.32
Faktor fungsional berasal dari keutuhan, pengalaman masa lalu dan
hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal.Presepsi tidak
ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, melainkan karakteristik pemberi
respon stimuli tersebut.Sedangkan faktor struktral berasal dari stimuli fisik
dan efek-efek saraf yang ditimbulkan sistem saraf individu.
Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat
sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai ‘swing voters’ yang
sesungguhnya.

Pilihan

politik

mereka

belum

dipengaruhi

motivasi

ideologis tertentu dan lebih didorong konteks dinamika lingkungan politik
lokal.Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan tertentu, terutama
oleh orang-orang terdekat mereka.
Faktor yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pandangan pemilih pemula tersebut dapat dikategorikan sebagai faktor
kondisional.Faktor kondisional setidaknya meliputi dua macam, yakni
faktor keluarga dan kelompok teman sebaya.Faktor kondisi dan latar
belakang keluarga seperti agama, suku, ras, besaran uang saku, dan
ideologi politik orang tua dapat cukup berpengaruh terhadap pandangan
dan pilihan politik pemilih pemula.Selain itu kelompok teman sebaya yang
notabene adalah lingkungan pergaulan seseorang diluar rumah juga turut
berpengaruh pada pandangan hidup dan perilakunya.

32Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), h. 58

Iklan sangat bermanfaat bagi partai dan kandidat politik untuk
mempengaruhi dan menjaring pemilih.Untuk pemilih, iklan diharapkan
dapat memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memilih.Iklan memiliki kemampuan besar dalam
mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat.Dan ini merupakan
hal yang sangat vital dalam kampanye politik. Iklan politik dianggap
sebagaicara yang efektif dalam mengomunikasikan program kerja, pesan
politik, pembentukan image partai maupun kandidat yang bersangkutan.
C.Iklan Politik TV dalam Presepsi Pemilih Pemula
 Frekuensi
Dalam Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 pasal 42 disebutkan
bahwa, batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di
televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 spot
berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap
harinya selama masa kampanye.
Dari hasil survey yang peneliti lakukan terhadap 37 orang pemilih
pemula di dalam populasi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM
angkatan tahun 2013, sekitar 27,02% responden mengaku bahwa
iklan politik yang mereka lihat setiap harinya berkisar antara 4 hingga
6 kali saja. Sebagian besar responden (67,57%) mengakui bahwa iklan
politik yang mereka lihat di televisi frekuensinya hanya sekitar 1
hingga 3 kali dalam sehari. Sisanya, menyatakan bahwa iklan politik
yang mereka lihat frekuensinya mencapai 6 hingga 9 kali sehari.
Hampir separuh (45,94%) dari jumlah responden menganggap
bahwa

iklan

politik

yang

ditayangkan

di

televisi

mengganggu

kenyamanan mereka menonton acara televisi. Sebagian besar dari
responden yang merasa terganggu dengan adanya iklan politik di
televisi beranggapan bahwa iklan politik hanya berisi omong kosong
belaka.Bahkan salah satu responden dengan tegas menyatakan
bahwa iklan politik televisi itu semacam sampah visual.

Sedikit

lebih

banyak,

sekitar

54,06%

responden

lagi

dapat

memaklumi adanya iklan politik televisi. Iklan politik di televisi adalah
hal yang wajar menjelang kampanye seperti saat ini, dan mereka tidak
merasa

terganggu

dengan

keberadaannya.Beberapa

bahkan

berpendapat bahwa iklan politik di televisi lebih baik dibandingkan
media luar ruangan seperti pamflet, spanduk, baliho dan sebagainya
yang menggunakan kertas dan pada akhirnya hanya menjadi sampah
di jalanan serta merusak keindahan lingkungan.
 Penggambaran Sosok Kandidat
Informan 1
Ngga

:

bisa

tergambar.Beberapa

iklan

politik

justru

malah

membentuk opini publik yang negatif terhadap kandidat yang
bersangkutan.
Informan 2

:

Menggambarkan, tapi ujungnya malah menjatuhkan diri kandidat itu
sendiri.Iklannya

menggambarkan

citra

baik

kandidat,

padahal

masyarakat juga sudah tahu kejelekan dari kandidat tersebut.
Informan 3

:

Iklan politik cukup menggambarkan sosok yang diiklankan.
Informan 4

:

Penggambaran kandidat dengan iklan politik cukup jelas.
Informan 5

:

Tidak.Iklan politik saat ini cenderung melebih-lebihkan dan hanya
berisi penggambaran sisi positif dari kandidat yang diiklankan.Iklan
politik penuh pencitraan.
Informan 6

:

Tidak

bisa.Karena

mungkin

iklan

itu

adalah

pencitraan.Yang

tergambar di iklan adalah pencitraan.
Informan 7
Iklan

politik

sebenarnya

:
hanya
kurang

menggambarkan

sisi

merepresentasikan

bersangkutan, sekedar pencitraan.

baik

sosok

kandidat,
kandidat

tapi
yang

 Iklan Politik yang Negatif atau Menyerang
Informan 1

:

Ada iklan yang menyerang lawan.Tapi sebenarnya itu tak ada
gunanya. Daripada menyerang pihak lain, lebih baik memperbaiki
diri sendiri dulu.
Informan 2

:

Tidak ada.
Informan 3

:

Tidak ada.
Informan 4

:

Ada.
Informan 5

:

Secara langsung tidak ada, tapi yang menyindir-nyindir kandidat lain
ada.
Informan 6

:

Ada.
Informan 7

:

Tidak.
 Edukasi dari Iklan Politik
Informan 1

:

Tidak.Iklan politik hanya sekedar menarik orang untuk memilih
kandidat yang diiklankan.Iklan politik yang mendidik harusnya lebih
mengutamakan pemberian gambaran pemerintahan dan politik
yang baik dari pada persuasi.
Informan 2

:

Tidak.
Informan 3

:

Tidak.Iklan politik hanya menunjukkan janji-janji kosong saja.
Informan 4
Kurang edukatif.

:

Informan 5

:

Tidak.Terutama iklan politik yang cenderung negatif dan menyerang
pihak lainnya.
Informan 6

:

Tidak.Iklan politik lebih kepada menyeru-nyerukan diri mereka.
Informan 7

:

Tidak.
 Kejelasan Visi dan Misi
Informan 1

:

Tidak bisa menangkap visi-misi kandidat dari iklan.Saya lebih suka
iklan yang menunjukkan bukti nyata pengabdian kandidat pada
negara.
Informan 2

:

Tidak bisa menangkap visi-misi kandidat dari iklan karena kandidat
hanya memamerkan prestasinya saja.
Informan 3

:

Tidak terlalu.
Informan 4

:

Visi-misi kandidat cukup terlihat jelas dari pemaparan program kerja
kandidat kedepannya jika terpilih.
Informan 5

:

Tidak bisa.Iklan politik lebih condong ke pencitraan kandidat yang
diiklankan.
Informan 6

:

Bisa.Visi dan misi kandidat tercermin dari jargon-jargon yang
diserukan kandidat politik dalam iklan.
Informan 7
Bisa

namun

:
samar-samar

disampaikan secara tersirat.
 Kreatifitas

karena

visi-misi

tersebut

hanya

Informan 1

:

Iklan politik di Indonesia masih jauh dari kata bagus.Iklan yang
kreatif, mendidik, dan original itu tidak harus selalu berlebihan dan
tak masuk akal.Kebanyakan iklan di Indonesia itu berlebihan dan
tidak masuk akal.
Informan 2

:

Tidak. Karena semua iklan politik itu intinya sama saja.
Informan 3

:

Tidak terlalu.Beberapa iklan politik yang beredar di Indonesia hanya
meniru iklan yang disiaran di luar negeri.
Informan 4

:

Menarik.Tapi kebanyakan latar dari iklan tersebut adalah di daerah
pinggiran

seperti

kampung

pertanian

atau

nelayan,

padahal

masyarakat Indonesia bukan hanya mereka.Jarang ada iklan yang
menyorot kehidupan masyarakat Indonesia Timur.
Informan 5

:

Kalau untuk orang awam memang terlihat bagus.Tapi untuk orang
yang sudah mengerti tentang dunia periklanan, iklan-iklan politik di
Indonesia itu terkesan lucu.
Informan 6

:

Iklan politik di Indonesia itu monoton dan tidak menarik.
Informan 7

:

Iklan politik di Indonesia isinya monoton dan kurang kreatif.
 Efektifitas
Walaupun hampir seluruh responden (83,18%) menyatakan bahwa
Iklan Politik TV terbukti dapat meningkatkan perolehan suara kandidat
politik, hanya 13,51% dari keseluruhan responden yang memilih iklan
sebagai media kampanye politik yang paling efektif. Sebagian besar
responden yaitu 64,86% menganggap debat politik atau pidato
politiklah cara kampanye yang paling efektif. Sisanya memilih pawai
atau konvoi dan media kampanye lu