ISLAM DAN DUNIA INTERNASIONAL docx

ISLAM DAN ISU GENDER

Sekarang

muncul

perdebatan

yang

sengit

berkaitan

dengan

keinginan sekolompok masyarakat muslim yang ingin menegakkan syariat
Islam. Bukan hanya antara muslim dan non muslim, perdebatan tersebut
ternyata juga terjadi antara sesama kaum muslim, yaitu antara kelompok
liberal dan fundamental. Salah satu isu yang muncul adalah masalah
posisi wanita, disamping berbagai perdebatan dalam asfek yang lain.

Banyak ahli sejarah yang menilai bahwa abad ke-21 sebagai abad perang
gender. Wanita mulai bergerak dalam pengembangan intelektual dan
posisi politik, termasuk masalah pekerjaan. Mereka menilai bahwa wanita
selama ini sudah terlalu lama dan sering diposisikan secara marjinal
dalam berhadapan dengan laki-laki. Banyak kasus yang menunjukkan
lemahnya posisi wanita.
Pada tahun 1990, lebih dari 10 % atau sekitar 100.000 wanita muslim
bosnia ditahan. Mereka ditahan, dan diperlakukan seperti bintang,
akibatnya kemudian lebih dari 60%nya hamil. Pada tahun 1993, ada
sekitar 35.000 anak-anak dilahirkan di tempat-tempat pengungsian. Para
wanita-wanita tadi dipaksa untuk melayani nafsu bejat para polisi serbiah
bahkan tentara internasional (UN) untuk memberikan free sexual service.
Tidak hanya itu, bahkan mereka diperjualbelikan (women trafficking).
Kemudian

pada

tahun

1999,


kejadian

serupa

terjadi

di

kossovo.

Penahanan dan kekerasan seksual terjadi dalam upaya membersihkan
ras/etnik.

Hal

ini

dilakukan


oleh

serbia

dan

yoguslavia

untuk

menghilangkan ras albania.
Pada dua kasus diatas, tidak ada penolakan bahwa dunia Internasional
sepakat telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak wanita. Hanya saja,
ada

sesuatu

yang

lebih


rumit

terkait

pandangan

agama

dalam

memposisikan wanita, terutama antara kelompok liberal dan fundamental.

Di sisi lain ada yang menganggap apa yang dilakukan oleh kelompok
taliban di Afghanistan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak wanita di
Afghanistan. Wanita di thaliban digambarkan dirampas hak-hak sosialnya,
mereka tidak boleh bekerja di sektor umum, dihilangkan hak pendidikan di
sekolah, dll. Apalagi ketika wanita diminta untuk menutup seluruh
anggota tubuhnya (dengan burka) sehingga wajah dan seluruh anggota
tubuh yang lain menjadi aurat.

Kasus lain adalah masalah pernikahan, seperti di Kuwait ketika dinilai
bahwa wanita dibatasi untuk menentukan pasangan hidupnya, bahkan
ketika suami meninggal atau bercerai masih harus menjalani masa iddah.
Berbeda dengan laki-laki yang boleh menentukan pernikahannya sendiri,
bahkan dengan lebih dari satu wanita sekali pun. Selain itu di Kuwait juga
wanita dilarang mempunyai hak politik, wanita tidak mempunyai hak
kepemilikan anak (dalam national), dan tidak boleh menjadi hakim.
Di Nigeria, juga islam dinilai tidak menghargai wanita ketika mereka
merajam wanita yang melahirkan anaknya tanpa ayah (karena perilaku
zina).
Saudi arabiah, dinilai tidak kalah besarnya melanggar hak-hak wanita
karena wanita dibatasi dalam pendidikan, bekerja dan beberapa tempat
publik lainnya. Wanita bahkan juga tidak diijinkan mengendarai mobil
sendiri. Masalah pakaian juga dengan ketat diatur. Masalah parlemen di
Saudi yang beranggotakan 120 orang diputuskan tanpa melalui pemilu,
dan tidak ada satu pun dari mereka yang berasal dari kaum wanita. Juga
tidak ada satu organisasi pun tentang wanita yang ada di Saudi.
Di sudan, orang-orang barat juga mengkritik larangan bekerjanya wanita
di tempat-tempat umum yang disana bersatu antara laki-laki dan wanita.
Atas


nama

”penghargaan”

terhadap

wanita,

orang-orang

barat

memberikan penilaian negatif tentang larangan wanita bekerja di bar,
pom bensin, cafe, restauran dan beberapa pelayanan umum lainnya.
Wanita hanya diperbolehkan bekerja dengan sesama wanita saja.

Singkat cerita, Islam dalam pandangan dunia barat dan kelompok liberal
(moderat) adalah agama yang tidak memberikan kesempatan dalam
menghargai wanita, atau dipahami secara parsial. Beberapa pendapat

yang muncul misalnya dari Courtney W howland yang mengatakan
bahwa, ”Fundamentalisme agama menjadi sumber masalah serius dalam
persamaan

wanita!”.

Pertanyaanya

adalah

benarkah

Islam

tidak

menghargai hak-hak wanita?
Pandangan Islam Tentang Wanita
Islam datang di tengah kaum Qurais dengan kondisi wanita yang
tidak dihargai. Satu wanita bisa diperbudak oleh banyak laki-laki. Orang

tua juga malu jika mempunyai anak perempuan, sampai tega mengubur
mereka hidup-hidup. Anak perempuan dinilai tidak menjadi kebanggaan
dalam keluarga. Dan islam membawa semangat persamaan antara lakilaki dan perempuan dalam hal ketaqwaan dihadapan Allah, tidak untuk
semua peran yang mereka miliki. Laki-laki dan wanita secara kodrat
memang diciptakan dalam keadaan yang berbeda.
Bukti ayat alquran yang menyamakan wanita dan laki-laki misalnya,
’wahai manusia, kami telah menciptakan kamu dari satu jiwa menjadi lakilaki dan wanita, dan menjadikan kamu bersuku-suku bangsa, agar kamu
saling mengenal satu sama lain”.(QS;49 ayat 13). Atau dalam ayat, ”tiaptiap diri bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya”. (QS. Al Mudatsir:
38). Dan banyak ayat-ayat lain, terutama dengan sebutan wahai orangorang yang beriman, yang berarti seruan baik kepada laki-laki maupun
wanita.
Hanya saja dalam implementasinya, ada beberapa kelompok dalam Islam
yang berbeda pendapat tentang human right wanita, yaitu:
1. pendekatan sekuler
Kelompok ini ingin menegakkan penilaian tentang human right wanita
sesuai dengan yang berlangsung di negara-negara modern, dengan

pendekatan

logis.


Hanya

saja

mereka

mempunyai

masalah,

yaitu;pertama, negara islam sangat peka untuk menolak sesuatu yang
digunakan dengan pendekatan di luar Islam, kedua, akan berbenturan
dengan pemahaman kelompok konservatif dalam memahami Al-quran,
dan ketiga, mayoritas muslim ingin hidup dengan standar agama Islam,
bukan hukum logis.
2. HAM tidak sesuai Islam
Kelompok ini berkeyakinan bahwa hukum Internasional sekarang ini
sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok sekuler sudah didominasi
oleh cara berfikir barat, baik isi maupun sistem. Oleh karena itu
diperlukan sistem dan pendekatan yang berbeda dengan apa yang

dilakukan oleh barat. Dua kritik yang disampaikan barat terhadap
kelompok ini antaralain berkenaan dengan hukum yang dinilai sangat God
persfektif dan tidak aplicable untuk manusia, dan kedua adalah masalah
pola hukum yang statis, yang menurut mereka tidak sesuai dengan
kehidupan manusia yang dinamis.
3. Merekonsiliasi
Mereka

menilai

bahwa

Islam

secara

hukum

banyak


mempunyai

persamaan dengan hukum barat, pada beberapa hal yang berbeda
hendaknya dilakukan rekonsiliasi pemaknaan. Oleh karena itu diperlukan
adanya dialog antarperadaban dan pengukuran terhadap pilihan hukum
berdasarkan

kemanfaatan

bersama.

Pendekatan

ini

lagi-lagi

sulit

diterapkan karena mayoritas muslim hanya mau menerima barat dari segi
kemajuan teknologinya saja, tidak dalam hal budaya.
4. dan pendekatan interpretasi
Kelompok ini pada awalnya mengesankan diri tidak memperdebatkan
antara Alquran dan hukum internasional, hanya saja mereka bergerak dari
keyakinan bahwa Islam pasti sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh
karena itu, ketika muncul persoalan, ukuran yang digunakan adalah upaya
melakukan interpretasi terhadap teks-teks quran yang literal.

Dalam kelompok ini, salah satu pemikir yang muncul adalah Aminah
Wadud

yang

membagi

pendekatan

dengan

tiga

kelompok,

yaitu;

tradisional, reaktif, dan holistik. Kelompok pertama sangat tekstual dan
memahami Alquran secara linear, yang reaktif hanya menilai wanita dari
segi

persoalan

baru

dikembalikan

kepada

teks.

Itulah

yang

menyebabkannya menawarkan konsep holistik yang menurutnya harus
didasarkan pada konteks, konteks ayat-ayat yang sama, masalah
persamaan bahasa, melihat prinsip-prinsip Alquran dan menyesuaikan
dengan pandangan dunia (world view). Atau sederhananya dilihat dari
segi waktu (abad ketujuh), dari budaya masyarakat arab dan konteks
ayat.
Persoalan muncul terutama pada beberapa isu.
1. Masalah poligami
Quran surat Annisa’ ayat 4; maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak bisa
berlaku adil, maka kawinilah satu saja.”
2. Masalah Kepemimpinan Wanita
Bersumber dari penafsiran hadits yang berbunyi, ”sesungguhnya laki-laki
adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah memberikan kekuatan
yang lebih satu dengan yang lain”, atau ”tidak akan beruntung suatu
kaum yang dipimpin oleh wanita”.
3. masalah hak wanita dalam perceraian
4. masalah warisan
Realita di Indonesia menggambarkan wanita, berdasarkan sejarah berada
pada posisi marjinal. Padahal Indonesia adalah negara mayoritas muslim
yang mencintai persamaan harkat dan martabat manusia. Baru kemudian
setelah reformasi, posisi wanita dialokasikan dalam kepemimpinan
nasional (baca DPR) sebanyak 30 %. Pada waktu itu, bahkan pertama
dalam sejarah, presiden Indonesia pertama berasal dari kaum wanita
yaitu Megawati Soekarno Putri.

Persoalannya sekarang bagaimana hak-hak wanita dalam bidang yang
lain

misalnya

masalah

hak

ekonomi.

Apalagi

realita

sekarang

menunjukkan bahwa banyak wanita yang lebih berprestasi dibandingkan
laki-laki, atau mungkin karena persoalan lain misalnya keluarga yang
mempunyai persoalan ekonomi, misalnya karena gaji suami yang terlalu
kecil dan kebutuhan yang semakin banyak. Atau bahkan suami tidak lagi
mampu bekerja. Pada kondisi seperti ini, tentu saja konsekuensinya
secara logika juga harus berkaitan dengan masalah pembagian harta
warisan.

ISLAM DAN DEMOKRATISASI
October 30, 2013
No Comments

Compatabilitas islam dan demokrasi
Islam mempunyai beberapa prinsip politik, yaitu sebagai berikut:
ü Bai’ah (oath)
ü Musawah (equality)
ü Syura (consultation)
ü Adalah (justice)
ü Maslakah (common goals)
ü Ishmah (ijma’)

Oleh beberapa ilmuwan, prinsip-prinsip tersebut disamakan dengan
prinsip yang ada dan dipahami dalam demokrasi. Akan tetapi sebagian
kelompok yang lain menolak. Oleh karena itu, maka bagian ini ingin
melihat

bagaimana

sebenarnya

hubungan

antara

islam

dengan

demokrasi.
Konsep Demokrasi
Menurut Timothy, democracy means the rule of the people and
exists only when the most powerful decision-makers are elected in fair,
honest and periodic elections in which candidates freely compete for
votes and in which virtually all the adults population are eligible to vote
(Timothy, 1992). Artinya bahwa dalam sistem demokrasi harus terdapat
proses pemilihan yang adil, jujur dan dilakukan secara periodik, dimana
bahwa semua orang yang memenuhi syarat bebas untuk berkompetesi
atau memilih.
Dengan kata lain bahwa apabila ada negara yang melakukan pemilihan
dengan tidak adil, diwarnai oleh kecurangan apalagi sampai kekuasaan
yang tidak tergantikan (seumur hidup), atau terdapat tekanan, dan upaya
menghilangkan suara rakyat, maka hal tersebut tidak lagi dikatakan
sebagai demokrasi. Dalam hal ini, Timothy sangat substantif memandang
demokrasi.
Dengan sistem yang demokratis tersebut, maka menurut Sorensen,
masing-masing individu dihargai kebebasannya. Masing-masing orang
dipandang sebagai pribadi mandiri yang tidak boleh ditekan oleh siapapun
dalam berbagai bidang kehidupannya sebagai warga negara, misalnya
dalam bidang sosial ekonomi atau politik. Karena kebebasan tersebut
pula,

maka

rakyat

berarti

juga

berhak

untuk

menuntut

negara

menunjukkan akuntabilitas pemerintahannya kepada rakyat, dalam setiap
proses

yang

dilakukan,

terutama

strategis(Sorensen, G. 1993: 10-11).

dalam

kebijakan

publik

yang

Hanya saja karena rakyat tidak mesti mempunyai pemahaman, berkaitan
dengan latar belakang dan semua aspek yang melekat pada diri mereka,
maka pemerintahan yang demokratik harus dibangun di atas pluralisme,
dan kedaulatan rakyat. Tidak boleh ada satu kelompok masyarak pun
meskipun

mayoritas

yang

merasa

lebih

baik

dan lebih

berkuasa

dibandingkan kelompok yang lain.
Persoalan Islam dan Demokrasi
Berdasarkan pemahaman demokrasi yang begitu ideal tadi, maka
sebagian ilmuwan barat menilai bahwa demokrasi tidaklah sesuai dan
sejalan dengan islam. Menurut mereka, islam adalah agama yang kaku
dan tidak bisa menerima kompetisi, pluralisme dan perbedaan. Orangorang islam dinilai tidak mampu mengembangkan intelektualnya dengan
baik sehingga kehilangan kemampuan berfikir kritis. Oleh karena itu,
“principles, institutions, and values of democracy are profoundly alien to
the Muslim political tradition” (Kedourie, E. 1994: 5-6).
Lihat

saja

dalam

hal

pembai’ah-an

misalnya,

ternyata

dalam

perkembangannya terjadi perbedaan penafsiran yang cukup signifikan
dalam mengartikan proses pemilihan pemimpin ini. Menurut Ibnu Khaldun,
Bai’ah bisa dilakukan baik secara langsung atau pun tidak, melalui tulisan
atau pun lisan (Ibn Khldoon, 1980: 549). Bahkan dikatakan bagi kelompok
yang menyamakan islam dengan demokrasi, sesungguhnya ada 2 jenis
bai’ah, ada yang disebut private bai’ah dan ada pula public bai’ah. Dalam
private bai’ah, maka keterlibatan pemilihan dibatasi dikalangan pemimpin
islam yang senior untuk menunjuk siapa yang paling tepat menjadi
pemimpin. Sementara dengan cara public bai’ah maka prosesnya
sebagaimana pemilu karena melibatkan semua orang, baik laki-laki
maupun perempuan (Ibn Hisham, part 4. P. 21).
Dalam hal ini, maka persamaan dan kebebasan seseorang benar-benar
dihargai sebagaimana Allah berfirman, “Let there be no compulsion in
religion” (S. 2: 256). Atau dalam ayat yang lain dikatakan, “O ye who

believe stand out firmly for justice as witness to God, even as against
yourselves, or your parents, or your kin, and whether it would be against
rich or poor” (S. 4: 135).
Adapun dalam masalah Syura’, Alsoudi menyebutkan “shura is a process
of decision making similar to the modern parliamentary debate in Western
democracies. Traditionally it is used to settle all kinds of political, and
tribal disputes which ends with ‘Sulh’ -peaceful solutions to these disputes
(Alsoudi, A. 1990). Syura ini sangat penting dalam menjalankan urusan
pemerintahan sebagaimana berkembang di Egypt, Saudi Arabia, United
Arab Emirates and Oman. Menurut Al Rayess, the process of shura was
used immediately after the death of the Prophet to select the first caliph.
And after a long discussion and mutual debate among the most senior and
respected Muslim leaders, they decided that Abu Baker should succeed
the Prophet as the first Muslim Caliph (Al- Rayees, M. 1960). And then he
said: I was selected as Caliph even though I am not the best among you, if
I do well help me but if I do wrong correct me (Al- Rayees, M.1960).
Persoalan yang sebenarnya menjadi titik masalah sebenarnya adalah,
siapa yang disebut sebagai ahl shura’?. Atas dasar apa sesuai dianggap
mampu mewakili suara masyarakat?. Padahal disisi lain ada tuntutan yang
sangat besar bagi Negara-negara islam, the Islamic state must guarantee
citizens rights including: equality of status and opportunity, equality
before law, freedom of thought, expression, belief, faith, worship,
association, assembly, movement, trade, business, and to hold and
dispose of property (Al-Turabi, H. 1995).
Selain dua persoalan tersebut, sebenarnya masih banyak masalahmasalah lain yang belum terselesaikan berkenaan dengan islam dan
demokrasi. Ada pihak yang mengatakan bahwa tidak ada masalah antara
islam dan demokrasi karena keduanya mempunya tujuan yang sama,
sementara kelompok yang lain mengatakan bahwa tidak mungkin islam
bisa disatukan dengan demokrasi. Di Jordania dan Turki, kemduaian

dilakukan Survey, dan hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa
(73%-92%) accept democracy and see no contradiction between Islam,
democracy, human rights and political pluralism (alsoudi, A. 2001: 891).
Hasil ini juga didukung oleh kelompok liberal yang mengatakan, they point
out that values associated with democracy, including tolerance, freedom,
human rights, and the accountability of political leaders, are well
represented among traditions associated with the religion and thus
entirely compatible with Islam (Esposito, 1991; Voll, J. 1994; Hamdi, M.E.
1996: 81-85; Mernissi,F. 1992).
Disisi lain, juga tidak sedikit mereka yang mengatakan bahwa demokrasi
tidak sesuai dengan ilmu politik. Meskipun merupakan istilah yang patut
diperdebatkan,

orang

sering

menyebut

mereka

sebagai

kelompok

fundamentalist. Fundamentalism means making judgment based on the
belief in the Quran and Sunna without new interpretation. Fundamentalists
however, oppose democratization on the ground that it is not compatible
with Sharia’ (Islamic Law). Tessler menyebutkan Indeed some argue that
the notion of popular sovereignty as the foundation of governmental
legitimacy, the idea of representation, or elections, of popular suffrage, of
political institutions being regulated by laws laid down by a parliamentary
assembly are profoundly alien to the Muslim political tradition (Tessler, M.
2002).
Perdebatan yang muncul dalam masalah demokrasi di Negara-negara
islam biasanya berkaitan dengan isu HAM, status wanita, doktrin dan
preseden sejarah. Jadi penolakan pun sebenarnya tidak hanya muncul dari
internal kelompok islam sendiri, tetapi juga dari kelompok di luar islam.
Khusus untuk umat islam sendiri, karena ada yang mendukung dan
menolak, maka terjadilah konflik yang bersifat internal.
Konflik ini disebabkan oleh tidak adanya system pemerintahan yang
secara spesifik di atur oleh islam. Pemerintahan islam cukup memenuhi
dua syarat saja yaitu, a. political organization of the society on the basis

of Shura and popular participation, b. the requirement to apply legislation
within the limits of the Sharya’. Menurut H. Turabi, “Any system which
fulfills those two conditions is entitled to be called legitimate Islamic
system” (Al-Turabi H. 1995: 236).
Bagi hassan turabi, yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana
Negara bisa menjamin hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh
rakyatnya. The Islamic state must guarantee citizens rights including:
equality of status and opportunity, equality before law, freedom of
thought,

expression,

belief,

faith,

worship,

association,

assembly,

movement, trade, business, and to hold and dispose of property (Al-Turabi,
H. 1995).
Hal ini sangat penting karena realita menunjukkan bahwa umat islam
masih menghadapi berbagai persoalan serius baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal, maka begitu banyak umat islam yang hidup
menganggur, dalam kemiskinan, dan juga diwarnai oleh beberapa
persoalan yang sering disebut sebagai kondisi yang tidak demokratis,
tidak menghargai hak, begitu juga dengan keterbatasan mendapatkan
pendidikan di kalangan wanita. Adapun secara eksternal, dunia islam
berhadapan dengan dominasi secara politik, budaya, ekonomi dan militer
dari bangsa barat, adanya konspirasi bangsa yahudi, begitu juga dengan
ancaman komunisme dan pengikisan akidah. Karena pandangan tersebut,
menurut Huntington, telah terjadi

the clash of civilization. Some

Westerners argue that a “clash of civilization” between Islam and the West
is

inevitable

and

that

Islam

is

anti-democracy,

and

Islamic

fundamentalism forms a threat to Western culture and civilization
(Huntington, S.1993: 32).**
ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA

Selama ini muncul penilaian yang kurang baik
terhadap Islam. Selain dianggap sebagai agama yang kaku, tidak toleransi
terhadap

perbedaan

dan

menolak

demokrasi,

Islam

juga

sering

diidentikkan dengan pelanggaran terhadap HAM. Islam dinilai telah
mengajarkan pelanggaran terhadap HAM dengan adanya konsep jihad,
qishos, negara Islam, dan beberapa hal lainnya.
Pendapat ini dikemukan oleh Ann Elizabeth Mayer, menurutnya dalam
buku Islam and Human Right, prinsip-prinsip ham muncul dari eropa,
tepatnya pada waktu masa pencerahan dan tidak ada hubungannya
dengan Islam. Para pemikir dari inggris dan prancislah yang meletakkan
human right sebagai elemen penting dalam pemikiran politik.
Pertanyaannya sekarang, apakah Islam memang tidak menghargai hakhak
A.

asazi

manusia?

HAM dalam Pandangan Islam

Pengertian Hak Asazi Manusia
Ham adalah hak dasar manusia yang diberikan oleh Allah sebelum
manusia ada sekalipun. Dalam Islam, karena manusia merupakan khalifah
Allah, maka hak mereka diatur oleh Allah melalui wahyu.
Sementara dalam bahasa arab, hak berasal dari kata haqq yang jamaknya
huquk,

yang

berarti

terciptanya

fakta,

kebenaran,

keadilan,

dan

persamaan. Beberapa ulama seperti imam shalabi mengatakan bahwa
haq artinya sesuatu yang sesuai dengan kebenaran.
Dalam islam, hak asazi didasarkan atas karamah, kebebasan (hurruriyah),
humanisme (insaniah), persamaan (musawah), kemanfaatan (insaniah),

pertanggungjawaban (mas’uliah), kerjasama (ta’awun), dan keadilan
(justice).
Ham dalam islam juga berkaitan dengan masalah hukum. Dalam hal ini,
hukum Islam meliputi syariah yang berasal wahyu (alquran dan hadist)
dan fikh (yang bermakna pemahaman dan interprestasi terhadap wahyu).
Tentu saja berarti dalam fikih akan sangat erat kaitannya dengan
penggunaan akal manusia.
Pembenaran tentang kebenaran penggunaan akal ini sebagaimana dalam
hadits ketika muadz bin jabal akan dikirim ke Yaman, beliau ditanya oleh
rasul tentang cara memutuskan persoalan yang tidak ditemukan dari
Alquran dan sunnah, kemudian beliau menjawab dengan ijtihad, maka
rasul membenarkan. Ijtihad dalam hal ini meliputi ijma’ dan qiyas.
Persoalannya

seberapa

besar

pengaruh

akal.

Disinilah

pentingnya

pembagian agama dalam kajian ibadah dan mua’amalah. Ibadah adalah
hubungan antara makhluk dengan Allah, dan tidak ada perubahan dalam
hukumnya.

Otak

harus

total

menerima.

Sementara

dalam

kaitan

hubungan antarsesama manusia (mu’amalah), diberikan kebebasan
menggunakan otak selama tidak bertentangan dengan persoalan syariah.
Apakah HAM sesuai dengan Islam
Para pemikir islam seperti Al-Ghozali mengatakan bahwa islam sangat
dekat dengan konsep hak asazi manusia. Bahkan lebih detil dari
pemikiran orang barat, dalam islam diatur hubungan seseorang dengan
keluarga, orang tua, anak, dengan tetangganya, dan beberapa hak sosial
dan politik lainnya, seperti hubungan dengan pemimpin. Setiap orang
hidupnya dilindungi, punya hak untuk mempunyai rumah dan fasilitas
lainnya, serta bebas dalam berekspresi dan berpendapat. Hanya saja
dalam Islam, karena hukum tertinggi adalah Al-quran dan sunnah, apapun
yang berkenaan dengan hak dibatasi oleh dua pedoman tersebut.

Historis
Islam

lahir

di

perkembangannya,

tengah
banyak

masyarakat
orang-orang

yang
badui

sangat
yang

bebas.Dalam
hidup

dalam

peperangan juga memeluk Islam. Mereka juga tidak punya tempat
menetap yang pasti. Satu hal lagi yang perlu dicatat, bahwa dimasa
rasulullah, ashobiyah (sikap fanatik/berlebih-lebihan terhadap kelompok)
sangat kuat.
Ketika datang, Islam menawarkan satu konsep baru yang bernama
persamaan ketika seseorang sudah menjadi muslim. Tidak ada satu kaum
yang lebih muliah dibandingkan dengan lainnya, kecuali karena ukuran
ketakwaan. Dengan konsep ini, orang-orang badui kemudian merasa
dihargai hak-haknya oleh Islam.
Klasifikasi Hak asazi manusia
Hak manusia pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu hak pribadi
dan hak yang menyangkut publik. Perbedaan keduanya terletak pada
penekanan untuk apa hak tersebut ada, dominan pada kepentingan
pribadi atau publik.
Beberapa hal yang lebih dominan berkenaan dengan individu disebut
sebagai hak pribadi, antaralain meliputi:
1. hak hidup – dalam islam dijelaskan bahwa janganlah kamu
membunuh satu orang satu manusia tanpa alasan yang benar,
karena sesungguhnya hal itu sama dengan membunuh semua
manusia. Tapi jika kamu melindungi kehidupan seorang manusia
saja, itu sama artinya dengan melindungi kehidupan semua
manusia. Atau dalam Alquran ayat yang lain dikatakan jangan kamu
membunuh

orang-orang

yang

tidak

membunuhnya, kecuali kamu diperintahkan.

dibolehkan

kamu

2. hak keamanan – jaminan keamanan baik muslim maupun kafir
dzimmi
3. hak untuk dihargai – perintah saling menghargai
4. hak persamaan – tidak ada yang lebih mulia dari orang arab atau
bukan arab kecuali karena ukuran ketaqwaan. Semua manusia pada
hakikatnya adalah khalifah Allah di muka bumi ini.
5. hak persaudaraan – sesama orang beriman adalah bersaudara
6. hak keadilan – seorang pemimpin haruslah seorang yang adil.
Dalam cerita pengumpulan hadits, seorang yang membohongi ayam
juga tidak bisa diterima haditsnya. Dalam alquran disebutkan,
sesungguhnya penglihatanmu, pendengaranmu dan otakmu akan
dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, jika diminta untuk
menghakimi persoalan manusia, engkau harus bertindak adil.
Secara jelas, Abu A’la Al Maududi juga mengatakan, keadilan tidak hanya
untuk masyarakat satu bangsa, satu suku, bangsa atau ras, melainkan
keadilan untuk seluruh masyarakat islam seluruhnya, bahkan untuk
semua manusia di muka bumi. hak memilih – islam memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih pekerjaannya, rekreasi,
menikah, bahkan dalam menentukan agama. Misalnya firman Allah,
silakan pergi ke penjuru bumi dan lihat bagaimana penciptaan Allah.
Sementara hak publik adalah, penghormatan terhadap urusan individu
untuk kepentingan publik, antaralain meliputi:
1. ibadah – makna dalam rukun Islam
2. hak Negara untuk menghukum orang bersalah, misalnya, qishos
(memberikan balasan serupa misalnya dengan membunuh) orang
membunuh, potong tangan orang mencuri, dan cambuk untuk yang
minum-minuman keras – bagaimana dengan hukuman mati untuk
para pencandu dan pengedar narkoba, atau koruptor?
3. Hak untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan urusan public seperti
berjihad, membayar zakat, menuntaskan kemiskinan, dst.
B.

Pengaruh Konsep HAM barat

Ketika rasul meninggal, wahyu tidak lagi diturunkan. Terhadap beberapa
persoalan yang belum dipahami, maka para ulama melakukan ijtihad.
Dalam proses penyederhanaan, Islam dibagi dalam beberapa bidang
seperti aqidah, syariah, ibadah, dan mu’amalah. Dalam perkembangan
selanjutnya dikenal ilmu fikih yang terdiri dari beberapa mazhab.
Selain itu, karena wilayah Islam semakin luas, juga ditemukan beberapa
pengaruh dari peradaban sebelumnya terhadap cara berfikir dalam Islam.
Perkembangan masa dan tuntutan zaman juga memunculkan kelompok
baru yang mengatasnamakan modernisasi Islam.
Pengaruh barat semakin terlihat, terutama pada masa turky ustmani. Cara
berfikir barat, misalnya diterapkan kepada kewajiban membayar pajak
baik kepada muslim maupun non muslim atas nama persamaa. Tentu saja
para ulama yang memahami dengan metode salafiyyin menentang hal ini.
Hal lainnya yang dilakukan oleh turkey adalah perubahan sistem
kekhalifahan

menjadi

sistem

republik.

Kemudian

turkey

memproklamasikan diri sebagai negara yang menghargai kebebasan
sebagaimana yang terdapat dalam revolusi prancis, yang meliputi
persamaan, kemerdekaan, dan kebebasan untuk berfikir dan berekspresi
serta menganut agama bagi masyarakat Turkey.
Berbeda dengan Turkey yang melakukan westernisasi, di Mesir, M. Abduh
(1849 – 1905) justru mengatakan bahwa apa yang ada di barat sekarang
secara prinsip sebenarnya sudah dimiliki oleh Islam. Melalui media AlManar beliau mencoba menghubungkan Islam dengan pemikiran barat
sebagai sesuatu yang sejalan.
Hal inilah yang menyebabkan di era sekarang seakan terjadi westernisasi
besar-besaran. Hanya saja yang perlu dipahami bahwa Islam mempunyai
sistem ibadah dan pemahaman tradisional yang tidak mungkin dirubah.
C. Kritik Barat terhadap Islam dan HAM

Islam dinilai tidak menghargai Ham karena:
1. Dalam Islam terdapat konsep negara Islam (darus Islam) dan Negara
bukan orang Islam (darul kuffar/ darul harb). – orang barat menilai kalau
Islam berarti tidak universal.
Meskipun dijawab bahwa bukankah orang Islam memberikan perlindungan
kepada non muslim dalam negara tersebut, baik dalam hal kesejahteraan,
keamanan dan kekebabasan layaknya warga negara, tetapi barat
mengkritik dan mengatakan yang diberikan oleh Islam adalah semu
karena tidak memberikan kesempatan kepada non muslim menjadi
pemimpin.
Disamping itu, kita juga harus membicarakan fakta sejarah bahwa pada
zaman rasul, tanggung jawab seorang non muslim di negara muslim
sangat ringan. Dalam hal pajak misalnya, maka tidak lebih mahal
dibandingkan orang muslim. Hanya saja beberapa fakta sejarah di era ini
kemudian memberikan biaya pajak yang lebih mahal.
2. Islam mengklaim diri sebagai agama terbaik dan penyempurna agamaagama sebelumnya, sehingga seakan-akan ingin menghapuskan agama
lain. Islam artinya tidak menghargai kebebasan.
3. Islam membedakan manusia secara dikotomis, terlihat dari adanya
konsep muslim/ non muslim, laki-laki wanita, dan merdeka/budak.
4. Islam mempunyai hukum yang tidak mendidik dan tidak manusiawi,
seperti qishos, hukuman mati, dan potong tangan.
D. Mana yang lebih Manusiawi?
Menanggapi penilaian barat tersebut, perlu diberikan penjelasan ilmiah
tentang alasan Islam melakukan beberapa hal yang dikritik barat.
Sehingga bisa dibandingkan mana kebijakan yang sebenarnya lebih tepat.

Dalam hal ini, selain ajaran dalam wahyu, yang dijadikan ukuran adalah
bagaimana rasul menjadi pemimpin ketika di Madinah dulu.
1. Barat tidak bisa menjadikan kasus sebagai ukuran dan digeneralisir
kepada Islam. Buktinya di negara non muslim, bahkan Amerika sekali pun
diskriminasi tetap terjadi. Para penulis barat misalnya, tidak jarang
mengangkat diskriminasi di Sudan sebagai contoh tidak simpatik dan
tidak tolerannya islam terhadap penganut agama lain. Hal ini seharusnya
tidak terjadi. Sudan tidaklah bisa menggambarkan Islam.
2. Persoalan klaim sebagai agama terbaik, setiap agama mesti melakukan
hal itu. Jadi ketika islam mengaku sebagai agama terbaik, maka wajar jika
itu disampaikan oleh seorang muslim. Artinya tidak berarti islam
menganggap agama lain harus dihapuskan. Jika demikian, tentu islam
tidak perlu mempunyai konsep tentang hubungan dengan agama lain.
Apalagi jelas-jelas dalam islam terdapat beberapa ayat dan hadits yang
yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama, untukmu
agamamu dan untukku agamaku. Atau rasul mengatakan jangan sakiti
orang non muslim yang tidak memerangi islam karena itu sama saja
dengan menyakitiku. Dan dalam sejarah jelas terlihat bagaimana rasul
mempunyai kesepakatan dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
3. Tentang muslim dan non muslim, lagi-lagi dalam agama lain konsep ini
juga mesti dipakai. Jika tanpa menyebut identitas, bagaimana perintah
agama akan dilakukan. Adapun tentang laki-laki wanita, orang merdeka
dan budak, dalam hal pandangan dihadapan Allah islam sama sekali tidak
membedakan

satu

sama

lain,

kecuali

tingkat

ketaqwaan

mereka

dihadapan Allah.
Berbeda halnya dengan persoalan sosial kemasyarakatan, sekarang pun
sudah terbukti bagaimana bahayanya terutama pendidikan anak, moral
bangsa, dan keutuhan keluarga jika seorang wanita tidak lebih banyak
berperan di rumah tangga. Allah memang sudah membedakan laki-laki
dan wanita secara naluri dan fisik yang berbeda. Seorang wanita misalnya

berfungsi untuk mengandung dan melahirkan anak, maka tidak mungkin
seorang laki-laki yang melakukan peran tersebut. Pertanyaannya, jika
antara laki-laki dan wanita tadi sudah berbeda secara fungsi, apakah
harus dipaksakan mempunyai peran yang sama?. Jika ya, berarti hal itu
terkesan sebagai penolakan terhadap takdir.
Dalam hal perbudakan misalnya, dalam sistem masyarakat sekarang
termasuk di barat, apakah mungkin seorang karyawan mengerjakan tugas
manajer. Tentu tidak mungkin. Demikian pula yang diajarkan islam.
Seorang harus berperan sesuai dengan posisi dan kemampuan masingmasing. Tidak boleh memaksakan diri. Lagi pula, dalam islam pembedaan
tugas sama sekali tidak berarti membedakan kemuliaan seseorang.
Prinsip saling menghargai dan menghormati tetap menjadi prinsip dasar.
4. terakhir tentang islam yang dinilai kejam karena melakukan qishos,
hukuman mati, atau potong tangan, sama sekali tidak berhubungan
dengan sikap islam yang kejam dan bengis. Justru yang diinginkan adalah
efek jerah sehingga kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat tidak
semakin meluas. Berbeda dengan sekarang ketika pelaku kejahatan tidak
diberikan hukuman yang berat, malah menarik orang lain untuk ikut
melakukan, atau yang bersangkutan terus berbuat. Pada kondisi seperti
ini, apakah tidak justru lebih banyak manusia yang terbunuh.
Buktinya gampang saja, coba bandingkan mana yang lebih besar tingkat
kriminalitas di Amerika atau di saudi Arabiah?
E.

Implikasi

Konsep

Ham

dalam

Islam

terhadap

Dunia

Internasional
Di era sekarang islam berkembang semakin pesat. Total penduduk muslim
mencapai lebih dari 1,5 miliar penduduk. Tidak hanya kuantitas, bahkan
sekarang beberapa daerah dalam konteks nasional atau lokal banyak
yang berusaha untuk menerapkan syariat Islam sebagai sistem hukum.
Meskipun

demikian,

human

right

dengan

presfektive

barat

lebih

mendominasi. Bahkan islamophobia lebih banyak mewarnai konteks
politik global. Bahkan sekarang juga muncul istilah the war by the name of
terrorism (perang atas nama teroris) yang ditujukan kepada Islam.
Mungkinkah Islam bisa dijadikan sebagai warna dan landasan hukum
Internasional?.