PERAWATAN PRA DAN PASKA OPERASI

PERAWATAN PRA DAN PASKA OPERASI

PENDAHULUAN
Untuk mendapatkan hasil operasi semaksimal mungkin yaitu semua yang dikeluhkan
pasien dapat dihilangkan , maka seorang ahli bedah haruslah mempelajari dan mengerti
tentang riwayat medis dan psikis pasien yang akan dioperasinya. Walaupun perhatian
utama seorang ahli bedah ginekologi terfokus pada daerah pelvik dan organ
reproduksinya serta riwayat gangguan ginekologi yang pernah dialaminya , hendaknya
juga meperhatikan masalah medis dan psikis lain di luar itu seperti adanya adanya
riwayat penyakit-penyakit lain diluar system urogenitalnya janganlah diabaikan. 1,2
RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT-OBATAN
Penyakit jantung
Ada riwayat angina aritmia. Semua obat-obat jantung yang sedang digunakan pasien
haruslah diketahui dan dipelajari dengan teliti
Penyakit tekanan darah tinggi
Apakah pasien sedang mengidap tekanan darah tinggi, dan obat-obat apa yang digunakan
pasien
Kelainan endokrin
Apakah pasien menderita diabetes, sudah berapa lama dan harus diperiksa kadar gula
darah terakhir dan bagaimana denga pengobatannya sekarang.
Penyakit paru-paru

Bila ada gangguan pernafasan akut, maka harus diperiksa spirometri, dan dilakukan
analisa gas darah. Jika pasien adalah seorang yang perokok maka haruslah disarankan
untuk menghentikan merokok beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum operasi.
Kecendrungan kelainan darah
Harus dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap
Penyakit phlebitis
Penting diketahui untuk menghindari timbulnya trmbosis

Penyakit rematik

1

Obat-obat rematik yang sedang digunakan pasien harus dipelajari, karena obat-obat yang
dapat mempengaruhi perdarahan dan pembekuan hendaknya dihentikan pemberiannya
kira-kira 1 minggu sebelum operasi.
Riwayat alergik
Dengan diketahuinya obat-obat dan bahan-bahan allergen bagi pasien tentu dapat
dihindari kemungkinan terjadinya reaksi alergi yang ringan maupun berat.
Konsultasi dengan dokter spesialias yang merawat pasien selama ini harus dilakukan dan
disampaikan juga semua hal / tindakan yang akan dilakukan dan aspek medis paska

operasinya. Sebaiknya dilakukan penganalisaan dan evaluasi pengobatan selama satu
tahun dan dipelajari dampaknya pada saat ini.
RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT-OBATAN
Obat-obat antikonvulsan
Dapak menurunkan kadar kalium dan khlorida, karena itu sebelum operasi kadar
keduanya harus diperiksa. Lebih dahulu
Pemakaian obat-obat kontrasepsi
Kalau memungkinkan semua obat-obat steroid sudah dihentikan setidak-tidaknya 1`bulan
sebelum operasi, untuk membatasi kemungkinan terjadinya trombosis dan emboli
jantungserta paru-paru. Pemakaian obat kontrasepsi untuk jerawat juga harus diketahui.
Prednison dan kortison
Pemakaian prepared kortison dan prednison sebaiknya dihentikan minimal 10 hari
sebelum operasi sampai 4-5 hari sesudah operasi. Pada pasien ini sebaiknya digunakan
benanga yang tidak diserap, terutama untuk jahitan pada jaringan yang teregang Bila obat
ini tidak dapat dihentikan pemberiannya maka perlu ditambahkan vitamin A dengan dosis
50.000 sampai 100.000 Unit perhari atau steroid anabolik untuk mengurangi efek steroid
(kortison dan prednison) yang menghambat pembentukan kolagen baru dan menghambat
reaksi radang. 3
Obat-obat rematik
Obat rematik dan obat-obat lain yang mengganggu hemostasis sebaiknya dihentikan 1

minggu menjelang operasi 4
Riwayat operasi
Terutama riwayat operasi pelvic dan abdomen perlu dipelajari dengan teliti, apakah ada
kemungkinan perlekatan dan lain-lain.
Riwayat perdarahan abnormal dari uterus dan serviks
Harus diteliti hasil Pap’smear dalam satu tahun terakhir.
PEMERIKSAAN PREOPERATIF

2

Sistema urogenital.
Harus diperiksa dengan teliti sehubungan dengan riwayat mediknya. Sebaiknya dilakkan
pemeriksaan ultrasonografi vaginal, sehingga didapatkan gambaran yang jelas dari
sistema urogenital, misalnya kemungkinan adanya kista ovarium dan lain-lain.
Rontgen thoraks.
Dianjurkan apalagi kalau ada riwayat penyakit paru-paru sebelumnya.
Elektrokardiogram
Dianjurkan pada pasien berumur di atas 50 tahun, dan pasien dengan keluhan jantung.
Pemeriksaan laboratorium
Kadar hemoglobin, laju endap darah, waktu perdarahan waktu pembekuan waktu

protrombin, golongan darah, kadar biokimia darah, kadar gula darah dan lain-lain bila
dianggap perluharuslah ada sebelum operasi dan ditulis dalam lembaran khusus atau
dalam bentuk table yang dapat dilihat dengan mudah.
Pmeriksaan HbsAg sebaiknya diperiksa karena ada laporan bahwa salah seorang residens
yang membantu operasi terserang “fulminating jaundice”,disebabkan oleh Hepatitis B.2
Semua hasil pemeriksaan dianalisa dengan teliti dan secara individual, untuk mengetahui
adanya kemungkinan kontraindikasi operasi. Faktor psiokologis pasien tidak kalah
penting untuk diperhatikan, apakah ada kegoncangan jiwa atau ada pengalaman yang
jelek pada operasi yang lalu.
Dianjurkan pemakaian stoking yang elastis sampai ke pertengahan paha, terutama pada
pasien dengan varises dan ada riwayat phlebitis atau trombosis. Pemakaian stoking ini
sangat bermanfaat mengurangi kemungkinan trombosis.5 Disamping mengurangi tingkat
hipotensi pada paska operasi. Tidak dianjurkan pemakaian heparin pada kasus ini karena
ditakutkan akan meningkatkan risiko perdarahan selama operasi.6
Faktor usia dan harapan hidup pasien sangatlah penting diperhatikan. Misalnya pasien
yang lanjut usia dan tidak mempunyai aktifitas seksual lagi, tentu fungsi kohibitasi tidak
perlu diperhatikan.
Dari hasil pemeriksaan praoperasi, mungkin dapat ditemukan adanya penyakit-penyakit
yang sebelumnya tidak diketahuisehingga mungkin perlu dipertimbangkan penjadwalan
kebali operasi, sesudah penyakit ini diatasi.

PERSIAPAN PSIKOLOGIS PRAOPERASI
Diatas telah disinggung mengenai pentingnya factor psikologis pasien dicermati, seperti
adanya kegoncangan jiwa atau pengalaman jelek pada operasi yang lalu. Dengan
memperhatikan kondisi psikopolgis pasien disamping persiapan fisiologik dan anatomic
di atas akan sangat meningkatkan keberhasilan operasi. Pasien harus diberi kesempatan
sebebas-bebasnya mengungkapkan perasaannya dan diberikan penjelasansegala sesuatu

3

mengenai tindakan operasi beserta dampak operasi yang akan dilakukan. Dengan
penanganan seperti ini diharapkan pasien memahami langkah yang diambil dokter, yang
semuanya bertujuan menghilangkan penyakit selama ini, sehingga pasien akan tabah
menerima setiap derita yang akan didapatinya pada waktu operasi.
Akan sama pentingnya pemahaman ahli bedah terhadap factor psikologis pasien dengan
kesadaran pasien sendiri bahwa dokternya sangat mengertimengenai keadaan
psikologisnya, sehingga menimbulkan kepercayaan yang besar terhadapnya dokternya.1,7,8
PERSIAPAN USUS
Persiapan usus harus dipertimbangkan untuk pasien-pasien tertentu. Pasien dengan
kebiasaan usus normal ( “normal bowel habit”), tidak perlu persiapan yang rumit. Akan
tetapi pengosongan rektum sebelum operasi ini dapat mengurangi rasa tidak enak di perut

dan konstipasi paska operasi. Pengosongan rectum ini dapat dilakukan dengan pemberian
Enema “sodium lauryl sulphoacetate pada malam sebelum operasi9
Pada kasus yang akan dilakukan rekonstruksi pelvic kolposuspensi atau reparasi vagina,
perlu dilakukan persiapan usus yang baik untuk menghindari terisinya rectum pada saat
operasi dan perlu diberikan laksan post operatif
MENCUKUR RAMBUT PRAOPERASI
Pencukuran rambut pada daerah operasi dirasakan sekarang ini tidak bermanfaat, karena
dapat menimbulkan iritasi kulit bekas pencukuran, yang dapat menjadi fokal infeksi.
Supaya operasi tidak terganggu oleh rambut yang panjang maka sebagai ganti
pencukuran rambut di daerah ini digunting pendek saja. Ternyata pasien yang tidak
dicukur merasa lebih enak dibandingkan dengan yang dicukur.9, 10
PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS
Vagina merupakan suatu tempat yang sering terkontaminasi dengan berbagai bakteri.
Dimana bakteri ini berbeda-beda dari satu wanita dengan wanita lainnya, baik dalam hal
jenis maupun jumlahnya.1. Variasi ini berhubungan dengan factor usia, aktifitas seksual,
factor lingkungan dan kebersihan yang bersangkutan.
Sebelum operasi vagina dapat dibersihkan dengan penyemprotan antiseptik dan
membersihkan dengan sabun antibakteri seperti povidone iodine (bethadine),
chlorhexidine gluconate ( hibiclens) yang dapat benar-benar menjadikan vagina steril1
Risiko infeksi paska operasi sangat bermagna bila operasi vagina disertai dengan

pembukaan rongga peritoneum, juga bila pada saat operasi terlalu banyak daerah-daerah
yang mengalami trauma serta banyak daerah yang vaskularisasinya terganggu.
Risiko ni dapat dikurangi bila daerah ini sudah mengandung antibiotika pada saat
operasi., seperti yang dianjurkan oleh Burke11, bahwa antibiotika sudah harus dijumpai
dalam sirkulasi jaringan sebelum operasi dimulai. Pemberian antibiotika paska operasi
tidak perlu diteruskan kecuali ada alas an spesifik Burke juga menegaskan bahwa
pemberian antibiotika profilaksis tidak akan dapat menghilangkan seluruh risiko infeksi.
Ini sangat dipengaruhi oleh resistensi bakteri, tingkat trauma operasi, jumlah koloni
bakteri dan tingkan daya tahan tubuh pasien. Akan tetapi pemberian antibiotika akan
dapat membantu resistensi tubuh secara alamiah terhadap invasi bakteri.
Pemberian antibiotika pertama dilakukan 1 jam sebelum operasi dimulai, Kadang-kadang
tidak dapat dipastikan kapan sayatan pertama dimulai. Tingkat kadar antibiotika yang

4

paling tepat dalam jaringan yang akan dioperasi adalah 20-30 menit sesudah pemberian
melalui pembuluh darah vena. Jika operasi hanya berlangsung kurang dari 2 jam, hanya
diperlukan dosis tunggal, bila operasi berlangsung lebih dari 2 jam harus diberikan dosis
tambahan. Pilihan antibiotika yang dianjurkan adalah sefalosporin generasi pertama
seperti sefazolin yang mempunyai masa paruh sekitar 80 menit. Jika dosis kedua

diberikan sesudah 2 jam maka masa paruhnya selama 120 menit.12.
Kalau pasien sensitive dengan sefalosporin dapat diberikan minisiklin, metronidazol.
Klindamisin atau gentamisin.
Dengan penurunan morbiditas infeksi maka masa perawatan dan masa pemulihan dapat
lebih singkat, tentu sangat mengurangi biaya perawatan.
PERAWATAN PASKA OPERASI.
Pemberian antibiotika
Biasanya antibiotika diberikan paska operasi sehubungan dengan dipasanganya “Foley
bag cathether” Antibiotika dimulai pada saat kateter akan diangkat. Seharusnya diambil
juga pemeriksaan kultur dan resistensi urine, sehingga dapat diberikan antibiotika yang
tepat untuk menghindari perkembangan mikroba yang resisten terhadap salah satu
antibiotika.
Pada sore hari pertama paska operasi dilakukan pemeriksaan apakah ada nyeri ketok pada
sudut kostovertebral untuk mendeteksi ada tidaknya nefritis. Bila terdapat nyeri unilateral
yang tidak diharapkan, harus diperiksa IVP ( “ intravenous pyelografi “) untuk
menyingkirkan adanya obstruksi ureter.
Pemberian cairan intravena diteruskan sampai pasien bias minum bebas.
Pemberian minum dapat dilakukan segera sesudah pasien sadar, dimulai dengan sedikitsedikit, air putih atau air teh
Pemberian susu atau jus buah-buahan dan minuman bersoda sebaiknya tidak diberikan
untuk menghindari pembentukan gas di dalam usus.

Makanan padat dapat dimulai setelah pasien menginginkannya. Intake makanan yang
cukup baru dapat dicapai setelah nafsu makan pasien kembali pulih, biasanya sesudah
hari kedua atau ketiga sesudah operasi.
Pada pasien paska reparasi fistula rektovaginalis, atau reparasi ruptura perinea tingkat IV
yang sudah lama, sebaiknya dipertahankan pemberian makan cair (non residu diet)
selama 2 minggu dan pada minggu ketiga diteruskan dengan jenis makanan “ low residu
diet” selama 1 minggu.
Pada pasien yang menghentikan merokok tiba-tiba, mungkin timbul problem yang
disebut “withdrawal of nicotine “, dimana peristaltik usus menjadi lambat dengan
demikian kemungkinan terjadinya hal ini dapat diantisipasi.
Pemberian obat-obat untuk memperlunak feses atau laksatif dianjurkan pada pasienpasien yang dilakukan kolporafia posterior atau perineorafi. Kalau tidak ada kedua
tindakan ini dapat diberikanlaksatif supositoria ( dulcolax) berulang-ulang jika perlu,
untuk menghindari kemungkinan terjadinya massa fekal.
Sebaiknya semua pasien-pasien paska operasi pelvik dihindari dari usaha mengejan yang
kuat untuk menghindari kemungkinan terjadinya pelepasan trombosis pada vena iliaka

5

dan vena abdominalis yang dapat sampai ke jatung dan paru-paru atau otak. Risiko ini
dapat dikurangi dengan :

a. ambulasi ( pergerakan) sedini mungkin paska operasi.
b. Larangan mengejan paska operasi
c. Pemberian oba-obat laksatif atau enema untuk merangsang pergerakan usus tanpa
mengejan.
Obat-obat penghilang rasa sakit
Dapat diberikan dengan dosis kecil secara teratur untuk menghindari pengaruh
akumulatif depresi pernafasan pada obat-obat ini.
Posisi pasien
Menjuntaikan kaki pada sisi tempat tidur tidak bermanfaat, bahkan dapat merugikan
karena dapat meningkatkan stasis ( bendungan) darah pada tungkai. Dianjurkan pasien
melenturkan kakinya, menggerak-gerakan pergelangan kaki, berubah posisi dari
berbaring kesisi kiri dan kanan bergantian, Hal ini dapat dilakukan segera sesudah pasien
sadar. Pasien disarankan bernafas dalam-dalam, yang ternyata sangat membantuk
masalah pernafasan paska operasi. Sehari sesudah operasi pasien dapat dibantu untuk
duduk di kursi disamping tempat tidur beberapa menit sebanyak 3 atau 4 kali sehari, ini
dapat mempercepat pulihnya gerakan peristaltic usus. Tidak dianjurkan duduk di kloset
karena dapat meregangkan jahitan. Berendam air hangat (“sit bath”) dapat dimulai pada
hari kedua atau ketiga paska operasi. 1
Konsultasi
Pasien dengan penyulit seperti hipertensi atau diabetes sebaiknya selalu dievaluasi

bersama-sama dengan sejawat yang terkait
Kunjungan
Kunjungan yang terlalu lama sebaiknya dihindari, terutama pada hari-hari pertama
sesudah operasi karena pasien membutuhkan waktu istirahat untuk memulihkan kondisi
tubuhnya sesudah operasi. Masa istirahat ini harus diselingi dengan aktifitas fisik secara
bertahap seperti yang telah diuraikan diatas.
Visite di ruangan
Pasien sekurang-kurangnya diperiksa sekali sehari oleh ahli bedahnya, selama pasien
dirawat . Bila dianggap perlu dapat dilakukan kunjungan tambahan.

Pemeriksaan laboratorium ulang
Pemeriksaan darah ulang dilakukan sebelum pasien pulang. Kalau keadaan pasien
memuaskan hanya kada hemoglobin dan hematokrit saja yang diperiksa pada hari ke 3
atau ke 4 paska operasi. Hemoglobin 9 gram/dl atau lebih dengan hematokrit 27 % atau

6

lebih dan pasien tidak mengidap penyakit jantung atau paru-paru, tidak memerlukan
transfusi darah.
Kalau sebelum operasi pasien menggunakan stoking elastis, dapat dilepaskan pada hari
ke 3 atau ke 4 paska operasi serta pasien sudah dapat melanjutak aktifitas fisiknya.
Pada pasien-pasien paska menopause tetapi masih aktif secara seksual, dapat diberikan
prepared estrogenoral segera sesudah pasien boleh minum, bias ditambahkan pemberian
estrogen intravagina setiap malam. Ini dapat membantu penyembuhan luka dan
mengindari atrofi dinding vagina dan mempertahankan suplai darah ke vagina.
Selama paska operasi harus dilakukan beberapa kali peninjauan atau analisa ulang
tentang regimen terapi yang diterapkan dan tentang obat-obat yang diberikan untuk
menghindari kemungkinan adanya obat-obat yang salah atau bertentangan atau hal-hal
yang tidak perlu dilakukan, sehingga koreksinya dapat dilakukan dengan segera.
SARAN-SARAN ATAU INSTRUKSI UNTUK PULANG
1. Pasien langsung kerumah dan beristirahat sehari penuh
2. Lakukan peningkatan aktifitas bertahap, selama minggu pertama di rumah, jangan
lakukan aktifitas yang terlalu melelahkan atau aktifitas lain diluar kebiasaan.
3. Pada minggu ke 3 dapat berjalan-jalan di sekitar rumah. Mengemudi baru
dilakukan 1 bulan sesudah operasi.
4. Hubungi dokter untuk menentukan pemeriksaan pertama paska operasi.
5. Jangan ragu-ragu menilpon untuk meminta saran lebih lanjut kalau masih ada
pertanyaan.
AKTIFITAS
Secara bertahap aktifitas ditingkatkan selama 2 minggu pertama. Jangan mengangkan
barang berat, menggosok, menyemprot atau melakukan hubungan intim sebelum terlebih
dulu memeriksakan diri ke dokter.
DIET
Anda dapat kembali ke pola diet yang biasa setelah pulang kerumah. Minumlah air
secukupnya. Kalau sembelit dapat minum susu atau juz buah.
MANDI
Anda dapat mandi dengan menggunakan “shower, tub bath” dan mencuci rambut kapan
saja. Bila terjadi demam, perdarahan, atau terdapat kesulitan kencing dan buang air besar
maka segera hubungi dokter
PETUNJUK MASALAH MIKSI
Kandung kencing diatur oleh 3 sistem persarafan yaitu somatik, simpatik dan
parasimpatik. Persepsi dan keseimbangan diantara ketiganya dapat bervariasi dari satu

7

pasien ke pasien lain dan dari waktu kewaktu. Karena keseimbangan ini sangat mudah
terganggu, tidaklah jarang masalah ini didapatkan paska operasi abdomen dan pelvic
terutama sekali pada operasi histerektomi, herniorafi, hemoroidektomi, kolporafi,
episiotomi maupun laparotomi
MECEGAH KESULITAN MIKSI
Setelah kateter diangkan seringkali terjadi gangguan miksi, Sebaiknya miksi atau buang
air kecil dilakukan seprivasi mungkin dan sereleks mungkin. Perawat yang membantu
juga harus sabar . Von Peham dan Amreich 12 mengungkapkan bahwa terdapat kesukaran
pada banyak pasien untuk miksi sedang berbaring, sedapat mungkin pasien
melakukannya dalam posisi duduk yang alami. Bisa dilakukan diatas tempat tidur kalau
pasien belum boleh turun. Ketegangan berlebihan ( “overdistention”) dari kandung
kencing harus dihindari, karena sangat tidak enak dan sakit serta dapat mengganggu
suplai darah ke dinding kandung kemih, sehingga mengganggu penyembuhan dan dapat
menyebabkan kelumpuhan otot detrusor, yang akan membutuhkan waktu lama untuk
memulihkannya.
Pemakaian benang-benang yang dapat diserap ternyata dapat mengurangi dampak ini
yang terkait dengan berkurangnya kemungkinan perlekatan vagina dan pembengkakan
jaringan pelvik
Kalau pasien mempunyai riwayat dekompensasi kandung kemih yang lama karena
sistokel yang besar dan sudah lama, dimana ada hipotonia detrusos intrinsic. Dapat
diberikan Urecholine ( : Bethanechole chloride”), sebelum kateter diangkat sampai
beberapa hari
Pemakaian kateter silicon ternyata juga mengurangi kemungkinan iritasi mukosa uretra
dibandingkan dengan kateter karet biasa.
“Bladder neck”mempunyai reseptor alfa adrenergik, bila dirangsang menyebabkan otototot polosnya berkontraksi, disamping itu ada juga reseotor beta yang bila dirangsang
akan terjadi relaksasi dari” bladder neck” dan trigonum Litaudy. Dengan demikian obatobat yang memblokir alfa adrenergik seperti phenoxybenzamine atau prazocin secara
selektif akan menghambat spasme otot di daerah ini. Dilaporkan pemberian alfa
adrenergik blcking agent phenoxybenzamine ( Dibenzyline) dengan dosis 10 mg peroral
4-5 jam sesudah operasi . Dapat diulangi sekali atau 2 kali selama 24 jam pertama,
memberikan hasil yang memuaskan.12 Perlu diingat pemberian betabloker seperti
propanolol seperti inderal dapat merangsang tonus muskulus detrusor, sehingga
menimbulkan hipertonia dan spasme pada “bladder neck”12

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN PROSES MIKSI
1. Jeffcoate14 mengemukakan bahwa kecemasan merupakan yang dapat
mengganggu proses miksi. Kecemasan ini dapat timbul sendiri atau karena
pengaruh pelayanan atau sikap perawat/dokter. Dapat juga karena pebicaraan

8

pasien lain. Untuk menghilangkan masalah ini perlu konseling yang baik dan
memberikan minum teh .
2. Pengaruh mekanis.
Faktor-faktor fisik local dapat berpengaruh pada proses miksi, diantaranya
pemasangan tampon vagina, edema local, rectum yang penuh, menyebabkan
terganggunya pembukaan spingter uretra internu
3. Pengaruh refleks
Sering terjadi pada pasien postpartum, episiotomi atau paska hemoroidektomi
dimana dapat terjadi spasme muskulus levator dan spasme spingter uretra
internum maupun eksternum. Hal ini dapat dipicu oleh perasaan malu dan gugup
pasien atau adanya perasaan nyeri atau sakit di perineum. Hal ini dapat diatasi
dengan sitbath.
4. Kelainan persarafan.
Adanya neuropati dapat menyebabkan hipotonia kronis kandung kencing,
Biasanya ditemukan pada pasien diabetes, sifilis yang menyerang system saraf
pusat sclerosis multiple, juga pada kasus HNP. Untuk mengatasi hal ini
pemberian urocholine 10 mg tiga kali sehari dan dapat dinaikkan sampai
mencapai 50-75 mg tiga kali sehari1
5. Hipotonia detrusor karena obat
Oba-obat penenang yang diberikan dalam jangka panjang dapat menimbulkan
hipotonis kronik muskulus detrusor. Penghentian pemberian obat ini dapat
memulihkan proses miksi

CARA PERAWATAN
Sebagian pasien dapat mencoba miksi dengan posisi setengah berdiri, karena dengan
posisi ini spasme muskulus levator dapat dikurangi, atau dapat juga dengan kompresi
manual suprapubik secara lembut.
Kalau terdapat striktura uretra dapat dilakukan dilatasi secara pelan-pelan dan lembut.
CARA PENGANGKATAN KATETER
Sebelum kateter diangkat, diambil sample urine untuk kultur dan resistensi test.
Kemudian pada jam 7-8 pagi diberikan nitrofurantoin (macrodantin) sebanyak 50 gram 3
kali sehari atau sulfatrimetoprine atau methamin 1 gram sebanyak 3 kali sehari .
Alfaadrenergik bloker ( 10 mg Dibenzyline) diberikan peroral1
Setelah kateter diangkat harus diberikan instruksi pada perawat untuk memasangnya
kembali segera bila ada gangguan miksi, untuk menghindari kemungkinan distensi

9

berlebihan dan kandung kemih. Atau melakukan kateterisasi 2-3 kali sehari bila terdapat
residual urine 100 ml atau lebih.
Perhatian perawat harus terfokus pada factor keramahtamahan dan perhatian yang penuh
menghadapai kasus kesukaran miksi ini, terutama saat melakukan kateterisasi.
Pasien dapat diajarkan dan dilatih memasang sendiri kateter atau dilatih memasang klem
pada kateter Foley pada waktu latihan miksi
Perlu dijelaskan pada pasien bahwa kesukaran miksi bukanlah hal yang langka dan
biasanya tidak membutuhkan waktu lama untuk pulih kembali agar pasiennya menjadi
tenang.
PERAWATAN KATETER
Kandung kemih harus diberi kesempatan istirahat untuk mencapai kesembuhan yang
maksimal, yaitu dengan memasang kateter Foley, selama ini diharapkan edema dan iritasi
akan berkurang. Masa penyembuhan ini sangat bervariasi dari satu orang keorang lain
mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu.
Selama proses penyembuhan ini ginjal pasien tetap bekerja memproduksi urine yang
memerlukan penyaluran lewat kandung kemih untuk dapat dibuang keluar tubuh, yaitu
dengan menggunakan kateter Foley, sampai kandung kencing pulih sama sekali.
Setelah operasi kandung kencing dapat diklem beberapa saat untuk menimbulkan
rangsangan miksi. Bila klem dapat bertahan 2 jam dan jumlah urine yang keluar cukup ,
menandakan fungsi kandung kencing sudah pulih.
KATETER SUPRAPUBIK
Digunakan pada operasi reparasi fistula vesikovaginalis yang terlalu dekat ke “ bladder
neck”. Dimana dokter kemungkinan berusaha menempatkan jaringan baru untuk
menutupi fistula disekitar uretra atau “bladder neck” dan vagina. Untuk mempercepat
penyembuhan dapat dipasang kateter suprapubik dengan insisi kecil pada kulit abdomen
daerah suprapubik. Dengan cara ini urine dibelokkan sementara dari uretra ke kateter,
sampai dicapai kesembuhan.
Setelah hari ke 4 paska operasi dapat dimulai mel;atih kandung kemih dengan mengklem
kateter beberapa saat untu memberikan kesempatan urine terkumpul di kandung kemih
sappai pasien merasa mau berkemih, selanjutnya pasien disuruh berkemih, kalau ternyata
kemudian tidak bias berkemih klem dibuka kembali. Bila pasien sudah bias berkemih
melalui uretra, harus diukur residual urine , kalau tersisa urine 200 ml atau lebih maka
kateter dipertahankan 1-2 hari lagi, kemudian kateter dapat diangkat pada hari ke 3
dengan tetap mengukur residual urine, kalau masih 200 ml atau lebih, kateter
dipertahankan lagi 1-2 hari. Kalau urine tersisa kuang dai 200 ml, maka kateter dapat
dicabut, lobang bekas kateter pada dinding perut dan dinding vesika tidak perlu dijahit,
akan dapat menutup sendiri. Kadang-kadang masih ada urine menetes, sehingga masih
perlu ditutupi gas.

10

Bila pasien belum pernah dapat estrogen (sebagai HRT), maka pemberian estrogen paska
operasi dapat menimbulkan hiperemia dan edema pada “ bladder neck” yang dapat
menyebabkan penyumbatan temporer pada uretra.
Faktor lain yang ikut berperanan adalah foktor motivasi dari pasien sendiri. Pasien
dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi dapat dengan cepat mengatasi hal ini, dan
akan terjadi sebaliknya pada pasien dengan dengan kepercayaan diri kurang
Karena itu pendekatan psikologis juga sangat diperlukan untuk mengatasinya.
RUJUKAN
1. Nichols DH, Randall CL. Vaginal Surgery, 3rd edition Baltimore, MA: Williams &
Wilkins, 1983: 125-139
2. Sheth S S, Studd D, Vaginal Hysterectomy. London, Martin Dunitz, 2002, 15-28
3. Hunt TK, Erlich HP, Garcia JA, et al. Effect of vitamin A onreversingthe inhibitory
effect of cortison on healing of open wounds in animals and man, Ann surgery 1969,
170 : 633-640
4. Leventhal A, Pfau A. Pharmacologic management of postoperative overdistention of
the bladder. Surg Gynecol Obstet 1978 , 146: 347-348
5. Turner GM, Cole SE, Brooks JH. The efficacy of graduated compression stocking in
prevention of deep vein thrombosis after mayor gynecological surgery. Br.Obstet
Gynecol 1984, 91 : 588-591
6. Clarke- Pearson DL, Le Long ER,Sinan IS et al. Complication of low dose heparin
prophylaxis in gynaecologic oncology surgery Obstet Gynecol 1984, 64:689-694.
7. Jackson P, Ridley WJ. Simplufied antibiotic prophylaxis for vaginal hysterectomy,
Aust NZ J Obstet Gynecol, 1979, 19:225-227.
8. Polivy J. Psychological reaction to hysterectomy: A critical review, Am J Obstet
Gynecol, 1974, 118:417-426.
9. Bidmead J, Cardozo l. Preparation for surgery In :Textbook of Female Urology and
Urogynaecology, Editor Cardozo L,Staskin D. Martin Dunitz. London 2002. 470-477
10. Alexander JW, Fischer JE, Boyajian M et al. The influence of hair removal methode
on wound infections Arch Surg, 1983, 118:347-352.
11. Burke JF. Use of preventive antibiotic in clinical surgery. Am Srg 1973, 39: 6-11.
12. Polk BF, Shapiro M, Goldstein P. et al . Randomize clinical trial of perioperative
Cefazoline in preventing infection after hysterectomy. Lancet 1980, 1:437-440
13. Von Peham H, Amreich J. Operative gynecology, Philadelphia, JB Lippincout. 1984
14. Jeffcoate TNA. Principles of Gynecology. New York, Appleton-Century Crofts 1967

11