Rumah Kopi dan Pemberantasan Korupsi Di

RUMAH KOPI DAN KORUPSI DI INDONESIA 1

(Sebuah kajian teoritik)

Hafis Muaddab 2

1 Disusun dalam rangka mengikuti Lomba KTI untuk SMU/SMK/Guru dan Umum dalam memperingati hari Hak Untuk Tahu 2012 dan Hari Anti Korupsi Se- Dunia 2012 yang diadakan

oleh Lembaga Survey dan Riset Indonesia Wirosobo Institute 2 Alumnus Pendidikan Ekonomi Akuntansi Universitas Negeri Surabaya yang sekarang berprofesi sebagai pengajar akuntansi dan perbankan syariah di SMKN 1 Jombang Contact person : HP. 081359155887 Facebook.com/hafismuaddab, Twitter: @hafismuaddab Address

: Desa Pesantren 141 RT 04 RW 01 Tembelang Jombang 61452

Email : hafis.muaddab@gmail.com Website

: http://hafismuaddab.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, Majelis Umum PBB akhirnya menerima United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), yang disahkan melalui Konferensi Tingkat Tinggi tanggal 9-11 Desember 2003 di Merida, Mexico berdasarkan Resolusi Nomor 57/169. United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) mencatat, 140 negara pihak telah menandatangani konvensi, dan 103 diantaranya telah meratifikasi pada hukum positif yang berlaku di masing-masing negara pihak. Kelahiran UNCAC tidak dapat dipisahkan dari kecemasan dunia Internasional terhadap efek dan potensi negatif korupsi. Seperti yang diungkapkan Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, korupsi telah melukai dan menyakiti kaum miskin melalui ketidak-proporsionalan/ketimpangan alokasi pendanaan, menurunkan kemampuan pemerintah untuk melakukan pelayanan mendasar terhadap warga negaranya, menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan, serta berpengaruh buruk terhadap investasi dan dana bantuan luar negeri.

Dalam kacamata global, selain menghambat investasi, korupsi itu sendiri adalah hambatan terbesar untuk merealisasikan keseimbangan pendapatan, kesejahteraan, akses pendidikan bahkan pemberantasan kemiskinan.Salah satu faktor terpenting adalah saat arus uang dan pola-pola korupsi ternyata telah menembus sekat-sekat kedaulatan negara. Hal ini menjadi masalah krusial jika di masing-masing negara terdapat standar hukum yang berbeda, bahkan seringkali bertolak belakang dalam hal perlawanan terhadap korupsi. Bukan tidak mungkin sebuah perbuatan yang di satu negara diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, ternyata dinilai sebaliknya di negara lain. Dalam posisi Indonesia sebagai salah satu negara pihak UNCAC, Indonesia terikat dengankonvensi, tepatnya sejak 19 September 2006 ketika Indonesia meratifikasi UNCAC melalui Undang- Undang Nomor 7 tahun 2006 (UU 7/2006) tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Meskipun secara tegas mereservasi Pasal

66 ayat (2) 3, penandatanganan dan ratifikasi sekaligus adalah penegasan Indonesia sebagai bagian dari kerjasama Internasional dalam perlawanan terhadap korupsi.

Tak kurang, Transparency International pun setiap tahunnya menjajak pendapat masyarakat Indonesia mengenai eksistensi korupsi, terutama menyangkut kegiatan komersial, dengan mengukur Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Dalam tahun 2012 Indonesia masih menempati kelompok negara- negara terkorup di dunia. Corruption Perception Index (CPI) tahun 2012 menempatkan Indonesia pada peringkat 118 dari 176 negara. Hal lain ditunjukkan oleh Indeks Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2010. Menurut GCB 2010, sebagian responden menyatakan pernah melakukan pembayaran suap. Angkanya mencapai 18 persen. Semakin tinggi indeks di suatu institusi, maka institusi tersebut kian dipersepsikan terkorup. Indeks GCB memberikan skor tertinggi dengan nilai indeks 3,6 untuk lembaga legislatif, disusul lembaga kepolisian dan partai politik dengan indeks 3,5. Yudikatif diganjar indeks 3,3, disusul pejabat eksekutif (3,2). Di dunia bisnis internasional, dikenal peringkat Ease of Doing Business atau peringkat kemudahan berusaha di negara-negara tertentu yang dikeluarkan oleh World Bank.Salah satu indikatornya adalah nilai Starting Business yang menyangkut penilaian memulai usaha. Pada saat ini, Indonesia berada pada peringkat 129 dalam peringkat Ease of Doing Business, sementara berada pada peringkat 155 untuk Starting Business dari 183 negara. Implikasi perilaku penyuapan dan tindak korupsi lainnya terkait dengan perizinan dan pelaksanaan kegiatan usaha merupakan salah satu hambatan besar dalam berkembangnya investasi dan kegiatan bisnis di Indonesia.

Survei terbaru yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan bahwa tiga negara, Indonesia, India, dan Filipina adalah negara dengan performa birokrasi yang paling buruk di Asia. Sedang Singapura dan Hong Kong adalah yang paling efisien. PERC menilai buruknya kinerja birokrasi di ketiga negara ini tidak hanya perlakuan terhadap warga negaranya sendiri, tetapi juga asing. Tidak efisiennya birokrasi ini dianggap sebagai faktor yang masuk menghalangi investasi asing masuk ke negara tersebut. Dalam peringkat PERC ini, Indonesia menempati posisi nomor dua terburuk di

Asia setelah India. Dalam standar angka 1 terbaik sampai 10 terburuk, India teratas dengan skor 9,41, diikuti oleh Indonesia (8,59), Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan Cina (7,93). Malaysia di tempat keenam dari bawah dengan skor 6,97, diikuti oleh Taiwan (6,60), Jepang (6,57), Korea Selatan (6,13), dan Thailand (5,53). Singapura menduduki peringkat telah memiliki birokrasi yang paling efisien, dengan skor 2,53, diikuti oleh Hong Kong dengan 3,49 (Republika, 3 Juni 2010).

Survei Integritas sendiri yang dilakukan oleh KPK pada 2011 menyebutkan, skor rata-rata Integritas Sektor Publik Indonesia mencapai 6,31. Skor tersebut relatif rendah manakala dibandingkan dengan negara lain, meskipun bagi Indonesia merupakan peningkatan dari basis penghitungan di tahun 2007 dengan skor sebesar 5,53. Dari survei tersebut dapat ditarik benang merah, kurang maksimalnya mutu birokrasi dan penegakan hukum yang disertai dengan lemahnya mekanisme pemberian izin dan pengawasan atas penerimaan negara dari pajak, merupakan akar masalah korupsi. Celakanya, reformasi manajemen keuangan negara, terutama dalam hal perencanaan dan penganggaran pembangunan, belum juga kunjung tuntas. Semua ini merupakan permasalahan sistemik yang harus dapat dicegah melalui kerja keras penyempurnaan sistem dan kelembagaan. Sebab dalam kurun lima tahun terakhir, tidak sedikit kasus korupsi yang menyangkut penyelenggara negara diproses hingga ke tingkat peradilan. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak 2004-2011, Presiden telah menandatangani izin pemeriksaan tipikor atas setidaknya 168 Gubernur dan Bupati/Walikota yang tersangkut perkara korupsi. Meski selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).

Fakta - fakta tersebut menunjukkan, belum ada formula jitu untuk menghilangkan korupsi di Indonesia. Di tengah korupsi dan menggurita di

Indonesia, pemerintah memang telah melakukan berbagai langkah untuk melakukan pencegahan serta penindakan terhadap praktik korupsi, layaknya pendirian lembaga negara bantu; KPK, pendirian pengadilan tindak pidana korupsi atau tipikor, adanya kebijakan renumerasi, reformasi pengelolaan keuangan, penguatan lembaga-lembaga keuangan, penguatan kerjasama antara Polri, KPK, dan beragam NGO, hingga memasukan pendidikan anti korupsi ke kurikulum pendidikan formal. Tetapi pada kenyataannya, langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah masih jauh dari harapan. Minimnya kesadaran dari para penyelenggara negara untuk melawan korupsi, sebagaimana telah ditunjukan dalam data dari KPK sebelum ini, lantas minimnya figur-figur inspiratif yang lantang menyuarakan anti korupsi, serta minimnya kontrol dari masyarakat secara langsung. Mungkin ketiga faktor inilah yang menjadi alasan mengapa indeks korupsi di Indonesia sulit untuk melejit.

Agar upaya pemberantasan korupsi bisa optimal dalam konteks strategi pencegahan, merangkul sektor swasta dan masyarakat wajib dilaksanakan oleh aparat pemerintah sebagai penyedia pelayanan umum. Artinya, ketiga pilar pemberantasan korupsi itu (pemerintah, masyarakat dan swasta) harus secara sadar membangun komitmen bersama bagi pencegahan korupsi. Mempersempit peluang terjadinya tindak pidana korupsi pada tata-kepemerintahan dan masyarakat menyangkut pelayanan publik maupun penanganan perkara yang bersih dari korupsi. Sekaligus m emperkuat setiap individu dalam mengambil keputusan yang etis dan berintegritas, selain juga untuk menciptakan budaya zero tolerance terhadap korupsi. Masyarakat diharapkan menjadi pelaku aktif pencegahan dan pemberantasan korupsi sehingga mampu mempengaruhi keputusan yang etis dan berintegritas di lingkungannya, lebih luas dari dirinya sendiri.

Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2012 sebesar 3,55 dari skala 5, tentunya dapat menjadi bukti yang menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia cenderung anti korupsi. (Catatan: nilai indeks 0–1,25 sangat permisif terhadap korupsi, 1,26–2,50 permisif, 2,51–3,75 anti korupsi, 3,76–5,00 sangat anti korupsi). Persoalannya, masih terbatasnya ruang publik untuk melakukan integritas ideologis dalam penyikapan korupsi yang berlangsung saat ini. Padahal

Antonio Gramsci dalam menganggap hal tersebut sebagai prasyarat penting dalam pembentukan kehendak umum secara kolektif.

Ruang publik merupakan domain kehidupan sosial dimana pendapat publik dapat dibentuk dan akses untuk semua warga negara terjamin. Ruang publik ini digunakan oleh individu-individu pribadi untuk berkumpul, berbicara, dan membentuk sebuah badan publik yang di dalamnya tidak berperilaku sebagai pengusaha atau professional yang sedang melakukan bisnis pribadinya dan juga tidak berperilaku sebagai pejabat dari birokrasi negara. Sebagai badan publik semua individu dijamin untuk memiliki kebebasan berkumpul, berorganisasi, berekspresi atau mempublikasikan pandangannya tentang kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat rasa kebersamaan, solidaritas, dan kesamaan.

Dalam konteks ini, hal yang paling mendesak untuk direalisasikan dalam rangka pencegahan korupsi adalah kontrol dari masyarakat secara nyata dan langsung, dimana melalui kontrol langsung dari masyarakat, administrasi publik akan mendapatkan tekanan besar dan mampu didesak untuk melakukan perubahan secara radikal. Meskipun harus diakui bahwa kedua faktor lain; faktor kesadaran dan figur, juga memiliki andil besar dalam mencegah korupsi terus terulang, tetapi secara tekanan politik, kedua faktor tersebut tidaklah mampu menyaingi kontrol langsung dari masyarakat. Pada titik ini, kedua faktor tersebut mampu menjadi faktor sekunder yang akan membantu berjalannya faktor primer: kontrol dari masyarakat, dalam mencegah praktik korupsi semakin menjadi. Atas dasar pemikiran ini, konsep korupsi dan rumah kopi ingin dinegasikan secara jelas peran pentingnya ruang publik dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Membangun peran rumah kopi yang bukan sekadar tempat santai dan menghabiskan hari. Tapi membangun rumah kopi yang penuh dinamika, ada perkenalan, serta kaderisasi pemberantasan korupsi di kalangan semua yang hadir. Mungkin kedengarannya aneh. Tapi rumah kopi adalah sebuah ruang sosial yang egaliter di mana setiap orang memiliki posisi yang sama. Di situlah banyak orang saling kenal, diskusi, kemudian berbagi pendapat. Rumah kopi sebagai zona integritas (zero zone tolerance) terhadap korupsi sebagai bagian membangun masyarakat yang peduli terhadap pemberantasan korupsi.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok bahasan dalam karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

1. Bagaimana karakter sosial budaya masyarakat Indonesia dalam konteks kekinian ?

2. Bagaimana peran rumah kopi sebagai ruang publik pemberantasan korupsi ?

3. Bagaimana permodelan rumah kopi sebagai ruang publik dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi ?

C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

1. Mengetahui karakter sosial budaya masyarakat Indonesia dalam konteks kekinian

2. Mengetahui peran rumah kopi sebagai ruang publik pemberantasan korupsi

3. Mengetahui permodelan rumah kopi sebagai ruang publik dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan melalui penulisan karya tulis ilmiah ini adalah tentang:

1. Memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan gerakan pemberantasan korupsi dalam konteks politik demokrasi di Indonesia

2. Memberikan alternatif model pemberantasan korupsi untuk mewujudkan konsep partisipasi dan akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Korupsi Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).

Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.Di Malaysia terdapat peraturan anti korupsi, dipakai kata “resuah” berasal dari bahasa Arab “risywah”, menurut Kamus umum Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Andi Hamzah: 2002). Risywah (suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan (al-Misbah al-Munir–al Fayumi, al-Muhalla–Ibnu Hazm). Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa Nash Qur’aniyah dan Sunnah Nabawiyah yang antara lain menyatakan: ”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42). Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah.

Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh AllahSWT.Jadi diharamkan mencari suap, menyuap dan menerima suap.Begitu juga mediatorantara penyuap dan yang disuap.Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang.Namun orang yang menerima suap tetap berdosa (Kasyful Qona’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”(S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978). Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976).

Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;

2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan

3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara (Subekti dan Tjitrosoedibio : 1973).

Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti: 2008).

Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional. Adapun bentuk-bentuk korupsi yang diambil dari Buku

Saku yang dikeluarkan oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK : 2006):

No. Bentuk

Perbuatan Korupsi

1. Kerugian Keuangan • Secara melawan hukum melakukan Negara

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;

• Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,

menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada.

2. Suap Menyuap

 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara

.... dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;

 Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara .... karena atau

berhubungan dengan kewajiban, dilakukan

atau tidak dilakukan dalam jabatannya;  Memberi hadiah atau janji kepada

Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah/janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut;

 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau

janji;

 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakan agar melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah

tersebut diberikan sebagai akibat atau

disebabkan karena telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena

No. Bentuk Perbuatan Korupsi kekuasaan atau kewenangan yang berhubung-an dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;  Memberi atau menjanjikan sesuatu

kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara;

 Memberi atau menjanjikan sesuatu

kepada advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara;

 Hakim yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

mempengaruhi putusan perkara

3. Penggelapan dalam  Pegawai negeri atau orang selain pegawai Jabatan

negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus

atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan karena

jabatannya, atau uang/surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;

 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja

memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan

adminstrasi;  Pegawai negeri atau orang selain pegawai

negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja

menggelapkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;

 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu

jabatan umum secara terus menerus atau

No. Bentuk Perbuatan Korupsi

untuk sementara waktu, dengan sengaja

membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu

jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja

membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

4. Pemerasan

 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri

sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;  Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;  Pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima atau memotong pembayaran kepada Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

5. Perbuatan Curang

 Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan

bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

 Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan

No. Bentuk Perbuatan Korupsi

bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang;

Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;

 Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI atau

Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.

6. Benturan

Pegawai negeri atau penyelenggara 12egara baik Kepentingan Dalam langsung maupun tidak langsung dengan sengaja

Pengadaan

turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7. Gratifikasi

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

B. Dasar Hukum dan Pendekatan Melawan Korupsi

Berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh pemerintah sejak kemerdekaan, baik dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada maupun dengan membentuk peraturan perundang-undangan baru yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Di antara peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi adalah:

1. Delik korupsi dalam KUHP.

2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/ Peperpu/013/1950.

3. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

4. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

7. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

8. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

9. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

10. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

11. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

12. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Sejauh gerakan melawan korupsi dijalankan di berbagai belahan dunia, bisa diidentifikasi 4 (empat) pendekatan yang paling banyak diadopsi oleh berbagai kalangan (Wijayanto, 2010) yaitu:

1. Pendekatan Pengacara (Lawyer approach)

Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah memberantas dan mencegah korupsi melalui penegakan hukum, dengan aturan-aturan hukum yang berpotensi menutup celah-celah tindak koruptif serta aparat hukum yang lebih bertanggungjawab.Pendekatan ini biasanya berdampak cepat (quick impact) berupa pembongkaran kasus dan penangkapan para koruptor, namun memerlukan biaya besar (high costly), meskipun di Indonesia misalnya, tantangan terbesar justru berasal dari para aparat hukum (kepolisian dan pengadilan) itu sendiri.

2. Pendekatan Bisnis (Business approach)

Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah mencegah terjadinya korupsi melalui pemberian insentif bagi karyawan melalui kompetisi dalam kinerja.Dengan kompetisi yang sehat dan insentif yang optimal maka Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah mencegah terjadinya korupsi melalui pemberian insentif bagi karyawan melalui kompetisi dalam kinerja.Dengan kompetisi yang sehat dan insentif yang optimal maka

3. Pendekatan Pasar atau Ekonomi (Market or Economist approach)

Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah menciptakan kompetisi antar agen (sesama pegawai pemerintah misalnya) dan sesama klien sehingga semua berlomba menunjukkan kinerja yang baik (tidak korup) supaya dipilih pelayanannya.

4. Pendekatan Budaya (Cultural approach)

Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah membangun dan memperkuat sikap anti-korupsi individu melalui pendidikan dalam berbagai cara dan bentuk. Pendekatan ini cenderung membutuhkan waktu yang lama untuk melihat keberhasilannya, biaya tidak besar (low costly), namun hasilnya akan berdampak jangka panjang (long lasting).

Keempat pendekatan diatas dapat dilakukan oleh pihak manapun baik dari sektor pemerintah, sektor swasta, organisasi maupun unit-unit masyarakat lainnya.Selama ini tiga pendekatan pertama yaitu pendekatan hukum, pendekatan bisnis dan pendekatan pasar lebih banyak diterapkan karena dianggap paling tepat untuk menangani kasus-kasus korupsi yang sudah terjadi dan mencegah korupsi selanjutnya. Tetapi di Indonesia misalnya, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat pemerintah sudah berhasil menuntaskan berbagai kasus korupsi besar, berbagai instansi sudah melakukan upaya hukum dan lingkungan kerja yang lebih berintegritas, kenyataannya masih saja banyak terjadi kasus- kasus korupsi. Lebih memprihatinkan adalah begitu mudahnya korupsi skala kecil (petty corruption) dilakukan oleh individu-individu di dalam masyarakat, karena sesungguhnya korupsi besar berasal dari korupsi kecil.

Disinilah perhatian terhadap pentingnya pendekatan budaya (cultural approach) mulai menguat.Pendidikan formal maupun non formal akhirnya menjadi pilihan.Secara umum, pendidikan ditujukan untuk membangun kembali pemahaman yang benar dari masyarakat mengenai korupsi, meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap segala potensi tindak koruptif yang terjadi, tidak melakukan tindak korupsi sekecil apapun, dan berani menentang tindak korupsi Disinilah perhatian terhadap pentingnya pendekatan budaya (cultural approach) mulai menguat.Pendidikan formal maupun non formal akhirnya menjadi pilihan.Secara umum, pendidikan ditujukan untuk membangun kembali pemahaman yang benar dari masyarakat mengenai korupsi, meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap segala potensi tindak koruptif yang terjadi, tidak melakukan tindak korupsi sekecil apapun, dan berani menentang tindak korupsi

C. Piranti Anti Korupsi Beragam peranti antikorupsi yang dapat diadopsi oleh lembaga negara, maupun Pemda, sebagaimana dicantumkan dalam Strategi Nasional Penanganan Korupsi Nasional.Daftar ini tidak membatasi diadopsinya peranti anti korupsi lainnya yang sesuai dengan situasi dan kondisi serta Pemda dalam upaya percepatan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

1. Asesmen profil, di dalamnya, pelaksanaan rekrutmen, mutasi, dan promosi yang ditempuh berdasarkan kompetensi dan integritas dalam rangka meningkatkan mutu sumberdaya manusia.

2. Citizen’s charter, yaitu itikad menetapkan komitmen atas layanan publik yang disediakan oleh institusi bersangkutan dengan cara merespons terhadap tanggapan dan masukan masyarakat.

3. Kode etik, merupakan pedoman yang memuat ketentuan-ketentuan yang menunjukkan komitmen institusi bersangkutan dalam memberantas korupsi.

4. Mekanisme kontrol sosial, dengan adanya mekanisme yang mengedepankan partisipasi masyarakat, pemerintah dapat didorong untuk bekerja secara lebih efisien, baik dalam konteks waktu maupun biaya.

5. Mekanisme pelaksanaan keterbukaan informasi, memberikan jalur akses dokumen-dokumen, kecuali yang dirahasiakan, agar masyarakat dapat turut mengawasi kerja dan kinerja pemerintah.

6. Mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara transparan, bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas instansi bersangkutan dalam pelayanan publik atau penegakan hukum.

7. Mobilisasi masyarakat sipil melalui edukasi dan peningkatan kesadaran

masyarakat, dengan cara mendiseminasi perilaku yang diharapkan datang dari pemerintah (pada umumnya) atau pejabat (pada khususnya) dalam rangka meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan publik.

8. Pakta integritas, merupakan suatu pakta formal yang berisi komitmen untuk melaksanakan tugas, fungsi, tanggung jawab, wewenang, dan peran sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesanggupan untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pakta integritas juga dapat diimplementasikan dalam proses pengadaan barang/jasa dengan kontraktor dan pihak-pihak terkait.

9. Pengaturan konflik kepentingan, di mana pejabat bukan hanya diwajibkan untuk mengungkap kepentingan pribadinya ketika timbul konflik kepentingan, melainkan juga harus memastikan bahwa tindakan yang diambilnya memang untuk meniadakan konflik tersebut. Absennya konflik kepentingan juga dapat menjadi prasyarat bagi pengisian jabatan tertentu.

10. Penggunaan insentif positif untuk memperbaiki budaya dan motivasi pegawai, antara lain ditempuh dengan cara meningkatkan remunerasi/kompensasi. Selain itu bisa juga dengan memperbaiki status profesional, ketahanan lahan pekerjaan (job security), dan kondisi kerja. Secara umum, insentif positif dapat mencegah dan memberantas korupsi.

11. Penguatan lembaga yudisial, melalui peningkatan kompetensi, profesionalisme, dan integritas hakim amat penting untuk memberantas korupsi. Caranya, antara lain dengan: pelatihan hakim, implementasi kode etik hakim, transparansi proses persidangan, transparansi harta dan penghasilan hakim, serta pengaturan penugasan hakim pada kasus korupsi sedemikian rupa sehingga sulitbagi pihak luar memprediksi atau memengaruhi hakim mana yang akan ditempatkan untuk suatu kasus tertentu.

12. Penguatan Pemda, sejumlah elemen strategi antikorupsi direncanakan di level Pusat, namun agar efektif, diperlukan implementasi di Daerah. Ada pula elemen anti korupsi yang, baik perencanaan maupun implementasinya, sepenuhnya diselenggarakan di Daerah. Peranti ini, dengan demikian, selain penting untuk membantu perencanaan dan pembuatan keputusan yang cocok dengan kebutuhan di Daerah terkait, sekaligus juga dapat memfasilitasi integrasi perangkat yang digunakan di tingkat Daerah secara vertikal (dengan program nasional) maupun horisontal (dengan program daerah lain).

Perangkat ini pun dapat juga dimanfaatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di Daerah.

13. Pengurangan kompleksitas prosedural, adalah penataan-ulang administrasi dengan tujuan memangkas prosedur administratif dan penjelasan wewenang. Selain agar dapat mempersempit peluang bagi terjadinya korupsi, hal ini bertujuan pula untuk meningkatkan transparansi, integritas, pelayanan, serta mengurangi biaya.

14. Perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator, penting untuk mendorong pengungkapan tipikor.

15. Proses pelayanan publik dan pengadaan barang/jasa berbasis TI, akan memperkecil interaksi antar manusia yang ujung-ujungnya mempersempit peluang terjadinya tipikor.

16. Transparansi serta penyingkapan aset dan penghasilan, pelaksanaannya dilakukan secara efektif agar menjadi pintu masuk bagi penerapan aturan mengenai perolehan harta kekayaan pejabat publik yang tidak wajar.

17. Uji Integritas, dilakukan secara mendadak dengan mengondisikan suatu situasi tertentu tempat pegawai yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk melakukan tipikor. Melaluinya, dapat dimungkinkan untuk tahu apakah seorang pegawai negeri sipil atau unit pemerintah terlibat praktik korupsi atau tidak. Uji integritas juga bertujuan untuk meningkatkan risiko tertangkapnya pelaku agar menimbulkan efek deteren.

D. Ruang Publik dan Gerakan Sosial Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan- kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warga negara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah D. Ruang Publik dan Gerakan Sosial Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan- kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warga negara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah

Habermas (1989) juga menunjukkan bagaimana rumah-rumah kopi Inggris dan Prancis segera salon menjadi platform di mana informasi ini baru muncul bersama kelas tentang perdagangan, politik dan gaya hidup baru mereka. Kemudian, surat kabar menjadi aspek sentral dari kegiatan ini dari segi pertimbangan politik dan isu-isu penting lainnya. Awal surat kabar sering dibaca dalam kelompok-kelompok di rumah-rumah kopi dan salon di Inggris, Jerman dan Perancis.

Rumah kopi dan salon menandai genesis dari 'ruang publik' sedangkan datangnya dari media cetak dan elektronik berarti pembesaran lebih lanjut lingkup dan luasnya. Sejak delineasi Habermas tentang ranah publik borjuis, konsep ini telah menjadi sentral dalam teori sosial, budaya dan kritis, terutama dalam mengarahkan pemikiran politik tentang peran lembaga-lembaga demokratis seperti parlemen, media dan masyarakat sipil (lihat Garnham 1992, 2002).Dalam masyarakat modern, institusi media, masyarakat sipil dan perguruan tinggi telah datang untuk secara normatif dianggap sebagai ruang publik dimana konsep tersebut digunakan terutama untuk evaluasi kinerja khususnya yang berkaitan dengan fungsi politik mereka dan kewajiban demokratis yang harus dilakukan dengan debat publik.

Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, Pluralitas (keluarga, kelompok- kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Jadi dapat di tarik kesimpulan bahwa ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik di tengah-tengah masyarakat warga. Tidak ada yang dapat membatasi ruang publik, ruang publik ada di mana saja. Di mana ada masyarakat yang duduk berkumpul bersama dan berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, Pluralitas (keluarga, kelompok- kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Jadi dapat di tarik kesimpulan bahwa ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik di tengah-tengah masyarakat warga. Tidak ada yang dapat membatasi ruang publik, ruang publik ada di mana saja. Di mana ada masyarakat yang duduk berkumpul bersama dan berdiskusi tentang tema-tema yang relevan,

Sejalan dengan pandangan Habermas, Holub menambahkan bahwa "ruang publik adalah sebuah dunia di mana individu berkumpul untuk berpartisipasi dalam diskusi terbuka. Berpotensi, setiap orang memiliki akses ke sana. Tidak ada yang masuk dalam wacana ... dengan keunggulan di atas yang lain '(Holub 1991:3). Konsep ruang publik menggarisbawahi empat poin penting tentang ruang publik yang ideal dan ini adalah partisipasi, non-diskriminasi, otonomi dan wacana kritis rasional.

1. Partisipasi dan non diskriminasi: ini berarti bahwa ruang publik harus menjadi sebuah forum terbuka untuk semua. Jika ada, lingkup publik harus berkembang dari pluralitas dan keragaman pendapat sehingga menciptakan pasar ide.

2. Otonomi: sebuah ruang publik harus otonom karena lingkungan otonom kondusif bagi perdebatan kritis dan rasional, di mana orang dapat mempekerjakan penuh penggunaan kemampuan mental mereka tanpa rasa takut dan nikmat.

3. Debat Rasional atau analitis: ini adalah inti dan esensi ruang publik. Menurut Habermas, orang-orang di rumah-rumah kopi dan salon telah setia pada 'otoritas argumen yang lebih baik terhadap hirarki' (Habermas 1989: 36). Ketakutan dan mendukung dipandang sebagai penghinaan terhadap rasionalitas dan analisis yang merupakan urat dari ruang publik fungsional.

Berdasarkan pelingkupannya (Carmona, et al : 2003, p.111), ruang publik dapat dibagi menjadi beberapa tipologi antara lain :  External public space. Ruang publik jenis ini biasanya berbentuk ruang luar

yang dapat diakses oleh semua orang (publik) seperti taman kota, alun-alun, jalur pejalan kaki, dan lain sebagainya.

 Internal public space. Ruang publik jenis ini berupa fasilitas umum yang dikelola pemerintah dan dapat diakses oleh warga secara bebas tanpa ada batasan tertentu, seperti kantor pos, kantor polisi, rumah sakit dan pusat

pelayanan warga lainnya.  External and internal “quasi” public space. Ruang publik jenis ini berupa

fasilitas umum yang biasanya dikelola oleh sektor privat dan ada batasan atau aturan yang harus dipatuhi warga, seperti mall, diskotik, restoran dan lain sebagainya.

Berdasarkan fungsinya secara umum dapat dibagi menjadi beberapa tipologi (Carmona, et al : 2008, p.62), antara lain :

 Positive space. Ruang ini berupa ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif dan biasanya dikelola oleh pemerintah. Bentuk dari ruang ini antara lain ruang alami/semi alami, ruang publik dan ruang terbuka publik.

 Negative space. Ruang ini berupa ruang publik yang tidak dapat dimanfaatkan bagi kegiatan publik secara optimal karena memiliki fungsi

yang tidak sesuai dengan kenyamanan dan keamanan aktivitas sosial serta kondisinya yang tidak dikelola dengan baik. Bentuk dari ruang ini antara lain ruang pergerakan, ruang servis dan ruang-ruang yang ditinggalkan karena kurang baiknya proses perencanaan.  Ambiguous space. Ruang ini adalah ruang yang dipergunakan untuk aktivitas peralihan dari kegiatan utama warga yang biasanya berbentuk seperti ruang bersantai di pertokoan, café, rumah peribadatan, ruang rekreasi, dan lain sebagainya.  Private space. Ruang ini berupa ruang yang dimiliki secara privat oleh warga

yang biasanya berbentuk ruang terbuka privat, halaman rumah dan ruang di dalam bangunan.

Gerakan sosial adalah gerakan suatu organisasi atau kelompok orang yang bermaksud mengadakan perubahan terhadap struktur sosial yang ada, serta untuk membangun kehidupan baru yang lebih baik. Dan gerakan sosial menurut Sosiologi sendiri adalah aktifitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan Gerakan sosial adalah gerakan suatu organisasi atau kelompok orang yang bermaksud mengadakan perubahan terhadap struktur sosial yang ada, serta untuk membangun kehidupan baru yang lebih baik. Dan gerakan sosial menurut Sosiologi sendiri adalah aktifitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan

Dalam konteks ini, konsepsi ruang publik secara umum digunakan untuk menandai dunia yang terbuka akan wacana dan debat publik yang rasional, sebuah dunia yang secara konseptual berkaitan dengan proses demokratis dan individu dapat secara bebas mendiskusikan isu sehari-hari yang merupakan perhatian bersama. Perkembangan ruang publik yang sangat pesat memunculkan berbagai gerakan-gerakan yang diciptakan dan di bangun oleh masyarakat karena masyarakat memiliki opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan- kebutuhan di dalamnya. Gerakan sosial yang ada di ruang publik dapat berbentuk demo, membentuk opini, membangun solidaritas, media perlawan semu bagi orang-orang yang kalah, gerakan berempati, gerakan kebersamaan dan lain-lain.

BAB III PEMBAHASAN

A. Karakter Sosial Budaya Masyarakat Indonesia

Beberapa jurnal dan kajian yang menjadi referensi mengenai karakter sosial budaya masyarakat Indonesia, kami peroleh dari teori nilai kultur Schwartz (Schwartz, 1999) dan teori dimensi kultur GLOBE (House, Hanges, & Ruiz- Quintanilla, 2002). Studi terbaru dari Royston, 2011 tentang key opinion leader mengemukakan keterangan bahwa bangsa Indonesia cenderung masih dipengaruhi oleh pendapat ulama dan pemimpin budaya. Tren yang terjadi di Indonesia saat ini dikenal dengan nama spiritual economics, yaitu kombinasi kebangkitan etika religious dan business management knowledge dimana ilustrasi spiritual economies diinterpretasikan sebagai reformasi ekonomi dan kebangkitan semangat wirausaha dilakukan dalam dasar spiritual dan religious.

Salah satu entitas terawal yang muncul adalah Manajemen Qalbu yang dimiliki oleh Ustadz Aa Gym, dan ESQ yang dimiliki oleh Ary Ginanjar. Semangat kebangkitan ekonomi dan kewirausahaan ini lalu diikuti dengan tren munculnya Baitul Maal wa Tamwil pada awal tahun 2002 sebagai lembaga keuangan non bank yang memberikan pinjaman produktif bagi micropreneurs. Dalam sebuah studi mengenai lembaga keuangan mikro, dikatakan bahwa budaya tanggung renteng (community collateral) adalah salah satu faktor kesuksesan peningkatan pinjaman mikro dan kecil bagi pengusaha, yang mana peran budaya gotong royong, konformitas terhadap lingkungannya dan solidaritas grup sangat berperan dalam pembentukan karakter ekonomi bangsa. Berangkat dari studi ini maka peran budaya gotong royong, konformitas terhadap lingkungannya dan solidaritas grup perlu dimaksimalkan sebagai modal sosial dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kepatuhan masyarakat Indonesia terhadap pemimpin dan tokoh agama juga merupakan kunci strategi pengembangan kepedulian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Contoh yang paling mudah diingat terkait dengan perilaku beragama dan kepatuhan pada ulama ditunjukkan waktu isu Kepatuhan masyarakat Indonesia terhadap pemimpin dan tokoh agama juga merupakan kunci strategi pengembangan kepedulian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Contoh yang paling mudah diingat terkait dengan perilaku beragama dan kepatuhan pada ulama ditunjukkan waktu isu

Riset tentang karakter budaya yang dilakukan oleh GLOBE, (House R., 2004), merumuskan Sembilan dimensi budaya yang diukur dari 62 negara. Dimensi tersebut adalah:

1. Group/Family collectivism: Tingkatan dimana individual mengekspresikan harga diri, kesetiaan, dan ikatan (cohesiveness) dalam organisasi mereka.

2. Power Distance: Tingkatan dimana setiap anggota dari suatu kumpulan mengharapkan agar kekuasaan didistribusikan secara seimbang (equal).

3. Humane Orientation: Dimensi yang mana setiap individual dari sebuah kelompok menghargai nilai-nilai kebaikan seperti keadilan, tolong menolong, pertemanan, kedermawanan, dan kepedulian.

4. Uncertainty avoidance: Dimensi dimana sebuah kelompok bergantung pada nilai sosial, aturan, dan prosedur untuk menghilangkan atau memperjelas ketidakpastian masa depan.

5. Institutional collectivism: Ukuran dimana praktek penghargaan terhadap pemerataan pendapatan dan tanggung jawab serta aksi kebersamaan dihargai dan difasilitasi oleh institusi yang ada.

6. Future orientation: Tingkatan dimana individu dalam organisasi terlibat dalam perilaku yang mengedepankan nilai-nilai masa datang.

7. Performance orientation: Tingkatan dimana sebuah organisasi menghargai anggotanya karena kesuksesan performa.

8. Assertiveness: Dimensi dimana individual dalam organisasi menunjukkan dan menerima perilaku asertif, konfrontasi, dan perilaku agresif dalam hubungan sosial.

9. Gender egalitarianism: Tingkatan dimana sebuah organisasi meminimalisir perbedaan gender.

Berikut adalah nilai bangsa Indonesia yang didapat dari survey GLOBE.

Tabel Nilai Indonesia dalam Dimensi GLOBE (Skala 1-6) Sumber: (House R. , 2004)

Skor Indonesia dalam dimensi Individualism, Masculinity, dan Uncertainty Avoidance adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan negara- negara lain di Asia, sedangkan Asia secara keseluruhan memiliki nilai yang tinggi dalam Power distance, serta rendah pada aspek Masculinity, dan Uncertainty Avoidance dibandingkan dengan dunia pada umumnya. Hal ini dapat diartikan bahwa Indonesia memiliki kolektivisme grup yang tinggi, dengan nilai asertif yang rendah (Assertiveness 3.86 dibandingkan batas bawah dunia yaitu 3.38), sebuah fenomena yang wajar mengingat pendapat kelompok lebih dihargai daripada inisiatif individu. Pada dimensi Gender egalitarianism, Indonesia berada pada rata-rata dunia, lebih tinggi daripada kebanyakan Asian dan negara-negara Arab.

Indonesia juga digambarkan sebagai negara yang masyarakatnya mementingkan perasaan orang lain. Hal ini dibuktikan bahwa dimensi Humane Orientation di Indonesia adalah yang tertinggi didunia (4.69). Penemuan ini didukung oleh studi lainnya yang dilakukan Mulder (1994) yang menyatakan bahwa Indonesia dapat digambarkan sebagai friendly, peace loving dan tangan terbuka. Studi lain yang dilakukan juga menyatakan bahwa Indonesia memiliki tingkat kepedulian tinggi, mentoleransi kesalahan, dermawan dan sensitive tentang orang lain (Hayat dan Muzzafer, 2004).

Dua penelitian diatas memiliki kesimpulan yang sama, yaitu pendapat dari ulama atau pemimpin masyarakat ternyata sangat didengar oleh masyarakat Indonesia. Literatur awal mengenai pemimpin opini menyebutkan bahwa kepemimpinan tersebut lebih mungkin bersifat informal daripada formal, dengan status sosial pemimpin opini tersebut lebih tinggi daripada status ‘pengikutnya’. Studi terkait juga menyatakan bahwa pemimpin opini akan lebih terekspos dengan sumber informasi seperti media massa atau change agents, memiliki pendidikan formal, tingkat literasi yang baik, berorientasi kosmopolitan dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi serta kekayaan.

Pemimpin opini dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku dan pengetahuan orang lain. Key opinion leaders dalam penelitian ini adalah yang berasal dari akademisi, praktisi, media, pemerintah, institusi terkait pemerintah, organisasi Islam, organisasi non Islam, pengamat dan politikus, serta masyarakat umum. Pihak yang menjadi targeted subject, yaitu subyek yang dengan spesifik, memiliki pemahaman seputar isu permasalahan dalam korupsi dan pengaruhnya di masyarakat. Dalam membangun gerakan sosial pemberantasan korupsi pemetaan stakeholder strategis menjadi sangat penting, dalam pendekatan komunikasi strategis untuk menggerakkan partisipasi masyarakat.

Berdasarkan tingkat kepentingan dan tingkat kemauannya untuk bekerjasama terapat empat kluster tersebut memiliki karakteristik dan strategi sebagai berikut:

1. Change Agent

Stakeholder strategis yang memiliki pengaruh pembentukan opini secara signifikan serta memiliki potensi untuk bekerjasama. Berasal dari 16 stakeholder strategis dari kelompok akademisi, institusi terkait pemerintah, media, ormas Islam, praktisi, dan pengamat. Strategi: Stakeholder involvement strategy, yaitu mengundang dan menciptakan dialog proaktif secara frekuentif dengan stakeholder dengan output terukur dalam bentuk endorsement dan testimoni positif di pemberitaan media massa.

2. People to convince

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65