PENYANDANG DISABILITAS DAN PEMILU DI IND (1)

PENYANDANG DISABILITAS DAN PEMILU DI INDONESIA:
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN1
Mudiyati Rahmatunnisa
Departemen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Email: m.rahmatunnisa@unpad.ac.id
Abstrak
Dalam sebuah Negara dengan system demokrasi, aktifitas memilih (voting) sejatinya dalam
pemilihan umum merupakan hak fundamental bagi semua warga Negara. Oleh karenanya,
Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk menjamin adanya kesempatan yang setara bagi semua
kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Namun demikian, kondisi
ideal itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Secara khusus, keikutsertaan aktif di dalam
pemilihan umum masih merupakan sebuah tantangan bagi penyandang disabilitas di berbagai
Negara di dunia, termasuk di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa kehadiran (turn
out) penyandang disabilitas selalu jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya
yang tidak mengalami kekurangan secara fisik. Beragam hambatan untuk berpartisipasi penuh
dalam memberikan suara masih kerap dihadapi oleh penyandang disabilitas. Padahal, secara
kuantitas, jumlahnya cukup signifikan dan memiliki potensi untuk mempengaruhi kontestasi
dalam proses pemilihan umum. Tulisan ini akan mendiskusikan secara kritis berbagai persoalan
penyelenggaraan pemilu di Indonesia terkait keberadaan penyandang disabilitas, baik dari
perspektif normative maupun empiris. Pada bagian akhir dari tulisan ini akan diuraikan berbagai
upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang accessible bagi penyandang

disabilitas.
Kata kunci: demokrasi, pemilihan umum, accessible election, penyandang disabilitas
Abstract
In a country with a democratic system, voting in elections is a fundamental right for all citizens.
Therefore, the Government has a responsibility to ensure equal opportunity for all community
groups to participate in elections, regardless. However, the ideal condition is not yet fully
realized. In particular, active participation in elections is still a challenge for disabilities in
various countries in the world, including Indonesia. In general, it can be said that the presence
(turn out) of the disabilities is always much lower than the other groups who do not experience
physical deficiencies. Various obstacles to full participation in voting are still often faced by
disabilities. In fact, in quantity, the number is quite significant and has the potential to affect
contestation in the election process. This paper will discuss critically the various issues of
elections in Indonesia regarding the existence of the disabilities, both from a normative and
empirical perspective. At the end of this paper will be described various efforts that can be done
to create elections that are accessible for the disabilities.
Keywords: democracy, elections, accessible election, disability
1 Disampaikan pada Seminar Nasional APSIPOL, Universitas Hasanudin, 17-18 Mei 2017

Pendahuluan
Kesempatan untuk bisa terlibat dalam aktifitas politik merupakan kondisi mendasar yang harus

ada dalam sebuah Negara dengan system demokrasi, termasuk penyandang disabilitas.
Kesempatan ini termasuk di dalamnya tidak hanya memilih, tetapi juga hak untuk dipilih dan
mewakili warga Negara lain serta terlibat dalam lembaga penyelenggara pemilu. Hak untuk
berpartisipasi dalam aktifitas politik untuk penyandang disabilitas ini terkodifikasi secara tegas di
dalam beragam hukum internasional, regional, maupun nasional, diantaranya the United Nations
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) sejak 2006, seperti tercantum
dalam Pasal 29” “[to give] guarantee the persons with disabilities political rights and the
opportunity to enjoy them on an equal basis with others”.
Namun demikian, meski telah banyak konvensi dan regulasi tersebut diakui bahwa penyandang
disabilitas di banyak Negara di dunia – Negara maju maupun berkembang2 – masih menghadapi
berbagai hambatan ketika mencoba untuk mewujudkan hak-hak dasar mereka, terutama terkait
akses ke tempat pemungutan suara dan beragam informasi terkait kebijakan dan proses pemilu.
Bahkan, di berbagai Negara penyandang disabilitias masih diperlakukan sebagai warga Negara
“kelas dua”[ CITATION Raw17 \l 1033 ].
Indonesia merupakan salah satu Negara yang telah secara resmi meratifikasi konvensi tersebut
pada tahun November 2011.3 Salah satu ketetapan penting dalam konvensi tersebut adalah
memberikan kesempatan yang sama kepada pemilih dengan disabilitas untuk terlibat dalam setiap
proses pemilihan umum sebagaimana juga yang didapat oleh warga Negara lainnya yang bukan
disabilitas. Apakah kesepakatan dalam konvensi tersebut telah dilaksanakan secara efektif di
Indonesia, atau apakah beragam kebijakan dan proses pemilu di Indonesia telah inklusif – tidak

hanya melibatkan warga Negara yang bukan disabilitas, tetapi juga para disabilitas? Makalah ini
akan mendiskusikan secara kritis efektivitas penyelenggaraan pemilu yang inklusif di Indonesia
sebagai perwujudan komitmen Pemerintah Indonesia atas CRPD. Secara khusus, makalah ini
akan mendiskusikan beragam kebijakan dan proses penyelenggaraan pemilu yang telah
berlangsung di Indonesia pasca ratifikasi atas CRPD. Pada bagian akhir dari makalah ini, juga
2 Data World Helath Organization (WHO) menunjukan bahwa terdapat 15 persen penduduk
dunia adalah penyandang disabilitas. Sejumal 90 juta dari mereka tersebar di berbagai
Negara di Asia Tenggara dari total 0.6 Milyar penduduknya. Lihat, misalnya, WHO dan The
World Bank (2011). Lihat juga Hayes dan Zhao [CITATION Hay12 \n \t \l 1033 ]
3 https://treaties.un.org

akan didiskusikan tentang beragam alternative upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
beragam kebijakan dan proses pemilu yang inklusif di Indonesia.

Tinjauan Teoretik
Pemilu yang Inklusif Untuk Demokrasi Yang Berkualitas

Demokrasi dimaknai beragam oleh para ahli. Makinda [CITATION Mak96 \n \t \l 1033 ]
misalnya, mengatakan bahwa secara umum demokrasi dilihat “as a way of government firmly
rooted in the belief that people in society should be free to determine their own political,

economic, social, and cultural systems.” Dari pernyataan tersebut dapat digarisbawahi satu
elemen penting dalam sebuah system demokrasi yakni pentingnya keberadaan warganegara yang
memiliki kebebasan untuk berperan serta mempengaruhi pengelolaan berbagai aspek dalam
negaranya. Hal ini seperti juga diungkapkan oleh Mesfin [CITATION Mes08 \n \t \l 1033 ]
bahwa demokrasi secara luas dipahami sebagai sebuah system politik yang didisain untuk
memperluas partisipasi semua warga Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang
mana kekuasaan pemerintah dalam system ini “clearly defined and limited”. Pemikiran yang
sama dikemukakan oleh Redy dan Sabelo [CITATION Red97 \n \t \l 1033 ] bahwa system
demokrasi merupakan sebuah system pemerintahan dimana di dalamnya “eligible people in a
polity actively non only in determining the kind of people that govern them, but also participate
actively in shaping the policy output.”
Mengingat element inti dari berbagai pendapat tersebut di atas – keterlibatan aktif warga Negara
– menjadikan demokrasi dipandang sebagai metode yang paling ideal untuk proses pengambilan
keputusan [ CITATION Cat99 \l 1033 ]. Idealisasi system demokrasi serupa juga dikemukakan
oleh Barry [CITATION Bar92 \n \t \l 1033 ] bahwa dalam sistem demokrasi-lah beragam
preferensi warga diperhitungkan secara adil dalam proses pengambilan keputusan, sehingga
setiap luaran proses ini merefleksikan prefensi warga. Catt [CITATION Cat99 \n \t \l 1033 ]
mengatakan bahwa justru karena karakter inilah demokrasi diterima secara universal. Data
menunjukkan bahwa mayoritas Negara di dunia saat ini merupakan Negara dengan system
demokrasi [ CITATION Men13 \l 1033 ].


Dengan merujuk pendapat beberapa ahli, Rahmatunnisa [CITATION Rah11 \n \t \l 1033 ] juga
menjelaskan bahwa terdapat paling tidak tiga dasar justifikasi mengapa demokrasi lebih disukai
ketimbang system yang lain. Pertama, demokrasi lebih disukai karena system ini memfasilitasi
perwujudan prinsip-prinsip moral yang mendasar seperti akuntabilitas politik, kesetaraan
berpolitik, dan kedaulatan rakyat. Prinsip-prinsip ini merupakan wujud dari prinsip otonomi
personal sebagai manusia [ CITATION NgM97 \l 1033 ] dan aspirasi manusia akan kebebasan
[ CITATION Woo04 \l 1033 ]. Karena prinsip-prinsip manusiawi yang mendasar inilah,
demokrasi dapat diterima disemua pelosok dunia terlepas dari batasan kultur. Argumentasi ini
terjustifikasi melalui survey opini yang dilakukan di berbagai Negara di Afrika, Amerika Latin
dan Asia pada tahun 2001 yang memberikan simpulan bahwa demokrasi bukanlah monopoli
budaya barat. Dari survey tersebut diketahui bahwa public di Negara-negara tersebut memandang
demokrasi berasosiasi dengan kemerdekaan sipil, kedaulatan rakyat dan pemilihan umum. Oleh
karenanya dipandang sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik [ CITATION Dia03 \l 1033 ].
Hasil yang serupa juga ditemukan di berbagai Negara muslim di Afrika, Asia Tengah dan Timur
Tengah yang menganggap demokrasi sebagai sebuah tatanan yang baik [ CITATION Dry96 \l
1033 ].
Kedua, demokrasi lebih disukai karena beragam kebaikan yang melekat (inherent virtues).
Demokrasi memberikan kesempatan untuk pengembangan kapasitas individual sebagai hasrat
mendasar dari manusia terlepas dari latar belakang budaya. Dalam hal ini, Holden [CITATION

Hol88 \n \t \l 1033 ] berpendapat bahwa melalui keterlibatan dalam proses politik, public dapat
memperkuat kapabilitasnya untuk berpartisipasi di arena politik secara lebih efisien dan efektif.
Kebaikan lainnya adalah kemampuan demokrasi untuk meredam konflik dengan lebih baik
melalui berbagai mekanisme musyawarah dalam suasana yang bebas dan setara. Selanjutnya,
Holden menjelaskan bahwa demokrasi memiliki potensi perguliran kepemimpinan secara tertib
dan damai melalui mekanisme pemilihan umum. Inherent virtues inilah yang menjadikan
demokrasi diterima oleh banyak kalangan didunia sebagai sebuah system potensial yang mampu
memfasilitasi perwujudan beragam kebaikan tersebut.
Ketiga, demokrasi lebih disukai karena kemampuannya untuk memfasilitasi beragam luaran yang
menguntungkan, seperti reduksi konflik, optimalisasi kebebasan individu, beragam keputusan
yang bijak, maksimalisasi kepentingan dan kebahagian dari masyarakat banyak [ CITATION

Saw98 \l 1033 ]. Dalam hal ini Mayo [CITATION May62 \n \t \l 1033 ] beberapa decade lalu
juga menambahkan bahwa demokrasilah yang mampu mewujudkan beragam nilai sosial berupa
penanganan konflik, perubahan sosial dan pergantian kepemimpinan secara damai, serta nilainilai positif individu seperti independensi, rasionalitas, sikap toleran, dan simpati.
Perkembangan kontemporer menunjukkan bahwa berbagai kebaikan atas demokrasi tersebut
dapat diwujudkan melalui mekanisme pemilu sebagai instrumen fundamental warga Negara
untuk ikut serta dalam proses penyelenggaraan Negara, sebagaimana dikemukakan oleh Mesfin
[CITATION Mes08 \n \t \l 1033 ] bahwa pemilu merupakan founding pillars dari system politik
demokrasi. Demikian halnya Downs [CITATION Dow11 \n \t \l 1033 ] mengatakan bahwa

pemilu merupakan prasyarat penting keberadaan sekaligus berfungsinya system demokrasi.
Kaitan demokrasi dan pemilu nampak sekali dalam pernyataan yang dikemukakan oleh
Huntington (dalam Downs, 2011) bahwa demokrasi secara mendasar sangat ditentukan oleh
adanya mekanisme proses pemilihan para pemimpin Negara secara adil dan periodic. Blondel
[CITATION Blo95 \n \t \l 1033 ] berpendapat bahwa pemilu merupakan mekanisme penting
yang menghubungkan warga Negara dengan pemerintahnya. Oleh karena itu, pemilu merupakan
“the most fundamental and the most distinguishing feature of modern governments.” Melalui
mekanisme pemilu, warga Negara memilih para wakil mereka. Tanpa penyelenggaraan pemilu
yang adil dan periodic, system demokrasi tidak akan mampu mendeteksi kehendak politik dari
warga Negara.
Namun demikian, perlu diingat bahwa hanya penyelenggaraan pemilu yang demokratislah yang
dapat memfasilitasi beragam luaran positif sebagaimana dijelaskan di atas. Pemilu demokratis
sendiri merupakan perwujudan dari makna pemilu yang sejatinya haruslah menjadi milik rakyat.
Pemilu yang demokratis dimaknai sebagai pemilu yang diselenggarakan secara “competitive,
periodic, inclusive, regular …in which persons to hold office at all levels of government are
elected, through secret ballot, by citizens who broadly enjoy fundamental human rights and
freedoms.” Beragam prinsip yang terkadung dalam makna pemilu yang demokratis ini dapat
ditelusuri dari diktum bahwa “citizens have the right to take part in government and in the
conduct of public affairs of their countries.” Diktum ini secara tegas diatur dalam Pasal 21 the
Universal Declaration of Human Rights (Universal Declaration) and Pasal 25 the International


Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) dan berakam instrument internasional hak asasi
manusia lainnya [ CITATION Mer08 \l 1033 ].
Inklusifitas pemilu merupakan salah satu kriteria penting untuk sebuah pemilu yang demokratis.
Merloe [CITATION Mer08 \n

\t

\l 1033 ] menjelaskan bahwa pemilu yang demokratik

mensyaratkan inklusifitas baik untuk warga neraga yang hendak melaksanakan hak pilihnya
maupun bagi mereka yang ingin mencalonkan diri. Prinsip anti-diskriminasi menghendaki
Negara untuk menyelenggarakan pemilu yang inklusif. Jadi, selain prinsip universal and equal
suffrage berkelindan dengan prinsip anti-diskriminasi. Prinsip inklusifitas ini menghendaki
Negara untuk dapat mengidentifikasi dan mengatasiberagam factor yang menghambat warganya
untuk mewujudkan hak-hak elektoralnya. Untuk itu,
Governments therefore should take steps to educate people about their electoral related
rights and remove barriers to participation for those traditionally underrepresented in
election processes amd participation in government and pulic affairs, such as women,
minorities (including those who communicate in minority languages), citizens who do not

read or write and those with physical challenges and disabilities [ CITATION Mer08 \l
1033 ].
Satu lagi poin mendasar yang perlu digarisbawahi bahwa demokrasi tidak hanya berhenti pada
kualitas respon politiknya terhadap warga Negara melalui mekanisme pemilu yang periodic,
namun system ini juga menekankan pada pentingnya membuka dan memfasilitasi partisipasi aktif
dari kelompok-kelompok minoritas dan marginal atau tersubordinasi. Eksistensi mekanisme
pemilu yang inklusif ini yang dapat menjadikan procedural democracy menjadi participatory
democracy yang sesungguhnya.

Disabilitas
Konsep disabilitas telah dimaknai beragam oleh berbagai pihak. Menurut World Helath
Organization (WHO)4 misalnya,
“disabilities is an umbrella term, covering impairments, activity limitations, and
participation restrictions. An impairment is a problem in body function or structure; an
activity limitation is a difficulty encountered by an individual in executing a task or
action; while a participation restriction is a problem experienced by an individual in
involvement in life situations.”
4 http://www.who.int/topics/disabilities/en/

Dalam perpektif pendekatan kontemporer – human rights-based approach – disabilitas bukan

merupakan merupakan fenomena yang sederhana [ CITATION Irw13 \l 1033 ]. Disabilitas
bukanlah sekedar permasalahan kesehatan. Disabilitas sesungghnya merefleksikan interaksi
antara karakter fisik seseorang dengan berbagai karakter masyarakat di mana dia tinggal.
Konsepsi ini hampir sama dengan yang dirumuskan oleh the International Classification of
Functioning Disability and Health (ICF) yakni disabilitas sebagai “functioning in multiple life
areas. Simply seeing, walking, taking a bath, working, going to school, accessing social services
and many such domain…”[ CITATION Hal12 \l 1033 ]. Pada definisi ini, disabilitas merupakan
hasil dari interaksi dua komponen, yakni seseorang dengan kondisi kesehatan khusus dan factorfaktor lingkungan dan personal yang merupakan konteks kehidupannya. Disabilitas terjadi ketika
kelemahan dalam fungsi dan struktur tubuh membatasi partisipasinya. Jadi, disabilitas dalam
pengertian ini bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi sebagai hasil dari
interaksi antara seseorang dengan kondisi lingkungannya. Dalam UNCRPD, juga disebutkan
bahwa “Persons with disabilities include those who have long-term physical, mental, intellectual
or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full, and
effective participation in society on an equal basis with others.” (dalam Prince, 2012).
Pemahaman ini menjadi penting dan mendasar khususnya untuk Negara yang memiliki
tanggungjawab untuk menghilangkan berbagai hambatan disabilitas untuk melaksanakan hakhak elektoralnya secara optimal.

Tantangan Disabilitas dalam Pemilu
Penyandang disabilitas di dunia mencapai 15 persen dari total penduduk dunia, dan di Asia
Tenggara sebesar 90 juta orang. Diskriminasi terhadap disabilitas sudah berlangsung lama dan

terjadi di banyak Negara di dunia. Kelompok ini telah lama terpinggirkan dari mempraktekkan
salah satu aspek inti dari keberadaannya sebagai warga Negara – berpartisipasi dalam proses
pemilu. Warga Negara yang memiliki keterbatasan intelektualitas dan kesehatan mental kerap
dihalangi untuk ikut memilih karena kuatnya prasangka atas ketidakmampuan mereka dalam
berpikir. Demikian pula mereka yang menggunakan kursi roda atau alat bantu mobilitas lainnya,
kerap tidak dapat mendatangi tempat pemungutan suara karena tidak didisain untuk dapat
memfasilitasi alat bantu mobilitas mereka.

Cacat netra atau yang memiliki ketidakjelasan

pengihatan juga mengalami kesulitan ketika hendak memberikan suara karena kertas suara yang
tidak sesuai dengan kebutuhannya [ CITATION Irw13 \l 1033 ].
Beragam permasalahan yang umum terjadi: perangkat hukum yang tidak secara khusus
melindungi hak-hak politik penyandang disabilitas; informasi, infrastruktur dan aksesibilitas
beragam fasilitas pemilu; kurangnya peralatan, pelayanan dan bantuan dari petugas di tempat
pemungutan suara; manajemen pemilu yang tidak melibatkan perwakilan dari penyandang
disabilitas dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pemilu, termasuk juga proses seleksi untuk
menjadi kandidat dalam pemilu karena persepsinegatif yang terbangun. Persoalan-persoalan ini
jelas membatasi betul dan bahkan menghapus hak-hak politik penyandang disabilitas dalam
pemilu [ CITATION Irw13 \l 1033 ].
Pada saat hari pemungutan suara permasalahan yang kerap terjadi misalnya, tempat pemungutan
suara yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas (jalan khusus). Atau, para petugas yang
tidak dilatih untuk merespon pemilih dengan kebutuhan khusus. Beragam sarana khusus yang
dibutuhkan oleh disabilitas juga kerap tidak tersedia. Kesemuanya berimplikasi pada
marginalisasi peran politik penyandang disabilitas. Marginalisasi tidak hanya terjadi pada saat
hari pemungutan suara. Penyandang disabilitas juga kerap mengalami hambatan dalam
mengakses informasi seputar pemilu, khususnya terkait pendaftaran pemilih dan tata cara
pemilihan.
Hambatan lain yang tidak kalah serius adalah terkait harapan penyandang disabilitas untuk masuk
arena politik sebagai kandidat. Hambatan dapat tersirat dalam bentuk norma-norma budaya dan
perilaku. Permasalahan beragam hambatan ini kerap tidak tertangani dengan baik mengingat
penyandang disabilitas tidak memiliki perwakilan yang memadai dalam lembaga penyelenggara
pemilu (Election Management Bodies [EMBs]) [ CITATION Irw13 \l 1033 ].
Dengan demikian, pada prinsipnya, tantangan disabilitas dalam pemilu di berbagai Negara di
dunia dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori: hambatan institusional, informasional,
perilaku (attitudinal) dan fisik (physical) yang terjadi pada keseluruhan tahapan pemilu (election
cycle) – pra pemilu, pada saat pemilu, dan post-pemilu.
Pemilu Akses

Menurut UNDP (dalam Sanford et.al, 2013), pemilu merupakan mekanisme fundamental untuk
melindungi “economic, social and cultural rights for the most deprived individuals and to ensure
participation of all in decision-making.” Penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil
berkontribusi signifikan kepada pemenuhan hak untuk berpartisipasi politik. Dengan dasar ini,
hak politik penyandang disabilitas sejatinya setara dengan kelompok lain yang bukan penyandang
disabilitas. Hak politik terkait pemilu ini menyangkut hak untuk memberikan suara secara bebas
dan rahasia dan tanpa hambatan apapun; hak untuk mencalonkan diri sebagai kandidat peserta
pemilu; dan hak untuk dipilih untuk menjadi anggota penyelenggara pemilu. Ketika pelaksanaan
hak-hak electoral ini tidak terjadi, akan membawa konsekuensi pada aspek kebijakan dan sosial
sebagaimana dikemukakan oleh Karlawish et al (2008, dalam Prince, 2012) bahwa “When a
discrete group of citizens is disenfranchised, its consequent lack of political power may reflected
in a systematic neglect of the issues of greatest import to its members or thet group.”
Untuk mewujudkan hak-hak electoral para penyandang disabilitas ini, mensyaratkan
penyelenggaraan pemilu yang dapat diakses oleh mereka (accessible elections). AGENDA
mendefinisikan konsep “election access” sebagai pemilu yang “…provides facilities for persons
with disabilities and without physical/non-physical barriers.”[ CITATION Irw13 \l 1033 ].
Singkatnya, aksesibilitas pemilu bagi disabilitas menyangkut penyediaan beragam layanan dan
fasilitasi untuk memudahlan mereka dalam mewujudkan hak-hak elektoralnya.Pemilu Akses
tidak hanya menyangkut dimensi proses registrasi dan pemungutan suara. Jika memperhatikan
kembali uraian tentang beragam hambatan yang kerap dihadapi oleh penyandang diabilitas, maka
upaya menciptakan pemilu akses perlu menyangkut juga dimensi pra-pemilu dan masa sesudah
pemilu. Kesemuanya terefleksi dalam berbagai kebijakan dan prosedur pemilu, aturan
adminsitratif dan implementasinya.
Pengalaman berbagai Negara telah memberikan banyak pelajaran berharga dalam upaya
meningkatkan partisipasi politik penyandang disabilitas.5 Melalui Manual Book yang dibuat oleh
International Foundation for Electoral Systems and National Democratic Institute, diberikan
pedoman cukup lengkat terkait beragam upaya yang dapat dilakukan untuk memciptakan Pemilu
5 Lihat misalnya, Prince, 2012.Electoral Participation of Electors With Disabilities: Canadian
Practices in a Comparative Context, Canada: University of Victoria. Lihat juga, Handicap
International Kenya/Somalia, 2014. Promoting The Civic and Political Rights of Persons With
Disabilities & Increasing Their Participation in The Electoral Process in Urban and Rural
Somaliland, Nairobi: Handicap International.

Akses. Gambar berikut memberikan ilustrasi tiga dimensi penting dari keseluruhan fase Electoral
Cycle yang dapat dilakukan untuk menciptakan Pemilu Akses.

Gambar 1 Electoral Cycle

Sumber: IFES & NDI (2014)
Adalah menjadi tugas pemerintah melalui institusi penyelenggara pemilu untuk dapat
memastikan aksesibilitas proses pendaftaran, tempat pemungutan suara, sarana dan prasarana
yang digunakan untuk membuat pemilu akses, tipe teknologi yang digunakan dan ketersediaan
beragam laporan proses pemilu yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas.

Metode
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut Sarantakos
[ CITATION Sar98 \l 1033 ], qualitative-descriptive method mengandalkan non-qualitative data
gathering technique and analysis yang Peneliti anggap tepat untuk mengeksplorasi dan
menggambarkan beragam informasi terkait focus studi ini.
Beragam data diperoleh dari sumbesekunder seperti buku, artikel jurnal, pemberitaan media,
khususnya media online dan berbagai website yang menyediakan informasi terkait. Data yang
diperoleh kemudian di analisis dengan menggunakan tehnik thematic analysis yang menekankan
pada ide dasar dari berbagai sumber yang ditelaah [ CITATION Lia05 \l 1033 ].

Diskusi
Kebijakan Pemilu Bagi Penyandang Disabilitas Di Indonesia
Untuk menciptakan system sosial yang adil dalam sebuah Negara demokrasi, keterlibatan aktif
dalam arena politik bagi penyandang disabilitas menjadi sangat penting, mengingat melalui
keterlibatan aktif tersebut, beragam kebijakan yang diskriminatif dapat dicegah atau diubah.
Dengan kata lain, keterlibatan aktif di arena politik merupakan kunci penting untuk memenhi
beragam hak penyandang disabilitas.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang aktif meratifikasi berbagai konvensi Internasional
maupun regional. Seperti diketahui, beragam instrumen regulasi terkait hak-hak penyandang
disabilitas telah ada sejak lama, dimulai dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR),
International Covenan Civil and Political Rights (ICCPR), Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (UNCRPD), Bill of Electoral Rights for Citizens with Disabilities, ASEAN
Human Rights Declaration (ADHR), ASEAN General Election Commission Forum Declaration
– telah mengamanatkan pentingnya memberikan perhatian dan melakukan berbagai upaya untuk
memenuhi dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas di dalam pemilu.
Pada level regional, beragam upaya juga telah dilakukan. Aktivitas the Third Asian and Pacific
Decade of Persons with Disabilities 2013-2022 tengah dilakukan. Juga, the Incheon Strategy’s
“Make the Right Real” dan ASEAN’s Decade for Persons with Disabilites 2011-2020 serta

ASEAN Strategic Framework and Plan of Action for Social Welfare, Family and Children 20112015, semuanya berkontribusi pada upaya penguatan hak-hak penyandang disabilitas dan
kepedulian masyarakat lainnya tentang berbagai isu ini.
Pada level nasional juga telah banyak memberikan kerangka hukum untuk penguatan hak-hak
penyandang disabilitas. Konstitusi Negara telah menjamin hak-hak politik semua warga Negara,
tidak terkecuali penyandang disabilitas. Dasar konstitusional ini telah ditindaklanjuti ke dalam
berbagai undang-undang sebagaimana dapat di lihat dalam Tabel berikut ini.
Tabel 1 Kerangka Hukum Terkait Penyandang Disabilitas di Indonesia
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jenis Regulasi
UU No. 4 Tahun 1997
UU No. 39 Tahun 1999
UU No. 12 Tahun 2005
UU No. 19 Tahun 2011
UU No. 15 Tahun 2011
UU No. 8 Tahun 2012

7.
8.
9.

UU No. 42 Tahun 2008
UUNo 8 Tahun 2016
Peraturan Bersama
KPU, Bawaslu dan
DKPP No. 1 Tahun
2012
PKPU No. 9 Tahun
2013

10.

Topik Pengaturan
Penyandang Disabilitas
Hak Asasi Manusia
Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights
Pengesahan Convention On The Rights of ersons With Disabilities
Penyelenggaraan Pemilu
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Penyandang DIsabilitas
Kode Etik Penyelenggara Pemilu

Pemutakhiran Data Pemilih dalam Pemilihan Umum DPR, DPD
dan DPRD

Sumber: Irwan, Otto & Utami [CITATION Irw13 \n \t \l 1033 ]; Hidayat[CITATION
Hid16 \n \t \l 1033 ]
Diakui bahwa beragam peraturan tersebut memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Beberapa
informasi penting dalam kerangka peraturan tersebut adalah tentang definisi penyandang
disabilitas dalam kerangka hukum Indonesia. Dalam UU No 8 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 1, yang
termasuk dalam kelompok penyandang disabilitas adalah
Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yangdalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Pengertian di atas telah mengikuti konstruksi definisi yang telah diatur dalam berbagai Konvensi
Internasional.

Informasi penting lainnya adalah terkait ragam penyandang disabilitas yang diatur dalam UU No.
8 Tahun 2011 Pasal 4 ayat 1, yaitu:
1. Penyandang Disabilitas fisik, yaitu yang terganggu fungsi gerak, antara lain amputasi,
lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, orang
kecil.
2. Penyandang Disabilitas intelektual, yaitu yang terganggu fungsi piker karena tingkat
kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down
syndrome,
3. Penyandang Disabilitas mental, yaitu yang terganggu fungsi pikir, emosi, dan perilaku,
antara lain:
a. Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan
kepribadian;
b. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di
antaranya autis dan hiperaktif.
4. Penyandang Disabilitas sensorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca indera,
antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atai disabilitas wicara.
Diakui pula bahwa dari sisi normative, pengaturan aksesibiltas Pemilu telah mengalami
perbaikan dalam berbagai aspek. Penyelenggara Pemilu melalui beberapa Peraturannya telah
menerjemahkan beragam aturan perundangan sebagai upaya memberikan dasar operasional
menciptakan akses pemilu. Salah satunya adalah munculnya kolom khusus dalam daftar pemilih
yang memuat tentang jenis disabilitas. Data ini sangat penting untuk memberikan fasilitasi
pemilih disabilitas yang tepat agar mereka nyaman dalam menggunakan hak pilihnya. Demikian
halnya dengan desain lingkungan yang ramah terhadap penyandang disabilitas. PKPU No. 3/2009
dan PKPU No. 29/2009 telah mewajibkan panita menyediakan berbagai fasilitas sesuai dengan
jenis disabilitas, termasuk fasilitasi pendamping dan lokasi TPS yang memudahkan [ CITATION
Pas15 \l 1033 ].
Dari berbagai pengaturan yang ada terkait penyangdang disabilitas dan partisipasinya di arena
politik (perspektif normative), relative memiliki potensi untuk memperkuat upaya menciptakan
pemilu akses yang ideal dan memperkuat partisipasi politik para penyandang disabilitas. Namun
demikian, apakah kemudian konstruksi ini sudah dilaksanakan secara efektif? Diskusi pada
bagian selanjutnya dari perspektif empiric akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Penyandang Disabilitas dalam Pemilu di Indonesia
Sejak masa reformasi bergulir di akhir tahun 1990-an, Indonesia telah menyelenggarakan lima
kali pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislative (pileg). Untuk level daerah, pemilu kepala
daerah (pemilukada) dimulai sejak tahun 2007, dengan Kabupaten Kutai Kertanegara sebagai
daerah otonom pertama yang melaksanakan hajat besar daerah ini pada tahun 2005. Selanjutnya,
Pemilukada serentak dimulai tahun 2015. Penyelenggaraan berbagai even pemilu ini telah
menjadikan pemilu Indonesia termasuk ke dalam salah satu pemilu yang paling kompleks di
dunia. Hal ini karena dalam setiap even pemilu terdapat jutaan staff, ratusan ribu tempat
pemungutan suara, ratusan juta kertas suara dengan ribuan desain yang berbeda, terlibat di
dalamnya [ CITATION AGE15 \l 1033 ].
Tabel 2
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatf
Tahun
2014
2014
2009
2009
2004
2004

Pemilu
Legislative
Presiden
Legislative
Presiden
Legislative
Presiden

Pemilih Terdaftar
187 juta
193 juta
171 juta
176 juta
148 juta
153 juta

Turnout
75%
70%
71%
73%
84,06%
79,76%

Sumber: AGENDA [CITATION AGE15 \n \t \l 1033 ]
Dari berbagai even besar pemilu tersebut, membahas peran serta para penyandang disabilitas di
Indonesia ternyata tidak sesemarak hajat-hajat besar demokrasi tersebut. Padahal dari sisi jumlah,
penyandang disabilitas cukup signifikan dan layak untuk diperhitungkan oleh partai politik dan
calon. Pada Pemilu 2014 misalnya, meski terdapat perbedaan jumlah persis penyandang
disabilitas antara data UNESCAP, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Kesejahteraan
Sosial, terdapat kurang lebih 2.250.000 penyandang disabilitas yang tercatat sebagai pemilih.
Apabila harga kursi DPR pada Pemilu 2014 setara 223.000 suara, maka total potensi suara
penyandang disabilitas setara dengan 10 kursi di DPR [ CITATION Pas15 \l 1033 ].
Namun demikian, berbagai kajian menunjukkan bahwa implementasi beragam kerangka normatif
sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, masih jauh panggang dari api. Muladi (2009,
dalam Bramantyo, 2015) misalnya, pengabaian hak-hak politik penyandang disabilitas dalam
pemlu masih kerap terjadi, antara lain menyangkut:

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Hak untuk didaftar guna memberikan suara;
Hak atas akses ke TPS;
Hak atas pemberian suaya yang rahasia;
Hak untuk dipilih menjadi anggota legislative;
Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu;
Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu.

Mencermati penyelenggaraan setiap pemilu membawa kepada simpulan bahwa isu aktualisasi
hak-hak electoral penyandang disabilitas – hak memilih, hak untuk dipilih dan hak berpartisipasi
sebagai penyelenggara pemilu – belum menjadi sebuah prioritas penting di benak penyelenggara,
pengawas dan peserta pemilu. Justifikasi atas argumentasi ini dapat dilihat dari beragam
permasalahan yang dialami penyandang disabilitas di Indonesia. Beragam persoalan terkait
aktualisasi hak sebagai pemilih masih mendominasi banyak kajian dan laporan. Dua hak electoral
lainnya – hak dipilih dan hak berpartisipasi sebagai penyelenggara – bahkan kondisi lebih
memprihatinkan. Persoalan aksesibilitas pemilu merupakan isu klasik yang mendominasi banyak
kajian dan laporan.
Dalam pemberitaannya, BBC Indonesia [ CITATION na15 \l 1033 ] melaporkan bahwa sampai
dengan Pilpres 2014, paling sedikit 11 juta penyandang disabilitas yang tidak dapat menggunakan
hak elektoralnya. Demikian temuan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) pasca
penyelenggaraan Pileg 2014 di berbagai daerah, penyelenggara pemilu dinilai kurang ramah
terhadap penyandang disabilitas [CITATION na14 \t \l 1033 ]. Temuan ini dikonfirmasi oleh
Komisioner KPU Hadar Gumay bahwa rendahnya partisipasi para penyandang disabilitas
dikarenakan ketidaksiapan pemerintah utnutk menyediakan beragam fasilitas yang dibutuhkan.
Pemantauan Komnasham pada Pileg 2014 di hampir semua Provinsi menunjukkan persoalanpersoalan seperti bilik suara dengan instrumen yang tidak lengkap dan tidak aksesibel untuk para
penyandang disabilitas, sosialisasi yang tidak sampai secara detil sehingga para penyandang
disabilitas minim informasi terkait Pileg 2014. Ditambah lagi dengan lokasi pemungutan suara
yang tidak strategis dan menyulitkan penyandang disabilitas untuk menjangkaunya.
Terungkap pula bahwa rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas juga disebabkan oleh
belum optimalnya sosialisasi dan lemahnya proses pendataan. Banyak penyandang disabilitas
tidak masuk dalam daftar pemilih. Di banyak daerah, pendataan yang dilakukan petugas kepada
penyandang disabilitas banyak menemui kesulitan akibat para petugas yang kurang memahami
kondisi penyandang disabilitas, termasuk misalnya memahami penyandang disabilitas yang

multihandicap (disabilitas ganda). Di samping para petugas yang mengalami kesulitan dalam
mendata, para penyandang disabilitas juga banyak yang belum memiliki kesadaran politik yang
baik terkait pentingnya aktualisasi hak-hak electoral mereka dan masih merasa malu untuk
terlibat dalam politik. Demikian pula keluarga penyandang disabilitas yang enggan mendaftarkan
anggota keluarga penyandang disabilitas karena malu dan pada akhirnya memilih untuk
menyembunyikan keberadaannya [CITATION na15 \t \m na17 \t \l 1033 ].
Persoalan tidak hanya berhenti pada daftar pemilih saja. Kalaupun sudah terdaftar, persoalan
berikutnya yang muncul adalah tidak teraksesnya informasi dan pendidikan pemilih yang tidak
memadai sehingga pemilih disabilitas minim informasi terkait visi, misi, program peserta pemilu
dan tata cara pemilihan. Model kampanye belum dapat diakses terutama oleh pemilih dengan
disabilitas sensorik (mata, pendengaran, dan sejenisnya) dan intelektual. Pada akhirnya, meski
sudah ada dalam daftar pemilih, tapi pada akhirnya tidak dating ke TPS [ CITATION Pas15 \l
1033 ].
Sampai dengan tahun 2015, upaya yang sudah dilakukan baru terbatas pada menyediakan layanan
pembicara dengan bahasa isyarat ketika debat presiden berlangsung. Kemudian, penyediakan
kertas suara khusus untuk penyandang tuna netra, namun belum semua TPS dapat menyediakan
sarana ini.
Fenomena menarik terjadi ketika Pilkada DKI 2017 yang baru saja berlangsung. Terdapat
beberapa fakta yang relative menggembirakan dari pesta demokrasi di Ibukota Negara ini di
tengah penilaian umum pemilu yang berlangsung di level nasional dan daerah lainnya. Yang
pertama dan utama adalah terkait tingginya tingkat partisipasi pemilih penyandang disabilitas
yang mencapai 99,7%. Dari total pemilih 10.256. Fakta menarik lainnya adalah adanya kenaikan
jumlah pemilih disabilitas pada hari pemungutan suara sebesar 4.885 pemilih, padahal jumlah
dalam DPT hanya 5.371. Dari fenomena ini, maka dapat dikatakan bahwa di tengah kegembiraan
tingginya turnout pemilih disabilitas di Pemilu DKI 2017, masih tetap menyisakan persoalan
terkait proses pendaftaran. Menurut hasil pantauan AGENDA (General Election Network for
Disability Access) kondisi tersebut lebih dikarenakan pemilih penyandang disabilitas yang sudah
terdaftar, tidak mencantumkan jenis disabilitasnya di kolom keterangan disabilitas dalam DPT
[ CITATION Zai17 \l 1033 ]. Dengan demikian, ditengah tingkat voters turn out yang tinggi,
proses pendaftaran pemilih penyandang disabilitas masih menyisakan persoalan.

Fenomena Pilkada DKI 2017 juga masih menyisakan persoalan lain terkait akses TPS. Dengan 7
kriteria TPS Akses: 1) Jalan menuju TPS; 2) Pintu masuk dan keluar; 3) Permukaan TPS; 4) Luas
TPS untuk kursi roda; 5)Tinggi meja suara; 6) Ruang meja kosong dibawahnya dan tinggi bilik
suara; dan 7) Ketersediaan alat bantu tuna netra, laporan pemantauan AGENDA menunjukkan
bahwa dari 1001 TPS di 5 Kotamadya DKI Jakarta, hanya 210 (21%) yang akses dan sisanya 791
(79%) tidak akses.
Berbicara hak electoral lainnya, yakni hak dipilih dan untuk menduduki jabatan publik
kondisinya pun tidak lebih baik. Stigma penyandang disabilitas tidak mampu menarik suara
masih kuat di kalangan partai politik. Tidak kalah menyulitkan adalah adanya syarat
keikutsertaan “sehat jasmani dan rohani” (Pasal 5 hruf d UU No.42/2008) yang dipandang
diskriminatif bagi penyandang disabilitas [ CITATION Pas15 \l 1033 ]. Padahal, representasi
penyandang disabilitas merupakan modal penting untuk penguatan beragam kebijakan yang
memihak kepada segmen warga Negara penyandang disabilitas. Wacana optimalisasi hak
electoral untuk dipilih sampai saat ini sangat minim, untuk tidak mengatakantidak ada sama
sekali. Baik diskursus maupun pengaturan normative masih terkonsentrasi pada hak memilih
penyandang disabilitas.
Terdapat beragam penyebab masih belum optimalnya aktualisasi hak-hak electoral penyandang
disabilitas, salah satu diantaranya adalah perspektif Negara yang memperlakukan mereka sebagai
orang sakit. Padahal sesungguhnya, mereka bukanlah orang-orang yang sakit, tapi merupakan
kelompok yang mempunyai kebutuhan khusus agar mampu mengaktualisasikan hak-hak
elektoralnya. Perspektif yang keliru ini telah berimplikasi pada kegagalan dalam memberikan
fasilitas dan layanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas [CITATION
na15 \t \l 1033 ].
Implikasi lainnya dari perspektif yang keliru ini adalah ketidaktepatan proses sosialisasi untuk
beragam penyandang disabilitas. Misalnya, alat peraga sosialisasi untuk tunagrahita yang
memiliki daya tangkap yang lemah, tidak bisa disamakan dengan penyandang disabilitas jenis
yang lain.
Kondisi terkini untuk menakar seberapa besar keperdulian Negara terhadap hak-hak electoral
penyandang disabilitas, dapat dilihat dari, diantaranya, dinamika pembahasan RUU Pemilu.
Berbagai pemberitaan menunjukkan beberapa isu yang menjadi pembahasan alot adalah

menyangkut: 1) system pemilu (proporsional terbuka atau tertutup); 2) parliamentary threshold
(3,5% atau lebih); 3) penentuan daerah pemilihan (tetap atau berubah); 4) konversi suara pemilih;
dan 5) syarat minimal dukungan calon presiden [ CITATION Sup17 \l 1033 ]. Dari lima topik
perdebatan hangat tersebut, keberpihakan belum pada penyandang disabilitas. Tidak ada
pembahasan yang alot terkait kewajiban penyelenggara pemilu untuk menyediakan fasilitas dan
layanan untuk penyandang disabilitas. Sulit rasanya untuk tidak mengatakan bahwa tingkat
keperdulian para pembuat kebijakan terkait pemenuhan hak-hak electoral penyandang disabilitas
memang masih rendah.
Di tengah perdebatan penyusunan RUU Pemilu, terbersit harapan penyandang disabilitas terkait
beragam dasar hukum hak-hak electoral penyandang disabilitas yang telah pada berbagai
regulasi, tetap dapat dimunculkan dalam UU Pemilu yang baru. Misalnya, amanat Pasal 13 UU
No. 8 Tahun 2016 tentang hak politik penyandang disabilitas meliputi hak: memilih dan dipilih
dalam jabatan public; berperan aktif dalam system pemilihan umum pada semua tahap dan/atau
bagian

penyelenggaraannya;

memperoleh

aksesibilitas

pada

sarana

dan

prasarana

penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernir, bupati/walikota, dan pemilihan kepala
desa atau nama lain; dan, memperoleh pendidikan politik [ CITATION Sup17 \l 1033 ].
Dasar hukum lainnya yang layak untuk dimasukkan ke dalam RUU Pemilu adalah sebagaimana
yang telah diamanatkan dalam Pasal 11 dan Pasal 85 UU No. 15 Tahun 2011, tentang hak
menduduki jabatan public seperti mencalonkan diri menjadi anggota KPU atau Bawaslu. Hak
untuk mencalonkan diri sebagai anggota lembaga legislative seperti yang telah diatur dalam Pasal
51 UU No. 19 Tahun 2008 juga penting untuk terwadahi di dalam UU Pemilu yang baru.
Pengaturan yang tidak kalah penting adalah menyangkut kewajiban penyelenggara pemilu untuk
menjamin dan memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam memberikan suaranya
[ CITATION Sup17 \l 1033 ].
Penutup
Dari uraian berbagai laporan dan kajian terkait aktualisasi hak-hak electoral penyandang
disabilitas pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia, seperti halnya di alami juga oleh Negara
lainnya di dunia, mengkonfirmasi masih terjadinya persoalan institusional, informasional,
perilaku (attitudinal) dan fisik (physical) yang terjadi pada keseluruhan tahapan pemilu (election

cycle) – pra pemilu, pada saat pemilu, dan post-pemilu. Sampai saat ini, konsentrasi perbaikan
masih sebatas pada hak electoral untuk memilih dan hanya pada tahap election day.
Namun demikian, beragam upaya perbaikan, khususnya kerangka regulasi patut mendapatkan
apresiasi meski masih mengandung berbagai kelemahan. Peluang terbuka pada saat ini di tengah
proses perumusan UU Pemilu. Berbagai kelemahan institusional yang selama ini terjadi dapat
diperbaiki dengan konstruksi regulasi yang lebih memihak kepada upaya meningkatkan
partisipasi dan keterwakilan politik penyandang disabilitas. Termasuk terobosan untuk
memberikan langkah afirmasi. Dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum yang
diselenggarakan Panitia Khusus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu pada bulan Februari
2017, selain membahas upaya penguatan pemilu akses dan berkeadilan, terlontar usulan dari
Ketua Pansus dan juga Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) tentang
perbaikan hak dipilih penyandang difabel dengan menghilangkan aturan yang diskriminatif
sehingga membuka peluang yang setara kepada penyandang disabilitas yang kompeten dengan
warga Negara lain yang tidak mengalami disabilitas. Selain itu, ide tindakan afirmasi dipandang
strategis untuk diterapkan agar tercipta kompetisi yang seimbang untuk kandidat penyandang
disabilitas dan bukan penyandang disabilitas.[CITATION na171 \t \l 1033 ]
Penyelenggara pemilu harus selalu berusaha untuk meminimalisir beragam hambatan untuk
berpartisipasi bagi penyandang disanbilitas dengan membangun berbagai program dan proses
yang memungkinkan penyandang disabilitas dapat mengakses berbagai pelayanan dan informasi
yang disediakan oleh penyelenggara pemilu. Best practices negara-negara lain juga memberikan
inspirasi terkait upaya penguatan partisipasi dan keterwakilan politik penyandang disabilitas.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh peneyelenggara pemilu untuk memperkuat
partisipasi politik penyandang disabilitas adalah dengan:
o

Menerapkan proses dan saluran pendaftaran dan pemilihan yang memungkinkan penyandang
disabilitas berpartisipasi dalam pemilu melalui beragam perangkat regulasi dan dukungan
finansial untuk mewujudkannya, termasuk menggunakan perangkat teknologi untuk

o

pemberian suara yang independen dan rahasia.
Menyediakan informasi dan sumberdaya dalam format yang dapat diakses oleh semua
penyandang disabilitas dengan beragam jenis disabilitasnya

o

Membangun hubungan yang kuat dengan penyandang disabilitas agar dapat lebih memahami

o

kebutuhan yang mereka rasakan.
Menyediakan petunjuk dalam bentuk DVD bagi para pendamping (carers) dan penyandang
learning difficulties yang berisi tentang beragam informasi tentang pemungutan suara,

o

bagaimana mendaftar dan bagaimana memberikan suara.
Salah satu teknologi yang digunakan adalah pemungutan suara dengan menggunakan
metode pendiktean melalui telepon untuk tunanetra atau disabilitas lainnya yang mengalami
hambatan untuk memberikan suara secara independen dan rahasia. Akses untuk informasi
dan sumberdaya lainnnya:

Upaya perbaikan terus menerus perlu dilakukan. Penyelenggara pemilu perlu mengadakan
evaluasi menyeluruh dalam bentuk survey pemilih.

Pemilu perlu diawali dengan proses

konsultasi dengan penyandang disabilitas dalam rangka memperbaiki proses dan sumberdaya
pemilu. Setelah fase konsultasi ini selesai, diikuti oleh beragam upaya penyelenggara pemilu
bekerjasama dengan para penyedia layanan lainnya untuk menyediakan berbagai sumberdaya
yang diperlukan.
Membentuk semacam Disability Advisory Group, yang terdiri dari perwakilan penyandang
disabilitas dan unit pemerintah terkait untuk memperkuat hubungan satu sama lain dan
memberikan beragam informasi kepada penyelenggara pemilu untuk memperbaiki kualitas
pemilu.
Upaya yang tidak kalah penting adalah melakukan monitoring penyelenggaraan pemilu terkait
penyandang disabilitas perlu secara terus menerus dilakukan, misalnya melalui laporan hasil
evaluasi penyelenggaraan pemilu oleh KPU kepada lembaga legislative. Hasil evaluasi ini dapat
menjadi rujukan untuk perbaikan kualitas pemilu berikutnya.

Daftar Pustaka
AGENDA. (2015). Media Guidelines for Reporting on Accessible Elections: Indonesian Edition.
Jakarta: AGENDA.
Barry, B. (1992). Is Democracy Special? In A. J. (ed), Democracy: Theory and Practice (pp. 5966). Belmont: Wadsworth Publishing Company.
Blondel, J. (1995). Comparative Government: An Introduction. London: Prentice Hall/Harvester
Wheatsheaf.

Bramantyo, H. A. (2015). Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas Pada Pemilukada Sleman
2015. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
Catt, H. (1999). Democracy in Practice. London & New York: Routledge.
Diamond, L. (2003). Universal Democracy? Policy Review(June ), 3-26.
Downs, W. M. (2011). Electoral Systems in Comparative Perspective. In M. B. John T. Ishiyama,
21st Century Political Science : a Reference Handbook (pp. 159-167). Thousand Oaks,
CA: SAGE Publications, Inc.
Dryzek, J. (1996). Political Inclusion and the Dynamic of Democratization. The American
Political Science Review, 90(3), 475-487.
Hall, T. E., & Alvarez, R. M. (2012). Defining the Barriers to Political Participation for
Individuals with Disabilities, Working Paper #001. Washington, D.C: The Information
Technology and Innovation Foundation.
Handicap International Kenya/Somalia. (2014). Promoting The Civic and Political Rights of
Persons With Disabilities & Increasing Their Participation in The Electoral Process in
Urban and Rural Somaliland. Nairobi: Handicap International.
Hayes, A., & Zhao, Z. (2012, January 30). Population Prospects in East and Southeast Asia.
Retrieved Mei 09, 2017, from East Asia Forum:
http://www.eastasiaforum.org/2012/01/30/population-prospects-in-east-and-southeastasia/
Hidayat, Y. (2016). Aksesibilitas Oemilu Lagislatif Tahun 2014 Bagi Penyandang Disabilitas di
Provinsi Jawa Barat. Universitas Padjadjaran: Disertasi.
Holden, B. (1988). Understanding Liberal Democracy. Oxford & New Jersey: Philip Allan
Publishers Limited.
IFES & NDI. (2014). Equal Access: How to Include Persons with Disabilities in Elections and
Political Processes. Washington, D.C: InternationalFoundation for Electoral Systems.
Irwan, A. Y., Otto, S. S., & Utami, R. (2013). Accessible Elections for Persons with Disabilities
in Five Southeast Asian Countries. Jakarta: International Foundation for Electoral
Systems (IFES).
Liamputtong, P., & Ezzy, D. (2005). Qualitative Research Methods. Second Edition. Oxford:
Oxford University Press.
Makinda, S. (1996). Democracy and Multipasrty Politics in Africa. The Journal of Modern
African Studies, 34(4), 555-573.
Mayo, H. (1962). How Can We Justify Democracy? The American Political Science Review,
56(3), 555-566.
Menocal, A. R. (2013). 10 Things to Know About Elections and Democracy. London: Overseas
Development Institute.
Merloe, P. (2008). Promoting Legal Frameworks for Democratic Elections: an NDI Guide for
Developing Election Laws and Law Commentaries. Washington D.C: National
Democratic Institute for International Affairs (NDI).
Mesfin, B. (2008, July). Democracy, Elections & Political Parties. Retrieved April 07, 2017,
from https://www.files.ethz.ch/isn/98951/PAPER166.pdf
n.a. (2014, Mei 28). KPU 'Kurang Ramah' Terhadap Disabilitas. Retrieved Mei 09, 2017, from
BBC Indonesia:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140528_komnasham_disabilitas
_pemilu
n.a. (2015, January 29). Jutaan Penyandang Disabilitas Absen dalam Pemilu dan Pilkada.
Retrieved Mei 09, 2017, from BBC Indonesia:

http.www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150129_indonesia_difabel_pemil
u
n.a. (2017, Februari 02). Partisipasi Disabilitas Dalam Pilkada Masih Kurang, KPU Harus
Libatkan Relawan Dalam Pendataan. Retrieved Mei 09, 2017, from Tribun Jabar:
http://www.jabar.tribunnews.com/2017/02/partisipasi-disabilitas-dalam-pilkada-masihkurang-kpu-harus-libatkan-relawan-dalam-pendataan
n.a