Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Dedak Padi (Rice Bran Oil) Dengan Reaksi Transesterifikasi Menggunakan Katalis Heterogen Zeolit Alam yang Dimodifikasi Dengan K2C03
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
BIODIESEL
Biodiesel merupakan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) rantai panjang dan
sekelompok gugus alkil sebagai akseptor asil yang diperoleh melalui proses
transesterifikasi minyak nabati atau lemak hewani [19, 20]. Biodiesel dapat
digunakan sebagai campuran dengan solar minyak bumi sehingga dapat
memberikan penurunan tingkat emisi gas rumah kaca di bumi [21]. Produksi
biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari 4 kelompok utama
adalah [6].
1.
Minyak tumbuhan : minyak biji matahari, rapeseed, dedak padi, kedelai,
kelapa, jagung, kelapa sawit, zaitun, berbagai jenis biji-bijian, kacang
tanah. Selain itu minyak jarak, karanja atau pongamia, jojoba, biji kapuk,
biji jeruk, biji karet dan lain-lain.
2.
Lemak hewan : tallow, yellow grease, lemak ayam dan produk samping
3.
Minyak goreng bekas.
4.
dari minyak ikan dan lain-lain.
Alga
Karakteristik fisik dan kimia biodiesel yang sangat mirip dengan bahan
bakar diesel konvensional memungkinkan penggunaannya baik sendiri (biodiesel
murni, B100) atau dicampur dengan diesel berbasis minyak bumi (rasio umum
digunakan: 5-20%, B5-B20) dimana rasio ini hanya memerlukan sedikit
penyesuaian teknis atau bahkan tidak memerlukan modifikasi [22]. Biodiesel telah
muncul sebagai biofuel generasi pertama yang muncul sebagai pelopor
pelaksanaan B5, B10, B20 dan bahan bakar B100 berdasarkan spesifikasi di
daerah Eropa, Amerika Utara dan bagian lain di dunia [23].
Keuntungan dari penggunaan biodiesel adalah bebas sulfur, kurang
beracun, pengurangan pada dampak efek gas rumah kaca, dan biodegradable.
Selain itu, biodiesel memiliki cetane number (bilangan setana) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan diesel dari minyak bumi dan profil emisi pembakaran yang
lebih menguntungkan, seperti menurunnya tingkat partikel dan karbon monoksida
6
Universitas Sumatera Utara
serta oksida nitrogen dalam kondisi tertentu. Sifat fisik biodiesel mirip dengan
diesel, memiliki titik nyala yang relatif tinggi sebesar 150 ºC yang membuatnya
lebih stabil dan lebih aman untuk transportasi, serta memberikan sifat pelumas,
yang dapat mengurangi keausan mesin dan memperpanjang umur mesin. Oleh
sebab itu, bahan bakar biodiesel dapat diharapkan sebagai alternatif pengganti
bahan bakar berbasis minyak bumi dan energi berkelanjutan yang baik karena
berasal dari tanaman yang terus tumbuh [21, 24, 25, 26].
Menurut Gondra (2010), biodiesel memiliki keungggulan dari bahan bakar
minyak lainnya, tetapi pada penggunaannya biodiesel juga memiliki beberapa
kerugian. Kerugian dari penggunaan biodiesel ini adalah ketersediaan bahan baku
pertanian yang dibatasi karena kebutuhannya digunakan sebagai bahan baku
penghasil makanan, memiliki kandungan oksigen yang tinggi dimana apabila
dibakar, menghasilkan tingkat lebih tinggi NOx daripada yang dihasilkan oleh
diesel mineral, biodiesel adalah senyawa higroskopis yang dapat menyerap air
dengan mudah dan biaya pengadaan bahan bakar biodiesel ini cukup mahal [26].
Persyaratan kualitas biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.1.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Tabel 2.1 Standar Biodiesel Berdasarkan ASTM D 6751/09, EN 14214/03,
dan Pr EN 14214/09
Parameter
Satuan
ASTM D EN
Pr EN
6751/09
14214/03
14214/09
Kandungan ester
% w/w
96,5
96,5
Densitas
kg/m3
860-900
860-900
Viskositas kinematik mm2/s
1,9-6,0
3,5-5,0
3,5-5,0
Titik nyala
°C
130
120
101
93
(gelas
tertutup)
Kandungan sulfur
mg/kg
15
10
10
Residu karbon
% w/w
0,05
0,30
Angka Setana
47
51
51
Kadar abu
% w/w
0,02
0,02
0,02
tersulfatasi
Air dan sedimen
% w/w
0,05
Kandungan air
mg/kg
500
500
Total kontaminasi
mg/kg
24
24
Korosi pada jalur
No.3
Kelas 1
Kelas 1
tembaga
Stabilitas oksidasi
H
3
6
8
Angka asam
mg KOH/g
0,80
0,50
0,50
7
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Standar Biodiesel Berdasarkan ASTM D 6751/09, EN 14214/03, dan Pr
EN 14214/09 (Lanjutan)
No. Parameter
Satuan
ASTM D EN
Pr EN
6751/09
14214/03
14214/09
15.
Nilai Iodin
g iodin/100 g 120
120
16.
Linolenat metil ester % w/w
12,0
12,0
17.
Metil ester ganda tak % w/w
1
1
jenuh
18.
Kandungan metanol % w/w
0,20
0,20
0,20
19.
Kandungan
% w/w
0,80
0,80
monogliserida
20.
Kandungan
% w/w
0,20
0,20
digliserida
(ASTM D 6751, 2009; EN 14214, 2003 dan Pr EN 14214, 2009)
2.2
BAHAN BAKU
2.2.1 Minyak Dedak Padi
Produksi biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari
minyak tumbuhan (minyak kedelai, canola oil, rapeseed oil, crude palm oil, rice
bran oil), lemak hewani (beef talow, lard, lemak ayam, lemak babi) dan bahkan
dari minyak goreng bekas [27]. Bahan baku yang digunakan untuk produksi
biodiesel bervariasi sesuai dengan wilayah geografis tergantung pada kondisi
budidaya dan ketersediaannya. Indonesia sebagai salah satu produsen padi
terbesar di dunia dengan urutan ketiga setelah China dan India, yang juga
berkontribusi pada kebutuhan padi dunia.
Berdasarkan jumlah produksi padi Indonesia pada tahun 2015 sebesar
74.991.788 ton [13] dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 1,65%
pada tahun 2016 [14]. Padi sebagai tanaman pangan ini dapat pula dimanfaatkan
salah satu bagiannya sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel. Hal ini
disebabkan karena padi terdiri dari beberapa komposisi yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur Kernel dari Padi [12]
8
Universitas Sumatera Utara
Salah satu dari bagian padi yang terlihat pada Gambar 2.1 adalah bekatul
atau rice bran. Bekatul atau rice bran merupakan hasil samping proses
penggilingan padi yang berasal dari lapisan terluar beras yaitu bagian antara butir
beras dan kulit padi. Serta memiliki kandungan minyak sekitar 10-26% dari
massanya [15].
Minyak dedak padi (rice bran oil) dapat didefinisikan sebagai minyak
alami yang dihasilkan dari bekatul yang berada disamping sekam (kulit) padi.
Oleh karena bekatul dan sekam padi sulit untuk dipisahkan, maka campuran
keduanya yang diekstrak menjadi minyak [12]. Perbedaan komposisi minyak
dedak padi yang dihasilkan ini tergantung pada varietas padi, proses penggilingan,
metode ekstraksi, kondisi, dan lama penyimpanan dedak padi. Kadar FFA dari
Rice Bran Oil (RBO) adalah sebesar 6-70% tergantung dengan kualitas dedak
padinya [16].
Soares, dkk (2015) pada penelitiannya mendapatkan yield RBO sebesar
12,68% dengan menggunakan teknologi dengan Liquefied Petroleum Gas (LPG)
[17]. Sedangkan kadar FFA yang terdapat pada RBO menurut Liu, dkk (2015)
adalah sebesar 30,52%. Kadar FFA dari RBO yang besar ini disebabkan karena
aktivitas enzim lipase yang tinggi setelah proses penggilingan padi [18]. Kadar
FFA yang tinggi pada RBO dapat dikurangi dengan dilakukannya berbagai cara
perlakuan sebelum RBO disimpan dan digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Salah satu caranya adalah pemanasan bekatul sebelum digiling dan juga
pemanasan RBO untuk menonaktifkan kerja enzim lipase dalam membentuk FFA
[16]. Selain itu pula RBO ini memiliki sifat fisika dan kimia yang ditunjukkan
pada Tabel 2.2.
9
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Kimia dari RBO [28]
Asam Lemak
Nilai
Palmitat (C16:0) dalam %
18,8
Stearat(C18:0) dalam %
2,4
Oleat (C18:1) dalam %
43,1
Linoleat (C18:2) dalam %
33,2
Linolenat (C18:3) dalam %
0,6
Arasidat (C20:0) dalam %
0,7
Densitas (kg/m3)
922
o
Viskositas Kinematik pada 40 C (cSt)
43,52
Viskositas Kinematik pada 100oC (cSt)
9,21
Titik nyala (°C)
316/337
Titik tuang (°C)
13/01
Berdasarkan uraian diatas yang menunjukkan bahwa RBO memiliki
potensi besar digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Hal ini disebabkan karena
ketersediaan dedak padi yang tinggi di Indonesia dan harga bahan baku yang
murah. Biodiesel memiliki kandungan oksigen lebih tinggi dari bahan bakar fosil
seperti solar. Hal tersebut menunjukkan pengaruh besar terhadap pengurangan
senyawa polutan, seperti senyawa-senyawa karbon, emisi partikulat, mono oksida,
poliaromatik, sulfur, hidrokarbon, asap, dan kebisingan yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil. Terlepas dari keuntungannya pada lingkungan,
aspek ekonomi produksi biodiesel menjadi penghalang bagi pembangunan karena
adanya fakta bahwa sebagian besar biodiesel dihasilkan dari minyak nabati yang
berharga mahal.
Penggunaan minyak dedak padi diharapkan mampu mengurangi biaya
produksi biodiesel seperti halnya minyak nabati lainnya, lemak hewan, daur ulang
atau limbah minyak dan produk sampingan dari pemakaian minyak bekas.
Pengembangan sumber alternatif lain dari minyak terbarukan adalah kepentingan,
tidak hanya untuk lebih meningkatkan kelayakan ekonomi biodiesel, tetapi juga
untuk meningkatkan pasokan dan keberlanjutan produksi bahan bakar ini.
2.2.2 Metanol
Pelarut yang paling umum digunakan untuk produksi biodiesel adalah
metanol, karena harganya yang relatif rendah. Selain itu, beberapa alkil asetat
rantai pendek seperti metil asetat dan etil asetat dihasilkan sebagai akseptor asil.
Laju reaksi tertinggi biasanya diperoleh ketika menggunakan pelarut ini [29].
10
Universitas Sumatera Utara
Tujuan penggunaan pelarut organik untuk transesterifikasi yaitu untuk
memastikan campuran reaksi bersifat homogen, mengurangi viskositas campuran
reaksi sehingga meningkatkan laju difusi, mengurangi masalah perpindahan
massa di sekitar katalis enzim [30]. Untuk meningkatkan stabilisasi katalis enzim
sehingga memungkinkan untuk digunakan berulang kali [31]. Sifat-sifat fisika dan
kimia metanol dapat dilihat pada Tabel 2.3.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tabel 2.3 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia Metanol [32]
Sifat Fisika
Sifat Kimia
Wujud berupa cairan tidak
Berat molekul: 32 g/mol
berwarna
Merupakan produk yang stabil
Titik didih: 64,5 °C (148,1 °F)
Larut dalam air, metanol, dan
Titik leleh: -97,8 °C (144 °F)
dietil eter
Bereaksi tinggi dengan agen
Specific gravity: 0,796 pada 20 °C
pengoksida
Tidak korosif pada kaca
pH: 7 (netral)
Beracun
Tekanan uap: 97,68 mmHg pada
20 °C
Berbahaya apabila terkena kulit
Densitas uap: 1,11
tangan, mata
Mudah terbakar
Nilai ambang bau: 160 ppm
2.2.3 Zeolit
Katalis digunakan untuk meningkatkan kecepatan reaksi dan nilai yield.
Klasifikasi katalis dapat berupa alkali, asam dan enzim [33]. Reaksi
transesterifikasi dapat dikatalisasi baik dengan katalis homogen maupun
heterogen [34]. Dalam metode homogen konvensional, pemulihan katalis setelah
reaksi secara teknis sulit. Jumlah air limbah yang dihasilkan untuk memisahkan
katalis dan membersihkan produk sangat besar. Oleh karena itu, katalis heterogen
digunakan untuk sintesis biodiesel. Katalis ini memiliki banyak keunggulan
dibandingkan katalis homogen. Sifat noncorrosive, ramah lingkungan dan
masalah pembuangan yang ditimbulkan lebih sedikit. Katalis heterogen juga lebih
mudah untuk dipisahkan dari produk cair, dapat digunakan kembali dan dapat
dirancang untuk memberikan aktivitas yang lebih tinggi, selektivitas dan tahan
lama katalis [26].
Sumber dari katalis padat (katalis heterogen), pada saat ini telah digunakan
secara komersial, seperti zeolit, alumina atau resin penukar ion. Zeolit merupakan
11
Universitas Sumatera Utara
kristal aluminasilikat dengan struktur 3 dimensi. Sifat fisika dan kimianya yang
penting, maka bahan ini telah diaplikasikan sebagai absorben, resin penukar ion
dan katalis dengan aktivitas tinggi [35]. Rumus molekul dari zeolit secara umum
adalah Mx/n{(AlO2)x(SiO2)y}.pH2O, dimana M adalah jumlah kation n yang dapat
dipertukarkan, x adalah jumlah alumunium, y adalah jumlah silika, sedangkan p
adalah jumkah kristal air [36].
Struktur kristal zeolit berdasarkan pada jaringan 3 dimensi yang terdiri dari
(SiO4)-4 dan (AlO4)-5 yang tetrahedral serta terhubung melalui atom oksigen (O).
Susunan bentuk senyawa pada sisi negatif ini diseimbangkan dengan kehadiran
kation, seperti Na+, K+, dan Ca2+ yang dimodifikasi kedalam zeolitnya [37].
Kenampakan unsur utama penyusun zeolit alam dan struktur molekul zeolit alam
yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.1 dan 4.2 berikut.
a
b
Gambar 2.2 Bentuk dari SiO4 dan AlO4 yang tetrahedral. (a) Penyusun utama
zeolit (b) struktur kimia zeolit [38]
Gambar 2.3 Kerangka Struktur Molekul Zeolit Secara Umum [39]
Pada dasarnya zeolit dapat dibedakan atas dua jenis berdasarkan cara
perolehannnya yaitu, zeolit alam dan zeolit sintetik. Zeolit alam (natural zeolite)
adalah zeolit yang berasal dari alam, yang diperoleh dari gunung berapi atau
daerah sumber air panas. Zeolit sintetik adalah zeolit yang berasal dari bahanbahan sintetik murni, yang direkayasa atau dibuat oleh manusia dengan
12
Universitas Sumatera Utara
mempunyai saluran, rongga, kation, dan pori tertentu. Disetiap daerah gunung
berapi memiliki jenis zeolit yang berbeda karena kandungan mineral yang berbeda
pula, sehingga zeolit alam memiliki 40 jenis diantaranya klinoptilotit, mordernit,
filipsit, kabasit, dan erionit. Sedangkan zeolit sintetik memiliki 14 jenis yang
biasanya dengan cara hidrotermal yang tergantung dengan pemanfaatannya.
Contoh dari zeolit sintetik yaitu zeolit ZSM, zeolit NaY, dan lain-lain [40, 41].
Oleh sebab itu, zeolit alam sangat berpotensi di Indonesia mengingat bahwa
banyaknya daerah gunung berapi sehingga banyak pula potensi zeolit alam yang
dapat dimanfaatkan sebagai katalis biodiesel.
Sebelum digunakan zeolit perlu diaktivasikan guna mempertinggi daya
kerjanya,
memperluas
menghilangkan pengotor.
permukaannya
dengan
membentuk
pori,
serta
Ada beberapa dua cara, dengan fisika dan kimia.
Dengan cara fisika dapat dilakukan dengan pemanasan, sedangkan kimia dapat
dilakukan dengan penukar ion atau impregnasi dengan senyawa asam atau basa.
Impregnasi yaitu cara yang paling mudah dilakukan dengan penambahan beberapa
ion dalam porinya [40, 41]. Zeolit dapat ditambahkan atau divariasikan dengan
beberapa kation seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+ dan lain-lain. Selain itu, penambahan
kation guna menyeimbangkan zeolit karena jumlah elektron dari alumunium lebih
sedikit dari silika sehingga menyebabkan ketidakseimbangan zeolit. Zeolit dapat
digunakan sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel [42].
Kemampuan zeolit sebagai katalis didasarkan pada adanya ruang kosong
atau pori dimana terjadi difusi molekul dan reaksi kimia. Keasaman dari zeolit
tergantung pada ratio Si/Al nya, dimana jika ratio Si/Al nya rendah maka zeolit
akan memiliki aktivitas katalis yang lebih tinggi. Dengan adanya ruang kosong
pada zeolit sehingga dapat digunakan pada minyak yang memiliki FFA tinggi
[43], sehingga dengan penambahan kation alkali pada zeolit alam dapat
menambah aktivitas katalis dalam pembuatan biodiesel yang dapat merangkap
reaksi esterifikasi dan reaksi transesterifikasi. Modifikasi zeolit alam tersebut
dilakukan dengan cara impregnasi. Proses impregnasi permukaan zeolit dengan
kation terjadi pada permukaan katalis. Kation akan menempel pada permukaan
zeolit seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
13
Universitas Sumatera Utara
M+ (Kation) berupa K+,
Na+, dan Ca2+
Gambar 2.4 Ilustrasi Proses Modifikasi Zeolit Alam dengan Kation [44]
Zeolit alam juga telah digunakan oleh Kusuma dkk (2013). Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa zeolit alam Indonesia yang digunakan adalah jenis
kristal mordenit. Kemudian dimodifikasi dengan cara impregnasi KOH memiliki
aktivitas
katalitik
transesterifikasi [7].
yang
baik
untuk
digunakan
sebagai
katalis
reaksi
Selain itu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Kusuma dkk (2013),
Noiroj dkk (2009), dan Soetaredjo dkk (2011) [7, 45, 46] bahwa KOH sebagai
sumber logam K yang ditambahkan ke dalam struktur zeolit saat dikalsinasi, akan
terkonversi menjadi K2O. K2O ini memiliki aktivitas yang tinggi sebagai katalis
untuk reaksi transesterifikasi, sehingga pembentukkan senyawa ini pada
permukaan zeolit menjadi sisi aktif untuk proses transesterifikasi. Hal ini
dibuktikan dengan yield biodiesel tinggi yang dihasilkan [7]. Adapun reaksi
transesterifikasi dengan menggunakan katalis KOH/zeolit alam yang membentuk
K2O menjadi biodiesel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.
14
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida dan
KOH/zeolit alam sebagai Katalis Basa Kuat [7]
Untuk melihat bagaimana pengaruh penggantian larutan modifikasi yang
digunakan dalam impregnasi katalis, maka digunakan senyawa K2CO3 sebagai
sumber kation berupa K+, yang juga memiliki kinerja yang sama seperti senyawa
KOH sebagai larutan impregnasi. Selain itu pula katalis K2CO3 ini juga telah
sering digunakan sebagai katalis yang baik dalam pembuatan biodiesel [47].
15
Universitas Sumatera Utara
2.3
TRANSESTERFIKASI
Metode yang paling umum dari produksi biodiesel adalah transesterifikasi
atau alkoholisis minyak trigliserida dengan alkohol dengan adanya katalis yang
menghasilkan ester monoalkil dan gliserol [11]. Transesterifikasi merupakan
reaksi antara trigliserida yang terkandung dalam minyak dan penerima gugus asil.
Penerima gugus asil dapat berupa asam karboksilat (asidolisis), alkohol
(alkoholisis) atau ester lain (interesterifikasi) [48].
Reaksi alkoholisis disebut juga sebagai reaksi transesterifikasi. Reaksi
transesterifikasi merupakan reaksi kimia dari minyak atau lemak dengan alkohol
dengan bantuan katalis asam atau basa yang akan membentuk ester dan gliserol.
Reaksi ini merupakan reaksi reversibel yang berurutan dimana trigliserida
dikonversi menjadi digliserida, digliserida kemudian dikonversi menjadi
monogliserida dan diikuti konversi monogliserida menjadi gliserol. Dari masingmasing tahapan tersebut terbentuk ester dan tiga molekul ester dibentuk dari satu
molekul trigliserida [10].
Gambar 2.6 dan 2.7
Trigliserida
Reaksi transesterifikasi ini dapat dituliskan pada
Alkohol
Fatty Acid Alkyl
Gliserol
Ester (FAAE)
Gambar 2.6 Reaksi Transesterifikasi Secara Umum dari Minyak Nabati [4]
16
Universitas Sumatera Utara
Tahap 1
Trigliserida
Alkohol
Digliserida
Alkohol
Monogliserida
Tahap 2
Digliserida
Tahap 3
Monogliserida
Alkohol
gram/60Gliserol
Fatty Acid Alkyl Ester
(Biodiesel)
Gambar 2.7 Tahapan Reaksi Transesterifikasi [4]
Secara stoikiometri jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk 1 mol
trigliserida adalah 3 mol alkohol sehingga diperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol
gliserol. Produk samping dari reaksi pembentukan biodiesel ini adalah gliserol.
Proses pembentukan biodiesel ini mengurangi viskositas dari produk akhir.
Transesterifikasi sangat luas digunakan untuk mengurangi viskositas minyak
tanaman. Alkohol yang biasa digunakan dalam proses transesterifikasi adalah
metanol akan tetapi etanol juga dapat digunakan namun mempunyai harga yang
lebih mahal [49].
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang dihasilkan dari proses
transesterifikasi, sehingga dapat mengubah viskositas tinggi dari minyak nabati
ataupun hewani menjadi rendah seperti viskositas bahan bakar fosil. Biodiesel
yang dihasilkan larut dengan diesel mineral dalam proporsi apapun. Titik nyala
dan cetane number biodiesel meningkat. Hasil biodiesel dalam proses
17
Universitas Sumatera Utara
transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa parameter proses yang meliputi:
Kandungan kelembaban dan asam lemak bebas (FFA), waktu reaksi, reaksi suhu,
katalis dan rasio molar alkohol dan minyak menjadi faktor utama yang
mempengaruhi transesterifikasi [50].
2.3.1 Suhu
Suhu reaksi adalah faktor penting yang akan mempengaruhi hasil
biodiesel. Sebagai contoh, reaksi dengan suhu yang lebih tinggi akan
meningkatkan laju reaksi dan memperpendek waktu reaksi karena pengurangan
viskositas minyak. Namun, peningkatan suhu reaksi luar secara optimal
menyebabkan penurunan yield biodiesel, karena suhu reaksi yang lebih tinggi
mempercepat saponifikasi trigliserida dan menyebabkan metanol mudah
menguap. Biasanya suhu reaksi transesterifikasi harus di bawah titik didih alkohol
untuk mencegah penguapan alkohol [50]. Kisaran optimal suhu reaksi dapat
bervariasi dari 50 °C hingga 60 °C tergantung pada minyak atau lemak yang
digunakan. Akan tetapi banyak penelitian juga yang menggunakan temperatur
reaksi yang mendekati titik didih alkohol yang digunakan untuk memperoleh
konversi yang lebih cepat [51]. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fan dkk
(2012) yang memperoleh temperatur reaksi optimalnya adalah 65 °C dalam
pembuatan biodiesel dari minyak kedelai. Katalis heterogen modifikasinya berupa
KF/CaO-MgO dengan yield biodiesel tertinggi yang dihasilkan sebesar 97,98%
[46].
2.3.2 Waktu Reaksi
Peningkatan konversi asam lemak alkil ester dapat dilihat ketika adanya
peningkatan waktu reaksi. Menurut Lee dkk (2009) konversi metil ester yang
hampir mendekati sempurna biasanya dilakukan dengan penggunaan waktu reaksi
sebesar 2-6 jam dalam proses pembuatan biodiesel [52]. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Noiroj dkk (2009) yang memperoleh waktu reaksi optimal sebesar
3 jam dalam pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Katalis heterogen
modifikasinya berupa KOH/NaY dengan yield biodiesel tertingginya adalah
91,70% [8].
18
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Rasio Molar Metanol : Minyak
Parameter lain yang mempengaruhi yield biodiesel adalah rasio molar
alkohol untuk trigliserida. Dalam stoikiometri reaksi transesterifikasi, rasio mol
antara alkohol dan minyak adalah sebesar 3:1 dengan menghasilkan 3 mol asam
lemak metil/etil ester dan 1 mol gliserol. Rasio mol ini dapat bervariasi dengan
tujuan untuk menggeser reaksi ke arah kanan sehingga meningkatkan produk
berupa biodiesel. Jenis alkohol yang paling sering digunakan adalah metanol
karena memiliki harga murah dan secara fisik maupun kimiawi dapat
menguntungkan perolehan yield biodiesel yang dihasilkan [50]. Penggunaan
katalis heterogen dan homogen dalam pembuatan biodiesel sangatlah berbeda.
Pada proses dengan menggunakan katalis heterogen, laju reaksi yang dihasilkan
adalah reaksi lambat apabila dibandingkan dengan proses pada katalis homogen.
Untuk alasan ini, kondisi reaksi dari katalis heterogen dapat ditingkatkan dengan
menambah temperatur reaksi (100-250 °C), jumlah katalis (3-10% dari massa
minyak) dan rasio molar metanol dan minyak (10:1-25:1) [52]. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Noiroj, dkk (2009) yang memperoleh rasio molar
metanol:minyak terbaik sebesar 15:1. Katalis heterogen yang digunakan berupa
KOH/NaY. Yield biodiesel tertinggi yang dihasilkan adalah 91,70% [8].
2.3.4 Jenis dan Jumlah Katalis
Pembentukan biodiesel juga dipengaruhi oleh konsentrasi katalis. Katalis
yang paling umum digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah katalis homogen,
seperti natrium hidroksida (NaOH) atau Kalium hidroksida (KOH) dengan
jumlahnya yang kecil sebesar 1-2% dengan waktu reaksi yang singkat [52]. Akan
tetapi, jenis dan jumlah katalis yang diperlukan dalam proses transesterifikasi
biasanya tergantung pada kualitas bahan baku dan metode yang diterapkan untuk
reaksi transesterifikasi. Untuk bahan baku dengan kadar air dan asam lemak bebas
tinggi, reaksi transesterifikasi homogen tidak cocok karena memungkinkan
terjadinya reaksi saponifikasi. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat
digunakan jenis katalis heterogen.
19
Universitas Sumatera Utara
Hasil dari asam lemak alkil ester umumnya meningkat dengan
bertambahnya jumlah katalis. Hal ini disebabkan ketersediaan situs yang lebih
aktif dengan penambahan lebih besar jumlah katalis dalam reaksi transesterifikasi
[50]. Pada penelitian yang dilakukan oleh Noiroj dkk (2009) yang memperoleh
jumlah konsentrasi katalis terbaik sebesar 6% massa minyak dalam pembuatan
biodiesel dari minyak kelapa sawit. Katalis heterogen yang digunakan berupa
KOH/NaY dengan yield biodiesel tertingginya adalah 91,70% [8].
2.3.5 Intensitas Pencampuran
Minyak dan alkohol tidak dapat larut, sehingga reaksi hanya dapat terjadi
di antara permukaan cairan dan reaksi transesterifikasi berlangsung cukup lambat.
Jadi, proses pencampuran sangat penting untuk dilakukan, pencampuran antara
dua jenis bahan baku diperlukan untuk melakukan kontak antara dua bahan.
Intensitas pencampuran dapat bervariasi tergantung pada kebutuhan reaksi. Secara
umum,
intensitas
pencampuran
harus
ditingkatkan
untuk
memastikan
pencampuran berlangsung dengan baik. Kecepatan agitasi memainkan peran
penting dalam pembentukan dari produk akhir (mono alkil ester atau biodiesel),
karena agitasi campuran minyak dan katalis dapat meningkatkan reaksi. Akan
tetapi, kecepatan pengadukan yang lebih rendah dapat mengakibatkan
pembentukan produk yang lebih kecil. Sebaliknya kecepatan pengadukan yang
lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan sabun [50]. Pada penelitian ini
digunakan kecepatan pencampuran sebesar 500 rpm seperti yang dilakukan oleh
Kusuma dkk (2013) yang menghasilkan yield yang tinggi sebesar 95,09% [7].
2.3.6 Free Fatty Acid (FFA) dan Kadar Air
Free Fatty Acid dan kadar air adalah kunci parameter untuk menentukan
kelayakan minyak nabati dapat digunakan dalam proses transesterifikasi. Kadar
air
dalam
minyak
meningkatkan
jumlah
asam
lemak
bebas.
Reaksi
transesterifikasi dengan katalis basa dapat dilakukan apabila minyak memenuhi
nilai kadar asam lemak bebas rendah (< 1%). Jika sampel minyak memiliki
kandungan FFA tinggi
(> 1%) maka diperlukan reaksi untuk mengurangi FFA
pada minyak. Keberadaan air memberikan dampak negatif lebih besar daripada
20
Universitas Sumatera Utara
FFA karena air dapat menyebabkan pembentukan sabun dan buih yang dapat
menyebabkan peningkatan viskositas. Sehingga kadar asam lemak bebas dan air
tinggi yang memberikan dampak negatif selama transesterifikasi [50].
21
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
BIODIESEL
Biodiesel merupakan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) rantai panjang dan
sekelompok gugus alkil sebagai akseptor asil yang diperoleh melalui proses
transesterifikasi minyak nabati atau lemak hewani [19, 20]. Biodiesel dapat
digunakan sebagai campuran dengan solar minyak bumi sehingga dapat
memberikan penurunan tingkat emisi gas rumah kaca di bumi [21]. Produksi
biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari 4 kelompok utama
adalah [6].
1.
Minyak tumbuhan : minyak biji matahari, rapeseed, dedak padi, kedelai,
kelapa, jagung, kelapa sawit, zaitun, berbagai jenis biji-bijian, kacang
tanah. Selain itu minyak jarak, karanja atau pongamia, jojoba, biji kapuk,
biji jeruk, biji karet dan lain-lain.
2.
Lemak hewan : tallow, yellow grease, lemak ayam dan produk samping
3.
Minyak goreng bekas.
4.
dari minyak ikan dan lain-lain.
Alga
Karakteristik fisik dan kimia biodiesel yang sangat mirip dengan bahan
bakar diesel konvensional memungkinkan penggunaannya baik sendiri (biodiesel
murni, B100) atau dicampur dengan diesel berbasis minyak bumi (rasio umum
digunakan: 5-20%, B5-B20) dimana rasio ini hanya memerlukan sedikit
penyesuaian teknis atau bahkan tidak memerlukan modifikasi [22]. Biodiesel telah
muncul sebagai biofuel generasi pertama yang muncul sebagai pelopor
pelaksanaan B5, B10, B20 dan bahan bakar B100 berdasarkan spesifikasi di
daerah Eropa, Amerika Utara dan bagian lain di dunia [23].
Keuntungan dari penggunaan biodiesel adalah bebas sulfur, kurang
beracun, pengurangan pada dampak efek gas rumah kaca, dan biodegradable.
Selain itu, biodiesel memiliki cetane number (bilangan setana) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan diesel dari minyak bumi dan profil emisi pembakaran yang
lebih menguntungkan, seperti menurunnya tingkat partikel dan karbon monoksida
6
Universitas Sumatera Utara
serta oksida nitrogen dalam kondisi tertentu. Sifat fisik biodiesel mirip dengan
diesel, memiliki titik nyala yang relatif tinggi sebesar 150 ºC yang membuatnya
lebih stabil dan lebih aman untuk transportasi, serta memberikan sifat pelumas,
yang dapat mengurangi keausan mesin dan memperpanjang umur mesin. Oleh
sebab itu, bahan bakar biodiesel dapat diharapkan sebagai alternatif pengganti
bahan bakar berbasis minyak bumi dan energi berkelanjutan yang baik karena
berasal dari tanaman yang terus tumbuh [21, 24, 25, 26].
Menurut Gondra (2010), biodiesel memiliki keungggulan dari bahan bakar
minyak lainnya, tetapi pada penggunaannya biodiesel juga memiliki beberapa
kerugian. Kerugian dari penggunaan biodiesel ini adalah ketersediaan bahan baku
pertanian yang dibatasi karena kebutuhannya digunakan sebagai bahan baku
penghasil makanan, memiliki kandungan oksigen yang tinggi dimana apabila
dibakar, menghasilkan tingkat lebih tinggi NOx daripada yang dihasilkan oleh
diesel mineral, biodiesel adalah senyawa higroskopis yang dapat menyerap air
dengan mudah dan biaya pengadaan bahan bakar biodiesel ini cukup mahal [26].
Persyaratan kualitas biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.1.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Tabel 2.1 Standar Biodiesel Berdasarkan ASTM D 6751/09, EN 14214/03,
dan Pr EN 14214/09
Parameter
Satuan
ASTM D EN
Pr EN
6751/09
14214/03
14214/09
Kandungan ester
% w/w
96,5
96,5
Densitas
kg/m3
860-900
860-900
Viskositas kinematik mm2/s
1,9-6,0
3,5-5,0
3,5-5,0
Titik nyala
°C
130
120
101
93
(gelas
tertutup)
Kandungan sulfur
mg/kg
15
10
10
Residu karbon
% w/w
0,05
0,30
Angka Setana
47
51
51
Kadar abu
% w/w
0,02
0,02
0,02
tersulfatasi
Air dan sedimen
% w/w
0,05
Kandungan air
mg/kg
500
500
Total kontaminasi
mg/kg
24
24
Korosi pada jalur
No.3
Kelas 1
Kelas 1
tembaga
Stabilitas oksidasi
H
3
6
8
Angka asam
mg KOH/g
0,80
0,50
0,50
7
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Standar Biodiesel Berdasarkan ASTM D 6751/09, EN 14214/03, dan Pr
EN 14214/09 (Lanjutan)
No. Parameter
Satuan
ASTM D EN
Pr EN
6751/09
14214/03
14214/09
15.
Nilai Iodin
g iodin/100 g 120
120
16.
Linolenat metil ester % w/w
12,0
12,0
17.
Metil ester ganda tak % w/w
1
1
jenuh
18.
Kandungan metanol % w/w
0,20
0,20
0,20
19.
Kandungan
% w/w
0,80
0,80
monogliserida
20.
Kandungan
% w/w
0,20
0,20
digliserida
(ASTM D 6751, 2009; EN 14214, 2003 dan Pr EN 14214, 2009)
2.2
BAHAN BAKU
2.2.1 Minyak Dedak Padi
Produksi biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari
minyak tumbuhan (minyak kedelai, canola oil, rapeseed oil, crude palm oil, rice
bran oil), lemak hewani (beef talow, lard, lemak ayam, lemak babi) dan bahkan
dari minyak goreng bekas [27]. Bahan baku yang digunakan untuk produksi
biodiesel bervariasi sesuai dengan wilayah geografis tergantung pada kondisi
budidaya dan ketersediaannya. Indonesia sebagai salah satu produsen padi
terbesar di dunia dengan urutan ketiga setelah China dan India, yang juga
berkontribusi pada kebutuhan padi dunia.
Berdasarkan jumlah produksi padi Indonesia pada tahun 2015 sebesar
74.991.788 ton [13] dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 1,65%
pada tahun 2016 [14]. Padi sebagai tanaman pangan ini dapat pula dimanfaatkan
salah satu bagiannya sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel. Hal ini
disebabkan karena padi terdiri dari beberapa komposisi yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur Kernel dari Padi [12]
8
Universitas Sumatera Utara
Salah satu dari bagian padi yang terlihat pada Gambar 2.1 adalah bekatul
atau rice bran. Bekatul atau rice bran merupakan hasil samping proses
penggilingan padi yang berasal dari lapisan terluar beras yaitu bagian antara butir
beras dan kulit padi. Serta memiliki kandungan minyak sekitar 10-26% dari
massanya [15].
Minyak dedak padi (rice bran oil) dapat didefinisikan sebagai minyak
alami yang dihasilkan dari bekatul yang berada disamping sekam (kulit) padi.
Oleh karena bekatul dan sekam padi sulit untuk dipisahkan, maka campuran
keduanya yang diekstrak menjadi minyak [12]. Perbedaan komposisi minyak
dedak padi yang dihasilkan ini tergantung pada varietas padi, proses penggilingan,
metode ekstraksi, kondisi, dan lama penyimpanan dedak padi. Kadar FFA dari
Rice Bran Oil (RBO) adalah sebesar 6-70% tergantung dengan kualitas dedak
padinya [16].
Soares, dkk (2015) pada penelitiannya mendapatkan yield RBO sebesar
12,68% dengan menggunakan teknologi dengan Liquefied Petroleum Gas (LPG)
[17]. Sedangkan kadar FFA yang terdapat pada RBO menurut Liu, dkk (2015)
adalah sebesar 30,52%. Kadar FFA dari RBO yang besar ini disebabkan karena
aktivitas enzim lipase yang tinggi setelah proses penggilingan padi [18]. Kadar
FFA yang tinggi pada RBO dapat dikurangi dengan dilakukannya berbagai cara
perlakuan sebelum RBO disimpan dan digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Salah satu caranya adalah pemanasan bekatul sebelum digiling dan juga
pemanasan RBO untuk menonaktifkan kerja enzim lipase dalam membentuk FFA
[16]. Selain itu pula RBO ini memiliki sifat fisika dan kimia yang ditunjukkan
pada Tabel 2.2.
9
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Kimia dari RBO [28]
Asam Lemak
Nilai
Palmitat (C16:0) dalam %
18,8
Stearat(C18:0) dalam %
2,4
Oleat (C18:1) dalam %
43,1
Linoleat (C18:2) dalam %
33,2
Linolenat (C18:3) dalam %
0,6
Arasidat (C20:0) dalam %
0,7
Densitas (kg/m3)
922
o
Viskositas Kinematik pada 40 C (cSt)
43,52
Viskositas Kinematik pada 100oC (cSt)
9,21
Titik nyala (°C)
316/337
Titik tuang (°C)
13/01
Berdasarkan uraian diatas yang menunjukkan bahwa RBO memiliki
potensi besar digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Hal ini disebabkan karena
ketersediaan dedak padi yang tinggi di Indonesia dan harga bahan baku yang
murah. Biodiesel memiliki kandungan oksigen lebih tinggi dari bahan bakar fosil
seperti solar. Hal tersebut menunjukkan pengaruh besar terhadap pengurangan
senyawa polutan, seperti senyawa-senyawa karbon, emisi partikulat, mono oksida,
poliaromatik, sulfur, hidrokarbon, asap, dan kebisingan yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil. Terlepas dari keuntungannya pada lingkungan,
aspek ekonomi produksi biodiesel menjadi penghalang bagi pembangunan karena
adanya fakta bahwa sebagian besar biodiesel dihasilkan dari minyak nabati yang
berharga mahal.
Penggunaan minyak dedak padi diharapkan mampu mengurangi biaya
produksi biodiesel seperti halnya minyak nabati lainnya, lemak hewan, daur ulang
atau limbah minyak dan produk sampingan dari pemakaian minyak bekas.
Pengembangan sumber alternatif lain dari minyak terbarukan adalah kepentingan,
tidak hanya untuk lebih meningkatkan kelayakan ekonomi biodiesel, tetapi juga
untuk meningkatkan pasokan dan keberlanjutan produksi bahan bakar ini.
2.2.2 Metanol
Pelarut yang paling umum digunakan untuk produksi biodiesel adalah
metanol, karena harganya yang relatif rendah. Selain itu, beberapa alkil asetat
rantai pendek seperti metil asetat dan etil asetat dihasilkan sebagai akseptor asil.
Laju reaksi tertinggi biasanya diperoleh ketika menggunakan pelarut ini [29].
10
Universitas Sumatera Utara
Tujuan penggunaan pelarut organik untuk transesterifikasi yaitu untuk
memastikan campuran reaksi bersifat homogen, mengurangi viskositas campuran
reaksi sehingga meningkatkan laju difusi, mengurangi masalah perpindahan
massa di sekitar katalis enzim [30]. Untuk meningkatkan stabilisasi katalis enzim
sehingga memungkinkan untuk digunakan berulang kali [31]. Sifat-sifat fisika dan
kimia metanol dapat dilihat pada Tabel 2.3.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tabel 2.3 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia Metanol [32]
Sifat Fisika
Sifat Kimia
Wujud berupa cairan tidak
Berat molekul: 32 g/mol
berwarna
Merupakan produk yang stabil
Titik didih: 64,5 °C (148,1 °F)
Larut dalam air, metanol, dan
Titik leleh: -97,8 °C (144 °F)
dietil eter
Bereaksi tinggi dengan agen
Specific gravity: 0,796 pada 20 °C
pengoksida
Tidak korosif pada kaca
pH: 7 (netral)
Beracun
Tekanan uap: 97,68 mmHg pada
20 °C
Berbahaya apabila terkena kulit
Densitas uap: 1,11
tangan, mata
Mudah terbakar
Nilai ambang bau: 160 ppm
2.2.3 Zeolit
Katalis digunakan untuk meningkatkan kecepatan reaksi dan nilai yield.
Klasifikasi katalis dapat berupa alkali, asam dan enzim [33]. Reaksi
transesterifikasi dapat dikatalisasi baik dengan katalis homogen maupun
heterogen [34]. Dalam metode homogen konvensional, pemulihan katalis setelah
reaksi secara teknis sulit. Jumlah air limbah yang dihasilkan untuk memisahkan
katalis dan membersihkan produk sangat besar. Oleh karena itu, katalis heterogen
digunakan untuk sintesis biodiesel. Katalis ini memiliki banyak keunggulan
dibandingkan katalis homogen. Sifat noncorrosive, ramah lingkungan dan
masalah pembuangan yang ditimbulkan lebih sedikit. Katalis heterogen juga lebih
mudah untuk dipisahkan dari produk cair, dapat digunakan kembali dan dapat
dirancang untuk memberikan aktivitas yang lebih tinggi, selektivitas dan tahan
lama katalis [26].
Sumber dari katalis padat (katalis heterogen), pada saat ini telah digunakan
secara komersial, seperti zeolit, alumina atau resin penukar ion. Zeolit merupakan
11
Universitas Sumatera Utara
kristal aluminasilikat dengan struktur 3 dimensi. Sifat fisika dan kimianya yang
penting, maka bahan ini telah diaplikasikan sebagai absorben, resin penukar ion
dan katalis dengan aktivitas tinggi [35]. Rumus molekul dari zeolit secara umum
adalah Mx/n{(AlO2)x(SiO2)y}.pH2O, dimana M adalah jumlah kation n yang dapat
dipertukarkan, x adalah jumlah alumunium, y adalah jumlah silika, sedangkan p
adalah jumkah kristal air [36].
Struktur kristal zeolit berdasarkan pada jaringan 3 dimensi yang terdiri dari
(SiO4)-4 dan (AlO4)-5 yang tetrahedral serta terhubung melalui atom oksigen (O).
Susunan bentuk senyawa pada sisi negatif ini diseimbangkan dengan kehadiran
kation, seperti Na+, K+, dan Ca2+ yang dimodifikasi kedalam zeolitnya [37].
Kenampakan unsur utama penyusun zeolit alam dan struktur molekul zeolit alam
yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.1 dan 4.2 berikut.
a
b
Gambar 2.2 Bentuk dari SiO4 dan AlO4 yang tetrahedral. (a) Penyusun utama
zeolit (b) struktur kimia zeolit [38]
Gambar 2.3 Kerangka Struktur Molekul Zeolit Secara Umum [39]
Pada dasarnya zeolit dapat dibedakan atas dua jenis berdasarkan cara
perolehannnya yaitu, zeolit alam dan zeolit sintetik. Zeolit alam (natural zeolite)
adalah zeolit yang berasal dari alam, yang diperoleh dari gunung berapi atau
daerah sumber air panas. Zeolit sintetik adalah zeolit yang berasal dari bahanbahan sintetik murni, yang direkayasa atau dibuat oleh manusia dengan
12
Universitas Sumatera Utara
mempunyai saluran, rongga, kation, dan pori tertentu. Disetiap daerah gunung
berapi memiliki jenis zeolit yang berbeda karena kandungan mineral yang berbeda
pula, sehingga zeolit alam memiliki 40 jenis diantaranya klinoptilotit, mordernit,
filipsit, kabasit, dan erionit. Sedangkan zeolit sintetik memiliki 14 jenis yang
biasanya dengan cara hidrotermal yang tergantung dengan pemanfaatannya.
Contoh dari zeolit sintetik yaitu zeolit ZSM, zeolit NaY, dan lain-lain [40, 41].
Oleh sebab itu, zeolit alam sangat berpotensi di Indonesia mengingat bahwa
banyaknya daerah gunung berapi sehingga banyak pula potensi zeolit alam yang
dapat dimanfaatkan sebagai katalis biodiesel.
Sebelum digunakan zeolit perlu diaktivasikan guna mempertinggi daya
kerjanya,
memperluas
menghilangkan pengotor.
permukaannya
dengan
membentuk
pori,
serta
Ada beberapa dua cara, dengan fisika dan kimia.
Dengan cara fisika dapat dilakukan dengan pemanasan, sedangkan kimia dapat
dilakukan dengan penukar ion atau impregnasi dengan senyawa asam atau basa.
Impregnasi yaitu cara yang paling mudah dilakukan dengan penambahan beberapa
ion dalam porinya [40, 41]. Zeolit dapat ditambahkan atau divariasikan dengan
beberapa kation seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+ dan lain-lain. Selain itu, penambahan
kation guna menyeimbangkan zeolit karena jumlah elektron dari alumunium lebih
sedikit dari silika sehingga menyebabkan ketidakseimbangan zeolit. Zeolit dapat
digunakan sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel [42].
Kemampuan zeolit sebagai katalis didasarkan pada adanya ruang kosong
atau pori dimana terjadi difusi molekul dan reaksi kimia. Keasaman dari zeolit
tergantung pada ratio Si/Al nya, dimana jika ratio Si/Al nya rendah maka zeolit
akan memiliki aktivitas katalis yang lebih tinggi. Dengan adanya ruang kosong
pada zeolit sehingga dapat digunakan pada minyak yang memiliki FFA tinggi
[43], sehingga dengan penambahan kation alkali pada zeolit alam dapat
menambah aktivitas katalis dalam pembuatan biodiesel yang dapat merangkap
reaksi esterifikasi dan reaksi transesterifikasi. Modifikasi zeolit alam tersebut
dilakukan dengan cara impregnasi. Proses impregnasi permukaan zeolit dengan
kation terjadi pada permukaan katalis. Kation akan menempel pada permukaan
zeolit seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
13
Universitas Sumatera Utara
M+ (Kation) berupa K+,
Na+, dan Ca2+
Gambar 2.4 Ilustrasi Proses Modifikasi Zeolit Alam dengan Kation [44]
Zeolit alam juga telah digunakan oleh Kusuma dkk (2013). Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa zeolit alam Indonesia yang digunakan adalah jenis
kristal mordenit. Kemudian dimodifikasi dengan cara impregnasi KOH memiliki
aktivitas
katalitik
transesterifikasi [7].
yang
baik
untuk
digunakan
sebagai
katalis
reaksi
Selain itu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Kusuma dkk (2013),
Noiroj dkk (2009), dan Soetaredjo dkk (2011) [7, 45, 46] bahwa KOH sebagai
sumber logam K yang ditambahkan ke dalam struktur zeolit saat dikalsinasi, akan
terkonversi menjadi K2O. K2O ini memiliki aktivitas yang tinggi sebagai katalis
untuk reaksi transesterifikasi, sehingga pembentukkan senyawa ini pada
permukaan zeolit menjadi sisi aktif untuk proses transesterifikasi. Hal ini
dibuktikan dengan yield biodiesel tinggi yang dihasilkan [7]. Adapun reaksi
transesterifikasi dengan menggunakan katalis KOH/zeolit alam yang membentuk
K2O menjadi biodiesel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.
14
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida dan
KOH/zeolit alam sebagai Katalis Basa Kuat [7]
Untuk melihat bagaimana pengaruh penggantian larutan modifikasi yang
digunakan dalam impregnasi katalis, maka digunakan senyawa K2CO3 sebagai
sumber kation berupa K+, yang juga memiliki kinerja yang sama seperti senyawa
KOH sebagai larutan impregnasi. Selain itu pula katalis K2CO3 ini juga telah
sering digunakan sebagai katalis yang baik dalam pembuatan biodiesel [47].
15
Universitas Sumatera Utara
2.3
TRANSESTERFIKASI
Metode yang paling umum dari produksi biodiesel adalah transesterifikasi
atau alkoholisis minyak trigliserida dengan alkohol dengan adanya katalis yang
menghasilkan ester monoalkil dan gliserol [11]. Transesterifikasi merupakan
reaksi antara trigliserida yang terkandung dalam minyak dan penerima gugus asil.
Penerima gugus asil dapat berupa asam karboksilat (asidolisis), alkohol
(alkoholisis) atau ester lain (interesterifikasi) [48].
Reaksi alkoholisis disebut juga sebagai reaksi transesterifikasi. Reaksi
transesterifikasi merupakan reaksi kimia dari minyak atau lemak dengan alkohol
dengan bantuan katalis asam atau basa yang akan membentuk ester dan gliserol.
Reaksi ini merupakan reaksi reversibel yang berurutan dimana trigliserida
dikonversi menjadi digliserida, digliserida kemudian dikonversi menjadi
monogliserida dan diikuti konversi monogliserida menjadi gliserol. Dari masingmasing tahapan tersebut terbentuk ester dan tiga molekul ester dibentuk dari satu
molekul trigliserida [10].
Gambar 2.6 dan 2.7
Trigliserida
Reaksi transesterifikasi ini dapat dituliskan pada
Alkohol
Fatty Acid Alkyl
Gliserol
Ester (FAAE)
Gambar 2.6 Reaksi Transesterifikasi Secara Umum dari Minyak Nabati [4]
16
Universitas Sumatera Utara
Tahap 1
Trigliserida
Alkohol
Digliserida
Alkohol
Monogliserida
Tahap 2
Digliserida
Tahap 3
Monogliserida
Alkohol
gram/60Gliserol
Fatty Acid Alkyl Ester
(Biodiesel)
Gambar 2.7 Tahapan Reaksi Transesterifikasi [4]
Secara stoikiometri jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk 1 mol
trigliserida adalah 3 mol alkohol sehingga diperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol
gliserol. Produk samping dari reaksi pembentukan biodiesel ini adalah gliserol.
Proses pembentukan biodiesel ini mengurangi viskositas dari produk akhir.
Transesterifikasi sangat luas digunakan untuk mengurangi viskositas minyak
tanaman. Alkohol yang biasa digunakan dalam proses transesterifikasi adalah
metanol akan tetapi etanol juga dapat digunakan namun mempunyai harga yang
lebih mahal [49].
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang dihasilkan dari proses
transesterifikasi, sehingga dapat mengubah viskositas tinggi dari minyak nabati
ataupun hewani menjadi rendah seperti viskositas bahan bakar fosil. Biodiesel
yang dihasilkan larut dengan diesel mineral dalam proporsi apapun. Titik nyala
dan cetane number biodiesel meningkat. Hasil biodiesel dalam proses
17
Universitas Sumatera Utara
transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa parameter proses yang meliputi:
Kandungan kelembaban dan asam lemak bebas (FFA), waktu reaksi, reaksi suhu,
katalis dan rasio molar alkohol dan minyak menjadi faktor utama yang
mempengaruhi transesterifikasi [50].
2.3.1 Suhu
Suhu reaksi adalah faktor penting yang akan mempengaruhi hasil
biodiesel. Sebagai contoh, reaksi dengan suhu yang lebih tinggi akan
meningkatkan laju reaksi dan memperpendek waktu reaksi karena pengurangan
viskositas minyak. Namun, peningkatan suhu reaksi luar secara optimal
menyebabkan penurunan yield biodiesel, karena suhu reaksi yang lebih tinggi
mempercepat saponifikasi trigliserida dan menyebabkan metanol mudah
menguap. Biasanya suhu reaksi transesterifikasi harus di bawah titik didih alkohol
untuk mencegah penguapan alkohol [50]. Kisaran optimal suhu reaksi dapat
bervariasi dari 50 °C hingga 60 °C tergantung pada minyak atau lemak yang
digunakan. Akan tetapi banyak penelitian juga yang menggunakan temperatur
reaksi yang mendekati titik didih alkohol yang digunakan untuk memperoleh
konversi yang lebih cepat [51]. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fan dkk
(2012) yang memperoleh temperatur reaksi optimalnya adalah 65 °C dalam
pembuatan biodiesel dari minyak kedelai. Katalis heterogen modifikasinya berupa
KF/CaO-MgO dengan yield biodiesel tertinggi yang dihasilkan sebesar 97,98%
[46].
2.3.2 Waktu Reaksi
Peningkatan konversi asam lemak alkil ester dapat dilihat ketika adanya
peningkatan waktu reaksi. Menurut Lee dkk (2009) konversi metil ester yang
hampir mendekati sempurna biasanya dilakukan dengan penggunaan waktu reaksi
sebesar 2-6 jam dalam proses pembuatan biodiesel [52]. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Noiroj dkk (2009) yang memperoleh waktu reaksi optimal sebesar
3 jam dalam pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Katalis heterogen
modifikasinya berupa KOH/NaY dengan yield biodiesel tertingginya adalah
91,70% [8].
18
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Rasio Molar Metanol : Minyak
Parameter lain yang mempengaruhi yield biodiesel adalah rasio molar
alkohol untuk trigliserida. Dalam stoikiometri reaksi transesterifikasi, rasio mol
antara alkohol dan minyak adalah sebesar 3:1 dengan menghasilkan 3 mol asam
lemak metil/etil ester dan 1 mol gliserol. Rasio mol ini dapat bervariasi dengan
tujuan untuk menggeser reaksi ke arah kanan sehingga meningkatkan produk
berupa biodiesel. Jenis alkohol yang paling sering digunakan adalah metanol
karena memiliki harga murah dan secara fisik maupun kimiawi dapat
menguntungkan perolehan yield biodiesel yang dihasilkan [50]. Penggunaan
katalis heterogen dan homogen dalam pembuatan biodiesel sangatlah berbeda.
Pada proses dengan menggunakan katalis heterogen, laju reaksi yang dihasilkan
adalah reaksi lambat apabila dibandingkan dengan proses pada katalis homogen.
Untuk alasan ini, kondisi reaksi dari katalis heterogen dapat ditingkatkan dengan
menambah temperatur reaksi (100-250 °C), jumlah katalis (3-10% dari massa
minyak) dan rasio molar metanol dan minyak (10:1-25:1) [52]. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Noiroj, dkk (2009) yang memperoleh rasio molar
metanol:minyak terbaik sebesar 15:1. Katalis heterogen yang digunakan berupa
KOH/NaY. Yield biodiesel tertinggi yang dihasilkan adalah 91,70% [8].
2.3.4 Jenis dan Jumlah Katalis
Pembentukan biodiesel juga dipengaruhi oleh konsentrasi katalis. Katalis
yang paling umum digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah katalis homogen,
seperti natrium hidroksida (NaOH) atau Kalium hidroksida (KOH) dengan
jumlahnya yang kecil sebesar 1-2% dengan waktu reaksi yang singkat [52]. Akan
tetapi, jenis dan jumlah katalis yang diperlukan dalam proses transesterifikasi
biasanya tergantung pada kualitas bahan baku dan metode yang diterapkan untuk
reaksi transesterifikasi. Untuk bahan baku dengan kadar air dan asam lemak bebas
tinggi, reaksi transesterifikasi homogen tidak cocok karena memungkinkan
terjadinya reaksi saponifikasi. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat
digunakan jenis katalis heterogen.
19
Universitas Sumatera Utara
Hasil dari asam lemak alkil ester umumnya meningkat dengan
bertambahnya jumlah katalis. Hal ini disebabkan ketersediaan situs yang lebih
aktif dengan penambahan lebih besar jumlah katalis dalam reaksi transesterifikasi
[50]. Pada penelitian yang dilakukan oleh Noiroj dkk (2009) yang memperoleh
jumlah konsentrasi katalis terbaik sebesar 6% massa minyak dalam pembuatan
biodiesel dari minyak kelapa sawit. Katalis heterogen yang digunakan berupa
KOH/NaY dengan yield biodiesel tertingginya adalah 91,70% [8].
2.3.5 Intensitas Pencampuran
Minyak dan alkohol tidak dapat larut, sehingga reaksi hanya dapat terjadi
di antara permukaan cairan dan reaksi transesterifikasi berlangsung cukup lambat.
Jadi, proses pencampuran sangat penting untuk dilakukan, pencampuran antara
dua jenis bahan baku diperlukan untuk melakukan kontak antara dua bahan.
Intensitas pencampuran dapat bervariasi tergantung pada kebutuhan reaksi. Secara
umum,
intensitas
pencampuran
harus
ditingkatkan
untuk
memastikan
pencampuran berlangsung dengan baik. Kecepatan agitasi memainkan peran
penting dalam pembentukan dari produk akhir (mono alkil ester atau biodiesel),
karena agitasi campuran minyak dan katalis dapat meningkatkan reaksi. Akan
tetapi, kecepatan pengadukan yang lebih rendah dapat mengakibatkan
pembentukan produk yang lebih kecil. Sebaliknya kecepatan pengadukan yang
lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan sabun [50]. Pada penelitian ini
digunakan kecepatan pencampuran sebesar 500 rpm seperti yang dilakukan oleh
Kusuma dkk (2013) yang menghasilkan yield yang tinggi sebesar 95,09% [7].
2.3.6 Free Fatty Acid (FFA) dan Kadar Air
Free Fatty Acid dan kadar air adalah kunci parameter untuk menentukan
kelayakan minyak nabati dapat digunakan dalam proses transesterifikasi. Kadar
air
dalam
minyak
meningkatkan
jumlah
asam
lemak
bebas.
Reaksi
transesterifikasi dengan katalis basa dapat dilakukan apabila minyak memenuhi
nilai kadar asam lemak bebas rendah (< 1%). Jika sampel minyak memiliki
kandungan FFA tinggi
(> 1%) maka diperlukan reaksi untuk mengurangi FFA
pada minyak. Keberadaan air memberikan dampak negatif lebih besar daripada
20
Universitas Sumatera Utara
FFA karena air dapat menyebabkan pembentukan sabun dan buih yang dapat
menyebabkan peningkatan viskositas. Sehingga kadar asam lemak bebas dan air
tinggi yang memberikan dampak negatif selama transesterifikasi [50].
21
Universitas Sumatera Utara