interpretasi segmen bunyi bahasa jawa ku a9abf0be

INTERPRETASI SEGMEN BUNYI BAHASA JAWA KUNO:
ANALISIS SPEECH ANALYZER DAN FITUR DISTINGTIF
THE INTERPRETATION OF SOUND SEGMENT OF OLD JAVANESE:
SPEECH ANALYZER AND DISTINCTIVE FEATURES ANALYSIS
Ni Ketut Ratna Erawati
Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Jalan Pulau Nias No. 13 Denpasar, Bali, Indonesia
Telepon (0361) 224121, Faksimile (0361) 224121
Pos-el: ratnaerawati65@yahoo.com; ratna_erawati@unud.ac.id
Naskah diterima: 31 Agustus 2017; direvisi: 5 Desember 2017; disetujui: 14 Desember 2017
Abstrak
Secara tipologi fonologis, bahasa Jawa Kuno memiliki sistem tujuh vokal dasar.
Dari sudut tipologi morfologis, bahasa tersebut termasuk tipe aglutinasi dengan ciri
utamanya, yaitu satu kata terdiri atas satu atau lebih morfem sebagai pembentuknya.
Rumusan masalah penelitian membahas interpretasi pelafalan segmen bunyi dan
perbedaan frekuensi bunyi bahasa Jawa Kuno. Telaah morfem-morfem dan variasi
fonem yang cukup banyak cocok dianalisis berdasarkan teori fonologi generatif.
Secara fonologis, perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dapat ditelusuri dengan tepat berdasarkan teori itur distingtif dan metode mekanik speech analyser.
Cara tersebut digunakan untuk menelaah dan menginterpretasi pelafalan segmen
bunyi dalam bahasa Jawa Kuno. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan
metode studi pustaka dengan teknik simak, sadap, dan rekam. Metode analisis data

yang digunakan adalah padan intralingual dan padan ekstralingual dengan teknik
hubung-banding menyamakan (HBS) dan hubung-banding membedakan (HBB).
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini menunjukkan bahwa segmen bunyi
terutama vokal dalam bahasa Jawa Kuno, seperti segmen /u/ yang diikuti dengan /i/
berubah menjadi /w/, segmen bunyi /a/ diikuti /i/ menjadi /e/, dan segmen /i/ diikuti
/a/ menjadi /y/. Perubahan-perubahan seperti itu tentu memiliki kelas dan itur bunyi yang saling memengaruhi. Hal seperti itu perlu dikaji lebih detail karena secara
kasat mata satu segmen tunggal sebenarnya merupakan dua buah fonem merger yang
mengalami proses fonologis.
Kata kunci: itur distingtif, morfofonemik, struktur fonem, proses fonologis, perubahan fonem
Abstract
In phonological typology, Old Javanese has seven basic vowels system. From the
point of morphological typology, the language belongs to the type of agglutination
with its main characteristics, i.e. one word consisting of one or more morphemes as
its formers. The formulation of this research problem is to know the interpretation of
the sound segment; the different frequencies of adjacent sounds; and the generative
rules of changes in the segment of Old Javanese sounds. The study of morphemes and
phonemic variations are quite well suited to be analyzed by generative phonological
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017


225

Interpretasi Segmen Bunyi Bahasa Jawa Kuno ... (Ni Ketut Ratna Erawati)

Halaman 225 — 238

theory. Phonologically, possible changes can be traced appropriately based on the
distinguishing feature theory and the mechanical methods of the speech analyzer.
These way is used to analyze and interpret the pronunciation of sound segments in
Old Javanese. The data were collected with literature study method with the technique
of referring, tapping, and recording. The data were analyzed with intralingual and
extralingual matrix with hubung-banding menyamakan (HBS) and hubung banding
membedakan (HBB) technique. Based on the results and discussion, this research
shows that the sound segment, especially vocal in Old Javanese, as the segment /u/
followed by /i/ changes to /w/, sound segment /a/ followed /i/ into / e /, and segments
/i/ followed /a/ into /y/. Such changes certainly have a class and sound features that
affect each other. Such condition need to be researched more detail because the invisible single segment is two mergers phonemes that undergo phonological process.
Keywords: distinctive features, morphophonemic, phoneme structure, phonological
process, phoneme changes


PENDAHULUAN
Bahasa Jawa Kuno yang dikenal saat ini oleh
kalangan linguis dikategorikan sebagai bahasa
mati (died language). Hal itu dibuktikan
berdasarkan perbandingan angka tahun karyakarya Jawa Kuno itu ditulis, baik dalam bentuk
prasasti maupun dalam bentuk karya sastra.
Karya Sastra tersebut hingga saat ini banyak
diwariskan di Bali. Di Bali karya-karya itu
didokumentasikan dalam bentuk naskah lontar.
Naskah lontar memiliki kekuatan yang dapat
bertahan hingga berabad-abad atau beratus-ratus
tahun lamanya yang dapat disalin lagi dalam
daun lontar lain yang telah diproses dan siap
untuk ditulisi. Namun, berdasarkan kemajuan
teknologi informasi (TI) yang begitu maju
dan canggih, karya sastra bahasa Jawa Kuno
dapat disalin dalam bentuk digital dan dapat
diakses dengan lebih mudah. Dengan adanya
prosesi penulisan kembali teks-teks bahasa

Jawa Kuno dalam bentuk yang lebih modern
maka bahasa tersebut dapat dipahami dengan
lebih mudah. Hingga kini bahasa Jawa Kuno
masih digunakan oleh masyarakat Bali. Namun,
bahasa tersebut penggunaannya terbatas dalam
ranah-ranah tertentu, seperti ranah keagaman,
ranah adat, dan seni pertunjukan (Erawati,
2015, hlm. 5—6). Lebih jauh, para linguis Bali
226

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

mengatakan bahwa bahasa Jawa Kuno bukanlah
sepenuhnya mati, tetapi para pelaku seni dan
pujangga di Bali pasih menggunakan bahasa
Jawa Kuno tersebut.
Karya Sastra Jawa Kuno yang bersifat monumental hingga kini adalah Ramayana (dalam
bentuk kakawin) dan Mahabharata (dalam
bentuk parwa). Pada mulanya, Ramayana dan
Mahabharata merupakan karya sastra yang

berasal dari India, buah karya mahapujangga
Bhagawan Byasa. Pada saat berkuasanya Raja
Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Majapahit,
karya-karya sastra tersebut dialihbahasakan ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Pengalihbahasaan
karya-karya tersebut diistilahkan dengan mangjawaken byasamata. Berdasarkan karya-karya
itulah bahasa Jawa Kuno dapat dikenali hingga
kini, bahkan digunakan sebagai ilham besar
dalam penulisan kreatif karya sastra maupun
ornamen-ornamen dan lukisan. Bahasa Jawa
Kuno mewariskan lange yang cukup banyak
sehingga layak dan dapat diteliti dalam berbagai
sudut pandang keilmuan. Seperti yang diungkapkan oleh Saussure (1974; 1988; Kridalaksana, 1993, hlm. 9) bahwa langue bersifat konkret
karena merupakan perangkat tanda bahasa
yang disepakati secara kolektif dan merupakan
fakta sosial sehingga dapat dipahami walaupun
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 225 — 238


(Ni Ketut Ratna Erawati) The Interpretation of Sound Segment of Old Javanese ...

bahasa itu telah dikategorikan sebagai bahasa
mati. Oleh karena itu, bahasa Jawa Kuno yang
tidak memiliki penutur asli lagi lafal segmensegmen bunyinya dinterpretasikan lagi pengucapannya oleh ahli-ahli dan para pelaku seni
yang menekuni bahasa tersebut.
Dari sudut pandang tipologi bahasa, bahasa
yang memiliki tipologi yang “mirip atau sama”
tentu memiliki keuniversalannya di samping itu
juga memiliki kekhasannya. Misalnya, dalam
tipologi fonologis, bahasa-bahasa di dunia
memiliki sistem tiga vokal, lima vokal, tujuh
vokal, dan seterusnya. Terkait dengan tipologi
fonologisnya, bahasa Jawa kuno memiliki
sistem tujuh vokal dasar. Secara tipologi
morfologi tergolong ke dalam tipe aglutinasi.
Bahasa yang tergolong dalam tipologi tersebut
memiliki ciri, yaitu satu kata terdiri atas banyak
morfem. Dalam proses morfonemik bunyi yang
berdekatan cenderung saling berpengaruh dan

berdampak pada perubahan bunyi. Kedekatan
masing-masing segmen vokal ataupun
konsonan rentan terjadi perubahan yang
bersifat fonologis. Segmen vokal dengan vokal
dampak fonemisnya berbeda dengan segmen
vokal dengan nonvokal. Berdasarkan dampak
yang ditimbulkan dalam proses morfofonemik
tersebut maka dipandang perlu untuk dibahas
segmen bunyi bahasa Jawa Kuno. Dengan
demikian, interpretasi pelafalan segmensegmen tersebut dapat dilakukan oleh orang
yang pasih menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Perbedaan lafal bunyi masing-masing segmen
tentu dapat dianalisis dengan speech analyser
sebagai sarana atau alat-alat mekanik yang
dapat menampilkan kuantitas dan kualitas bunyi
bahasa. Cara seperti inilah diterapkan dalam
menginterpretasi beberapa pelafatan bunyi
beserta proses yang dilalui bunyi-bunyi tersebut.
Bunyi-bunyi yang saling pengaruh tersebut
dapat dilihat dampak fonetis dan fonemis yang

dihasilkannya. Untuk mewujudkan realitas
isik segmen bunyi dalam bahasa Jawa Kuno,
masalah penelitiain ini adalah interpretasi
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

pelafatan segmen bunyi bahasa Jawa Kuno dan
perbedaan frekuensi bunyi-bunyi yang saling
berdekatan serta bagaimanakah kaidah-kaidah
generatif perubahan segmen tersebut.
Penelitian sebelumnya dengan topik yang
sama pernah dilakukan oleh Zen (2016) berjudul
“Perubahan Fonologis Kosakata Serapan
Sansekerta dalam Bahasa Jawa (Analisis
Fitur Distingtif Dalam Fonologi Transformasi
Generatif)”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui proses perubahan bunyi kosakata
Sansekerta beserta kaidah- kaidahnya dan faktor
penyebab perubahannya. Data yang digunakan
di sini berupa kosakata Sansekerta yang terdapat
dalam buku Sanskrit in Indonesia (Gonda,

1973) yang telah dikonversi menjadi trankripsi
fonetis sesuai standar IPA (International
Phonetic Alphabet). Hasil penelitian ini
berupa proses perubahan bunyi dan kaidahkaidah bahasa Sanskerta, di antaranya (1)
perubahan segmen bunyi; (2) pemunculan/
penyisipan bunyi; (3) penghilangan atau
pelesapan bunyi; (4) fusi/perpaduan bunyi,
dan (5) pergeseran posisi bunyi atau metatesis.
Penelitian Zen (2016) digunakan untuk bahan
bandingan sebagai pelengkap penelitian ini,
yaitu mengungkapkan bentuk interpretasi
pelafatan segmen bunyi, perbedaan frekuensi
bunyi yang saling berdekatan itu, dan kaidah
generatif perubahan segmen bunyi bahasa Jawa
Kuno.
Sudiana (2009) melakukan penelitian
berjudul “Perubahan Fonologis Kosakata
Serapan Bahasa Sansekerta dalam Bahasa
Indonesia”. Penelitian ini mengkaji tentang
perubahan fonologis kosakata serapan bahasa

Sansekerta dalam bahasa Indonesia. Penelitian
ini, Sudiana membahas mengenai unsur serapan
Sansekerta dalam bahasa Indonesia dengan
sampel data dari koran harian Bali Post. Hal
yang membedakan penelitian Sudiana dengan
penelitian ini adalah penggunaan speech
analyser untuk melihat perubahan morfem dan
variasi fonem bahasa Sanskerta. Sementara itu,
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

227

Interpretasi Segmen Bunyi Bahasa Jawa Kuno ... (Ni Ketut Ratna Erawati)

penelitian Parwati (2015) berjudul “Realisasi
Fonetis Konsonan Getar Alveolar bahasa
Indonesia pada Laki-Laki dan Perempuan
Dewasa” dijadikan rujukan penelitian ini
dalam hal penggunaan program spektogram.
Dengan menggunakan program spektogram

ini—perangkat lunak berupa IPA (International
Phonetics Assosiation)—dapat dilihat simbol
fonetik bahasa Sanskerta.
Penelitian ini menggunakan teori fonologi
generatif. Teori ini untuk membahas pelafalan
segmen bunyi, perbedaan frekuensi bunyi, dan
kaidah generatif perubahan segmen bunyi.
Dalam linguistik, khususnya dalam tataran
fonologis, segmen yang dimaksudkan adalah
segmen bunyi bahasa. Segmen bunyi oleh
pandangan linguis pada dasarnya diganggap
identik dengan bunyi ujar (speech sounds)
walaupun dalam sebagian kecil bunyi ujar saja.
Dalam fonetik, kata segmen digunakan untuk
mengacu pada sebagian tertentu gelombang
bunyi ujar yang dapat dipilah-pilah dalam
kursor dalam spektograf, atau bagian tertentu
bunyi ujar yang direkam. Sementara itu, istilah
segmen digunakan untuk merujuk fonem
sebagai suatu bunyi yang abstrak, khususnya
fonem yang bersifat segmental. Berkaitan
dengan segmen di atas, setiap bunyi memiliki
ciri khusus yang disandangnya. Misalnya,
/b/ dan /p/ dapat dilihat itur persamaan dan
perbedaannya. Bunyi /p/ dan /b/ sama dalam
tempat artikulasi dan cara artikulasi, tetapi
berbeda dalam itur kebersuaraan, yakni /p/
[- suara] dan /b/ [+ suara]. Secara singkat,
itur distingtif dalam fonologi adalah realitas
fisik dan realitas psikologi dalam fonem
(Simanjuntak, 1990, hlm. 12—13; Singh,
1976). Terkait dengan topik penelitian ini,
unit-unit terkecil adalah realitas isik fonem.
Hal tersebut dapat diartikan realitas yang
berhubungan dengan persepsi fonem-fonem itu.
Setiap fonem dapat diuraikan dan dibedakan
berdasarkan atas tiga itur utama, yaitu (a)

228

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 225 — 238

fitur-fitur artikulasi: tempat artikulasi, cara
artikulasi, kebersuaraan; (b) itur-itur akustik,
frekuensi, intensitas, dan durasi bunyi-bunyi
itu diucapkan; (c) fitur-fitur persepsi, yang
didasarkan atas diskriminasi pendengaran (hal
ini berkaitan dengan neorologis telinga pada
saat bunyi itu diterima oleh telinga). Dengan
demikian, ciri distingtif merupakan unit dasar
dalam fonologi, sedangkan fonem adalah unit
segmental yang terdiri atas serangkaian ciri
distingtif.
Proses fonologis berusaha menemukan dan
menjelaskan proses diucapkannya sebuah kata
dalam kaitannya dengan kemampuan berbahasa.
Proses fonologis (phonologycal process)
adalah perubahan bunyi yang sistematis yang
mempengaruhi pola dan kelas bunyi tertentu.
Para ahli fonologi berasumsi bahwa proses
fonologis ini melewati dua tataran, yakni
tataran tersirat (underlying form), representasi
fonologis dan tataran tersurat (surface
form) atau representasi fonetis, yakni ujaran
sesungguhnya yang didengar. Bentuk tersirat
berubah menjadi bentuk baru sebagai hasil
dari proses fonologis (Yusuf, 1998, hlm.10).
Schane (1973, hlm. 49) mengelompokkan
proses-proses fonologi menjadi empat macam,
yakni (a) asimilasi, (b) struktur suku kata, (c)
pelemahan dan penguatan, serta (d) netralisasi.
Proses fonologis dapat saling memengaruhi
ruas-ruas segmen bunyi yang berdekatan.
Untuk menjembatani analisis digunakan
teori itur distingtif dalam teori fonologi
generatif. Prinsip-prinsig generatif pertamatama dikemukakan oleh Morris Halle teman
Chomsky. Karangan Halle yang terkenal dan
menjadi tonggal awal perkembangan fonologi
generatif adalah The Sound Pattern of Russian
yang terbit dua tahun setelah buku Syntactic
Structure karangan Chomsky (1959). Gagasangagasan itu diperbaiki dalam Phonology in
Generatif Grammar (1962) dan On the Bases
of Phonology (1964). Setelah mendapat

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 225 — 238

(Ni Ketut Ratna Erawati) The Interpretation of Sound Segment of Old Javanese ...

pengujian yang panjang, terbitlah buku yang
sangat monumental dan merupakan buku suci
aliran fonologi generatif. Buku itu ditulis oleh
Chomsky dan Halle dengan judul The Sound
Pattern of English (1968) yang lebih dikenal
dengan singkatannya SPE (dalam Yusuf,
1998: hlm. 91—95). Selanjutnya, kajiankajian fonologi generatif dikembangkan oleh
Schane (1973, 1992) yang menemukan ciriciri spesiik, representatif, dan keuniversalan
masing-masing segmen. Teori fonologi
generatif memiliki ciri, yaitu (1) analisisnya
bersifat morfofonemik, artinya struktur
morfem dan rumus yang menukar bentuk
dalaman ke dalam bentuk-bentuk permukaan
yang beragam dan (2) itur distingtif. Teori itur
distingtif memiliki keunggulan, yaitu dapat
memecahkan masalah yang rumut sekalipun.
Analisis generatif memiliki tiga peringkat
dasar, yaitu peringkat representasi leksikon,
peringkat representasi fonologi, dan peringkat
representasi fonetik. Teori dan konsep yang
diuruaikan sebelumnya diterapkan dalam
melihat realitas segmen bunyi bahasa Jawa
Kuno yang memiliki kecenderungan terjadi
perpaduan bunyi.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode simak
dengan teknik sadap. Penyadapan penggunaan
bahasa secara tertulis terjadi jika peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa berupa
bahasa tulis, misalnya naskah-naskah kuno,
teks narasi, bahasa-bahasa pada media massa,
dan lain-lain. Pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan (Mahsun, 2005,
hlm. 90--93). Terkait dengan objek penelitian
tentang bahasa Jawa Kuno yang merupakan bahasa dokumenter, teknik sadap dalam penelitian
ini diartikan bahwa peneliti menyadap penggunaan bahasa dalam teks-teks yang dapat dianggap sebagai penyedia data. Berbagai sumber
data yang telah disediakan (corpora) nantinya

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

dipilih menjadi data. Teknik lain adalah teknik
rekam. Pengumpulan data dengan merekam
pelafalan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk
kalimat-kalimat dengan alat speech analyser.
Dari teknik tersebut didapatkan kualitas dan
frekuensi bunyi. Teknik tersebut dapat pula
dibantu dengan teknik kartu, transkripsi, transliterasi sehingga didapatkan data yang sahih
atau dikenal juga dengan istilah koleksi data
(Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005; Sarwono,
2006; Creswell, 2009).
Analisis data penelitian ini menggunakan
metode padan intralingual dan metode padan
ekstralingual. Ada dua konsep dalam metode
intralingual, yaitu konsep padan dan konsep
intralingual. Konsep padan adalah membandingkan atau sesuatu yang dibandingkan dan
sesuatu itu mesti mengandung makna adanya
keterhubungan sehingga padan diartikan sebagai hal menghubung-bandingkan, sedangkan
intralingual mengacu pada unsur-unsur yang
berada dalam bahasa (bersifat lingual). Metode
padan intralingual merupakan cara analisis yang
diterapkan dengan menghubung-bandingkan
unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang
terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda. Sebagai langkah
konkretnya, teknik analisis data yang digunakan
adalah hubung-banding menyamakan (HBS)
dan hubung-banding membedakan (HBB),
dan hubung-banding menyamakan hal pokok
(Mahsun, 2005, hlm. 111—113; Djajasudarma,
1993; Sudaryanto, 1996). Beberapa teknik yang
perlu ditambahkan ketika menganalisis adalah
teknik balik (permutasi), teknik ganti (substitusi), teknik lesap (delisi), dan teknik perluas
atau ekspansi. Penggunaan teknik-teknik ini
bertujuan untuk mengetes kegramatikalan suatu
konstruksi.
Hasil analisis disajikan dalam dua cara,
yaitu (a) perumusan dengan kata-kata biasa,
termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis dan (b) perumusan dengan meng-

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

229

Interpretasi Segmen Bunyi Bahasa Jawa Kuno ... (Ni Ketut Ratna Erawati)

gunakan tanda-tanda atau lambang-lambang
tertentu. Kedua cara itu disebut dengan metode
informal dan metode formal. Beberapa penyajian dilakukan dengan metode formal, yakni
tanda-tanda atau lambang-lambang, antara lain
tanda asterisk (#)digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk morfem; / / untuk mengapit
suatu ruas segmen bunyi; tanda panah ( →)
‘menjadi’; tanda kurung siku [ ] untuk menunjukkan bahwa satuan di dalamnya adalah ciri
khas/karakteristik bunyi; huruf kapital sebagai
singkatan, dan sebagainya. Penggunaan katakata biasa, tanda-tanda, atau lambang-lambang
merupakan teknik hasil penjabaran dari setiap
metode penyajian hasil analisis (Mahsun, 2005,
hlm. 116; Sudaryanto, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan penelitian ini dimulai
dari uraian segmen bunyi berdasarkan gelombang, nada, dan spektogram sebagai interpretasi
pelafatan segmen bunyi dan perbedaan frekuensi bunyi yang saling berdekatan itu serta kaidah generatif perubahan segmen bunyi bahasa
Jawa Kuno. Segmen bunyi yang dihasilkan
berupa penggabungan segmen antarleksikon
pada batas frasa. Perubahan segmen bunyi bahasa Jawa Kuno memiliki kelas dan itur bunyi
yang saling memengaruhi. Uraian penerapan
kaidah generatif bahasa Jawa Kuno meliputi
penggabungan segmen [u] dengan [i] menjadi
[w] dengan membuktikan sampel kata katemu +
ing yang dapat dilihat dari gambar spektogram.
Segmen Berdasarkan Gelombang, Nada, dan
Spektogram
Berdasarkan hasil rekaman speech analyzer
bahwa dalam bahasa Jawa Kuno dapat ditemukan penggabungan segmen antarleksikon pada
batas frasa. Pada data terdapat bentuk turunan
katĕmwing ‘bertemu di/pada’. Sebenarnya
bentuk tersebut berasal dari bentuk turunan
katĕmu yang terbentuk dari preiks ka- dan
bentuk prakategorial temu. Unsur linguistis
230

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 225 — 238

yang mengikuti adalah partikel ing yang dimulai dengan segmen vokal /i/. Pertautan antara
segmen /u/ dan /i/ yang saling mempengaruhi
menyebabkan segmen /u/ mengalami proses
labialisasi menjadi bunyi lucuran semivokal
/w/. Kalau dilihat ciri-ciri distingtif yang dimiliki masing-masing segmen tersebut adalah
sama-sama sebagai segmen [+ tinggi] dan yang
membedakannya adalah /i/ [- blk.] dan /u/ [+
blk.]. Oleh karena itu, segmen /i/ yang berciri
segmen posisi depan atas akhirnya menarik
/u/ ke depan dan hanya bertahan pada bunyi
luncuran semivokal /w/. Hal ini menandakan
bahwa terjadi proses fonologis terhadap segmen
/u/ menjadi /w/. Pengaruh bunyi antarleksikon,
dalam hal ini ditunjukkan bentuk katemu yang
berakhir dengan segmen vokal /u/ dengan
partikel preposisi ing yang dimulai dengan
segmen vokal /i/ tadi. Bentuk katĕmu yang
berfungsi sebagai predikat berubah menjadi
katĕmw karena dipengaruhi oleh /i/ pada frasa
preposisi. Secara kasat mata, bentuk katemwing
tampak seolah-olah sebagai satu kata, tetapi
bentuk tersebut adalah dua unsur linguistik
yang memiliki kategori berbeda. Proses seperti
tersebut merupakan proses fonologis tataran
klausa (Pastika, 2004, hlm. 8).
Perubahan yang bersifat fonologis seperti itu dapat dibuktikan berdasarkan alat analisis bunyi ujaran, yaitu speech analyzer. Bunyi
ujaran yang telah terekam dapat dilihat pada
graik gelombang suara dan dapat dibuktikan
pada signal amplitude. Bunyi overal amplitude
yang terkeras biasanya adalah vokal, setelah vokal adalah nasal dan bunyi likuid juga memiliki
relativitas amplitude yang besar. Gelombang
bunyi dapat diplot dalam kurve yang dapat
menunjukkan amplitude yang berubah setiap
saat. Untuk membuktikan bahwa segmen /u/
dipengaruhi oleh /i/ pada batas leksikon dapat
ditunjukkan secara akustik pada masing-masing
kata dengan menggunakan alat analisis bunyi,
spektogram dan masing-masing segmen dapat
dibuktikan seperti di bawah ini.
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 225 — 238

(Ni Ketut Ratna Erawati) The Interpretation of Sound Segment of Old Javanese ...

Gambar 1 Spektogram Bentuk katĕmu: Membuktikan Segmen /u/

Gambar 2 Spektogram Bentuk [iŋ] (2x diperbesar): Membuktikan Segmen /i/

Gambar 3 Spektogram Membuktikan Segmen /w/
ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

231

Interpretasi Segmen Bunyi Bahasa Jawa Kuno ... (Ni Ketut Ratna Erawati)

Spektogram 1 dan 2 tersebut membuktikan
bahwa ujaran segmen /u/ yang terdapat pada silabel ka. tĕ.mu. dan segmen /i/ pada silabel ing.
Segmen /u/ memiliki frekuensi di antara F1 346
Hz, F2 1097Hz, dan F3 2650Hz dengan durasi
sekitar 169 ms. Demikian pula segmen /i/ pada
bentuk ing yang mengikutinya berada pada
frekuensi F1 589 Hz, F2 2268 Hz, F3 2769 Hz
dengan durasi 101 ms. Selanjutnya, pada spektogram 3 yaitu terdapat perubahan fonologis
berupa bunyi luncuran /w/. Segmen /w/ berada
dalam frekuensi F1 534 Hz, F2 1639 Hz, F3
2551 Hz. Hal tersebut berarti frekuensi terendah
berada pada 534 Hz dan frekuensi tertinggi
berada pada frekuensi 2551 Hz dengan durasi
sekitar 74 ms. Jika dilihat perbandingan segmen
/i/ secara terpisah, seperti pada spektogram 2
di atas adanya segmen /i/ yang mempengaruhi
/u/ sehingga muncul segmen luncuran /w/ dan
ternyata menunjukkan frekuensi pada F1 271
Hz, F2 1027 Hz, F3 2575 Hz yang menunjukkan adanya suatu perubahan durasi menjadi 76
ms. Proses keterpengaruhan segmen /u/ dan /i/
menjadi /w/ telah terjadi pemendekan durasi
sehingga /i/ durasinya menjadi lebih pendek.
Spektogram 3 membuktikan proses fonologis yang terjadi terhadap segmen /w/. Apabila
/u/ bergabung dengan /i/ dan membentuk satu
silabel /mwiŋ/ frekuensi yang dimiliki, yaitu F1
284 Hz, F2 1212 Hz, F3 3068 Hz dengan durasi
289 ms. Demikian pula silabel /mu/ memiliki
frekuensi F1 357 Hz, F2 1947 Hz, F3 2754 Hz
dan durasi 315 Ms. Berdasarkan perbandingan
tersebut perubahan fonologis dari silabel /mu/
menjadi silabel /mwiŋ mengalami penurunan
frekuensi dan durasi. Ketika pelafalan mwing

232

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 225 — 238

tersebut hanya terjadi dalam satu puncak silabel
(syllable peak) Hal ini berarti vokal puncak
silabel terbuka memiliki frekuensi lebih tinggi
dan durasi lebih lama jika dibandingkan pada
silabel tertutup. Selanjutnya, kebersuaraan atau
tidak bersuaranya masing-masing segmen ditunjukkan oleh tebal tipisnya garis-garis hitam
pada gambar.
Proses fonologis lain yang dibuktikan
adalah bentuk yang terdapat pada frasa mamy
aburu-buru. Persona mamy itu sebenarnya
berasal dari mami dan diikuti oleh aburuburu. Pada data itu terjadi proses fonologis di
antara /i/ dan /a/ berupa palatalisasi sehingga
menjadi bunyi luncuran semivokal /y/. Fitur
yang dimiliki oleh /i/ [-blk. + ting.] sedangkan
/a/ adalah itur [+ rendah]. Pertautan antara
/i/ dan /a/ ternyata menyebabkan terjadinya
proses fonologis. Oleh karena segmen /a/
adalah segmen yang mempengaruhi /i/ maka
/i/ ditarik ke belakang dan hanya bertahan pada
bunyi luncuran semivokal /y/ yang memiliki
ciri [+ ting.]. Bunyi /y/ sebagain mengambil ciri vokal dan sebagian mengambil ciri
konsonan. Hal ini menandakan bahwa ada
proses fonologis terhadap segmen /i/ menjadi
/y/ akibat pengaruh antarleksikon berupa
persona mami dan aburu-buru seperti di atas.
Bentuk mami yang berfungsi sebagai subjek
berubah menjadi mamy karena dipengaruhi
oleh frasa verba aburu-buru. Perubahan bunyi
selanjutnya, membuktikan segmen /i/ dan /a/
mengalami perubahan yang bersifat fonologis
antarleksikon dapat ditunjukkan secara akustik
masing-masing kata dengan menggunakan alat
analisis bunyi, spektogram seperti di bawah ini.

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 225 — 238

(Ni Ketut Ratna Erawati) The Interpretation of Sound Segment of Old Javanese ...

Gambar 4 Spektogram kata mami membuktikan /i/

Gambar 5 Spektogram aburu membuktikan /a/

Gambar 6 Spektogram mamyaburu membuktikan /y/

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

233

Interpretasi Segmen Bunyi Bahasa Jawa Kuno ... (Ni Ketut Ratna Erawati)

Pada spektogram 4 dan 5 tersebut membuktikan bahwa ujaran segmen /i/ pada silabel
ma.mi dan ujaran /a/ pada silabel berikutnya.
Segmen /i/ pada silabel /mi/ memiliki frekuensi
F1 419Hz , F2 1681 Hz, F3 2770Hz dengan
durasi sekitar 201 ms. Demikian pula, segmen
/a / pada bentuk aburu yang mengikutinya.
Segmen /a/ berada pada frekuensi 1059 Hz,
1533Hz, 2519Hz dengan durasi 161 ms. Selanjutnya, pada spektogram 6 yaitu terdapat
perubahan fonologis berupa bunyi luncuran
/y/. Segmen /y/ berada dalam frekuensi 652
Hz, F2 860Hz, 2410 Hz dengan durasi sekitar
189ms. Proeses perubahan segmen /i/ menjadi
/y/ telah terjadi pengurangan/pemendekan
durasi. Segmen /y/ telah berada di antara
frekuensi dan durasi /i/ dan /a/.
Spektogram 6 di atas membuktikan
pertukaran posisi urutan segmen, yakni antara
segmen /a/ dan /i/, seperti pada data mara sireng
alas ‘pergi (lah) ia ke hutan’ Dalam bentuk
sireng terdapat bentuk persona III sira yang
berfungsi sebagai subjek dan diikuti oleh frasa
preposisi ing alas. Oleh karena segmen akhir
dari persona itu adalah /a/ dan segmen awal dari
frasa preposisi itu adalah /i/ maka terjadi proses
peleburan berupa asimilasi resiprokal dan

Halaman 225 — 238

akhirnya membentuk bunyi baru yaitu /e/. Proses
yang terjadi adalah penggabungan segmen yang
berdekatan, yaitu bunyi /a/ pada sira dan bunyi
/i/ pada bentuk ing yang mengikutinya. Fonem
vokal /i/ yang memiliki itur [- belakang dan
+ tinggi] dan vokal /a/ yang memiliki itur [+
rendah] mempunyai pengaruh yang sama-sama
kuat sehingga /i/ dan /a/ mengalami peleburan
menjadi menjadi /e/ yang memiliki itur ( +
depan dan + tengah). Kedua bunyi ini samasama meninggalkan itur distingtifnya, yaitu [+
tinggi dan + rendah]. Artinya /a/ tidak mampu
sepenuhnya mempengaruhi /i/ demikian pula /i/
tidak mampu juga sepenuhnya mempengaruhi
/a/, akhirnya /i/ mengalami penurunan dan /a/
mengalami penaikan sehingga hanya bertahan
sampai di posisi tengah, yaitu /e/. Selanjutnya,
sireng terdiri dari bentuk bebas sira dan
preposisi ing dalam membentuk sebuah klausa
dapat saling mempengaruhi antarfrasa, yaitu
frasa nomina (FN) dengan frasa preposisi (FP).
Untuk membuktikan bahwa segmensegmen /a/ dan /i/ mengalami peleburan
yang bersifat fonologis dapat ditunjukkan
secara akustik masing-masing kata dengan
menggunakan alat analisis bunyi, spektogram
seperti di bawah ini.

Gambar 7 Spektogram Kata Sira Membuktikan Segmen /a/

234

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 225 — 238

(Ni Ketut Ratna Erawati) The Interpretation of Sound Segment of Old Javanese ...

Gambar 8 Spektogram Membuktikan Segmen /i/

Gambar 9 Spektogram Kata Sireng Membuktikan Segmen /e/

Spektogram 7 tersebut membuktikan
bahwa ujaran segmen /a/ pada silabel si.ra dan
ujaran /i/ pada silabel berikutnya. Segmen /a/
memiliki frekuensi pada F1 1011 Hz, F2 1792
Hz, F3 2999 Hz dengan durasi sekitar 311 ms.
Demikian pula spektogram 8 bahwa segmen /i
/ pada bentuk ing yang mengikutinya, bahwa
segmen /i/ berada pada frekuensi F1 552 Hz,
F2 2345 Hz, F3 3145 Hz dengan durasi 103 ms.
Perbedaan durasi segmen /a/ dan /i/ pada posisi
seperti itu cukup lama yaitu 108 ms. Selanjutnya, pada spektogram 9 dibuktikan perubahan

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

fonologis berupa peleburan segmen /a/ dan /i/
menjadi /e/. Segmen /e/ berada dalam frekuensi F1 836 Hz, F2 2120, F3 2842 Hz dengan
durasi sekitar 146 ms. Proeses penggabungan
segmen /a/ dan /i/ menjadi /e/ telah menyebabkan perubahan durasi menjadi 146 ms. Hal ini
menandakan bahwa /e/ yang telah berada di
antara durasi /a/ dan /i/ yaitu 103 ms. – 311 ms.
Penerapan Kaidah Generatif
Kaidah penggabungan segmen [u] dengan [i]
menjadi [w] dengan membuktikan sampel kata
katemu + ing pada spektogram sebelumnya.
, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

235

Interpretasi Segmen Bunyi Bahasa Jawa Kuno ... (Ni Ketut Ratna Erawati)

[u]

+

[i]

+ blk. - blk
+ ting. + ting
+ bul. - bul.

[w]
+ blk,
+ ting
+ bul.
+ son.
+ kont.

K

K(V)(K)

Kaidah tersebut menyatakan segmen [u]
dengan itur [ + blk., + ting., + bul] berdekatan
dengan [i] dengan itur [- blk., + ting., - bul.]
menjadi [w] dengan itur [ + blk., + ting., + bul.,
+ son. + kont.] di antara konsonan dan konsonan. Sementara bunyi sekitarnya menyesuaikan
dengan pola silabel yang ada. Proses asimilasi
yang terjadi terhadap segmen tersebut ternyata
segmen [i] meninggalkan dua itur yang dimilkinya dan mempertahankan satu iturnya,
yaitu [+ ting.] dan mengambil ciri-ciri konsonan
yang dimilki[w] yaitu [+ son. + kont.]. Secara
keseluruhan itur [w] adalah [+ blk., + ting. +
bul., + son. + kont.]
Kaidah penggabungan segmen [i] dengan
[a] menjadi [y] dengan membuktikan contoh
kata mami + aburu pada ekspektogram di atas.
Ciri pembeda yang dimiliki masing-masing
segmen tersebut seperti berikut ini.
[i]

+

[a]

- blk. + rend.
+ ting. + blk.]
– bul.]

[y]
- blk.,
+ ting.
- bul.]
+ son,
+ kont.

K

K

Notasi tersebut menyatakan bahwa segmen
[i] dengan cirri pembeda [- blk., + ting. - bul.]
berinteraksi dengan [a] dengan itur [+ rend.
+ blk.] menjadi segmen /[y] dengan itur didtingtif yang dimilkinya [- blk., + ting. - bul., +
son. + kont. ] di antara konsonan. Efek fonologis yang terjadi pada data tersebut adalah
asimilasi. Segmen [i] memiliki itur kuat yang
dapat mengubah itur yang dimiliki segmen

236

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

Halaman 225 — 238

[a]. Segmen [a] meninggalkan itur [+ rend. +
blk.]. dan hanya mampu berkolalaburasi sebagai bunyi luncuran [y]. Dengan demikian, itur
yang dimiliki [y] adalah sebagain ciri vokal dan
sebagian ciri konsonan, yakni [- blk., + ting. bul. + son., + kont.]
Kaidah penggabungan segmen [a] dengan
[i] menjadi [e] dengan contoh kata yang diinterpretasi, yaitu sira + ing. Notasi generatifnya
dapat dijelaskan seperti berikut ini.
VV

V

/ K

+ rend. + ting.
- blk.

- ting.
- blk.
- rend.
+ teg

KVK(V)(K)
+ kont.
+ ant.
+ kor. K--- KVK (V)(K)
+ mal.

Kaidah tersebut menyatakan segmen [a]
dengan itur [ + rend.] berinteraksi dengan [i]
yang mengikutinya dengan itur [ + ting., - blk.,
] menjadi [e] dengan itur [ - ting., - blk., - rend.,
+ teg.] di antara konsonan dan konsonan dengan itur [ + kons., + ant., + kor., + mal] vokal
konsonan dan seterusnya.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis tersebut dapat dikatakan
bahwa masing-masing segmen vokal dalam
suatu silabel tertentu memiliki frekuensi yang
berbeda-beda, karena gelombang ujaran sangat
bergantung pada kecepatan vibrasi pita suara.
Demikian pula waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan sebuah periode gelombang ujaran sama dengan waktu yang diperlukan oleh
pita suara untuk sekali membuka dan menutup.
Rangkaian gelombang yang muncul memiliki
perbedaan yang tipis dengan rangkaian sebelumnya. Demikian pula terhadap durasi yang
dibutuhkan masing-masing segmen pada saat
segmen/silabel itu diucapkan. Bunyi tidak selalu persis sama, bahkan dalam ujaran posisi
dan bentuk artikulasi (bibir, lidah, rahang, dan

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Halaman 225 — 238

(Ni Ketut Ratna Erawati) The Interpretation of Sound Segment of Old Javanese ...

sebagainya) selalu berubah saat menyentuh
alat-alat artikulasi (target) yang digabungkan
dengan sebuah suara dan kemudian berlanjut
untuk berpindah untuk menyesuaikan dengan
posisi yang diperlukan untuk bunyi berikutnya.
Perubahan yang bersifat fonologis tersebut
telah dibuktikan pada speech analyzer melalui
spektogram yang muncul.
Ruas-ruas segmen dalam analisis itur distingtif menjadi lebih jelas. Ruas segmen asal
dan segmen yang menjadi dampak (segmen permukaan) dalam proses morfofonemik tersebut
memiliki ciri-ciri yang berbeda. Demikian pula,
kaidah-kaidah fonologis berbeda sesuai dengan
itur-itur yang dimiliki masing-masing segmen.
Setiap ada rangkaian vokal dalam bahasa tersebut pasti terjadi proses perpaduan yang menimbulkan munculnya bunyi baru (segmen ketiga).
Sementara itu, apabila terjadi pertukaran posisi
segmen, dampak fonologis tersebut berbeda
walaupun kelas bunyi itu sama.
Hasil ini tidak menginterpretasikan dan
membuktikan seluruh segmen bunyi dalam bahasa Jawa Kuno. Namun, hanya menginterpretasi tiga segmen vokal dasar beserta perubahan
fonologis yang dimilikinya. Segala rekonmendasi ataupun kritikan yang konstruktif sangat
diharapkan. Mengingat segmen bahasa Jawa
Kuno yang dituangkan dalam bentuk langue
masih banyak yang belum mendapat penelaahan secara tuntas, disarankan para peneliti lain
untuk berkontribusi dalam penelitian terhadap
bahasa tersebut.

Bandung: PT ERESCO.
Erawati, N.K.R. (2015). Memahami Klausa
dan Kalimat Teks Bahasa Jawa Kuna.
Denpasar: Dharmapura.
Kridalaksana, H. (1993). Kamus Linguistik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada.
Parwati, S.A.P.E. (2015). “Realisasi Fonetis
Konsonan Getar Alveolar bahasa Indonesia pada Laki-Laki dan Perempuan
Dewasa”. Aksara, Vol. 27, No. 1, Juni
2015, hlm. 37—47, http://aksara.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/aksara/
article/view/169.
Pastika, I W. (2004). “Proses Fonologis Melampaui Batas Leksikon”. Linguisika, No.
20, Vol. II, Maret 2004, hlm. 1—13.
Denpasar: Program Studi Magister dan
Doktor Linguistik, Universitas Udayana.
Pennington. (2007). Phonology in Context.
Great Britain: Palgrawe Macmillan.
Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Saussure, F.D. (1974). Course in General Linguistics. New York: Mc Graw Hill Book
Company.

DAFTAR PUSTAKA

Saussure, F.D. (1988). Pengantar Linguistik
Umum. Terjemahan Rahayu S. Hidayat.
Creswell, J.W. (2009). Research Design: QualiYogyakarta: Gadjah Mada University
tative, Quantitative, and Mixed Methods
Press.
Approaches. Los Angeles, London, New
Delhi, Singapore: SAGE.
Schane, S. A. (1973). Generative Phonology.
Englewood Cliffts, New Jersey: PrenDjajasudarma, F. (1993). Metode Linguistik
tice Halle.
Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Shcane, S. A. (1992). Buku Latihan Fonologi

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

237

Interpretasi Segmen Bunyi Bahasa Jawa Kuno ... (Ni Ketut Ratna Erawati)

Halaman 225 — 238

Generatif. Terjemahan Kentjanawati Yusuf, S. (1998). Fonetik dan Fonologi. JaGunawan. Jakarta: PT Gelora Angkasa
karta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pratama.
Zen, A.L. (2016). “Perubahan Fonologis
Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik
Kosakata Serapan Sansekerta dalam
Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Bahasa Jawa (Analisis Fitur Distingtif
wacana University Press.
Dalam Fonologi Transformasi Generatif)”. Tesis, Pascasarjana. Semarang:
Sudiana, I M. (2009). “Perubahan Fonologis
Universitas Diponegoro. http://eprints.
Kosakata Serapan Bahasa Sansekerta
undip.ac.id/48453/1/ABDUL_LAdalam Bahasa Indonesia”. Tesis. PasTIF_ZEN.pdf.
casarjana, Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Zoetmulder, P. J. dan S. O. Robson. (1995).
Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia.
Simanjuntak, M. (1990). Teori Fitur Distingtif
Terjemahan Darusuprapta dan Sumarti
dalam Fonologi Generatif: PerkembanSuprayitna. Jakarta: PT Gramedia
gan dan Penerapannya. Jakarta: Gaya
Pustaka Utama.
Media Pratama.

238

, Vol. 29, No. 2, Desember 2017

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)