Kekuasaan jawa : studi komparatif sistem kekuasaan kerajaan majapahit dan demak

(1)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Yusep Munawar Sofyan

NIM: 103033227835

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H./2010 M.


(2)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Februari 2010


(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Yusep Munawar Sofyan NIM: 103033227835

Pembimbing,

Prof. Dr. Musyrifah Sunanto

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H./2010 M.


(4)

SISTEM KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 Februari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Jakarta, 23 Februari 2010

Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota,

Idris Thaha, M.Si NIP. 19660805 200112 1 001

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Wiwi Siti Sajaroh. MA NIP. 19690210 199403 2 004 Anggota,

Idris Thaha, M.Si NIP. 19660805 200112 1 001

Dr. Nawiruddin, MA NIP. 19720105 200112 1 003


(5)

Dan Demak

Majapahit dan Demak merupakan dua kerajaan Jawa yang paling berpengaruh pada jamannya. Dua kerajaan tersebut berada diwilayah yang sama yakni Jawa, namun banyak memiliki perbedaan diantaranya masalah konsep legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan yang dimiliki oleh para raja.

Sebagai kerajaan Jawa yang masih memegang tradisi nenek moyang dua kerajaan tersebut dikuatkan oleh ajaran agama yang cukup berpengaruh. Majapahit yang menganut agama Hindu-Budha dan Demak menganut ajaran Islam.

Legitimasi yang kemudian didapatkan oleh para penguasa Jawa adalah legitimasi keturunan dimana penguasa kerajaan selanjutnya merupakan anak mahkota ataupun kerabat dekat kerajaan, meskipun suksesi kepemimpinan demi mendapatkan legitimasi kekuasaan tidak hanya didapatkan dengan jalan yang mulus, yakni tercatat beberapa perebutan kekuasaan yang berujung dengan peperangan saudara salah satu contoh adalah perebutan kekuasaan demi legitimasi terjadilah perang yang dinamakan Paregreg pada masa Majapahit.

Demak yang berbeda dengan Majapahit, ternyata masih mengandalkan silsilah keturunan sebagai penguat legitimasi kekuasaannya dimata rakyat. Raden Fatah merupakan anak dari Brawijaya V penguasa terakhir Majapahit. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa legitimasi keturunan menjadi sangat dominan dalam ketatanegaraan kerajaan-kerajaan Jawa tempo dulu.

Setelah seorang pemimpin mendapatkan legitimasi maka akan berubah menjadi otoritas kekuasaan yang akan dimiliki. Mengingat konsep kekuasaan Majapahit yang terpusat, sehingga otoritas kekuasaan kemudian berada ditangan raja secara langsung, hal ini berbeda dengan Demak yang masih mengandalkan keberadaan wali sanga dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga otoritas kekuasaan sultan terbatasi dengan adanya wali sanga.


(6)

memberikan segenap daya cipta manusia hingga mampu untuk melakukan sesuatu. Salawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad yang telah memberikan ruang bagi umat untuk berpikir kritis.

Skripsi perbandingan kekuasaan ini merupakan hasil obrolan dengan Iqbal Hasanudin salah satu peneliti LSAF, di sela-sela kesibukannya. Pembicaraan itu berujung pada sebuah ide untuk menuliskannya dalam sebuah penelitian ilmiah. Iqbalpun telah lebih dulu menuliskan beberapa bunga rampai sejarah nasional Indonesia yang dipresentasikan di hadapan Mas Dawam.

Dari ide penulisan sejarah tersebut, penulis merasa bahwa terdapat ruang khusus untuk mengeksplorasi sebuah khazanah pemikiran, khsusunya dibidang politik. Gagasan tersebutpun mengendap dan menjadi sebuah bahan perenungan dan penelitian.

Kajian yang kemudian penulis teliti adalah masalah kekuasaan Jawa khususunya mengkomparasikan dua kerajaan Jawa yang sangat besar yakni Majapahit dan Demak.

Dalam penulisan karya ini, penulis banyak berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, khususnya kepada :

1. Dekan FISIP (Prof. Dr. Bahtiar Effendy) serta seluruh staf Dekanat FISIP UIN yang telah memberikan kemudahan kepada penulis.

2. Ibu Prof. Dr. Musyrifah Sunanto Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan yang konstruktif bagi penulis.


(7)

iii bagian terindah dalam hidupku.

4. Mang Edi, Kang Aay, Mang Opik, serta keluarga yang lainnya yang telah banyak membantu penulis.

5. Teman-teman di LSAF : Iqbal Hasanuddin (Trims atas sarannya), Ariful Mursyidi, Thowik, Mba Rifah serta Mas Dawam yang telah banyak memberikan pencerahan kepada penulis.

6. Teman-teman Jaringan Islam Kampus (JarIK) Nasional yang telah banyak memberikan kontribusi pada penulis. Khususnya Anton. Thanxs atas pinjaman buku-bukunya.

7. Teman-teman diskusiku di Paramadina : Farid (Bhazang), Kang Yandi, Syafiq, dan lainnya. Thanx atas kontribusinya.

8. Teman-teman PPI FUF 2003, Subairi (eri), Bahrul, Arya, Fajri, Aniq dan yang lainya thanx atas kesempatan yang berharga bersama kalian.

Akhirnya penulis merasa perlu berterimaksih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, yang tidak mungkin disebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat, panulis berterima kasih atas kontribusi dan waktunya.


(8)

ABSTRAK ……….. i

KATA PENGANTAR ……… ii

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR TABEL ……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah ……….. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….. 9

D. Metode Penelitian dan Metode Pembahasan ……… 9

E. Sitematika Pembahasan ……… 10

BAB II KEKUASAAN A. Teori Kekuasaan ...……… 12

1. Legitimasi (Keabsahan) ………... 17

2. Otoritas (Wewenang) ………... 19

B. Kekuasaan Tradisional ……….………... 21

C. Kekuasaan dalam Pandangan Jawa ………... 24

BAB III DUA KERAJAAN JAWA A. Gambaran Umum Geohistoriko-Politik Nusantara ... 31

B. Majapahit ... 38

1. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Majapahit ... 42

2. Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit ……….. 44


(9)

2. Masa Kejayaan Kerajaan Demak ... 64

3. Masa Kehancuran Kerajaan Demak ... 70

BAB IV PERBANDINGAN STRUKTUR KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK A. Legitimasi Kekuasaan ... 75

1. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit ... 77

2. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Demak ... 79

3. Persamaan dan Perbedaan Legitimasi Kekuasaan Majapahit dan Demak ... 81

B. Otoritas Kekuasaan ... 87

1. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit ... 88

2. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Demak ... 91

3. Persamaan dan Perbedaan Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak ... 93

BAB V KESIMPULAN ... 96

DAFTAR PUSTAKA


(10)

vi

2. Tabel 2 Perbandingan Kekuasaan Menurut Jawa dan Barat ……… 25 3. Tabel 3 Nama-nama Anggota Walisanga Menurut Angkatan ………….. 67 4. Tabel 4 Skema Perbandingan Legitimasi Kekuasaan Majapahit

dan Demak ………... 82 5. Tabel 5 Skema Otoritas kekuasaan Majapahit dan Demak ... 94


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Jawa merupakan salah satu kepulauan di Indonesia yang membentang dari ujung barat Provinsi Banten dan paling timur (Jawa Timur), merupakan sebuah kawasan yang paling banyak menyita perhatian para peneliti, baik yang berasal dari Indonesia maupun peneliti yang berasal dari luar Indonesia. Pusat perhatian penelitian mereka salah satunya adalah kepulauan yang dinamakan Jawa (Java).

Secara geografis pulau Jawa dipandang sebagai suatu kesatuan. Konsep kesatuan tersebut diperkuat oleh proses sejarah, yang menempatkan pulau Jawa sebagai sentrum suatu jaringan lalu lintas transportasi maritim sejak masa prasejarah.1

Mengingat batas pulau Jawa yang membentang antara barat dan timur, pesisir utara dan selatan, namun pada perkembangan abad ke 14, Lombard membagi kajian Jawa meliputi tiga kelompok sosial-budaya besar: Pertama, Tanah Pasundan, kedua, Tanah Jawa yang sebenarnya (Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur serta daerah Istimewa Yogyakarta) dan ketiga, Tanah Pesisir, semacam lajur pantai dimana identitas Jawa atau Sunda cenderung melemah atau bahkan menghilang dan digantikan oleh sebuah kebudayaan yang jauh lebih kosmopolit.2 Pembagian Lombard tersebut mengindikasikan bahwa secara budaya terdapat beberapa perbedaan antara ketiga wilayah tersebut.

1

Pengantar Sartono dalam buku Denys Lombard, Nusa Jawa:Silang Budaya,Bagian I: Batas-batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. xiv.

2


(12)

Sejak abad ke-5 Jawa sudah mengenal pemerintahan. pemerintahan yang dipakai adalah kerajaan. Tercatat ada beberapa kerajaan yang pernah menjadi penguasa di bumi Jawa, di antaranya: Tarumanegara, Syailendra, Mataram Hindu, Singosari, Padjadjaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, Cirebon, Banten, dan kerajaan-kerajaan kecil lainya.

Rickleft menggambarkan beberapa ciri umum negara-negara yang ada di Indonesia sebelum masa penjajahan. Ciri-ciri umum tersebut tidak berubah selama beberapa abad. Khususnya kondisi tanah, dan iklim di daerah-daerah tersebut mempunyai dampak yang penting bukan hanya terhadap pertanian dan perdagangan melainkan juga terhadap formasi negara.3

Letak geografis kerajaan-kerajaan tersebut secara umum dibagi kepada dua bagian, yakni wilayah kerajaan pedalaman dengan sistem kehidupan agraris, dan kerajaan yang dekat dengan dermaga-dermaga, dengan kecenderungan kerajaan tersebut adalah berdagang karena dekat dengan pelabuhan-pelabuhan dan biasa disebut kerajaan Maritim.

Dua bentuk kerajan seperti yang disebutkan di atas adalah Majapahit sebagai kerajaan Hindu pedalaman yang fokus perekonomiannya adalah agraris (bercocok tanam), dan kesultanan (kerajaan) Demak yang beragama Islam yang fokus perekonomiannya berdagang karena berada di daerah pesisir utara pulau Jawa yakni di kota Demak.

Dua kerajaan tersebut memiliki keunikan tersendiri, mengingat adanya perbedaan dalam segi penerimaan agama yang dianut, yakni Majapahit yang

3

M.C. Rickleft, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj, Satrio Wahono, dkk(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 49.


(13)

beragama Hindu, Budha sebagai agama resmi negara dan Islam sebagai agama tidak resmi negara,4 dan kerajaan Demak dengan prototip bentuk dan agama resmi Islam. Kedua kerajaan ini tidak begitu jauh dalam memerintah-Demak adalah kerajaan yang menggantikan Majapahit setelah kehancuranya- Jawa.

Bila ditelusuri lebih jauh dua kerajaan tersebut yakni Majapahit dan Demak merupakan satu rumpun keturunan Singasari. Dan raja Demak pertama sendiri merupakan anak keturunan dari raja terakhir Majapahit, yakni Kertabumi yang menikahi putri dari Champa Cina.5 Sistem kekerabatan inilah salah satu yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa, selain faktor-faktor lainya.

Menarik untuk dielaborasi pandangan Harry J. Benda mengenai pendekatan domestikasi, Benda menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan di pesisir (maritim) akan senantiasa kalah dari kerajaan di pedalaman (agraris) hal ini disandarkan kepada sebuah teori mengenai domestikasi Islam yakni kajian menyeluruh tentang Islam di Pulau Jawa pada abad 16-18, perebutan kekuasaan antara para penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang taat di wilayah pesisir Jawa, yang diwakili Demak, melawan kerajaan Mataram yang terkenal sinkretis di wilayah pedalaman. Ketika yang terakhir memeluk Islam, ia berusaha menekan wilayah-wilayah taklukan mereka di pesisir pantai yang memberontak, dan dalam

4

Diakses tanggal 8 Januari 2008 dalam http://www.majapahit-kingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=8&Itemid=7.

5

Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2006) h. 32.


(14)

proses ini menghancurkan bagian-bagian paling dinamis dari masyarakat Islam di pulau Jawa.6

Namun tentunya pendekatan ini tidak selamanya benar, mengingat ada beberapa hipotesis yang menyatakan bahwa kerajaan di pedalaman pernah mengalami kekalahan yakni kerajaan Majapahit yang takluk dari kerajaan Demak, pendekatan Benda tersebut setidaknya terbantahkan dengan kemegahan kerajaan Demak atas Majapahit ketika kerajaan Majapahit bertekuk lutut di hadapan tentara Demak. Dalam hal ini kekalahan Majapahit adalah kekalahan Non-Islam Jawa yang berada di pedalaman seperti yang disebutkan Benda atas kekuatan Islam di pesisir Pantai Jawa.

Pertarungan antara pedalaman dan pesisir dijelaskan oleh salah seorang ahli obat dari Lisbon (Portugis), Tome Pires, pada abad XVI yang pernah menjelajahi kepulauan nusantara yakni Sumatera dan Jawa. Pires menyatakan bahwa adanya peperangan antara pesisir dan daerah pedalaman, namun dia menegaskan bahwa peperangan tersebut jangan dipandang sebagai akibat dari pertentangan agama dan budaya yang tidak dapat dipertemukan. Pires menambahkan bahwa telah terjadi proses asimilasi budaya ketika agama Islam bertemu dengan budaya tinggi Jawa kuno yang kuat. Hal ini dapat dilihat dengan besarnya nilai toleransi kerajaan Majapahit dengan membiarkan dua makam orang

6

Hal ini ditegaskan oleh Bahtiar Effendy bahwa Benda ingin menyatakan unsur terpenting dalam teori domestikasi Islam adalah perkembangan perebutan kekuasaan antara Islam dan unsur-unsur non-Islam dalam masyarakat Indonesia. Oleh Benda unsur-unsur yang terakhir itu diidentifikasikan secara esklusif sebagai unsur ke-jawa-an. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998) h. 28-30.


(15)

yang beragama Islam di Trowulan dan Tralaya dekat dengan ibu kota kerajaan Majapahit.7

Peperangan tersebut di atas seperti dinyatakan Pires bukan diakibatkan oleh faktor agama semata, namun seperti dijelaskan oleh Kuntowijoyo, bahwa berdirinya Demak sebagai kerajaan muslim pertama di Jawa dapat dipandang sebagai kemenangan kelas saudagar dan kerajaan maritim atas kelas aristokrat dan kerajaan agraris (Majapahit).8

Baik Majapahit maupun Demak tentu mengharapkan legitimasi atas kekuasannya, namun legitimasi tersebut tidak seperti legitimasi yang berada di Barat, dimana pemangku kekuasaan wajib bertanggung jawab kepada rakyat, mengingat legitimasi kekuasaan bersifat etis dan demokratis.

Bagi kerajaan-kerajaan Jawa legitimasi yang dipakai adalah legitimasi religius yang dilaterapkan secara turun temurun, dimana yang paling berpengaruh adalah seorang pemimpin yang mampu menampung kekuasaan dari alam semesta yang adiduniawi. Seorang pemimpin Jawa senantiasa diidentikan dengan kekuatan mistis sebagai perlambang kekuasaannya.

Sahnya kekuasaan seorang raja biasanya ditentukan oleh keadaan yang turun temurun (warisan) baik dari putra mahkota sebagai penerus kerajaan maupun kerabat dekat kerajaan yang akan meneruskan kerajaan. Proses turun temurun tersebut diperkuat dengan pengintensifan kekuasaan raja yakni dengan

7

lihat pernyataan Pires yang dikutif dalam M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004., h. 35.

8

Lihat Kuntowijoyo, Agama, Negara dan Formasi Sosial, dalam Prisma No. 8, 1984, h. 40-41 tulisan ini dikutif dari Samodra Wibawa, Negara-Negara Di Nusantara; Dari Negara-Kota Hingga Negara-Bangsa Dari Modernisasi Hingga Reformasi Admonistrasi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001)h. 18.


(16)

melalui tapa brata dan mengumpulkan benda-benda yang dianggap memiliki kesaktian agar kekuasaan raja semakin bertambah.

Setelah mendapatkan legitimasi kekuasaan dalam bentuk turun temurun (kekeluargaan) bentuk legitimasi kekuasaan berubah menjadi otoritas kekuasaan, otoritas termaksud adalah wewenang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Kebijakan yang diambil oleh raja Majapahit dengan Demak tentu berbeda hal ini dapat dilihat dari perbedaan pandangan mengenai agama dan pengaruh ajaran agama tersebut.

Dalam tradisi Majapahit seluruh aspek otoritas berada ditangan seorang raja, namun pada kerajaan Demak ada peranan-peranan yang cukup sentral dalam menentukan otoritas kerajaan selain yang dimiliki oleh sultan, hal ini bisa dilacak dari keberadaan wali sanga yang cukup sentral membantu perluasan wilayah kerajaan Demak.

Telah dipaparkan di atas bahwa kerajaan-kerajaan yang berada di dua wilayah tersebut memilliki keunikan masing-masing. Bentuk legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan menjadi bidikan penulis untuk mengeksplorasi keberadaan dua kerajaan tersebut. dengan bersandar kepada data-data yang diperoleh, penulis mencoba mendudukan permasalahan inti kekuasaan yang dipakai oleh kerajaan Jawa dalam memimpin masyarakat. Maka pembahasan tersebut akan disajikan dengan judul : “Kekuasaan Jawa; Studi Komparatif Sistem Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak”.


(17)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Studi politik, khususnya yang membahas menganai kesejarahan memang telah banyak. Namun dalam pembahasan ini penulis menitik beratkan kepada pembahasan mengenai etika politik dengan membandingkan dua kerajaan Jawa yang pernah berpengaruh cukup besar di Jawa bahkan di kawasan nusantara, dengan mengkhususkan pembahasan mengenai legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan kerajaan.

Legitimasi kekuasaan dirasakan sangat penting untuk dieksplorasi dalam pembahasan ini, mengingat hampir dalam beberapa dekade, sistem kerajaan mampu mempertahankan eksistensinya. Kesetabilan dan kuatnya eksistensi tentu didukung oleh sebuah aturan main yang cukup kuat, dalam beberapa aspek pemerintahan legitimasi menjadi suatu aspek yang paling mempengaruhi, mengingat legitimasi merupakan aspek pengesahan atau diakuinya keberadaan seorang pemimpin dalam masyarakat.

Legitimasi yang dipakai kemudian bukan legitimasi seperti yang dipakai oleh masyarakat moderen yakni adanya mandat suara rakyat. Dengan legitimasi rakyat tersebut seorang pemimpin wajib bertanggung jawab kepada rakyat yang telah memberikan legitimasi kepada penguasa tersebut.

Hal ini berbeda dengan legitimasi dalam kerajaan atau legitimasi yang didapatkan oleh seorang raja. Legitimasi termaksud terkait dengan alam di luar kuasa manusia, seperti yang dijelaskan oleh Benedict R.O.G Anderson, yang menyatakan bahwa sistem atau pola yang dipakai dalam melanggengkan


(18)

kekuasaan masyarakat (pemerintahan) jaman kerajaan di Jawa erat kaitannya dengan dunia mistik dan agama.

Sedangkan untuk masalah otoritas kekuasaan, para penguasa Jawa khususnya raja Majapahit dan Demak ternyata memiliki perbedaan yang cukup signifikan, hal ini dapat dilihat dari pola penerimaan wilayah adiduniawi. Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-budha menerima bahkan menjunjung bahwa kesaktian dan legitimasi raja bukan hanya berasal dari keturunan melainkan dekat dengan dewa-dewa, karena raja merupakan titisan dewa di muka bumi.

Dalam kerajaan Demak, legitimasi kekuasaan yang berujung otoritas senantiasa bersandar kepada nash-nash agama yang diterjemahkan oleh para wali. Sehingga Raja (sultan) terbatasi dalam menjalankan otoritas yang dimilikinya, karena kebijakan yang kemudian diambil harus melalui sebuah mekanisme sidang dengan para wali sanga.

Bertitik-tolak dari masalah di atas, penulis perlu mengangkat persoalan penting tersebut untuk dikaji lebih gamblang dan konkrit, agar pembahasan judul skripsi ini bisa dipertanggung jawabkan, untuk itu perumusan masalah yang akan dikemukakan adalah

1. Apa perbedaan dan persamaan antara Kerajaan Majapahit dan Demak dalam legitimasi kekuasaan.

2. Apa persamaan dan perbedaan otoritas kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak.


(19)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dalam penulisan Skripsi ini penulis memiliki tujuan, diantaranya adalah untuk:

1. Mengetahui lebih dalam mengenai konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa. 2. Menggambarkan sistem kerja legitimasi dan otoritas kekuasaan kerajaan di

Jawa.

Kegunaan Penelitian dari pembahasan di atas diantaranya:

1. Tergambarnya konsep kekuasaan menurut Jawa khususnya yang dianut oleh kerajaan di Jawa.

2. Mengetahui aturan main dari sebuah proses penerimaan kekuasaan sampai kepada bagaimana menjalankan kekuasaan tersebut.

3. Sebagai sebuah sarana pengembangan ilmu dan khazanah pemikiran dalam pemikiran politik Islam khususnya kajian tentang ke-indonesiaan.

D. Metode Penelitian dan Metode Pembahasan.

Penelitian Skripsi ini menggunakan teknik pengumpulan data yakni melalui penelitian pustaka (library research) atau studi kepustakaan dengan buku rujukan utama : 1. Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan Majapahit. Jakarta: Balai Pustaka, 1965, dan 2. Hasanu Simon. Misteri Syekh Siti Jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa. Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008, dan data-data lainya yang berasal dari buku-buku, media masa dan dokumen lain yang berhubungan dengan masalah tesebut.

Pembahasan yang akan diteliti adalah mengenai studi perbandingan yang pembatasan masalahnya telah ditentukan, kajian ini adalah analisis data dan


(20)

mendeskrifsikanya dengan menggunakan metode perbandingan dengan memetakan konsep dan cara kerja sistem kekuasaan kerajaan. Pemerintahan yang diperbandingkan adalah Kerajaan Majapahit dan Demak.

Dalam penulisan karya ilmiah ini Penulis merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis Dan Desertasi, yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development And Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing dari sub-sub bab, yaitu:

Bab pertama, pendahuluan yang berisi antara lain tentang latar belakang masalah yakni menceritakan gambaran umum permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah yakni menguraikan mengenai aspek kajian serta batasan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian menjelaskan tujuan dari penulisan dan keguanaan dari karya tersebut, metode penelitian dan metode pembahasan yakni proses penelitian dan penyusunan data, sistematika pembahasan berisi sinopsis pembahasan penelitian.

Bab dua, menjelaskan kekuasaan yakni melipui : teori kekuasaan yang kemudian diturunkan menjadi legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan. Kekuasaan tradisional, dan kekuasaan dalam pandangan Jawa.

Bab tiga, berisi tentang, dua kerajaan Jawa, dalam pembahasan ini akan di gambarkan secara umum mengenai geo-historiko politik Jawa kemudian secara


(21)

khusus meneliti latar belakang, masa kejayaan, dan masa kehancuran kerajaan Majapahit dan Demak.

Bab empat, merupakan inti dari pembahasan skripsi ini. Adapun kajian dalam bab tersebut adalah perbandingan legitimasi kekuasaan, dengan konsentrasi kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan, dengan konsentrasi masalah persamaan dan perbedaan otoritas kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak.

Bab lima, Adalah bab penutup yang berisikan kesimpulan dari inti pembahasan penelitian.


(22)

BAB II KEKUASAAN A. Teori Kekuasaan

Kekuasaan merupakan kajian ilmu sosial yang sangat menarik untuk dikaji, terlebih jika kekuasaan ditarik dalam studi politik. Kekuasaan meskipun banyak yang membincangkannya namun terdapat banyak pengertian dan pembahasan mengenai kekuasaan, sebut saja konsep turunan dari kekuasaan, yakni otoritas dan wewenang. Dua konsep yang disebutkan terakhir tidak pernah ada kata sepakat dalam definisi yang kemudian diambil.

Kekuasaan meskipun sangat beragam penafsirannya, namun memiliki nilai kesamaan seperti yang dinyatakan oleh Miriam Budiardjo yakni : “kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga pelaku kedua sesuai dengan keinginan pelaku pertama yang memiliki kekuasaan.”1

Kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1922) menjelaskan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.2 Pemikiran tersebut kemudian dikembangkan oleh beberapa orang sosiolog diantaranya Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan mereka mengatakan, “kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar

1

Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan”, dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 9

2


(23)

sesuai dengan tujuan dari pihak pertama“3 sedangkan menurut Talcott Parsons, kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar – terlepas daripada siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.4 Secara lebih kategoris Carter membagi dua ciri kekuasaan yakni : pertama, kemampuanya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat sukarela, dan kedua, kemampuanya untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan.5

Dasar pemikiran Carter adalah bahwa kekuasaan berkaitan dengan kemampuan untuk membuat fihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan fihak yang mempunyai kekuasaan. Yang dilihat Carter, kekuasaan itu mampu membuat fihak lain melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) atas dasar kepatuhan yang datang dari dalam fihak yang patuh tersebut.6

Van Dorn seorang sosiolog yang terkesan oleh kaitan antara kekuasaan dan tindakan manusia menyatakan bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama.”7

3

Ibid, h. 17 4

Ibid, h. 18 5

Lihat kata Pengantar dari Maswadi Rauf dalam April Carter, Otoritas dan Demokrasi,

(Jakarta: Rajawali Press, 1985) h. viii 6

Ibid., h. ix 7


(24)

Salah satu yang sering diperdebatkan dalam pembahasan kekuasaan (dan masalah sosial lainnya) adalah batas-batas penggunaan persuasion dan coercion. Persuasion (bujukan, anjuran) memainkan peranan yang penting dalam kehidupan bermasyarakat karena manusia adalah mahluk berakal (rational); oleh karena itu persuasion dapat berfungsi dengan baik. Kepatuhan sukarela dengan persuasion merupakan sesuatu yang ideal karena orang yang dikenai kekuasaan itu melaksanakan perintah dengan kesadaran sendiri.8

Sedangkan penggunaan coercion (Kekerasan) dalam melaksanakan kekuasaan merupakan suatu hal yang relatif lebih mudah. Yang diperlukan kekuatan (power) yang melebihi kekuatan fihak yang akan dikenai kekuasaan. Penggunaan kekerasan tidaklah memerlukan pemikiran serumit seperti cara-cara persuasif.9

Biasanya kekuasaan “diselenggarakan” (exercise of power) melalui isyarat yang jelas, hal ini sering dinamakan kekuasaan manifest (manifest power).

Sumber kekuasaan sangat beragam dan dapat terpantul dalam segi dan bidang apapun, seperti : pertama, kekuasaan berupa kedudukan, hal ini dapat dilihat dari kedudukan komandan dalam militer dan menteri dalam pemerintahan, mereka mempunyai kekuasaan terhadap bawahanya untuk mengontrol dan memberikan sanksi jika melanggar. Kedua, sumber kekuasaan berupa kekayaan, hal ini jalas akan terlihat dari perilaku orang kaya yang mampu mempekerjakan buruh dengan kekayaannya. Ketiga, dapat pula bersumber dari kepercayaan atau

8

Carter, Otoritas dan Demokrasi., h. xi 9


(25)

agama, hal ini dapat dilihat dari peran sentral seorang ulama atau pendeta yang mempunyai kekuasaan atas umatnya.10

Dalam pembahasan kekuasaan akan lebih jauh kita mengenal batasan dari kekuasaan, berkuasa dalam hal apa? Dan berkuasa terhadap apa? Dua pertanyaan tersebut setidaknya menunjukan fungsi identifikasi dari kekuasaan. Dalam menjawab peranyaan tersebut, Miriam membedakan dua istilah dalam kekuasaan yakni scope of power dan domain of power. Ruang lingkup kekuasaan (scope of power) menunjuk pada kegiatan, tingkah laku serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan, sedangkan jangkauan kekuasaan (domain of power) menjawab pertanyaan siapa saja yang dikuasai oleh A. Hal ini menujukan adanya pelaku, baik kelompok, organisasi, atau kolektivitas yang kena kekuasaan.11

Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship), dalam arti bahwa ada satu fihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (The ruler and the ruled).12 Dalam konteks tersebut tidak ada kesamaan perintah karena salah satu pihak pasti lebih tinggi derajatnya dari pihak yang lain. Robert M. Maclver mengemukakan bahwa kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida. 13

Dari gambaran piramida tersebut bisa diterjemahkan bahwa kekuasaan sewaktu-waktu dapat berubah, seperti dijelaskan oleh Laswell yang melihat

10

Miriam Budiardjo, ”Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan, h. 13 11

Ibid., h. 14 12

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 35 13


(26)

kemungkinan pergeseran kekuasaan antara pelbagai elite.14 Dua jalan untuk mempertahankan dan merubah kekuasaan dapat ditempuh yakni : meyakinkan untuk konteks masyarakat yang rasional, namun kalau tidak mampu untuk meyakinkan maka kemungkinan peralihan kekuasaan akan terjadi, yang kedua adalah paksaan, jika seorang penguasa hanya mengandalkan paksaan (kekerasan, kekuatan) maka rezimnya akan tergantikan oleh kekuatan yang lebih besar dari yang dimilikinya.

Perkembangan teori politik di Barat menunjukan kepada kita bahwa masalah utama yang dipersoalkan adalah sumber-sumber kekuasaan politik. Para pemikir absolutis-monarkis- yaitu yang menganggap kekuasaan politik raja-raja bersifat absolut- berpendapat bahwa kekuasaan politik para raja bersumber dari Tuhan. Tuhanlah yang memberikan hak untuk memerintah secara mutlak kepada para raja. Sebaliknya, para pemikir teori perjanjian sosial (social contract theories)- yang berkembang setelah abad ke-16-17- berpendapat bahwa kekuasaan politik bersumber pada masyarakat. Penguasa politik menerima kekuasaan politik dari masyarakat. Jadi penguasa politik mengatur masyarakat berdasarkan wewenang yang diberikan oleh rakyat.15

Terdapat banyak pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan dintaranya autority (otoritas, wewenang) dan legitimacy (legitimasi, keabsahan). Dua konsep tersebut kemudian menjadi sangat penting dalam memahami kekuasaan.

14

Soelaeman Soemardi, ”Cara-cara Pendekatan Terhadap “Kekuasaan” Sebagai Suatu Gejala Sosial”, dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 35

15


(27)

1. Legitimasi

Legitimasi erat kaitannya dengan kekuasaan, legitimasi sendiri berasal dari kata Latin legitimare, yang artinya “memaklumkan sah“. Dengan legitimasi itu kekuasaan (power) menjadi kewenangan (authority).16 Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.17 David Easton mengatakan bahwa keabsahan adalah “keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar bagi dia untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu“ (the conviction on the part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and abide by the requirements of the regimei).18

Etika politik menuntut agar kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral), ketiga unsur itu disebut legitimasi normatif atau etis karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis apabila sesuai dengan tiga tuntutan itu…. Legitimasi etis mengandaikan bahwa kekuasaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia.19

Paham legalitas mengandaikan bahwa hukum mempunyai wewenang tertinggi dan bahwa penguasa berada di bawah hukum. Tetapi dalam paham

16

M. Sastrapratedja, S.J, “Perkembangan Sistem Legitimasi Kekuasaan Politik,Jurnal Driyarkara Edisi XXVI No. 2., h. 1

17

Budiardjo, “Konsep Kekuasaan : Tinjauan Pustaka,” h. 15 18

Ibid.,h. 15 19

Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 39


(28)

religius kekuasaan bersifat adiduniawi, wewenang etis seperti dijelaskan di atas tidak berlaku, karena yang dilihat adalah ada atau tidak adanya kekuasaan dan bagaimana seorang raja mampu menyerap kekuasaan adiduniawi tersebut atau tidak. Dalam paham kekuasaan religius tidak ada tempat untuk paham “aturan hukum” (rule of law).20

Kekebalan kekuasaan dalam paham religius terhadap tuntutan legitimasi normatif, tidak berarti bahwa sama sekali tidak diperlukan legitimasi. Tetapi legitimasi yang dibutuhkan itu tidak bersifat etis melainkan religius. Menurut Franz Magnis Terdapat tiga unsur tingkatan dalam legitimasi religius21 :

Pertama, tentu saja penguasa harus menunjukan diri mampu untuk memegang kekuasaannya. Ia harus menunjukan kebijaksanaan dan kepandaiannya berhadapan dengan masalah-masalah yang rumit. Ia harus mampu untuk menindas para pengganggu perdamaian dan untuk tidak membiarkan pusat-pusat kekuasaan lain muncul dalam wilayahnya. Ia harus menunjukan diri “mampu mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi.” Menurut paham kekuasaan apapun penguasa tentu saja harus menunjukan kemampuan-kemampuan empiris seorang pemimpin dan penguasa.

Tetapi, Kedua, kemampuan “empiris” itu tidak mencukupi. Dalam pandangan Jawa seseorang hanyalah dianggap betul-betul berkuasa apabila masyarakat di bawah pemerintahannya berada dalam keadaan adil makmur tata-tentrem-kerta-raharja. Sebaliknya, apabila masyarakat resah dan bencana alam bertambah banyak, kekuasaan penguasa tidak akan dianggap sungguhan meskipun

20

Ibid., h, 39 21


(29)

ia masih mampu untuk mempertahankan kedudukannya dan memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Legitimasi religius terdapat apabila suatu pemerintahan nyata-nyata menunjukan hasil-hasil yang diharapkan.

Tuntutan ketiga legitimasi religius ialah agar penguasa menunjukan mutu mental atau sikap budi yang merupakan prasarat kemampuannya untuk berhubungan dengan alam gaib. Ia harus membuktikan diri sebagai sepi ing pamrih, berbudi luhur, ia harus bersikap bijaksana, murah hati dan adil. Ia harus menjalankan kekuasaannya tanpa perlu memakai paksaan atau tindakan-tindakan yang kasar.

2. Otoritas (Wewenang)

Wewenang atau autority sangat erat kaitannya dengan kekuasaan. Robert Bierstedt dalam karangannya An Analysis of social power, dia mengatakan bahwa wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). Dengan nada yang sama Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan menyatakan bahwa wewenang (autority) adalah “kekuasaan formal” (formal power). Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (autority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.22

Dalam tradisi sosiologi, Weber membagi wewenang kekuasaan kepada tiga bagian, yakni : tradisional, kharismatik dan rasional-legal. Menurut Weber kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan

22


(30)

ini.23 Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu, adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seseorang pemimpin. Yang ditekankan bukan orangnya akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya. 24.

Perbedaan yang penting antara kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakikatnya diletakan pada kepribadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peranan sosial-kekuasaan, melulu merupakan suatu hubungan yang faktual, sedangkan otoritas merupakan suatu hubungan yang logis-.25

Wewenang kemudian diterjemahkan sebagai sebuah tindakan seseorang yang telah memiliki kekuasaan (yang kekuasaannnya telah sah). Segala tindakan penguasa baik berupa peraturan dan sikap kebijakan merupakan wewenang yang didapatkannya.

Dalam penjelasan di atas telah disinggung bahwa wewenang kemudian bisa dibagi kepada dua, yakni wewenang normatif atau wewenang etis yang seluruh kabijakannnya berdasarkan hukum, dan wewenang religius yang seluruh

23

Ibid., h. 15 24

Ibid., h. 15 25

Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan. Penerjemah Herry Joediono (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), h. 72


(31)

kebijakannya sah dan apapun kebijakan yang diterapkan oleh penguasa selama penguasa tersebut memiliki kekuasaan.

Wewenang normatif mengharuskan adanya tanggung jawab dari penguasa kepada rakyat, karena aturan yang akan diterapkan oleh penguasa harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, sedankan wewenang religius tidak memerlukan hukum formal sebagai kerangka aturan pemerintahannya.

B. Kekuasaan Tradisional

Salah satu upaya menjernihkan masalah adalah dengan bercermin kepada tradisi atau sejarah, hal ini setidaknya akan membuka sebuah wawasan tentang kebiasaan-kebiasaan sosial, sikap dan keyakinan yang secara historis telah dikaitkan dengan fenomena kekuasaan.26

Penjelasan mengenai kekuasaan tradisional kemudian berpangkal tolak dari kajian aristokrasi Eropa sebelum revolusi Prancis, di mana kekuasaan sangat intrinsik dalam hubungan antara penguasa dengan massa dalam hirarki sosial. Konsep tentang masyarakat aristokrasi ini digunakan oleh De Tocqueville untuk menjelaskan tertib sosial dalam pemerintahan kuno.27

Dalam tradisi yang paling sederhana sistem kekuasaan aristokrasi dapat ditemui dalam sebuah tatanan sosial seperti keluarga. Bentuk ideal masyarakat aristokrat dicerminkan lewat hirarki status sosial yang sangat tegas, baik dari segi umur maupun jenis kelamin. Hirarki sosial dipertahankan melalui kesediaan diri untuk menerima kehadiran tertib sosial seperti ini, yakni adanya keseragaman aturan nilai-nilai dan pandangan serta kerangka berpikir yang memberi sorotan

26

Carter, Otoritas dan Demokrasi, h. 7 27


(32)

dan mengabsahkan hirarki. 28 Sistem aristokrat yang paling banyak muncul adalah sistem kekerabatan yang lebih menguntungkan garis patriarkat, keturunan elit ini senantiasa menghiasi sebuah tatanan masyarakat yang senantiasa berubah. Salah satu contoh masyarakat aristokrat adalah di kawasan Eropa yakni Francis sebelum revolusi.

Terdapat dua poin penting yang patut dicatat tentang hakikat kekuasaan yang wujud di dalam jenis masyarakat aristokratis yang ideal. Pertama, adalah ide tentang kekuasaan, sekalipun dalam rumusan yang masih sumir, sangat tersebar sehingga membuka peluang untuk melukiskan segala bentuk hubungan sosial sekaligus. Poin kedua berkenaan dengan hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat aristokrat ia sangat didasarkan pada paksaan kekerasan sosial dan ekonomi yang seringkali mengakibatkan penggunaan kekuatan yang maha dahsyat.29

Terdapat beberapa perbedaan pendekatan dalam melihat kekuasaan tradisonal, seperti penjelasan di atas yang melihat perikehidupan masyarakat Eropa, Dalam penelitian Koenjaraningrat ditemukan sebuah kekhasan menganai bentuk kekuasaan tradisional.

Dalam beberapa kasus negara kuno di beberapa negara seperti di Afrika dan wilayah Asia termasuk Indonesia, unsur kekuasaan yang sering digunakan oleh masyrakat adalah sistem religi. konsep-konsep religi dan cara-cara

28

Ibid., h. 8 29


(33)

keagamaan tersebut untuk memaksakan keseragaman orientasi pada warga seluruh negaranya.30

Koenjaraningrat menggambarkan sebuah kerangka kerja dari sistem kekuasaan pemimpin tradisional dalam masyarakat negara kuno seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.31

Komponen-komponen kekuasaan

Syarat-syarat untuk menjadi pemimpin

Kharisma Memiliki wahyu Tuhan atau Dewa-dewa Wewenang - Memiliki kekuatan sakti

- Mempunyai keturunan sah

- Mampu melaksanakan upacara-upacara intensifikasi

- Memiliki pusaka-pusaka keramat yang melambangkan wewenang kerajaan

Kewibawaan Memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan sebagian besar warga masyarakat

Kekuasaan dalam arti luas

Kekuasaan dalam arti khusus

Mampu mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi

30

Koenjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi”, dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 136

31


(34)

Tabel 1. Kekuasaan pemimpin tradisional kerajaan

Seperti telah disebutkan dalam pembahasan di atas mengenai kekuasaan, struktur kekuasaan masyarakat feodal pun tidak jauh dari hirarki piramidal dengan kekuasaan puncak dipegang oleh suzerain, seorang raja yang mempunyai hegemoni di wilayah dimana raja-raja kecil sebagai vasalnya mengakui suzereinitasnya. Selanjutnya vasal itu sendiri masing-masing mempunyai bawahannya atau semacam subvasal, dan seterusnya. Aturan yang kemudian berlaku dalam sistem ini adalah rakyat atau yang berada di bawah harus memberikan upeti ke atas yakni kepada raja dan penguasa memberikan perlindungan kepada bawahannya.32

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa banyak mekanisme kerja dari kekuasaan tradisional. Cara menterjemahkan sebuah wilayah tertentu dengan wilayah yang lain tentu berbeda, hal ini terlihat dari nilai-nilai yang diusung sebagai pengikat kesatuan. Kekuasaan aristokrasi dan feodal memperlihatkan bahwa terdapat sebuah bangunan kekuasaan yang terlembaga.

C. Kekuasaan Dalam Tradisi Jawa

Untuk memahami tentang kekuasaan Jawa, terdapat dua konsep wilayah kehidupan manusia yakni : alam lahir dan alam batin.33 Jadi kekuasaan politik yang diartikan sebagai kekuatan untuk mengatur masyarakat, dalam tradisi Jawa harus sinergis dengan alam lahir dan alam batin yang berakar pada kekuatan gaib atau adiduniawi alam semesta sendiri.34 Titik sentrum dari kekuasaan itu adalah

32

. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; dari Emporium Sampai Imperium (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 28

33

Magnis, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern., h. 32 34


(35)

manusia yang mampu menyadap kekuatan-kekuatan yang berada di dalam alam semesta ini.

Hal ini tentu berbeda dengan dengan tradisi teori politik Barat, masalah kekuasaan dalam tradisi Jawa erat kaitannya dengan dunia adikodrati. Sebagian besar kepustakaan tradisional Jawa lebih banyak membicarakan masalah bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan, daripada masalah bagaimana menggunakannya dengan wajar.35

Dalam buku-buku Jawa mengenai raja-raja, kekuasaan dan kenegaraan terdapat beberapa sarat-sarat yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, yakni diantaranya : seorang raja harus bersifat adil (adil tan pilih sih), berhati murah (berbudi; ber dari luber) dan bijaksana (wicaksana).36

Dalam pembahasan mengenai kekuasaan, setidaknya Benedict R.O’G. Anderson pernah mencoba menganalisa mengenai keberadaan sumber kekuasaan masyarakat Jawa kuno dengan membandingkannya dengan kekuasaan yang berlaku di dunia Barat.

Anderson mencoba mengidentifikasi sumber kekuasaan Jawa seperti bagan di bawah ini :

Kekuasaan Jawa Kekuasaan Barat

Kekuasaan itu kongkret Kekuasaan itu abstrak

Kekuasaan homogen Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen

35

Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,” dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 52

36

Koentjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi.” h. 137


(36)

Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap

Akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya yang inhern

Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan

Dari segi moral, Kekuasaan itu ganda

Tabel 2. Perbandingan Kekuasaan Menurut Jawa dan Barat

Kekuasaan dalam tradisis Jawa seperti digambarkan dalam tabel di atas terbagi kepada empat bagian seperti yang dijelaskan oleh Anderson.37 Pertama, Kekuasaan itu kongkret. Kekuasaan itu ada, kekuasaan bukan suatu anggapan teoritis, melainkan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak dapat diraba, penuh misteri dan bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta. Kekuasaan terwujud dalam setiap aspek dunia alami, pada batu, kayu, awan dan api, tetapi dinyatakan secara murni dalam misteri pokok kehidupan, yaitu proses generasi dan regenerasi. Dalam pikiran tradisional Jawa, tidak ada batas yang tegas anatara zat organis dan zat inorganis, karena segala sesuatunya ditopang oleh kekuasaan sama yang tidak kelihatan. Konsepsi yang menyatakan bahwa seluruh kosmos ini dipenuhi oleh suatu daya yang tidak berbentuk tetapi selalu kreatif, telah merupakan kaitan dasar antara “animisme“ yang terdapat di desa-desa Jawa dan paham pantaisme metafisik tinggi yang terdapat di pusat-pusat perkotaan. Anderson menambahkan bahwa rumusan mistik yang terkenal yang berbunyi : Tuhan adalah Aku, menyatakan kongkretnya gagasan Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan Tuhan adalah inti dari Aku, inti dari diri itu sendiri.

37


(37)

Kedua, kekuasaan itu homogen, dari konsep ini timbul pendapat bahwa semua kekuasaan itu sama jenisnya dan sama pula sumbernya. Kekuasaan di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain mana pun.

Ketiga, Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas dan sempit. Demikian pula jumlah kekuasaan yang terdapat di dalamnya selalu tetap. Karena kekuasaan itu ada begitu saja, dan bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan, persenjataan dan lainnya ... Untuk teori politik, pendapat ini mempunyai akibat penting yang semestinya, yaitu terpusatnya kekuasaan disuatu tempat atau pada satu orang mengharuskan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat lain dalam jumlah yang sebanding.

Keempat, kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan, karena semua kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu lebih dulu ada daripada masalah-masalah baik dan buruk. Dalam pikiran orang Jawa tidak mengenal kekuasaan yang absah dan tidak absah jika dikaitkan dengan sumber atau yang menopang kekuasaan tersebut, contoh kekuasaan berdasarkan harta absah sedangkan kekuasaan berdasarkan senjata tidak sah. Pemikiran tersebut tidak berlaku di Jawa karena orang Jawa melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang ada.

Sedangkan dalam tradisi Barat kekuasaan sering diartikan kepada empat identifikasi yakni : pertama, kekuasaan itu abstrak, kalau dinyatakan secara kata, kekuasaan itu tidak “ada“. Kekuasaan adalah kata yang biasanya digunakan untuk


(38)

menerangkan satu hubungan atau lebih. Seperti kata-kata kewibawaan dan keabsahan, maka kekuasaan adalah abstraksi, suatu rumusan untuk pola-pola interaksi sosial tertentu yang kebetulan sedang diamati.

Kedua, Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen. Karena kekuasaan dianggap berasal atau disimpulkan dari pola-pola tingkah laku dan hubungan-hubungan sosial tertentu, maka banyak pemikiran politik Barat dicurahkan kepada cara mengklasifikasikan dan menganalisis pola-pola dan hubungan-hubungan ini, dengan demikian perhatian dicurahkan juga kepada bagaimana membeda-bedakan berbagai sumber kekuasaan.

Ketiga, Akumulasi kekuasaan tidak ada batas-batasnya yang inhern. Karena kekuasaan hanyalah suatu abstraksi yang menggambarkan hubungan-hubungan tertentu antara manusia, maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri.

Keempat, Dari segi moral, kekuasaan itu berarti ganda. Adalah merupakan akibat logis dari konsepsi sekuler mengenai kekuasaan politik sebagai hubungan antar manusia, bahwa kekuasaan seperti itu tidaklah dengan sendirinya absah.arti ganda moral ini tentu saja ditingkatkan oleh anggapan bahwa kekuasaan diambil dari sumber-sumber yang heterogen.

Seperti dijelaskan di atas, Logika konsepsi tradisional Jawa mengenai kekuasaan memerlukan suatu pusat yang bersifat sinkretis dan serba menyerap, dan hanya pusat ini biasanya terjelma dalam diri seorang penguasa.38

38


(39)

Selain terpusat masalah silsialah atau keturunan menjadi hal yang sangat penting bagi para penguasa Jawa. Hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan dalam pemikiran Jawa, dan gagasan bahwa mani manusia, terutama mani seseorang yang mempunyai kekuasaan, merupakan suatu pemusatan kekuasaan tersendiri dan merupakan alat untuk mewariskannya.39

Anderson menambahkan bahwa pancaran kekuasaan ini terjelma dengan cara yang tidak dapat dibeda-bedakan melalui tiga poros: poros pusat-pinggiran, yakni letak kekuasaan seorang penguasa Jawa yang senantiasa berpusat; poros askriptif, atau penyebaran diakronis dari kekuasaan dalam bentuk mani raja melalui tujuh generasi keturunan; poros kawula-gusti, atau poros administratif, di mana kekuasaan gusti tertinggi, yaitu raja, merembes ke bawah melalui lapisan-lapisan menurun yang terdiri dari kelompok-kelompok kawula-gusti.40

Selain terpusat dan masalah keturunan untuk mempertahankan kontinuitas kepemimpinan kerajaan yang berdasarkan keturunan, harus dikuatkan lagi dengan keyakinan bahwa garis keturunan dapat ditarik lebih jauh lagi kepada dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya merupakan wewenang yang kuat, tetapi juga keramat.41

Wewenang seorang raja atau pemimpin tradisional yang berdasarkan sifat-sifat kekeramatan itu perlu dijaga kemantapannya secara kontinyu dengan berbagai upacara intensifikasi. Dalam upacara tersebut benda-benda lambang

39

Ibid., h. 75 40

Ibid., h. 86 41

Koentjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi,” h. 136


(40)

kewibawaan dan wewenang raja serta pusaka-pusaka kerajaan yang keramat, mendapat fungsi yang penting bagi kekuasaan.42

Keadaan seperti di atas tidak berubah sampai kedatangan Islam sekalipun, seperti ditegaskan oleh Anderson : masuknya Islam hampir tidak mengubah susunan atau cara merekrut kaum elite politik Jawa, atau mempengaruhi kerangka intelektual pemikiran politik tradisional.43

42

Ibid., h. 137 43


(41)

BAB III

DUA KERAJAAN JAWA A. Gambaran Umum Geohistoris Politik Nusantara

Nusantara adalah sebutan bagi Indonesia sebelum wilayah ini resmi disebut Indonesia. Kata ’Nusantara’ sendiri merujuk pada periode khusus ketika Indonesia dikuasai Majapahit, khususnya ketika kerajaan ini berada di bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada.1 Nusantara yang merupakan gugusan pulau-pulau yang sulit untuk dipersatukan, namun upaya penyatuan itu tidak lantas hilang hal ini dapat dilacak dari rapat-rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dimana Muhammad Yamin mengakui peran penting Majapahit dalam menyatukan Nusantara. 2

Secara umum gambaran keberadaan Nusantara bila ditarik jauh ke abad-abad keemasannya-maraknya kerajaan-kerajaan yang menguasai Nusantara, yakni ketika beberapa pemerintahan mampu untuk mengontrol wilayah Nusantara dengan hebat dan mampu mempertahankanya hingga berabad-abad lamanya.

Konsep “geo-historis” adalah sebuah pendekatan yang sangat penting dan mutlak diperlukan untuk mengkaji dinamika politik di wilayah Nusantara. Dalam konsep “geo-historis” ini, kata “geo” mengacu kepada ruang atau tata geografis yang sangat menentukan dalam pembentukan tata politik ataupun tindakan-tindakan politik yang diambil oleh para pelaku politik, sementara kata “historis”

1

Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2008) h. xv

2

Bagi Yamin, bukan Singasari dan bukan pula kerajaan-kerajaan Islam yang mempersatukan Nusantara, tapi Majapahit. Lihat Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam

Ibid., h. xv


(42)

mengacu kepada rentetan momen-momen waktu yang juga tidak kalah pentingnnya dalam menentukan hubungan kausal atau kontinuitas dari satu peristiwa politik ke peristiwa politik lainnya ataupun peralihan dari satu rezim ke rezim lainnya. Penulisan sejarah kemudian tidak hanya dilihat dari satu sisi rentetan peristiwa tapi sebuah kombinasi antara beberapa aspek seperti yang dikembangkan oleh Fernand Braudel dengan mengkombinasikan antara geografi dan sejarah.3

Dalam kerangka geo-historis tersebut, faktor pertama yang harus diperhatikan dalam mengkaji dinamika politik Nusantara adalah posisi Nusantara sendiri yang terletak di persimpangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih tepatnya, antara Teluk Bengala dan Laut Cina Selatan. Dalam posisinya ini, Nusantara tentu saja sangat terbuka terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari luar, khususnya pengaruh yang datang dari arah Cina dan India. Karena posisinya ini pula, Nusantara juga sangat terbuka dengan kedatangan bangsa lain atau sebagai lalu lintas bangsa-bangsa luar, baik dalam rangka melakukan perdagangan maupun—belakangan—invasi militer dari Belanda dan Jepang.4

Masih terkait dengan posisi penting laut, istilah “Nusantara” juga muncul dari anggapan orang-orang yang mendiami kepulauan ini karena mereka memaknai laut sebagai perantara atau penghubung diantara pulau-pulau. Hal ini tercermin dari makna harfiyah kata “Nusantara” yang terdiri dari “Nusa” dan

3

Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasisi: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 145-146.

4

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Penerjemah Sori Siregar, Hasif Amini dan Dahris Setiawan, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. 4.


(43)

“Antara” yang berarti “laut perantara.” Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa keseluruhan pulau-pulau di Nusantara dipersatukan oleh laut, meskipun dari cara pandang berbeda laut juga bisa dilihat sebagai pemisah antara pulau. Wilayah lautan yang paling penting untuk wilayah Nusantara diantaranya adalah Selat Malaka yang menghubungkan antara pantai Timur pulau Sumatra dan wilayah Barat Semenanjung. Selat Malaka ini bisa dikatakan sebagai penghubung karena memang dahulu kedua sisi selat ini berada dalam wilayah Malaka yang termasuk bagian dari Nusantara, terutama pada masa kejayaan Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-10. Karena bahwa pada zaman kolonial Sumatra berada di bawah kekuasaan Belanda, sementara Semenanjung Melayu (Malaysia dan Singapura sekarang) di bawah kekuasaan Inggris, maka selat Malaka kemudian menjadi pemisah dua entitas politik, yakni antara Indonesia di satu sisi, dan Malaysia dan Singapura di lain sisi.5

Meskipun tidak sepenting Selat Malaka, keberadaan Selat Sunda juga memberi bukti bahwa laut menjadi penghubung di antara kedua sisinya, yakni antara Lampung di pulau Sumatera dan Jawa Barat di Jawa. Hal ini tampak pada abad ke-16 dan ke-17 di mana kedua sisi Selat Sunda tersebut bersatu di bawah kekuasaaan Kesultanan Banten. Hal yang sama juga berlaku bagi Laut Jawa yang menjadi penghubung Pulau Jawa dengan Pulau Kalimantan pada masa kejayaan Majapahit. Sementara di wilayah timur, lautan pula lah yang menjadi penghubung Kerajaan Makassar pada abad ke-17 di mana daerah kekuasaannya mencakup Sulawesi Selatan, Pantai Timur Kalimantan, dan seluruh daerah Sunda Kecil

5

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid I: Batas-batas Pembaratan). Penerjemah Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 14.


(44)

(Lombok dan Sumbawa). Terakhir, Laut Maluku merupakan penghubung antara kepulauan Sulu serta pulau-pulau lain yang terkenal dengan pulau rempah-rempah: Banda, Ambon, Seram, Buru, Ternate, Tidore dan Menado.6

Demikian, dilihat dari satu sisi, keberadaan ruang, yang dalam hal ini adalah laut, memiliki fungsi sebagai penghubung. Namun demikian, jika dilihat dari sisi lainnya, ruang juga bisa menjadi pembeda, atau bahkan pemisah. Dengan kata lain, ruang-ruang spesifik antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di Nusantara tanpa bisa disangkal merupakan pembeda dan juga pemisah. Misalnya, keberadaan pulau Jawa yang dipenuhi oleh banyak gunung berapi membuat tingkat kesuburan tanah pulau ini lebih tinggi dibanding pulau-pulau lainnya. Karenanya, sementara kerajaan-kerajaan di pulau lainnya lebih banyak mengandalkan pada perdagangan sebagai basis perekonomiannya, maka banyak kerajaan di Jawa justru lebih mengandalkan pada sumberdaya agraris yang dimilikinya. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa kesultanan-kesultanan di wilayah pesisir utara Jawa yang berbasis ekonomi perdagangan pernah mengalami masa kejayaan, namun karakteristik agraris Jawa sangat dominan dalam menentukan dinamika politiknya dibanding pulau-pulau lainnya di Nusantara.7

Dalam pendekatan “geo-historis politik“ yang dipakai dalam kajian ini, konsep “ruang“ juga mesti dipahami sebagai sesuatu yang berjalin-kelindan serta tak terpisahkan dengan konsep “waktu.“ Dalam hal ini, proses-proses politik di Nusantara harus dilihat dalam kerangka dinamika sejarah sosial, ekonomi dan

6

Ibid., h. 15-16. 7

M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Penerjemah Satrio Wahono dkk, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 52-53.


(45)

politik yang—merujuk kepada Denys Lombard—disebut dengan “tiga mutasi besar,“ yang membawa Nusantara terlibat dan dipengaruhi oleh Indianisasi, Jaringan Asia Islam-Cina dan pembaratan melalui kedatangan bangsa-bangsa Eropa.8

Struktur geografi dengan merujuk kepada metodologi sejarah struktural yang dikenalkan salah satunya oleh Fernand Braudel. Braudel mengembangkan teorinya dalam melihat sejarah dengan melihat aspek yang mempengaruhi sebuah peristiwa terjadi. Selain aspek spasial, Braudel juga mengembangkan aspek temporal. Dalam studinya Braudel mengembangkan suatu kerangka waktu yang bersususn tiga, yaitu : (1) “Struktur,” gejala-gejala yang rentang waktunya mencakup ribuan, bahkan jutaan tahun, seperti unit geografi, (2) “konjungtur gejala-gejala yang jagkauan waktunya mencakup ratusan dan sesungguhnya berkaitan dengan struktur social dan struktur ekonomi.dan (3) peristiwa yang mencakup waktu amat sangat pendek. Tetapi bagi kaum “Annales”, event atau peristiwa tidak mempunyai kemampuan eksplanasi, karena makna dari peristiwa justru tergantung pada struktur sosial, yang menurut Braudel “peristiwa adalah bagaikan kembang api, indah sekejap tetapi lenyap selama-lamanya.” Bagi Braudel, selain aspek spasial dan aspek temporal, logika sejarah juga mencakup aspek struktur.9

Dari sekian banyak pulau yang berada dikawasan Nusantara, Jawa merupakan salah satu kajian yang paling menarik. Bangsa Jawa merupakan campuran banyak suku yang semula tersebar di negara-negara antara laut Tengah,

8

Lih. tiga jilid buku karya Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, 9

R.Z. Leirissa “Peradaban dan Kapitalisme di Asia Tenggara” dalam Anthony Reid,

Sejarah Modern Awal Asia Tenggara., h. xvii-xviii


(46)

sepanjang pantai di tepi samudra Hindia sampai batas-batas sebelah barat lautan Pasifik.10

Pulau nomer 13 terbesar di permukaan bumi itupun dilengkapi dengan tumbuhan penghasil pangan yang tumbuh subur sehingga dapat memberi dukungan perkembangan jumlah penduduk yang besar.11

Bangsa Jawa kuno, sebelum kedatangan orang India yang membawa agama Hindu, telah mengenal hitungan bulan yang didasarkan pada peredaran matahari. Nama-nama bulan menurut hitungan Jawa kuno itu ada 12, yaitu : masa Kartika (Kasa), Pusa (Karo), Manggasri (Katigo), Citra (Kapat), Manggakala (Kalima), Naya (Kanem), Palguna (Kapitu), Wisaka (Kawolu), Jita (Kasanga), Srawana (Kasapuluh), Padrawana (Dhasta), dan Asuji (Saddha).12

Yang menyebabkan tidak terbentuknya kembali kejayaan Jawa sejak abad ke-10 itu adalah kebiasaan perang saudara untuk memperebutkan kedudukan raja. Akibatnya, selama 10 abad terakhir penguasa dan ibu kota kerajaan terus berpindah tempat, kadang-kadang hanya untuk kurun waktu kurang dari satu abad. Mulai abad ke -10 pusat kerajaan Jawa pindah dari : Medhang – Kahuripan –Jenggala – Kediri – Jenggala – Kediri – Singasari – Kediri – Majapahit – Kediri – Demak – Pajang – Mataram - Batavia, dan akhirnya sejak tahun 1945 berkedudukan di Jakarta. Bayangkan selama 10 abad terakhir itu sebanyak 15 kali pusat kerajaan Jawa berpindah tangan dan tempat.13

10

Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008) h. xix

11

Ibid., h. xix 12

Ibid., h. xx 13

Ibid., h. xxi


(47)

Yamin pernah membagi perkembangan sejarah Indonesia dalam lima periode : 1) prasejarah, dari “asal-muasal manusia Indonesia” sampai abad pertama; 2) dari abad pertama sampai abad keenam, yaitu ketika bahan-bahan tertulis pertama ditemukan; 3) “masa nasional” yaitu periode Sriwijaya dan Majapahit, dari abad ketujuh sampai tahun 1525; 4) “masa negara internasional” yaitu ketika orang Indonesia bertemu dengan bangsa Barat – masa ini berakhir pada akhir abad kesembilan belas, dan 5) “abad proklamasi”, dimulai dari permualaan abad ini.14

Sampai abad ke-15 agama Hindu, Budha dan Animisme telah mampu memberi petunjuk bagi masyarakat Jawa dalam mengembangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi ketika rakyat dan penguasa Majapahit dilanda kemelut politik, ekonomi dan keamanan akibat perang Paregreg yang tejadi pada tahun 1401-1406, timbul pemikiran baru yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.15 Kedatangan muslim dari Turki itulah yang menjadikan penyebab beralihnya orientasi rakyat Majapahit kepada Islam. Utusan dari Turki tersebut tidak satupun dari sembilan anggota tim itu yang disebut sebagai ahli fikih atau ahli dibidang ilmu agama Islam bidang tertentu. Jadi pengetahuan agama sembilan anggota tim itu hanya pada tataran biasa saja.16

Masa Hindu, Budha dan Islam inilah yang menjadi perhatian dalam penulisan karya ini. Dua masa tersebut sangat menarik untuk dikaji secara menyeluruh, mengingat akhirnya akulturasi budaya sangat kental terasa di

14

Deliar Noer, “Yamin dan Hamka; Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia,” dalam Anthony Ried dan David Marr, ed., Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 48

15

Simon, Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa, h. xxii.

16

Ibid., h. xxviii


(48)

wilayah Jawa. Fokus kajian yang kemudian diambil adalah mengenai kerajaan yang sangat berpengaruh di Nusantara khususnya di Jawa. Dua kerajaan tersebut adalah Majapahit dan Demak, setidaknya dua kerajaan tersebut memiliki sebuah kemerdekaan dalam memerintah kerajaannya, berbeda dengan kerajaan besar Jawa berikutnya yakni Mataram Islam, yang senantiasa berbagi kekuasaan dengan pemerintahan lain yakni Belanda (VOC).

B. Majapahit

Terdapat dua tipe kerajaan di Jawa seperti telah dipaparkan di atas, yakni kerajaan Pesisir dan kerajaan pedalaman. Majapahit sebagai kerajaan pedalam Jawa seperti digambarkan Koentjaraningrat :

“Tipe kedua kerajaan Indonesia kuno terletak di pedalaman, di lembah-lembah dan dataran tinggi yang sangat subur di antara sungai-sungai dan kompleks gunung berapi di Jawa. Kerajaan-kerajaan ini didasarkan atas pertanian, dengan penduduk petani hidup di desa-desa kecil dan padat, yang bertani padi dengan sistem irigasi. Pusat kerajaan adalah sebuah kota dimana ada istana kerajaan dengan bangunan-bangunan lain yang melengkapinya, serta kompleks perumahan bagi hamba raja yang mengitarinya, dan rumah-rumah rakyat yang rendah golongan sosialnya.“17

Konsep Georgrafis menjadi sebuah pratanda akan dibawa kemana kerajaan yang akan dikendalikan ke depan. Pedalaman merupakan salah satu kawasan yang cukup subur seperti digambarkan oleh Koentjaraningrat. Majapahit termasuk salah satu kerajaan yang berada di pedalaman Jawa yakni di kota Mojokerto sekarang.

17

Fachry Ali dan Bahtair Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Bandung : Mizan, 1986) h. 19-20.


(49)

Banyak gambaran mengenai bentuk kerajaan Majapahit dari mulai pendirian hingga kehancuranya, namun data-data primer yang menjelaskan mengenai keberadaan kerajaan tersebut amat sangat sulit. Ada beberapa sumber yang dipergunakan oleh para sejarawan atau filolog yakni serat Pararaton (kitab raja-raja Majapahit) pupuh Nagarakretagama yang di tulis oleh Mpu Prapança. Cerita-cerita atau gambaran yang terdapat dalam tulisan-tulisan tersebut banyak bercampur baur dengan kisah-kisah atau dongengan yang berbelit-belit, hal ini seperti yang ditegaskan oleh M.C. Ricleft, Lombard, Vlekke, Slamet Mulyana dan sejarawan-sejarawan yang lainya.18 Karena itu, Pararton dan Negarakertagama bukanlah narasi sejarah murni, melainkan hanya karya yang secara historis lebih eksplisit diantara banyak tulisan Jawa kuno.19

Pararaton seperti dijelaskan oleh Vlekke, dalam bentuk yang kita kenal sekarang, berasal dari abad ke-16. Ia berisi kisah Raja Arok dan penerus-penerusnya, sejarah kerajaan Majapahit, dan dalam tambahan-tambahan kemudian, serangkian catatan pendek tentang raja-raja Majapahit yang belakangan. Sejumlah referensi singkat ini mungkin punya ciri yang lebih historis daripada cerita-cerita panjang sebelumnya. Referensi itu ditulis dalam bahasa Jawa pertengahan, yang jelas berbeda dengan bahasa Jawa kuno. Sebagian pastilah sudah dikarang sebelum Prapança menulis pujian-pujiannya.20

18

Kedua kitab tersebut adalah sumber sejarah bernilai tinggi tapi hanya, dan ini adalah kualifikasi yang penting. Jika dipakai dengan cara yang tepat, yakni jika dibaca dan dimengerti dalam makna seperti yang dikehendaki oleh pengarang. Lihat misalkan penjelasan-penjelasan mengenai kitab raja-raja tersebut, Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, h. 65

19

Ibid., h. 66 20

Ibid., h. 66-67.


(50)

Sedangkan Negarakertagama ditulis pada 1365. Ia terpelihara hanya dalam satu manuskrip yang baru dikenal ilmuan modern pada 1894, ketika pasukan Belanda menduduki kediaman Raja Cakranegara di pulau Lombok. Prapança melukiskan dalam kitab tersebut suatu perjalanan-mungkin berciri sakral-yang dilakukan oleh Raja Rajasanagara, biasanya dipanggil Hayam Wuruk, untuk mengunjungi candi-candi makam nenek moyang dan pendahulunya, serta tempat-tempat suci lain. Teks Pararaton serta Negarakertagama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, tapi masih butuh waktu lama dan studi panjang sebelum semua kesulitan linguistik teratasi.21

Namun terlepas dari hal itu, ada beberapa bukti sejarah yang coba ditelusuri keabsahannya seperti yang dilakukan oleh Prof. Slamet Mulyana yang mendasarkan tumbuh dan berkembangnya kerajaan Majapahit kepada beberapa sumber dengan melihat korelasi antara sumber-sumber tersebut sehingga validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan. Diantara rujukan Prof. Slamet Mulyana adalah : Pupuh Nagarakretagama, Pararaton, Data-data dari Kelenteng Sam PO Kong di Semarang, meskipun data-data itu tidak primer yakni saduran dari buku Tuanku Rao yang ditulis oleh M Onggah Parlindungan.

Tulisan-tulisan tersebut berkisar mengenai kebesaran Raja-raja Majapahit, sejarah bediri, masa keemasan Majapahit, dan masa kehancuran Majapahit. Dari beberapa tulisan tersebut dapat diuraikan dalam tulisan ini mengenai perdebatan seputar keberadaan dan kisah sejarah dari Majapahit yang banyak menuai perbedaan-perbedaan dengan keterbatasan data dan banyaknya cerita-cerita yang

21

Ibid., h. 67


(51)

sulit untuk ditafsirkan mengingat antara satu kitab dengan kitab lain sering terjadi perbedaan.

Namun banyak hal yang sangat penting untuk diungkapkan dalam hal ini mengingat ada beberapa urutan yang menarik untuk ditelusuri keberadaanya. Gagasan mengenai negara kesatuan di wilayah Nusantara dan semenanjung Melayu pada zaman kejayaan Majapahit, mempunyai arti penting bagi perkembangan politik negara baik untuk Majapahit, maupun bagi kerajaan sesudahnya.22

Majapahit memiliki sistem diplomatik yang cukup baik dengan kerajaan-kerajaan di luar kekuasaanya. Ada dua konsep yang diterapkan Karajaan Majapahit dalam mengelola negara yakni : Negara sahabat dan negara jajahan.

Dalam pupuh 15/1 Prapanca menyebutkan nama negara di daratan Asia, yang terletak di pantai sebagai sahabat negara Majapahit, meliputi : Syangka (Siam) dengan nama lain Ayodhyapura, Dharmanagari atau Sri Thamarat, Marutma atau Martaban, dan Radjapura, Singhanagari, Campa, Kamboja dan Yawana atau Annam.23

Negara-negara tersebut merupakan negara sahabat berbeda dengan beberapa negara di semenanung Melayu seperti Langkasuka, Klantan, Tringgano, Paka, Dungun, Tumasik, Klang, Keda, dan Djerai. Negara-negara tersebut dinyatakan oleh Slamet Mulyana bahwa seluruh semenanjung pernah menjadi jajahan Negara Majapahit.24

22

Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan Majapahit, (Jakarta: Balai Pustaka, 1965) h. 48

23

Ibid., h. 48 24

Ibid., h. 48


(52)

Sebagai imperium, nafas Majapahit sebetulnya tidaklah terlalu panjang. Menurut catatan Vlekke, kejayaan Majapahit hanya berlangsung selama empat generasi, yakni generasi Kertarajasa, yang mendirikan kerajaan itu pada tahun 1293, Jayanegara (1309-1328), Tribhuwana (1329-1350), dan Ayam Wuruk adalah raja Majapahit yang paling berhasil. Dia meninggal pada 1389, dan setelah kematiannya Majapahit mengalami kemunduran serius.25

I. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Majapahit

Latar belakang keberadaan Majapahit tidak akan terlepas dari peranan kerajaan Singasari,26 mengingat Majapahit adalah kelanjutan dari Singasari yang menguasai tanah Jawa. Dalam Serat Pararaton, Majapahit berasal dari sebuah legenda sekelompok orang yang kehabisan bekal kemudian memakan buah pohon madja yang rasanya pahit kemudian dibuangnya buah tersebut, sejak itulah Majapahit disebut. Menurut Yamin cerita itu berisi perumpamaan, bahwa Majapahit didirikan atas pahit getirnya usaha rakyat.27 Runtuhnya kerajaan Singasari pada tahun 1292 dan keruwetan pada awal masa pembentukan negara Majapahit di bawah pimpinan Sanggramawijaya mempunyai pengaruh terhadap kedudukan negara-negara bawahan di negeri seberang.28 Negeri-negeri di seberang tidak mengakui Majapahit sebagai penerus kerajaan Singasari dan kerajaan-kerajaan kecil tersebut mendirikan (memerdekakan) diri dari Majapahit.

25

Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, h. xvi.

26

Raja terakhir Singasari, Kertanagara (1268-1292) dikenal sebagai orang yang mahir dalam ilmu yang paling gaib. Dan setelah kematiaanya Majapahit muncul. Raja pertama Majapahit adalah keturunan dari Ken Arok dan menantu dari Kertanegara, lihat penjelasan lebih rinci dalam

Ibid., h. 67-73. 27

Muhammad Yamin, Gadjah Mada, (Jakarta; Balai Pustaka, 1953) h. 10 28

Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 12.


(53)

Pengingkaran terhadap kekuasaan Majapahit setidaknya terlihat dalam Sumpah Nusantara yang diucapkan oleh Patih Amangku Bumi Gadjah Mada. Kerajaan Majapahit praktis harus mulai lagi memperluas jajahannya. Persiapan tersebut memakan waktu 40 tahun, yakni dari tahun 1292 sampai 1336. Masa itu merupakan masa konsolidasi pemerintahan Majapahit.29

Perkembangan terakhir peradaban Jawa pra-Islam berlangsung kurang dari se-abad. Kerajaan Majapahit yang didirikan pada 1293 oleh Nararya Sanggramawijaya dengan nama Abhiseka Kertarajasa Jayawardana. Dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, raja Majapahit itu disebut Brawijaya30, atau Wijaya. Kehilangan pengaruhnya bersamaan dengan kematian cucunya Hayam Wuruk pada 1389.31

Kerajaan Majapahit berbeda dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya di Jawa. Raja Kertanagara telah memperkenalkan satu unsur baru dengan kebijakan luar negerinya yang berjangkauan jauh dan penerus-penerusnya tidak mau melepaskan klaim penguasaan atas Indonesia, yang ditetapkan oleh penguasa terakhir Singasari. Klaim tersebut terbungkus dalam bentuk semi-mitologis. Hal ini seperti di ceritakan oleh Prapança “seluruh Jawa takluk pada pemerintahannya (Wijaya, penj) dan bersukacita karena perkawinan sang raja dengan keempat putri Kertanagara“32

Satu dokumen dari tahun 1305 menyatakan bahwa sang raja, yang kini menyandang gelar seremonial Kertarajasa Jayawardhana, memasuki persekutuan

29

Ibid., h. 14. 30

Ibid., h. 1. 31

Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, h. 75. 32

Ibid., h. 75.


(54)

mistik dengan empat putri, yang mewakili empat negeri: Bali, Malayu, Madura, dan Tanjungpura. Sejak persekutuan tersebut penguasaan formal atas sebagian besar Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan regalia raja-raja Majapahit.33

Wijaya mulai memerintah pada tahun Saka 216 atau tahun Masehi 1294 setelah tentara Majapahit berhasil mengusir tentara Tartar.34 Prabu Kertarajasa Jayawardana meninggalkan seorang putra bernama Jayanagara dari perkawinanya dengan putri melayu Dara Petak, alias Indraswesi, dan dua orang putri dari perkawinannya dengan Tribuana Tunggadewi.

2. Masa Kejayaan Majapahit

Masa Kejayaan atau masa keemasan Majapahit menurut beberapa pengamat kerajaan Jawa dimulai dari kepemimpinan Hayam Wuruk dan kepatihan Gajah Mada, dari dua kepemimpinan tersebut luas wilayah kerajaan Majapahit meliputi : di sebelah timur Ambon atau Maluku, Seram, dan Timor; di semenanjung Melayu yakni Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dungun, Tumasik, Klang, Kedah, dan Djerai.35

Program yang dicanangkan oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah Sumpah Nusantara, yakni sebuah keinginan dari Gadjah Mada untuk mempersatukan (memperluas) daerah jajahan Majapahit. Bunyi sumpah Nusantara itu seperti berikut: “Lamun huwus kalah nusantara, isun isun amukti palapa; lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik samana isun amukti

33

Lihat C.C. Berg, dikutif dari Ibid., h. 76 34

Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 1

35

Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan, h. 47


(55)

palapa.“ Artinya “ kalau Nusantara telah tunduk, saya baru akan beristirahat. Kalau Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjungpura (kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Singapura) telah tunduk, pada waktu itu saya akan beristirahat.36

Di bawah pimpinan Adityawarman, tentara Majapahit berhasil merebut kekuasaan Sumatera dari raja-raja kecil, daerah-daerah tersebut antara lain : Jambi, Palembang, Toba, Dharmaçraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai, Kampai, Haru atau Mandailing, Tumihang, Perlak, Samudera, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus.37 Daerah jajahan Majapahit di Sumatera sangat Luas.

Gadjah Mada dan Prapança berkata dalam abad ke-14 kepada segala pembaca surat-welingan yang ditingalkannya, surat tersebut seperti sebuah testamen : “Inilah daerah Nusantara, yang bersatu di atas pulau yang delapan, kami mengetahui mana yang menjadi tumpah darah kami, dan mana di luar batasan daerah!“38

Selain memperluas daerah jajahan, Kerajaan Majapahit pun mempunyai tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang, menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan pengawasan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang makin terperinci, dan untuk menyusun kekuasaan politik yang semakin

36

Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 14, eksplorasi lebih banyak lihat catatan M. Yamin, Gadjah Mada, h. 48-53

37

Ibid., h. 15 38

M. Yamin, Gadjah Mada, h. 55


(56)

disentarlisasikan,39 tetapi tanpa peleburan terirtorialnya. Dengan bertambah luas dan majunya perhubungan antar daerah, sistem sosio-kultural di dalam wilayah politik Majapahit berintegrasi ke dalam secara lebih kuat dan lebih jelas, terpisah dari sosio-kultural yang lain secara teritorial.40

Hal yang paling menarik perhatian dari komunitas politik Majapahit adalah kekuasaannya yang bersifat teritorial. Struktur teritorial Majapahit bertalian dengan kepercayaan yang bersifat kosmopolitis dan menjadi proto type struktur-struktur teritorial kerajaan-kerajaan Jawa dikemudian hari.41

Wilayah kerajaan di Jawa asli terbagi atas beberapa propinsi, yang terpenting di antaranya Kahuripan dan Kediri. Anggota-anggota keluarga raja yang terpenting dijadikan kepala di propinsi-propinsi tersebut.42 Perkawinan menjadi salah satu ikatan yang paling epektif untuk menjamin kesetiaan para gubernur propinsi kepada raja. Jabatan gubernur diberikan sebagai hadiah kepada para hamba dinasti yang berjasa dan ada tendensi bahwa jabatan ini menjadi jabatan yang turun-temurun.43

Pemerintah gubernur di propinsi, diorganisasi dengan cara yang sama seperti pemerintahan raja Majapahit, mereka mengangkat pegawai-pegawai bawahannya sendiri. Selanjutnya perlu dicatat, bahwa fungsi gubernur itu meliputi

39

Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit,” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, (Surabaya: T.pn., 1993), h. 33

40

Ibid., h. 33 41

Ibid., h. 36 42

Ibid., h. 36 43

Ibid., 36


(1)

Budiardjo, Miriam. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan.” Dalam Miriam Mudiardjo. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Sinar Harapan, 1984 : h. 9-29.

Carter, April. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta : CV. Rajawali, 1985.

Chilcote, Ronald H. Teori Perbandingan Politik; Penelusuran Paradigma. Jakarta: Rajawali Grafindo, 2003

De Graff, H.J dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa;Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003. Drewes, G.W.J. “Pemahaman Baru tentang kedatangan Islam di Indonesia.”

Dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3ES, 1989 : h. 7-36.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Giddens, Anthony. Kapitalsme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI-Press, 1986. Hanafiah, Djohan. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Hamka. Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1982.

Hasymy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Tanpa kota: PT Almaarif, 1993.

Hasyim,Umar. Sunan Kalijaga. Kudus: Menara, t.t.


(2)

Johns, A.H. “Islam di Asia Tenggara: Masalah Prespektif.” Dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3ES, 1989 : h.37-47.

Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004.

Kartodirdjo, Sartono. “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit.” Dalam Sartono Kartodirdjo, dkk. 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampa. Surabaya: T.pn., 1993. 31-46.

--- Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.

--- “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa.” Dalam Hans Antlöv dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001: h. 30-45.

Kawuryan, Megandaru W. Tata Pemerintahan Negara Kertagama: Kraton Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka, 2006.

Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik kebudayaan. Jakarta : LP3ES, 1987.

Koentjaraningrat. “Kepemimpianan dan Kekuasaan : Tradisional, masa Kini Resmi dan Tak Resmi.” Dalam Miriam Budiardjo. Aneka Pemikiran Tantang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1984 : h. 128-147. --- Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1981. --- Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1990.


(3)

Kusumohamidjoyo, Budiono. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Jakarta : Grasindo, 2000.

Liddle, R. William. Islam Politik dan Modernisasi. Jakarta: Sinar Harapan, 1997. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya,Bagian I: batas-batas Pembaratan.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

--- Nusa Jawa;Silang Budaya, bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

--- Nusa Jawa;Silang Budaya, Bagian III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta : Rajawali Press, 1990.

Masoed, Mochtar dan Colin Mac Andrews. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Mulder, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981.

Muljana, Slamet. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: LkiS, 2006. --- Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam

di Nusantara. Yogyakarta: LkiS, 2006.

--- Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan Majapahit. Jakarta: Balai Pustaka, 1965.

--- Perundang-undangan Madjapahit. Jakarta: Bhratara, 1967.


(4)

--- “Yamin dan Hamka; Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia.” Dalam Anthony Ried dan David Marr, ed. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Jakarta: Grafiti Pers, 1983: h. 37-54.

Onghokham. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES, 1991. Pane, Sanusi. Sejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1965.

Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao. Yogyakarta: LkiS, 2007. Purwadi, Dr, M.Hum. Babad Majapahit. Yogyakarta: Media Abadi, 2005. --- Falsafah Militer Jawa. Yogyakarta: Sadasiva, 2004.

--- Dakwah Sunan Kalijaga;Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Rickleft, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj, satrio Wahono, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.

--- “Islamisasi di Jawa: Abad ke-14 Hingga ke-18.” Dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3ES, 1989 : h. 72-88.

Ried, Anthony. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004.

--- Dari Ekspansi Hingga Krisis II. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999. Sairin, Safri. Perubahan Sosial masyarakat Indonesia; Perspektif Antropologi.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.

Schroeder, Ralph. Max Weber ; Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.


(5)

Sedyawati, Edi. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologis, Seni dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa. Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008.

Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju, 2003.

Sjamsuddin, Nazaruddin. dkk. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: diktat kualiah pada Universitas Terbuka, 1995.

Soemardi, Soelaeman. “Cara-cara Pendekatan Terhadap “Kekuasaan” Sebagai Suatu Gejala Sosial.” Dalam Miriam Budiardjo. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Sinar Harapan, 1984 : h. 30-43 Sulendraningrat, P.S. Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon. T.tp. : T.pn., t.t. Sumadio, Bambang, ed. Jaman Kuna. T.tp. : T.pn., t.t.

Sumarsono, H.R (penerjemah). Babad Tanah Jawi; Mulai Dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi, 2007.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah ; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.

Suseno, Franz Magnis. Etika Politik ; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Suyono, Seno Joko. Tubuh Yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.


(6)

Vlekke, Bernard H. M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.

Wahid, Abdurahman. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok : Desantara, 2001.

Weber, Max. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Wertheim, W.F. Masyarakat Indonesia dalam Transisi ; Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara wacana, 1999.

Wibawa, Samodra. Negara-negara di Nusantara; Dari Negara-Kota hingga Negara-Bangsa dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001.

Wrong, Dennis (Ed.). Max Weber Sebuah Khazanah. Yogyakarta: Ikon, 2003. Yamin, Muhammad. Gadjah Mada. Jakarta : Balai Pustaka, 1953.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Yuanzhi, Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho; Misteri Perjalanan Muhibah di .Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000.

Jurnal, Buletin, website dan lainya

Sastrapratedja, M. S.J, “Perkembangan Sistem Legitimasi Kekuasaan Politik.” Jurnal Driyarkara Edisi XXVI No. 2.: h. 1-9.

Wikipedia Indonesia. Majapahit. Artikel diakses pada 8 Januari 2008 dalam www.wikipediaindonesia.com