Berkhas Kliping Juli 2008 Agraria-Juli 2008

VOLUME VI JULI 2008

AGRARIA

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

Da ft a r I si

Panen Mulai Dongkrak Pengadaan Beras ----------------------------------------------------------

1


Bulog Targetkan Serap 235.000 Ton Gabah Petani----------------------------------------------

2

Produksi padi 2008 diprediksi naik 4,76%-----------------------------------------------------------

3

Nilai Tukar Petani Sulut Rendah -----------------------------------------------------------------------

5

Petani Blora Mencoba Tanam Semangka -----------------------------------------------------------

6

Stok Beras Nasional Aman untuk Enam Bulan ----------------------------------------------------

7


4.000 Hektar Tanaman Padi di Indramayu Puso --------------------------------------------------

8

Petani Menanam meski Kekeringan ------------------------------------------------------------------

9

Strategi Pangan Vietnam--------------------------------------------------------------------------------- 10
Petani Diimbau Tak Spekulasi Menanam Padi ---------------------------------------------------- 12
Buruh Tani Menganggur---------------------------------------------------------------------------------- 13
Masihkah Kita Surplus Beras?-------------------------------------------------------------------------- 14
Petani Diharapkan Menanam Palawija --------------------------------------------------------------- 16
Petani Butuh Pendampingan untuk Akses Kredit Bank ----------------------------------------- 17
Pertanian Belum Berbasis Desa ----------------------------------------------------------------------- 18
Tanaman Padi Tak Berbuah Sempurna ------------------------------------------------------------- 19
20.630 Ha Sawah di Jatim Kekeringan--------------------------------------------------------------- 20
Pupuk Akan Tetap Langka------------------------------------------------------------------------------- 22
Spekulan Memburu Pupuk Bersubsidi --------------------------------------------------------------- 24

Tingkatkan Pengawasan Penyaluran Pupuk ------------------------------------------------------- 25
Jelang Panen Petani Melepas Stok Tembakau---------------------------------------------------- 27
Ke Mana Arah Kebijakan Pangan Kita?-------------------------------------------------------------- 28
Kekeringan Belum Pengaruhi Produksi Padi ------------------------------------------------------- 31
Jangan sampai Kebablasan ----------------------------------------------------------------------------- 32
Rezim Pertanian Remukkan Petani ------------------------------------------------------------------- 35
Yang Menanam, yang Sengsara ----------------------------------------------------------------------- 38
5.000 Ha Sawah di Cirebon Terancam Puso ------------------------------------------------------- 40
11.000 Ha Sawah di Karawang Kekeringan -------------------------------------------------------- 41
Perkebunan Minati Pupuk Organik -------------------------------------------------------------------- 42
Pengadaan Beras Bulog Baru 56 Persen ----------------------------------------------------------- 43
Petani Lapor 35 Hektar Ditanami Ekaliptus --------------------------------------------------------- 44
Cireundeu Miliki Kemandirian Pangan --------------------------------------------------------------- 45

Kekeringan Meluas, Produksi Gabah Baru 35 Persen------------------------------------------- 46
Harga Pupuk Melonjak, Panen Padi Bisa Gagal -------------------------------------------------- 47
Panen Padi di Bantul Membaik ------------------------------------------------------------------------- 48
Presiden Akui Tak Ada Pembangunan Irigasi Baru ---------------------------------------------- 49
Subsidi Pertanian Dirombak ----------------------------------------------------------------------------- 50
Pemerintah Prioritaskan Ketahanan Pangan ------------------------------------------------------- 52

Air Irigasi Makin Mengecil -------------------------------------------------------------------------------- 54
Infrastruktur Pengairan Rusak -------------------------------------------------------------------------- 55
Petani Bali Terancam Gagal Panen------------------------------------------------------------------- 57
Petani Bentuk Kelompok --------------------------------------------------------------------------------- 58
Petani Terancam Gagal Panen------------------------------------------------------------------------- 59
Subsidi Sebaiknya Ditujukan untuk Petani Kecil--------------------------------------------------- 61
Penuhi Standar dan Sertifikasi Uni Eropa ----------------------------------------------------------- 62
Rp 9 Triliun Perbaiki Irigasi ------------------------------------------------------------------------------ 63
Petani Abaikan Benih Bersertifikat -------------------------------------------------------------------- 65

Kompas

Selasa, 01 Juli 2008

Pa ne n M ula i D ongk r a k Pe nga da a n Be r a s
Selasa, 1 Juli 2008 | 01:35 WIB
Indramayu, Kompas - Kegiatan panen padi secara sporadis di sejumlah kecamatan di
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dalam pekan-pekan ini, setidaknya menormalkan
penyerapan beras Bulog di daerah itu.
Berdasarkan pantauan Kompas, Senin (30/6), petani di beberapa kecamatan, seperti Kroya,

Haurgeulis, Anjatan, Kandanghaur, dan Gantar, walaupun belum masuk panen raya musim
gadu, panen penyerapan beras di Perum Bulog Subdivisi Regional Indramayu mencapai 750
ton per hari, dengan harga beli di atas harga pembelian pemerintah atau non-HPP, yaitu Rp
4.650 per kilogram.
Kepala Bulog Subdivisi Regional Indramayu Surasno mengakui, penyerapan ini menunjukkan
perbaikan dibandingkan dengan dua pekan lalu ketika pengadaan per hari hanya 500 ton.
”Per 30 Juni ini kontrak pengadaan beras dengan harga non-HPP sudah 18.794 ton,
sedangkan yang telah terealisasi dan masuk gudang Bulog sebanyak 16.414 ton,” katanya.
Surasno menambahkan, rata-rata pengadaan beras dari mitra Bulog di wilayah Indramayu
sebanyak 750 ton per hari. Biasanya, pada musim rendeng, penyerapan per hari berkisar 900
hingga 1.000 ton per hari.
Tingginya penyerapan beras di Indramayu didukung pula oleh beberapa hal, di antaranya
harga beras non-HPP yang lebih tinggi Rp 350 per kg dibandingkan dengan harga beras
HPP pada tahun 2008, yaitu Rp 4.300 per kg.
Sementara itu, sejumlah pedagang beras di Kota Bandung mengeluhkan tingginya harga
beras yang berkisar Rp 4.800 hingga Rp 6.100 per kilogram. Akibatnya, para pembeli
mengurangi konsumsi beras dan omzet pedagang pun turun hingga 80 persen.
Sejak kenaikan harga bahan bakar minyak, harga beras yang awalnya berkisar Rp 4.200
sampai Rp 5.100 per kilogram melambung menjadi Rp 4.800 sampai Rp 6.100 per kilogram.
”Karena harga tinggi, konsumen mengurangi volume pembelian mereka,” kata Usep

Iskandar, pedagang beras di Pasar Ujung Berung, Bandung.
Menurut Usep, harga beras kualitas tiga mencapai Rp 4.800 per kilogram, harga beras
kualitas dua Rp 5.200 per kilogram, beras kualitas pertama Rp 5.800 per kilogram, dan harga
beras kualitas super mencapai Rp 6.100 per kilogram. ”Kalau harga beras tinggi seperti ini,
dagangan kami jadi sepi karena pembeli terbebani,” tuturnya.
Akibat tingginya harga beras, pendapatan Usep yang sebelum harga BBM naik Rp 4 juta per
hari kini anjlok hingga Rp 800.000 per hari. (THT/A01)

Berkhas

1

Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan

Selasa, 01 Juli 2008

Bulog Ta r ge t k a n Se r a p 2 3 5 .0 0 0 Ton Ga ba h Pe t a ni
[JAKARTA] Perum Bulog menargetkan Unit Pelaksana Teknis Penggilingan Gabah dan

Beras (UPTPGB) milik BUMN tersebut mampu menyerap gabah petani sebanyak 235.000
ton gabah kering giling (GKG) pada 2009. Penyerapan sebanyak itu merupakan 25 persen
dari kapasitas giling UPTGB sebanyak 943.200 ton selam 5 tahun ke depan.
Demikian dikatakan Dirut Perum Bulog, Mustafa Abubakar di Jakarta, Senin (30/6). Menurut
Mustafa, hal itu sekaligus untuk meningkatkan pengadaan gabah dalam negeri.
Ditambahkannya, untuk mencapai sasaran tersebut maka mulai 2009 perusahaan
menargetkan setiap UPTGB di daerah produsen dapat menyerap gabah untuk mencapai
kapasitas gilingnya sebesar 7.200 ton per tahun.
Secara bertahap, tambahnya, penyerapan gabah petani oleh UPTPGB akan dinaikkan per
tahun guna mencapai kapasitas optimalnya di tahun 2013.
Untuk mencapai target tersebut UPTPGB akan bekerjasama dan mengoptimalkan peran
wadah atau lembaga ekonomi petani berupa Koperasi Tani, KUD atau Gapoktan untuk
menghimpun gabah petani dijual ke Bulog melalui UPTPGB.
Menyinggung pengadaan gabah/beras melalui UPTPGB pada 2008, Mustafa mengatakan,
hingga Februari masih sebesar 25,8 ton namun pada Juni telah mencapai 20.218 ton.
Menanggapi kecilnya pemasukan gabah/beras melalui penggilingan milik Bulog,
dikatakannya, hal itu disebabkan harga gabah di tingkat produsen sudah sangat tinggi
melebihi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 2.840/kg.
Dia mencontohkan, di Jawa Barat harga GKG di tingkat petani rata-rata bulan Mei 2008
mencapai Rp 2.972/kg.

Dengan randemen 63,5 persen maka harga berasnya sudah menjadi Rp 4.680/kg ditambah
biaya pengolahan Rp 225/kg maka harga pokok beras menjadi Rp4.905/kg melebihi HPP
yang ditetapkan sebesar Rp 4.300/kg. [L-11]

Berkhas

2

Volume VI Juli 2008

Bisnis I ndonesia

Rabu, 02 Juli 2008

Pr oduk si pa di 2 0 0 8 dipr e dik si na ik 4 ,7 6 %
JAKARTA: Produksi padi Indonesia pada 2008 diproyeksi naik 4,76% atau 2,72 juta ton
menjadi 59,88 juta ton gabah kering giling dibandingkan dengan 2007 karena ada perluasan
areal panen dan peningkatan produktivitas.
Hal itu terungkap dalam angka ramalan (Aram) II tahun ini yang diungkapkan Badan Pusat
Statistik di Jakarta, kemarin. Proyeksi tersebut menyangkut produksi tiga komoditas pangan

utama, yaitu padi, jagung, dan kedelai.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Ali Rosidi menuturkan kenaikan produksi itu
diperkirakan disumbang oleh sentra penghasil padi di Indonesia yaitu Jawa Timur, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan
Barat dan Sulawesi Tengah.
Aram II produksi padi 2008 diperkirakan 59,88 juta ton gabah kering giling [GKG].
Dibandingkan dengan produksi 2007, terjadi kenaikan 2,72 juta ton atau sekitar 4,76%. "Ini
karena ada peningkatan luas panen," katanya di Jakarta, kemarin.
Produksi padi pada 2007, diketahui 57,16 juta ton GKG. Angka ini naik 4,96% dibandingkan
dengan produksi tahun sebelumnya karena peningkatan luas areal panen sekitar 361.210 ha
dan peningkatan produktivitas 0,85 kuintal per ha.
Ali menambahkan dalam catatan Aram II tahun ini, tingkat produktivitas padi di dalam negeri
bertambah 1,3 kuintal per ha atau sekitar 2,76% dibandingkan dengan tahun lalu, sehingga
menambah volume panen padi tahun ini.
Untuk jagung, Aram II mencatat proyeksi produksi 2008 mencapai 14,85 juta ton pipilan
kering. Dibandingkan dengan angka tetap produksi 2007, terjadi kenaikan 1,57 juta ton atau
11,79%."
Luas panen
Kenaikan produksi jagung, katanya, terjadi karena peningkatan luas panen sekitar 178.670
ha atau sekitar 4,92% dibandingkan dengan luas panen tahun lalu plus perbaikan tingkat

produktivitas sebesar 2,4 kuintal per ha.
Peningkatan produksi ini, ujar Ali, tercapai di beberapa daerah penghasil jagung utama yaitu
Lampung, Jawa Timur, Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Sementara produksi kedelai, BPS mencatat, pada Aram II 2008 diperkirakan mencapai
723.540 ton biji kering. Angka itu memperlihatkan kenaikan volume panen 22,11% atau
131.000 ton dibandingkan dengan tahun lalu.
Penambahan itu disebabkan luas panen kedelai tahun ini, diperkirakan bertambah 90.300 ha
atau naik 19,67% dibandingkan dengan luas areal panen tahun lalu. Kemudian karena tingkat
produktivitas kedelai 2008 diperkirakan naik 0,26 kuintal per ha dibandingkan dengan tahun
lalu.
"Angka tetap produksi kedelai tahun lalu 592.530 ton biji kering. Dibandingkan dengan 2006,
terjadi penurunan 20,74% karena ada penurunan luas areal panen sekitar 121.420 ha,"
ujarnya.

Berkhas

3

Volume VI Juli 2008


Bisnis I ndonesia

Rabu, 02 Juli 2008

Untuk tahun ini, produksi kedelai akan membaik karena kenaikan produksi 2008 akan
disumbang dari volume panen sejumlah areal lahan khususnya di Nusa Tenggara Barat,
Jawa Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Jambi, Jawa
Timur dan Sumatra Utara. (aprika.hernanda@bisnis.co.id)
Oleh Aprika R. Hernanda
Bisnis Indonesia

Berkhas

4

Volume VI Juli 2008

Jurnal Nasional

Rabu, 02 Juli 2008

Ekonomi - Keuangan - Bisnis Even
manado | Rabu, 02 Jul 2008

N ila i Tuk a r Pe t a ni Sulut Re nda h
by : Sapariah
NILAI Tukar Petani (NTP) Sulawesi Utara (Sulut) hingga Mei 2008 sangat rendah. Angka
indeks hanya 99,29, pertanda kehidupan ekonomi petani di daerah itu kurang sejahtera,
bahkan berpotensi miskin.
"Dengan NTP 99,29 atau tidak mencapai angka standar 100, berarti pendapatan yang
diterima petani tidak mampu lagi membayar seluruh komponen biaya hidup seorang petani,"
kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, Jasa Bangun di Manado, Selasa (1/7), seperti
dikutip dari Antara.
Pendapatan atau indeks harga yang diterima Mei 2008 terjadi penurunan 1,22 persen, indeks
harga yang dibayarkan petani justru terjadi kenaikan 1,26 persen. Keadaan ini menyebabkan
NTP turun ke posisi 99,29 atau turun 2,45 persen dibandingkan sebelumnya 101,79 persen.
Tren indeks harga yang diterima petani berfluktuasi, dan dalam dua bulan terakhir cenderung
menurun. Padahal, indeks harga yang dibayar petani dari bulan ke bulan makin meningkat.
“Inilah yang menyebabkan NTP makin turun. Dapat dipastikan daya beli petani makin lemah,”
ucap dia.
Dari lima sektor yang disurvei guna penghitungan NTP, terendah sektor holtikultura 88,03,
disusul tanaman pangan 95,51, peternakan 99,73. Sementara usaha pertanian cukup baik
karena NTP di atas 100, perkebunan rakyat 107,21 dan perikanan 103,27.
"Dengan angka NTP petani holtikultura hanya 88,03 persen, pertanda petani buah-buahan di
Sulut makin tidak sejahtera. Hal sama makin dirasakan petani tanaman pangan dan petani
mengusahakan peternakan.”

Berkhas

5

Volume VI Juli 2008

Kompas

Kamis, 03 Juli 2008

PERTAN I AN
Pe t a ni Blor a M e ncoba Ta na m Se m a ngk a
Kamis, 3 Juli 2008 | 03:00 WIB
BLORA, KOMPAS - Guna meningkatkan penghasilan petani pada musim kemarau, sejumlah
petani di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menguji coba tanaman semangka.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Blora Adi Purwanto, Rabu (2/7),
mengatakan, pembudidayaan semangka dilakukan di Desa Ngilen dan Muraharjo,
Kecamatan Kunduran, dengan luas lahan sekitar 6 hektar. Budidaya tersebut merupakan
inisiatif para petani sendiri.
”Mereka tidak mendapat bantuan modal dari pemerintah, melainkan menggunakan modal
sendiri. Namun, pemerintah akan berupaya membantu pengembangan budidaya itu,
terutama untuk mengatasi kekurangan air,” katanya.
Adi mengemukakan, sejak 2004 Pemerintah Kabupaten Blora menggalakkan program
Komite Investasi Desa (KID). Salah satu program itu adalah penyediaan infrastruktur
pengairan, seperti pembuatan embung, saluran irigasi gelontoran, dan bendung-bendung
kecil di sungai maupun anak sungai.
Pada tahun ini, dana pengembangan KID sebesar Rp 6,93 miliar. Dana tersebut akan
digulirkan untuk 60 KID. Setiap desa memperoleh Rp 115.550.000.
Secara terpisah, petani semangka Dukuh Brengus, Desa Muraharjo, Joko Priyanto (24),
mengatakan, uji coba budidaya semangka baru dilakukan tahun ini. Budidaya tersebut
dilakukan di lahan sekitar satu hektar yang semula digunakan untuk menanam jagung.
”Hasilnya sangat bagus. Berat sebuah semangka rata-rata 6 kilogram. Ketika berusia 45 hari,
semangka-semangka itu sudah ditebas pedagang Demak sebesar Rp 27 juta,” kata Joko.
Keuntungan bersih yang didapat dari budidaya semangka Rp 12 juta. Keuntungan itu lebih
tinggi ketimbang menanam jagung. Sekali panen jagung pendapatan kotor yang diterima Rp
5 juta.
Menurut Joko, kendala utama budidaya semangka adalah ketersediaan air. Untuk
mendapatkan air, sejumlah petani membendung sungai kecil yang terletak sekitar 300 meter
dari lahan. Air itu disedot dengan pompa air berbahan bakar bensin. (HEN)

Berkhas

6

Volume VI Juli 2008

Kompas

Kamis, 03 Juli 2008

Ke t a ha na n Pa nga n

St ok Be r a s N a siona l Am a n unt uk Ena m Bula n
Kamis, 3 Juli 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Stok beras Perum Bulog sampai saat ini sebanyak 1,85 juta ton atau
setara untuk kebutuhan nasional selama enam bulan ke depan. Realisasi penyerapan beras
domestik pun telah mencapai 1,9 juta ton dari target 3,8 juta ton untuk tahun 2008.
”Sampai sekarang kami terus menyerap beras domestik lewat tiga jalur,” kata Direktur Utama
Perum Bulog Mustafa Abubakar, Rabu (2/7) di Jakarta.
Tiga jalur penyerapan beras itu adalah lewat mekanisme penyerapan sesuai harga
pembelian pemerintah (HPP) yang ditargetkan 2,7 juta ton untuk kebutuhan raskin. Ada juga
penyerapan sesuai harga pasar sebanyak 1 juta ton dan melalui program khusus penguatan
cadangan beras nasional sebanyak 1,5 juta ton.
Menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, pada
bulan Juli masih ada 1 juta hektar sawah yang akan panen. Begitu pula pada bulan Agustus.
Saat panen itu akan dioptimalkan untuk menyerap produksi beras nasional. Musim paceklik
diperkirakan terjadi Oktober-Januari 2009. ”Semoga tidak ada banjir, kemarau panjang, atau
hama dalam setengah tahun terakhir ini. Kalau ini terjadi, Indonesia bisa swasembada,” kata
Mustafa.
Kerja sama
Untuk penyerapan beras melalui program khusus, Bulog bekerja sama dengan Departemen
Kehutanan, Departemen Pertanian, Perum Bulog, Perum Perhutani, PT Inhutani, PT Pupuk
Sriwijaya, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, PT Pertani, PT Sang
Hyang Seri, Bank BRI, Bank Bukopin, dan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA).
Pemimpin 14 lembaga itu telah menandatangani nota kesepahaman kerja sama di Gedung
Bulog, kemarin. Kerja sama dilaksanakan dalam bentuk program Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu seluas 500.000 hektar, Gerakan
Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran Gabah atau Beras (GP4GB) 300.000 hektar,
Kredit Program Pasca Panen (KP3) 200.000 hektar, dan Cadangan Beras Hutan Nasional
60.000 hektar.
Dalam kerja sama ini, BUMN produsen sarana produksi pertanian menjamin ketersediaan
pupuk, benih unggul, dan lainnya. Perbankan menyediakan kredit modal kerja petani. KTNA
membina 300 koperasi petani penerima kredit bersuku bunga rendah dari Bukopin, dan Bulog
menyerap hasil panen.
Pemimpin Wilayah BRI Bandung Yasirin Ginting S di Bandung, Jawa Barat, mengatakan, dari
total kredit ketahanan pangan energi Kantor Wilayah BRI Bandung sebesar Rp 816,77 miliar,
baru disalurkan Rp 546,67 miliar. (ham/A01)

Berkhas

7

Volume VI Juli 2008

Kompas

Sabtu, 05 Juli 2008

4 .0 0 0 H e k t a r Ta na m a n Pa di di I ndr a m a y u Puso
Sabtu, 5 Juli 2008 | 00:51 WIB
Indramayu, Kompas - Hingga akhir Juni 2008, sebanyak 26.078 hektar atau 30 persen dari
luas tanam pada musim gadu di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, kekeringan. Bahkan,
4.014 ha di antaranya mengalami puso atau gagal panen.
Kepala Subdinas Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Toto
Kusmarwanto, Jumat (4/7), mengatakan, luas lahan yang puso itu meningkat jika
dibandingkan dengan kondisi dua pekan lalu yang 1.078 hektar (ha).
Kondisi terparah terjadi di daerah yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah
mengalami puso, yaitu di Kecamatan Kroya. Luas lahan yang puso 1.206 ha dari 2.548 ha
lahan yang mengalami kekeringan. ”Semua sawah di Kroya mengalami kekeringan meski
intensitasnya beda-beda,” kata Toto.
Pada musim gadu atau musim tanam kedua, luas tanaman padi di Indramayu mencapai
87.594 ha. Kekeringan terparah terjadi di Kecamatan Kandanghaur (2.938 ha), Losarang
(2.833 ha), dan Terisi (2.324 ha).
Menurut Toto, selain musim kemarau yang datang lebih awal, mundurnya masa tanam yang
dilakukan petani mengakibatkan banyak lahan yang puso. Adapun di Kabupaten Cirebon
belum terjadi puso meskipun luas lahan yang kekeringan sudah 1.426 ha.
Kekeringan juga menyebabkan kenaikan harga beras, seperti yang terjadi di Kota Sukabumi,
Jawa Barat. Harga beras di kota itu rata-rata naik sekitar Rp 200 per kilogram (kg). Harga
beras kualitas paling rendah naik menjadi Rp 4.900 per kg dari sebelumnya Rp 4.700.
Di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sebagian tanaman padi lolos dari bencana
kekeringan. Namun, petani kesulitan mendapatkan pupuk dalam beberapa bulan ini sehingga
berpengaruh pada turunnya produksi padi.
Buang (57), petani di Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumut, yang
ditemui sedang memanen padi di sawahnya, Jumat, mengatakan, produksi padi menurun.
Jika sebelumnya satu rante (seperempat hektar) mampu menghasilkan sekitar 450 kg gabah
kering panen (GKP), kini hanya menghasilkan sekitar 300 kg GKP akibat pupuk langka.
Di Kecamatan Sumpiuh dan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, kemarau yang
sudah berlangsung hampir dua bulan menyebabkan sumur warga di sejumlah desa terintrusi
air laut. Air sumur berubah warna dari jernih menjadi kuning dan rasanya juga menjadi asin.
Air sumur tak bisa dikonsumsi untuk air minum. (tht/aha/wsi/mdn)

Berkhas

8

Volume VI Juli 2008

Kompas

Sabtu, 05 Juli 2008

Pe t a ni M e na na m m e sk i Ke k e r inga n
Ke m a r a u Ak a n M undur hingga Ok t obe r
Sabtu, 5 Juli 2008 | 01:17 WIB
Jambi, Kompas - Petani di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, memilih tetap
menanam padi sepanjang musim kemarau dalam kondisi lahan yang kian mengering. Kondisi
tersebut diperkirakan akan menyebabkan hasil panen tak maksimal, padahal petani butuh
stok beras untuk kebutuhan hingga akhir tahun.
Darus (50), petani di Desa Pudak, Kumpeh Ulu, telah menanam padi sejak pertengahan
musim kemarau, yaitu sekitar satu setengah bulan lalu. Padinya diperkirakan akan dapat
dipanen pada Agustus mendatang.
”Mudah-mudahan bisa tetap dipanen. Walau hasilnya mungkin tak sebanyak kondisi cuaca
normal, yang penting tetap bisa dipanen,” tuturnya, Jumat (4/7).
Saat ini kondisi lahan padi milik Darus dan petani lain di sana makin mengering, sementara
tidak ada sungai sebagai sumber irigasi. Para petani memanfaatkan air dari parit-parit kecil
sisa tadah hujan.
Menurut Darus, ia dan petani setempat tetap menanam padi demi memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari. Persediaan beras dari hasil panen terdahulu diperkirakan tersisa untuk
dua bulan mendatang sehingga Darus harus mengupayakan produksi beras lagi.
”Kalau beli beras di pasar, kan, harganya sudah sangat mahal. Kami tidak mampu. Jadi lebih
baik tanam dan panen untuk makan sendiri saja,” ujarnya. Selain menanam padi, petani
setempat juga menanam kacang panjang dan timun yang hasil panennya untuk dijual.
Hal senada diutarakan Topan, petani setempat lainnya. Meski khawatir hasil panen menurun,
ia tetap menunggui padinya sepanjang hari dari serangan hama burung, kera, ataupun babi.
”Bulir padinya sudah keluar sehingga jadi incaran hama, terutama burung,” tuturnya.
Kemarau panjang
Berdasarkan ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jambi, masa musim kemarau
tahun ini akan lebih panjang. Bila tahun lalu berakhir September, tahun ini musim kemarau
akan mundur hingga Oktober.
Kepala BMG Jambi RL Tobing mengemukakan bahwa musim kemarau ini tidak cocok untuk
kegiatan pertanian karena sebagian besar lahan pertanian di Jambi tergolong lahan tadah
hujan yang menggantungkan hujan sebagai sumber air. (ITA)

Berkhas

9

Volume VI Juli 2008

Kompas

Sabtu, 05 Juli 2008

St r a t e gi Pa nga n Vie t na m
Sabtu, 5 Juli 2008 | 03:00 WIB
Aiyub Mohsin
Vietnam adalah satu dari sedikit negara yang tetap bertahan sebagai pengekspor beras
(pangan) hingga kini. Namun, belakangan Vietnam mulai membatasi ekspor beras guna
menjaga ketahanan pangan di dalam negeri pada saat kritis pangan melanda dunia sejak
awal tahun 2008.
Vietnam sebenarnya belum lama masuk kelompok pengekspor beras. Bahkan, dalam
sejarahnya, negeri yang pernah tercabik-cabik perang ini pernah mengalami kekurangan
pangan (1985-1986) yang begitu dahsyat. Akibatnya, mereka harus mengimpor beras 1 juta
ton. Namun, dengan kebijakan yang komprehensif disertai strategi yang tepat dan andal,
Vietnam berangsur-angsur menjadi salah satu negara pengekspor beras terkemuka.
Adapun kebijakan yang dimaksud adalah Kebijakan Doi Moi, yang berarti renovasi yang
ditetapkan Kongres Nasional Partai Komunis Vietnam (PKV) pada 15-18 Desember 1986 dan
mulai diterapkan pada tahun 1987. PKV adalah satu-satunya partai politik di Vietnam.
Kebijakan Doi Moi
Pada intinya, kebijakan Doi Moi meliputi, pertama, perubahan sistem ekonomi dari
perencanaan terpusat menjadi ekonomi pasar (market force) yang berorientasi sosialis.
Kedua, mengakui kepemilik- an oleh swasta, yang sebelum- nya hanya satu, yaitu oleh
negara. Dalam perkembangan- nya bahkan mengakui kepemilikan aset-aset ekonomi oleh
pihak asing dengan disetujuinya Undang-Undang PMA Tahun 1087.
Ketiga, restrukturisasi BUMN dan Koperasi. Keempat, mengembangkan hubungan ekonomi
internasional.
Dalam kerangka Doi Moi, Pemerintah Vietnam membuat Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita ) periode 1987- 1991 dengan program utama meningkatkan produksi
pangan dan bahan konsumsi lain dengan sasaran pemenuhan kebutuhan domestik dan
mulai mengekspor.
Untuk pertumbuhan ekonomi (GDP) ditargetkan 6-7 persen per tahun. Kini Vietnam
memasuki Repelita V periode 2005–2010 dengan target pertumbuhan ekonomi pada tahun
2010 mencapai 13,4 persen dan sektor pertanian berkembang antara 16 sampai 17 persen.
Adapun sektor industri dan jasa diharapkan mencapai di atas 40 persen dari GDP.
Dengan kebijakan Doi Moi yang antara lain mengizinkan petani berproduksi sebanyak
mungkin (sebelumnya dibatasi dan ditentukan oleh pemerintah), pada tahun 1989 untuk
pertama kali, setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi, Vietnam mengekspor beras
sebanyak 1 juta ton.
Selanjutnya, beras merupakan komoditas utama ekspor nonmigas. Tahun 2000 lalu Vietnam
telah mengekspor 3,5 juta ton beras, disusul pada tahun 2005 mengekspor 4,5 juta ton beras.
Terkait ekspor beras dan dalam hubungan bilateral Indonesia-Vietnam, tahun 1998 saat
Indonesia dilanda krisis, Vietnam membalas budi baik Indonesia yang pernah menolongnya
pada tahun 1986 dengan memberi beras kepada Indonesia 10.000 ton dan meminjami
100.000 ton tanpa bunga selama satu tahun.
Tahun 1986 Indonesia meminjamkan beras kepada Vietnam 50.000 ton dengan masa
pinjaman dua tahun

Berkhas

10

Volume VI Juli 2008

Kompas

Sabtu, 05 Juli 2008

Kebijakan dan strategi
Keberhasilan Vietnam dalam meningkatkan produksi dan ekspor beras tidak terlepas dari
kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian. Kebijakan itu, pertama, memberi kesempatan
seluas mungkin kepada petani untuk menggunakan/memanfaatkan tanah sebaik mungkin
(menurut konstitusi Vietnam, hanya negara yang berhak memiliki tanah) dalam berproduksi
tanaman pangan.
Kedua, mengembangkan ekonomi pedesaan dan ekonomi rumah tangga.
Ketiga, memberikan pelayanan yang luas kepada petani, dalam bentuk antara lain
pengadaan kredit pedesaan.
Keempat, meliberalisasi perdagangan, terkait beras, yaitu menghapus kuota ekspor beras
dan impor pupuk.
Sementara itu, strategi yang dilakukan Vietnam dalam pembangunan beras mencakup,
pertama, rehabilitasi dan peningkatan struktur dan sistem irigasi. Saat ini hampir 90 persen
lahan sawah padi telah diairi dengan sistem irigasi.
Kedua, pengembangan varietas unggul. Melalui lembaga Iptek dan Bank of Agriculture Micro
Biological Genes telah dikembangkan sejumlah jenis bibit padi yang unggul, termasuk jenis
varietas padi unggul hibrida.
Ketiga, menyediakan lahan pertanian untuk petani miskin tanpa dipungut sewa, bahkan
menyediakan pinjaman dana untuk berproduksi.
Keempat, menjamin tingkat kentungan bagi petani beras dengan membeli semua beras yang
dijual jika harganya di bawah harga yang ditetapkan (floor price) dan pemerintah menarik
dukungannya jika harga beras sudah mencapai harga tertinggi yang ditetapkan (ceiling
price).
Kelima, memberi kesempatan kepada semua perusahaan— BUMN, koperasi, dan Swasta—
yang memegang izin perdagangan komoditas pangan atau pertanian dapat mengekspor
beras dan mengimpor pupuk
Keenam, mendorong perusahaan swasta dan BUMN untuk mengadakan kontrak dengan
petani, dengan ketentuan perusahaan wajib menyediakan modal, bahan baku (bibit), serta
bantuan teknik kepada petani produsen dan membeli semua produksi hasil pertanian.
Sebaliknya, petani yang terikat kontrak wajib menjual produknya dengan harga yang
disepakati.
Ketujuh, mendirikan Kantor Pertanian dan Perdagangan (Agriculture and Trade Office) di
negara–negara yang mempunyai potensi besar dalam membeli beras Vietnam.
Dengan berpegang pada kebijakan nasional, khususnya kebijakan dan strategi peningkatan
dan ekspor beras, Vietnam kini menjadi negara pengekspor beras terbesar kedua setelah
Thailand. Semua keputusan itu dilaksanakan secara konsisten, efektif, dan efisien serta
didukung sepenuhnya oleh seluruh lembaga pemerintah dan rakyat.
Aiyub Mohsin Mantan Dubes RI untuk Vietnam

Berkhas

11

Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan

Sabtu, 05 Juli 2008

Pe t a ni D iim ba u Ta k Spe k ula si M e na na m Pa di

[JAKARTA] Pada musim kemarau ini, diingatkan agar para petani tidak berspekulasi
menanam padi, jika persediaan airnya tidak cukup hingga tanaman dipanen. Pada musim
kemarau seperti saat ini, petani sebaiknya beralih menanam jagung atau kedelai karena
dinilai jauh lebih menguntungkan.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Soetarto Alimoeso, kepada SP, Sabtu (5/7)
menanyakan, produktivitas tanaman padi turun selama musim gadu ini.
"Meskipun pada awal tanam padi masih ada air, jika persediaannya tidak memadai hingga
panen, petani jangan memaksakan diri dan spekulasi menanam padi untuk menghindari
gagal panen akibat kekeringan pada musim kemarau ini," tegas Soetarto.
Dikatakan, pada musim kemarau ini, petani diharapkan disiplin dengan pola tanam dan
mematuhi peraturan atau kesepakatan penentuan pola tanam, memilih tanaman yang tidak
banyak membutuhkan air atau tahan kering, seperti palawija dan hortikultura jenis sayuran.
Melalui berbagai upaya menghindari tanaman kekeringan tersebut, kata dia, kerugian akibat
tanaman yang kekeringan pada musim kemarau ini diharapkan dapat ditekan seminimal
mungkin, karena telah diantisipasi sebelumnya.
Guna menyelamatkan tanaman padi yang terancam kekeringan akibat kemarau ini, petani
dapat melakukan pompanisasi dengan memanfaatkan air permukaan, memanfaatkan
embung, sumur pantek, dan fasilitas lain penampung air lainnya.
Turun
Sementara itu, Kepala Bidang Statistik Distribusi, Badan Pusat Statistik Jabar, Achmad
Kurjatin melaporkan, nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan di Jawa Barat menunjukkan
terjadi penurunan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Angka NTP tanaman pangan
pada April dan Mei 2008 masing-masing 85,70 dan 88,65 poin.
Achmad mengatakan, jika angka nilai tukar petani kurang dari 100 poin, itu berarti petani
mengalami penurunan daya beli.
Daya beli mereka meningkat bila angkanya lebih dari itu, karena kenaikan harga produksi
lebih besar daripada kenaikan harga input produksi dan konsumsi rumah tangganya.
"Jadi, cukup untuk makan, produksi, dan punya kelebihan. Kalau kurang, artinya petani
mengalami defisit atau penurunan daya beli," katanya.
Sebab, kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga input
produksi dan barang konsumsi rumah tangganya. [L-11]

Berkhas

12

Volume VI Juli 2008

Kompas

Senin, 07 Juli 2008

Ke k e r inga n

Bur uh Ta ni M e nga nggur
Senin, 7 Juli 2008 | 01:22 WIB
Cirebon, Kompas - Gara-gara sebagian tanaman padi gagal panen, sejumlah buruh tani di
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kehilangan penghasilan. Mereka terpaksa menganggur
karena tidak dapat lagi menjadi buruh tani. Padahal, upah dari pekerjaan tersebut selama ini
menjadi sebagian dari sumber nafkah mereka.
Partaji (32), warga Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, yang biasanya bekerja sebagai
buruh tani, kini tidak mempunyai pekerjaan lagi. Belum ada pemilik sawah yang
memanggilnya untuk bekerja. ”Biasanya kami melakukan kerja borongan, seperti menanam
hingga panen sawah. Sekarang sepi, tak ada yang memanggil kami untuk bekerja di sawah
atau panen,” ujarnya.
Biasanya Partaji bekerja dengan sistem borongan. Untuk mengerjakan sawah satu bahu
(0,74 hektar) butuh 4-7 orang dengan bayaran sekitar Rp 350.000. Adapun untuk panen,
mereka mendapatkan upah seperlima dari hasil panen. Gabah hasil panen itulah yang
kemudian disimpan untuk cadangan makanan sehari-hari.
Jika kini tak ada lagi panen, para buruh seperti Partaji tak mempunyai cadangan makanan
dan memilih makanan alternatif lain, seperti singkong, ubi, dan nasi aking.
Saat ini, misalnya, sekitar 20 hektar tanaman padi di Kabupaten Cirebon puso karena
kekeringan. Hamparan padi yang puso terlihat di Kecamatan Kapetakan, sebagian
Kecamatan Gegesik, dan Suranenggala. Tanaman padi yang gagal panen ada yang masih
berbentuk persemaian, ada pula yang sudah berumur dua bulanan.
Menurut Cariman (47), petani di Desa Suranenggala Kidul, Kapetakan, sebagian petani
sudah meninggalkan sawah mereka karena tak bisa diselamatkan lagi. Hanya beberapa
petani yang tetap mengusahakan air agar padi miliknya yang sudah berusia dua bulanan
dapat diselamatkan.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Cirebon Ali Efendi
mengungkapkan, masalah kekeringan menjadi persoalan yang belum bisa dituntaskan
karena sebagian area kekeringan adalah sawah tadah hujan. Saat ini Dinas Pertanian dan
Peternakan masih menyalurkan bantuan pompa air bagi kelompok tani yang sawahnya
membutuhkan pengairan dan masih ada air tanah di daerahnya. (nit)

Berkhas

13

Volume VI Juli 2008

Kompas

Senin, 07 Juli 2008

Pa nga n
M a sihk a h Kit a Sur plus Be r a s?
Senin, 7 Juli 2008 | 03:00 WIB
Her Suganda
Pertanyaan di atas patut disimak, terutama setelah Dirjen Tanaman Pangan Departemen
Pertanian Sutarto Alimoeso mengemukakan kepada pers, sekitar 100.000 hektar areal
persawahan musim tanam 2007-2008 yang berlangsung selama periode Oktober-Maret
mengalami puso dan gagal panen.
Pernyataan ini mengejutkan mengingat pengaruhnya tidak kecil terhadap produksi beras
nasional. Dengan perkiraan tiap hektar menghasilkan lima ton gabah kering giling (GKG),
maka kehilangan akibat puso dan gagal panen mencapai 500.000 ton, atau setara 325.000
ton beras.
Kehilangan akibat gagal panen masih akan terjadi mengingat selama ini kita mengenal dua
musim tanam. Selain musim tanam (MT) 2007-2008 yang biasa juga disebut tanaman padi
rendeng, sistem pertanian di sebagian besar wilayah Indonesia berlangsung tanaman padi
gadu. Tanaman padi rendeng berlangsung pada musim hujan dan tanaman padi gadu
berlangsung pada musim kemarau. Kedua musim tanam itu mengandung implikasi berbeda.
Produksi tanaman padi rendeng lebih tinggi dibanding tanaman padi gadu. Pada tanaman
padi rendeng, kebutuhan air masih memadai atau berlebih karena curah hujan masih cukup
tinggi. Sebaliknya, tanaman padi gadu sangat tergantung pada sumber-sumber pengairan
setempat, baik waduk maupun bendungan. Namun, kemampuan sumber-sumber pengairan
itu selama sepuluh tahun terakhir ini perlu dipertanyakan mengingat kerusakan lingkungan
yang dialami daerah-daerah aliran sungai. Keadaan ini diperlihatkan dengan fluktuasi debit
air sejumlah sungai-sungai besar di Pulau Jawa pada musim hujan dan musim kemarau yang
sangat mencolok.
Selama ini kita bukan hanya tidak berhasil mengendalikan penjarahan hutan, tetapi
penghijauan yang dilakukan selama ini belum memperlihatkan hasilnya. Di Pulau Jawa
setidaknya terdapat tujuh daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber pengairan dan
irigasi, seperti DAS Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Bengawan Solo, dan DAS Brantas
termasuk dalam kondisi kritis.
Kemerosotan lingkungan
Pulau Jawa merupakan contoh menarik karena posisinya yang strategis. Pertama, jumlah
penduduknya yang padat. Kedua, merupakan penghasil beras terbesar dibanding produksi
beras dari pulau-pulau lainnya sehingga sekaligus menjadi penyangga produksi beras
nasional. Produksi padi Pulau Jawa sekitar 56 persen dari produksi padi nasional (Surono,
2001).
Namun sayangnya, kemerosotan lingkungan yang dialami sumber-sumber pengairan
memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Fenomena alam seperti banjir dan
kekeringan lebih sering terjadi, baik intensitas maupun frekuensinya. Kedua hal itu akan
sangat memengaruhi produksi beras.
Setelah kerugian akibat banjir yang dialami tanaman padi rendeng MT 2007-2008, dampak
musim kemarau sudah mulai terlihat terhadap tanaman padi gadu MT 2008. Beberapa
daerah sentra produksi padi di pantai utara sudah mulai mengalami kesulitan air.

Berkhas

14

Volume VI Juli 2008

Kompas

Senin, 07 Juli 2008

Secara makro, terjadinya penurunan produksi karena gagal panen sering kali dikategorikan
kecil jika dibanding dengan produksi beras nasional. Namun, secara populasi, pengaruhnya
sangat luas. Sebagian besar petani kita terdiri dari petani gurem dengan pemilikan kurang
dari 0,2 hektar. Sebagian lagi terdiri dari buruh tani. Pada musim panen, mereka menjadi
produsen beras. Tetapi setelah itu berubah menjadi konsumen.
Dampak kegagalan panen pada tahun ini perlu dicermati sedini mungkin. Tidak lama lagi kita
akan menghadapi dua agenda penting. Selain pemilihan umum untuk DPR, DPD, dan DPRD
yang akan berlangsung pada April 2009 mendatang, masih dilanjutkan dengan pemilihan
presiden. Perhatian para menteri dan kalangan politisi akan lebih terpokus pada pemenangan
partainya.
Berdasarkan pengalaman selama ini, harga beras bisa menjadi peluru politik terhadap rezim
yang berkuasa mengingat beras memiliki fungsi strategis. Beras merupakan bahan makanan
pokok penduduk Indonesia. Bahkan, sebagian besar masyarakat tidak bisa menggantikan
bahan makanan pokoknya walaupun bahan makanan pengganti memiliki kandungan gizi
yang lebih tinggi. Mereka menyatakan, belum makan jika belum makan nasi. Jangankan
memakan roti, memakan nasi goreng, apalagi ketupat yang terbuat dari beras saja masih
dianggap belum makan. Selain itu, beras sering dijadikan tolok ukur tingkat pendapatan atau
upah. Di kalangan masyarakat bawah, kita masih sering mendengar upah yang diterima
hanya cukup untuk sekian liter atau sekian kilo beras.
Tingginya harga beras, baik karena pengaruh kenaikan harga BBM maupun karena produksi
yang berkurang, akan mengakibatkan tidak terjangkau oleh sebagian besar rakyat
berpenghasilan rendah. Karena itu, ketahanan pangan tidak hanya ditentukan oleh seberapa
besar ketersediaannya, tetapi juga dipengaruhi pula oleh sejauh mana kemampuan daya beli
masyarakat.
Her Suganda Wartawan Tinggal di Bandung, Jawa Barat

Berkhas

15

Volume VI Juli 2008

Pikiran Rakyat

Senin, 07 Juli 2008

Pe t a ni D iha r a pk a n M e na na m Pa la w ij a
Senin, 07 Juli 2008 , 11:44:00
BANDUNG, (PRLM).- Memasuki puncak musim kemarau yang berbarengan dengan musim
tanam, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengimbau kepada petani agar menanam
palawija daripada menanam padi.
Imbauan itu ditujukan terutama bagi petani di daerah minim air. Heryawan mengatakan itu
seusai memimpin apel pagi di Dinas Pengendalian Sumber Daya Air (PSDA), Jln. Braga,
Kota Bandung, Senin (6/7).
Untuk mengantisipasi hal itu, dalam waktu dekat Dinas PSDA akan mulai menggilir jadwal
aliran air. Selain itu, Heryawan akan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang memonopoli
air. "Saya tak segan-segan akan menindak tegas mereka yang memonopoli air," katanya. (A156/A-140)

Berkhas

16

Volume VI Juli 2008

Kompas

Selasa, 08 Juli 2008

KRED I T PERTAN I AN

Pe t a ni But uh Pe nda m pinga n unt uk Ak se s Kr e dit
Ba nk
Selasa, 8 Juli 2008 | 03:00 WIB
BANDUNG, KOMPAS - Penyaluran kredit pada sektor pertanian sering kali terkendala
permasalahan kepemilikan lahan, kredit macet, dan ketidakjelasan jaminan pasar.
Untuk mengatasi hal itu, dibutuhkan pendampingan dan bimbingan khusus kepada petani
agar akses mereka ke kredit perbankan semakin lancar.
Demikian diungkapkan Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Jawa
Barat Mustopa Djamaludin, Senin (7/7) di Bandung.
”Melalui pendampingan dan bimbingan yang jelas, petani memiliki kepastian jaminan harga
dan pasar sehingga perbankan tidak akan ragu-ragu mengucurkan kredit,” ucapnya.
Menurut Mustopa, jaminan pada sektor pertanian salah satunya tampak pada tanaman tebu
yang telah dijamin oleh para produsen gula. Karena memiliki kepastian pasar, pengucuran
kredit pada sektor tebu lancar.
Supervisor Kredit Program BRI Kantor Wilayah Bandung N Priyanto mengatakan,
sebenarnya banyak petani yang membutuhkan pinjaman kredit. Namun, beberapa jenis
tanaman dalam KKPE yang ditawarkan pemerintah belum memiliki jaminan pasar yang jelas,
misalnya ubi kayu, ubi jalar, dan sorgum.
Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat A Herdiwan mengatakan, ”Petani yang menggunakan
kebun jarahan tentu saja tak layak untuk mendapatkan pinjaman kredit. Kami masih
melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat yang melakukan penjarahan.”
Sementara itu Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, terkait dengan
penambahan subsidi untuk KKPE, realisasinya tidak bisa tahun ini karena terkait dengan
mekanisme anggaran negara. (ABK/mas)

Berkhas

17

Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan

Selasa, 08 Juli 2008

Pe r t a nia n Be lum Be r ba sis D e sa

[JAKARTA] Menteri Pertanian, Anton Apriyantono mengakui, selama ini program
pembangunan, khususnya pertanian, belum berbasis pada wilayah atau desa, namun
berbasis proyek.
Menurut menteri di Jakarta, Selasa (7/7), kecenderungan pembangunan saat ini terpotongpotong berdasarkan komoditas, seperti hortikultura, perkebunan, tanaman pangan, atau
peternakan.
"Pembangunan mestinya berawal dari desa, terutama daerah miskin, namun memiliki potensi
pertanian dan harus dilakukan secara terintegrasi (terpadu)," katanya.
Salah satu upaya pembangunan berbasis wilayah atau desa yang dilakukan Deptan, yakni
melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Program PUAP yang
dilaksanakan mulai tahun 2008, rencananya menjangkau 10.000 desa per tahun.
Setiap desa akan mendapatkan dana Rp 100 juta untuk mengembangkan kegiatan usaha
agribisnis melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). "Nantinya, diharapkan menjangkau
seluruh desa di Indonesia yang berjumlah 70.000 itu," katanya.
Pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 1 triliun untuk kegiatan PUAP
yang akan disalurkan kepada 10.000 Gapoktan di 33 provinsi, 388 kabupaten/kota atau 1.834
kecamatan.
Menurut dia, 10.000 desa PUAP berasal dari program lanjutan Deptan untuk 2.000 desa,
usulan dari kabupaten/kota 6.113 desa, dan aspirasi masyarakat 1.888 desa.
Menanggapi penilaian bahwa program PUAP merupakan kegiatan berbau politik menjelang
2009, Anton menegaskan, ide pelaksanaan program tersebut didasarkan pada Gramen Bank
yang dikembangkan di Pakistan dalam membantu petani.
"PUAP bukan program bagi-bagi uang. Yang Rp 100 juta ini hanya merupakan modal awal
untuk kegiatan usaha pedesaan yang selanjutnya diharapkan berkembang," katanya. [L-11]

Berkhas

18

Volume VI Juli 2008

Kompas

Rabu, 09 Juli 2008

Ra w a n Pa nga n M e ngint a i

Ta na m a n Pa di Ta k Be r bua h Se m pur na
Rabu, 9 Juli 2008 | 01:30 WIB
Palembang, Kompas - Rawan pangan mengancam Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan
Ilir yang selama ini merupakan sentra beras Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi ini terjadi
setelah sekitar 400 hektar tanaman padi di sawah lebak dan sawah pasang surut puso akibat
kekurangan air pada puncak kemarau.
Pemerintah Provinsi Sumsel sudah menyiapkan stok penyangga beras sebanyak 200 ton.
Jika masih kurang, stok itu bisa ditambah dengan stok penyangga milik pemerintah
kabupaten/kota masing-masing sebanyak 100 ton.
Demikian salah satu penekanan dari rapat koordinasi menghadapi dampak kemarau
bertempat di Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumsel, Selasa (8/7) di Palembang.
Menurut pantauan Kompas, salah satu kawasan pertanian lebak dan pasang surut yang puso
terhampar di sepanjang ruas jalur lintas tengah dari Kota Palembang ke Inderalaya, Ogan Ilir.
Tanaman padi yang rata-rata berusia dua bulan di kawasan itu tak bisa tumbuh sempurna
karena kekurangan air. Sebagian besar kawasan itu bahkan sudah ditinggalkan petani. Itu
terlihat dari tumbuhnya rumput liar dan ilalang di sela-sela tanaman padi.
Wantjik (34), warga Desa Ibul Besar, Pemulutan, Ogan Ilir, termasuk seorang petani yang
sawahnya mengalami puso. Dia mengalami gagal panen setelah tanaman padi seluas 3 ha
tidak berbuah sempurna.
Kepala Seksi Bencana Sosial Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumsel Anshori
menambahkan, gagal panen akibat kekeringan ini sudah dilaporkan sejak dua hari lalu.
Gagal panen yang paling parah saat ini terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir.
Ada lebih dari 400 ha lahan sawah jenis irigasi, lebak, dan pasang surut yang puso.
Membabat padi
Sementara itu, lebih dari 150 ha sawah tadah hujan di Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh,
Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, kekeringan dan puso. Karena tak ada harapan untuk
panen, sejumlah petani membabat tanaman padi yang berusia 30 hari untuk pakan ternak.
”Sudah tak ada harapan hidup lagi untuk padi ini. Mau buat apa lagi. Potong saja untuk
pakan ternak,” ujar Sugiyono (30), petani dari Desa Pringtutul, Kecamatan Rowokele,
Kabupaten Kebumen.
Terkait dengan itu, Agus Triyanto, anggota staf Kantor Badan Meteorologi dan Geofisika
Yogyakarta, mengungkapkan, musim kemarau di wilayahnya dipastikan merata. Warga
diimbau menghemat air karena puncak musim kemarau baru akan terjadi sekitar sebulan
lagi, sementara awal musim hujan belum bisa diperkirakan.(YOP/MDN/ONI/NIT/MKN)

Berkhas

19

Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan

Kamis, 10 Juli 2008

2 0 .6 3 0 H a Sa w a h di Ja t im Ke k e r inga n
[SURABAYA] Memasuki puncak musim kemarau Juli-Agustus ini, sebanyak 21 dari 33 lahan
persawahan di wilayah kota dan kabupaten di Jawa Timur (Jatim) dilanda kekeringan.
Walaupun wilayah kekeringan kali ini belum selesai didata, namun diperkirakan relatif hampir
sama dengan tahun lalu, yakni 20.630 hektare (ha).
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Jatim, Mustofa Chamal Basya mengatakan,
daerah-daerah yang sedang mengalami kekeringan meliputi sebagian wilayah Kabupaten
Malang, Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Pacitan, Ponorogo, Nganjuk, Gresik dan
masih banyak lagi. Laporan menyeluruh belum selesai.
Kalau tahun 2007 di Jember mencapai 15.433 ha, Lumajang 2.175 ha, di Bojonegoro 9.132
ha, di Situbondo 2.557 ha serta di Pasuruan 1.946 ha, maka di musim kemarau 2008 kali ini,
menurut Mustofa rata-rata sudah melebihi separuhnya. Sedangkan di daerah persawahan
tadah hujan seperti di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Magetan, rata-rata mencapai ratusan
ha.
"Kekeringan musim kemarau tahun lalu yang melanda 18 wilayah kecamatan di Kabupaten
Gresik, tidak kurang dari 32.000 ha. Kali ini areal kekeringan masih berkisar 13.000 ha,"
katanya.
Kepala Dinas Pengairan Kabupaten Kediri, Efendi menambahkan, setidaknya sudah 1.884
ha lahan persawahan tadah hujan tidak dapat ditanami, karena berubah menjadi hamparan
'tanah matang' tegalan. Kekeringan yang melanda Kabupaten Kediri tidak kurang mencapai
5.422 ha dari total lahan seluas 9.597 ha.
Kekeringan dan perubahan pola tanam ke palawija, memberikan dampak volume produksi
gabah pada musim panen hanya 105.352 ton, padahal sebelumnya mampu menghasilkan
178.516 ton.
"Mungkin seperti waktu-waktu sebelumnya, pemerintah dapat mengupayakan program hujan
buatan, sehingga kalau pun volume panenan menurun, tidak sampai terancam puso,"
katanya.
Meluas
Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa
Tengah (Jateng), Aman Pranoto mengatakan, wilayah kekeringan di Jateng terus meluas.
Secara kumulatif, sejak Januari hingga Juni 2008, tanaman padi yang kekeringan akibat
kemarau mencapai 26.435,9 ha, di mana 6.867 ha di antaranya dinyatakan puso.
Berdasarkan data dari Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH)
Jateng, pada Juni lalu, tanaman padi yang kekeringan seluas 11.438 ha, dengan 2.463 ha di
antaranya dinyatakan puso. Kerugian belum dihitung, namun diperkirakan mencapai miliaran
rupiah.
Sementara itu, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak)
Kabupaten Serang, Banten, Endang Kurnia menjelaskan, usia tanaman padi yang terkena
kekeringan di wilayah Serang, antara 1-60 hari. Ia memprediksikan kekeringan akan meluas
jika musim kemarau berlangsung lama.
"Dampak paling buruk akibat kekeringan adalah gagal panen karena tanaman padi tidak
mendapatkan pasokan air yang cukup sehingga mengakibatkan padi tidak berisi. Untuk
mengatasi masalah kekeringan ini harus dengan program pompanisasi. Namun, hal itu
tergantung ketersediaan air yang ada di bawah tanah," katanya.

Berkhas

20

Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan

Kamis, 10 Juli 2008

Selain menimpa daerah di Kecamatan Padarincang, kekeringan juga dialam