Berkhas Kliping Maret 2008 Agraria-Maret 2008
VOLUME VI MARET 2008
AGRARIA
Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).
D a ft a r I si
Lahan Pertanian Alih Fungsi 111.000 Ha Per Tahun --------------------------------------------
1
Lahan Pertanian Belum Menjadi Prioritas -----------------------------------------------------------
2
Pemerintah Tak Mampu Stabilkan Harga Pangan ------------------------------------------------
3
Bulog Tampung Gabah Kering Petani ----------------------------------------------------------------
4
Revitalisasi Pertanian Empat BUMN Disinergikan ------------------------------------------------
5
Petani Bingung Mencari Urea---------------------------------------------------------------------------
6
Harga Pangan, Inflasi, dan Swasembada -----------------------------------------------------------
8
Panen Raya, Harga Gabah Anjlok--------------------------------------------------------------------- 11
Liberalisasi Tanaman Pangan -------------------------------------------------------------------------- 13
Cadangan Pangan RI Kritis------------------------------------------------------------------------------ 15
Belajar Ketahanan Pangan dari Cirendeu ----------------------------------------------------------- 17
Lindungi Kepentingan Petani --------------------------------------------------------------------------- 19
Enam Langkah Capai Ketahanan Pangan ---------------------------------------------------------- 20
HPP Gabah Tetap------------------------------------------------------------------------------------------ 21
Involusi Petani Padi di "Tanah Sebrang" ------------------------------------------------------------ 22
Liberalisasi Tanaman Pangan Jangan Korbankan Petani -------------------------------------- 24
Masa Tanam Pascapanen Terancam Hama ------------------------------------------------------- 25
Gubernur DIY: Petani Harus Bermental Kuat ------------------------------------------------------ 27
Wereng Serang Petani Tangerang -------------------------------------------------------------------- 28
Harga Gabah Terperosok -------------------------------------------------------------------------------- 29
Petani Rugi Akibat KUT Diselewengkan ------------------------------------------------------------- 31
Petani Keluhkan Serangan Hama Wereng---------------------------------------------------------- 32
Pulau Terpencil Rawan Pangan------------------------------------------------------------------------ 34
"Yarnen" Terus Melilit Petani---------------------------------------------------------------------------- 35
165 Kasus Tanah Terkait Pidana ---------------------------------------------------------------------- 37
Mayoritas daerah tak laporkan KUT ------------------------------------------------------------------ 38
Harga Gabah Tak Sebanding dengan Biaya Produksi------------------------------------------- 40
Produksi Beras Tidak Akan Mencapai Target ------------------------------------------------------ 42
Keadilan Sosial untuk Petani Kita---------------------------------------------------------------------- 43
Cahaya Buat Petani --------------------------------------------------------------------------------------- 44
Bulog Diminta Tak Persoalkan Mutu Gabah Petani ---------------------------------------------- 45
Hama Kresek Serang Padi di Cirebon---------------------------------------------------------------- 46
Petani Sawit Dapat Subsidi Kecambah -------------------------------------------------------------- 47
"Ketidakberdayaan" Institusi Pertanian--------------------------------------------------------------- 48
Konversi Lahan Pertanian 8.000 Ha/Tahun--------------------------------------------------------- 51
Petani Minta Kenaikan Harga Gabah Kering ------------------------------------------------------- 53
Bulog: Pemerintah Harus Mewaspadai Penyelundupan Beras ke Luar Negeri----------- 54
Paket Fiskal vs Krisis Pangan -------------------------------------------------------------------------- 55
Sulsel Tak Khawatir Krisis Beras ---------------------------------------------------------------------- 58
Harga benih sawit diperkirakan melonjak------------------------------------------------------------ 59
Kalangan petani jarak di Jawa Tengah cemas ----------------------------------------------------- 61
Bulog Yogyakarta Beli Gabah Petani ----------------------------------------------------------------- 62
Petani Memanen Padi Lebih Awal--------------------------------------------------------------------- 63
644 Hektar Tanaman Padi dan Jagung di TTS Gagal Panen---------------------------------- 64
Petani Belum Menikmati Hasil -------------------------------------------------------------------------- 65
26.000 Ha Lahan Kritis di Bengkulu Direhabilitasi ------------------------------------------------ 67
Bulog Diminta Abaikan Mutu Gabah ------------------------------------------------------------------ 68
Meratapi Nasib Petani ------------------------------------------------------------------------------------ 70
Bupati Karawang Jamin Tak Ada Konversi Lahan Pertanian ---------------------------------- 73
Pasar Tani Soropadan untuk Berdayakan Petani ------------------------------------------------- 74
Jalan Terjal Menuju Swasembada Pangan --------------------------------------------------------- 75
Harga Gabah Terus Merosot akibat Hujan ---------------------------------------------------------- 76
Ekonomi Politik Kedaulatan Pangan ------------------------------------------------------------------ 77
Mengubah Minda Pertanian ----------------------------------------------------------------------------- 79
Serangan Hama Wereng Meluas ---------------------------------------------------------------------- 81
Lahan Pertanian Terus Menyusut --------------------------------------------------------------------- 82
Serangan Wereng Mengganas ------------------------------------------------------------------------- 84
Kartel Kuasai Pangan Indonesia ----------------------------------------------------------------------- 86
Kegagalan Instrumen Perlindungan Petani --------------------------------------------------------- 89
Lahan Petani Jateng Diserang Pengganggu Tanaman------------------------------------------ 92
Pangan dan Gejolak Politik ------------------------------------------------------------------------------ 93
Pupuk di Bengkulu Langka, Harga Meningkat ----------------------------------------------------- 94
Tasikmalaya Menjadi Lumbung Padi Organik ------------------------------------------------------ 95
Kredit Petani Kecil Belum Terkonsep ----------------------------------------------------------------- 96
Manfaatkan Momentum Kenaikan Harga Beras --------------------------------------------------- 97
Diserang Tikus, Ratusan Hektare Sawah Gagal Panen----------------------------------------- 99
Produksi Beras 2008 Diproyeksikan Surplus -------------------------------------------------------100
Pemerintah Bangun 17 Pasar Tani--------------------------------------------------------------------101
Politik Pangan Butuh Perhatian ------------------------------------------------------------------------102
HKTI Terus Merintis Distribusi Pupuk Bersubsidi -------------------------------------------------103
Petani Belum Nikmati Hasil Panen --------------------------------------------------------------------104
Tanam Padi Organik Mulai Diminati ------------------------------------------------------------------105
Membongkar Hegemoni Beras -------------------------------------------------------------------------106
Pupuk Bersubsidi di Bengkulu Menghilang ---------------------------------------------------------108
Harga Gabah Anjlok ---------------------------------------------------------------------------------------109
Panen Masal Petani Lele---------------------------------------------------------------------------------110
Pupuk Bersubsidi Langka --------------------------------------------------------------------------------111
Harga Beras Global Cetak Rekor ----------------------------------------------------------------------112
Gabah Terlambat Diserap, Harga Beras Anjlok ---------------------------------------------------114
'Pasokan Beras Dalam Negeri Diamankan Dulu'--------------------------------------------------115
Ekspor Beras Dicegah ------------------------------------------------------------------------------------116
Target Produksi Gabah Sulit Tercapai ---------------------------------------------------------------118
Petani Keluhkan Mahalnya Harga Pupuk------------------------------------------------------------120
Beras Rawan Diselundupkan ---------------------------------------------------------------------------121
Harga Beras Lokal tidak Terpengaruh----------------------------------------------------------------123
Ekspor Beras tidak Dilarang-----------------------------------------------------------------------------125
Petani Padi Organik Menikmati Harga Tinggi ------------------------------------------------------127
Ekstensifikasi Lahan Antisipasi Inflasi Pangan-----------------------------------------------------129
Harga Padi Anjlok, Petani Sedih -----------------------------------------------------------------------130
Belum Ada Insentif bagi Ekspor Beras ---------------------------------------------------------------132
Ekspor Beras Untungkan Spekulan -------------------------------------------------------------------133
Suara Pembaruan
Sabtu, 01 Maret 2008
La h a n Pe r t a n ia n Alih Fu n gsi 1 1 1 .0 0 0 H a Pe r Ta h u n
[JAKARTA] Kesadaran bangsa ini untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian sangat
rendah. Sementara, krisis pangan terus mengancam karena menurunnya kapasitas produksi
pangan akibat alih fungsi lahan yang sulit dihentikan.
Luas lahan pertanian pangan beririgasi teknis yang tersisa hanya 6,5 juta hektare (Ha),
sementara setiap tahun 110 ribu hektare beralih fungsi. Demikian disampaikan Direktur
Jenderal Pengelolaan lahan dan air (PLA) Departemen Pertanian, Hilman Manan di Jakarta,
Sabtu (1/3).
Dengan laju penduduk 1,3 persen per tahun, maka hingga 2010 saja kebutuhan beras
nasional mencapai 32,5 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut dibutuhkan
lahan beririgasi teknis seluas 9,9 juta hektare.
Tahun 2028 kebutuhan lahan beririgasi teknis meningkat menjadi 12 juta hektare. Hal
tersebut menjadi sebuah ironi jika dikaitkan dengan rendah kepedulian masyarakat dan
pemerintah daerah akan lahan pertanian. Pemda cenderung mengabaikan upaya
mempertahankan areal pertanian demi alasan mengejar pendapatan daerah. Di sisi lain,
pemilik lahan menjual lahannya karena usaha pertanian dianggap tak lagi prospektif, ujar
Hilman.
Upaya mengkampanyekan perlindungan ibarat membentur tembok ketidakpedulian bangsa
ini, ujar Direktur Pengelolaan Lahan, Suhartanto. Upaya perlindungan lahan pertanian melalui
undang-undang lahan abadi, terbentur berlarut-larutnya pembahasan di DPR.
"Seharusnya UU lahan abadi selesai pertengahan tahun lalu, tapi hingga kini belum rampung
dibahas di DPR," ujarnya.
Tekanan terhadap upaya mempertahankan lahan pertanian juga terjadi akibat menurunnya
luas kepemilikan lahan per rumah tangga petani. Jumlah petani gurem dengan luas lahan
hanya 0,34 hektare meningkat menjadi sekitar 14 juta petani. Hal ini dapat memicu konversi
lahan karena petani terpaksa berganti profesi.
Tekanan terhadap produksi juga meningkat akibat tren intensitas bencana alam seperti banjir
dan longsor. Tahun 2008 ini saja tercatat lebih dari 91 ribu hektare sawah yang terendam
banjir. "Bangsa ini telah mengubur dirinya sendiri akibat kerusakan lingkungan dan lahan
yang berujung bencana banjir dan longsor, kata Direktur Pengelolaan Air Ditjen PLA, Gatot.
[L-11]
Berkhas
1
Volume VI Maret 2008
Kompas
Senin, 03 Maret 2008
La h a n Pe r t a n ia n Be lu m M e n j a di Pr ior it a s
Pe m ba ha sa n RUU PLPB Se la lu Te rt unda
Jakarta, Kompas - Lahan pertanian, terutama untuk tanaman pangan, terus menyempit.
Padahal, kebutuhan pangan terus meningkat. Penyempitan lahan pertanian itu akibat
”penjarahan” terencana oleh pemerintah daerah ataupun pelaku usaha. Hingga kini
penyelamatan lahan pertanian belum menjadi prioritas.
Hal itu ditegaskan Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian
Hilman Manan. Ia mengatakan, peran lahan sebagai basis produksi pertanian tidak
tergantikan.
”Ketersediaan lahan adalah syarat mutlak mewujudkan ketahanan pangan nasional,” tegas
Hilman, akhir pekan lalu.
Namun, yang terjadi lahan pertanian terus menyempit. Tahun 1999-2002, konversi lahan
pertanian ke nonpertanian 110.000 hektar. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional,
tiap tahun sawah beririgasi berkurang 35.000 hektar. Padahal, kebutuhan beras penduduk
Indonesia tahun 2030 diperkirakan 59 juta ton. Adapun kebutuhan beras tahun 2007 hanya
32,96 juta ton.
Direktur Pengelolaan Lahan Pertanian Suhartanto mengingatkan agar waspada terhadap
masalah ketahanan pangan. Kebutuhan komoditas pangan dunia terus meningkat. Ditambah
menipisnya cadangan minyak berbasis fosil, bahan bakar nabati berbasis komoditas biji-bijian
jadi pilihan. ”Ketahanan pangan bangsa lemah. Komoditas pangan utama seperti beras,
jagung, dan kedelai masih impor,” ujarnya.
Produksi pangan melimpah saja belum menjamin rakyat Indonesia dapat mengakses
pangan. Ini karena harga pangan pokok terus membubung, mengikuti hukum pasar. ”Kerja
pemerintah akan ringan jika produksi pangan melimpah,” katanya di Jakarta.
Sebaliknya, jika produksi kurang dan bergantung impor, Indonesia jadi bulan-bulanan pasar
global. ”Agar produksi melimpah, diperlukan lahan yang luas. Ini malah sawah dikonversi
untuk tujuan lain,” kata Suhartanto.
Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
Siswono Yudo Husodo mengatakan, Indonesia telah masuk perangkap pangan dunia. Ketika
harga kedelai naik, misalnya, pemerintah tak bisa menahannya.
Jebakan pangan global makin kuat mengimpit kalau tidak diantisipasi, yaitu dengan
meningkatkan produksi pangan dengan memberi jaminan pasar.
Pembahasan tertunda
Mengatasi masalah lahan, Deptan menyiapkan naskah akademis RUU Perlindungan Lahan
Pertanian Abadi, yang diganti menjadi RUU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan
(PLPB). Namun, pembahasannya di DPR selalu tertunda. ”Mungkin setelah RUU Pemilu,
baru RUU PLPB. Diharapkan pertengahan 2008 pembahasan selesai,” kata Hilman.
Undang-undang itu akan menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah dan pusat untuk
menentukan rencana tata ruang wilayah di tiap daerah. Pemda diajak berkomitmen
mengalokasikan lahan pangan pokok, dan menjaganya dari konversi. ”Jawa Timur
berkomitmen mengalokasikan 1 juta hektar untuk pangan pokok,” ujar Suhartanto. (MAS)
Berkhas
2
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Senin, 03 Maret 2008
Pe m e r in t a h Ta k M a m pu St a bilk a n H a r ga Pa n ga n
[JAKARTA] Meski kenaikan harga bahan baku pangan diprediksi baru akan naik kuartal II
tahun 2008, sejumlah harga bahan baku pangan di pasaran terus melonjak. Tepung terigu
misalnya. Kenaikannya sangat mencolok. Demikian dikatakan Ketua Gabungan Pengusaha
Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Thomas Dharmawan ketika dihubungi
SP, akhir pekan lalu.
Dibanding harga bahan baku pangan lainnya, kenaikan harga tepung terigu paling kentara.
Awal tahun 2007 lalu harga tepung terigu berada di kisaran dari Rp. 4.000/kg, kini berkisar
antara Rp 7.500 - Rp. 8.000/kg di tahun 2008.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franky Welirang, seperti
dituturkan Thomas, lonjakan tinggi harga tepung terigu, salah satunya dipicu negara-negara
yang mengurangi ekspornya seperti Tiongkok, Rusia, Yordania. Hal itu, lanjut Thomas,
mengakibatkan harga tepung terigu naik dua hingga tiga kali dalam periode satu bulan.
"Jika sudah begini, kasihan UKM-UKM (usaha kecil dan menengah) yang menjual produk
makanan. Mereka tidak bisa menaikkan harga terlalu tinggi, karena kalau sudah naik, sulit
untuk turun lagi. Mereka lebih hati-hati karena ada sistem distribusi," ujar Thomas.
Sekretaris Jenderal Aptindo Ratna Sari Loppies mengatakan, posisi pemerintah yang lemah
menjadi penyebab meroketnya harga tepung terigu di pasaran nasional. Ironis, lanjut Ratna,
meski 90 persen minyak sawit mentah (CPO) dapat dihasilkan dalam negeri, pemerintah
tetap tidak mampu mengatasi persoalan tingginya harga CPO.
Menurut dia, hal ini membuktikan, pemerintah tidak mampu mengontrol kebutuhan dalam
negeri dan menstabilkan harga pangan. Walaupun demikian, Ratna masih menilai keadaan
ini jauh lebih baik dibanding harga gandum yang melangit hingga 200 persen.
"Ke depan pemerintah harus mempunyai perencanaan, jangan cuma memberi kebijakan
yang menurunkan harga untuk sementara waktu. Pemerintah kan ada proteksi," katanya.
Masih Dibahas
Sementara itu, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hasto Kristianto
mengatakan, terkait peraturan presiden soal stabilisasi pangan, subsidi telah diberikan untuk
beras dan minyak goreng. Saat ini, lanjut Hasto, yang masih dalam pembahasan, yakni soal
subsidi kedelai.
"Subsidi beras dan minyak goreng sudah. Saat ini memang kedelai yang baru akan diusulkan
dalam APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) perubahan. Pembahasan akan
dilakukan awal Maret," ujar Hasto .
Pembahasan subsidi kedelai dalam APBN perubahan nanti, sambung Hasto, usulan yang
akan datang seperti pemberian kupon seharga Rp. 1.000 untuk pembelian kedelai per
kilogramnya. Jadi, setiap kedelai yang dijual seharga Rp. 6.800/kg akan dipotong Rp 1.000
menjadi Rp 5.800/kg dengan kupon.
Sebelumnya, Mendag Mari Elka Pangestu menegaskan, harga kedelai yang sempat melangit
di pasaran, kini sedang turun, dari Rp 7.500/kg menjadi Rp 6.800/kg. Pernyataan Mendag ini
membingungkan karena pembahasan subsidi kedelai memang belum dibahas di kursi DPR.
[CNV/M-6]
Berkhas
3
Volume VI Maret 2008
Jurnal Nasional
Selasa, 04 Maret 2008
Ek onom i M ik ro/ Se k t or Riil SUM ED AN G | Se la sa , 0 4 M a r 2 0 0 8
Bu log Ta m pu n g Ga ba h Ke r in g Pe t a n i
by : Antarini Vellandrie
PERUM Bulog siap menampung berapa pun gabah kering giling yang dijual petani.
Syaratnya, kadar air tak lebih 14 persen dan patahan di bawah 20 persen.
Direktur Utama Perum Bulog, Mustafa Abubakar dalam acara panen uji coba sistem usaha
agribisnis pangan dan energi di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis pekan lalu
mengatakan, selama kadar air dan patahan memenuhi syarat, Bulog bersedia membeli
berapa pun banyaknya.
"Kita harus memacu produksi gabah sebanyak-banyaknya. Peran Bulog menjamin hasil
panen petani dapat dibeli dengan harga layak. Kami akan beli berapa pun jumlah gabah
kering giling yang dijual petani," katanya.
Dia berharap, petani dapat menjual padi dalam keadaan kering giling hingga harganya
bagus. Petani, katanya, bisa menggunakan alat pengering berbahan bakar sekam. Jika
petani dapat menjual gabah kering giling, Bulog wajib membeli harga minimal Rp2.000.
“Kalau perlu dapat kami beli dengan harga Rp2.600," ujarnya.
Saat ini, fenomena dunia dalam siklus 100 tahunan terakhir menunjukkan harga pangan
meroket tanpa batas. "Harga pangan dunia kian tinggi. Ini menjadi sangat mengkhawatirkan.
Apalagi buat Indonesia yang masih mengandalkan impor. Sebut saja jagung dan kedelai
yang menembus rekor harga tertinggi," ucap Mustafa.
Indonesia harus berusaha mampu mandiri, tidak mengandalkan impor. Kenaikan harga
pangan dunia saat ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum meningkatkan produktivitas
pangan dalam negeri. Karena itu, program diversifikasi pangan harus diterapkan, mengingat
harga beras mencapai angka US$570 per ton.
Menurut Mustafa, tidak mudah bagi Indonesia bergantung pada impor jika defisit beras
karena kini sulit mendapatkan beras. "Dulu kalau kita defisit beras tinggal impor dari Thailand,
Vietnam, dan China, karena mudah didapat dan harganya murah. Sekarang tidak demikian.
Sulit mencari beras di pasar dunia, apalagi harganya terus meroket. Kita harus berdikari
pangan sendiri, terutama buat beras. Beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei
Darussalam sudah menyatakan siap menampung ekspor beras kita," katanya. Antarini
Vellandrie
Berkhas
4
Volume VI Maret 2008
Jurnal Nasional
Selasa, 04 Maret 2008
BUM N da n Korpora t Sum e da ng | Se nin, 0 3 M a r 2 0 0 8
Re v it a lisa si Pe r t a n ia n Em pa t BUM N D isin e r gik a n
by : Antarini Vellandrie
KEMENTERIAN Negara BUMN menyinergikan empat BUMN untuk mendukung program
revitalisasi pertanian. Melalui PT Pupuk Kujang, PT Sang Hyang Seri (SHS), PT Pertani, dan
Perum Jasa Tirta (PJT) II, Kementerian Negara BUMN mengembangkan konsep Badan
Usaha Milik Petani (BUMP) yang memadukan manajemen koperasi dan perseroan terbatas
untuk mengelola hasil pertanian, sejak mulai tanam hingga pemasaran. Untuk merevitalisasi
pertanian kami membentuk lembaga komersil yang berkelanjutan (korporasi), yang
merupakan gabungan antara koperasi dan perseroan bernama BUMP,” kata Deputi Menneg
BUMN Bidang Usaha Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan, Agus
Pakpahan, di Sumedang, Jawa Barat, akhir pekan lalu.
Menurut Agus, BUMP dibentuk sebagai upaya revitalisasi pertanian melalui peningkatan
pendapatan petani, peningkatan produksi beras, sumber energi, bahan baku industri,
penyerapan tenaga kerja baru, ketahanan pangan dan energi, serta peningkatan nilai tambah
BUMN sektor agroindustri. Badan tersebut bergerak dalam ruang lingkung penyediaan
agriinput, kegiatan budidaya tanaman, penanganan pascapanen, pengolahan hasil, dan
pemasaran.
Dia menjelaskan konsep BUMP dikembangkan karena selama ini koperasi dinilai lemah
dalam mengakses permodalan, sehingga lamban untuk berkembang. Sedangkan perseroan
sebaliknya, mudah dalam mengakses modal dan bekerja sama dengan badan usaha lainnya.
Sebagai salah satu usaha BUMN, perbankan diharapkan dapat masuk sebagai sumber
pendanaan BUMP. “Koperasi di Indonesia berbeda dengan koperasi di Jepang atau Amerika.
Koperasi kita tidak dapat mengembangkan modal dengan cepat, sehingga kita gabungkan
saja dengan konsep perseroan. Dengan perpaduan ini diharapkan BUMP mampu
mengakses kapital dan bekerja sama dengan unit usaha lainnya untuk mengembangkan
usahanya,” kata Agus.
BUMP merupakan konsep hasil Kesepahaman Bersama empat BUMN tersebut yang ditanda
tangani pada 12 Juli 2007 berdasarkan instruksi Menneg BUMN No Kep 109/M-BUMN/2005
tanggal 4 Juni 2002 tentang Sinergi Antar-BUMN.
Menurut Agus, semangat BUMP adalah semangat koperasi, karena anggota BUMP ribuan
petani. Sedangkan modal dan bentuk kerja sama menggunakan semangat perseroan
Dia mengatakan, BUMP merupakan wujud kelembagaan yang diharapkan bisa menangani
tiga hal yaitu inovasi teknologi dalam kaitannya untuk peningkatan produktivitas, inovasi
kelembagaan untuk menekan biaya, dan mengatasi masalah-masalah pertanian yang timbul
kemudian atau second generation problems.
Untuk tahap awal, BUMP sudah melakukan ujicoba pada lahan seluas 450 hektare, di
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (Jabar) seluas 100 hektare, di Kabupaten Majalengka 50
hektare, di Kabupaten Indramayu 200 hektare, dan di Kabupaten Ngawi 100 hektare. “Ke
depannya BUMP akan memperluas area pertanian yang dikelola. Untuk musim tanam bulan
Maret nanti, kegiatan BUMP akan dilaksanakan pada lahan seluas 2.500 hektare di beberapa
kabupaten. Di antaranya Karawang 300 hektare, Sumedang 300 hektare, Majalengka 200
hektare, Indramayu 700 hektare, dan Ngawi 1.000 hektare,” ujar Agus.
Berkhas
5
Volume VI Maret 2008
Kompas
Selasa, 04 Maret 2008
Pe t a n i Bin gu n g M e n ca r i U r e a
Jua l Ponsk a di At a s H ET, D ist ribut or da n Kios Ke na Sa nk si
Selasa, 4 Maret 2008 | 02:38 WIB
Magelang, Kompas - Petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, saat ini bingung mencari
urea. Ketika terdesak kebutuhan, seperti saat musim tanam padi sekarang, jenis pupuk ini
justru sulit dicari di tingkat pengecer.
Anwari, petani Desa Adikarto, Kecamatan Muntilan, Senin (3/3), mengatakan, dua minggu ini
ia sudah beberapa kali mendatangi dua pengecer resmi di sekitar desanya, tetapi tidak
pernah mendapatkan jatah urea.
”Padahal, minggu depan, saya sudah berencana untuk mulai menebar benih padi,” kata
Anwari.
Pemupukan pertama menggunakan urea biasa dia lakukan setelah padi berumur seminggu.
Kondisi serupa dialami Karsindi, petani Desa Sukorini, Muntilan. Di kios pengecer dekat
rumahnya, dia hanya dapat membeli lima kilogram urea.
Selain langka, sejak dua minggu lalu harga urea mulai naik. ”Jika biasanya sekitar Rp 62.000
hingga Rp 63.000 per sak, sekarang harga urea 66.000 per sak,” ujar Suparjo, petani lain.
Tanpa alasan jelas, pasokan urea di tingkat pengecer pun mulai dikurangi. Huda, pemilik kios
sarana pertanian Sahabat Tani di Mungkid, menyebutkan, jatah urea yang sebelumnya
diterima dari distributor 7,5 ton hingga 15 ton per minggu kini berkurang menjadi dua ton per
minggu.
”Karena permintaan saat ini tinggi, jatah dua ton urea itu habis terjual dalam waktu setengah
hari,” ucap Huda
Sementara itu, sehubungan dengan penjualan pupuk Ponska di Sukabumi, Jawa Barat, yang
di atas harga eceran tertinggi (HET) (Kompas, Senin 3/3), PT Petrokimia Gresik memberi
sanksi kepada satu distributor dan satu kios resmi di daerah itu.
Hariyono dari Biro Humas PT Petrokimia, Senin, menjelaskan, status distributor perusahaan
itu dicabut, sedangkan kios yang menjual pupuk Ponska di atas HET dicabut sebagai kios
resmi pupuk bersubsidi.
Pekerjaan sampingan
Di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sebagian petani memilih pekerjaan sampingan karena
keuntungannya lebih besar ketimbang menggarap sawah. Apalagi harga penjualan gabah
kering panen (GKP) tidak seimbang dengan harga beras dan kebutuhan lain.
Didi, petani di Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Senin, menyatakan, keuntungan
pekerjaan sampingan sebagai tukang kayu lebih besar. Dalam satu hari, dia bisa mendapat
bayaran Rp 60.000.
Jumlah itu adalah pendapatan bersih karena tidak perlu mengeluarkan modal atau biaya
tambahan lain.
Berkhas
6
Volume VI Maret 2008
Kompas
Selasa, 04 Maret 2008
Dadang, petani lain, menyatakan, kini pekerjaan yang tadinya hanya sampingan justru lebih
besar menghasilkan uang. Oleh karena itu, jika panggilan sebagai tukang kayu datang setiap
hari, dia akan meninggalkan pekerjaan sebagai petani. (CHE/EGI)
Berkhas
7
Volume VI Maret 2008
Suara Pemabruan
Selasa, 04 Maret 2008
H a r ga Pa n ga n , I n fla si, da n Sw a se m ba da
Oleh Viktor Siagian
Sudah hampir tiga tahun ini harga-harga kebutuhan pokok melonjak naik. Harga beras,
minyak goreng misalnya sudah naik lebih dari 100 persen dibandingkan dengan tiga tahun
yang lalu, harga gula, terigu naik hampir 75 persen. Tindakan pemerintah untuk menurunkan
harga terlihat tidak serius. Di satu pihak untuk meningkatkan produksi pemerintah
menerapkan strategi harga pangan tinggi untuk merangsang petani meningkatkan produksi.
Strategi ini memang berhasil, produksi pertanian yang memiliki harga jual tinggi hampir
semuanya naik signifikan. Sebut saja padi, jagung, gula. Tapi di pihak lain strategi ini
merugikan konsumen, karena daya beli masyarakat menjadi lemah, laju inflasi meningkat.
Sebagian besar pendapatan masyarakat dibelanjakan untuk membiayai konsumsi bahan
pangan pokok sehingga untuk bahan sekunder menjadi berkurang. Apalagi pada sebulan
terakhir ini, harga bahan pangan pokok naik secara tajam, masyarakat mulai kewalahan.
Sebagian sudah mengkonversi dari beras ke non beras.
Paket stablisasi harga pangan yang dikeluarkan pemerintah pada 1 Februari 2008 tidak
menyentuh pokok masalah. Strategi mempertahankan harga tinggi masih tetap di
pertahankan. Sebagai contoh, beras hanya diturunkan bea masuk (BM) Rp 100/kg dari Rp
550/kg menjadi Rp 450/kg, artinya harga hanya turun Rp 100/kg. Tidak ada disebutkan akan
mengimpor beras sampai harga turun pada level tertentu. Pemerintah justru akan
mempertahankan harga tinggi ini. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli
pangan, pemerintah menambah jatah beras untuk orang miskin (raskin) dari 10 kg menjadi
15 kg/bulan selama 10 bulan per tahun. Masyarakat kelas menengah ke atas harus membeli
beras dengan harga tinggi untuk menolong petani.
Cara ini jelas salah, karena membedakan harga bahan pangan pokok berdasarkan kelas
masyarakat adalah melanggar hak azasi manusia. Bukankah UU Pangan No. 7 Tahun 2006
jelas-jelas menyebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pangan yang terjangkau
dan tersedia?
Paket Kebijakan Pangan 1 Februari menurut rumor sebelumnya akan menetapkan harga
batas atas (ceiling price) untuk bahan pangan (SP 31 Januari 2008), tapi kenyataannya yang
dihapus hanya BM dan pertanggungan PPN terigu Rp 1,2 triliun.
Berpihak Pada Produsen
Hanya sayang pemerintah tidak menyebutkan untuk memproduksi sendiri biji gandum
sehingga mengurangi ketergantungan akan impor. Untuk kedelai pemerintah hanya
menghapus BM 10 persen dan pemberian subsidi bagi pengrajin tahu dan tempe Rp 1000/kg
selama 6 bulan, dan penurunan tarif PPh impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen. Tidak
menyebutkan secara jelas akan mengimpor sampai harga turun pada level tertentu. Jadi
kecenderungannya lebih berpihak pada produsen, sedangkan konsumen diabaikan. Dengan
demikian sangat pesismis bahwa harga pangan tersebut akan turun signifikan dan
masyarakat harus menerima harga pangan tinggi.
Secara makro hal ini akan meningkatkan laju inflasi yang akan mengurangi daya beli
masyarakat. Turunnya daya beli akan menurunkan daya konsumsi agregat yang akhirnya
menurunkan pendapatan nasional riil. Inflasi juga menyebabkan devisa yang kita butuhkan
untuk mengimpor barang dan jasa akan lebih banyak terkuras karena nilai tukar yang
menurun. Dalam bulan Januari saja cadangan devisa tergerus US$ 2 miliar dolar atau setara
dengan lima bulan impor (Kontan, 8 Februari 2008).
Berkhas
8
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Tentunya karena daya beli masyarakat yang semakin lemah menyebabkan pengangguran
meningkat yang selanjutnya meningkatkan kemiskinan. Apalagi harga BBM akan naik pada
bulan Mei 2008 ini, mungkin juga tarif listrik, sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Maka harga-harga barang akan ikut naik, sehingga akan menambah kemiskinan yang
jumlahnya sudah 37,17 juta orang (BPS, 2007).
Bagaimana seharusnya tindakan pemerintah agar lebih bermanfaat bagi masyarakat?
Tentunya mengimpor komoditi yang persediaannya sedikit di pasar, seperti beras. Untuk
kedelai karena kenaikan harga disebabkan naiknya harga dunia maka pemerintah harus
mencari sumber impor dari negara lain yang lebih murah, seperti Brazil, Argentina, Australia.
Jika harga tersebut adalah harga keseimbangan internasional maka pemerintah dapat
menetapkan harga atap atau mensubsidi harga jual kepada konsumen, misalnya Rp
5.000/kg. Harga atap adalah yang paling optimal karena produsen dan konsumen samasama diuntungkan. Demikian juga untuk terigu cara ini adalah yang paling rasional, bukan
hanya membela importir melalui pertanggungan PPN terigu. Saat ini harga mie instan sudah
naik 20 - 25 persen.
Untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus berpacu untuk mencapai
swasembada pangan. Seluruh pangan yang saat ini masih diimpor harus ditargetkan dalam
jangka waktu tertentu untuk swasembada. Karena apa? Karena mulai saat ini sampai yang
akan datang manusia akan berkompetisi memperebutkan pangan dengan kendaraan
bermotor, pabrik dan industri lainnya. Hampir seluruh pangan nabati dapat diubah menjadi
bio fuel, kondisi ini memang sedang berlangsung dengan trend yang meningkat tajam. Berarti
diprediksi harga pangan akan meningkat terus, kecuali harga BBM berbasis fosil dapat turun
ke harga US$ 50/barrel. Tapi dari pernyataan empat negara anggota OPEC yang akan
membatasi produksi minyak bumi sehingga harga tidak mencapai level di bawah US$
80/barel.
Situasi ini dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk mendorong petani padi, kedelai,
terigu, tebu agar lebih giat menanam komoditi tersebut. Dukungan teknologi seperti
penggunaan benih unggul dan bersertifikat, teknologi budidaya, pupuk, herbisida dan
pestisida yang murah dan jaminan harga sangat diperlukan.
Lahan Kering
Indonesia sebagai negara pengimpor kedelai terbesar di Asia, 1, 2 juta ton dapat
memanfaatkan momen ini untuk melakukan ekstensifikasi budidaya kedelai baik pada lahan
sawah pada Musim Kemarau (MK), lahan kering, lebak pematang yang ketersediaan
lahannya sangat tinggi. Kita memiliki belasan juta ha lahan kering pada MK yang belum
dimanfaatkan. Sebut saja petani padi gogo yang umumnya lahan keringnya pada MK tidak
ditanami di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, sebagian Sumatera. Sosialisasi penggalakan
penanaman kedelai ini harus dilakukan sejak saat ini. Apalagi sebagian petani sudah lama
meninggalkan komoditi ini, maka penyuluhan tentang Varitas Unggul Baru (VUB), bantuan
sarana produksi, alat pengolahan pasca panen dan jaminan harga sangat diharapkan. Para
Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) harus membuat demonstrasi plot kedelai yang mampu
berproduksi 2 ton/ha. Bulog harus membeli kedelai dengan harga sesuai yang ditetapkan
pemerintah yaitu Rp 5500/kg. Demikian juga benih unggul, pupuk dan pestisida harus
tersedia dan terjangkau. Jika memungkinkan kita berikan subsidi benih dan pestisida. Berita
terkahir, pemerintah sudah menganggarkan dana Rp 1 triliun untuk pemberian benih unggul
gratis kepada petani dengan target luas tanam 1 juta ha dari yang saat ini yang hanya
650.000 ha. Jika ini dilakukan maka peluang untuk mencapai swasembada kedelai akan
terbuka lebar dan target waktunya dapat dipersingkat.
Berkhas
9
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Hal yang sama juga berlaku pada tanaman gandum yang disebagian wilayah Indonesia
masih cocok untuk dibudidayakan, yakni daerah dengan topografi lebih dari 800 m di atas
permukaan laut (dpl). Terdapat 2 juta ha lahan yang sesuai dan tersedia untuk tanaman ini
(Hafsah Jafar, 2002). Karena gandum merupakan tanaman baru maka peranan pemerintah
sebagai penjamin harga, penampung produksi, dan penyedia teknologi budidaya sangat
diperlukan. Tanpa itu kita tidak akan dapat berswasembada gandum. Saat ini Indonesia
merupakan negara pengimpor gandum keenam terbesar di dunia dengan total impor 3,9 juta
ton. Dengan harga US$ 500/ton, nilai impor gandum ditaksir sebesar US$ 1,95 miliar dolar.
Setidaknya kita harus bisa mengurangi jumlah impor ini.
Di atas semua itu kita jangan lupa bahwa kita memiliki sumber pangan lain yang cukup
tersedia seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, yang bisa kita tingkatkan konsumsinya melalui
pengolahan pangan lokal. Penganan seperti getuk, tiwul, ubi jalar goreng atau ubi rebus,
ongol-ongol dari sagu perlu digalakkan melalui sosialisasi sehingga dapat mengurangi
konsumsi beras.
Penulis adalah peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumsel, Badan
Litbang Deptan, Palembang
Berkhas
10
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Pa n e n Ra y a , H a r ga Ga ba h An j lok
[JAKARTA] Memasuki masa panen raya Maret ini, harga gabah di sejumlah daerah, mulai
anjlok. Di Bogor dan Sukabumi misalnya, harga gabah di tingkat petani anjlok menjadi sekitar
Rp 1.800/kg, padahal sebelumnya harganya mencapai Rp 2.300/kg.
Para petani pun berharap, pemerintah segera merevisi harga pokok pembelian gabah agar
harga gabah tidak terus anjlok. "Dibandingkan harga gabah pada saat panen tahun lalu pun,
harga gabah saat ini lebih. Tahun lalu, harga gabah masih Rp 2.000 per kg. Padahal panen
raya baru mau dimulai. Kami khawatir, saat panen raya serentak di berbagai daerah
harganya lebih jatuh lagi," kata Husna, seorang petani di Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Harga jual gabah, yang hanya Rp 1.800 per kg ini sangat merugikannya. Pasalnya, harga
pupuk tahun ini lebih mahal dibandingkan tahun lalu.
Selain itu, ongkos produksi juga semakin berat dengan naiknya harga obat-obatan. Ditambah
lagi naiknya upah bagi buruh tani.
Menurut Husna, petani baru untung ketika harga gabah kering panen Rp 2.200 per kg.
Kondisi yang sama terjadi di Kota maupun di Kabupaten Sukabumi. Wawat, petani yang
memiliki lahan di Kampung Lio, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi menuturukan, harga
gabah basah saat ini mencapai Rp 1.800/kg, padahal sebelumnya harga gabah basah masih
cukup tinggi, yakni Rp 2.400/kg.
Turunnya harga gabah disebakan kadar air dalam gabah cukup tinggi dan rendaman yang
rendah, sehingga kualitas gabah menjadi berkurang. "Para tengkulak tidak mau membeli bila
harga gabah dijual Rp 2.000/kg, sehingga kami mau tidak mau menjualnya," katanya. Dia
mengaku rugi dengan turunnya harga gabah.
Hal itu dibenarkan salah seorang tengkulak di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Tolib
(42). Ia mengaku tidak bisa membeli harga gabah dari tingkat petani di atas Rp 1.800/kg,
pasalnya kualitas gabah di tingkat petani saat ini jelek, karena kadar air dalam gabah cukup
tinggi.
"Jika kadar air dalam gabah semakin tinggi, harga gabah semakin turun. Kami juga kesulitan
mengeringkan gabah di tempat penggilingan dengan cuaca hujan saat ini," katanya.
Dia menambahkan, pihaknya menggunakan pengering untuk mengeringkan gabah yang
basah. Menurut dia, pengering yang dimiliki para penggiling padi sangat terbatas, sehingga
bila kadar air dalam gabah sangat tinggi maka akan sulit sekali mengeringkannya.
Sesuaikan Harga
Sementara itu, sejumlah organisasi tani mendesak pemerintah menyesuaikan harga patokan
pembelian (HPP) pemerintah untuk gabah kering panen sekitar 30 persen menjadi Rp
2.600/kg dari harga patokan saat ini Rp 2.000/kg, demi meningkatkan margin keuntungan
petani.
Ketua Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), Agusdin Pulungan menilai,
penyesuaian itu mendesak dilakukan karena naiknya biaya produksi, sehingga mengurangi
pendapatan petani Rp 310.208 per bulan setiap musim tanam, yang berlangsung setiap
empat bulan.
"HPP sebesar Rp 2.000 sudah tidak layak lagi karena kenaikan biaya produksi dan biaya
hidup yang sudah memberatkan petani," ujarnya.
Berkhas
11
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Dia menyebutkan, dengan HPP GKP Rp 2.600/kg, petani akan mendapatkan pendapatan
ekstra untuk mencukupi kebutuhan hidup yang tinggi akibat kenaikan bahan pangan rata-rata
17 persen. Dengan menaikkan HPP GKP menjadi Rp 2.600/kg, pendapatan hasil usaha yang
diperoleh petani padi setiap lahan seluas 0,3 ha bisa bertambah menjadi Rp 109.483 per
bulan setiap musim tanam.
Menjawab desakan tersebut, Menteri Anton Apriyantono menilai harga patokan pembelian
(HPP) gabah oleh pemerintah yang ditetapkan dalam Inpres No 3/2007 tentang Perberasan
dinilai masih layak, karena itu pemerintah belum akan mengubah kebijakan itu.
"Boleh-boleh saja HPP gabah petani dinaikkan. Tetapi perlu dikaji ulang, karena hal itu
menyangkut kemampuan daya beli masyarakat. Apalagi 75 persen pendapatan rakyat miskin
untuk membeli beras," ujar Mentan Anton Apriyantono.
Menurut Mentan, HPP saat ini membuat harga pangan terjangkau masyarakat, yang daya
belinya rendah. [L-11]
Berkhas
12
Volume VI Maret 2008
Kompas
Rabu, 05 Maret 2008
Libe r a lisa si Ta n a m a n Pa n ga n
Te k nik Budida ya Pe t a ni Ke cil D idorong k e " Corpora t e
Fa rm ing"
Jakarta, Kompas - Departemen Pertanian tengah menyusun kerangka kebijakan untuk
mendorong investasi seluas-luasnya pada subsektor tanaman pangan, yang selama ini
menjadi basis usaha petani kecil. Selain mendongkrak produksi, juga memanfaatkan
momentum gejolak pangan dunia agar bisa menjadi eksportir.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, Selasa (4/2) di
Jakarta, mengungkapkan, peningkatan permintaan komoditas pangan dunia harus bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya.
”Produksi tanaman pangan seperti beras, jagung, dan kedelai harus ditingkatkan. Tidak cuma
itu, tingginya harga komoditas pangan dunia juga bisa dijadikan peluang ekspor,” katanya.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Djoko Said Damardjati
menjelaskan, selama ini ada pembatasan investasi untuk subsektor tanaman pangan. Itu
karena subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup petani kecil dengan kepemilikan lahan
kurang dari 3.000 meter persegi, setidaknya di Pulau Jawa. ”Untuk menghindari ’benturan’,
saat ini pemerintah tengah menata ulang pemanfaatan hak guna usaha (HGU) tanaman
pangan,” katanya.
”Kalau saya memahami subsektor tanaman pangan untuk skala kecil masuk dalam daftar
negatif investasi, karena itu seakan-akan tidak ada penerbitan HGU untuk tanaman pangan,”
katanya.
Dalam Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 disebutkan komoditas tanaman
pangan masuk dalam kategori bidang usaha dengan kepemilikan asing dibatasi. Budidaya
padi, jagung, ubi kayu, dan jenis tanaman pangan lain dengan luas lebih dari 25.000 hektar
kepemilikan asing maksimal 95 persen.
Menurut Djoko, meskipun ada peluang investasi di komoditas tanaman pangan dibuka waktu
itu, belum banyak investor yang tertarik. Baru setelah terjadi lonjakan harga pangan dunia
berbasis biji-bijian, banyak investor yang mulai tertarik membudidayakan padi, jagung,
kedelai, dan ubi kayu.
Redefinisi
Djoko menjelaskan, saat ini Deptan tengah menata ulang sekaligus meredefinisi
pemanfaatan HGU. ”Kalau sebelumnya pemberian HGU berbasis komoditas, ke depan akan
diselaraskan dan berbasis pada sistem budidaya,” katanya.
Misalnya saja untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai. Investor nasional maupun asing
boleh masuk asal mereka membudidayakan tanaman pangan itu dengan luas minimal 5.000
hektar.
Dengan begitu, budidaya padi, jagung, dan kedelai untuk lahan lebih dari 5.000 hektar tidak
masuk dalam kategori tanaman pangan, tetapi masuk dalam subsektor perkebunan. ”Tetapi
formulanya yang tepat sedang kami bahas dan dikaji ulang, selanjutnya akan diusulkan
dalam peraturan presiden,” katanya.
Sutarto menambahkan, dengan masuknya investasi swasta di subsektor tanaman pangan,
mau tidak mau petani harus bersaing langsung dengan perusahaan besar.
Berkhas
13
Volume VI Maret 2008
Kompas
Rabu, 05 Maret 2008
”Karena itu, petani harus membangun kelompok dengan sistem corporate farming. Di mana
ada pengelompokan lahan dan kerja sama pengelolaan, lalu ada pembagian hasil supaya
terjadi efisiensi, dan produknya bisa bersaing,” katanya. (MAS)
Berkhas
14
Volume VI Maret 2008
Pikiran Rakyat
Rabu, 05 Maret 2008
Ca da n ga n Pa n ga n RI Kr it is
Ba nk D unia , " Bisa Ja di M a sa la h Se rius"
JAKARTA, (PR).Bank Dunia memperingatkan bahwa cadangan pangan Indonesia berada dalam titik terendah
sehingga bisa menjadi masalah serius jika tidak diatasi sejak awal. "Cadangan pangan
berada di titik terendah itu terjadi di seluruh dunia, saya sudah bilang pada Juni 2007 lalu, itu
menjadi peringatan untuk kita," ujar Deputi Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi di
Jakarta, Selasa (4/3).
Ia menyebutkan, cadangan pangan dunia turun hampir separuh yang kemudian
menyebabkan kenaikan harga pangan pada saat ini. Menurut dia, kenaikan harga pangan
dunia juga diperparah dengan kondisi pasar keuangan dunia (pasar uang dan pasar modal)
yang tidak terlalu menggembirakan karena suku bunga global (khususnya) di AS yang sangat
rendah.
Dengan kondisi seperti itu, saat ini banyak sekali investor yang beralih ke pasar komoditas
sehingga yang banyak bergerak adalah paper market (bursa berjangka) dari komoditas.
"Ini menurut saya adalah situasi baru yang terjadi dalam 20 tahun terakhir. Ini saya kira harus
direspons seluruh pengambil kebijakan di dunia termasuk Indonesia. Kita belum memutuskan
apa yang akan kita lakukan untuk meredam dampak negatif dari fluktuasi yang diakibatkan
oleh spekulasi dan bergeraknya bursa berjangka dari komoditas. Ini yang sedang kita cari
bersama-sama," katanya.
Menurut dia, dalam waktu tidak terlalu lama jika harga minyak kelapa sawit (CPO) dan
kedelai terus naik maka konsumennya tidak akan kuat membeli. "Ini yang jadi problem bagi
semua dan saya kira ini akan direspons oleh semua," katanya.
Sementara itu, Ketua Litbang Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Prof. H.
Maman Haeruman mengatakan bahwa penilaian dari Bank Dunia itu perlu diperhatikan. Ini
setidaknya bagi daerah Jabar, di mana langkah pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
potensi ketahanan pangan terindikasi belum jelas dari waktu ke waktu.
Jalan pintas
Ia mencontohkan, selama ini Pemprov Jabar terkesan belum seimbang dalam
menyosialisasikan ketahanan pangan karena masih terfokus kepada produksi beras.
Padahal, sumber pangan diketahui ada pula dari jagung, kedelai, dan sejumlah jenis
tanaman palawija lainnya.
"Kondisi demikian diperparah dengan sikap pemerintah pusat yang cenderung masih memilih
jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, ketergantungan pangan dari
produk impor masih besar, terutama beras, jagung, dan kedelai," ujar Maman.
Di lain pihak, katanya, adalah alih fungsi lahan yang sangat tinggi terjadi sehingga areal
pertanian dan sumber cadangan air cepat menyusut setiap tahun. Ini menunjukkan adanya
indikasi minimnya koordinasi antarlembaga terkait, antara bidang pertanian, permukiman,
industri dan perdagangan, dll.
Kondisi-kondisi itu, menurut Maman, menjadikan usaha pertanian untuk pemenuhan pangan
di Jabar selalu terganggu. Apalagi, insentif bagi para petani sejauh ini belum menarik, yang
membuat mereka tergiring menjual lahan.
Berkhas
15
Volume VI Maret 2008
Pikiran Rakyat
Rabu, 05 Maret 2008
"Ikut menentukan pula, sejauh mana kejujuran dari para aparat pemerintah daerah dalam
menunjukkan data akurat di lapangan. Selama ini, data yang dimunculkan dalam
pembahasan pangan, lebih banyak yang bagusnya, sedangkan data penyusutan produksi
dan penurunan areal jarang dimunculkan," katanya. (A-81/Dtc)***
Berkhas
16
Volume VI Maret 2008
Republika
Rabu, 05 Maret 2008
Be la j a r Ke t a h a n a n Pa n ga n da r i Cir e n de u
Leuwigajah tak hanya menyimpan cerita tragis soal longsornya gunungan sampah pada 21
Februari 2005. Cirendeu, salah satu desa di dekat TPA Leuwigajah, yang selamat dari
tragedi itu, punya cerita memikat tentang ketahanan pangan.
Jauh sebelum Peraturan Pemerintah (PP) No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan disahkan,
ketahanan pangan sudah menjadi tradisi di desa yang terletak di Cimahi, Jawa Barat, ini.
Saat Orde Baru pada 1995 mencapai swasembada beras dan kemudian menyeragamkan
makanan pokok, orang Cirendeu cuek saja.
Mereka tetap setia pada singkong, yang diolah sedemikian rupa sehingga saat dihidangkan
di atas meja makan, nyaris tak ada bedanya dengan nasi dari beras. Makanan khas tersebut
bernama rasi. Rasi merupakan akronim dari beras singkong.
Mulanya, warga Cirendeu mengonsumsi beras, seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Tapi, sejak 1924, mereka beralih ke singkong. Bukan karena tak bisa menanam padi atau tak
punya uang, mereka --berangkat dari kearifan lokal mencoba hidup lebih realistis. ''Para
pendahulu kami tahu bahwa di masa depan manusia akan semakin banyak, sedangkan
lahan untuk sawah akan semakin sedikit,'' ujar Ketua Forum Cirendeu Pojok, Asep Abbas,
pekan lalu.
Kesadaran tersebut, kata Asep, semakin menguat menyusul terjadinya kelaparan di desa itu.
Saat itu, tutur Asep, Belanda yang menguasai wilayah Jawa Barat, merampas hasil bumi
termasuk beras di desa yang dihuni 60 kepala keluarga (KK) itu. Bingung melihat persoalan
itu, sesepuh Cirendeu, Haji Nur Ali, kemudian bertanya kepada seorang tokoh bernama
Pangeran Madrais. Petunjuknya ternyata sederhana, kalau tak adanya beras membuat
masyarakat di sana kelaparan, ya berhenti mengonsumsi beras.
Pesan sederhana yang diperoleh dengan cara berguru itu, kemudian disampaikan Haji Nur
Ali kepada warga Cirendeu. Sebagai gantinya, masyarakat diminta mengonsumsi singkong.
''Mulanya masyarakat tak biasa. Bingung,'' kata tokoh masyarakat Cirendeu, Emen Sunarya.
Tapi, kelapangan hati untuk mematuhi pesan sesepuh, membuat masyarakat Cirendeu
mengonsumsi umbi bernama latin Manihot utilisima itu. Bila mulanya mereka hanya merebus,
belakangan mereka menemukan keterampilan untuk membuat singkong tampil mirip nasi.
Rasi dibuat dengan cara memarut singkong. Parutan diperas, kemudian airnya mereka
diamkan semalam. Selanjutnya aci-nya dipisahkan untuk dijual lagi sebagai kanji dan gaplek.
Ampasnya yang masih menyisakan sedikit sari singkonglah yang dijadikan rasi. Setelah
ampas itu dikeringkan, kemudian ditumbuk sampai halus. Dalam kondisi seperti ini, rasi bisa
disimpan sampai tiga tahun. Saat hendak dihidangkan, tinggal dicampur air dingin sehingga
membentuk gumpalan-gumpalan mirip butiran beras, lalu dikukus 10 menit.
Tapi, bergizikah rasi yang sudah dikeluarkan sari patinya itu? Laboratorium Institut Teknologi
Pangan Institut Pertanian Bogor telah menelitinya. Hasilnya, setiap 100 gram rasi, ada energi
359 kkal, protein 1,4 gram, lemak 0,9 gram, dan karbohidrat 86,5 gram.
Bandingkan dengan beras yang setiap 100 gram mengandung energi 360 kkal, protein 6,8
gram, lemak 0,7 gram, dan karbohidrat 78,9 gram. Atau, bandingkan dengan tepung terigu,
yang per 100 gram mengandung energi 365 kkal, protein 8,9 gram, lemak 1,3 gram, dan
karbohidrat 77,3 gram. Selain itu, singkong yang menjadi bahan baku
AGRARIA
Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).
D a ft a r I si
Lahan Pertanian Alih Fungsi 111.000 Ha Per Tahun --------------------------------------------
1
Lahan Pertanian Belum Menjadi Prioritas -----------------------------------------------------------
2
Pemerintah Tak Mampu Stabilkan Harga Pangan ------------------------------------------------
3
Bulog Tampung Gabah Kering Petani ----------------------------------------------------------------
4
Revitalisasi Pertanian Empat BUMN Disinergikan ------------------------------------------------
5
Petani Bingung Mencari Urea---------------------------------------------------------------------------
6
Harga Pangan, Inflasi, dan Swasembada -----------------------------------------------------------
8
Panen Raya, Harga Gabah Anjlok--------------------------------------------------------------------- 11
Liberalisasi Tanaman Pangan -------------------------------------------------------------------------- 13
Cadangan Pangan RI Kritis------------------------------------------------------------------------------ 15
Belajar Ketahanan Pangan dari Cirendeu ----------------------------------------------------------- 17
Lindungi Kepentingan Petani --------------------------------------------------------------------------- 19
Enam Langkah Capai Ketahanan Pangan ---------------------------------------------------------- 20
HPP Gabah Tetap------------------------------------------------------------------------------------------ 21
Involusi Petani Padi di "Tanah Sebrang" ------------------------------------------------------------ 22
Liberalisasi Tanaman Pangan Jangan Korbankan Petani -------------------------------------- 24
Masa Tanam Pascapanen Terancam Hama ------------------------------------------------------- 25
Gubernur DIY: Petani Harus Bermental Kuat ------------------------------------------------------ 27
Wereng Serang Petani Tangerang -------------------------------------------------------------------- 28
Harga Gabah Terperosok -------------------------------------------------------------------------------- 29
Petani Rugi Akibat KUT Diselewengkan ------------------------------------------------------------- 31
Petani Keluhkan Serangan Hama Wereng---------------------------------------------------------- 32
Pulau Terpencil Rawan Pangan------------------------------------------------------------------------ 34
"Yarnen" Terus Melilit Petani---------------------------------------------------------------------------- 35
165 Kasus Tanah Terkait Pidana ---------------------------------------------------------------------- 37
Mayoritas daerah tak laporkan KUT ------------------------------------------------------------------ 38
Harga Gabah Tak Sebanding dengan Biaya Produksi------------------------------------------- 40
Produksi Beras Tidak Akan Mencapai Target ------------------------------------------------------ 42
Keadilan Sosial untuk Petani Kita---------------------------------------------------------------------- 43
Cahaya Buat Petani --------------------------------------------------------------------------------------- 44
Bulog Diminta Tak Persoalkan Mutu Gabah Petani ---------------------------------------------- 45
Hama Kresek Serang Padi di Cirebon---------------------------------------------------------------- 46
Petani Sawit Dapat Subsidi Kecambah -------------------------------------------------------------- 47
"Ketidakberdayaan" Institusi Pertanian--------------------------------------------------------------- 48
Konversi Lahan Pertanian 8.000 Ha/Tahun--------------------------------------------------------- 51
Petani Minta Kenaikan Harga Gabah Kering ------------------------------------------------------- 53
Bulog: Pemerintah Harus Mewaspadai Penyelundupan Beras ke Luar Negeri----------- 54
Paket Fiskal vs Krisis Pangan -------------------------------------------------------------------------- 55
Sulsel Tak Khawatir Krisis Beras ---------------------------------------------------------------------- 58
Harga benih sawit diperkirakan melonjak------------------------------------------------------------ 59
Kalangan petani jarak di Jawa Tengah cemas ----------------------------------------------------- 61
Bulog Yogyakarta Beli Gabah Petani ----------------------------------------------------------------- 62
Petani Memanen Padi Lebih Awal--------------------------------------------------------------------- 63
644 Hektar Tanaman Padi dan Jagung di TTS Gagal Panen---------------------------------- 64
Petani Belum Menikmati Hasil -------------------------------------------------------------------------- 65
26.000 Ha Lahan Kritis di Bengkulu Direhabilitasi ------------------------------------------------ 67
Bulog Diminta Abaikan Mutu Gabah ------------------------------------------------------------------ 68
Meratapi Nasib Petani ------------------------------------------------------------------------------------ 70
Bupati Karawang Jamin Tak Ada Konversi Lahan Pertanian ---------------------------------- 73
Pasar Tani Soropadan untuk Berdayakan Petani ------------------------------------------------- 74
Jalan Terjal Menuju Swasembada Pangan --------------------------------------------------------- 75
Harga Gabah Terus Merosot akibat Hujan ---------------------------------------------------------- 76
Ekonomi Politik Kedaulatan Pangan ------------------------------------------------------------------ 77
Mengubah Minda Pertanian ----------------------------------------------------------------------------- 79
Serangan Hama Wereng Meluas ---------------------------------------------------------------------- 81
Lahan Pertanian Terus Menyusut --------------------------------------------------------------------- 82
Serangan Wereng Mengganas ------------------------------------------------------------------------- 84
Kartel Kuasai Pangan Indonesia ----------------------------------------------------------------------- 86
Kegagalan Instrumen Perlindungan Petani --------------------------------------------------------- 89
Lahan Petani Jateng Diserang Pengganggu Tanaman------------------------------------------ 92
Pangan dan Gejolak Politik ------------------------------------------------------------------------------ 93
Pupuk di Bengkulu Langka, Harga Meningkat ----------------------------------------------------- 94
Tasikmalaya Menjadi Lumbung Padi Organik ------------------------------------------------------ 95
Kredit Petani Kecil Belum Terkonsep ----------------------------------------------------------------- 96
Manfaatkan Momentum Kenaikan Harga Beras --------------------------------------------------- 97
Diserang Tikus, Ratusan Hektare Sawah Gagal Panen----------------------------------------- 99
Produksi Beras 2008 Diproyeksikan Surplus -------------------------------------------------------100
Pemerintah Bangun 17 Pasar Tani--------------------------------------------------------------------101
Politik Pangan Butuh Perhatian ------------------------------------------------------------------------102
HKTI Terus Merintis Distribusi Pupuk Bersubsidi -------------------------------------------------103
Petani Belum Nikmati Hasil Panen --------------------------------------------------------------------104
Tanam Padi Organik Mulai Diminati ------------------------------------------------------------------105
Membongkar Hegemoni Beras -------------------------------------------------------------------------106
Pupuk Bersubsidi di Bengkulu Menghilang ---------------------------------------------------------108
Harga Gabah Anjlok ---------------------------------------------------------------------------------------109
Panen Masal Petani Lele---------------------------------------------------------------------------------110
Pupuk Bersubsidi Langka --------------------------------------------------------------------------------111
Harga Beras Global Cetak Rekor ----------------------------------------------------------------------112
Gabah Terlambat Diserap, Harga Beras Anjlok ---------------------------------------------------114
'Pasokan Beras Dalam Negeri Diamankan Dulu'--------------------------------------------------115
Ekspor Beras Dicegah ------------------------------------------------------------------------------------116
Target Produksi Gabah Sulit Tercapai ---------------------------------------------------------------118
Petani Keluhkan Mahalnya Harga Pupuk------------------------------------------------------------120
Beras Rawan Diselundupkan ---------------------------------------------------------------------------121
Harga Beras Lokal tidak Terpengaruh----------------------------------------------------------------123
Ekspor Beras tidak Dilarang-----------------------------------------------------------------------------125
Petani Padi Organik Menikmati Harga Tinggi ------------------------------------------------------127
Ekstensifikasi Lahan Antisipasi Inflasi Pangan-----------------------------------------------------129
Harga Padi Anjlok, Petani Sedih -----------------------------------------------------------------------130
Belum Ada Insentif bagi Ekspor Beras ---------------------------------------------------------------132
Ekspor Beras Untungkan Spekulan -------------------------------------------------------------------133
Suara Pembaruan
Sabtu, 01 Maret 2008
La h a n Pe r t a n ia n Alih Fu n gsi 1 1 1 .0 0 0 H a Pe r Ta h u n
[JAKARTA] Kesadaran bangsa ini untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian sangat
rendah. Sementara, krisis pangan terus mengancam karena menurunnya kapasitas produksi
pangan akibat alih fungsi lahan yang sulit dihentikan.
Luas lahan pertanian pangan beririgasi teknis yang tersisa hanya 6,5 juta hektare (Ha),
sementara setiap tahun 110 ribu hektare beralih fungsi. Demikian disampaikan Direktur
Jenderal Pengelolaan lahan dan air (PLA) Departemen Pertanian, Hilman Manan di Jakarta,
Sabtu (1/3).
Dengan laju penduduk 1,3 persen per tahun, maka hingga 2010 saja kebutuhan beras
nasional mencapai 32,5 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut dibutuhkan
lahan beririgasi teknis seluas 9,9 juta hektare.
Tahun 2028 kebutuhan lahan beririgasi teknis meningkat menjadi 12 juta hektare. Hal
tersebut menjadi sebuah ironi jika dikaitkan dengan rendah kepedulian masyarakat dan
pemerintah daerah akan lahan pertanian. Pemda cenderung mengabaikan upaya
mempertahankan areal pertanian demi alasan mengejar pendapatan daerah. Di sisi lain,
pemilik lahan menjual lahannya karena usaha pertanian dianggap tak lagi prospektif, ujar
Hilman.
Upaya mengkampanyekan perlindungan ibarat membentur tembok ketidakpedulian bangsa
ini, ujar Direktur Pengelolaan Lahan, Suhartanto. Upaya perlindungan lahan pertanian melalui
undang-undang lahan abadi, terbentur berlarut-larutnya pembahasan di DPR.
"Seharusnya UU lahan abadi selesai pertengahan tahun lalu, tapi hingga kini belum rampung
dibahas di DPR," ujarnya.
Tekanan terhadap upaya mempertahankan lahan pertanian juga terjadi akibat menurunnya
luas kepemilikan lahan per rumah tangga petani. Jumlah petani gurem dengan luas lahan
hanya 0,34 hektare meningkat menjadi sekitar 14 juta petani. Hal ini dapat memicu konversi
lahan karena petani terpaksa berganti profesi.
Tekanan terhadap produksi juga meningkat akibat tren intensitas bencana alam seperti banjir
dan longsor. Tahun 2008 ini saja tercatat lebih dari 91 ribu hektare sawah yang terendam
banjir. "Bangsa ini telah mengubur dirinya sendiri akibat kerusakan lingkungan dan lahan
yang berujung bencana banjir dan longsor, kata Direktur Pengelolaan Air Ditjen PLA, Gatot.
[L-11]
Berkhas
1
Volume VI Maret 2008
Kompas
Senin, 03 Maret 2008
La h a n Pe r t a n ia n Be lu m M e n j a di Pr ior it a s
Pe m ba ha sa n RUU PLPB Se la lu Te rt unda
Jakarta, Kompas - Lahan pertanian, terutama untuk tanaman pangan, terus menyempit.
Padahal, kebutuhan pangan terus meningkat. Penyempitan lahan pertanian itu akibat
”penjarahan” terencana oleh pemerintah daerah ataupun pelaku usaha. Hingga kini
penyelamatan lahan pertanian belum menjadi prioritas.
Hal itu ditegaskan Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian
Hilman Manan. Ia mengatakan, peran lahan sebagai basis produksi pertanian tidak
tergantikan.
”Ketersediaan lahan adalah syarat mutlak mewujudkan ketahanan pangan nasional,” tegas
Hilman, akhir pekan lalu.
Namun, yang terjadi lahan pertanian terus menyempit. Tahun 1999-2002, konversi lahan
pertanian ke nonpertanian 110.000 hektar. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional,
tiap tahun sawah beririgasi berkurang 35.000 hektar. Padahal, kebutuhan beras penduduk
Indonesia tahun 2030 diperkirakan 59 juta ton. Adapun kebutuhan beras tahun 2007 hanya
32,96 juta ton.
Direktur Pengelolaan Lahan Pertanian Suhartanto mengingatkan agar waspada terhadap
masalah ketahanan pangan. Kebutuhan komoditas pangan dunia terus meningkat. Ditambah
menipisnya cadangan minyak berbasis fosil, bahan bakar nabati berbasis komoditas biji-bijian
jadi pilihan. ”Ketahanan pangan bangsa lemah. Komoditas pangan utama seperti beras,
jagung, dan kedelai masih impor,” ujarnya.
Produksi pangan melimpah saja belum menjamin rakyat Indonesia dapat mengakses
pangan. Ini karena harga pangan pokok terus membubung, mengikuti hukum pasar. ”Kerja
pemerintah akan ringan jika produksi pangan melimpah,” katanya di Jakarta.
Sebaliknya, jika produksi kurang dan bergantung impor, Indonesia jadi bulan-bulanan pasar
global. ”Agar produksi melimpah, diperlukan lahan yang luas. Ini malah sawah dikonversi
untuk tujuan lain,” kata Suhartanto.
Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
Siswono Yudo Husodo mengatakan, Indonesia telah masuk perangkap pangan dunia. Ketika
harga kedelai naik, misalnya, pemerintah tak bisa menahannya.
Jebakan pangan global makin kuat mengimpit kalau tidak diantisipasi, yaitu dengan
meningkatkan produksi pangan dengan memberi jaminan pasar.
Pembahasan tertunda
Mengatasi masalah lahan, Deptan menyiapkan naskah akademis RUU Perlindungan Lahan
Pertanian Abadi, yang diganti menjadi RUU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan
(PLPB). Namun, pembahasannya di DPR selalu tertunda. ”Mungkin setelah RUU Pemilu,
baru RUU PLPB. Diharapkan pertengahan 2008 pembahasan selesai,” kata Hilman.
Undang-undang itu akan menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah dan pusat untuk
menentukan rencana tata ruang wilayah di tiap daerah. Pemda diajak berkomitmen
mengalokasikan lahan pangan pokok, dan menjaganya dari konversi. ”Jawa Timur
berkomitmen mengalokasikan 1 juta hektar untuk pangan pokok,” ujar Suhartanto. (MAS)
Berkhas
2
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Senin, 03 Maret 2008
Pe m e r in t a h Ta k M a m pu St a bilk a n H a r ga Pa n ga n
[JAKARTA] Meski kenaikan harga bahan baku pangan diprediksi baru akan naik kuartal II
tahun 2008, sejumlah harga bahan baku pangan di pasaran terus melonjak. Tepung terigu
misalnya. Kenaikannya sangat mencolok. Demikian dikatakan Ketua Gabungan Pengusaha
Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Thomas Dharmawan ketika dihubungi
SP, akhir pekan lalu.
Dibanding harga bahan baku pangan lainnya, kenaikan harga tepung terigu paling kentara.
Awal tahun 2007 lalu harga tepung terigu berada di kisaran dari Rp. 4.000/kg, kini berkisar
antara Rp 7.500 - Rp. 8.000/kg di tahun 2008.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franky Welirang, seperti
dituturkan Thomas, lonjakan tinggi harga tepung terigu, salah satunya dipicu negara-negara
yang mengurangi ekspornya seperti Tiongkok, Rusia, Yordania. Hal itu, lanjut Thomas,
mengakibatkan harga tepung terigu naik dua hingga tiga kali dalam periode satu bulan.
"Jika sudah begini, kasihan UKM-UKM (usaha kecil dan menengah) yang menjual produk
makanan. Mereka tidak bisa menaikkan harga terlalu tinggi, karena kalau sudah naik, sulit
untuk turun lagi. Mereka lebih hati-hati karena ada sistem distribusi," ujar Thomas.
Sekretaris Jenderal Aptindo Ratna Sari Loppies mengatakan, posisi pemerintah yang lemah
menjadi penyebab meroketnya harga tepung terigu di pasaran nasional. Ironis, lanjut Ratna,
meski 90 persen minyak sawit mentah (CPO) dapat dihasilkan dalam negeri, pemerintah
tetap tidak mampu mengatasi persoalan tingginya harga CPO.
Menurut dia, hal ini membuktikan, pemerintah tidak mampu mengontrol kebutuhan dalam
negeri dan menstabilkan harga pangan. Walaupun demikian, Ratna masih menilai keadaan
ini jauh lebih baik dibanding harga gandum yang melangit hingga 200 persen.
"Ke depan pemerintah harus mempunyai perencanaan, jangan cuma memberi kebijakan
yang menurunkan harga untuk sementara waktu. Pemerintah kan ada proteksi," katanya.
Masih Dibahas
Sementara itu, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hasto Kristianto
mengatakan, terkait peraturan presiden soal stabilisasi pangan, subsidi telah diberikan untuk
beras dan minyak goreng. Saat ini, lanjut Hasto, yang masih dalam pembahasan, yakni soal
subsidi kedelai.
"Subsidi beras dan minyak goreng sudah. Saat ini memang kedelai yang baru akan diusulkan
dalam APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) perubahan. Pembahasan akan
dilakukan awal Maret," ujar Hasto .
Pembahasan subsidi kedelai dalam APBN perubahan nanti, sambung Hasto, usulan yang
akan datang seperti pemberian kupon seharga Rp. 1.000 untuk pembelian kedelai per
kilogramnya. Jadi, setiap kedelai yang dijual seharga Rp. 6.800/kg akan dipotong Rp 1.000
menjadi Rp 5.800/kg dengan kupon.
Sebelumnya, Mendag Mari Elka Pangestu menegaskan, harga kedelai yang sempat melangit
di pasaran, kini sedang turun, dari Rp 7.500/kg menjadi Rp 6.800/kg. Pernyataan Mendag ini
membingungkan karena pembahasan subsidi kedelai memang belum dibahas di kursi DPR.
[CNV/M-6]
Berkhas
3
Volume VI Maret 2008
Jurnal Nasional
Selasa, 04 Maret 2008
Ek onom i M ik ro/ Se k t or Riil SUM ED AN G | Se la sa , 0 4 M a r 2 0 0 8
Bu log Ta m pu n g Ga ba h Ke r in g Pe t a n i
by : Antarini Vellandrie
PERUM Bulog siap menampung berapa pun gabah kering giling yang dijual petani.
Syaratnya, kadar air tak lebih 14 persen dan patahan di bawah 20 persen.
Direktur Utama Perum Bulog, Mustafa Abubakar dalam acara panen uji coba sistem usaha
agribisnis pangan dan energi di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis pekan lalu
mengatakan, selama kadar air dan patahan memenuhi syarat, Bulog bersedia membeli
berapa pun banyaknya.
"Kita harus memacu produksi gabah sebanyak-banyaknya. Peran Bulog menjamin hasil
panen petani dapat dibeli dengan harga layak. Kami akan beli berapa pun jumlah gabah
kering giling yang dijual petani," katanya.
Dia berharap, petani dapat menjual padi dalam keadaan kering giling hingga harganya
bagus. Petani, katanya, bisa menggunakan alat pengering berbahan bakar sekam. Jika
petani dapat menjual gabah kering giling, Bulog wajib membeli harga minimal Rp2.000.
“Kalau perlu dapat kami beli dengan harga Rp2.600," ujarnya.
Saat ini, fenomena dunia dalam siklus 100 tahunan terakhir menunjukkan harga pangan
meroket tanpa batas. "Harga pangan dunia kian tinggi. Ini menjadi sangat mengkhawatirkan.
Apalagi buat Indonesia yang masih mengandalkan impor. Sebut saja jagung dan kedelai
yang menembus rekor harga tertinggi," ucap Mustafa.
Indonesia harus berusaha mampu mandiri, tidak mengandalkan impor. Kenaikan harga
pangan dunia saat ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum meningkatkan produktivitas
pangan dalam negeri. Karena itu, program diversifikasi pangan harus diterapkan, mengingat
harga beras mencapai angka US$570 per ton.
Menurut Mustafa, tidak mudah bagi Indonesia bergantung pada impor jika defisit beras
karena kini sulit mendapatkan beras. "Dulu kalau kita defisit beras tinggal impor dari Thailand,
Vietnam, dan China, karena mudah didapat dan harganya murah. Sekarang tidak demikian.
Sulit mencari beras di pasar dunia, apalagi harganya terus meroket. Kita harus berdikari
pangan sendiri, terutama buat beras. Beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei
Darussalam sudah menyatakan siap menampung ekspor beras kita," katanya. Antarini
Vellandrie
Berkhas
4
Volume VI Maret 2008
Jurnal Nasional
Selasa, 04 Maret 2008
BUM N da n Korpora t Sum e da ng | Se nin, 0 3 M a r 2 0 0 8
Re v it a lisa si Pe r t a n ia n Em pa t BUM N D isin e r gik a n
by : Antarini Vellandrie
KEMENTERIAN Negara BUMN menyinergikan empat BUMN untuk mendukung program
revitalisasi pertanian. Melalui PT Pupuk Kujang, PT Sang Hyang Seri (SHS), PT Pertani, dan
Perum Jasa Tirta (PJT) II, Kementerian Negara BUMN mengembangkan konsep Badan
Usaha Milik Petani (BUMP) yang memadukan manajemen koperasi dan perseroan terbatas
untuk mengelola hasil pertanian, sejak mulai tanam hingga pemasaran. Untuk merevitalisasi
pertanian kami membentuk lembaga komersil yang berkelanjutan (korporasi), yang
merupakan gabungan antara koperasi dan perseroan bernama BUMP,” kata Deputi Menneg
BUMN Bidang Usaha Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan, Agus
Pakpahan, di Sumedang, Jawa Barat, akhir pekan lalu.
Menurut Agus, BUMP dibentuk sebagai upaya revitalisasi pertanian melalui peningkatan
pendapatan petani, peningkatan produksi beras, sumber energi, bahan baku industri,
penyerapan tenaga kerja baru, ketahanan pangan dan energi, serta peningkatan nilai tambah
BUMN sektor agroindustri. Badan tersebut bergerak dalam ruang lingkung penyediaan
agriinput, kegiatan budidaya tanaman, penanganan pascapanen, pengolahan hasil, dan
pemasaran.
Dia menjelaskan konsep BUMP dikembangkan karena selama ini koperasi dinilai lemah
dalam mengakses permodalan, sehingga lamban untuk berkembang. Sedangkan perseroan
sebaliknya, mudah dalam mengakses modal dan bekerja sama dengan badan usaha lainnya.
Sebagai salah satu usaha BUMN, perbankan diharapkan dapat masuk sebagai sumber
pendanaan BUMP. “Koperasi di Indonesia berbeda dengan koperasi di Jepang atau Amerika.
Koperasi kita tidak dapat mengembangkan modal dengan cepat, sehingga kita gabungkan
saja dengan konsep perseroan. Dengan perpaduan ini diharapkan BUMP mampu
mengakses kapital dan bekerja sama dengan unit usaha lainnya untuk mengembangkan
usahanya,” kata Agus.
BUMP merupakan konsep hasil Kesepahaman Bersama empat BUMN tersebut yang ditanda
tangani pada 12 Juli 2007 berdasarkan instruksi Menneg BUMN No Kep 109/M-BUMN/2005
tanggal 4 Juni 2002 tentang Sinergi Antar-BUMN.
Menurut Agus, semangat BUMP adalah semangat koperasi, karena anggota BUMP ribuan
petani. Sedangkan modal dan bentuk kerja sama menggunakan semangat perseroan
Dia mengatakan, BUMP merupakan wujud kelembagaan yang diharapkan bisa menangani
tiga hal yaitu inovasi teknologi dalam kaitannya untuk peningkatan produktivitas, inovasi
kelembagaan untuk menekan biaya, dan mengatasi masalah-masalah pertanian yang timbul
kemudian atau second generation problems.
Untuk tahap awal, BUMP sudah melakukan ujicoba pada lahan seluas 450 hektare, di
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (Jabar) seluas 100 hektare, di Kabupaten Majalengka 50
hektare, di Kabupaten Indramayu 200 hektare, dan di Kabupaten Ngawi 100 hektare. “Ke
depannya BUMP akan memperluas area pertanian yang dikelola. Untuk musim tanam bulan
Maret nanti, kegiatan BUMP akan dilaksanakan pada lahan seluas 2.500 hektare di beberapa
kabupaten. Di antaranya Karawang 300 hektare, Sumedang 300 hektare, Majalengka 200
hektare, Indramayu 700 hektare, dan Ngawi 1.000 hektare,” ujar Agus.
Berkhas
5
Volume VI Maret 2008
Kompas
Selasa, 04 Maret 2008
Pe t a n i Bin gu n g M e n ca r i U r e a
Jua l Ponsk a di At a s H ET, D ist ribut or da n Kios Ke na Sa nk si
Selasa, 4 Maret 2008 | 02:38 WIB
Magelang, Kompas - Petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, saat ini bingung mencari
urea. Ketika terdesak kebutuhan, seperti saat musim tanam padi sekarang, jenis pupuk ini
justru sulit dicari di tingkat pengecer.
Anwari, petani Desa Adikarto, Kecamatan Muntilan, Senin (3/3), mengatakan, dua minggu ini
ia sudah beberapa kali mendatangi dua pengecer resmi di sekitar desanya, tetapi tidak
pernah mendapatkan jatah urea.
”Padahal, minggu depan, saya sudah berencana untuk mulai menebar benih padi,” kata
Anwari.
Pemupukan pertama menggunakan urea biasa dia lakukan setelah padi berumur seminggu.
Kondisi serupa dialami Karsindi, petani Desa Sukorini, Muntilan. Di kios pengecer dekat
rumahnya, dia hanya dapat membeli lima kilogram urea.
Selain langka, sejak dua minggu lalu harga urea mulai naik. ”Jika biasanya sekitar Rp 62.000
hingga Rp 63.000 per sak, sekarang harga urea 66.000 per sak,” ujar Suparjo, petani lain.
Tanpa alasan jelas, pasokan urea di tingkat pengecer pun mulai dikurangi. Huda, pemilik kios
sarana pertanian Sahabat Tani di Mungkid, menyebutkan, jatah urea yang sebelumnya
diterima dari distributor 7,5 ton hingga 15 ton per minggu kini berkurang menjadi dua ton per
minggu.
”Karena permintaan saat ini tinggi, jatah dua ton urea itu habis terjual dalam waktu setengah
hari,” ucap Huda
Sementara itu, sehubungan dengan penjualan pupuk Ponska di Sukabumi, Jawa Barat, yang
di atas harga eceran tertinggi (HET) (Kompas, Senin 3/3), PT Petrokimia Gresik memberi
sanksi kepada satu distributor dan satu kios resmi di daerah itu.
Hariyono dari Biro Humas PT Petrokimia, Senin, menjelaskan, status distributor perusahaan
itu dicabut, sedangkan kios yang menjual pupuk Ponska di atas HET dicabut sebagai kios
resmi pupuk bersubsidi.
Pekerjaan sampingan
Di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sebagian petani memilih pekerjaan sampingan karena
keuntungannya lebih besar ketimbang menggarap sawah. Apalagi harga penjualan gabah
kering panen (GKP) tidak seimbang dengan harga beras dan kebutuhan lain.
Didi, petani di Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Senin, menyatakan, keuntungan
pekerjaan sampingan sebagai tukang kayu lebih besar. Dalam satu hari, dia bisa mendapat
bayaran Rp 60.000.
Jumlah itu adalah pendapatan bersih karena tidak perlu mengeluarkan modal atau biaya
tambahan lain.
Berkhas
6
Volume VI Maret 2008
Kompas
Selasa, 04 Maret 2008
Dadang, petani lain, menyatakan, kini pekerjaan yang tadinya hanya sampingan justru lebih
besar menghasilkan uang. Oleh karena itu, jika panggilan sebagai tukang kayu datang setiap
hari, dia akan meninggalkan pekerjaan sebagai petani. (CHE/EGI)
Berkhas
7
Volume VI Maret 2008
Suara Pemabruan
Selasa, 04 Maret 2008
H a r ga Pa n ga n , I n fla si, da n Sw a se m ba da
Oleh Viktor Siagian
Sudah hampir tiga tahun ini harga-harga kebutuhan pokok melonjak naik. Harga beras,
minyak goreng misalnya sudah naik lebih dari 100 persen dibandingkan dengan tiga tahun
yang lalu, harga gula, terigu naik hampir 75 persen. Tindakan pemerintah untuk menurunkan
harga terlihat tidak serius. Di satu pihak untuk meningkatkan produksi pemerintah
menerapkan strategi harga pangan tinggi untuk merangsang petani meningkatkan produksi.
Strategi ini memang berhasil, produksi pertanian yang memiliki harga jual tinggi hampir
semuanya naik signifikan. Sebut saja padi, jagung, gula. Tapi di pihak lain strategi ini
merugikan konsumen, karena daya beli masyarakat menjadi lemah, laju inflasi meningkat.
Sebagian besar pendapatan masyarakat dibelanjakan untuk membiayai konsumsi bahan
pangan pokok sehingga untuk bahan sekunder menjadi berkurang. Apalagi pada sebulan
terakhir ini, harga bahan pangan pokok naik secara tajam, masyarakat mulai kewalahan.
Sebagian sudah mengkonversi dari beras ke non beras.
Paket stablisasi harga pangan yang dikeluarkan pemerintah pada 1 Februari 2008 tidak
menyentuh pokok masalah. Strategi mempertahankan harga tinggi masih tetap di
pertahankan. Sebagai contoh, beras hanya diturunkan bea masuk (BM) Rp 100/kg dari Rp
550/kg menjadi Rp 450/kg, artinya harga hanya turun Rp 100/kg. Tidak ada disebutkan akan
mengimpor beras sampai harga turun pada level tertentu. Pemerintah justru akan
mempertahankan harga tinggi ini. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli
pangan, pemerintah menambah jatah beras untuk orang miskin (raskin) dari 10 kg menjadi
15 kg/bulan selama 10 bulan per tahun. Masyarakat kelas menengah ke atas harus membeli
beras dengan harga tinggi untuk menolong petani.
Cara ini jelas salah, karena membedakan harga bahan pangan pokok berdasarkan kelas
masyarakat adalah melanggar hak azasi manusia. Bukankah UU Pangan No. 7 Tahun 2006
jelas-jelas menyebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pangan yang terjangkau
dan tersedia?
Paket Kebijakan Pangan 1 Februari menurut rumor sebelumnya akan menetapkan harga
batas atas (ceiling price) untuk bahan pangan (SP 31 Januari 2008), tapi kenyataannya yang
dihapus hanya BM dan pertanggungan PPN terigu Rp 1,2 triliun.
Berpihak Pada Produsen
Hanya sayang pemerintah tidak menyebutkan untuk memproduksi sendiri biji gandum
sehingga mengurangi ketergantungan akan impor. Untuk kedelai pemerintah hanya
menghapus BM 10 persen dan pemberian subsidi bagi pengrajin tahu dan tempe Rp 1000/kg
selama 6 bulan, dan penurunan tarif PPh impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen. Tidak
menyebutkan secara jelas akan mengimpor sampai harga turun pada level tertentu. Jadi
kecenderungannya lebih berpihak pada produsen, sedangkan konsumen diabaikan. Dengan
demikian sangat pesismis bahwa harga pangan tersebut akan turun signifikan dan
masyarakat harus menerima harga pangan tinggi.
Secara makro hal ini akan meningkatkan laju inflasi yang akan mengurangi daya beli
masyarakat. Turunnya daya beli akan menurunkan daya konsumsi agregat yang akhirnya
menurunkan pendapatan nasional riil. Inflasi juga menyebabkan devisa yang kita butuhkan
untuk mengimpor barang dan jasa akan lebih banyak terkuras karena nilai tukar yang
menurun. Dalam bulan Januari saja cadangan devisa tergerus US$ 2 miliar dolar atau setara
dengan lima bulan impor (Kontan, 8 Februari 2008).
Berkhas
8
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Tentunya karena daya beli masyarakat yang semakin lemah menyebabkan pengangguran
meningkat yang selanjutnya meningkatkan kemiskinan. Apalagi harga BBM akan naik pada
bulan Mei 2008 ini, mungkin juga tarif listrik, sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Maka harga-harga barang akan ikut naik, sehingga akan menambah kemiskinan yang
jumlahnya sudah 37,17 juta orang (BPS, 2007).
Bagaimana seharusnya tindakan pemerintah agar lebih bermanfaat bagi masyarakat?
Tentunya mengimpor komoditi yang persediaannya sedikit di pasar, seperti beras. Untuk
kedelai karena kenaikan harga disebabkan naiknya harga dunia maka pemerintah harus
mencari sumber impor dari negara lain yang lebih murah, seperti Brazil, Argentina, Australia.
Jika harga tersebut adalah harga keseimbangan internasional maka pemerintah dapat
menetapkan harga atap atau mensubsidi harga jual kepada konsumen, misalnya Rp
5.000/kg. Harga atap adalah yang paling optimal karena produsen dan konsumen samasama diuntungkan. Demikian juga untuk terigu cara ini adalah yang paling rasional, bukan
hanya membela importir melalui pertanggungan PPN terigu. Saat ini harga mie instan sudah
naik 20 - 25 persen.
Untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus berpacu untuk mencapai
swasembada pangan. Seluruh pangan yang saat ini masih diimpor harus ditargetkan dalam
jangka waktu tertentu untuk swasembada. Karena apa? Karena mulai saat ini sampai yang
akan datang manusia akan berkompetisi memperebutkan pangan dengan kendaraan
bermotor, pabrik dan industri lainnya. Hampir seluruh pangan nabati dapat diubah menjadi
bio fuel, kondisi ini memang sedang berlangsung dengan trend yang meningkat tajam. Berarti
diprediksi harga pangan akan meningkat terus, kecuali harga BBM berbasis fosil dapat turun
ke harga US$ 50/barrel. Tapi dari pernyataan empat negara anggota OPEC yang akan
membatasi produksi minyak bumi sehingga harga tidak mencapai level di bawah US$
80/barel.
Situasi ini dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk mendorong petani padi, kedelai,
terigu, tebu agar lebih giat menanam komoditi tersebut. Dukungan teknologi seperti
penggunaan benih unggul dan bersertifikat, teknologi budidaya, pupuk, herbisida dan
pestisida yang murah dan jaminan harga sangat diperlukan.
Lahan Kering
Indonesia sebagai negara pengimpor kedelai terbesar di Asia, 1, 2 juta ton dapat
memanfaatkan momen ini untuk melakukan ekstensifikasi budidaya kedelai baik pada lahan
sawah pada Musim Kemarau (MK), lahan kering, lebak pematang yang ketersediaan
lahannya sangat tinggi. Kita memiliki belasan juta ha lahan kering pada MK yang belum
dimanfaatkan. Sebut saja petani padi gogo yang umumnya lahan keringnya pada MK tidak
ditanami di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, sebagian Sumatera. Sosialisasi penggalakan
penanaman kedelai ini harus dilakukan sejak saat ini. Apalagi sebagian petani sudah lama
meninggalkan komoditi ini, maka penyuluhan tentang Varitas Unggul Baru (VUB), bantuan
sarana produksi, alat pengolahan pasca panen dan jaminan harga sangat diharapkan. Para
Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) harus membuat demonstrasi plot kedelai yang mampu
berproduksi 2 ton/ha. Bulog harus membeli kedelai dengan harga sesuai yang ditetapkan
pemerintah yaitu Rp 5500/kg. Demikian juga benih unggul, pupuk dan pestisida harus
tersedia dan terjangkau. Jika memungkinkan kita berikan subsidi benih dan pestisida. Berita
terkahir, pemerintah sudah menganggarkan dana Rp 1 triliun untuk pemberian benih unggul
gratis kepada petani dengan target luas tanam 1 juta ha dari yang saat ini yang hanya
650.000 ha. Jika ini dilakukan maka peluang untuk mencapai swasembada kedelai akan
terbuka lebar dan target waktunya dapat dipersingkat.
Berkhas
9
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Hal yang sama juga berlaku pada tanaman gandum yang disebagian wilayah Indonesia
masih cocok untuk dibudidayakan, yakni daerah dengan topografi lebih dari 800 m di atas
permukaan laut (dpl). Terdapat 2 juta ha lahan yang sesuai dan tersedia untuk tanaman ini
(Hafsah Jafar, 2002). Karena gandum merupakan tanaman baru maka peranan pemerintah
sebagai penjamin harga, penampung produksi, dan penyedia teknologi budidaya sangat
diperlukan. Tanpa itu kita tidak akan dapat berswasembada gandum. Saat ini Indonesia
merupakan negara pengimpor gandum keenam terbesar di dunia dengan total impor 3,9 juta
ton. Dengan harga US$ 500/ton, nilai impor gandum ditaksir sebesar US$ 1,95 miliar dolar.
Setidaknya kita harus bisa mengurangi jumlah impor ini.
Di atas semua itu kita jangan lupa bahwa kita memiliki sumber pangan lain yang cukup
tersedia seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, yang bisa kita tingkatkan konsumsinya melalui
pengolahan pangan lokal. Penganan seperti getuk, tiwul, ubi jalar goreng atau ubi rebus,
ongol-ongol dari sagu perlu digalakkan melalui sosialisasi sehingga dapat mengurangi
konsumsi beras.
Penulis adalah peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumsel, Badan
Litbang Deptan, Palembang
Berkhas
10
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Pa n e n Ra y a , H a r ga Ga ba h An j lok
[JAKARTA] Memasuki masa panen raya Maret ini, harga gabah di sejumlah daerah, mulai
anjlok. Di Bogor dan Sukabumi misalnya, harga gabah di tingkat petani anjlok menjadi sekitar
Rp 1.800/kg, padahal sebelumnya harganya mencapai Rp 2.300/kg.
Para petani pun berharap, pemerintah segera merevisi harga pokok pembelian gabah agar
harga gabah tidak terus anjlok. "Dibandingkan harga gabah pada saat panen tahun lalu pun,
harga gabah saat ini lebih. Tahun lalu, harga gabah masih Rp 2.000 per kg. Padahal panen
raya baru mau dimulai. Kami khawatir, saat panen raya serentak di berbagai daerah
harganya lebih jatuh lagi," kata Husna, seorang petani di Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Harga jual gabah, yang hanya Rp 1.800 per kg ini sangat merugikannya. Pasalnya, harga
pupuk tahun ini lebih mahal dibandingkan tahun lalu.
Selain itu, ongkos produksi juga semakin berat dengan naiknya harga obat-obatan. Ditambah
lagi naiknya upah bagi buruh tani.
Menurut Husna, petani baru untung ketika harga gabah kering panen Rp 2.200 per kg.
Kondisi yang sama terjadi di Kota maupun di Kabupaten Sukabumi. Wawat, petani yang
memiliki lahan di Kampung Lio, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi menuturukan, harga
gabah basah saat ini mencapai Rp 1.800/kg, padahal sebelumnya harga gabah basah masih
cukup tinggi, yakni Rp 2.400/kg.
Turunnya harga gabah disebakan kadar air dalam gabah cukup tinggi dan rendaman yang
rendah, sehingga kualitas gabah menjadi berkurang. "Para tengkulak tidak mau membeli bila
harga gabah dijual Rp 2.000/kg, sehingga kami mau tidak mau menjualnya," katanya. Dia
mengaku rugi dengan turunnya harga gabah.
Hal itu dibenarkan salah seorang tengkulak di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Tolib
(42). Ia mengaku tidak bisa membeli harga gabah dari tingkat petani di atas Rp 1.800/kg,
pasalnya kualitas gabah di tingkat petani saat ini jelek, karena kadar air dalam gabah cukup
tinggi.
"Jika kadar air dalam gabah semakin tinggi, harga gabah semakin turun. Kami juga kesulitan
mengeringkan gabah di tempat penggilingan dengan cuaca hujan saat ini," katanya.
Dia menambahkan, pihaknya menggunakan pengering untuk mengeringkan gabah yang
basah. Menurut dia, pengering yang dimiliki para penggiling padi sangat terbatas, sehingga
bila kadar air dalam gabah sangat tinggi maka akan sulit sekali mengeringkannya.
Sesuaikan Harga
Sementara itu, sejumlah organisasi tani mendesak pemerintah menyesuaikan harga patokan
pembelian (HPP) pemerintah untuk gabah kering panen sekitar 30 persen menjadi Rp
2.600/kg dari harga patokan saat ini Rp 2.000/kg, demi meningkatkan margin keuntungan
petani.
Ketua Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), Agusdin Pulungan menilai,
penyesuaian itu mendesak dilakukan karena naiknya biaya produksi, sehingga mengurangi
pendapatan petani Rp 310.208 per bulan setiap musim tanam, yang berlangsung setiap
empat bulan.
"HPP sebesar Rp 2.000 sudah tidak layak lagi karena kenaikan biaya produksi dan biaya
hidup yang sudah memberatkan petani," ujarnya.
Berkhas
11
Volume VI Maret 2008
Suara Pembaruan
Selasa, 04 Maret 2008
Dia menyebutkan, dengan HPP GKP Rp 2.600/kg, petani akan mendapatkan pendapatan
ekstra untuk mencukupi kebutuhan hidup yang tinggi akibat kenaikan bahan pangan rata-rata
17 persen. Dengan menaikkan HPP GKP menjadi Rp 2.600/kg, pendapatan hasil usaha yang
diperoleh petani padi setiap lahan seluas 0,3 ha bisa bertambah menjadi Rp 109.483 per
bulan setiap musim tanam.
Menjawab desakan tersebut, Menteri Anton Apriyantono menilai harga patokan pembelian
(HPP) gabah oleh pemerintah yang ditetapkan dalam Inpres No 3/2007 tentang Perberasan
dinilai masih layak, karena itu pemerintah belum akan mengubah kebijakan itu.
"Boleh-boleh saja HPP gabah petani dinaikkan. Tetapi perlu dikaji ulang, karena hal itu
menyangkut kemampuan daya beli masyarakat. Apalagi 75 persen pendapatan rakyat miskin
untuk membeli beras," ujar Mentan Anton Apriyantono.
Menurut Mentan, HPP saat ini membuat harga pangan terjangkau masyarakat, yang daya
belinya rendah. [L-11]
Berkhas
12
Volume VI Maret 2008
Kompas
Rabu, 05 Maret 2008
Libe r a lisa si Ta n a m a n Pa n ga n
Te k nik Budida ya Pe t a ni Ke cil D idorong k e " Corpora t e
Fa rm ing"
Jakarta, Kompas - Departemen Pertanian tengah menyusun kerangka kebijakan untuk
mendorong investasi seluas-luasnya pada subsektor tanaman pangan, yang selama ini
menjadi basis usaha petani kecil. Selain mendongkrak produksi, juga memanfaatkan
momentum gejolak pangan dunia agar bisa menjadi eksportir.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, Selasa (4/2) di
Jakarta, mengungkapkan, peningkatan permintaan komoditas pangan dunia harus bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya.
”Produksi tanaman pangan seperti beras, jagung, dan kedelai harus ditingkatkan. Tidak cuma
itu, tingginya harga komoditas pangan dunia juga bisa dijadikan peluang ekspor,” katanya.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Djoko Said Damardjati
menjelaskan, selama ini ada pembatasan investasi untuk subsektor tanaman pangan. Itu
karena subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup petani kecil dengan kepemilikan lahan
kurang dari 3.000 meter persegi, setidaknya di Pulau Jawa. ”Untuk menghindari ’benturan’,
saat ini pemerintah tengah menata ulang pemanfaatan hak guna usaha (HGU) tanaman
pangan,” katanya.
”Kalau saya memahami subsektor tanaman pangan untuk skala kecil masuk dalam daftar
negatif investasi, karena itu seakan-akan tidak ada penerbitan HGU untuk tanaman pangan,”
katanya.
Dalam Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 disebutkan komoditas tanaman
pangan masuk dalam kategori bidang usaha dengan kepemilikan asing dibatasi. Budidaya
padi, jagung, ubi kayu, dan jenis tanaman pangan lain dengan luas lebih dari 25.000 hektar
kepemilikan asing maksimal 95 persen.
Menurut Djoko, meskipun ada peluang investasi di komoditas tanaman pangan dibuka waktu
itu, belum banyak investor yang tertarik. Baru setelah terjadi lonjakan harga pangan dunia
berbasis biji-bijian, banyak investor yang mulai tertarik membudidayakan padi, jagung,
kedelai, dan ubi kayu.
Redefinisi
Djoko menjelaskan, saat ini Deptan tengah menata ulang sekaligus meredefinisi
pemanfaatan HGU. ”Kalau sebelumnya pemberian HGU berbasis komoditas, ke depan akan
diselaraskan dan berbasis pada sistem budidaya,” katanya.
Misalnya saja untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai. Investor nasional maupun asing
boleh masuk asal mereka membudidayakan tanaman pangan itu dengan luas minimal 5.000
hektar.
Dengan begitu, budidaya padi, jagung, dan kedelai untuk lahan lebih dari 5.000 hektar tidak
masuk dalam kategori tanaman pangan, tetapi masuk dalam subsektor perkebunan. ”Tetapi
formulanya yang tepat sedang kami bahas dan dikaji ulang, selanjutnya akan diusulkan
dalam peraturan presiden,” katanya.
Sutarto menambahkan, dengan masuknya investasi swasta di subsektor tanaman pangan,
mau tidak mau petani harus bersaing langsung dengan perusahaan besar.
Berkhas
13
Volume VI Maret 2008
Kompas
Rabu, 05 Maret 2008
”Karena itu, petani harus membangun kelompok dengan sistem corporate farming. Di mana
ada pengelompokan lahan dan kerja sama pengelolaan, lalu ada pembagian hasil supaya
terjadi efisiensi, dan produknya bisa bersaing,” katanya. (MAS)
Berkhas
14
Volume VI Maret 2008
Pikiran Rakyat
Rabu, 05 Maret 2008
Ca da n ga n Pa n ga n RI Kr it is
Ba nk D unia , " Bisa Ja di M a sa la h Se rius"
JAKARTA, (PR).Bank Dunia memperingatkan bahwa cadangan pangan Indonesia berada dalam titik terendah
sehingga bisa menjadi masalah serius jika tidak diatasi sejak awal. "Cadangan pangan
berada di titik terendah itu terjadi di seluruh dunia, saya sudah bilang pada Juni 2007 lalu, itu
menjadi peringatan untuk kita," ujar Deputi Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi di
Jakarta, Selasa (4/3).
Ia menyebutkan, cadangan pangan dunia turun hampir separuh yang kemudian
menyebabkan kenaikan harga pangan pada saat ini. Menurut dia, kenaikan harga pangan
dunia juga diperparah dengan kondisi pasar keuangan dunia (pasar uang dan pasar modal)
yang tidak terlalu menggembirakan karena suku bunga global (khususnya) di AS yang sangat
rendah.
Dengan kondisi seperti itu, saat ini banyak sekali investor yang beralih ke pasar komoditas
sehingga yang banyak bergerak adalah paper market (bursa berjangka) dari komoditas.
"Ini menurut saya adalah situasi baru yang terjadi dalam 20 tahun terakhir. Ini saya kira harus
direspons seluruh pengambil kebijakan di dunia termasuk Indonesia. Kita belum memutuskan
apa yang akan kita lakukan untuk meredam dampak negatif dari fluktuasi yang diakibatkan
oleh spekulasi dan bergeraknya bursa berjangka dari komoditas. Ini yang sedang kita cari
bersama-sama," katanya.
Menurut dia, dalam waktu tidak terlalu lama jika harga minyak kelapa sawit (CPO) dan
kedelai terus naik maka konsumennya tidak akan kuat membeli. "Ini yang jadi problem bagi
semua dan saya kira ini akan direspons oleh semua," katanya.
Sementara itu, Ketua Litbang Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Prof. H.
Maman Haeruman mengatakan bahwa penilaian dari Bank Dunia itu perlu diperhatikan. Ini
setidaknya bagi daerah Jabar, di mana langkah pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
potensi ketahanan pangan terindikasi belum jelas dari waktu ke waktu.
Jalan pintas
Ia mencontohkan, selama ini Pemprov Jabar terkesan belum seimbang dalam
menyosialisasikan ketahanan pangan karena masih terfokus kepada produksi beras.
Padahal, sumber pangan diketahui ada pula dari jagung, kedelai, dan sejumlah jenis
tanaman palawija lainnya.
"Kondisi demikian diperparah dengan sikap pemerintah pusat yang cenderung masih memilih
jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, ketergantungan pangan dari
produk impor masih besar, terutama beras, jagung, dan kedelai," ujar Maman.
Di lain pihak, katanya, adalah alih fungsi lahan yang sangat tinggi terjadi sehingga areal
pertanian dan sumber cadangan air cepat menyusut setiap tahun. Ini menunjukkan adanya
indikasi minimnya koordinasi antarlembaga terkait, antara bidang pertanian, permukiman,
industri dan perdagangan, dll.
Kondisi-kondisi itu, menurut Maman, menjadikan usaha pertanian untuk pemenuhan pangan
di Jabar selalu terganggu. Apalagi, insentif bagi para petani sejauh ini belum menarik, yang
membuat mereka tergiring menjual lahan.
Berkhas
15
Volume VI Maret 2008
Pikiran Rakyat
Rabu, 05 Maret 2008
"Ikut menentukan pula, sejauh mana kejujuran dari para aparat pemerintah daerah dalam
menunjukkan data akurat di lapangan. Selama ini, data yang dimunculkan dalam
pembahasan pangan, lebih banyak yang bagusnya, sedangkan data penyusutan produksi
dan penurunan areal jarang dimunculkan," katanya. (A-81/Dtc)***
Berkhas
16
Volume VI Maret 2008
Republika
Rabu, 05 Maret 2008
Be la j a r Ke t a h a n a n Pa n ga n da r i Cir e n de u
Leuwigajah tak hanya menyimpan cerita tragis soal longsornya gunungan sampah pada 21
Februari 2005. Cirendeu, salah satu desa di dekat TPA Leuwigajah, yang selamat dari
tragedi itu, punya cerita memikat tentang ketahanan pangan.
Jauh sebelum Peraturan Pemerintah (PP) No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan disahkan,
ketahanan pangan sudah menjadi tradisi di desa yang terletak di Cimahi, Jawa Barat, ini.
Saat Orde Baru pada 1995 mencapai swasembada beras dan kemudian menyeragamkan
makanan pokok, orang Cirendeu cuek saja.
Mereka tetap setia pada singkong, yang diolah sedemikian rupa sehingga saat dihidangkan
di atas meja makan, nyaris tak ada bedanya dengan nasi dari beras. Makanan khas tersebut
bernama rasi. Rasi merupakan akronim dari beras singkong.
Mulanya, warga Cirendeu mengonsumsi beras, seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Tapi, sejak 1924, mereka beralih ke singkong. Bukan karena tak bisa menanam padi atau tak
punya uang, mereka --berangkat dari kearifan lokal mencoba hidup lebih realistis. ''Para
pendahulu kami tahu bahwa di masa depan manusia akan semakin banyak, sedangkan
lahan untuk sawah akan semakin sedikit,'' ujar Ketua Forum Cirendeu Pojok, Asep Abbas,
pekan lalu.
Kesadaran tersebut, kata Asep, semakin menguat menyusul terjadinya kelaparan di desa itu.
Saat itu, tutur Asep, Belanda yang menguasai wilayah Jawa Barat, merampas hasil bumi
termasuk beras di desa yang dihuni 60 kepala keluarga (KK) itu. Bingung melihat persoalan
itu, sesepuh Cirendeu, Haji Nur Ali, kemudian bertanya kepada seorang tokoh bernama
Pangeran Madrais. Petunjuknya ternyata sederhana, kalau tak adanya beras membuat
masyarakat di sana kelaparan, ya berhenti mengonsumsi beras.
Pesan sederhana yang diperoleh dengan cara berguru itu, kemudian disampaikan Haji Nur
Ali kepada warga Cirendeu. Sebagai gantinya, masyarakat diminta mengonsumsi singkong.
''Mulanya masyarakat tak biasa. Bingung,'' kata tokoh masyarakat Cirendeu, Emen Sunarya.
Tapi, kelapangan hati untuk mematuhi pesan sesepuh, membuat masyarakat Cirendeu
mengonsumsi umbi bernama latin Manihot utilisima itu. Bila mulanya mereka hanya merebus,
belakangan mereka menemukan keterampilan untuk membuat singkong tampil mirip nasi.
Rasi dibuat dengan cara memarut singkong. Parutan diperas, kemudian airnya mereka
diamkan semalam. Selanjutnya aci-nya dipisahkan untuk dijual lagi sebagai kanji dan gaplek.
Ampasnya yang masih menyisakan sedikit sari singkonglah yang dijadikan rasi. Setelah
ampas itu dikeringkan, kemudian ditumbuk sampai halus. Dalam kondisi seperti ini, rasi bisa
disimpan sampai tiga tahun. Saat hendak dihidangkan, tinggal dicampur air dingin sehingga
membentuk gumpalan-gumpalan mirip butiran beras, lalu dikukus 10 menit.
Tapi, bergizikah rasi yang sudah dikeluarkan sari patinya itu? Laboratorium Institut Teknologi
Pangan Institut Pertanian Bogor telah menelitinya. Hasilnya, setiap 100 gram rasi, ada energi
359 kkal, protein 1,4 gram, lemak 0,9 gram, dan karbohidrat 86,5 gram.
Bandingkan dengan beras yang setiap 100 gram mengandung energi 360 kkal, protein 6,8
gram, lemak 0,7 gram, dan karbohidrat 78,9 gram. Atau, bandingkan dengan tepung terigu,
yang per 100 gram mengandung energi 365 kkal, protein 8,9 gram, lemak 1,3 gram, dan
karbohidrat 77,3 gram. Selain itu, singkong yang menjadi bahan baku