ARB KABUPATEN SLEMAN 2014.
(2)
(3)
komprehensif jika diimbangi dengan adanya suatu kajian terhadap kebencanaan yang dapat menjadi kendala pengembangan wilayah seperti tertuang dalam RTRW, atau bahkan suatu kajian kebencanaan ini nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan tertentu terhadap rencana pengembangan wilayah atau ketahanan wilayah yang telah berlangsung sekarang.
Penelitian yang berkaitan dengan analisis dan pengkajian terhadap Risiko bencana merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak Risiko bencana yang ditimbulkan, selain bertujuan untuk melahirkan program dan rekomendasi pengurangan risiko bencana yang terintegrasi dan mudah disosialisasikan kepada masyarakat.
Keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam mengurangi Risiko bencana dengan mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan mereka adalah sangat penting. Melalui program Pengelolaan Bencana Berbasis Masyarakat, sasarannya adalah untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana di Kabupaten Sleman untuk bersama-sama bekerja mengurangi dampak dari bencana yang dapat berpengaruh kepada mereka.
Kajian Analisa Risiko Bencana akan memberikan nilai penting dalam mendukung masyarakat Kabupaten Sleman untuk menyiapkan kesiagaan dan ketahanan jangka panjang masyarakat di lingkungannya dalam menghadapi bencana tak terduga akibat berbagai macam kejadian alam yang dapat terjadi kapan saja.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan bekerjasama dalam kegiatan ini, semoga kajian ini dapat bermanfaat terutama dalam penyusunan kebijakan-kebijakan kelanjutan terkait penanggulangan risiko bencana.
Yogyakarta, Oktober 2014
(4)
1.2.Rumusan Masalah 1-1
1.3.Maksud dan Tujuan 1-2
BAB 2. METODOLOGI
2.1. Pengertian Dasar II-1
2.2. Konsep Penanggulangan Bencana II-1
2.3. Konsep Umum II-4
2.4. Prinsip Pengkajian Risiko Bencana II-4 2.5. Fungsi Pengkajian Risiko Bencana II-5
2.6. Metode Penghitungan Indeks II-5
2.7. Pembobotan Faktor (AHP) II-8
2.8. Teknik GIS untuk Analisis Pemetaan Risiko II-9
2.9. Indeks Ancaman Bencana II-12
2.10. Indeks Kerentanan II-19
2.11. Indikator HFA II-21
2.12. Metode Penghitungan Indeks Kapasitas II-24 2.13. Pengkajian Risiko Bencana II-25 BAB 3. GAMBARAN UMUM
3.1. Gambaran Umum Kabupaten Sleman III-1 3.2 Potensi Bencana di Kabupaten Sleman III-7
BAB 4. ANALISIS DATA ANCAMAN IV-1
BAB 5. ANALISIS DATA KERENTANAN V-1
BAB 6. ANALISIS DATA KAPASITAS VI-1
BAB 7. ANALISIS DATA RISIKO VII-1
BAB 8. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI VIII-1 DAFTAR PUSTAKA
(5)
komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi atau lingkungan yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (Anonim, 2007).
Kabupaten Sleman hingga saat ini telah mencapai perkembangan yang cukup signifikan baik pada sektor pengembangan infrastruktur, pengembangan kawasan permukiman, pengembangan kawasan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia secara umum serta pembangunan lainnya. Kondisi ini tentunya perlu mendapatkan jaminan keberlangsungan dan keamanan dari berbagai aspek yang akan melemahkan dan atau menurunkan kualitas hasil pembangunan, baik oleh sebab lain maupun oleh potensi bencana yang mengancam.
Dengan memandang potensi bencana sebagai ancaman terhadap kelestarian dan keamanan sumber daya dan investasi, maka dengan demikian perlu dilakukannya suatu Kajian analisa Risiko bencana di wilayah Kabupaten Sleman. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan gambaran kondisi riil eksisting serta implikasinya terhadap kebijakan guna pengambilan kebijakan dan perencanaan pembangunan di Kabupaten Sleman.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah disampaikan di atas maka selanjutnya peneliti akan membatasi masalah-masalah tersebut untuk diteliti dan dikaji hanya pada hal-hal sebagai berikut:
(6)
Maksud dari kajian penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengintegrasikan program pengurangan Risiko bencana sebelum terjadi harus berbasis dan mengakar pada masyarakat dengan didukung dana memadai.
2. Memberikan informasi kerentanan dan Risiko dapat digunakan untuk menambah kesadaran publik pada umumnya, sebagai masukan bagi warga masyarakat dalam hal pendidikan atau program penyadaran publik yang terkait dengan Risiko bencana, khususnya dalam penurunan Risiko atau mereduksi Risiko. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai oleh kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi ancaman bencana.
2. Menilai dampak dan mengelola Risiko bencana.
3. Menganalisis program-program yang dapat dilakukan untuk pengurangan Risiko bencana.
(7)
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau factor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU No. 24/2007).
• Bahaya (hazard) adalah suatu fenomena fisik atau aktivitas manusia yang berpotensi merusak, yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau cidera, kerusakan harta-benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan (ISDR, 2004).
• Risiko (risk) adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak atau kerugian yang sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang, terganggunya harta benda, penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara bahaya yang ditimbulkan alam atau diakibatkan manusia serta kondisi yang rentan
(ISDR,2004).
II.2 KONSEP PENANGGULANGAN BENCANA
Konsep penanggulangan bencana dimaksudkan untuk memperkecil dampak negative dari bencana alam dan kegiatan/usaha antara lain pencemaran udara, pencemaran air permukaan, pencemaran tanah dan air tanah, serta pengurangan flora dan fauna serta adanya korban jiwa.
(8)
Gambar Upaya Pengelolaan Bencana
❖ Tugas Pemerintah
1. Penanggulangan Risiko Bencana dan pemaduan dengan pembangunan. 2. Pelindungan masyarakat dari dampak bencana.
3. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi sesuai standar pelayanan minimum.
4. Pemulihan kondisi dari dampak bencana. 5. Pengalokasian anggaran.
6. Pengalokasian dana siap pakai.
❖ Hak Dan Kewajiban Masyarakat
1. Mendapatkan pelindungan dan rasa aman
2. Mendapatkan pelatihan penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. 3. Mendapatkan informasi tentang kebijakan Penanggulangan Bencana. 4. Berperan serta dalam penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. 5. Melakukan pengawasan sesuai mekanisme.
(9)
Gambar Bagan Alir Metodologi Penyusunan Analisis Risiko Bencana
Pendekatan pada kegiatan kajian analisis Risiko bencana dilakukan dengan pendekatan deduktif yakni merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif, yakni jenis penelitian yang hanya menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel. Dalam penelitian ini, akan dijabarkan kondisi konkrit dari obyek penelitian, menghubungkan satu variabel atau kondisi dengan variabel atau kondisi lainnya dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang obyek penelitian.
(10)
II.3. KONSEP UMUM
Kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan.
Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada :
1. Tingkat ancaman kawasan;
2. Tngkat kerentanan kawasan yang terancam; 3. Tingkat kapasitas kawasan yang terancam.
Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 komponen risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana disuatu kawasan. Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana.
Upaya pengurangan risiko bencana berupa : 1. Memperkecil ancaman kawasan;
2. Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam; 3. Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.
(11)
lokal masyarakat;
3. kemampuan untuk menghitung potensi jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan;
4. kemampuan untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko bencana
II.5. FUNGSI PENGKAJIAN RISIKO BENCANA
Pada tatanan pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana. Kebijakan ini nantinya merupakan dasar bagi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana yang merupakan mekanisme untuk mengarusutamakan penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan.
Pada tatanan mitra pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk melakukan aksi pendampingan maupun intervensi teknis langsung ke komunitas terpapar untuk mengurangi risiko bencana. Pendampingan dan intervensi para mitra harus dilaksanakan dengan berkoordinasi dan tersinkronasi terlebih dahulu dengan program pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pada tatanan masyarakat umum, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai salah satu dasar untuk menyusun aksi praktis dalam rangka kesiapsiagaan, seperti menyusun rencana dan jalur evakuasi, pengambilan keputusan daerah tempat tinggal dan sebagainya.
Komponen pengkajian risiko bencana terdiri dari ancaman, kerentanan dan kapasitas. Komponen ini digunakan untuk memperoleh tingkat risiko bencana suatu kawasan dengan menghitung potensi jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Selain tingkat risiko, kajian diharapkan mampu menghasilkan peta risiko untuk setiap bencana yang ada pada suatu kawasan. Kajian dan peta risiko bencana ini harus mampu menjadi dasar yang memadai bagi daerah untuk menyusun kebijakan
(12)
Pengkajian Risiko Bencana disusun berdasarkan indeks-indeks yang telah ditentukan. Indeks tersebut terdiri dari Indeks Ancaman, Indeks Penduduk Terpapar, Indeks Kerugian dan Indeks Kapasitas. Kecuali Indeks Kapasitas, indeks-indeks yang lain amat bergantung pada jenis ancaman bencana. Indeks Kapasitas dibedakan berdasarkan kawasan administrasi kajian. Pengkhususan ini disebabkan Indeks Kapasitas difokuskan kepada institusi pemerintah di kawasan kajian.
Kabupaten Sleman secara garis besar memiliki 7 Ancaman Bencana. Ancaman tersebut adalah :
1. Erupsi Gunung Merapi 2. Aliran/Banjir Lahar 3. Gempabumi 4. Gerakan Tanah
5. Angin Putting Beliung 6. Kebakaran
7. Kekeringan
Peta Risiko Bencana dan Kajian Risiko Bencana harus disusun untuk setiap jenis ancaman bencana yang ada pada daerah kajian. Rumus dasar umum untuk analisis risiko yang diusulkan dalam 'Pedoman Perencanaan Mitigasi Risiko Bencana' yang telah disusun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (Peraturan Daerah Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008) adalah sebagai berikut:
R
≈
H + ( V /C )
dimana:
R : Disaster Risk Risiko Bencana
H : Hazard Threat Frekuensi (kemungkinan) bencana tertentu cenderung terjadi dengan intensitas tertentu pada lokasi tertentu
(13)
Untuk analisis risiko kuantitatif untuk semua jenis dampak, set parameter empiris yang luas dan indikator akan diperlukan, didukung oleh penelitian yang luas. Penelitian tersebut secara global hanya dalam tahap awal dan data yang dapat dipercaya lokal pada khususnya sensitivitas masih jauh dari tersedia. Analisis pemetaan risiko ini menggunakan semi-kuantitatif, yang menggunakan faktor pembobotan dan nilai-nilai indeks. Pendekatan ini adalah pendekatan yang umum digunakan di beberapa analisis risiko bencana dan pemetaan di luar Indonesia.
Indikator yang digunakan untuk analisis Risiko semi-kuantitatif akan dipilih didasarkan pada kesesuaian dan ketersediaan. Rumus 'R = H * V / C' yang dijelaskan di atas masih berlaku, namun akan berisi nilai indeks bukan nilai riil. Dalam analogi Human Development Index (HDI) dari UNDP, untuk membuat indeks sebanding setidaknya dalam dimensi, indeks yang digunakan dalam analisis yang dikonversi menjadi nilai antara 0 dan 1, dimana 0 merupakan nilai minimum indikator asli, dan 1 merupakan nilai maksimum. Dalam kasus dengan angka rendah yang banyak dan beragam dalam jumlah yang kadang-kadang tinggi, akan dilakukan konversi logaritmik (Log 10) daripada konversi 'linier'.
Inti dari metodologi pemetaan risiko adanya suatu struktur pohon indikator, dimana indeks risiko membentuk akar akhir dari analisis. Dalam kebanyakan kasus indeks menengah dihitung berdasarkan penjumlahan indeks dikalikan dengan faktor pembobotan, dan dalam beberapa kasus pada perkalian dari indeks (seperti indeks risiko itu sendiri). Penilaian faktor pembobotan akan dilakukan berdasarkan dokumen rujukan nasional dan internasional.
Untuk analisis pemetaan kombinasi lapisan GIS berbasis vektor dan grid akan digunakan, dimana data terutama disimpan dengan menggunakan strukturvektor, dimana indeks dapat dihasilkan dalam format grid. Jika sudah ada peta bahaya (SNI)makaindeks peta bahaya dapat diturunkan langsung dari sumber-sumber ini. Untuk penyusunan peta kerentanan dan kapasitas penggunaan peta secara
(14)
HIERARCHY PROCESS (AHP)
Skala I ntensitas
Kepentingan
Keterangan
1 Sama Kedua elemen sama pentingnya. Dua elemen mempunyai
pengaruh yang sama besar
3 Sedikit lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen
yang lainnya. Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya
5 Lebih penting Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya.
Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya
7 Sangat penting Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen
lainnya. Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktek.
9 Mutlak penting Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya. Bukti
yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.
2, 4, 6, Nilai menengah Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang
(15)
terbaik diperoleh melalui konsensus pendapat para ahli. Suatu metodologi muncul ke sebuah konsensus tersebut adalah Analytic Hierarchy Process (AHP). Metodologi ini telah dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dimulai pada tahun 1970, dan awalnya dimaksudkan sebagai alat untuk pengambilan keputusan. AHP adalah suatu metodologi pengukuran melalui perbandingan pasangan-bijaksana dan bergantung pada penilaian para pakar untuk mendapatkan skala prioritas. Inilah skala yang mengukur wujud secara relatif. Perbandingan yang dibuat dengan menggunakan skala penilaian mutlak, yang merepresentasikan berapa banyak satu indikator mendominasi yang lain sehubungan dengan suatu bencana tertentu.
Fundamental Skala AHP untuk Perbandingan
Skala pasangan-bijaksana ini diletakkan bersama dalam suatu matriks, dengan semua indikator sepanjang kolom dan baris. Faktor pembobotan diperoleh dengan menghitung eigenvektor dari matriks, dan kemudian menormalkan hasil untuk total 1. Dikatakan bahwa metodologi AHP memberikan hasil lebih baik jika eigenvektor tidak diambil langsung dari matriks tetapi diambil dari iterasi dari perkalian matriks pada dirinya sendiri (lihat Tabel di bawah).
II.8. TEKNIK GIS UNTUK ANALISIS PEMETAAN RISIKO
Metodologi Pemetaan Risiko dalam manual ini bergantung pada luas pada penggunaan teknik-teknik GIS. Dalam proses Peta Indeks Ancaman, Kerentanan, Kapasitas dan Risiko, antara lain teknik analsisis grid yang digunakan:
Geologi Kelerenga n Tata Guna
Lalian
Hidro- Total Dinorma
lisasi
Diiterasi
Geologi 10,000 10,000 50,000 30,000 100,000 0,3788 0,3899
Kelerengan 10,000 10,000 50,000 30,000 100,000 0,3788 0,3899
Tata Guna Lalian
0,2000 0,2000 10,000 0,3333 17,333 0,0657 0,0679
Hidrogeolo 0,3333 0,3333 30,000 10,000 46,667 0,1768 0,1524
(16)
6. Klasifikasi dan penurunan grid pada kontur dari layer grid 7. Persiapan rangkuman statistik dan histografis
Rincian tentang bagaimana melakukan teknik-teknik ini tergantung pada perangkat lunak GIS yang digunakan, dan secara rinci dijelaskan dalam manual dan membantu file yang menyertai perangkat lunak ini. Dalam Tabeldi bawah ini adalah pengantar yang diberikan pada teknik-teknik yang disebutkan di atas.
Teknik Analisis Grid yang Fundamental 1. Membuat Grid
Grid merupakan komponen struktural dasar untuk contouring, pemodelan, dan menampilkan data spasial. Grid dapat dianggap sebagai tipe data spasial keempat setelah poligon, garis, dan titik. Sebuah grid terdiri dari sel-sel persegi yang teratur diatur di atas daerah tertentu. Setiap sel memiliki simpul, yang merupakan titik pusatnya. Setiap sel dapat diberi angka dan warna mewakili nilai. Jika ada beberapa sel diantara dua lokasi yang dikenal, seperti dua garis kontur, perubahan warna menunjukkan bagaimana nilai-nilai berubah diantara lokasi. Ada sejumlah cara untuk membuat grid:
> Interpolasi: Interpolasi adalah proses estimasi nilai grid menggunakan
pengamatan yang terukur dari file titik. Nilai-nilai baru dihitung dari titik awal pengamatan bentuk permukaan, grid kontinyu merata spasi bahwa "mengisi celah" antara titik non-kontinyu. Banyak rumus-rumus matematika dapat diterapkan untuk mengestimasi atau interpolasi nilai grid dari titik file yang ada. Tidak ada solusi yang sempurna, dan banyak teknik yang digunakan, di antaranya yang paling umum adalah Triangulation (TIN), Invers Distance Weighting (IDW), Natural Neighbor (NN atau diagram Voronoi) dan Kriging. Validitas dari setiap metode tergantung sepenuhnya pada
(17)
MapInfo menggunakan grid MapInfo (*.mig) dan Vertical Mapper menggunakan grid sendiri (*.grd untuk grid numerik dan *.grc untuk grid terklasifikasi). Kebanyakan software GIS mendukung konversi paling sedikit beberapa grid yang biasa digunakan. Sebuah alat GIS yang mendukung konversi berbagai grid adalah Global Mapper.
> Konversi poligon menjadi grid: Dalam banyak kasus informasi spasial yang digunakan dalam grid tersedia dalam format poligon (seperti banyak informasi yang tersedia per wilayah administrasi). Konversi antara jenis ini biasanya lurus ke depan. Tergantung pada jenis informasi yang dikonversi, hasil akhirnya akan menjadi grid numerik, atau grid kelas. Perhatian harus diambil dengan proyeksi dari mana konversi dilakukan, ukuran grid yang dipilih, dan untuk grid numerik, jenis grid yang dipilih (integer atau float).
2. Penggabungan dan pemotongan layer grid
Penggabungan grid sering digunakan ketika beberapa file grid yang mencakup wilayah studi perlu digabungkan ke dalam grid tunggal, atau bila Anda ingin membuat grid yang memiliki nilai tertinggi / terendah dari semua grid input. Nilai kosong yang terkandung dalam salah satu grid diproses diabaikan. Pemotongan grid secara khusus berguna untuk pemotongan file grid ke neatline peta standar. Margin luar dari berbagai file grid dapat didefinisikan menggunakan poligon yang telah ditetapkan.
3. Definisi rentang warna
Penggunaan warna adalah cara yang efektif untuk memberi makna pada penyimpanan data yang besar. Tampilan data grid dalam aplikasi GIS dicapai dengan menetapkan rentang nilai warna (atau landai warna), ditetapkan oleh serangkaian titik infleksi warna, untuk setiap sel grid yang didasarkan pada nilai numerik atau karakter yang bertugas untuk itu. „Warna landai" yang berbeda harus didefinisikan untuk topik yang berbeda (jadi berbeda untuk peta bahaya, peta
(18)
dan grid jarak. Sebagaimana yang berlaku untuk geometri grid, lereng adalah pengukuran dari "kecuraman" dari sel grid dalam ruang tiga-dimensi dan oleh karenanya paling berlaku untuk permukaan ketinggian. Lereng adalah parameter yang paling penting untuk peta risiko longsor. Dalam aplikasi GIS vektor, Anda dapat membuat peta daerah sekitar benda pada jarak yang telah ditetapkan. Anda tidak bisa, bagaimanapun, menentukan jarak dalam wilayah penyangga. Misalnya, jika jalan raya adalah disangga pada jarak satu kilometer, Anda tidak akan dapat menentukan jarak yang tepat yang jatuh di kawasan penyangga (misalnya, 750 m atau 300 m). Dalam raster berbasis nilai dari setiap sel dalam kotak buffer dihitung sebagai jarak ke objek input terdekat. Sebagai hasilnya, Anda dapat menentukan jarak yang tepat di wilayah buffer.
5. Perhitungan grid
Perhitungan grid diperlukan untuk melakukan ekspresi matematis pada grid. Ekspresi matematis ini harus bisa menggabungkan operator matematis dengan fungsi yang telah ditetapkan. Kemampuan ini diperlukan untuk penyusunan indeks dan untuk menghitung indeks akhir berdasarkan faktor-faktor bobot. Raster berbasis software GIS biasanya menyediakan fungsi ini dalam bentuk 'kalkulator grid'.
6. Klasifikasi grid dan penurunan kontur dari layer grid
Klasifikasi dari grid istirahat yang dibutuhkan untuk membantu interpretasi. Interpretasi sering dibuat dalam bentuk penilaian seperti 'Risiko tinggi', 'risiko menengah' dan 'risiko rendah'. Dalam kasus ini diinginkan untuk menunjukkan jalan penuh warna nilai-nilai, kelas-kelas ini juga dapat ditampilkan pada peta dalam bentuk kontur. Sejak persiapan kontur bisa menjadi sangat memakan waktu dalam kasus grid sangat tidak teratur, jalan pintas dapat dibuat dengan membuat grid kelas satu, dan mengkonversikannya ke poligon. Dalam hal yang ujung-ujungnya menyerupai kontur diperlukan.
(19)
grid peta, dibagi per sub-area. Di samping itu informasi mengenai ukuran dari "risiko tinggi, 'risiko menengah' dan 'risiko rendah' akan sangat berharga (informasi histogram).
II.9. INDEKS ANCAMAN BENCANA
Indeks Ancaman Bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan terjadi suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang terjadi tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan data dan catatan sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah. Dalam penyusunan peta risiko bencana, komponen-komponen utama ini dipetakan dengan menggunakan Perangkat GIS. Pemetaan baru dapat dilaksanakan setelah seluruh data indikator pada setiap komponen diperoleh dari sumber data yang telah ditentukan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Komponen dan indikator untuk menghitung Indeks Ancaman Bencana dapat dilihat pada tabel berikut :
BENCANA KOMPONEN/ INDIKATOR
KELAS INDEKS BOBO T
TOTAL
BAHAN RUJUKAN
RENDAH SEDANG TINGGI
Tanah Longsor
Peta Bahaya Gerakan Tanah (divalidasi dengan data kejadian)
Rendah (zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah - rendah) Sedang (zona kerentan an gerakan tanah me nengah) Tinggi (zona kerentanan gerakan tanahtinggi)
100% Panduan dari
Badan Geologi Nasinal-ESDM
(20)
Letusan Gunung Api
Peta KRB (divalidasi dengan data kejadian)
KRB I KRB II KRB III 100% Panduan dari Badan Geologi Nasional-ESDM Kekeringan PetaBahaya Kekeringan Zona bahaya sangat rendah -rendah Zona bahaya Sedang Zona bahaya tinggi -Sangat Tinggi
100% Panduan dari BMKG - Kementerian Pertanian Cuaca Ekstrim (Angin Putting Beliung)
1 Lahan terbuka Skor Bahaya=0.3333 *Lahan
Terbuka+0.3333*(1-Kemiringan
Lereng)+0.3333*((Curah Hujan Tahunan)/5000)
33.33% Panduan dari BMKG
2 Kemiringan Lereng 33.33%
3 Curah Hujan
Tahunan
33.33%
Skor Bahaya < 0,34 0,34 - 0,66 >0,67 Kebakaran Hutan & Lahan 1 2 3
Jenis Hutan dan lahan Hutan Lahan Perkebunan Padang rumput kering dan belukar, lahan pertanian
40% Panduan dari
Kementerian Kehutanan
Iklim Penghujan
Penghujan-kemarau
Kemarau 30% Panduan dari BMKG
(21)
Gedung & Pemukiman
kejadian) (60%)
Damkar-Kementerian Dalam Negeri 2 Dampak (40 %)
Kerugian Ekonomi)
< Rp 1 M Rp 1 M -3 M
> Rp 3 M 15%
3 (Korban) :
meninggal
- 1 orang > 1 orang 70%
4 Luka berat < 5 orang 5-10 orang > 10 orang 15% Epidemi & Wabah Penyakit Kepadatan timbulnya malaria(KTM) Skor Bahaya=(0.25*KTM/10+0.25*KTD B/5+0. 25* KTHIV/AIDS/(0.05)+0.25*KTC/5)* (Log(K epadatan
penduduk/0.01)/Log (100/0.01) )
25% Panduan dari
Kementerian Kesehatan Kepadatan timbulnya demam berdarah (KTDB) 25% Kepadatan timbulnya HIV/AIDS (KTHIV/AIDS) 25% Kepadatan timbulnya campak (KTC) 25% Kepadatan penduduk
Skor Bahaya < 0,34 0,34 - 0,66 >0,67
(22)
Kementerian Perhubungan Kapasitas (40 %) Industri
kecil Industri menengah Industri besar 100% Konflik Sosial 1 2 Frekuensi kejadian (historical) -60%
< 2x 2-3 x > 3 x 100% Panduan dari Kementerian
Sosial dan Polri
Dampak akibat kejadian
(historical) (40 %)
< 5 org 5-10 orang > 10 orang
100%
HAZARD
Identifikasi Jenis Ancaman (Hazard)
Untuk menentukan jumlah ancaman yang ada pada suatu daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kotagunakan data dari dibi (http://dibi.bnpb.go.id). Sesuai dengan jenis ancaman yang di Buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) terdapat 14 Jenis Bencana. Tidak semua provinsi memiliki semua jenis bencana tersebut.
Peta bahaya menentukan wilayah dimana peristiwa alam tertentu terjadi dengan frekuensi dan intensitas tertentu, tergantung pada kerentanan dan kapasitas daerah tersebut, yang dapat menyebabkan bencana. Untuk sebagian besar bencana, intensitas tinggi hanya terjadi dengan frekuensi sangat rendah (bencana "kecil" terjadi lebih sering daripada bencana "besar"). Selanjutnya pada beberapa bahaya setempat dan lain-lain hampir merata.
(23)
c. Gunungapi (PVMBG) d. Banjir (PU dan Bakosurtanal)
e. Kekeringan (BMKG)
1. Gempabumi
Gunakan field Value untuk melakukan pengkelasan hazard, gunakan nilai berikut:
PGA Value Kelas Nilai Bobot
(%)
Skor
< 0.26 Rendah 1 0.333333
0.26-0.70 Sedang 2 100 0.666667
> 0.70 Tinggi 3 1.000000
Catatan : Nilai di atas digunakan ketika menyusun peta risiko. Untuk layout peta ancaman (hazard) gunakan sesuai dengan nilai asli dari tim 9.
2. Tanah Longsor
Gunakan field kerentanan. Jadikan nilai dari 4 kelas menjadi 3 kelas sesuai dengan kriteria di bawah
(24)
4. Banjir
Gunakan Field Kelas_Rawan. Hanya terdapat satu jenis kelas yaitu rawan banjir. Lakukan
overlay kelas rawan banjir tersebut dengan SRTM untuk mendapatkan ketinggian genangan.
Gunakan kelas skoring dibawah :
Kedalaman (m) Kelas Nilai Bobot
(%)
Skor
< 0.76 Rendah 1 0.333
333
0.76-1.5 Sedang 2 100 0.666
667
> 1.5 Tinggi 3 1.000
000
Zona Ancaman Kelas Nilai Bobot
(%)
Skor Gerakan Tanah Sangat Rendah , Rendah Rendah 1 0.333333
Gerakan Tanah Menengah Sedang 2 100 0.666667
Gerakan Tanah Tinggi Tinggi 3 1.000000
Kawasan Rawan Bencana (KRB)
Kelas Nilai Bobot
(%)
Skor
I Rendah 1 0.333333
II Sedang 2 100 0.666667
III Tinggi 3 1.000000
3. Gunungapi
Gunakan KRB dari PVMBG untuk hazard gunungapi. Kelas KRB sesuaikan dengan peta
Catatan : Cross check kelengkapan peta KRB ke PVMBG, gunakan titik gunungapi untuk mengetahui
(25)
5. Kekeringan
Gunakan field Acm_Kering. Rubah kelas yang ada dari 5 kelas menjadi 3 kelas. Lakukan skoring sesuai dengan kelas yang ada (tinggi, sedang, rendah)
Zona Ancaman Kelas Nilai Bobot
(%)
Skor
Sangat Rendah, Rendah Rendah 1 0.333333
Sedang Sedang 2 100 0.666667
Tinggi, Sangat Tinggi Tinggi 3 1.000000
Hazard Non SNI
Hazard non SNI merupakan peta ancaman yang belum diperoleh dari K/L terkait. Zonasi hazard ini harus ditentukan menggunakan metodologi yang telah ditentukan. Jenis ancaman non SNI meliputi :
a. Tsunami b. Konflik Sosial c. Kegagalan teknologi d. Epidemi dan Wabah Penyakit e. Kebakaran Gedung dan Permukiman f. Kebakaran Hutan dan Lahan
g. Cuaca Ekstrim
h. Gelombang Ekstrim dan Abrasi
2.10. Indeks Kerentanan
Peta kerentanan dapat dibagi-bagi ke dalam kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan ekologi/lingkungan. Kerentanan dapat didefinisikan sebagai Exposure kali Sensitivity. "Aset-aset" yang terekspos termasuk kehidupan manusia (kerentanan sosial), wilayah ekonomi, struktur fisik dan wilayah ekologi/lingkungan. Tiap "aset" memiliki sensitivitas sendiri, yang bervariasi per bencana (dan intensitas bencana). Indikator yang digunakan dalam analisis kerentanan terutama adalah informasi keterpaparan. Dalam dua kasus informasi disertakan pada komposisi paparan (seperti kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur). Sensitivitas
(26)
hanya ditutupi secara tidak langsung melalui pembagian faktor pembobotan.
Sumber informasi yang digunakan untuk analisis kerentanan terutama berasal dari laporan BPS (Provinsi/kabupaten Dalam Angka, PODES, Susenan, PPLS dan PDRB) dan informasi peta dasar dari Bakosurtanal (penggunaan lahan, jaringan jalan dan lokasi fasilitas umum). Informasi tabular dari BPS idealnya sampai tingkat desa/kelurahan. Sayangnya tidak ada sumber yang baik tersedia untuk sampai level desa, sehingga akhirnya informasi desa dirangkum pada level kecamatan sebelum dapat disajikan dalam peta tematik. Untuk peta batas administrasi sebaiknya menggunakan peta terbaru yang dikeluarkan oleh BPS. Gambar dengan komposisi indikator kerentanan ditunjukkan berikut ini:
Indeks Penduduk Terpapar
Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial budaya di kawasan yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk dan indikator kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena bencana. Indeks ini baru bisa diperoleh setelah Peta Ancaman untuk setiap bencana selesai disusun.Data yang diperoleh untuk komponen sosial budaya kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari nilai indeks dalam bentuk kelas (rendah, sedang atau tinggi), komponen ini juga menghasilkan jumlah jiwa penduduk yang terpapar ancaman bencana pada suatu daerah.
Kerentanan Sosial
Indikator yang digunakan untuk kerentanan sosial adalah kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Indeks kerentanan sosial diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk (60%), kelompok rentan (40%) yang terdiri dari rasio jenis kelamin (10%), rasio kemiskinan (10%), rasio orang cacat (10%) dan kelompok umur (10%).
Sesuai dengan indeks parameter dan bobot dalam Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, pada Kerentanan Sosial ada 5 parameter, Namun penentuan parameter Kerentanan Sosial disini menyesuaikan dengan keberadaan data yang dimiliki, yaitu parameter Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Rasio Kemiskinan. Sehingga bobot dari parameter menyesuaikan seperti tabel berikut ini :
(27)
Parameter Bobot (%) Kelas Skor Rendah Sedang Tinggi Kepadatan
Penduduk 60
< 500 jiwa/km2
500 - 1000 jiwa/km2
>1000 jiwa/km2
Kelas/Nilai Max Kelas Rasio Jenis
Kelamin 20
< 20 % 20-40 % >40 % Rasio
Kemiskinan 20
Indeks Kerugian
Indeks Kerugian diperoleh dari komponen ekonomi, fisik dan lingkungan. Komponen-komponen ini dihitung berdasarkan indikator-indikator berbeda Tergantung pada jenis ancaman bencana. Sama halnya dengan Indeks Penduduk Terpapar, Indeks Kerugian baru dapat diperoleh setelah Peta Ancaman untuk setiap bencana telah selesai disusun.
Data yang diperoleh untuk seluruh komponen kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari ditentukannya kelas indeks, penghitungan komponen-komponen ini juga akan menghasilkan potensi kerugian daerah dalam satuan rupiah.
Kerentanan Ekonomi
Parameter Bobot (%) Kelas Skor
Rendah Sedang Tinggi Lahan
Produktif 60 < 50 juta 50 - 200 juta >200 juta Kelas/Nilai Max Kelas PDRB 40 < 100 juta 100-300 juta >300 juta
(28)
Kerentanan Fisik
Parameter Bobot (%) Kelas Skor
Rendah Sedang Tinggi Rumah 40 < 400 juta 400-800 juta >800 juta
Kelas/Nilai Max Kelas Fasilitas
Umum 30
< 20 % 20-40 % >40 % Fasilitas
Kritis 30
Kerentanan Lingkungan
Parameter Bobot (%) Kelas Skor
Rendah Sedang Tinggi Hutan
Lindung 80 < 20 ha 20 - 50 ha >50 ha Kelas/Nilai Max Kelas Semak
Belukar 20 < 10 ha 10-30 ha >30 ha
Indeks Kapasitas
Indeks Kapasitas dihitung berdasarkan indikator dalam Hyogo Framework for Actions (Kerangka Aksi Hyogo-HFA). HFA yang disepakati oleh lebih dari 160 negara di dunia terdiri dari 5 Prioritas program pengurangan risiko bencana. Pencapaian prioritas-prioritas pengurangan risiko bencana ini diukur dengan 22 indikator pencapaian.
2.11. Indikator HFA
Prioritas program pengurangan risiko bencana HFA dan indikator pencapaiannya adalah :
1. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya, dengan indikator pencapaian :
(29)
a. Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan risiko bencana
telah ada dengan tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua jenjang pemerintahan
b. Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan
risiko bencana di semua tingkat pemerintahan
c. Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal
d. Berfungsinya forum/jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko bencana
2. Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah; dengan indikator :
a. Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah
b. Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip dan
menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama
c. Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat d. Kajian Risiko Daerah Mempertimbangkan Risiko-Risiko Lintas
Batas Guna Menggalang Kerjasama Antar Daerah Untuk Pengurangan Risiko
3. Terwujudnya penggunaan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun ketahanan dan budaya aman dari bencana di semua tingkat; dengan indikator :
a. Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring, pengembangansistem untuk berbagi informasi, dst)
(30)
b. Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan pemulihan
c. Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat biaya (cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan kualitas hasil riset
d. Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh
komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu
menjangkau masyarakat secara luas baik di perkotaan maupun pedesaan.
4. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar; dengan indikator :
a. Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim
b. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya
c. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi
d. Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur
pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan
bangunan untuk keselamatan dan kesehatan umum (enforcement of building codes)
e. Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pascabencana
f. Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana atau proyek-proyek pembangunan besar, terutama
(31)
infrastruktur.
5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat, dengan indikator :
a. Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan risiko bencana dalam pelaksanaannya
b. Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan mengembangkan program-program tanggap darurat bencana
c. Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana
d. Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat
Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian ketahanan daerah maka kita dapat membagi tingkat ketahanan tersebut kedalam 5 tingkatan, yaitu :
Level 1 Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam rencana-rencana atau kebijakan.
Level 2 Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disesbabkan belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.
Level 3 Komitmen pemerintah dan beberapa komunitas tekait pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak negatif dari bencana.
Level 4 Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui ada masih keterbatasan dalam komitmen, sumberdaya finansial
(32)
ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di daerah tersebut.
Level 5 Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan kapasitas yang memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan.
2.12. Metode Penghitungan Indeks Kapasitas
Indeks Kapasitas diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan daerah pada suatu waktu. Tingkat Ketahanan Daerah bernilai sama untuk seluruh kawasan pada suatu kabupaten/kota yang merupakan lingkup kawasan terendah kajian kapasitas ini. Oleh karenanya penghitungan Tingkat Ketahanan Daerah dapat dilakukan bersamaan dengan penyusunan Peta Ancaman Bencana pada daerah yang sama. Untuk perhitungan Indeks Kapasitas dapat diunduh di www.bnpb.go.id.
Indeks Kapasitas diperoleh dengan melaksanakan diskusi terfokus kepada beberapa pelaku penanggulangan bencana pada suatu daerah. Panduan diskusi dan alat bantu untuk memperoleh Tingkat Ketahanan Daerah terlampir. Berdasarkan Tingkat Ketahanan Daerah yang diperoleh dari diskusi terfokus, diperoleh Indeks Kapasitas. Hubungan Tingkat Ketahanan Daerah dengan Indeks Kapasitas terlihat pada tabel.
(33)
Indikator yang digunakan untuk peta kapasitas adalah indicator HFA yang terdiri dari: a) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana; b) peringatan dini dan kajian risiko bencana; c) pendidikan kebencanaan; d) pengurangan factor risiko dasar; dan e) pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Parameter konversi Indeks dan persamaan ditunjukkan pada di bawah ini.
2.13. PENGKAJIAN RISIKO BENCANA
Pengkajian risiko bencana dilaksanakan dengan mengkaji dan memetakan Tingkat Ancaman, Tingkat Kerentanan dan Tingkat Kapasitas berdasarkan Indeks Kerugian, Indeks Penduduk Terpapar, Indeks Ancaman dan Indeks Kapasitas. Metodologi untuk menterjemahkan berbagai indeks tersebut ke dalam peta dan kajian diharapkan dapat menghasilkan tingkat risiko untuk setiap ancaman bencana yang ada pada suatu daerah. Tingkat risiko bencana ini menjadi landasan utama untuk menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah.
Peta Risiko Bencana disusun dengan melakukan overlay Peta Ancaman, Peta Kerentanan dan Peta Kapasitas. Peta Risiko Bencana disusun untuk tiap-tiap bencana yang mengancam suatu daerah. Peta kerentanan baru dapat disusun setelah Peta Ancaman selesai.
(34)
penanggulangan bencana. Sebagai acuan awal, pedoman ini perlu diperjelas dalam sebuah panduan teknis untuk pengkajian setiap bencana yang ada di Indonesia. Panduan teknis tersebut sebaiknya disusun dengan mempertimbangkan kemampuan pemerintah daerah untuk melaksanakan pengkajian secara mandiri.
Bagi pengguna pedoman ini, sebaiknya membangun tim kerja yang memiliki kapasitas teknis dibidang GIS yang memadai, dan memiliki pemahaman dalam sistem penanggulangan bencana nasional. BNPB dapat memberikan bantuan asistensi terkait peta risiko bencana yang disusun. Oleh karena itu proses asistensi menjadi penting untuk menjamin tercapainya kualitas hasil kajian yang memadai. Diharapkan dengan hasil kajian yang berkualitas, kebijakan yang disusun untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana pada suatu kawasan dapat menjadi efektif.
(35)
III.1. Gambaran Umum Kabupaten Sleman
Kabupaten Sleman terbentang mulai 110o 13’ 00” sampai dengan 110o 33’ 00” Bujur Timur, dan mulai 7o 34’ 51” sampai dengan 7o 47’ 03” Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 100 – 2.500 meter di atas permukaan air laut. Jarak terjauh Utara-Selatan kira-kira 32 km, Timur – Barat kira-kira 35 km, terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa, dan 1.212 dusun.
• Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah,
• Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah,
• Bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, Propinsi D.I.Yogyakarta
• Bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I. Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah.
Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedang bagian utara sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa ladang dan pekarangan, serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.
Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua buah bukit, yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian dari Kawasan Wisata Kaliurang. Beberapa sungai yang mengalir melalui Kabupaten Sleman menuju Pantai Selatan antara lain Sungai Progo, Krasak, Sempor, Nyoho, Kuning, dan Boyong. Berdasarkan pantauan Kanwil Perhubungan, hari hujan terbanyak dalam satu bulan adalah 27 hari. Rata-rata curah hujan tertinggi 22,8 mm. Kecepatan angin maksimum 24,00 knots dan minimum 0,00 knots, sementara rata-rata kelembaban nisbi udara tertinggi 86,0 % dan terendah 73,0 %. Temperatur udara, tertinggi 27,5 0C dan terendah 25,5 0 C.
III.1.1. KONDISI GEOMORFOLOGI
Propinsi DIY. Menurut Sir McDonald & Partners (1984), Setiadi (1990), Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara geomorfologi dapat dibedakan menjadi
(36)
Sleman merupakan bagian dari Satuan Morfologi Kaki Gunungapi Tengah Merapi. Pada umumnya kondisi daerah relatif sama, dengan kemiringan lereng yang relatif seragam dari utara sampai ke selatan yaitu berkisar 8%, dengan ketinggian antara 162,5 – 337,5 meter di atas permukaan air laut. Beda tinggi antara daerah terendah adalah 175 m, sehinga hanya ada satu pengelompokan morfologi di daerah penelitian yaitu topografi miring landai. Sedangkan Kota Yogyakarta hanya memiliki satuan geomorfologi berupa dataran fluvio-vulkanik yang merupakan hasil proses pengendapan material-material vulkanik yang berasal dari gunungapi Merapi.
Daerah penelitian secara geomorfologi dapat dibedakan menjadi 7 (tujuh) satuan geomorfologi, sebagai berikut :
A. Satuan Kerucut Gunungapi
Satuan Kerucut Gunungapi terletak diatas ketinggian 900 meter dari permukaan laut dan mempunyai kelerengan lebih dari 57%. Daerah ini mempunyai jumlah kepadatan penduduk yang sangat rendah hingga tidak ada. Di daerah puncak hampir tidak dijumpai sungai dan juga jarang sekali ditemui mata air.
(37)
Sleman Magelang Klaten Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Kota Yogyakarta KECAMATAN TURI KECAMATAN DEPOK KECAMATAN PAKEM KECAMATAN MLATI KABUPATEN SLEMAN KECAMATAN BERBAH KECAMATAN SLEMAN KECAMATAN GODEAN KECAMATAN TEMPEL KECAMATAN KALASAN KECAMATAN GAMPING KECAMATAN NGAGLIK KECAMATAN SEYEGAN KECAMATAN MOYUDAN KECAMATAN MINGGIR KECAMATAN NGEMPLAK KECAMATAN PRAMBANAN KECAMATAN CANGKRINGAN 7 °3 6 '0 "S 7 °3 6 '0 "S 7 °4 4 '0 "S 7 °4 4 '0 "S 9 13 6 0 0 0 m .N 9 13 6 0 0 0 m .N 44 44 52 52
9160 9160
0 1.25 2.5 5 7.5 10 Kilometers
µ
Proyeksi : Universal Transverse Mercator/Lat Long Datum WGS 84/UTM Zone 49S Sistem Grid : Geografis/UTM
Magelang Klaten Boyolali Sleman Purworejo Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Sukoharjo Wonosobo Semarang Sragen Wonogiri Temanggung Surakarta Karanganyar Kota Yogyakarta PETA INDEKS Sumber : Bukit Terisolasi Dataran Fluvio Vulkanik Kerucut Gunungapi Lereng Gunungapi
Perbukitan Struktural Batugamping Perbukitan Struktural Vulkanik Tua Tubuh Gunungapi Tubuh Sungai Keterangan : Batas administrasi Batas Kabupaten Batas Kecamatan Batas Propinsi Jaringan Jalan
Jalan Kelas II Jalan Utama
Jalan kereta api Jalan lokal
Sungai
Sungai
(38)
dangkal.
C. Satuan Lereng Gunungapi
Satuan Lereng Gunungapi terletak pada ketinggian 475 – 700 meter diatas permukaan laut dan mempunyai kelerengan sekitar 10% - 20%. Daerah ini mempunyai kepadatan penduduk yang sedang.
D. Satuan Dataran Fluvio Vulkanik
Satuan Dataran Fluvio Vulkanik ini pelamparannya paling luas diantara satuan yang lain. Satuan ini terletak pada ketinggian dibawah 475 meter di atas permukaan laut dan mempunyai kelerengan yang sebagian besar datar. Daerah ini empunyai kepadatan penduduk yang cukup tinggi.
E. Satuan Perbukitan Struktural Vulkanik Tua
Satuan ini melampar di bagian selatan-timur di daerah prambanan dan sekitarnya dengan pelamparan yang sedikit. Satuan ini berada pada ketinggian 100 – 300 meter diatas permukaan laut dan mempunyai kelerengan antara 10% - 20%. Daerah ini memepunyai kepadatan penduduk yang sedang.
F. Satuan Bukit Terisolasi
Satuan ini pelamparan sangat sedikit dan terletak di daerah Godean dan sekitarnya. Satuan ini terletak pada ketinggian 50 – 200 meter diatas permukaan laut dan mepunyai kelerengan 10% - 20%.
G. Batuan Struktural Batugamping
Satuan ini pelamparannya sedikit di bagian selatan Kabupaten Sleman dengan ketinggian antara 50 – 150 meter. Daerah ini mempunyai nilai keperengan 10% - 20%.
III.1.2. KONDISI GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Wilayah Sleman tersusun atas berbagai macam batuan yang sebagian besar merupakan hasil rombakan gunungapi yang melingkupi sebagian besar wilayah utara dan tengah Yogyakarta, Kabupaten Sleman sendiri dan sebagian Kabupaten Bantul. Khusus di wilayah Perbukitan Prambanan dan wilayah Berbah-Kalasan, bagian Selatan-Tenggara tersusun oleh batuan sedimen vulkaniklastik seperti batupasir pumis, breksi pumis, batupasir tufan. Sementara itu di wilayah Godean, tersebar
(39)
endapan Merapi Tua berupa endapan tuf, pasir, dan breksi yang terkonsolidasi lemah.
2. Endapan Gunungapi Merapi Tua
Formasi ini berumur Pleistosen Atas, terdiri atas breksi, aglomerat, lava, andesit dan basal.
3. Formasi Sentolo
Menurut Wartono Rahardjo, dkk (1995), formasi ini pada bagian bawah terdiri atas konglomerat alas yang ditumpangi oleh napal tufan dengan sisipan tuf. Batuan ini berangsur-angsur berubah menjadi batugamping berlapis bagus yang kaya akan Foraminifera.
4. Formasi Nglanggran
Formasi ini dicirikan oleh penyusun utama terdiri atas breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Umur dari Formasi ini diperkirakan Miosen Tengah
5. Formasi Semilir
Formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau tufan, ringan, kadang-kadang dijumpai selaan breksi. Umur dari Formasi ini diperkirakan Miosen Bawah. 6. Formasi Kebobutak
Formasi ini tersusun oleh Breksi andesit, tuf, tuf lapili, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit.
7. Formasi Nanggulan
Formasi ini tersusun oleh Batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran, batulempung dengan kongkresi limonit, sisipan napal, dan batugamping, batupasir dan tuf.
8. Andesit
Bahan galian yang dijumpai di formasi ini berupa lempung dan tanah urug. Sebarannya meliputi wilayah Kecamatan Godean.
(40)
Sleman Magelang Klaten Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Kota Yogyakarta Qmi Tmse Tmps Tmok Qmo Qmo Qmo na Qmo Tmse dr na Tmok Teon Tmok a Tmok Tmn Tmps Tmse na Tmps Tmse KECAMATAN TURI KECAMATAN DEPOK KECAMATAN PAKEM KECAMATAN MLATI KABUPATEN SLEMAN KECAMATAN BERBAH KECAMATAN SLEMAN KECAMATAN GODEAN KECAMATAN TEMPEL KECAMATAN KALASAN KECAMATAN GAMPING KECAMATAN NGAGLIK KECAMATAN SEYEGAN KECAMATAN MOYUDAN KECAMATAN MINGGIR KECAMATAN NGEMPLAK KECAMATAN PRAMBANAN KECAMATAN CANGKRINGAN 7 °3 6 '0 "S 7 °3 6 '0 "S 7 °4 4 '0 "S 7 °4 4 '0 "S 9 13 6 0 0 0 m .N 9 13 6 0 0 0 m .N 44 44 52 52
9160 9160
0 1.25 2.5 5 7.5 10 Kilometers
µ
Proyeksi : Universal Transverse Mercator/Lat Long Datum WGS 84/UTM Zone 49S Sistem Grid : Geografis/UTM
Magelang Klaten Boyolali Sleman Purworejo Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Sukoharjo Wonosobo Semarang Sragen Wonogiri Temanggung Surakarta Karanganyar Kota Yogyakarta PETA INDEKS Sumber :
- Peta Rupa Bumi Indonesia, Skala 1:25.000 - Peta Dasar Kabupaten Sleman, BPBD Kab. Sleman
Keterangan : Batas administrasi Batas Kabupaten Batas Kecamatan Batas Propinsi Jaringan Jalan
Jalan Kelas II Jalan Utama
Jalan kereta api Jalan lokal
Sungai
Sungai
Endapan Gunungapi Merapi Muda (Qmi) Endapan Gunungapi Merapi Tua (Qmo) Formasi Sentolo (Tmps)
Formasi Kebobutak (Tmok) Formasi Nanggulan (Teon) Formasi Nglanggran (Tmn) Formasi Semilir (Tmse) Andesit Diorit a dr Qmi Qmo Teon Tmn Tmok Tmps Tmse Geologi
(41)
III.1.3. Kondisi Tata Guna Lahan Daerah Penelitian
Hampir setengah dari luas wilayah penyelidikan merupakan tanah pertanian yang subur dengan didukung irigasi teknis di bagian barat dan selatan. Keadaan penggunaan tanahnya dibedakan atas sawah, tegal, pekarangan, hutan dan lain-lain. Selain dimanfaatkan sebagai tanah pertanian, juga dimanfaatkan sebagai tegalan. Daerah tegalan terutama berkembang pada daerah dengan kondisi kelerengan yang sedang sampai curam, seperti pada daerah tinggian yang ada di sebelah timur daerah penyelidikan.
Perkembangan pemukiman berlangsung sangat cepat pada daerah penyelidikan. Terutama pada daerah selatan Sleman. Perkembangan pemukiman ini berasal dari alih fungsi lahan pertanian dan tegalan. Sesuai dengan dinamika pembangunan dalam penyediaan sarana fisik maka perkembangan pemanfaatan lahan perlu juga mendapat perhatian.
(42)
Sleman Magelang Klaten Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Kota Yogyakarta KECAMATAN TURI KECAMATAN DEPOK KECAMATAN PAKEM KECAMATAN MLATI KABUPATEN SLEMAN KECAMATAN BERBAH KECAMATAN SLEMAN KECAMATAN GODEAN KECAMATAN TEMPEL KECAMATAN KALASAN KECAMATAN GAMPING KECAMATAN NGAGLIK KECAMATAN SEYEGAN KECAMATAN MOYUDAN KECAMATAN MINGGIR KECAMATAN NGEMPLAK KECAMATAN PRAMBANAN KECAMATAN CANGKRINGAN 7 °3 6 '0 "S 7 °3 6 '0 "S 7 °4 4 '0 "S 7 °4 4 '0 "S 9 13 6 0 0 0 m .N 9 13 6 0 0 0 m .N 44 44 52 52
9160 9160
0 1.25 2.5 5 7.5 10 Kilometers
µ
Proyeksi : Universal Transverse Mercator/Lat Long Datum WGS 84/UTM Zone 49S Sistem Grid : Geografis/UTM
Magelang Klaten Boyolali Sleman Purworejo Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Sukoharjo Wonosobo Semarang Sragen Wonogiri Temanggung Surakarta Karanganyar Kota Yogyakarta PETA INDEKS Keterangan : Batas administrasi Batas Kabupaten Batas Kecamatan Batas Propinsi Jaringan Jalan
Jalan Kelas II Jalan Utama
Jalan kereta api Jalan lokal Sungai Sungai Penggunaan lahan Semak/Belukar Tanah berbatu Permukiman Hutan Kebun Rumput Sawah irigasi Sawah tadah hujan
(43)
Penganalisisan Data yang dilakukan dalam tahapan ini mengacu dan berdasarkan atas
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomer 02 Tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Adapun parameter-parameter
yang digunakan dalam tahapan analisa disini, tidak mutlak dipergunakan semua secara
ideal, oleh karena adanya keterbatasan data dasar untuk penganalisaannya, sehingga
untuk menjembataninya digunakan asumsi-asumsi sehingga kesempurnaan anasilis tetap
baik.
Pengkajian Risiko Bencana disusun berdasarkan indeks-indeks yang telah ditentukan.
Indeks tersebut terdiri dari Indeks Ancaman, Indeks Kerentanan (Indeks Penduduk
Terkapar, Indeks Kerugian), dan Indeks Kapasitas. Kecuali Indeks Kapasitas,
indeks-indeks yang lain amat bergantung pada jenis ancaman bencana. Indeks Kapasitas
dibedakan berdasarkan kawasan administrasi kajian. Peta Risiko Bencana harus disusun
untuk setiap jenis ancaman bencana yang ada pada daerah kajian.
Analisis Ancaman
Indeks Ancaman Bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan
terjadi suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang
terjadi tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan data dan catatan
sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah.
Peta bahaya menentukan wilayah dimana peristiwa alam tertentu dengan frekuensi dan
intensitas tertentu, tergantung pada kerentanan dan kapasitas daerah tersebut, yang dapat
menyebabkan bencana. Untuk sebagian besar bencana, intensitas tinggi hanya terjadi
dengan frekuensi sangat rendah (bencana “kecil” terjadi lebih sering daripada bencana
“besar”). Selanjutnya pada beberapa bahaya setempat dan lain-lain hampir merata.
Berdasarkan hasil kaiian, potensi bencana yang mengancam Kabupaten Sleman dapat
digolongkan pada tiga kategori, yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana
sosial. Jenis bencana tersebut meliputi, antara lain:
1.
Erupsi Gunung Merapi
2. Aliran/Banjir
Lahar
(44)
IV.1. Erupsi Gunung Merapi
Erupsi gunungapi pada dasarnya merupakan proses keluarnya magma atau gas dari dalam
bumi ke permukaan berupa letusan (eksplosif) yang menghasilkan bahan lepas berbagai
ukuran atau leleran (efusif) yang menghasilkan lava/leleran batu pijar.
Sebelum terjadi letusan, tekanan magma menyebabkan macam-macam gejala yang kasat
mata seperti perubahan warna dan ketebalan asap. Dan gejala yang hanya dapat diamati
menggunakan peralatan. Misalnya gejala gempa-gempa vulkanik dengan seismograf.
Gejala pembesaran atau pemekaran tubuh gunung (deformasi) dengan pengukur jarak
elektronik. Serta adanya perubahan kandungan gas, peningkatan suhu, dan pelebaran
rekahan-rekahan di puncak gunung.
Erupsi yang terjadi berupa rangkaian proses fisika dan kimia yang sangat kompleks di
dalam sistem yang mempunyai tekanan dan suhu tinggi. Magma yang mempunyai massa
jenis lebih ringan dibanding dengan batuan di sekitarnya, terdorong oleh gaya apungan ke
atas, sehingga menimbulkan retakan-retakan sebagai jalan keluarnya (migrasi).
Erupsi vulkanik mencakup proses yang terjadi dalam kantong magma dan proses aliran
magma ke permukaan bumi. Proses erupsi vulkanik merupakan proses aliran fluida kental
dari kantong magma ke permukaan bumi. Aliran ini terjadi karena tekanan kantong
magma menjadi lebih besar dari batuan sekitarnya sebagai akibat tertutupnya saluran
magma. Manifestasi tipe erupsi gunungapi berbeda-beda antara gunungapi satu dan
lainnya. Gunungapi dapat memiliki karakter letusan eksplosif dan efusif. Hal ini
tergantung dari sifat fisik material magma dan sistem vulkanis gunungapi yang
bersangkutan.
Ancaman letusan gunungapi berasal dari produk letusan material padat, cair dan gas yang
dilontarkan ke permukaan bumi. Produk letusan tersebut memiliki bentuk, ukuran dan
sifat yang berbeda-beda tergantung pada mekanisme letusannya. Di Indonesia, ancaman
letusan gunungapi secara umum berasal dari terjadinya awanpanas, lontaran piroklastik,
abu vulkanik, gas dan lahar panas yang berasal dari letusan gunungapi yang memiliki
danau kawah. Dari ancaman letusan tersebut dapat menimbulkan bahaya letusan
(45)
Merupakan jenis ancaman bahaya yang berasal langsung dari sumber letusan,
antara lain aliran lava, aliran piroklastik, jatuhan piroklastik (tephra), abu vulkanik dan
gas vulkanik.
1. Aliran lava
Pada gunungapi dengan magma tipe basaltik-andesitik (kekentalan sedang) sering terjadi
aliran lava dengan kecepatan 3–5 km per hari dengan suhu antara 600 sampai 1000
oC.
2. Guguran lava pijar
Guguran lava pijar dapat terbentuk akibat guguran atau runtuhan kubah lava baru atau
tumpukan material lama yang masih panas di puncak. Guguran lava pijar bersifat
membakar dan merusak lingkungan yang terlanda.
3. Awan panas (Pyroclastic Flow)
Awan panas bersifat paling merusak daripada jenis bahaya yang lain. Awan panas adalah
aliran massa panas ( 300 – 600 derajat celcius) berupa campuran gas dan material
gunungapi yang terdiri dari berbagai ukuran bergumpal bergerak turun secara turbulen
dengan kecepatan sampai 70-100 km/jam.
4. Lontaran material vulkanik (batu, kerikil dsb)
Pada saat terjadi letusan explosif, terjadi lontaran rempah batuan ke udara kemudian
menyebar hingga dapat mencapai radius beberapa kilometer berukuran 2 mm hingga
beberapa meter.
5. Hujan abu
Hujan abu adalah jatuhan material vulkanik yang berukuran sangat halus (beberapa mm)
sampai kasar (2 cm). Hujan abu merusak bila terjadi dalam volume yang besar dan dapat
meningkatkan keasaman air yang berakibat buruk pada kesehatan.
6. Longsoran gunungapi
Longsoran tubuh gunungapi dapat terjadi akibat proses pelapukan (alterasi hidrotermal),
tanpa disertai proses letusan. Longsoran tubuh gunungapi mekanismenya sama dengan
tanah longsor. Contohnya : G. Galunggung (terjadi pada ratusan tahun yll, bukan letusan
1982) yang meninggalkan morfologi yang disebut hammocky, atau G. Tokachi di Jepang
(46)
sejarah letusan gunungapi. Tsunami ini melanda pantai bagian barat Jawa dan selatan
Sumatera.
Bahaya Sekunder
Bahaya sekunder merupakan jenis ancaman bahaya vulkanik sesudah terjadi
letusan. Yang termasuk jenis bahaya sekunder adalah lahar hujan dan kekeringan akibat
letusan, krisis air bersih akibat letusan. Lahar hujan terjadi bila endapan material vulkanik
di puncak atau lereng terkena hujan lebat. Dengan demikian lahar adalah lumpur
campuran air hujan, material vulkanik bergerak menuruni lereng dan lembah.
Bahaya Tersier
Bahaya tersier adalah jenis bahaya yang tidak terkait langsung dengan proses
letusan, tetapi akibat dari salah kelola dalam eksploitasi sumber daya di sekitar
gunungapi. Misalnya penambangan pasir dan batu, kerusakan hutan dsb. Kerusakan
lingkungan akibat akibat aktivitas penambangan pasir dan batu dan kerusakan hutan akan
cenderung memperluas area landaan awan panas yang akan terjadi atau dengan kata lain
akan cenderung memperluas daerah ancaman bahaya. Karena topografi yang tidak rata,
adanya bukit-bukit dan lembah serta keberadaan pepohonan di hutan, merupakan
penghambat alami luncuran awan panas.
Ancaman bahaya tersier ini, dari waktu ke waktu semakin besar Risikonya. Hal
terjadi karena kerusakan lingkungan di sekitar gunungapi semakin intensif, sementara
masyarakat sangat tergantung pada sumberdaya di lingkungan gunungapi, terutama
fungsinya sebagai daerah resapan air. Oleh sebab itu pelestarian lingkungan di sekitar
gunungapi merupakan salah satu upaya penurunan Risiko bencana.
Gunung Merapi
merupakan salah satu gunungaktif di Indonesia yang bertipe
strato dengan frekuensi erupsi antara 2-7 tahun. Gunung Merapi terletak di Jawa Tengah,
tepatnya di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gunung Merapi termasuk dalam tipe gunungapi subduksi. Terbentuknya karena
tumbukan antara lempeng samudra Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia dimana
lempeng samudra Indo-Australia menunjam di bawah lempeng benua Eurasia. Pada
kedalaman sekitar 100 km d.p.l., terjadi peleburan material akibat gesekan dua lempeng
tektonik tersebut dalam kondisi tekanan dan suhu yang tinggi. Karena berat jenis yang
(47)
volatile rendah. Karena itulah kebanyakan erupsi G. Merapi tidak explosif.
Aktivitas Gunung Merapi dicirikan oleh pertumbuhan kubah lava. Pertumbuhan
kubah secara terus menerus menyebabkan tinggi kubah melampaui tinggi dindingnya.
Pada saat terjadi ketidakseimbangan antara tinggi kubah dan volume kubah
mengakibatkan terjadinya longsor. Longsornya kubah lava dalam volume yang besar
didukung oleh keadaan kemiringan lereng Gunung Merapi yang terjal menyebabkan
terjadinya awanpanas yang meluncur dengan kecepatan tinggi (~100 km/jam) dalam
radius yang cukup jauh.
Salah satu keunikan Gunung Merapi adalah memiliki penduduk yang tinggal di
kawasan rawan bencana (KRB) III di semua sektor. Dusun yang paling dekat berada pada
jarak 3,5 km dari Puncak Merapi. Umumnya penduduk memiliki mata pencaharian
sebagai petani dan peternak sehingga bahaya gunungapi ini tidak hanya berbahaya
terhadap penduduk tetapi juga pada lahan pertanian dan ternak. Erupsi Gunung Merapi
tahun 1994 telah menyebabkan 66 korban jiwa manusia yang terkena luncuran
awanpanas di sektor selatan (K. Boyong). Peta kawasan rawan bencana disajikan pada
Gambar 4.4
.
Tabel 4.1. Indeks Ancaman Erupsi G. Merapi
Kawasan Rawan Bencana Kelas Nilai Bobot (%) Skor
KRB II Sedang 2
100
0.666667
KRB III Tinggi 3 1.000000
IV.2. Aliran/Banjir Lahar (Lahar Hujan)
Bencana alam yang disebabkan oleh aliran sedimen (misalnya: pasir, lahar hujan,
tanah) luruh yang berlebihan seringkali terjadi di Indonesia. Bencana lahar hujan juga
mengakibatkan kerugian infrastruktur dan korban jiwa. Bencana sedimen akibat aliran
lahar hujan, tanah longsor, dan tanah gerak terjadi karena sumber lahar hujan luruh yang
tidak stabil terdiri dari material bahan rombakan bersifat lepas yang dipicu dengan
intensitas hujan yang tinggi.
(48)
tinggi dengan durasi yang cukup.
c). Kemiringan ; merupakan kemiringan dasar sungai atau lembah yang curam sebagai
media gravitasi.
Fenomena Terjadinya Aliran Lahar hujan sbb:
a). Runtuhan Tebing ; tebing gunung runtuh akibat hujan dengan intensitas tinggi dan
durasi yang cukup sehingga mengakibatkan material lepas, hasil runtuhan tersebut
bercampur air mengalir menuruni lereng dan lembah sebagai aliran lahar hujan.
Gambar 4.1. Ilustrasi Runtuhan Tebing
b). Runtuhan Pembendung Alam ; bendung alam yang terbentuk oleh timbunan
material lepas dari runtuhan tebing atau lereng, runtuh akibat limpasan (overflow)
atau rembesan (piping) meluncur melalui lembah atau alur yang ada sebagai aliran
lahar hujan.
c). Peluruhan Lahar hujan ; endapan lahar hujan dilembah atau dilereng bercampur
dengan air hujan dalam volume yang cukup besar sehingga mampu mengalir
menuruni lembah sebagai aliran lahar hujan
(49)
Gambar 4.2. Ilustrasi Peluruhan Lahar hujan
Aliran Lahar hujan mempunyai karakteristik sbb:
a).
Endapan lahar hujan dilembah atau dilereng gunung bercampur dengan air hujan
dalam volume yang cukup besar sehingga mampu mengalir menuruni lembah atau
mengikuti alur-alur sungai digunung sebagai aliran lahar hujan.
b).
Aliran Lahar hujan mengalir dengan kecepatan yang cukup tinggi (10-20
m/detik), bergerak karena gaya gravitasi.
c).
Aliran Lahar hujan mengangkut bahan rombakan baik berupa bebatuan dengan
berbagai ukuran maupun batang-batang kayu.
d).
Aliran Lahar hujan dibagian depan disebut kepala aliran (head) dan dibagian
belakang disebut ekor aliran (tail).
e).
Kepala aliran umumnya terdiri dari bebatuan berukuran besar dan kadang-kadang
disertai batang-batang kayu, sehingga mempunyai daya rusak yang tinggi.
f).
Aliran Lahar hujan terjadi secara mendadak, sulit diperkirakan sebelumnya dan
kejadiannya tanpa adanya tanda-tanda awal, sehingga sulit memberikan informasi
peringatan sedini mungkin pada masyarakat untuk menghindar.
(50)
(51)
(52)
sekunder (secondary disaster) merupakan akibat tidak langsung dari letusan gunungapi
seperti aliran lahar hujan, runtuhan lereng gunung (lahar). Pada Peta KRB Gunung
Merapi,
wilayah yang berpotensi terkena bahaya sekunder lahar hujan terdapat pada
wilayah KRB I
. Wilayah-wilayah di Kabupaten Sleman yang berpotensi terkena bahaya
lahar hujan dapat dilihat pada
Gambar 4.4
.
Tabel 4.2. Indeks Lahar Hujan G. MerapiKawasan Rawan Bencana Kelas Nilai Bobot (%) Skor
KRB I (sebagai Ancaman Bahaya Lahar Hujan)
Tinggi 3 100 1.000000
IV.3. Gempa bumi
Proses Kejadian
Secara definisi Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi yang disebabkan
oleh adanya penyebaran energi dalam bentuk gelombang pada lapisan kerak bumi. Jika
lapisan kerak bumi ada akumulasi gaya, pada saat lapisan kerak bumi ini tidak kuat
menahan akumulasi energi tadi akan patah secara tiba tiba yang kita sebut gempabumi.
Peristiwa patahnya kerakbumi ini mengeluarkan energi yang dominan dalam bentuk
gelombang yang disebut gelombang seismik dan menimbulkan goncangan di permukaan,
seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.5
.
Kepulauan Indonesia termasuk salah satu negara yang paling rawan terhadap
bencana gempabumi tektonik di dunia. Mengapa ? Kedudukan atau letak kepulauan
Indonesia berada pada pertemuan 3 lempeng tektonik dunia yaitu lempeng
Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik yang ketiga lempeng tersebut saling
bergerak relatif satu sama lain (Gambar 4.6.). Akibat gerakan relative lempeng satu sama
lain ini dapat menimbulkan pengumpulan / akumulasi energi pada lempeng tersebut
sehingga pada bagian yang paling lemah, tidak kuat menahan akumulasi energi tadi akan
patah, yang disebut dengan gempabumi.
(53)
Gambar 4.5. Ilustrasi proses terjadi gempa bumi (sumber : Microsoft Encarta)
Gambar 4.6. Pergerakan lempeng di Indonesia
Pergerakan relative ketiga lempeng tersebut diatas antara lain : Lempeng
Indo-Australia yang bergerak relatif ke utara, lempeng Eurasia bergerak relatif ke selatan dan
lempeng Pasifik yang bergerak relatif ke barat, juga menyebabkan kepulauan Indonesia
mempunyai banyak sesar minor (patahan kecil) yang aktih dan sangat berpotensial
(54)
• Gempabumi Tektonik, akibat dari patahan lapisan kerakbumi
• Gempabumi Vulkanik, akibat dari letusan gunung berapi
• Gempabumi Longsoran dan buatan, akibat dari longsoran tanah, dan juga percobaan
nuklir
Dari ketiga jenis gempa bumi alamiah yang terjadi, yang mempunyai kekuatan
energi gempa (magnitudo) terbesar adalah gempabumi tektonik. Banyak
kerusakan-kerusakan parah yang ditimbulkan akibat gempabumi tektonik. Bahkan jika gempabumi
tektonik terjadi dilaut dengan kekuatan yang besar bias menimbulkan gelombang raksasa
yang disebut dengan gelombang Tsunami.
Masih segar dalam ingatan kita, kejadian gempabumi tanggal 27 Mei 2006 di
D.I.Yogyakarta yang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit (lebih dari 5.000 orang
tewas). Kekuatan gempa (Magnitudo) dinyatakan dalam skala Satuan energi yang sering
dipakai yaitu dalam Skala Richter (SR). Selain Magnitudo gempa juga dikenal dengan
Intensitas gempa. Intensitas gempa ini menunjukkan dampak yang ditimbulkan oleh
gempabumi dan dinyatakan dalam skala MMI ( Modified Mercalli Intensity ).
Studi Mikrozonasi sebagai parameter ancaman gempa bumi yang
menghasilkan peta amplifikasi.
Gempa bumi sebagai salah satu sumber bencana alam geologi telah bias
dijelaskan secara baik mengenai sumber dan mekanismenya berdasarkan ilmu
pengetahuan. Tetapi korban dan kerugian akibat gempa dari waktu ke waktu cenderung
meningkat. Sebagaimana diketahui bahwa korban akibat gempa bukan disebabkan oleh
gempa itu sendiri (bahaya primer gempa) tetapi umumnya oleh dampak getaran gempa
terhadap struktur bangunan hingga runtuh menelan korban manusia (bahaya sekunder
gempa) serta akibat lanjut dari rusaknya infrastruktur.
Tingkat kerusakan akibat gempa tergantung pada besarnya magnitude/intensitas
gempa bumi, kekuatan struktur bangunan dan kondisi geologi permukaan. Kondisi
geologi permukaan yang dimaksudkan adalah watak perlapisan batuan dalam merespon
terhadap getaran gempa yang disebut sebagai site effect. Apakah sifat perlapisan batuan
di suatu kawasan tertentu akan cenderung memperbesar (amplifikasi) atau memperlemah
(deamplifikasi) suatu getaran gempa. Ini yang disebut sebagai studi mikrozonasi dengan
(55)
yaitu kejadian terjebaknya gelombang gempa bumi di dalam perlapisan sedimen. Yang
dimaksud sedimen disini adalah lapisan tanah bagian atas yang kerapatannya lebih
rendah, sedangkan basement adalah lapisan tanah bagian bawah yang kerapatannyalebih
tinggi bila dibandingkan dengan sedimen di atasnya. Amplifikasi tanah (HVSR) adalah
suatu angka yang menunjukkan nilai berapa kali tanah tersebut memperbesar getaran
gempa. Misalnya suatu tanah mempunyai amplifikasi sebesar 10 kali, maka gelombang
gempa yang melewati tanah tersebut getarannya akan diperkuat sebesar 10 kali. Jadi
apabila ada gempa berkekuatan 6 SR, maka tanah tersebut seolah-olah merasakan gempa
ygn kekuatannya 7 SR karena skla richter merupakan fungsi logaritma getaran
gelombang gempa.
Peta Amplifikasi adalah peta yang menggambarkan besarnya amplifikasi tanah di
suatu tempat sebagai respon terhadap signal gempa bumi. Besarnya amplifikasi
berkorelasi dengan tingkat kerusakan akibat gempa. Semakin tinggi nilai amplifikasi
semakin besar tingkat kerusakannya dan sebaliknya. Oleh karena itu peta amplifikasi ini
bias digunakan sebagai tingkat kerawanan atau ancaman gempa bumi.
Tabel Klasifikasi Kerawanan
Amplifikasi (kali)
Warna
Kelas Kerawanan
0-3 Hijau
Rendah
3-6 Biru
Sedang
6-9 Kuning
Tinggi
>9 Merah
Sangat
Tinggi
Berdasarkan Peta Risiko Gempa Bumi di Kabupaten Sleman (yang disusun oleh
Badan Kesbanglinmas & PB Kabupaten Sleman Tahun 2011), yang mendasarkan pada
besarnya nilai amplifikasi, dan dibagi menjadi 4 kelas, yaitu; Kawasan Beramplifikasi
Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang dan Rendah. Untuk melakukan Analisis Risiko Bencana,
sesuai dengan indeks parameter dan bobot dalam Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka peta-peta amplifikasi
tanah tersebut diklasifikasikan sebagai kategori Ancaman. Selanjutnya, kawasan-kawasan
yang terdiri dari 4 kelas kawasan amplifikasi tersebut dikelompokkan menjadi zona-zona
(56)
Kawasan Beramplifikasi Rendah Rendah 1 100 0.333333
Kawasan Beramplifikasi Sedang Sedang 2 0.666667
Kawasan Beramplifikasi Tinggi, Sangat Tinggi Tinggi 3 1.000000
Khusus tentang ancaman gempa bumi di Kabupaten Sleman, oleh karena zona ancaman
pada Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 mendasarkan pada kawasan yang
mempunyai besaran nilai amplifikasi tanah di suatu tempat sebagai respon terhadap
signal gempa bumi, sehingga peta amplifikasi tanah di 3 kecamatan yaitu Kecamatan
Berbah, Kalasan dan Prambanan yang tercantum di dalam Peta Risiko Gempa Bumi di
Kabupaten Sleman (yang disusun oleh Badan Kesbanglinmas & PB Kabupaten Sleman
Tahun 2011) saja yang dianalisa ancaman, kerentanan, kapasitas dan Risikonya.
Berdasarkan pengolahan data amplifikasi skala desa, maka dapat disusun peta amplifikasi
tanah di :
•
Kecamatan Berbah
o
Desa Jogotirto
o
Desa Kalitirto
o
Desa Sendangtirto
•
Kecamatan Kalasan
o
Desa Purwomartani
o
Desa Selomartani
•
Kecamatan Prambanan
o
Desa Bokoharjo
o
Desa Gayamharjo
o
Desa Madurejo
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
gerakan tanah, longsoran batu, nendatan dan jatuhan batu, yang meluncur ke bawah
lantaran pengaruh gaya tarik bumi (gravitasi).
Meski bisa saja tanah longsor terjadi berantai dengan gempa bumi,banjir dan
letusan gunungapi, namun tanah longsor secara lokal dan terpisah banyak terjadi
ketimbang bencana-bencana yang telah disebutkan diatas. Bahkan dalam jangka waktu
tertentu menyebabkan lebih banyak kerugian dibanding bencana-bencana lain itu.
Tanah longsor terjadi karena adanya perubahan-perubahan secara tiba-tiba
ataupun perlahanlahan / bertahap dalam komposisi, struktur, daur hidrologi atau kondisi
vegetasi disuatu lereng. Perubahan-perubahan itu bisa terjadi karena :
1)
Getaran-getaran bumi karena gempa, peledakan (bom, dll.), mesin-mesin,
lalu-lintas dan guntur / petir. Sebagian besar kelongsoran yang paling parah akibatnya
dipicu oleh gempa bumi.
2)
Perubahan-perubahan kadar air dalam tanah akibat hujan lebat atau kenaikan
ketinggian permukaan air.
3)
Hilangnya penopang tanah permukaan bumi yang bisa terjadi akibat erosi, proses
pelongsoran terdahulu, pembangunan, penggalian, penggundulan atau lenyapnya
tumbuh-tumbuhan yang semula akarnya mengikat tanah.
4)
Peningkatan beban pada tanah yang disebabkan oleh hujan deras, salju,
penumpukan batu-batu lepas atau bahan-bahan yang dimuntahkan gunungapi,
bangunan, sampah / limbah, tanaman.
5)
Pengairan atau tindakan fisik / kimiawi lainnya yang dapat merunkan kekuatan
tanah dan bebatuan setelah jangka waktu tertentu.
Gejala Umum
1. Muncul
retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing
2.
Muncul mata air secara tiba-tiba
3.
Air sumur di sekitar lereng menjadi keruh
4.
Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan
(62)
tanah longsor. Kebanyakan corak kelongsoran merusak bangunan, meskipun pondasi
bangunan sudah diperkuat. Kerusakan yang parah mungkin akan menimpa unsur-unsur
prasarana yang berada di bawah tanah misalnya jaringan kabel atau pipa.
Wilayah-Wilayah Yang Rawan Akan Tanah Longsor:
•
Pernah terjadi bencana tanah longsor di wilayah tersebut
•
Berada pada daerah yang terjal dan gundul
•
Merupakan daerah aliran air hujan
•
Tanah tebal / sangat lapuk
Wilayah Kabupaten Sleman terletak di lereng Gunung Merapi. Morfologi lereng
Gunung Merapi mempunyai kemiringan lereng yang sedang sampai dengan curam.
Beberapa wilayah Kabupaten Sleman yang mempunyai kemiringan lereng yang curam
dan mempunyai Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi. Pembagian wilayah Kabupaten
Sleman berdasarkan Peta Kerentanan Gerakan Tanah dibagi menjadi 4 yaitu Kerentanan
Gerakan Tanah Tinggi, Menengah, Rendah, dan Sangat Rendah. Sesuai dengan indeks
parameter dan bobot dalam Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, pembagian 4 zona Gerakan Tanah
dikelompokkan menjadi 3 kelas sesuai table 4.4. berikut ini. Wilayah Kabupaten Sleman
yang mempunyai Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi dan Kerentanan Gerakan Tanah
Menengah dapat dilihat pada table di bawah ini :
Tabel 4.4. Indeks Ancaman Bencana Tanah Longsor
Zona Ancaman Kelas Nilai Bobot (%) Skor
Gerakan Tanah Sangat Rendah, Rendah Rendah 1
100
0.333333
Gerakan Tanah Menengah Sedang 2 0.666667
(63)
(64)
Dilihat dari lama berlangsungnya, Angin puting beliung berlangsung singkat antara 3 - 5
menit setelah itu diikuti angin kencang yang berangsur-angsur kecepatannya melemah.
Sedangkan angin kencang dapat berlangsung lebih dari 30 menit bahkan bisa lebih dari
satu hari.
Jika dilihat dari Kecepatannya. Angin kencang kecepatan rata-rata antara 20 – 30 knot (1
Knot = 1,8 Km.jam) sedangkan angin puting beliung biasa kecepatannya dapat mencapai
40 – 50 km/jam atau lebih dengan durasi yang sangat singkat dan tidak sama dengan
fenomena Badai yang sering melanda di negara-negara Amerika, Australia, filipina,
Jepang, Kore maupun China.
Selain itu dari bentuknya dan kerusakan yang dihasilkan juga bisa dibedakan anatara
angin kencang dan puting beliung. Angin Puting Beliung berbentuk Puntiran angin,
sehingga kerusakan yang ditimbulkan biasanya patahan dahan kayu kuya seolah
terpuntir, bahkan bisa tercabut akarnya. Sedangankan kerusakan akibat angin kencang
biasanya satu arah.
Fenomena ini biasanya terjadi pada saat musim peralihan ( pancaroba ) atau pada saat
cuaca/hujan di musim hujan yang hujannya masih banyak terjadi pada siang atau malam
hari, karena memang fenomenanya selalu terjadi setelah lepas pukul 13.00 – 17.00
namun demiki an tidak mentup kemungkinan dapat terjadi pada malam hari.
(65)
menit ), jadi wajar kalau peristiwa ini hanya bersifat local dan tidak merata. Jenis awan
berlapis lapis ini menjulang kearah vertical sampai dengan ketinggian 30.000 feet lebih,
Jenis awan berlapis-lapis ini biasa berbentuk bunga kol dan disebut Awan Cumulo
Nimbus (CB).
Kejadian becana angin puting beliung yang terjadi di Kabupaten Sleman dapat dilihat
pada table berikut ini :
Tabel 4.5. Data Kejadian bencana Angin Putting Beliung di Wilayah Kabupaten Sleman
NO KECAMATAN DESA
KEJADIAN
BENCANA NILAI SKOR APB KELAS
1 BERBAH DESA SENDANG TITRO 1 1 0.3333333 RENDAH
2 BERBAH DESA JOGOTIRTO 1 1 0.3333333 RENDAH
3 BERBAH DESA TEGALTIRTO 0 1 0.3333333 RENDAH
4 BERBAH DESA KALITIRTO 1 1 0.3333333 RENDAH
5 CANGKRINGAN DESA ARGOMULYO 2 2 0.6666667 SEDANG
6 CANGKRINGAN DESA WUKIRSARI 15 3 1 TINGGI
7 CANGKRINGAN DESA UMBULHARJO 8 3 1 TINGGI
8 CANGKRINGAN DESA KEPUHARJO 1 1 0.3333333 RENDAH
9 CANGKRINGAN DESA GLAGAHARJO 1 1 0.3333333 RENDAH
10 DEPOK DESA CATUR TUNGGAL 0 1 0.3333333 RENDAH
11 DEPOK DESA MAGUWOHARJO 1 1 0.3333333 RENDAH
12 DEPOK DESA CONDONGCATUR 0 1 0.3333333 RENDAH
13 GAMPING DESA BALECATUR 2 2 0.6666667 SEDANG
14 GAMPING DESA AMBARKETAWANG 1 1 0.3333333 RENDAH
15 GAMPING DESA BANYURADEN 0 1 0.3333333 RENDAH
16 GAMPING DESA NOGOTIRTO 0 1 0.3333333 RENDAH
17 GAMPING DESA TRIHANGGO 3 2 0.6666667 SEDANG
18 GODEAN DESA SIDOMULYO 1 1 0.3333333 RENDAH
19 GODEAN DESA SIDOARUM 0 1 0.3333333 RENDAH
20 GODEAN DESA SIDOKARTO 0 1 0.3333333 RENDAH
21 GODEAN DESA SIDOAGUNG 0 1 0.3333333 RENDAH
22 GODEAN DESA SIDOLUHUR 0 1 0.3333333 RENDAH
23 GODEAN DESA SIDOMOYO 0 1 0.3333333 RENDAH
(1)
VII-8
Gambar 7.6. Peta Tingkat Risiko Bencana Gerakan Tanah Kab. Sleman
(2)
VII-9
Gambar 7.7. Peta Tingkat Risiko Bencana Puting Beliung Kabupaten Sleman
(3)
VII-10
Gambar 7.8. Peta Tingkat Risiko Bencana Kekeringan Kabupaten Sleman
(4)
VII-11
Gambar 7.9. Peta Tingkat Risiko Bencana Kebakaran Kabupaten Sleman
(5)
VIII-1
Berdasarkan kondisi intensitas ancaman dan kajian terhadap resiko bencana alam (7 jenis bencana alam) di Kabupaten Sleman, maka dapat disimpulkan bahwa ;
1. Prioritas upaya mitigasi dan perencanaan penanggulangan bencana alam di Kabupaten Sleman diarahkan pada pengelolaan Kawasan Rawan Bencana G. Merapi, Kawasan Rawan Bencana Lahar Hujan G. Merapi dan Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah.
2. Upaya penanggulangan bencana alam diarahkan pada zona-zona resiko tinggi pada kawasan rawan bencana G. Merapi, sungai-sungai yang berhulu di puncak G. Merapi serta kawasan bencana gerakan tanah. Pada zona-zona resiko tinggi bencana erupsi G. Merapi, banjir lahar hujan G. Merapi, dan zona resiko tinggi gerakan tanah di Kabupaten Sleman perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat dan infrastruktur terkait yang berada di dalam zona-zona tersebut.
(6)
Anonim, 2010, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 – 2029, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Anonim, 2013, Kecamatan Dalam Angka seluruh Kabupaten Sleman, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman
Anonim, 2013, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Carter, W. Nick., 1991, Disaster Management : A Disaster Manager’s Handbook, Asian Development Bank, Manila.
Davidson, Racheal, A., 1997, An Urban Earthquake Disaster Risk Index, Stanford : The
John A, Blume Earthquake Engineering Center, Department of Civil Engineering
Stanford University.
Harjadi, Prih., 2005, Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, Penerbit Biro Mitigasi, Jakarta.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sanderson, D., 2000, Cities, disastersand livelihoods, Environment and Urbanization, 12(2), 93-102.
UNDP., 2004, Reducing Disaster Risk A Challenge for Development, United Nations Development Programme, Berrau for Crisis and Recovery. United Nations Office of Disaster Relief Coordinator (UNDRC), 1988, Disaster Prevention and Mitigation, Vol. 7, Economic Aspects, United Nations, New York.