DAMPAK SPIRITUAL NASYID AL KHIDMAH DALAM KEHIDUPAN JAMA'AH AL KHIDMAH DESA SUNGONLEGOWO BUNGAH GRESIK.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1)

Oleh:

Ahmad Zamzami NIM: E01212002

PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Strata 1 (S1)

Oleh:

Ahmad Zamzami NIM: E01212002

Dosen Pembimbing:

Ghozi, Lc. M.Fil.I NIP: 197710192009011006

PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ix

Filsafat Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya. Dosen Pembimbing: Ghozi, Lc. M. Fil.I

Nasyid merupakan salah satu seni Islam dalam bidang seni suara. Biasanya merupakan nyanyian yang bercorak Islam dan mengandung kata-kata nasihat, kisah para nabi, memuji Allah, dan yang sejenisnya. Kata nasyid kemudian mengalami penyempitan makna dari senandung secara umum, menjadi senandung yang bernafaskan Islam. Nasyid tidak hanya sekedar lagu, tapi juga memiliki dampak spiritual yang tinggi dari segi syairnya. Syair atau lirik nasyid memiliki pesan rohani atau pesan islami yang kuat yang mampu mempengaruhi para pendengarnya saat mendengarkannya. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan doktrin dasar Islam yang menjadi landasan dasar dalam nasyid al khidmah, serta dampak spiritual yang dirasakan oleh para jama’ah al khidmah Sungonlegowo Bungah Gresik. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, peneliti mencoba memaparkan hasil penelitian dengan cara mendeskripsikan gambaran umum terkait data dan temuan penelitian.

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa, pertama doktrin Islam yang terkandung dalam nasyid al Khidmah diantaranya: a). ajaran tentang ajakan berdzikir, b) doktrin tentang anjuran bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW serta puji-pujian kepada para wali, c). kandungan nasyid tentang doa dan istighfar, d). serta pesan-pesan nasyid tentang mengingat kematian.Kedua, tentang dampak spiritual yang dirasakan oleh para jama’ah dalam nasyid al khidmah, diantaranya: a) rasa takut (khauf), b) rasa harap (raja’), c) ke fana’an, d) dan rasa cinta (mahabbah)


(8)

x

Lembar Persetujuan ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Lembar Pernyataan ... iv

Motto ... v

Persembahan ... vi

Kata Pengantar... vii

Abstrak... ix

Daftar Isi ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Definisi Konsep ... 8

F. Telaah Pustaka ... 10

G. Metode Penelitian ... 13

H. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : NASYID AL KHIDMAH DAN TRADISISAMA’DALAM TASAWUF A. Nasyid Al Khidmah ... 20


(9)

xi

B. Doktrin Islam Dalam Nasyid Al Khidmah ... 34

1. Dzikir ... 35

2. Shalawat Dan Pujian Kepada Nabi ... 38

3. Doa dan Istighfar ... 40

4. Mengingat kematian ... 42

BAB IV : DAMPAK SPIRITUAL NASYID AL KHIDMAH A. Khauf ... 80

B. Raja’... 84

C. Fana’ ... 86

D. Mahabbah ... 87

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

Daftar Pustaka Lampiran


(10)

20

Nasyid yang biasanya dibaca dalam setiap majelis al Khidmah adalah nasyid gubahan KH. Ahmad Asrori dan KH Utsman al Ishaqy, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh KH Ali Tamim Wafa1, salah satu murid sepuh

(senior) dari KH. Utsman al Ishaqy dan juga guru di pondok pesantren Jatipurwo (pondok KH. Ustman al Ishaqy). Ketika al Khidmah dicetuskan, KH Ali Tamim Wafa diangkat oleh KH. Ahmad Asrori menjadi ketua al Khidmah Surabaya. Sebelumnya, pembacaan dzikir diiringi dengan nasyid ﷲ دﺎﺒﻋ , KH Ali Tamim menjelaskan bahwa awal mula perubahan iringan nasyid ketika berdzikir muncul dari inisiatif para santri mengubah iringan dzikir dari ﷲ دﺎﺒﻋ menjadi nasyid karya KH. Utsman al Ishaqy, salah satu santri melihat bahwa KH. Utsman al Ishaqy menikmati iringan dzikir dengan nasyid karya beliau, dan beliau tidak marah setelah pembacaan dzikir selesai. Hal lain yang menjadi pijakan adalah izin dari beliau ketika pengajian yang menyampaikan bahwa beliau lebih suka dan lebih khusyu’ jika saat dzikir diiringi dengan nasyid karya beliau sendiri, semenjak itu, dzikir Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah al Utsmaniyah diganti dengan nasyid karya beliau. Saat tongkat estafet kepemimpinan diteruskan oleh KH. Ahmad Asrori, iringan nasyid al khidmah diganti dengan nasyid karya beliau. Iringan dzikir dengan nasyid karya KH. Ustman al Ishaqy khusus digunakan ketika haul akbar di pondok pesantren as Salafi al Fitrah Kedinding Surabaya saja.

1Wawancara KH. Ali Tamim Wafa, 02-08-20016 di kediaman beliau di Sawahpulo


(11)

Menurut keterangan KH. Ali Tamim, iringan nasyid al Khidmah dimaksudkan untuk menggiring para jama’ah untuk memasuki alam spiritual yang lebih dalam, karena Irama musik dapat memanggil hati manusia, untuk menyerahkan jiwanya sepenuhnya pada Sang Pencipta segala sesuatu, termasuk pencipta indahnya irama musik yang terdengar, yaitu Allah SWT. Karena sebenarnya irama musik yang selaras itu adalah aspek keagungan Allah, dan aspek yang lain yaitu aspek keindahan yang berada dalam melodi musik tesebut

Hal ini dimaksudkan untuk memperingatkan manusia dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Indah melalui perasaan dan gerak hati yang mendalam pada jiwa seseorang. Hal ini bisa dikatakan bahwa mendengarkan musik, adalah pengaruh Ketuhanan yang menggerakkan hati untuk melihat Allah. Mereka yang mendengarkan secara spiritual akan sampai pada Allah.

B. TradisiSama’Dalam Tasawuf

Memandang nasyid al Khidmah dalam koridor tasawuf, rasanya tidak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi sufi yang dinamakan sama’. Secara praktek memang tidak bisa disamakan secara menyeluruh, namun unsur-unsur dari nasyid al Khidmah dan tradisisama’dalam tasawuf memiliki esensi utama untuk sampai kepada yang dituju yakni Allah SWT.

As-sama’ secara bahasa berasal dari bahasa Arab; sama‘, sami‘, samia, yang berarti mendengar (to hear). Dalam kamus al-Munjid kata as-sama’

diartikan sebagai mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat diartikan


(12)

nyanyian/musik atau alat musik.2 Kemudian istilah ini dikenal sebagai sebutan untuk penggunaan musik oleh para sufi sebagai sarana pencarian Tuhan, atau sebagai alat bantu kontemplatif.3

Secara substansial praktek as-sama‘ merupakan salah satu dari pengalaman mistis para sufi, yang menurut William James, pengalaman mistis itu memiliki empat karakteristik yaitu :

a. Tidak dapat dilukiskan.

b. Kebenarannya tidak dapat diragukan lagi oleh para penempuhnya. c. Merupakan kondisi spiritualitas yang cepat sirna namun berkesan sangat

kuat.

d. Merupakan kondisi pasif yang datang dari anugerah Tuhan.

Oleh karena ituas-sama’ dalam kalangan sufi memiliki arti yang beragam dan penjelasannya melalui bahasa tidak pernah sampai pada deskripsi realitas sebenarnya.4

Zun Nun al-Mişri berpendapat bahwa mendengarkan musik adalah sentuhan dari Allah yang membangkitkan hati menuju Allah, kecuali mereka yang mendengarkan dengan nafsu maka ia termasuk orang sesat (zindiq). Kemudian al-Qusyairi juga memberikan penjelasan dalam risalahnya tentang as-sama’ dengan mengatakan bahwa as-sama’ adalah menemukan berbagai rahasia yang

2AbdulMuhaya, Bersufi Melalui musik, 12-13.

3Cyril Glasse,as-sama’dalam Cyril Glasse,Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A

Masudi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 352.


(13)

tersembunyi (al-ghuyub) melalui pendengaran hati, dengan pemahaman hati nurani terhadap hakekat Tuhan yang dituju (al-murad).5

Dalam beberapa sumber tentang tasawuf, as-sama’ dapat diartikan secara eksoterik, sebagai kegiatan mendengarkan musik atau nyanyian atau sya’ir (lagu-lagu) untuk mencapai derajat ekstase (wajd).6

Elemen sentral yang menjadikan praktek spiritual ini disebut musik sufi adalah: di dalamnya terdapat ritual yang menggunakan suara manusia yang membacakan sya’ir-sya’ir yang ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muhammad dan para wali.7

Kekuatan utama yang menghidupkan musik dalam praktek as-sama’

adalah manifestasi kata-kata Tuhan secara esensial. Kata itu mengingatkan manusia terhadap suatu kondisi sebelum penciptaan, masih bersatu dengan jiwa universal, terpancar dari cahaya original.8

Tujuansama’adalah memperkuat dzikir dan mengobarkan dan membakar api semangat dalam jiwa. Bagi perkumpulan sama’, musik merupakan bahasa rahasia bagi tanda-tanda Allah yang bisa didengarkan. Dengan mendengarkannya, jiwa mengingat sumber asalnya pada hari perjanjian (pada hari ketika manusia di sumpah oleh Allah).9

5Ibid, 13-15. 6Ibid, 16

7 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Taswuf, terj. Arif Anwar, (Yogyakarta: Pustaka

Sufi, 2003), 254

8Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein Nasr,

(ed.),Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Manifestasi, terj. M. Sholihin Ariyanto, Ruslani, M.S. Nasrullah, Dodi Salman, Kamarudin SF., (Bandung: Mizan, 2003), 608-609


(14)

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, dalam tulisannya mengenai sama’

menjelaskan bahwa tradisi sama’ sebenarnya ingin mengajak penikmatnya untuk menemukan nilai yang terkandung di dalamnya. Bait-bait syair dalamsama‘yang didengarkan tentu mengajak manusia memahami masalah benar dan salah dalam hidup. Karena sama‘ mempunyai dampak psikologis bagi sami‘ (pendengar) sebagai proses mengkreasi mental, maka ia menjadi wahana penting bagi penikmatnya. Salah satu filosofi kehidupan adalah proses pencarian diri. Pencarian diri terus-menerus tidak akan pernah kosong dari keinginan dan hawa nafsu. Pada konteks ini, deskripsi samâ‘ menawarkan sejumlah pilihan hidup. Ia sedang membangun peradaban berpikir, agar sâmi‘ semakin tahu siapa dirinya. Inilah salah satu efikasi sama‘ yang mencoba menata hidup ini dengan berbagai pandangan etis. Etika dan moral menjadi sentuhan penting dalam sama‘.10

Pembacaan syair atau nyanyian merupakan kebiasaan yang sudah berlangsung sejak masa Nabi. Sebagian sahabat mengumandangkan syair saat mereka bekerja. Ada juga yang menyanyikan syair ketika dalam perjalanan untuk mengusir rasa capek, terkadang Nabi juga sesekali ikut menyanyikan syair. Inilah awal mula atau dasar penyenandungan syair sebagai bagian dari sufi.11

Para sufi memberikan perhatian khusus pada penyenandungan syair, yaitu bahwa kebenaran yang disampaikan dengan cara yang menyenangkan lebih cepat dapat diterima dan lebih mudah diterima oleh jiwa. Karena itu para sufi beranggapan bahwa penyenandungan syair bagi para penempuh jalan (salik)

10 Said Aqil Siradj, Sama’ dalam Tradisi Tasawuf, (ISLAMICA UIN Sunan Ampel

Surabaya, Volume 7, Nomor 2, Maret 2013), 377


(15)

pemula merupakan obat. Sebab kelunakan jiwanya karena suara yang embut dan indah memungkinkannya untuk menyerap nilai-nilai kebenaran. sebagaimana juga memberikan perhatian kepada penyenandungan syair sebagai barometer yang bisa menimbang kadar nilai ruhaniyah yang dimiliki seseorang.12

Menurut al Ghozali, sama’ memiliki seratus faedah dan memiliki seratus ribu kondisi spiritual (ahwal) yang dapat dirasakan oleh para sufi, karena musik sendiri memiliki fungsi yang paling penting dalam perjalanan spiritualitas mereka. secara psikologis musik dapat mengantarkan jiwa pendengar untuk berpulang ke alam ide universal (a’lam an nafs), yaitu alam dimana seluruh jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa yang berasal dari kenikmatan bersifat rohani.13

Diantara kondisi spiritual yang adal dalam praktiksama’adalah:

1. Khauf

Dalam tradisi sama’, syi’ir yang dibaca selain bercerita tentang perasaan cinta terhadap Tuhan, tentang keindahan dan hal-hal yang identik dengannya, pujian kepada Nabi Muhammad, banyak pula ditemukan syi’ir yang berisikan tentang kematian, siksa neraka, azab kubur dan hal-hal mengerikan lain yang terjadi ketika manusia telah mati.

Menurut Al-Ghazali khauf adalah suatu getaran dalam hati ketika ada perasaan akan menemui hal-hal yang tidak disukai.14 Khauf merupakan pemicu semangat untuk menjauhkan diri dari kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang.15

12Ibid, 188

13Abdul Muhaya,Bersufi melalui musik, 95

14 Al-Ghazali, Minhaj Al Abidin, terj. Moh. Syamsi Hasan dengan judul Minhaj Al

Abidin: Tujuh Tahapan Menuju Puncak Ibadah, (Surabaya: Amelia Surabaya, 2006), 256


(16)

Rasa takut mendorong untuk takwa kepada Allah, mencari Ridha-Nya, mengikuti ajaran-ajaranNya, meninggalkan laranganNya dan melaksanakan perintahNya. Oleh karena itu, khauf merupakan penyangga iman.16

Dalam hal ini, sama’ memiliki peranan penting dalam rangka mengingatkan para sami’in-nya akan sesuatu yang sangat mereka takuti dengan balutan seni yang menarik, dengan demikian pesan yang disampaikan akan lebih mudah diterima oleh kalangan awam.

2. Raja’

Salah satu tujuan sama’ adalah memberikan semangat kepada para pendengarnya untuk berdzikir. Melalui syair-syair dalam tradisi sama’, para sufi mencoba mengajak para pendengarnya untuk selalu berusaha mendapatkan rahmat Allah SWT dengan cara berdzikir dengan menggunakan media musik sebagai pengantarnya. Sebagaimana dalam al Qur;an surat Yusuf ayat 87:

َو

Artinya: Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Rasa harap yang dimaksud adalah antara lain harapan akan diterimanya amal kita, harapan akan dimasukkan surga, harapan untuk berjumpa dengan Allah, harapan akan diampuni dosa, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya. Rasa harap inilah yang dapat mendorong seseorang untuk tetap terus berusaha untuk

16M.Ustman Najati, al-Qur’an wa Ilmu Nafsi, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani dengan judul


(17)

taat, meskipun sesekali dia terjatuh ke dalam kemaksiatan namun dia tidak putus asa untuk terus berusaha sekuat tenaga untuk menjadi hamba yang taat. Karena dia berharap Allah akan mengampuni dosanya yaitu dengan jalan bertaubat dari kesalahannya tersebut dan memperbanyak melakukan amal kebaikan, sebagaimana firman Allah dalam al Qur’an surat az Zumar ayat 53:

٥ ٣

Artinya: Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

3. Mahabbah

Dalam banyak syi’ir, termasuk syi’ir yang dikumandangkan ketika Nabi Muhammad sampai di kota Madinah, menyiratkan begitu kuatnya rasa cinta orang Madinah kepada nabi, bahkan mereka menyebut Nabi Muhammad sebagai purnama. Pujian seperti biasanya hanya dikumandangkan seseorang yang sangat mencintai kekasihnya, hingga menyerupakan sosok kekasihnya dengan purnama yang begitu indah.

Margaret Smith mengatakan, al-Qusyayri mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni cinta, kehamonisan dengan Sang Kekasih, penghapusan semua kualitas pecinta, penegakan esensi Sang Kekasih (Allah), dan


(18)

akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi. Sedang bagi al-Junayd, cinta itu sebagai peleburan di dalam keagungan Sang Kekasih dalam wahana kekuatan sang pecinta. Kata Abu `Abdullah, cinta itu berarti memberikan semua yang engkau miliki kepada Allah yang sangat engkau cintai, sehingga tidak ada lagi sisa dalam dirimu. Sedang kata asy-Syibli hal itu disebut cinta, sebab ia menghapuskan semua kecuali Sang Kekasih dan cinta adalah api yang akan melalap semua kecuali Kehendak Ilahi.17

Sufi sangat mencintai musik, mereka menganggap musik adalah makanan rūh. Para sufi menggunakan musik bukan untuk kesenangan, tapi pemurnian, do’a kepada Tuhan.18 Dalam tradisi sama’, syi’ir-syi’irnya sangat banyak ditemukan kalimat cinta (mahabbah) baik kepada Allah, rasul ataupun para wali. Ajakan untuk mencintai Allah dan rasulnya dibungkus dengan kalimat-kalimat sastra yang tinggi sehingga mampu memberikan efek mendalam pada para pendengar. Sebagaimana keterangan di atas bahwa kebaikan yang dibungkus dengan sesuatu yang menyenangkan akan terasa lebih menancap pada hatisami’.

4. Fana’

Dari segi bahasa,fana'berasal dari katafaniyayang berarti musnah atau lenyap. Keadaan dariSyai’(sesuatu) yang tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir, dikatakan bahwa ia telah mencapai fana.19 Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad

17Margareth Smith, terj. Jamilah Baraja,Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, cet.

IV, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hal. 110.

18

Inayat Khan,Dimensi Mistik,70-71

19 Khan Shahib Khaja Studies In Tasawuf (terjemah), (Jakarta, Raja Grafindo Persada,


(19)

(rusak). Fana artinya tidak nampak sesuatu, sedangkan al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesutu yang lain.20

Al Qusyairi mendefinisikan bahwa fana adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu dzat yang Maha Mutlak. Hanya satu daya yang mendominasi seluruh ekspresinya, yaitu daya hakikat Tuhan, inilah yang disebut dengan fana’ dari makhluk. Oleh karena itu sifatnya yang demikian, maka fana’ ini sebenarnya adalah suatu keadaan insidental, artinya tidak berlangsung secara terus menerus.21

Bagi kalangan sufi, nada-nada islami, seperti nasyid atau pembacaan syair-syair sholawat berfungsi untuk menambah-nambah kekhusyuan dan keasyikan dalam hal menghadirkan Allah Swt. Batin si sufi akan terasa larut dalam irama-irama tersebut tatkala berdzikir atau bershalawat. Keadaan ini menghasilkan ketenangan zahir dan ketenangan batin. Ketenangan zahir dapat dilihat dari bacaan dzikir atau shalawat yang fasih dan teratur dan posisi tubuh yang tetap pada tempatnya berdikir atau bersholawat. Adapun ketenangan batin, suatu perasaan tentram dan damai yang ada di dalam lubuk hati. Dalam term psikologi, ketenangan batin atau jiwa ini dikatakan sebagai suatu keadaan relaksasi.22

Seorang sufi yang berada dalam keadaan relaksasi, pikiran dan perasaan serta hatinya menjadi fokus ke dalam satu tujuan, yakni menghadirkan Allah Swt.

20 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf,(Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2011), cet ke-10, 231

21Risalah Qusyairiyah,

22

Ibrahim Idrus, Dzikir Nasyid Di Majelis Ta’lim Bani Isma’il Banjarmasin, (Thesis Institut Agama Islam Negeri Antasari Program Pasca Sarjana Prodi Akhlak Tasawuf Banjarmasin, 2015), 1


(20)

Semakin fokus jiwa seorang sufi, maka semakin dalam dan lama pula durasi ia mampu berada dalam hadirat ilahi.23

Mereka yang telah konsisten (istiqomah) dalam pemusatan jiwa kepada Allah Swt akan memperoleh semacam pengalaman batin yang mana menurut Abraham Maslow, seorang pemuka psikologi humanistik, sebagai pengalaman puncak yang transenden. Pengalaman puncak digambarkan sebagai kondisi jiwa mengalami pengalaman-pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang siapa (jati) diri mereka dan dunia mereka.24

Dalam tradisi sama’, kondisi fana seakan menjadi sebuah keistimewaan tersendiri karena fana’ adalah pengalaman spiritual tertinggi seorang hamba. Yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs) yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh yang kasar.25 Kalau seorang telah mencapai al-fana al-nafs yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainyaal-fana al-nafs26.

23Ibid.

24Jalaluddin,Psikologi Agama(Jakarta: PT Raja Graindo Persada, 2009), 157-158. 25Ibid, 232-233

26Harun nasution,falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1983),


(21)

30

A. Al Khidmah Sungonlegowo

Al Khidmah dideklarasikan pada tanggal 25 Desember 2005 di Semarang. Sesuai dengan buku pedoman kepemimpinan dan kepengurusan dalam kegiatan dan amaliah at tarekat dan Al Khidmah, dibentuklah kepengurusan baik dari tingkat pusat, tingkat Provinsi, tingkat Kota atau Kabupaten, tingkat Kecamatan dan juga tingkat Desa atau koordinator.1

Sebelum tahun 2005 nama Al Khidmah juga sudah dikenalkan oleh KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy melalui buku-buku atau kitab-kitab yang diterbitkan oleh beliau dengan penerbit Jama'ah Al Khidmah Surabaya yang pada saat itu di Surabaya sendiri jumlah Jama'ahnya masih sedikit dan belum ada kepengurusan secara resmi.

Nama Al Khidmah dipakai oleh KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy karena beliau tidak menginginkan nama Jama'ahnya terlalu tinggi. Al Khidmah sebenarnya juga merupakan cerminan dari kerendahan hati beliau yang memiliki arti melayani. Dari kata-kata melayani itu, maka Perkumpulan Jama'ah Al Khidmah siap melayani semua lapisan masyarakat yang membutuhkan siraman rohani yang dilakukan dengan cara berdzikir.2

1Ahmad Asrori al-Ishaqy,Pedoman Kepemimpinan dan Kepengurusan Dalam Kegiatan

dan Amaliah at Tarekat dan Al Khidmah(Surabaya: Al Khidmah, 2011), 55-56.

2Dony Darmawan,Sejarah Lahir Dan Berkembangnya Perkupulan Jama’ah Al Khidmah

Dalam Menyiarkn Ajaran-Ajaran KH. Ahmad Asrori al Ishaqy Di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya Pada Tahun 2005-2014.(Skripi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016) hal. 45


(22)

Di dalam bukunya, KH. Ahmad Asrori mendefinisikan Perkumpulan Jama'ah Al Khidmah sebagai kumpulan dari orang-orang yang mengikuti kegiatan yang telah ditetapkan dan juga diamalkan oleh para guru tarekat, ulama salafus saleh dan juga para pendahulu-pendahulu.3 Dari definisi tersebut, maka perkumpulan jama'ah al khidmah berbeda dengan murid tareqat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Perkumpulan jama'ah al khidmah mempunyai tugas untuk mengatur dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. mengajak orang untuk bertarekat. Ini membuktikan jika memang al Khidmah merupakan kaki tangan dari tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang dibawa oleh KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy.

Di Desa Sungonlegowo sendiri, al khidmah telah ada sejak tahun 80 an, tetapi masih belum memakai nama al khidmah, hanya menggunakan sebutan majelis manaqib dan istighosah yang dipimpin oleh KH. Saunan Ma’ruf, salah satu tokoh masyarakat Desa Sungonlewogo. Selanjutnya, tongkat estafet pimpinan majelis manaqib dan istihgosah berlanjut pada KH Mahin Noer, cucu dari KH Masyhuri pengasuh pondok pesantren Roudlotul Muta’allim, salah satu pondok di Desa Sungonlegowo yang menjadi sentral kegiatan al khidmah Sungonlegowo hingga saat ini.

Awal keberadaan majelis ini, tidak banyak masyarakat yang tertarik untuk mengikuti, hanya sebagian besar jama’ah yang tergolong santri atau orang-orang yang pernah dan mengenal sosok KH Ustman al Ishaqy, ayahanda KH. Ahmad Asrori al Ishaqy, ataupun orang-orang yang diajak oleh beberapa murid KH


(23)

Ustman al Ishaqy. Umu Tubiana, salah satu pengurus dari jama’ah al khidmah saat ini menuturkan bahwa keikutsertaanya di dalam al khidmah adalah karena ajakan salah satu dari murid thoriqoh KH Ustman al Ishaqy.4 Perempuan yang berprofesi sebagai guru disalah satu TPQ Sungonlegowo ini bercerita bahwa awal keikutsertaanya adalah karena ajakan dari Hj. Maghfiroh, salah satu murid dari KH Ustman al Ishaqy, kemudian muncul perasaan suka hingga akhirnya beliau mantap memutuskan untuk berbaiat pada KH. Ahmad Asrori untuk mengikuti thoriqot qodiriyah wa naqsabandiyah.

Cerita yang sama juga diungkapkan oleh Ainul Fuad, pimpinan majelis al khidmah Sungonlegowo (Pimpinan Majelis adalah orang yang memimpin dalam setiap majelis, berbeda status dengan ketua), beliau mengisahkan bahwa pada tahun 1988 saat masih SMA, beliau diajak oleh KH Mahin Noer untuk sowan kepada KH Ustman al Ishaqy. Melihat sosok KH Ustman al Ishaqy yang teduh, beliau akhirnya tertarik untuk mengikuti majelis beliau hingga saat ini menjadi pimpinan majelis al khidmah.5

Sejak tahun 2005, saat al khidmah telah dideklarasikan dan tongkat estafet ke-mursyidan berganti pada KH. Ahmad Asrori al Ishaqy, jama’ah majelis manaqib dan istighosah berganti nama menjadi al khidmah, sesuai intruksi dari KH. Ahmad Asrori. Dengan penataan struktur yang lebih tertata, ditambah dengan munculnya generasi-generasi muda al khidmah Sungonlegowo, al

4Wawancara dengan Umu Tubiana, 43 tahun. 15 Mei, 2016 di kediaman Jl. Kanoman

Utara.

5Wawancara dengan Ainul Fuad, 45 tahun, 14 Mei, 2016 di kediaman beliau Jl. Sultan


(24)

khidmah berkembang cukup cepat di Sungonlegowo, antusiasme masyarakat mulai terlihat pada setiap majelis yang diadakan oleh al khidmah, baik acara bulanan maupun agenda tahunan.

Untuk kegiatan al khidmah Sungonlegowo, Fasich Ilyadi,6 selaku Ketua al Khidmah Sungonlegowo saat diwawancarai mengenai jadwal kegiatan al khidmah menjelaskan bahwa dalam al khidmah Sungonlegowo terdapat dua agenda, yakni bulanan dan tahunan, dengan rincian sebagai berikut:

a. Agenda bulanan

• Majelis malam jum’at Legi, bertempat di Mushollah pondok Pesantren Roudlotul Muta’allim.

• Majelis Jum’at Pahing, khusus untuk ibu-ibu, bertempat di rumah jama’ah al khidmah dengan bergiliran secara suka rela.

• Majelis selasa pahing, bertempat di Masjid Jami’ Sungonlegowo.

• Khususi (khusus bagi murid thoriqoh yang sudah berbaiat), setiap hari Minggu secara bergiliran di empat Desa, yakni Desa Sungonlegowo, Desa Bedanten, Desa Indrodelik dan Desa Sukorejo. Bertempat di masjid jami’ masing-masing Desa.

• Majelis Tahlil Kifayah, diadakan jika ada keluarga jama’ah al khidmah yang meninggal dunia, atau pihak keluarga dari warga Sungonlegowo yang mengundang jama’ah al khidmah untuk melaksanakan tahlil kifayah.

6Wawancara degan Fasich ilyadi, 45 tahun, 15 Mei, 2016 di Kantor Sekertariat al khidmah Sungonlegowo, Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allim


(25)

b. Agenda Tahunan

• Haul Akbar Desa Sungonlegowo, yang diadakan satu tahun sekali. pada tahun 2016 ini bertepatan dengan tanggal 23 April 2016. Hal yang cukup menarik dari al khidmah Sungonlegowo adalah keberadaan anak-anak muda putus sekolah yang notabenenya masuk dalam kategori anak nakal (bagi kalangan Umum yang belum mengenal lebih dalam) dengan kebiasaan yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan majelis al khidmah. Anak-anak yang tergabung dalam sebutan Coupler (comunitas pecinta teler) ini sudah terbiasa dengan hal-hal yang berbau alcohol dan sebagainya, tetapi ketika al khidmah mengadakan acara majelis dzikir mereka hadir dan tampak khusyu’ mengikuti acara sampai selesai, bahkan mereka adalah penggerak utama persiapan majelis, seperti pembuatan dekor, penataan terop, sound system dan lain-lain.

B. Doktrin Dasar Islam Dalam Nasyid Al Khidmah

Tidak dapat dipungkiri kalau manusia sekarang khususnya kaum muda sangat gemar sekali dengan dunia hiburan, terutama musik, karenanya diperlukan musik alternatif yang bermutu dan membina keimanan dan akhlak kaum muda, dan salah satunya adalah nasyid. Itulah alasan mengapa nasyid masuk sebagai salah satu metode pembinaan akhlak tasawuf di zaman modern ini. kebiasaan mendengarkan lagu-lagu semacam nasyid atau lagu-lagu yang bernafaskan Islam sangat dianjurkan karena di dalamnya terdapat hikmah, peringatan dan teladan (ibrah) yang mengobarkan semangat serta ghirah dalam beragama,


(26)

membangkitkan rasa simpati, penjauhan diri dari segala macam bentuk keburukan. Seruannya dapat membangkitkan jiwa sang pelantun maupun pendengarnya agar berlaku taat kepada Allah SWT.

Islam sendiri merupakan agama dengan semangat doktrin yang sangat kuat, sehingga apapun yang ada dan muncul dalam Islam pasti harus memiliki landasan dasar yang diserap dari dua sumber utama, yakni al qur’an, hadist, ijma’ serta qiyas. Demikian pula dengan nasyid, harus tetap dilandaskan pada dalil-dalil utama Islam agar tidak melenceng dari apa yang telah ditetapkan oleh agama.

Nasyid al khidmah pun demikian. Oleh KH Ahmad Asrori, Nasyid al Khidmah dirangkai dengan bait-bait yang tetap berlandaskan al Qur’an dan sunnah. Beberapa dalil atau doktrin dasar Islam yang terkandung dalam nasyid al khidmah diantaranya:

1. Dzikir

Dalam nasyid al khidmah, bait pertama dan sebagai pembuka adalah kalimat dzikir yang paling utama yakni:

*

Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi

shallallahu ’alaihi wa sallam(haditsmarfu’),


(27)

Artinya :Dzikir yang paling utama adalah bacaan ’laa ilaha illallah’.7

Allah telahmemerintahkan kita untuk banyak berdzikir dan berdo’a dalam Al Qur’an dan hadist yang disampaikan Rasulullah. Shalat adalah salah satu kegiatan Dzikir & Do’a yang diwajibkan bagi umat Islam. Diluar kegiatan sholat Allah juga memerintahkan agar kita memperbanyak dzikir dan do’a baik ketika berdiri, duduk dan berbaring dimanapun kita berada. Nasyid al Khidmah bisa menjadi salah satu alternatif media untuk berdzikir dimanapun dan kapanpun kita berada.

Praktek dzikir dan do’a juga merupakan investasi berhargabagi kehidupan dunia dan akhirat, ini merupakan usaha atau jalan untuk mendekatkan diri pada Allah swt. Beberapa perintah agar kita berdzikir dan berdo’a didalam Qur’an dan hadist antara lain sebagai berikut dibawah ini:

٢ ٨

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Dalam ayat lain, Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu berdzikir diwaktu pagi dan petang, sebagaimana dalam surat al ahzab ayat 41-43:

٤ ١

٤ ٢

٤ ٣

7Muttafaqun Alaihi.


(28)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.

Nabi Muhammad SAW sendiri dalam banyak haditsnya juga mengisyaratkan bahwa dzikir merupakan amalan yang utama, diantaranya:

َ

ﺮ ُﺜَﻛ ْﺪَﻗ

Artinya: Dari ‘Abdullah bin Busr radliallahu ‘anhu bahwa seorang

laki-laki berkata; wahai rasulullah, sesungguhnya syari’at-syari’at Islam telah banyak

yang menjadi kewajibanku, maka beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku

jadikan sebagai pegangan! Beliau bersabda: “Hendaknya senantiasa lidahmu

basah karena berdzikir kepada Allah.” Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits

hasan gharib dari sisi ini.8

Hadits ini diriwayatkan juga dengan redaksi lain yaitu bahwa seorang Arab badui bertanya kepada Rasulullah saw: Amal apa yang paling utama? Maka beliau menjawab:


(29)

Artinya: Anda meninggalkan dunia dalam keadaan lidahmu basah dengan dzikir kepada Allah.9

ٍم ْﻮَﻗ َﻊ َﻣ َﺪ

ُﻌ ْﻗَأ ْنَ َ

ْن َأ

ًﺔ َﻌ َﺑ ْرَأ َﻖ ِﺘْﻋ َأ ْن َأ ْﻦ ﻣ ﱠﻲ َﻟِإ ﱡﺐ َﺣ َأ ُﺲ ْﻤﱠﺸ ﻟا َب ُﺮ ْﻐَﺗ

Artinya: Dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wasallam bersabda: “Sungguh, aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Ta’ala dari shalat Subuh hingga terbit matahari lebih aku sukai daripada aku

membebaskan empat anak Isma’il. Dan sungguh aku duduk bersama suatu kaum

yang berdzikir kepada Allah dari Shalat ‘Ashar hingga matahari tenggelam adalah

lebih aku sukai daripada aku membebaskan empat orang budak.”10

2. Shalawat dan pujian kepada wali

Oleh KH. Ahmad Asrori, shalawat kepada Nabi serta pujian kepada para wali ditempatkan tepat di bawah lafadz jalalah, sebagai pengiring dzikir kepada allah dalam baitnya:

*

Dalam nasyid yang kedua, bait shalawat dan salam kepada Nabi menjadi pembuka nasyid sebagai penghormatan kepada beliau, sebagaimana di bawah ini:

9Hadits riwayat al Baghowi 10Hadits riwayat Abu Daud


(30)

*

*

Di antara hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya: Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintahkan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).


(31)

3. Doa dan istighfar

60 persen dari nasyid al khidmah merupakan doa dan istighfar kepada Allah SWT. Dalam nasyid pertama, bait ketiga

sampai pada bait ke akhir ke dua puluh enam

merupakan doa dan pengharapan agar dijauhkan dari api neraka dan didekatkan dengan surga melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Sedangkan nasyid kedua hampir keseluruhan merupakan bait yang berisikan istighfar sekaligus doa kepada Allah SWT kecuali beberapa bait akhir penutup yang berisikan sanjungan kepada Nabi dan sahabatnya serta para wali dan guru tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah.

Berdo'a atau memohon kepada Allah adalah inti ibadah, ummat islam dengan tidak pandang derajat dan pangkat semuanya diperintahkan supaya banyak-banyak berdo'a kepada Tuhan siang dan malam.

Orang yang berdo'a seolah-olah bermunajat dengan Allah, berbisik dengan dia, dgn memakai kata-kata yang sopan, yang merendah, sebagai keadaannya orang-orang miskin yang meminta kepada orang-orang-orang-orang kaya. Kedudukan do'a sangat tinggi dalam Ibadah Islam. Orang yang tidak mau berdo'a adalah orang-orang yang sombong, yang menganggap dirinya lebih tinggi, lebih pandai, lebih kaya dari tuhan. Karena itu berdo'a dengan khusyu' dan tawadhu' sangat dianjurkan dalam agama Islam. allah berfirman :

ﻢ ﻜ ﻟ ﺐ ﺠ ﺘﺳ ا ﻰ ﻧﻮ ﻋ دأ

Artinya : "berdoalah kamu kepadaku,niscaya kuperkenankan permintaan kamu itu"


(32)

Tuhan berjanji akan menerima do'a hambanya, akan tetapi Ia tidak menetapkan waktu penerimaannya.

Dalam ayat lain Allah berfirman :

Artinya:"berdo'alah kepada Tuhan dengan merendahkan diri & dengan suara hati yang lembut tersembunyi"

Dalam ayat ini Tuhan menyuruh sekalian manusia supaya berdo'a memohon dan meminta kepadanya dengan merendah diri dan dengan suara hati yang lemah lembut yang terbit dari lubuk hati yang dalam.

Selain ayat di atas, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallamtelah mencontohkan pada umatnya untuk memperbanyak istighfar. Karena manusia tidaklah luput dari kesalahan dan dosa, sehingga istighfar dan taubat mesti dijaga setiap saat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallambersabda:

Artinya: Demi Allah, aku sungguh beristighfar pada Allah dan bertaubat pada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.11


(33)

Artinya: Ketika hatiku malas, aku beristighfar pada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.12

4. Mengingat kematian

Kematian, sesungguhnya merupakan hakikat yang menakutkan, akan menghampiri semua manusia. Tidak ada yang mampu menolaknya. Dan tidak ada seorangpun kawan yang mampu menahannya.

Kematian datang berulang-ulang, menjemput setiap orang, orang tua maupun anak-anak, orang kaya maupun orang miskin, orang kuat maupun orang lemah. Semuanya menghadapi kematian dengan sikap yang sama, tidak ada kemampuan menghindarinya, tidak ada kekuatan, tidak ada pertolongan dari orang lain, tidak ada penolakan, dan tidak ada penundaan. Semua itu mengisyaratkan, bahwa kematian datang dari Pemilik kekuatan yang paling tinggi. Meski sedikit, tak seorang pun manusia memiliki wewenang atas kematian.

Hanya di tangan Allah semata pemberian kehidupan. Dan hanya di tanganNya, mengambil kembali yang telah Dia berikan pada ajal yang telah digariskan.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmandalam surat Ali Imran ayat 185:

ِ

ر و

ُﺮُﻐ ْﻟا ُع ﺎَﺘَﻣ


(34)

Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Dalam nasyid al khidmah yang pertama, terdapat bait bait yang secara gamblang menjelaskan tentang kematian dalam bait di bawah ini:

*

*

*

*

*

*

*

Maut merupakan ketetapan Allah. Seandainya ada seseorang yang selamat dari maut, niscaya manusia yang paling mulia pun akan selamat. Namun maut merupakan sunnah ketetapan-Nya atas seluruh makhluk. Allah berfirman dalam al Qur’an surat Az Zumar ayat 30:


(35)

Artinya: Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).

Dalam ayat lain, Allah menjelaskan bahwa tidak ada manusia yang kekal di dunia ini, sebagaimana disebutkan dalam surat al anbiya’ ayat 34-35:

ْﻟا

Artinya: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

Selain ayat al qur’an, banyak pula hadits-hadits yang mengingatkan tentang kematian, agar manusia selalu ingat bahwa hidup di dunia tidaklah kekal. Agar manusia bersiap siaga dengan perbekalan yang dibutuhkannya saat perjalanannya yang panjang nanti. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


(36)

Artinya: “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.13

Dalam riwayat Ath Thabrani dan Al Hakim terdapat tambahan:

:

,

,

Artinya: “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atas orang itu. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu luas (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atas orang itu.

Dan juga hadits berikut ini:

ّي َأ

Artinya: Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang laki-laki Anshar datang kepada Beliau, kemudian


(37)

mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia bertanya: “Wahai, Rasulullah. Manakah di antara kaum mukminin yang paling utama?” Beliau menjawab, ”Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” Dia bertanya lagi: “Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdik?” Beliau menjawab,”Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling bagus persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdik.14


(38)

47

Secara psikologis terdapat hubungan saling mempengaruhi antara musik dengan kondisi jiwa. Suatu saat musik dapat mempengaruhi kondisi jiwa, disaat lain terjadi sebaliknya.1 Begitu juga dengan nasyid al Khidmah yang memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan spiritual para jama’ahnya. Nasyid al Khidmah, dalam hemat peneliti, oleh KH. Ahmad Asrori, menggunakan tangga nada dengan jenisbahr(salah satu bentuk nada dengan acuan tertentu dalam ilmu tata bahasa Arab) bashith yang mengikuti wazan ini Bashith Bahr .2ﻦ ﻠﻋ ﺎﻓ ﻦ ﻠﻌ ﻔﺘﺴ ﻣ

juga digunakan oleh KH. Utsman al Ishaqy dalammerangkai syi’irnya.

Menurut keterangan KH. Ali Tamim Wafa, nada nasyid yang digunakan al Khidmah khususnya karya KH. Ahmad Asrori saat ini, adalah nada pilihan dari dua puluh nada nasyid yang dihaturkan langsung oleh KH. Ahmad Asrori kepada Syaikh Abdul Qodir Jilani melalui mimpi, dan Syaikh Abdul Qodir Jilani memilih nada yang sekarang dipakai oleh al Khidmah. Terlepas dari benar atau tidaknya hal tersebut, namun demikian adanya cerita yang disampaikan oleh KH. Ali Tamim Wafa.3 Karena jika diteliti secara empirik, hal yang demikian tidak bisa diterima oleh akal normal karena tidak bisa dibuktikan secara rasional.

1Abdul Muhaya,bersufi melalui Musik, 35

2Syaikh Muhammad Damanhuri, Al Mukhtashar asy Syafi ‘Ala Matan al Kafi, (Darul

Ma’rifah, tahun dan tempat tidak diketahui), 12

3Wawancara dengan KH. Ali Tamim Wafa, mantan Ketua al Khidmah Surabaya, pada


(39)

Dalam buku yang berjudul “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan”, Anand Krishna menjelaskan: bahwa sewaktu mendengar lagu atau musik yang indah, tiba-tiba kita merasa terlepaskan dari pikiran memasuki alam rasa. Begitu memasuki alam rasa, sesungguhnya kita memasuki alam spiritual juga. Keindahan yang menjadi pemicunya.4Dalam hemat peneliti, nampaknya hal

ini juga terjadi saat para jama’ah mendengarkan lantunan nasyid al khidmah yang

dibawakan dengan alunan suara teratur untuk mengiringi para jama’ah berdikir,

sebagaimana keterangan dari KH. Ali Tamim Wafa bahwa dzikir di al khidmah diiringi dengan nasyid agar lebih mudah memasuki dimensi spiritual yang lebih mendalam dibandingkan dengan hanya berdzikir biasa.

Beberapa dampak spiritual yang dirasakan dalam nasyid al khidmah sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh narasumber dan beberapa tokoh al khidmah adalah:

A. Khauf

Khauf menurut Al Ghazali terdiri atas ilmu, hal, dan amal. Khauf dapat diraih melalui ilmu, yang dimaksud ilmu adalah pengetahuan tentang perkara-perkara yang dapat mendatangkan ketakutan, seperti azab Allah, sifat-sifat Allah, kedahsyatan sakaratul maut dan hari akhir.5

Mengamati pengertiankhauf oleh al Ghozali, penghayatan tentang makna nasyid al khidmah adalah termasuk sebuah pengetahuan atau disebut dengan ilmu.

4Anan Krishna,Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan, (Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta 2002), 32

5Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin,juz IV terj. Prof Ismail Ya’kub dengan judul Ihya’ al


(40)

Bait-bait syair tentang adzab kubur membuat mereka merasa takut luar biasa, sehingga sebisa mungkin mereka melaksanakan kewajiban mereka sebagai seorang muslim yakni beribadah kepada Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarangan oleh Allah. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya merupakan manifestasi (dalam hal ini disebut amal oleh al Ghazali) dari perasaan

khauf dalam kehidupan seseorang. Ia menjadi buah dari perasaan khauf yang dihasilkan dari ilmu tentangkhauf.

Abdul Majid (27) satu dari beberapa pembaca al khidmah Sungonlegowo menuturkan bahwa ketika membaca nasyid dan sampai pada kalimat:

✝ ✁ ✂✄✝

muncul perasaan takut (khauf) yang luar biasa, terkadang bahkan membuat dirinya menangis, memikirkan bagaimana ia akan mati kelak, apakah masuk dalam kategori orang-orang yang khusnul khotimah ataukah justru masuk dalam

golongan orang yang mati dengan su’ul khotimah. Lebih lanjut, ia

mengungkapkan bahwa nasyid al khidmah ini membuat dirinya merasa bahwa ia merupakan hamba yang banyak dosa.6

Perasaan khauf ini juga dirasakan oleh Umu Tubianah, perasaan yang muncul ketika pembacaan nasyid yang membuat dirinya tidak bisa menahan air


(41)

mata saat, namun ia selalu teringat pesan dari pengajian yang selalu disampaikan

selepas acara al khidmah bahwa Nabi Muhammad akan memberikan syafa’at

kepada siapa saja yang mencintainya berbekal pengetahuan itu, ia selalu

mengharap (raja’) bahwa kelak ia dan seluruh keluarga, teman, saudara, tetangga, gurunya, mendapatkan syafa’at dari Nabi Muhammad pada hari perhitungan.

Takut kepada Allah menurut Al-Ghazali, pertama disebabkan ma✥rifat

kepada Allah dan sifat-sifat-Nya. Kedua, takut karena banyaknya penganiayaan hamba dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Ketiga, menurut pengetahuan akan kekurangan dirinya dan ma’rifah akan keagungan Allah dan Allah tidak memerlukan kepadanya. Maka, manusia yang paling takut kepada Tuhannya adalah mereka yang lebih mengenal akan dirinya dan Tuhannya.7

Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya:

pertama, bila seorang hamba mengetahui dan meyakini hal-hal yang tergolong pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya. kedua, pembenarannya akan adanya ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan; ketiga, ia mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.8

Para ulama membagi khauf menjadi lima macam9:

1) Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan

7Ibid.

8Buletin Al Wara’ Wal bara’, Edisi ke-6 Tahun ke-2 / 02 Januari 2004 M / 10 Dzul

Qo’dah 1424 H, Judul asli “IBADAH, Antara Khauf dan Roja’ oleh Ustadz Abu Hamzah Al-Atsary.


(42)

menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa yang Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengankhaufus-sirr.

2) Khauf syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah, seperti kepada para wali, jin, patung-patung, dan sebagainya. 3) Khauf maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal

yang diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa. Allah berfirman dalam surat Ali Imaran ayat 175:

ﺎَﻤﱠﻧِإ

١ ٧ ٥

Artinya: Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman.”

4) Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takut singa, takut tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman

tentang Musa dalam al Qur’an surat al Qashsash ayat 18:

ﻲ ِﻓ

ِﺑ


(43)

“Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya).”

5) Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak ada penyebabnya, atau ada penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.

Dalam konteks ibadah, yang termasuk ibadah tidak selalu identik dengan shalat, zakat, puasa atau haji saja, melainkan banyak kegiatan yang bisa bernilai ibadah, salah satunya adala berdzikir. Dalam hal ini, metode berdzikir yang digunakan oleh KH. Ahmad Asrori salah satunya adalah melalui nasyid al Khidmah yang penuh dengan muatan syair yang mengingatkan kepada Allah SWT, shalawat kepada Nabi dan juga bait-bait tentang azab kubur serta istighfar. Selain itu, metode berdzikir dengan nasyid lebih disukai karena diiringi dengan nada dan irama yang menyentuh hati dan lebih mudah diterima oleh masyarakat umum.

B. Raja

Nasyid al khidmah selain berisi muatan tentang azab kubur, juga berisi tentang pengharapan agar mendapat pertolongan dari azab kubur dan siksa neraka dengan perantara Nabi Muhammad SAW dan perantara para auliya’ sebagai

pewaris para Nabi, sebagaimana tercantum dalam bait-bait di bawah ini:


(44)

✞þ ✟✠✡

*

*

Dimensi raja’ ini muncul bukan hanya karena bait-bait syair yang berisikan harapan agar diberikan tempat paling tinggi bersama Nabi Muhammad SAW, tetapiraja’ dalam nasyid al Khidmah juga disebabkan karena para jama’ah

menyadari sepenuhnya bahwa mereka tidak akan masuk surga jika hanya mengandalkan ibadah yang mereka lakukan selama ini. Hal ini dirasakan bukan karena pesimis terhadap rahmat Tuhan, namun mereka sadar bahwa mereka masih terlalu jauh dengan Allah, sehingga mereka membutuhkan sosok yang lebih dekat dengan Tuhan sebagai sebuah perantara. Perumpamaan yang seringkali disampaikan dalam majelis al Khidmah adalah ketika seseorang ingin menemui seorang presiden, maka tidak mungkin ia bisa menemui presiden secara langsung tanpa melalui orang terdekatnya, yakni para menteri dan ajudan sang presiden, sehingga dengan mendekati sang menteri atau ajudan presiden, kesempatan untuk bertemu dengan sang presiden semakin terbuka, meski tidak pasti berhasil, tetapi dengan usaha tersebut membuat harapan untuk bertemu dengan presiden semakin dekat. Ini pula yang menjadikan para jama’ah memiliki harapan dengan

mendekati orang yang dekat dengan Tuhan, kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan atau paling tidak mendapatkan rahmat dan ridho Allah semakin terbuka lebar. Begitu pula yang dirasakan Moh. Ikhsan (31), laki-laki paru baya kelahiran Tuban ini mengaku sangat menyukai al khidmah karena nasyid al khidmah yang sangat menenangkan dan selalu merasa ingin membacanya bersama-sama para


(45)

Ahmad Asrori. Lebih lanjut Moh. Ikhsan mengatakan “selain bacaan maulid Nabi

dan Sholawat, nasyid al khidmah ini memberikan sebuah pesan kerinduan

terhadap al Musthafa (Nabi Muhammad) yang selalu diharapkan syafa’atnya.10

Raja’ sangat diperlukan agar bersemangat dalam melakukan ketaatan.

Sebab berbuat baik itu berat dan setan senantiasa mencegahnya, hawa nafsu tidak henti-hentinya mengajak pada selain yang baik. Seperti keadaan kebanyakan orang yang lalai, mereka mempunyai watak menuruti hawa nafsu secara terang-terangan. Sedangkan pahala yang dicari dengan ketaatan itu tidak kelihatan mata dan bersifat gaib. Sementara jalan memperoleh pahala itu begitu jauh. Apabila demikian keadaannya, tentu nafsu tidak bersemangat dalam mengerjakan kebaikan, tidak menyukai dan tidak pula mau bergerak guna melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini, harus dihadapi dengan raja' yang kuat, mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahala-Nya.

Selain itu, raja’ juga harus dimiliki Agar merasa ringan dalam

menanggung berbagai kesulitan dan kesusuhan. Barang siapa telah mengetahui kebaikan akan sesuatu yang menjadi tujuan, tentu menjadi ringan untuk mengeluarkan apa yang perlu diberikan. Ketika orang benar-benar menyukai sesuatu, tetnu ia sanggup memikul beban beratnya dan tidak akan peduli apa yang akan ia hadapi dan berapapun ongkosnya. Jika seorang telah benar-benar mencintai orang lain, tentu ia dengan senang hati ikut menanggung cobaan orang yang ia cintai itu. Bahkan merasa senang dengan cobaan itu. Coba lihat orang

10Wawancara dengan Moh. Ikhsan (31), 14 Mei 2016, dikediaman Jl Sultan Agung


(46)

yang mengambil madu di sarang lebah, ia tidak mempedulikan sengatan lebah itu. karena ingat akan manisnya madu. Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka bersungguh-sungguh apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya, kecantikan bidadari-bidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua apa yang disediakan Allah di dalam surga. Mereka merasa ringan menanggung beban kepayahan dalam beribadah, walaupun tidak sempat merasakan kenikmatan dan kelezatan dunia.

C. Dimensi Fana

Arti fana’ menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan.11

Fana’yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri(fana ‘an al-nafs) yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh yang kasar. Kalau seorang telah mencapaial-fana al-nafsyaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainyaal-fana al-nafs12.

Apabila dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, dimana seseorang tidak

11Abuddin Nata,Akhlak Tasawuf,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 231-232 12Ibid.


(47)

merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak merasakan ke-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian terlihat, bahwa fana’ adalah

kondisi intuitif dimana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya, terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awam barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima. Sebagaimana definisi al Qusyairi bahwa fana adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu dzat yang Maha Mutlak. Hanya satu daya yang mendominasi seluruh ekspresinya,

yaitu daya hakikat Tuhan, inilah yang disebut dengan fana’ dari makhluk. Oleh karena itu sifatnya yang demikian, maka fana’ ini sebenarnya adalah suatu

keadaan insidental, artinya tidak berlangsung secara terus menerus.

Setelah mengalami pengalaman demi pengalaman batin ini, pribadi sufi kembali kepada fitrahnya. Menurut Qurais shihab, fitrah ini memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan manusia untuk gemar kepada kebaikan, kebenaran dan keindahan.

D. Dimensi Mahabbah

Abu Nashr al-Tusi, membagi al-mahabbah menjadi 3 (tiga) tingkatan13:

1. Cinta orang banyak (biasa), yakni mereka yang sudah kenal pada Tuhan dengan zikr, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.


(48)

2. Cinta para mutahaqqiqin, yaitu mereka yang sudah kenal pada Tuhan, pada kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmuNya dan lain sebagainya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dengan Tuhan. Dengan demikian ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta yang kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

3. Cinta para siddiqin dan ’arifin, yaitu mereka yang kenal betul pada

Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Dalam hemat peneliti, cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indera. Masing-masing indera mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musik, dan seterusnya. Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indera keenam, yakni persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengan persepsi manusia menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan ruhani.

Dalam pembagian at Thusi, dimensi mahabbah yang dirasakan oleh para


(49)

(biasa) yang dalam hal ini kecintaan mereka terhadap Allah masih termanifestasikan dalam setiap dzikir mereka. sebagaimana keterangan di atas bahwa telinga mencintai musik (suara yang indah), salah satu yang menjadikan al

Khidmah tempat yang sesuai dengan para jama’ah adalah keberadaan nasyid yang

berisi muatan dzikir yang dibalut dengan keindahan suara.

Kecintaan ini pula yang dirasakan anak-anak muda yang notabenenya masuk dalam kategori nakal, tidak seperti pengalaman para jama’ah di atas.

Pengalaman yang mereka rasakan adalah pengalaman dimana mereka merasakan kecintaan yang luar biasa terhadap al khidmah. Meski kecintaan itu tidak serta merta menghilangkan kebiasaan mereka untuk menikmati perkara yang masuk dalam kategori larangan seperti mabuk-mabukan, tetapi dengan rasa kecintaan kepada al khidmah, mereka dengan tulus hati ikut serta dalam mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan prosesi yang berkaitan dengan acara-acara al khidmah, seperti mempersiapkan terop, dekor, sound system, konsumsi dan persiapan yang lain. Kecintaan mereka terhadap al khidmah salah satu sebabnya adalah nasyid al khidmah.

Imam syuhada’ (24) atau yang lebih akrab disapa dengan “lomot”,salah

satu dari anak muda al khidmah Sungonlegowo menuturkan bahwa kecintaan mereka terhadap al khidmah adalah karena nasyid yang dibaca dalam setiap acara al khidmah mampu menenangkan hati mereka. Meski hanya sejenak, namun memiliki rasa magic yang menarik hati anak-anak sepertinya. Terhitung tidak kurang dari 30 anak yang aktif dalam setiap kegiatan al khidmah Sungonlegowo.14


(50)

Tidak banyak dari para jama’ah yang mengerti akan konsep dan dimensi

spiritul nasyid al khidmah, namun apa yang mereka rasakan sebenarnya adalah bagian dari konsep-konsep yang telah dijelaskan oleh para ulama’, seperti khauf, raja’, mahabbah,dan fana’, tetapi mereka pernah dan mengalami

perasaan-perasaan itu saat mereka mendengarkan nasyid al khidmah. Tidak semua jama’ah

al khidmah berasal dari kalangan santri, justru mayoritas dari kalangan awam,

sehingga tidak banyak jama’ah yang mengerti akan konsep-konsep tasawuf yang

dimengerti. Mereka melakukan apa yang mereka senangi dan merasakan hal dan pengalaman yang membuat mereka banyak belajar dari hal tersebut.


(51)

60

A. Kesimpulan

Dalam nasyid al khidmah terkandung doktrin ajaran Islam yang meliputi:

Pertama, anjuran berdzikir. KH. Ahmad Asrori membungkus dzikir dengan cara

yang lembut dengan bungkus nasyid yang mampu menarik hati para jama’ah

untuk berdzikir bersama-sama. Kedua, Sholawat dan Pujian kepada para wali. Dalam nasyid al khidmah, sholawat merupakan pembuka dari setiap nasyid, baik nasyid yang pertama maupun nasyid yang kedua. Karena sholawat adalah anjuran yang paling utama dari Allah. Ketiga, Doa dan Istighfar. Nasyid al khidmah, selain berisikan dzikir dan sholawat, juga berisikan doa dan istighfar yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena manusia tidak lepas dari dosa sehingga sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa dan istighfar dalam kehidupan mereka.

keempat, Mengingat kematian. Isi nasyid al khidmah juga mengandung bait-bait

yang yang mengingatkan agar para jama’ah selalu mengingat kematian, karena

mengingat kematian mampu melunakkan hati agar tidak sombong dan merasa bahwa hidup ini hanyalah sementara.

Sedangkan dimensi spiritual yang ditemukan dalam nasyid al khidmah adalah: pertama, dimensi Khauf.Menurut Al-Ghazali khauf adalah suatu getaran dalam hati ketika ada perasaan akan menemui hal-hal yang tidak disukai. Kedua, dimensiRaja’. Imam Qusyairi mendefinisikan bahwa raja’ adalah keterpautan hati


(52)

Sebagaimana halnya khauf berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Ketiga, dimensi Fana’. Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak nampak sesuatu, sedangkan al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesutu yang lain. Dan yang terakhir adalah dimensi Mahabbah.

B. Saran

Skripsi ini hanya membahas tentang doktrin dan dimensi spiritual terkait dengan nasyid al khidmah, perlu adanya penelitian lebih tentang implementasi sosial dari pengaruh dimensi spiritual dari nasyid al khidmah terhadap kehidupan

para jama’ahnya, sehingga manfaat dari mengikuti dan mendengarkan prosesi

pembacaan nasyid bisa diketahui dan dirasakan secara langsung oleh para jama’ah

al khidmah khususnya dan setiap orang pada umumnya dalam kehidupan praktis mereka, sehingga tujuan untuk membumikan nilai tasawuf dalam kehidupan mereka bisa terealisasi secara utuh.


(53)

Al-Ghazali, Minhaj Al-Abidin, terj. Moh. Syamsi Hasan dengan judul Minhaj Al Abidin: Tujuh Tahapan Menuju Puncak Ibadah, (Surabaya: Amelia Surabaya, 2006)

_________,Ihya’ Ulumuddin, juz IV terj. Prof Ismail Ya’kub dengan judulIhya’

al Ghozali ,jilid VII (CV. Faizan, Jakarta, 1985)

Arifin, Samsul, dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996),

Asrori, Ahmad,Pedoman Kepemimpinan dan Kepengurusan Dalam Kegiatan dan Amaliah at Tarekat dan Al Khidmah(Surabaya: Al Khidmah, 2011)

Bakhtiar, Wadi,Metodologi Penelitian Ilmu Dakwa,(Jakarta: Logos, 1997) Chittick, William C,Tasawuf di Mata Kaum Sufi,(Bandung: Mizan, 2002)

Endah, Ayuning Tyas, Esti, Cerdas Emosional Dengan Musik. (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008)

Ernst, Carl W, Ajaran dan Amaliah Taswuf, terj. Arif Anwar, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003)

Hawwa,Sa’id,Jalan Ruhani,(Bandung: Mizan, 1997)

J Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009 edisi revisi)

Kamus al Munjid(Beirut: Dar al Masyriq, 1988)

Krishna, Anan, Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002)

Muhaya, Abdul,Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Gazāli,(Yogyakarta: Gama Media, 2003)

Munawir, Ahmad, Warson. Kamus al Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)

Najati, M. Ustman, al-Qur’an wa Ilmu Nafsi, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani dengan judulAl-Qur an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1982)


(54)

Nata, Abuddin, M.A. Prof. Dr. H. Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011)

Partanto, Pius,Kamus Ilmiah Popule,(Surabaya: Arkola, 1994)Yeni Rachmawati,

Musik Sebagai Pembentuk Budi Pekerti (Yogyakarta: Panduan. 2005) Ruslan, Rosady, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2006)

Safaria, Triantoro, Manajamen Emosi Sebuah Panduan Cerdas Mengolah Emosi Positif Dalam Hidup Anda. ( Jakarta: Bumi Aksara, 2012)

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)

Syam, Nur,Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah,(Solo: CV Romadhoni, 1991) Tanzeh, Ahmad,Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Teras, 2009)

Skripsi:

Dony Darmawan, Sejarah Lahir Dan Berkembangnya Perkupulan Jama’ah Al

Khidmah Dalam Menyiarkan Ajaran-Ajaran KH. Ahmad Asrori al Ishaqy Di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya Pada Tahun 2005-2014.(Skripi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016)

Jurnal:

Aqil Siradj, Said,Sama’ dalam Tradisi Tasawuf, (ISLAMICA UIN Sunan Ampel Surabaya, Volume 7, Nomor 2, Maret 2013)

Syukur, M. Amin, Sufi Healing: Terapi dalam Literatur Tasawuf Jurnal


(55)

Internet:

http://kbbi.web.id/dimensi,diakses pada 28 03 2016

http://www.kompasiana.com/antonijuneadi/keseimbangan-antara-keempat-dimensi-dalam-diri-manusia. Diakses pada 28 03 2016

http://www.sungonlegowo.desa.id/p/geografis.html

http://www.sungonlegowo.Desa.id/p/sejarah.html, diakses pada, 20 Mei 2016 https://id.wikipedia.org/wiki/Nasyid diakses pada 28-03-2016 pukul 14.34


(1)

59

Tidak banyak dari para jama’ah yang mengerti akan konsep dan dimensi

spiritul nasyid al khidmah, namun apa yang mereka rasakan sebenarnya adalah bagian dari konsep-konsep yang telah dijelaskan oleh para ulama’, seperti khauf, raja’, mahabbah,dan fana’, tetapi mereka pernah dan mengalami perasaan-perasaan itu saat mereka mendengarkan nasyid al khidmah. Tidak semua jama’ah

al khidmah berasal dari kalangan santri, justru mayoritas dari kalangan awam, sehingga tidak banyak jama’ah yang mengerti akan konsep-konsep tasawuf yang

dimengerti. Mereka melakukan apa yang mereka senangi dan merasakan hal dan pengalaman yang membuat mereka banyak belajar dari hal tersebut.


(2)

60 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam nasyid al khidmah terkandung doktrin ajaran Islam yang meliputi: Pertama, anjuran berdzikir. KH. Ahmad Asrori membungkus dzikir dengan cara yang lembut dengan bungkus nasyid yang mampu menarik hati para jama’ah

untuk berdzikir bersama-sama. Kedua, Sholawat dan Pujian kepada para wali. Dalam nasyid al khidmah, sholawat merupakan pembuka dari setiap nasyid, baik nasyid yang pertama maupun nasyid yang kedua. Karena sholawat adalah anjuran yang paling utama dari Allah. Ketiga, Doa dan Istighfar. Nasyid al khidmah, selain berisikan dzikir dan sholawat, juga berisikan doa dan istighfar yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena manusia tidak lepas dari dosa sehingga sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa dan istighfar dalam kehidupan mereka. keempat, Mengingat kematian. Isi nasyid al khidmah juga mengandung bait-bait yang yang mengingatkan agar para jama’ah selalu mengingat kematian, karena

mengingat kematian mampu melunakkan hati agar tidak sombong dan merasa bahwa hidup ini hanyalah sementara.

Sedangkan dimensi spiritual yang ditemukan dalam nasyid al khidmah adalah: pertama, dimensi Khauf.Menurut Al-Ghazali khauf adalah suatu getaran dalam hati ketika ada perasaan akan menemui hal-hal yang tidak disukai. Kedua, dimensiRaja’. Imam Qusyairi mendefinisikan bahwa raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang.


(3)

61

Sebagaimana halnya khauf berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Ketiga, dimensi Fana’. Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak nampak sesuatu, sedangkan al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesutu yang lain. Dan yang terakhir adalah dimensi Mahabbah.

B. Saran

Skripsi ini hanya membahas tentang doktrin dan dimensi spiritual terkait dengan nasyid al khidmah, perlu adanya penelitian lebih tentang implementasi sosial dari pengaruh dimensi spiritual dari nasyid al khidmah terhadap kehidupan para jama’ahnya, sehingga manfaat dari mengikuti dan mendengarkan prosesi

pembacaan nasyid bisa diketahui dan dirasakan secara langsung oleh para jama’ah

al khidmah khususnya dan setiap orang pada umumnya dalam kehidupan praktis mereka, sehingga tujuan untuk membumikan nilai tasawuf dalam kehidupan mereka bisa terealisasi secara utuh.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Masudi, Ghufron, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Al-Ghazali, Minhaj Al-Abidin, terj. Moh. Syamsi Hasan dengan judul Minhaj Al Abidin: Tujuh Tahapan Menuju Puncak Ibadah, (Surabaya: Amelia Surabaya, 2006)

_________,Ihya’ Ulumuddin, juz IV terj. Prof Ismail Ya’kub dengan judulIhya’ al Ghozali ,jilid VII (CV. Faizan, Jakarta, 1985)

Arifin, Samsul, dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996),

Asrori, Ahmad,Pedoman Kepemimpinan dan Kepengurusan Dalam Kegiatan dan Amaliah at Tarekat dan Al Khidmah(Surabaya: Al Khidmah, 2011)

Bakhtiar, Wadi,Metodologi Penelitian Ilmu Dakwa,(Jakarta: Logos, 1997) Chittick, William C,Tasawuf di Mata Kaum Sufi,(Bandung: Mizan, 2002)

Endah, Ayuning Tyas, Esti, Cerdas Emosional Dengan Musik. (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008)

Ernst, Carl W, Ajaran dan Amaliah Taswuf, terj. Arif Anwar, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003)

Hawwa,Sa’id,Jalan Ruhani,(Bandung: Mizan, 1997)

J Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009 edisi revisi)

Kamus al Munjid(Beirut: Dar al Masyriq, 1988)

Krishna, Anan, Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002)

Muhaya, Abdul,Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Gazāli,(Yogyakarta: Gama Media, 2003)

Munawir, Ahmad, Warson. Kamus al Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)

Najati, M. Ustman, al-Qur’an wa Ilmu Nafsi, terj. Ahmad Rofi’ Ustmani dengan judulAl-Qur an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1982)


(5)

Nashir, Haedar, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1997)

Nasution, Harun, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Nata, Abuddin, M.A. Prof. Dr. H. Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011)

Partanto, Pius,Kamus Ilmiah Popule,(Surabaya: Arkola, 1994)Yeni Rachmawati, Musik Sebagai Pembentuk Budi Pekerti (Yogyakarta: Panduan. 2005) Ruslan, Rosady, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2006)

Safaria, Triantoro, Manajamen Emosi Sebuah Panduan Cerdas Mengolah Emosi Positif Dalam Hidup Anda. ( Jakarta: Bumi Aksara, 2012)

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)

Syam, Nur,Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah,(Solo: CV Romadhoni, 1991) Tanzeh, Ahmad,Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Teras, 2009) Skripsi:

Dony Darmawan, Sejarah Lahir Dan Berkembangnya Perkupulan Jama’ah Al Khidmah Dalam Menyiarkan Ajaran-Ajaran KH. Ahmad Asrori al Ishaqy Di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya Pada Tahun 2005-2014.(Skripi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016)

Jurnal:

Aqil Siradj, Said,Sama’ dalam Tradisi Tasawuf, (ISLAMICA UIN Sunan Ampel Surabaya, Volume 7, Nomor 2, Maret 2013)

Syukur, M. Amin, Sufi Healing: Terapi dalam Literatur Tasawuf Jurnal Walisongo, (IAIN Walisongo Semarang, Vol. 20, No. 02 November 2012)


(6)

Buletin:

Buletin Al Wara’ Wal bara’, Edisi ke-6 Tahun ke-2 / 02 Januari 2004 M / 10 Dzul Qo’dah 1424 H, Judul asli “IBADAH, Antara Khauf dan Roja’ oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Al-Atsary.

Internet:

http://kbbi.web.id/dimensi,diakses pada 28 03 2016

http://www.kompasiana.com/antonijuneadi/keseimbangan-antara-keempat-dimensi-dalam-diri-manusia. Diakses pada 28 03 2016

http://www.sungonlegowo.desa.id/p/geografis.html

http://www.sungonlegowo.Desa.id/p/sejarah.html, diakses pada, 20 Mei 2016 https://id.wikipedia.org/wiki/Nasyid diakses pada 28-03-2016 pukul 14.34