Studi tentang makna prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

(1)

STUDI TENTANG MAKNA PROSESI TRADISI

PENANAMAN ANAK POHON PISANG

BAGI JENAZAH ORANG YANG BELUM MENIKAH

DI DESA SUNGONLEGOWO KECAMATAN BUNGAH KABUPATEN

GRESIK

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata

Satu (S-1) Aqidah Dan Filsafat Islam

Oleh:

Nur Fahimah

NIM: E01213062

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Studi Tentang Makna Prosesi Tradisi Penanaman Anak Pohon Pisang Bagi Jenazah Orang Yang Belum Menikah Di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah

Kabupaten Gresik

Oleh:

Nur Fahimah NIM. E01213062

Penelitian ini mengkaji “Studi Tentang Makna Prosesi Tradisi

Penanaman Anak Pohon Pisang Bagi Jenazah Orang Yang Belum Menikah Di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik”. Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana prosesi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik? (2) Bagaimana makna simbolis penanaman anak pohon pisang dalam prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan

Bungah Kabupaten Gresik? Peneliti menggunakan metode penelitian

kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus dan dianalisa menggunakan analisis deskriptif. Adapun pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi.Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa makna simbolis penanaman anak pohon pisang dipemakaman bagi jenazah yang belum menikah adalah pohon pisang tersebut hanya dijadikan simbol saja, teruntuk para perawan dan perjaka yang meninggal. Dasar budaya yang ada disini adalah kita sebagai warga yang masih hidup wajib bertanggung jawab dan merawat orang yang meninggal atau merawat jenazahnya tersebut. Karena apabila kita sebagai warga yang masih hidup tidak mau merawatnya, maka kita semua di desa ini bisa dibilang akan mendapatkan dosa besar.


(7)

DAFTAR ISI

COVER DEPAN ... i

COVER DALAM ... ii

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Penelitian Terdahulu... 9

F. Metode Penelitian ... 12

1. Teknik Pengumpulan Data ... 13

2. Teknik Pengumpulan Informan ... 14

3. Analisis Data ... 15

4. Laporan Penelitian ... 16

G. Sistematika Pembahasan... 16

BAB II : LANDASAN TEORI ... 18

A. Pengertian Tradisi ... 18

1. Pengertian Tradisi... 18


(8)

B. Teori Makna ... 25

1. Memahami Makna ... 25

2. Pengertian Makna ... 26

C. Teori Simbol ... 29

1. Pengertian Simbol ... 29

2. Biografi Charles Sanders Peirce ... 32

3. Simbol Menurut Peirce ... 33

BAB III : PENYAJIAN DATA ... 40

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik ... 40

1. Sejarah Desa Sungonlegowo... 40

1.1 Asal Usul ... 40

1.2Riwayat Pemerintahan Dan Capian Pembangunan ... 41

2. Tentang Desa ... 45

B. Prosesi Tradisi Penanaman Anak Pohon Pisang Bagi Jenazah Orang Yang Belum Menikah ... 47

C. Dasar Budaya Dan Agama Dalam Proses Perawatan Jenazah Orang Yang Belum Menikah ... 52

BAB IV:ANALISA DATA ... 66

A. Makna penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah ... 66

BAB V :PENUTUP ... 77

A. Simpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki

berbagai banyak macam suku bangsa dan masing-masing sukunya

memiliki adat-istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaanya

yang berbeda-beda.

Perkembangan manusia dibentuk oleh kebudayaan yang

melingkunginya. Memang, dalam batas-batas tertentu manusia mengubah

dan membentuk kebudayaannya, tetapi pada dasarnya manusia lahir dan

besar sebagai penerima kebudayaan dari generasi yang mendahuluinya.

Kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dimana

kebudayaan kita terima sebagai warisan yang diturunkan tanpa surat

wasiat. Kebiasaan yang turun-temurun dalam suatu masyarakat itu disebut

tradisi.

Tradisi merupakan kebiasaan kolektif dan kesadaran kolektif sebuah

masyarakat. Tradisi merupakan mekanisme yang dapat membantu

memperlancar perkembangan pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam

membimbing anak menuju kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai

pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat. Tradisi bukanlah

suatu objek yang mati. Ia adalah alat yang hidup untuk melayani manusia


(10)

2

kita baru dapat memahami dan menunjukkan bahwa tradisi sebenarnya

juga berubah dan dan berkembang untuk mencapai tahap mantap pada

zamannya. Tradisi diciptakan manusia untuk kepentingan hidupnya. Oleh

karena itu, tradisi seharusnya juga dikembangkan sesuai dengan

kehidupan.1

Memang, dalam pengertian kebudayaan juga termasuk tradisi, dan

tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan

norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi tersebut

bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah, tradisi justru diperpadukan

dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam

keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu, ia

menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa

kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan, riwayat

manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan

yang sudah ada.2

Berbicara mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dan masa kini

haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa

kini ketimbang sekedar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari

masa lalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk:

material dan gagasan, atau objektif dan subjektif. Menurut arti yang lebih

lengkap, tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang

berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada kini, belum

1

Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Masyarakat Indonesia Moder, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 12-13.

2


(11)

3

dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan. Di sini tradisi hanya berrati

warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu.

Dalam arti sempit tradisi adalah kumpulan benda material dan

gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi

pun megalami perubahan. Tradisi lahir di saat tertentu ketika orang

menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi.

Tradisi berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen

tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi bertahan

dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap bila benda material

dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup

dan muncul kembali setelah lama terpendam. Contohnya, munculnya

kembali tradisi etnik dan gagasan nasional di Eropa Timur dan di negara

bekas Uni Soviet setelah periode penindasan oleh rezim komunis. Tradisi

mereka membeku selama berada dibawah cengkeraman rezim komunis

yang totaliter itu. Terjadi perubahan dan pergeseran sikap aktif terhadap

masa lalu.3

Ruang lingkup tradisi tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai

manusia dan kebudayaan dalam perilakunya di masyarakat.

Hidup agaknya memang digerakkan oleh simbol-simbol, dibentuk

oleh simbol-simbol, dan dirayakan dengan simbol-simbol. Tetapi dengan

simbol-simbol itu pula manusia banyak bergantung. “Prestasi-prestasi

manusia,” kata Alred Korzybski, “bergantung pada penggunaan simbol

3


(12)

4

simbol”. Itu sebabnya Susanne K. Langer menyatakan keyakinannya bahwa “kebutuhan dasar ini, memang hanya ada pada manusia, adalah kebutuhan akan simbolisasi. Fungsi pembentukan simbol ini adalah satu

diantara kegiatan-kegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat, dan

bergerak. Ini adalah proses fundamental dari pikiran, dan berlangsung setiap waktu”.4

Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan

digunakan untuk berbagai tujuan. Semua kata yang digunakan oleh

kekasih Anda ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda dalam “pertemuan pertama” adalah simbol-simbol. Cara calon suami atau istri Anda berpakaian juga merupakan simbol, sebagaimana ekspresi wajahnya

serta gerakan tangannya. Menurut James P. Spradly simbol adalah objek

atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol adalah suatu

istilah dalam logika, matematika, semantic, semiotic, dan epistemology,

simbol juga memiliki sejarah panjang dudunia teotologi (“simbol” adalah

sebuah sinonim dari “kepercayaan”), di bidang liturgi, dibidang seni rupa

dan puisi.5

Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti

tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.6

4

Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 154. 5

Ibid.,154. 6


(13)

5

Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat biasanya memiliki makna

dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat sebagai pelaku. Tradisi juga

mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial

tertentu. Dalam tatanan sosial masyarakat, tradisi yang dilakukan bisa

memberikan motivasi dan nilai-nilai positif pada tingkat yang lebih dalam.

Karena makna dan manfaat simbol tersebut, masyarakat mempercayai dan

memeliharanya, salah satunya adalah Studi Tentang Makna Prosesi Tradisi

Penanaman Anak Pohon Pisang Bagi Jenazah Orang Yang Belum

Menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

Tradisi ini menarik dan memiliki keunikan sendiri untuk diteliti

karena pelaksanaannya berbeda dengan pemakaman yang lainnya. Pada

umumnya apabila ada perjaka dan perawan yang meninggal dunia, mereka

hanya dimakamkan saja tanpa di kasih anakan pohon pisang di

pemakamannya.

Peneliti menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce sebagai

landasan teori. Alasan dipilihnya teori Peirce dalam penelitian ini karena

berdasarkan fakta, teori ini menjelaskan bahwa setiap hari manusia

menggunakan tanda untuk berkomunikasi, pada waktu manusia

menggunakan sistem, ia harus bernalar. Bagaimana orang bernalar

dipelajari dalam logika, dengan mengembangkan teori semiotik, Peirce “memusatkan perhatian berfungsinya tanda pada umumnya”.


(14)

6

Tradisi yang ada di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah

Kabupaten Gresik adalah studi tentang makna prosesi tradisi penanaman

anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di Desa

Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Menurut salah satu

tokoh masyarakat disana, jika ada seorang putri dan putra yang belum

menikah atau apabila dia laki-laki dan mulai berusia 10 tahun keatas, dan

apabila dia perempuan sudah mulai haid atau menstruasi meninggal dunia,

maka kuburan anak tersebut di kasih anakan pohon pisang untuk di tanam

di atas makamnya. Hal ini dilakukan sebagai lambang agar semua

masyarakat yang masih hidup dan khususnya untuk para pemuda mengerti

bahwa yang meninggal tersebut adalah seorang perawan atau perjaka.

Pohon pisang tersebut dijadikan lambang atau simbol bahwa yang

meninggal adalah seorang perawan dan perjaka (yang belum menikah).

Penggunaan pohon pisang tersebut juga merupakan syarat orang jawa

Islam terdahulunya, karena tradisi ini muncul sejak zaman dahulu dan

sejak zaman nenek moyang hingga sekarang.

Dengan demikian, dari beberapa permasalahan dan keunikan di atas

serta adanya kepercayaan di dalam prosesi tradisi penanaman anak pohon

pisang di pemakaman tersebut, maka muncul ketertarikan penulis dan

sekaligus menjadi alasan utama untuk melakukan penelitian yang lebih

dalam mengenai pelaksanaan studi tentang makna prosesi tradisi

penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di


(15)

7

dilakukan juga agar mendapatkan pemahaman dari kepercayaan

masyarakat Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana prosesi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang

yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah

Kabupaten Gresik?

2. Bagaimana makna simbolis penanaman anak pohon pisang dalam

prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang

belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah

Kabupaten Gresik?

C. Tujuan Penelitian

Berpijak dari rumusan masalah yang penulis ajukan dan sudah

merupakan suatu keharusan bahwa setiap aktivitas mempunyai tujuan

yang dicapai, maka tujuan dalam penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami prosesi penanaman anak pohon

pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di Desa

Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

2. Untuk mengetahui dan memahami makna simbolis penanaman anak

pohon pisang dalam prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi

jenazah orang yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan


(16)

8

D. Manfaat Penelitian

Setelah penulis meneliti kasus ini, diharapkan hasil dari penelitian ini

dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis.

Kedua manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian teoritis dari penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya

ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai pedoman di dalam

melakukan penelitian secara lebih lanjut, terutama dalam mengkaji studi

tentang makna prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah

orang yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah

Kabupaten Gresik.

2. Praktis

a. Diharapkan bagi Peneliti, penelitian ini mampu membuka wawasan

dan pengetahuan baru bagi peneliti terhadap mengkaji studi tentang

makna prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah

orang yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan

Bungah Kabupaten Gresik.

b. Diharapkan dapat dijadikan literatur dan acuan bagi Mahasiswa

Program Studi Filsafat Agama sebagai bahan referensi dan akademis

pada umumnya yang akan melakukan penelitian selanjutnya,

khususnya mengkaji studi tentang makna prosesi tradisi penanaman

anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di Desa


(17)

9

E. Penelitian Terdahulu

Ilmu tidak dimulai dengan halaman kosong, yaitu apa yang

dilakukan dewasa ini hanyalah merupakan lanjutan yang telah ditempuh

oleh pakar ilmiah terdahulu. Telah terdapat beberapa kajian yang ditulis

tentang mengkaji studi tentang makna prosesi tradisi penanaman anak

pohon pisang bagi jenazah orang yang belum, di antaranya:

1. Ady Masrufin, Tinjauan Hukum Islam Tentang Tradisi Menabur Uang

Ketika Pemberangkatan Jenazah Ke Pemakaman Di Kelurahan Wonokromo Surabaya (Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Syari’ah, Jurusan Muamalah, 2008). Dalam skripsi ini penulis menjelaskan bahwa adanya tradisi menabur uang dalam

masyarakat Wonokromo ini dilatarbelakangi oleh pihak keluarga,

banyak masyarakat yang meyakini bahwa ketika ada salah satu

anggota keluarga yang meninggal karena sebab-sebab tertentu, seperti

meninggal karena kecelakaan, dianggapnya meninggal tidak wajar,dan

merupakan banana yang teramat besar, sehingga keluarga dirasa perlu

untuk melakukan sesuatu agar banana tersebut dapat diegah dengan

cara memberikan shadaqah. Mayoritas masyarakat menganggap bahwa

tradisi menabur uang merupakan hal yang sacral dan menjadi

keharusan untuk dijalankan, agar tidak terjadi hal-hal yang jauh lebih

buruk menimpa keluarga mereka.

2. Akhmad Faizal, Makna Simbolik Dari Tradisi Sajen Among-Among


(18)

10

Lamongrejo, Keamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan (Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Dakwah Dan

Komunikasi, Jurusan Komunikasi, 2014). Dalam skripsi ini penulis

menjelaskan bahwa tradisi among-among itu seperti sajen tapi berupa

makanan. Hal seperti itu masih terjadi sampai sekarang. Itu terjadi

setiap ada warga atau masyarakat yang bertempat tinggal di desa

tersebut meninggal dunia. Hal seperti itu dilakukan sampai hari ke

tujuh meninggal dunia, begitupun dimalam empat puluh harinya tetapi

bedanya kalau dimalam empat puluh harinya amongamong itu

ditambahi dengan kelapa muda dua ditaruh di bak yang agak besar.

Setiap malam, setiap memulai tahlil dimalam harinya amongamong

harus ada dikamar yang meninggal dunia, tidak harus dikamar di

sekitar sudut rumah juga diperbolehkan. Among-among itu sendiri

berupa makanan kesukaan orang yang meninggal. Mengenai makanan

yang disajikan harus sesuai dengan kesukaan dan harus ada secangkir

kopi hitam. Hal seperti itu merupakan tradisi setiap ada orang yang

meninggal di Desa Lamongrejo yang sudah berlangsung sejak zaman

nenek moyang dan msih terus dilestarikan hingga turun temurun.

Seiring dengan perkembangan desa, kegiatan seperti itu tidak

mengalami perubahan sedikit pun, maksud dan tujuannya adalah

supaya orang yang sudah meninggal dunia bisa merasa senanng jika

makanankesukaannya selalu tersedia. Jika hal yang seperti itu bisa


(19)

11

3. Urratu A’yun, Analisis Hukum Islam Terhadap Komersialisasi Doa Di

Pemakaman Umum Jeruk Purut Jakarta (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Jurusan Ekonomi Islam Program Studi Muamalah, 2014). Dalam skripsi ini

penulis menjelaskan bahwa salah satu cara berdoa yang menarik untuk

dibahas adalah komersialisasi titip doa yang ditawarkan oleh para

pasukan pendoa di pemakaman umum Jeruk Purut Jakarta. Pasalnya

penitipan doa seperti ini hanya ada di beberapa pemakaman umum

saja. Sebab ketika ada peziarah berkunjung ke makam Jeruk Purut ini

maka pasukan pendoa akan mendatangi dan menawari jasa doa.

Setelah melakukan pekerjaannya, pendoa meminta bayaran kepada

peziarah. Di sisi lain pada titip doa ini, meskipun peminatnya masih

sedikit namun titip doa ini merupakan solusi dari sebagian orang-orang

yang belum menguasai materi doa ziarah, mampu untuk membayar

menitipkan doa, karena kesibukannya atau dengan alas an karena

didoakan oleh yang sudah ahli. Titip doa disini adalah doa yang

komersialisasikan dengan bhasa lain penitip doa bisa didoakan, tetapi

harus memberi ujian ijarah atau ujroh kepada yang mendoakan.

4. Nurul Hasanah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Budaya Jawa,

Telaah Prosesi Adat Pemakaman pada Masyarakat Pager Ke. Kaliwungu Kab. Semarang (STAIN Salatiga, Fakultas Tarbiyah

Program Studi Pendidikan Agama Islam, 2014). Dalam skripsi ini


(20)

12

berdasarkan kepercayaan yang berasal dari leluhur dan kebiasaan

setempat seperti adanya telusupan (slup-slupan) pada saat jenazah

belum diberangkatkan ke pemakaman hal tersebut melambangkan

bahwa keluarga ikhlas terhadap kepergian almarhum, sawur beras

kuning yang diampur dengan uang logam, rangkaian bunga yang

jumlahnya selalu ganjil yang di rangkai tanpa melepaskan jarum yang

dipergunakan dalam merangkainya, payug yang terbuat dari kertas

yang dipergunakan untuk memayungi jenaah saat pemberangkatan

sampai ke makam, kendi yang berisi air dan lain sebagainya.

Diantara judul-judul penelitian yang telah ada, penulis tidak

menemukan tema yang sama dengan tema yang diajukan sehingga

penelitian ini akan terhindar dari plagiat.

F. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian

lapangan (field research). Objek yang dikaji adalah masyarakat di Desa

Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik yang

menggunakan studi tentang makna prosesi tradisi penanaman anak pohon

pisang bagi jenazah orang yang belum menikah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang


(21)

13

menggunakan prosedur-prosedur statistik, atau dngan caracara lain dari

kuantifikasi (pengukuran)7.

Tahapan dalam penelitian ini meliputi:

1. Teknik Pengumpulan Data

a. Metode wawancara

Metode wawancara adalah metode yang berkaitan dengan

Tanya jawab dalam kegiatan dan pengumpulan data yang sistematis

dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan.8 Metode ini sebagai

metode pokok, dimana penulis menggunakan interview bebas

terpimpin. Pada wawancara semacam ini pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan kepada informan sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh

penulis sebelum ke lapangan. Wawancara dilakukan dengan tokoh

agama dan masyarakat setempat.

b. Metode dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk

mencari data mengenai hal-hal yang bersifat tertulis seperti buku, surat

kabar, majalah.9 Selain data tertulis juga terdapat data tidak tertulis,

misalnya foto dan rekaman.

7

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, DasarDasar Penelitian Kualitatif: Prosedur Teknik dan Teory Groundet, disadur oleh Djnaidi ghoni. Cet; Surabaya: Bina Ilmu, 1997.

8

Sutrisno Hadi, Metode Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1889), 4. 9

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rieneka Cipta, 1998), 236.


(22)

14

c. Metode Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana

peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke tempat penelitian

untuk mengetahui fenomena secara langsung.

2. Teknik Penentuan Informan

Teknik ini menggunakan teknik Purposive, dimana seorang peneliti

memilih informan menurut kriteria ini harus sesuai dengan topik

penelitian. Informan yang dipilih juga harus bisa untuk menjawab masalah

dalam penelitian.

Sehingga peneliti disini memilih 4 informan dari tokoh masyarakat

dan tokoh agama yang ada di desa Sungonlegowo Bungah Gresik.

Diantaranya:

1) Khuzaini yang berusia 54 Tahun. Agamanya Islam. Pendidikan

terakhirnya Madrasah Aliyah. Pekerjannya RW dan Mudin.

Alasan saya memilih informan ini karena beliau merupakan

tokoh agama atau Mudin di Desa ini. Beliau lebih

berpengalaman dalam masalah proses perawatan jenazah.

2) Hj. Ali Fikri yang berusia 66 Tahun. Agamanya Islam.

Pendidikan terakhirnya di Pondok Pesantren Muallimin

Muallimat Tambak Beras Jombang. Alasan saya memilih

informan ini karena beliau merupakan sesepuh didesa ini.

3) Abdul Kholik yang berusia 55 Tahun. Agamanya Islam.


(23)

15

Alasan saya memilih informan ini karena beliau merupakan

Mudin dan sesepuh di Desa ini.

4) Abdul Mukhid yang berusia 40 Tahun. Agamanya Islam.

Pendidikan terakhirnya Madrasah Aliyah Diniyah. Pekerjannya

seorang Guru. Alasan saya memilih informan ini karena beliau

merupakan guru agama, dan menurut saya beliau juga faham

masalah tradisi ini.

3. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan analisis deskriptif, yaitu menuturkan dan menafsirkan data

yang ada.10 Data tersebut berasal dari data lapangan sebagai objek

penelitian, dalam hal ini penulis berusaha menganalisis dan memberi

interpretasi terhadap data yang obyekti dan relean mengenai masalah yang

diteliti.

4. Laporan Penelitian

Dalam tahap ini merupakan tahap penulisan, pemaparan atau

laporan penelitian yang dilakukan di Desa Sungonlegowo Kecamatan

Bungah Kabupaten Gresik. Penulisan laporan dengan cara

mendiskripsikan yang bersifat deduktif, yaitu mengelompokkan menurut

bab-bab pembahasan, yang setiap babnya diuraikan lagi pembahasannya

ke dalam fasal-fasal pembahasan.

10

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar: Metode Dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1994), 139.


(24)

16

G. Sistematika Penelitian

Sebagaimana telah penulis tegaskan di atas bahwa judul skripsi ini adalah “Studi Tentang Makna Prosesi Tradisi Penanaman Anak Pohon Pisang Bagi Jenazah Orang Yang Belum Menikah di Desa

Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik”, maka dalam

sistematika pembahasan ini dibagi menjadi V Bab.

Bab I adalah Pendahuluan yang menguraikan Latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, Metode

Penelitian yaitu mencakup metode yang dipakai untuk menentukan obyek,

cara pengumpulan data, serta metode yang digunakan dalam menganalisa

data, kemudian yang terakhir berisi mengenai uraian tentang Sistematika

Pembahasan. Dalam Bab I bertujuan untuk memberikan gambaran umum

mengenai penelitian secara umum.

Pada Bab II adalah Landasan Teori, pada bab ini penulis

menjelaskan mengenai pengertian tradisi, pengertian makna, dan

pengertian simbol. Penulis menjelaskan pengertian tradisi, pengertian

makna, dan pengertian simbol ini untuk memperjelas penelitian yang

dilakukan oleh penulis.

Selanjutnya Bab III adalah Penyajian Data, pada bab ini penulis

menjelaskan tentang gambaran umum lokasi penelitian yaitu gambaran

umum tentang Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten

Gresik, yang meliputi: sejarah, asal-usul, letak geografis, kondisi sosial,


(25)

17

membahas mengenai Prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi

jenazah orang yang belum menikah dan membahas mengenai dasar

budaya dan agama dalam proses perawatan jenazah orang yang belum

menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

Hal ini penting di bahas untuk mengetahui prosesi yang terkandung di

dalamnya.

Bab IV adalah analisis, dalam bab ini penulis menjelaskan

mengenai sejarah tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah

orang yang belum menikah dan menjelaskan mengenai studi tentang

makna prosesi tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang

yang belum menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah

Kabupaten Gresik. Tujuan dari bab ini adalah menjelaskan mengenai

sejarah tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang

belum menikah dan studi tentang makna prosesi tradisi penanaman anak

pohon pisang bagi jenazah orang yang belum menikah di Desa

Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

Bab V adalah bab penutup, dalam bab ini peneliti menyajikan

tentang kesimpulan yang berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang

terdapat dalam rumusan masalah disertai dengan saran sehingga menjadi


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori Tradisi

1. Pengertian Tradisi

Tradisi adalah kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu

generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi

menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi

merupakan aturan-aturan tentang hal apa yang benar dan hal apa yang

salah menurut warga masyarakat.1

Menurut Garna, tradisi adalah kebiasaan yang turun-menurun

yang mencerminkan keberadapan para pendukungnya. Tradisi

memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku baik

dalam kehidupan bersifat duniawi maupun gaib serta kehidupan

keagamaan. Tradisi mengatur bagaimana manusia berhubungan

dengan manusia lainnya, atau satu kelompok dengan kelompok

lainnya, tradisi juga menyarankan bagaimana hendaknya manusia

memperlakukan lingkungannya. Ia berkembang menjadi suatu sistem

yang memiliki norma yang sekaligus juga mengatur sanksi dan

ancaman terhadap pelanggaran dan penyimpangan terhadapnya.2

Tradisi adalah kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu

generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi

1Maezan Kahlil Gibran, “Tradisi Tabuik Di Kota Pariaman”,JOM FISIP, Vol. 2 No. 2 (Oktober, 2015), 1.

2


(27)

19

menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi

merupakan aturan-aturan tentang hal apa yang benar dan hal apa yang

salah menurut warga masyarakat. Konsep tradisi itu meliputi

pandangan dunia (world view) yang menyangkut kepercayaan

mengenai masalah kehidupan dan kematian serta peristiwa alam dan

makhluknya atau konsep tradisi itu berkaitan dengan sistem

kepercayaan, nilai-nilai, dan pola serta cara berfikir masyarakat.3

Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya

tentu dengan mengandalkan kemampuan manusia sendiri untuk

menjadikan alam sebagai obyek yang dapat dikelola untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Jadi dapat dikatakan bahwa kebudayaan tersebut

lahir sesungguhnya diakibatkan oleh keinginan manusia untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam bentuk tingkah laku, pola

hidup, perekonomian, pertanian, sistem kekerabatan, stratifikasi sosial,

religi, mitos dan sebagainya. Kesemua aspek tersebut yang kemudian

harus dipenuhi oleh manusia dalam kehidupannya yang sekaligus

secara spontanitas akan melahirkan kebudayaan atau tradisi.

Tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang

berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum

dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan sebagai warisan

yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang

3 Ibid.


(28)

20

terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau

disengaja.4

Dari pemaham tersebut maka apapun yang dilakukan oleh

manusia secara turun temurun dari setiap aspek kehidupannya yang

merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat dikatakan sebagai “tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi bagian dari kebudayaan. Secara khusus tradisi oleh C.A. van Peursen

diterjemahkan sebagai proses pewarisan atau penerusan norma-norma,

adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tradisi dapat dirubah,

diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka ragam perbuatan

manusia.5

Lebih khusus tradisi yang dapat melahirkan kebudayaan

masyarakat dapat diketahui dari wujud tradisi itu sendiri. Menurut

Koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga

wujud, yaitu:

a. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,

gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.6

4

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2007), 69. 5

C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisisus, 1988), 11. 6

Mattulada, Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup, (Hasanuddin University Press, 1997), 1.


(29)

21

Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki

kesamaan budaya, wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu

hubungan sosial yang terstruktur. Masyarakat mewariskan masa

lalunya melalui:

1. Tradisi dan adat istiadat (nilai, norma yang mengatur perilaku

dan hubungan antar individu dalam kelompok). Adat istiadat

yang berkembang di suatu masyarakat harus dipatuhi oleh

anggota masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat sebagai

sarana mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan

tidak sama persis dengan yang terjadi di masa lalu tetapi

mengalami berbagai perubahan sesuai perkembangan zaman.

Masa lalu sebagai dasar untuk terus dikembangkan dan

diperbaharui.

2. Nasehat daripara leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga

nasehat tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakat

dan kemudian disampaikan secara lisan turun temurun dari satu

generasi ke generasi selanjutnya.

3. Peranan orang yang dituakan (pemimpin kelompok yang

memiliki kemampuan lebih dalam menaklukkan alam) dalam

masyarakat. Contoh: Adanya keyakinan bahwa roh-roh harus

dijaga, disembah, dan diberikan apa yang disukainya dalam

bentuk sesaji. Pemimpin kelompok menyampaikan secara lisan


(30)

22

4. Membuat suatu peringgatan kepada semua anggota kelompok

masyarakat berupa lukisan serta perkakas sebagai alat bantu

hidup serta bangunan tugu atau makam. Semuanya itu dapat

diwariskan kepada generasi selanjutnya hanya dengan

melihatnya. Contoh: Benda-benda (kapak lonjong) dan

berbagai peninggalan manusia purba dapat menggambarkan

keadaan zaman masyarakat penggunanya.

5. Kepercayaan terhadap roh-roh serta arwah nenek moyang dapat

termasuk sejarah lisan sebab meninggalkan bukti sejarah

berupa benda-benda dan bangunan yang mereka buat.

Menurut arti yang lebih lengkap bahwa tradisi mencakup

kelangsungan masa lalu dimasa kini ketimbang sekedar menunjukan

fakta bahwa masa kini berasal dari merupakan dibuang atau dilupakan.

Maka di sini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa

dari masa lalu. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Shils.

keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu

namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak,

“Tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari

masa lalu ke masa kini.7

Adapun pengertian yang lain Tradisi (Bahasa Latin:

traditio,"diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang

palingsederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama

7


(31)

23

dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,

biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang

sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi

yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering

kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.8

Dalam pengertian lain tradisi adalah adat kebiasaan turun

temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam

masyarakat. Tradisi merupakan roh dari yang kebudayaan. Tanpa

tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng.

Dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakat bisa

harmonis. Dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila

tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir

di saat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji

tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya.9

Sayyed Husein Nash memberi pengertian tradisi dengan

sesuatu yang sakral, seperti disampaikan kepada manusia melalui

wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan peran sakral itu di

dalam sejarah kemanusiaan. Tradisi bisa berarti ad din dalam

pengertian seluas-luasnya yang mencangkup semua aspek agama dan

percabangannya, bisa juga disebut as sunnah yaitu apa yang

didasarkan pada model-model sakral sudah menjadi tradisi

8 Asri Rahmaningrum, “Tradisi Meron Di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Dalam Prespektif Dakwah Islam” (Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang, 2015), 28-29.

9 Ibid,.


(32)

24

sebagaimana kata ini umumnya dipahami, bisa juga diartikan as

silsilah yaitu rantai yang mengkaitkan tiap-tiap periode, episode atau

tahap kehidupan dari pemikiran di dunia.10

2. Fungsi Tradisi

Menurut Shils “Manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka”.11

Maka Shils

menegaskan, suatu tradisi itu memiliki fungsi bagi masyarakat antara

lain:

1. Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun

temurun. Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma dan

nilai yang kita anut kini serta di dalam benda yang diciptakan

dimasa lalu. Tradisi pun menyediakan fragmen warisan historis

yang kita pandang bermanfaat. Tradisi seperti onggokan gagasan

dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan

untuk membangun masa depan.

2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,

pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan

pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Salah satu sumber legitimasi terdapat dalam tradisi. Biasa dikatakan: “selalu seperti

itu” atau orang selalu mempunyai keyakinan demikian” meski

dengan resiko yang paradoksal yakni bahwa tindakan tertentu

hanya akan dilakukan karena orang lain melakukan hal yang sama

10

Sayyed Husein Nash, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Pustaka. Cet I, 1987), 3.

11


(33)

25

di masa lalu atau keyakinan tertentu diterima semata-mata karena

mereka telah menerima sebelumnya.

3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,

memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan

kelompok. Tradisi daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya

yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu.

4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, kekecewaan

dan ketidakpuasan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan

masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti

kebanggaan bila masyarakat berada dalam krisis.12

B. Teori Makna

1. Memahami Makna

Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan

(disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu

bentuk bahasa. Terdapat banyak komponen dalam makna yang

dibangkitkan suatu kata atau kalimat. Dengan kata-kata Brown,

“Seseorang mungkin menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif

untuk menguraikan makna suatu kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas itu”.13

Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu

menoleh kembali kepada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de

Saussure, bapak linguistik modern asal Prancis. Di dalam bukunya

12

Piotr Sztompka, 75-76. 13

Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 256.


(34)

26

yang terkenal, Course in General Linguistik, Saussure menyebut istilah

tanda linguistik. Menurut Saussure, setiap tanda linguistik terdiri atas

dua unsur, yakni (1) yang diartikan dan (2) yang mengartikan. Yang

diartikan (signifie’, signified) sebenarnya tidak lain dari konsep atau

makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan

(signifiant atau signifer) itu adalah tidak lain dari bunyi-bunyi itu, yang

terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan

kata lain setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur

makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang

biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang

merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual). Umpamanya, tanda

linguistik “kursi” mengandung unsur makna (=dimaknai kursi) dan unsur bunyi (=dieja k-u-r-s-i). Kedua unsur ini mengacu pada suatu

referen, yakni perabot rumah tangga berwujud kursi.14

2. Pengertian Makna

Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau

konsep makna. Model proses makna Wendell Johnsosn menawarkan

sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia15:

1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada

kata-kata melainkan pada mausia. Kita menggunakan kata-kata

untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi

kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap

14

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 257. 15

Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, “terj.” Agus Maulana, (Jakarta: Professional Books, 1997), 123-125.


(35)

27

menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula,

makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan

sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan.

Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk

mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak

kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu

bisa salah.

2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata

yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna

dari kata-kata ini terus berubah, dari ini khususnya terjadi pada

dimensi emonsional dari makna. Bandingkanlah, misalnya,

makna kata-kata berikut bertahun-tahun yang lalu dan

sekarang, hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan

perkawinan.

3) Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua

komunikasi mengacu pada pada dunia nyata, komunikasi hanya

masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau

lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu

merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang

tidak mempunyai acuan yang memadai.

4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna.

Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan


(36)

28

penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan

yang konkret dan dapat diamati.

5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu,

jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak

terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak

makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata

diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang

berkomunikasi.

6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita

peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan

sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari mkna-makna

ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari mkna

tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya,

pemahaman yang sebenarnya pertukaran makna secara

sempurna barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita

capai tetapi tidak pernah tercapai.

Brodbeck juga menyajikan teori makna dengan cara yang cukup

sederhana. Ia menjernihkan pembicaran ihwal makna dengan

membagi makna tersebut kepada tiga corak. Perdebatan tidak selesai,

menurut Rakhmat seringkali karena orang mengacukan makna ketiga

corak makna tersebut.16

16

Jalaluddin Rakhmad, Psikologi Komunikasi, “Edisi Revisi”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 277.


(37)

29

Makna yang pertama adalah makna inferensial, yakni makna

satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang

dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards, proses

pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita

menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut

rujukan atau referen). Satu lambang dapat menunjukkan banyak

rujukan. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu

istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain.17 Makna

yang ketiga adalah makna intensional, yakni mkana yang dimaksud

oleh seorang pemakai lambang. Menurut Harimurti Kridalaksana

makna ini tidak terdapat pada pikiran orang, hanya dimiliki dirinya

saja. Dua makna intensional boleh jadi serupa tetapi tidak sama.18

C. Teori Simbol

1. Pengertian Simbol

Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein

yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan

dengan suatu ide19. Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang

berarti tanda atau iri yang memberitahukan sesuatu hal kepada

seseorang.20 Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi, yakni

nama untuk benda lain ayang berasosiasi atau yang menjadi atributnya

17 Ibid,. 18

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, “edisi ketiga”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 262.

19

Dick Harmanto & B. Rahmanto, Kamus Istilah Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 133. 20

Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2000), 10.


(38)

30

(misalnya Si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan

metafora, yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau

konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki gunung,

kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia).21 Semua simbol

melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan

hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan

dasar bagi semua makna simbolik.

Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar

perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol yang tertuliskan

sebagai bunga, misalnya, mengacu dan mengemban gambaran fakta yang disebut “bunga” sebagai sesuatu yang ada di luar bentuk simbolik

itu sendiri. Dalam kaitan ini Peirce mengemukakan bahwa “A symbol

ia a sign which refers to the object that is denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object”. Dengan demikian, dalam konsep Peirce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu

pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol

sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya

konvensional. Berciri hubungan antara simbol dengan objek yang

diacu, dan menafsirkan maknanya. Dalam arti demikian, kata

misalnya, merupakan salah satu simbol karena hubungan kata dengan

dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah kebahasaannya. Kaidah

21


(39)

31

kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan ditentukan berdasarkan

konvensi masyarakat pemakainya.22

Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari

hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian

berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan

makna. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau

sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan

penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya,

dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya.

Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan butir tersebut disebut

bentuk simbolik.23

Lain daripada alegori-cerita yang dikisahkan dalam

lambang-lambang; merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan,

tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang

diperlambangkan – maka simbol terpengaruh oleh perasaan. Pada

dasarnya simbol dapat dibedakan:24

1) Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos,

misalnya tidur sabagai lambang kematian.

2) Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu

kebudayaan tertentu (misalnya keris dalam kebudayaan

Jawa).

22

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 156. 23

Ibid,. 24


(40)

32

3) Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam

konteks keseluruhan karya seorang pengarang.

2. Biografi Charles Sanders Peirce

Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang

paling orisinal dan multidimensional. Bagi teman-teman sejamannya ia

terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya

membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an

Perhatian untuk karyakaryanya tidak banyak diberikan oleh teman

-temannya. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya

bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan

sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan

Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul

Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit

jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir

berisi bibliografi tulisan Pierce.25

Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce

memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai

pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka

diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya

sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya

berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.

25 Ni Wayan Sartini,”Tinjauan Teoritik tentang Semiotik” (Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga), 4.


(41)

33

3. Simbol Menurut Peirce

Peirce mengemukakan bahwa simbol diartikan sebagai tanda

yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan

antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan

(petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula

masyarakat pemakaianya menafsirkan hubungan antara simbol dengan

objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Dalam arti demikian,

kata misalnya, merupakan salah satu bentuk simbol karena hubungan

kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah

kebahasaannya. Kaidah kebahasan itu secara artifisial dinyatakan

ditentukan berdasarkan konvensi masyarakat pemakaianya.26

Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian

tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti

sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. 27 Semiotik

merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek,

peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotik

merupakan abang ilmu yang relati masih baru. Penggunaan tanda dan

segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih

sistematis pada abad kedua puluh.28

Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik

modern telah di –warnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang

berasal dari Swiss bernama Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913)

26

Alex Sobur, Semiotika komunikasi (Bandung: Rajawali Press, 2006), 155-157. 27

Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 95. 28


(42)

34

dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce

(1839 -1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan

semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan

digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda

dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus

pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure

menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics

(1913).

Dalam buku itu de Saussure memba -yangkan suatu ilmu yang

mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelas -kan

konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu

dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia

menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra

bunyi adalah tanda (sign). Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi

dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau

konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah

arbitrer.

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan

dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfung si

sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi

yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada


(43)

35

linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi.

Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki

tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai

fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara,

kepercayaan dan lain -lainya.

Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan

istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk

ilmu tentang tanda. Teori dari Pierce seringkali disebut sebagai Grand

Theory dalam semiotika, ini disebabkan karena gagasan Pierce bersifat

menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce

ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan

kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Sebuah tanda atau

representamen menurut Charles Sander Pierce adalah sesuatu yang

bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau

kapasitas. Sesuatu yang lain itu oleh Pierce disebut interpertant,

dinamakan sebagai interpretant dari tanda yang pertama, pada

gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Dengan demikian

menurut Pierce, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi

triadik” langsung dengan interpretant dan objeknya. Apa yang dimaksud dengan proses semiosis merupakan suatu proses yang


(44)

36

disebut sebagai objek. Proses ini oleh Pierce disebut sebagai

signifikasi.29

Menurut Peirce, menjelaskan bahwa setiap hari manusia

menggunakan tanda untuk berkomunikasi, pada waktu manusia

menggunakan sistem, ia harus bernalar. Bagaimana orang bernalar

dipelajari dalam logika, dengan mengembangkan teori semiotik, Peirce “memusatkan perhatian berfungsinya tanda pada umumnya”.

Model tanda yang dikemukakan oleh Peirce adalah trikotomi atau

triadic dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip

dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah

sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.

Representamen adalah sesuatu yang bersifat indrawi atau

material yang berfungsi sebagai tanda. Kehadirannya menimbulkan

interpretan, yakni tanda lain yang ekuivalen dengannya, atau dengan

kata lain, sekumpulan interpretasi personal yang dapat menjelma

menjadi publik. Jadi pada hakikatnya, representamen dan interpretan

adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain,

hanya saja representamen muncul mendahului interpretan dan

interpretan ada karena dibangkitkan oleh representamen.

Objek yang diacu oleh tanda atau sesuatu yang kehadirannya digantikan oleh tanda adalah “realitas” atau apa saja yang dianggap

29

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), 17-18.


(45)

37

ada. Artinya objek tersebut tidak harus konkret atau real, bahkan yang

abstrak, imajiner, dan fiktif.

Upaya klasifikasi yang dilakukan oleh Pierce terhadap tanda

memiliki kekhasan meski tidak bisa dibilang sederhana. Pierce

membedakan tipe-tipe tanda meliputi: Ikon, Indeks, dan Simbol yang

didasarkan atas relasi diantara representamen dan objeknya.

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa”

sehingga tanda itu mudah dikenali oleh para pemakainya.

Didalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya

terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas.

Contohnya sebagian rambu lalu lintas merupakan tanda

ikonik karena menggambarkan bentuk yang memiliki

kesamaan dengan objek yang sebenarnya.

2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal

atau eksistensial diantara representamen dan objeknya.

Didalam indeks hubungan antara tanda dan objeknya bersifat

kongkrit, actual, dan biasanya melalui suatu cara yang

sekuensial atau kasual. Contoh jejak kaki diatas permukaan

tanah, misalnya merupakan indeks dari seseorang atau

binatang yang telah lewat disana, ketukan pintu merupakan indeks dari kehadiran seseorang “tamu” dirumah kita.

3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbiter dan


(46)

38

orang atau masyarakat. Tanda-tanda kebahasaan pada

umumnya adalah simbol-simbol. Tak sedikit dari rambu lalu

lintas yang bersifat simbolik. Salah satu contohnya adalah

rambu lalu lintas yang sangat sederhana ini.30

Ke tiga jenis dari tanda tersebut, ada pula tanda yang disebut

simtom (gejala), yakni penanda yang menunjukan petandanya belum

pasti, misalnya suhu panas orang sakit tidak menunjukan penyakit

tertentu. Suhu panas itu hanya menunjukan bahwa orang itu sakit

tetapi apakah sakit malaria, tifus, atau jarang mandi, belum jelas, sebab

semua penyakit mesti diikuti suhu panas badan. Relevan untuk di ingat

bahwa, penelitian pada bidang sastra yang paling banyak ditemukan

adalah tanda berupa simbol.

Dari sudut pandang Charles Peirce ini, proses signifikansi bisa

saja menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan,

sehingga pada gilirannya sebuah interpretan lagi, jadi representamen

lagi dan seterusnya. Selain itu, Peirce juga memilah-milah tipe tanda

menjadi kategori lanjutan, yakni kategori Firstness, secondness dan

thirdness. Tipe-tipe tanda tersebut meliputi qualisign, signsign, dan legisign. Begitu juga dibedakan menjadi rema (rheme), tanda disen (dicent sign) dan argumen (argument).31

30

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), 13-14.

31


(47)

39

Penjelasan ini dapat diketahui bahwa wujud dari masyarakat desa

Sungonlegowo adalah menjadikan penanaman anak pohon pisang

sebagai simbol atau tanda bagi jenazah yang belum menikah.

Masyarakat disini menjadikan makna dari simbol itu sebagai tanda dan

hasil interaksinya terhadap masyarakat. Sehingga masyarakat disini


(48)

BAB III

PENYAJIAN DATA

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik

1. Sejarah Desa Sungonlegowo 1.1Asal Usul

Asal nama Sungonlegowo semula berasal dari kata

Kungonlegowo (pada sekitar masa perdikan Demak) kemudian

berubah menjadi Sungonlegowo (pada perdikan mataram / sekitar

tahun 1600 M) atau tepatnya pada masa pemerintahan kadipaten

sedayu berpindah dari Sedayu lama ke Sedayu baru.

Nama Kungonlegowo dipakai pada 3 demang yaitu: masa

Demang Ridin, Demang Kason dan Demang Bunyamin,

Kungonlegowo dimaksudkan adalah 2 kampung yaitu kampung

kungon (posisinya di sebelah barat masjid Ngaren dan ke selatan

sampai kampung langgar sedangkan kampung legowo (posisinya

di sebelah timur masjid Sungonlegowo), nama desa Sungonlegowo

muncul pertama kali pada masa pemerintahan distrik Bungah,

tercatat dengan nama Sungonlegowo, tepatnya pada masa demang


(49)

41

Legowo sendiri tidak ada keterangan yang jelas namun

menurut Gus Mat 1 asal-usul nama desa Sungonlegowo yang lebih

jelas dalam cerita pewayangan yaitu nama salah satu dari raja

kediri yang merantau karena sang raja mengambil permaisuri lagi,

salah satu putra bernama legowo yang merantau akhirnya sampai

di sebuah desa Sungonlegowo yang berada di Gresik, dan putra

raja kediri satunya mengembara sampai ke Probolinggo.Tegas Gus

Mat orang dulu mencatat informasi dalam bentuk catatan dan cerita

pewayangan dan juga cerita turun temurun, maka cerita dapat

menjadi sumber rujukan yang falid.

Desa sungonlegowo terdiri dari dusun sungonelgowo dan

dusun Ngaren. Legowo berasal dari bahasa jawa yang dalam bahasa sangsekertanya berarti “tidak gampang menyerah”, sedangkan Ngaren berasal dari kata leren (pemberhentian) proyek

penggalian sungai (bengawan solo) dari ngawi ke ujung pangkah.

1.2Riwayat Pemerintahan dan Capian Pembangunan

Menurut H. Khayan 2 Pemerintah desa Sungonlegowo telah

berjalan selama 4 Demang dan 8 Petinggi (Kepala Desa), pada

catatan ini kami membedakan 2 pemerintahan pertama, catatan

pemerintahan bubak lahan dan kedua, pemerintahan pembangunan.

1

Ahmad, langgar Roudlotut Tholibin, Desa Sungonlegowo. 2


(50)

42

a. Masa Bubak lahan

Pengelompokan pemerintahan masa bubak dimaksudkan

adalah tata penyelenggaraan pemerintahan pada tahap awal

yang masih disibukkan pada pembukaan lahan, masa ini diisi

oleh 3 demang yaitu:

a) Demang Ridin

b) Demang Kason

c) Demang Bunyamin

b. Masa Pembangunan

Cerita atau catatan pembangunan dimulai pada masa

Demang Taman (Astro Dikromo) pada masa ini dimulai

pembangunan masjid Sungonlegowo, yang melibatkan 7 Desa /

dusun antara lain : Desa Abar-abir, Kemangi, Kisik (Indro),

Karang jarak, Legowo, Ngaren,Bedanten, catatan kedua, adalah

diadakannya perahu tambangan.

Selanjutnya masa pemerintahan desa yaitu ada 8 kepala

Desa:

a) Masa pemerintahan Kepala desa lurah Miun

b) H.Abd.Rohman

c) H.Umar ( 30 Tahun)

Pembangunan SD selatan yang masih nama SR.

d) Ahmad Mudlor


(51)

43

Informasi pembangunan yang masuk pada masa

pemerintahan kepala desa Syuhud sangat banyak,

disamping karena pertanian tambak pada masa

keemasan dengan hasil yang berlimpah, hasi

lpembangunan antara lain:

1. Pembangunan jalan tembus legowo melewati

Gunung Sari

2. SD utara (SD Impres)

3. Pemindahan gedung Yayasan Al Asyhar

4. Pembangunan kali besar dari kesek ke

Bengawan Solo

5. Gerakan tahlil desa yang menghasilkan

pembangunan pager kampung

6. Pembangunan Pendopo Kelurahan Barat

f) Mas’udi

Pada masa ini pembangunan yang dihasilkan

adalah : Pembangunan Gapuro

g) Ansor. SH

Pada masa pemerintahan kepala desa Ansor SH.

Pencapaian pembangunan minimal antara lain :

1. Pembukaan jalan tembus (Arpas – Ke ultan

Agung)


(52)

44

3. Pembangunan Gedung TK

h) Sayuti.SE

Pada masa kepala desa yang baru seiring dengan

usianya yang masih baru belum banyak catatan

hasil-hasil pembangunan, yang sudah dilakukan antara lain :

1. Pemafingan jalan utama Sungonlegowo melalui

Gunung Sari

2. Pembangunan Tembok Penahan Tanah Jalan

(TPTJ) jalan Gowa melalui pengajuan pada

program PNPM-MP tahun 2010.

3. Pembangunan Renovasi gedung PAUD

Al-Firdaus Desa Sungonlegowo melalui Program

PNPM-PPK tahun 2009.

4. Pavingisasi jalan Makam Desa Sungonlegowo

pada Tahun 2011 (Sebelah Selatan).

5. Pengadaan Air Bersih yang terealisasi pada

tahun 2011 dan sekarang hasilnya sudah bisa

dinikmati oleh warga RW.01 dan RW.02.

6. Rehabilitasi Gapura Desa Sungonlegowo.

7. Pavingisasi area Pasar Desa Sungonlegowo.

8. Pembuatan Ruang Tunggu penyeberangan


(53)

45

9. Renovasi Dermaga Pelabuhan dan Pavingisasi

Area Pelabuhan melalui Program PNPM-MPd

Tahun 2013.

10.Pengadaan Air Bersih untuk Wilayah Jl. Sultan

Agung Timur, Raden Rahmat dan Sultan

Hasanuddin Tahun Anggaran 2013.

11. Pengadaan Air Bersih untuk Wilayah Dusun

Ngaren Tahun Anggaran 2013.

12.Pembuatan Perahu Penyeberangan Desa

Sungonlegowo Tahun Anggaran 2013.

13.Pavingisasi jalan Makam Desa Sungonlegowo

pada Tahun 2013 (Sebelah Utara).

2. Tentang Desa

Batas-batas wilayah yang ada di Desa Sungonlegowo Kecamatan

Bungah Kabupaten Gresik terbagi menjadi empat wilayah. Pertama,

sebelah Utara yang merupakan Desa Gumeng. Kedua, sebelah Selatan

merupakan Desa Bedanten. Ketiga, sebelah Timur merupakan Desa Watu

Agung, dan yang Keempat berada di sebelah Barat yang merupakan Desa

Indrodelik.

Desa ini memiliki curah hujan 2,00 mm dan memiliki jumlah bulan

hujan sekitar 6,00 bulan. Suhu rata-rata harian yang ada di desa ini sekitar

36,00 oC. Sedangkan tinggi tempat dari permukaan laut desa ini sekitar


(54)

46

Dari keterangan sumber daya manusia yang ada di desa ini dilihat

dari jumlah kepadatan penduduknya mencapai 472,17 per KM. Jumlah

laki-lakinya mencapai 2942 orang, jumlah perempuan 2996 orang, jumlah

keseluruhan mencapai 5938 orang, dan jumlah kepala keluarga mencapai

1493 kepala keluarga. Tingkat pendidikan disini cukup tinggi, mulai usia

3-6 tahun yang sedang menempuh TK atau play group mencapai 144 anak.

Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah mencapai 1.253 anak, yang sudah

tamat SD atau sederajat mencapai 1.352 anak, yang sudah tamat dari SMP

mencapai 1.187 anak, tamat dari SMA mencapai 1.538 orang, tamat dari

D-1 ada 2 orang, tamat dari D-3 ada 24 orang, tamat S-1 mencapai 263

orang, dan tamat dari S-2 mencapai 27 orang.

Mata pencaharian yang ada disini adalah: sebagai petani sebanyak

542 orang, sebagai pegawai negeri sipil sebanyak 29 orang, nelayan

sebanyak 3 orang, dokter swasta sebanyak 2 orang, perawat swasta

sebanyak 2 orang, sebagai TNI sebanyak 4 orang, sebagai POLRI

sebanyak 2 orang, sebagai guru swasta sebanyak 124 orang, sebagai dosen

swasta ada 1 orang, sebagai tukang kayu sebanyak 3 orang, sebagai tukang

batu sebanyak 2 orang, sebagai pembantu rumah tangga sebanyak 3 orang,

sebagai pengacara sebanyak 1 orang, sebagai karyawan perusahaan swasta

sebanyak 400 orang, bekerja sebagai karyawan perusahaan pemerintah 1

orang, sebagai wiraswasta sebanyak 1.123 orang, yang belum bekerja

sebanyak 1.146 orang, sebagai pelajar sebanyak 1.309, ibu rumah tangga


(55)

47

sebanyak 22 orang, sebagai sopir sebanyak 1 orang, tukang jahit sebanyak

7 orang, tukang cukur orang sebanyak 3 orang, dan sebagai tukang las

sebanyak 2 orang.

Mayoritas agama disini adalah agama Islam. Kewarganegaraan

warga sini adalah Indonesia. Dan semua warga desa ini termassuk

mayoritas warga jawa.

3. Prosesi Tradisi Penanaman Anak Pohon Pisang Bagi Jenazah Orang Yang Belum Menikah

Menurut Prosesi perawatannya adalah apabila yang meninggal

seorang laki-laki maka yang merawat adalah mudin laki-laki, dan apaila

yang meninggal seorang perempuan maka yang merawat adalah mudin

perempuan. Jadi yang pertama disiapkan bahan-bahannya dahulu seperti:

kafan, kemudian bahan-bahan untuk mandi seperti: sabun, dicampur

dengan air matang atau air hangat, kemudian ada lagi itu yang harus

disiapkan yaitu: daun (godhong doro), daun ini istilahnya supaya jenazah

tersebut badannya (peret), setelah disiram, kemudian dengan sabun untuk

membersihkan kotoran-kotorannya itu selama 3x, kemudian menggunakan

daun bidara, terus ada lagi yaitu menggunakan bunga siraman dicampur

air untuk menghilangkan bau-bau yang tidak sedap dan supaya jenazah

wangi, setelah itu kita bilasi semua, setelah itu kita wudhui.3

Apabila seorang laki-laki atau perempuan meninggal maka jenazah

tersebut di tangani oleh seorang mudin yang sesuai dengan jenis

3


(56)

48

kelaminnya mereka, seperti halnya dengan jenazah laki-laki maka di

tangani oleh mudin laki-laki dan sebaliknya apabila yang meninggal

perempuan, maka jenazahnya ditangani oleh mudin perempuan. Prosesi

jenazahnya yaitu:

a. Dengan menyiapkan bahan-bahannya terlebih dahulu seperti

kain kafan untuk membungkus jenazah tersebut

b. Kemudian bahan-bahan untuk memandikan jenazah tersebut,

seperti sabun yang dicampur dengan air matang atau dengan

air hangat, shampoo. Sabun dan shampoo disini fungsinya

untuk membersihkan kotoran-kotoran yang ada di tubuh

jenazah. Jenazah tersebut disiram hingga 3x.

c. Menyiapkan daun bidara, daun ini fungsinya agar jenazah

tersebut badannya (peret).

d. Menyiapkan bunga siraman, bunga ini dicampur air. Fungsi

bunga ini untuk menghilangkan bau-bau yang tidak sedap

supaya jenazah tersebut wangi, dan setelah itu jenazah kita

bilasi sampai bersih.

e. Dan yang terakhir adalah jenazah langsung diwudhu kan

supaya jenazah dalam keadaan suci dan bersih.

Proses jenazah yang jelas memakai daun pacar, memakai air asin,

memakai kapur barus supaya awet. Kalau ada orang wafat itu diumumkan

di lingkungan, setelah itu ditaruh ditempat yang aman supaya tidak di


(57)

49

wewangian, daun paar, setelah itu dikasih air, dan air yang disunnahkan itu

adalah menggunakan air tawar tidak apa-apa, cuman membilasnya

menggunakan air asin, kenapa begitu? Supaya awet. Setelah itu jenazah

harus segera dibawa, istilahnya diberangkatkan atau disholatkan dimasjid

atau dirumahnya.4

Proses jenazah yang jelas adalah mudin segera mengumumkan kabar

duka tersebut di masjid supaya semua warga disekitar lingkungan tersebut

mengetahuinya. Setelah itu menyiapkan daun pacar, daun bidara, kapur

barus, wewangian dan air asin untuk memandikan jenazah. Fungsi dari

daun pacar, air asin dan kapur barus adalah untuk mengawetkan tubuh

jenazah tersebut. Wewangian disini fungsinya untuk memberi aroma

wangi pada tubuh jenazah agar tubuh jenazah tidak bau. Setelah

perlengkapan mandi sudah lengkap, maka jenazah harus segera

dimandikan, dibilas dengan menggunakan air asin dan segera disucikan.

Apabila jenazah sudah suci, maka jenazah segera dibungkus dengan kain

kafan dan di taruh ditempat yang aman supaya jenazah tidak dikerumuni

semut. Setelah jenazah sudah suci dan dibungkus dengan kain kafan, maka

jenazah segera diberangkatkan di masjid atau dirumahnya untuk

disholatkan.

Ya masalah perawatan ya sama saja. Di antara yang sudah menikah dan yang belum menikah itu sama saja, Cuma bedanya itu ya itu tadi.

4


(58)

50

Untuk menanam tanaman pisang itu adalah sebagai tanda bahwa yang meninggal belum menikah. Dari proses pemandian sama saja.5

Masalah proses perawatan jenazah itu sama saja. Untuk jenazah yang

belum menikah dan yang sudah menikah itu sama saja dan tidak ada

bedanya. Dari proses pemandiannya juga sama, hanya saja yang

membedakan adalah dari penanaman pohon pisang tersebut. Karena pohon

pisang tersebut ditanam untuk menjadikannya simbol bahwa yang

meninggal tersebut belum menikah atau masih single.

Ini entah mulai kapan ya tradisi ini diadakan. Yang jelas itu bukan

suatu keharusan atau kewajiban tidak. Jadi ada yang melaksanakannya dan

nada yang tidak melaksanaknnya. Mungkin cuma dibeberapa desa saja

yang melakukan hal itu. Tapi mugkin kalau diperkotaan sudah tidak

dipakai ini. Jadi prosesinya disini memang ada yang diberi pohon pisang

dan ditanam pohon pisang diatas kuburnya.6

Entah mulai kapan tradisi ini ada dan diadakan oleh masyarakat.

Yang penting tradisi ini bukan suatu kewajiban bagi masyarakat sini.

Sehingga masyarakat sini ada yang melaksanaknnya da nada yang tidak

melaksanakannya. Tradisi ini mungkin hanya terdapat di beberapa desa

saja, bahkan diperkotaan pun sudah tidak memakai tradisi ini. Jadi di desa

ini apabila ada yang meninggal dan masih perjaka atau perawan maka

diatas kuburannya tersebut ada yang ditanami ohon pisang da nada yang

5

Abdul Kholik, Wawancara, Sungonlegowo, 19 Juli 2017. 6


(59)

51

tida, karena semua itu bukan suatu kewajiban yang apabila tidak

dikerjakan akan dosa.

Dari beberapa penjelasan diatas tersebut sehingga dapat disimpulkan

bahwa proses perawatan jenazah yang belum menikah adalah sama.

Artinya proses perawatannya tidak beda dengan jenazah yang sudah

menikah. Jadi proses perawatan jenazah yang belum menikah maupun

yang sudah menikah itu sama dan tidak ada yang beda. Prosesnya diawali

dengan menyiapkan kain kafan, menyiapkan bahan-bahan untuk mandi

seperti air, daun bidara, kapur barus, daun pacar, sabun, shampoo, dan

wewangian. Setelah jenazah dimandikan maka jenazah segera diwudhui

atau disucikan. Apabila jenazah sudah suci, maka jenazah tersebut di

bungkus dengan kain kafan dan jenazah segera disholatkan dimasjid.

Selesai disholatkan jenazah segera di bawa kekuburan. Hanya saja yang

membedakan adalah proses penguburannya, karena setelah jenazah

dimasukkan kedalam liang lahat, jenazah ditutupi dengan tanah, dan yang

terakhir adalah proses penanaman pohon pisang yang dilakukan oleh salah

satu kerabat atau keluarga si jenazah. pohon pisang tersebut ditanam diatas

kuburan, pohon pisang ini dijadikan sebagai lambang atau simbol bahwa

yang meninggal adalah seorang perjaka atau perawan.

Proses penanamannya itu cuman nanti ketika orang sudah bubar, itu

ditanam sendiri sama keluarganya. Jadi penanamannya itu sekedar

simbolis. Dan tidak ditanam sama akarnya, itupun gak sampai lama


(1)

76

berbuah Cuma sekali saja. Dapat diartikan bahwasanya seorang

perjaka atau seorang perawan yang meninggal, berarti seorang perjaka

atau perawan tersebut belum pernah memberikan keturunan. Bisa

diartikan juga bahwa hidupnya hanya sekali atau tidak tergantikan di

dunia ini, dan penanaman anak pohon pisang ini hanya simbolis.

Pohon pisang tersebut ditanam diatas kuburan dijadikan simbol bahwa

yang meninggal masih perjaka atau perawan, karena belum

memberikan keturunan dan hidupnya juga hanya sekali di dunia ini.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tradisi penanaman anak pohon pisang bagi jenazah orang yang belum

menikah di pemakaman studi prosesi perawatan jenaah yang belum

menikah di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten

Lamongan adalah tradisi yang sudah ada dan sudah dilakukan sejak

dahulu, sejak dari zaman nenek moyang hingga sekarang. Tradisi ini

dilakukan bertujuan untuk menunjukkan atau dijadikan sebagai simbol,

bahwasanya apabila ada orang meninggal yang di atas kuburnya

ditanami anak pohon pisang, maka yang meninggal termasuk masih

perjaka atau perawan. Prosesi perawatan jenazah yang belum menikah

maupun yang sudah menikah sama. Prosesnya yang pertama adalah

menyiapkan kain kafan, bahan-bahan untuk mandi seperti sabun, air,

kapur barus, daun bidara, wangi-wangian, dan shampoo. Setelah itu

jenazah dimandikan, disucikan, dan dibungkus dengan kain kafan.

Sesudah dibungkus dengan kain kafan, maka jenazah ditaruh di tempat

yang aman supaya tidak dikerumuni oleh seranggat. Selanjutnya

jenazah segera dibawa ke masjid untuk disholatkan. Yang

membedakan antara jenazah yang belum menikah dan yang sudah


(3)

78

pohon pisang. Semua itu dilakukan untuk dijadikan simbol, agar

semua orang dan utamanya bagi generasi muda mengerti bahwa yang

meninggal adalah seorang perjaka atau perempuan. Supaya generasi

muda juga sadar bahwa orang meninggal tidak memandang dari segi

usia, akan tetapi di usia muda pun mereka bisa meninggal.

2. Makna simbolis penanaman anak pohon pisang di pemakaman di Desa

Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik bagi jenazah

orang yang belum menikah adalah pohon pisang tersebut hanya

dijadikan simbol saja, teruntuk para perawan dan perjaka yang

meninggal. Simbol ini dijadikan pengingat teruntuk bagi para generasi

muda, agar mereka ingat bahwa kematian seseorang tidak memandang

usia. Usia muda ataupun tua, semuanya akan mengalami kematian.

B. Saran

Dengan selesainya skripsi ini penulis merasa banyak kekurangan.

Oleh karena itu penulis mengharapkap kritikan serta saran dari pembaca

pada umumnya, terutama bagi mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya, serta para tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh

agama yang ada di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah Kabupaten

Gresik. Karena pada zaman sekarang masih sangat sedikit yang

mengetahui makna dari simbol-simbol seperti itu, sehingga banyak dari

generasi muda yang tidak peduli akan simbol-simbol yang ada di


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

A., Teew. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Bala iPustaka, 1984.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek. Jakarta: PT

Rieneka Cipta, 1998.

Bertens, K. dan A.A. Nugroho.Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1993.

Budiono, Herusatoto. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita

Graha Widia, 2000.

Devito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia, “terj.” Agus Maulana. Jakarta:

Professional Books, 1997.

Hadi, Sutrisno. Metode Research. Yogyakarta: Andi Offset, 1889.

Harmanto, Dick & B. Rahmanto. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Kanisius,

1998.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik, “edisi ketiga”. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2001.

Mardimin, Johanes. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Masyarakat

Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Mattulada. Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin

University Press: 1997.

Mulyana, Dedy. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2000.

Nash, Sayyed Husein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Bandung:


(5)

80

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2004.

Rakhmad, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi, “Edisi Revisi”. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1994.

Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014.

Sour,Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Prosedur

Teknikdan Teory Groundet. Surabaya: Bina Ilmu, 1997.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar: Metode Dan Teknik.

Bandung: Tarsito, 1994.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2004.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Grup, 2007.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana

Media, 2011.

Wirawan, I.B. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2012.

Zeitlin, Irving M. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada

Uniersity Press, 1998.

Jurnal:

Maezan Kahlil Gibran. “Tradisi Tabuik Di Kota Pariaman”.JOM FISIP, Vol. 2 No. 2, 2015.


(6)

81

Skripsi:

Rahmaningrum, Asri. Tradisi Meron Di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo

Kabupaten Pati Dalam Prespektif Dakwah Islam. Jurusan Bimbingan

Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang, 2015.

Sartini,Ni Wayan. Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Jurusan Sastra Indonesia,