REGULASI EMOSI PASCA KEMATIAN PASANGAN HIDUP PADA USIA DEWASA AKHIR.

(1)

REGULASI EMOSI PASCA KEMATIAN PASANGAN HIDUP PADA USIA DEWASA AKHIR

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Ely NurLailatul Farida B37212089

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Ely NurLailatul Farida, NIM. B37212089.Regulasi Emosi Pasca Kematian Pasangan Hidup Pada Usia Dewasa Akhir.

Skripsi Program Studi Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan regulasi emosi pasca kematian pasangan hidup pada usia dewasa akhir. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan melakukan pendekatan fenomenologi karena menekankan pada pengalaman hidup individu dalam suatu fenomena tertentu. Subyek penelitian ini yaitu dua orang lansia yang suaminya telah meninggal dunia. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan kepada subyek utama dan significant others. Dari hasil penelitian bahwa emosi-emosi yang dirasakan lansia janda pasca kematian pasangan hidupnya bermacam-macam. Emosi sedih, terkejut, dan harapan dirasakan dan diekspresikan oleh kedua subyek ketika menghadapi kematian pasangan hidupnya. Temuan peneliti mengenai aspek regulasi emosi yang terdapat pada usia dewasa akhir/lansia adalah pemantauan (monitoring), penilaian (evaluation), dan kemampuan memodifikasi emosi. Temuan peneliti yang lainya tentang proses regulasi emosi yang terdapat pada usia dewasa akhir pasca kematian pasangan hidupnya yakni seleksi situasi, modifikasi situasi, fokus/menjaga perhatian, merubah kognitif dan memodulasi respon. Strategi regulasi emosi yang digunakan oleh subyek adalah self blame, acceptance, ruminative thinking, positif refocusing, refocusing on planning, catrophobizingdan blamed others. Dan faktor yang mempengaruhi subyek dalam meregulasi emosi pasca kematian pasangan hidupnya yaitu pola asuh dan hubungan interpersonal. Kata Kunci: Regulasi Emosi, Lansia, kematian pasangan hidup


(7)

ABSTRACT

Ely NurLailatul Farida, NIM B37212089. Regulations Emotion After Death of The Spouse Life at Adult Age The End

Thesis course of study psychology and health State Islamic University Sunan Ampel Surabaya.

This study aims to to describe regulations emotion death in the face spouse at adult age the end. The research is the qualitative study by doing approach phenomenology because emphasis on experience of life individuals in a a specified phenomenon. Subject research is two people elderly whose husbands have died. Technique data collection in this research was uses the interview and observation. Interviews were conducted to the main subject and significant others. The research that emosi-emosi felt elderly widow death in the face wife various. Emotions sad, surprised, and hope felt and expressed by both subjects when faced with death of the spouse his life. The findings researchers on the aspect regulations emotion that is at adult age the end of / elderly is monitoring an evaluation, and the ability modify emotion. The findings of the other researcher who is about regulatory processes emotions that was found at adult age late in the face of death of the spouse selection of his life that is the situation, a modification of the situation, /keep the focus of attention, change cognitive and modulate response. Regulations emotion strategy used by the subject is self blame, acceptance, ruminative thinking, refocusing positive, refocusing on planning, catrophobizing and blamed others. And factor that influences subject in regulate emotion to death of the spouse his life that is pattern foster and relations interpersonal.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ………... ii

PERNYATAAN KEASLIAN……… iii

KATA PENGANTAR ………..……. iv

DAFTAR ISI ………. vi

DAFTAR LAMPIRAN ………. viii

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR GAMBAR ……… x

INTISARI ………... xi

ABSTRACT……… xii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Fokus Penelitian……….. 12

C. Tujuan Penelitian………. 12

D. Manfaat Penelitian……….. 12

E. Keaslian Penelitian……….. 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Lansia 1. DefinisiLansia……… 17

2. KarakteristikLansia……… 18

3. TugasPerkembangan Lansia……….. 19

4. Perubahan-perubahan yangTerjadi Pada Lansia……… 21

B. Regulasi Emosi 1. Pengertian Emosi……… 21

2. Macam-macam Emosi……… 23

3. PengertianRegulasi Emosi………. 24

4. Aspek-aspek Regulasi Emosi………. 25

5. Proses Regulasi Emosi……… 26

6. StrategiRegulasi Emosi……….. 27

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi…………. 29

C. Kematian 1. Definisi Kematian……….. 30

2. Fase-fase Menjelang Kematian……….. 31

3. Fase-fase Duka Cita……… 32

4. Regulasi Emosi dalam menghadapi Kematian Pasangan Hidup pada Usia Dewasa Akhir……… 34

D. Kerangka Teori………. 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian………. 40

B. Lokasi penelitian……….. 41

C. SumberData………. 41

D. CaraPengumpulan Data………... 44

E. Prosedur Analisisdan Intepretasi Data……… 45


(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Partisipan……….. 48

B. Temuan Penelitian

Diskripsi temuan dan analisis temuan penelitian ………. 50

C. Pembahasan………..77

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ……….. 88

B. SARAN ……….. 88


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap orang pasti mengalami proses perkembangan di dalam hidupnya. Dimana perkembangan tersebut akan memberikan efek bagi kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan sampai bisa menyebabkan masalah. Namun munculnya masalah tersebut sangatlah normal dan kita sebagai manusia berusaha untuk menghadapi apa yang diberikan Tuhan untuk kita semua yang hidup di dunia ini. Manusia tidak pernah statis. Semenjak pembuahan hingga ajal selalu terjadi perubahan baik dalam kemampuan fisik maupun kemampuan psikologisnya (Hurlock, 1980: 3).

Berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan seseorang di mulai dari masa bayi yang baru dilahirkan sampai dengan tahap akhir yang sering disebut dengan masa lansia. Walaupun sering terjadi perubahan-perubahan baik itu yang bersifat fisik maupun psikis, masih banyak orang yang tidak menyadarinya, kecuali jika perubahan tersebut terjadi secara mendadak dan setiap manusia pasti akan mengalami masa tua atau lansia yang menurut sebagian orang merupakan masa yang tidak mereka inginkan. Pada masa usia dewasa akhir ini atau yang lebih sering disebut dengan lansia banyak sekali problematika yang harus dihadapi oleh mereka yaitu orang-orang yang telah memasuki masa lansia ini. Namun problematika lansia sangat khas. Selain mengalami penurunan kemampuan fisik, mereka juga mengalami penurunan pada kondisi psikologisnya.


(11)

2

Lanjut usia menurut UU RI no.13 tahun 1998 adalah mereka yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Mereka yang lansia harus bisa menyesuaikan dengan berbagai perubahan baik fisik maupun psikis, mental dan sosial. Penurunan kondisi fisik dan psikis tersebut terjadi secara perlahan dan bertahap. Istilah “keuzuran” (senitity), biasanya digunakan mengacu pada periode waktu selama usia lanjut apabila kemunduran fisik sudah terjadi dan juga terjadi disorganisasi mental. Orang yang dikatakan uzur biasanya menjadi eksentrik, kurang perhatian, dan terasing secara sosial yang menyebabkan penyesuaian dirinya tidak bisa baik. Kemunduran tersebut dapat disebabkan karena adanya faktor fisik dan juga faktor psikis. Penyebab fisiknya seperti adanya perubahan-perubahan pada sel-sel tubuh yang dikarenakan adanya proses penuaan. Sedangkan faktor psikologis, penyebabnya seperti sikap tidak tenang pada diri sendiri, orang lain, dan pekerjaan, dan kehidupan . Beberapa hal tersebut merupakan perilaku yang dapat mempercepat terjadinya kemunduran dalam diri manusia. Akibatnya, orang yang menurun secara fisik maupun psikis akan membuat kematian semakin cepat (Hurlock, 1980: 380).

Perubahan yang terjadi pada diri lansia tersebut bisa menyebabkan perubahan kehidupan yang dihadapai oleh individu lanjut usia, dan itu memiliki potensi menjadi sumber tekanan dalam hidup karena stigma menjadi tua adalah suatu yang berkaitan dengan kelemahan, ketidakberdayaan, dan munculnya penyakit-penyakit.

Peningkatan jumlah lansia terjadi baik di negara maju maupun berkembang. Indonesia cukup signifikan dalam percepatan pertambahan


(12)

3

jumlah lansia di dunia. Pada tahun 1971 jumlah lansia sebanyak 5,3 juta (4,48% dari jumlah penduduk). Tahun 1990 meningkat dua kali lipat menjadi 12,7 juta (6,65% dari jumlah total penduduk). Saat ini jumlah lansia di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbanyak di dunia. Diprediksi seiring peningkatan tingkat kesejahteraan, Indonesia akan menjadi jawara dengan hal jumlah lansia tahun 2025 mendatang, yakni berjumlah 36 juta jiwa. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah lansia sebanyak 18,1 juta jiwa atau 18,78 juta orang lebih (www.tribunnews.com/kesehatan, diakses pada tanggal 27 Mei 2015 oleh Eko Sutriyanto).

Dengan adanya peningkatan populasi lanjut usia juga berdampak pada munculnya persoalan bagi orang lanjut usia itu sendiri. Seperti penurunan kondisi fisik dan psikis yang mengakibatkan hasil pensiunan menjadi turun. Contoh yang lainnya adalah kesepian akibat ditinggal oleh pasangan atau teman seusianya dan lain-lain juga berdampak pula pada keadaan emosi mereka ketika ditinggalkan oleh pasangan hidupnya tersebut. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya suatu perhatian yang khusus dalam menangani para lansia agar mereka tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan menyenangkan.

Menurut Prawitasari (dalam Sari,Endah P, 2002), semakin tingginya usia harapan hidup berarti semakin besar pula individu dapat hidup lebih lama atau lebih besar kemungkinannya untuk menikmati hidup lebih panjang. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya jumlah dan proporsi individu lansia. Keadaan tersebut bisa membawa dampak yang luas, tidak hanya menyangkut


(13)

4

masalah ekonomi dan kesehatan pada lansia. Maka dari itu, agar tidak menjadikan masalah kelak dikemudian hari, diperlukan adanya upaya-upaya inisiatif agar individu lansia dapat sehat fisik maupun psikisnya.

Sama seperti masa perkembangan sebelumnya, masa lansia pun juga memiliki tugas perkembangan. Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Proses penyesuaian diri pada setiap lansia berlangsung secara berbeda-beda dalam menghadapi berbagai kemunduran diri serta masalah yang muncul dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Setiap perubahan-perubahan yang terjadi pada individu apalagi pada lansia merupakan stressor pada kehidupan. Salah satunya adalah kehilangan pasangan hidup mereka untuk selama-lamanya. Mereka harus menyesuaikan diri lagi ketika biasanya memiliki teman hidup untuk bisa berbagi dalam keadaan suka maupun duka, namun kenyataannya hal itu berubah dengan meninggalnya pasangan hidup mereka yang sekarang. Mereka memerlukan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan serta cobaan hidup secara positif sehingga individu dapat memandang permasalahan tersebut sebagai hal yang wajar, seperti dalam hal emosi.

Kenyataan yang dihadapi oleh seorang pasangan hidupnya sudah meninggal adalah bahwa ia harus melanjutkan hidupnya tanpa pasangannya lagi. Beberapa orang memilih untuk menikah lagi setelah kehilangan pasangan hidup, tetapi lansia banyak yang memilih untuk menduda atau menjanda di


(14)

5

sisa hidupnya. Lansia lebih banyak menggunakan waktu untuk melakukan kegiatan sosial (Prawitasari dalam Ekowati).

Pengalaman akan kematian orang lain terutama orang terdekat atau keluarga mampu menimbulkan trauma dan akan mempengaruhi perspektif individu terhadap kematian. Individu sangat mungkin mengalami ketakutan terhadap kematian baik ketakutan dirinya yang akan mati maupun ketakutan akan kematian orang lain. Kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang paling sulit dihadapi oleh setiap individu. Oleh karena itu peristiwa datangnya kematian haruslah sudah dipersiapkan sejak dini agar ketika masa itu tiba, baik orang yang mengalami kematian maupun orang yang ditinggalkan sudah siap dan tidak merasa sedih yang berkepanjangan.

Salah satu dari tugas perkembangan lansia adalah mempersiapkan diri menghadapi kematian dirinya dan juga kematian pasangan hidupnya. Lansia ketika menghadapi kematian pasangan hidupnya harus pandai-pandai untuk mengatur dan mengekspresikan emosi dan perasaannya tersebut agar bisa mencapai keseimbangan emosional yang bisa diwujudkan baik dalam sikap maupun perilakunya. Hal itulah yang dinamakan dengan regulasi emosi.

Menurut pendapat Salovey dan Skuffer (dalam Istiqomah, 2014), menyatakan bahwa regulasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia, dimana beberapa penelitian mengatakan seiring berjalannya usia maka semakin dewasa pula individu dan semakin adaptif strategi regulasi emosi yang digunakan.


(15)

6

Namun banyak kejadian dimana usia dewasa akhir dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya kurang bisa mengatur kondisi emosi dirinya sendiri, hal tersebut bisa terjadi karena dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang individu pada tahap sebelumnya kurang bisa menyesuaikan dan melaksanakan tugas perkembangan masa sebelumnya dengan baik (Erikson dalam Maryam, 2008).

Menurut Cole dkk (2004) menerangkan bahwa ada dua jenis fenomena pengaturan, yaitu emosi sebagai pengatur dan emosi yang diatur. Emosi sebagai pengatur berarti adanya perubahan yang tampak sebagai hasil dari jenis emosi yang aktif, misalnya ketakutan akan tampak pada melalui ekspresi wajah dan perilaku dan terdapat pada sebuah sistem yang berkaitan dengan emosi seperti aktivitas kardiovaskular. Emosi sebagai pengatur lebih mengarah pada perubahan interdomain, seperti rasa sedih lansia dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya karena strategi yang diterapkannya. Sedangkan emosi yang telah diatur berkaitan dengan perubahan pada jenis emosi yang aktif, termasuk didalamnya perubahan dalam kemampuan emosi itu sendiri, intensitas serta durasi emosi yang terjadi dalam diri individu itu sendiri. Seperti mengurangi stress dengan menenangkan diri atau antar individu.

Pada tahapan emosi tugas utama seorang individu adalah belajar mengenali, memahami dan mempertimbangkan emosi dirinya dan dan orang lain. Menurut Hurlock (2012: 380), ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk daripada yang baik dan kepada


(16)

7

kesengsaraan daripada kebahagiaan. Itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih ditakuti daripada usia madya dalam kebudayaan Amerika.

Faktor psikologis tidak bisa terpisahkan dari kehidupan dalam (inner-life) seorang manusia, termasuk lansia. Sejak dulu telah diketahui bahwa faktor emosional berkaitan erat dengan kesehatan mental lansia. Ketika aspek emosional terganggu, kecemasan apalagi stres berat, akan mengakibatkan terjadinya gangguan fisik. Begitu juga ketika kesehatan fisik terganggu akan berakibat buruk pada stabilitas emosi (Munandar, 2001: 197).

Lansia sering beresiko kesepian dari gangguan serta hubungan sosial mereka dari waktu ke waktu. Misalkan anak-anak mungkin pindah ke kota lain atau negara lain yang menjadikan jarang untuk pulang ke rumah orang tuanya, dan cucu menjadi lebih mandiri yang sebelumnya diasuh oleh mereka atau secara tidak langsung menjadi teman saat cucunya diasuh olehnya. Dan yang lebih berat lagi adalah ketika menghadapi kematian pasangan hidupnya, sehingga otomatis lansia tersebut harus hidup seorang diri tanpa teman yang bisa diajak untuk berbagi seperti ketika pasangan hidup mereka masih bisa menikmati kehidupan. Bahkan jauh dari anak-anaknya membuat mereka merasa kesepian dan membutuhkan suatu lingkungan dengan komunitas yang sama. Karena kesepian menjadikan orang-orang cenderung menghabiskan waktu senggang mereka pada aktivitas yang sendiri dan hanya memiliki teman atau kenalan. Individu yang kesepian merasa disingkirkan dan percaya bahwa mereka hanya memiliki sedikit kesamaan dengan orang-orang yang mereka temui (Baron dan Byrne, 2005: 16).


(17)

8

Bahaya psikologis pada lansia dianggap memiliki dampak lebih besar dibandingkan dengan usia muda, akibatnya penyesuaian pribadi dan sosial pada lansia tidaklah mudah. Dengan demikian dibutuhkan kondisi hidup yang menunjang agar lansia dapat menjalani masa lansia dengan baik dan memuaskan, kondisi hidup yang menunjang juga dibutuhkan agar lansia tidak tertekan karena memasuki masa lansia bahkan dalam menghadapi kematian pasangan hidup mereka. Kondisi hidup ini antara lain adalah sosial ekonomi, kesehatan dan kesehatan mental.

Berdasarkan pada kenyataan diatas tersebut, maka diperlukan suatu kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di dalam kehidupannya secara positif. Regulasi emosi diperlukan dalam keadaan tersebut. Regulasi emosi adalah strategi yang dilakukan individu untuk memelihara, menaikkan dan atau menurunkan perasaan, perilaku, dan respon fisiologis secara sadar maupun tidak sadar (Gross, 1998a; Gross & Thompson, 2007 dalam Fitri.Ahyani). Regulasi emosi ini akan menjadikan pencapaian keseimbangan emosional yang akan dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini adalah lansia, baik melalui sikap maupun perilakunya.

Berbagai permasalahan yang muncul saat usia dewasa akhir pasca kematian pasangan hidupnya salah satunya adalah menjadi stress. Tidak semua orang dapat menentukan coping stress yang tepat ketika orang-orang yang mereka sayangi dipanggil Tuhan. Santrock (2002) mengungkapkan bahwa pada urutan penyebab stress dalam kehidupan yang menempati urutan pertama adalah karena kematian pasangan hidupnya. Kesedihan pada masa


(18)

9

berkabung seringkali berkepanjangan dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan orang yang ditinggalkan. Jika hal tesebut terus terjadi membuat individu tersebut telah melewatkan berbagai peluang hidup yang sebenarnya bisa ia lakukan namun terlewatkan begitu saja karena terlalu lama bersedih karena ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi.

Kondisi tersebut memunculkan emosi yang negatif seperti mudah marah, mudah tersinggung, cemas tanpa sebab, gelisah, merasa sendirian dan bahkan merasa tidak berguna lagi. Emosi-emosi negatif yang dialami para lansia tersebut bisa berubah menjadi emosi-emosi positif. Dengan cara tadi, regulasi emosi. Kemampuan regulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif akibat pengalaman-pengalaman emosional serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian hidup, menvisualisasikan masa depan yang positif dan mempercepat pengambilan keputusan (Barret, Gross, Christensen & Benvenuto, 2001, dalam Muttaqin, 2012).

Hasil studi terdahulu yang dilakukan oleh Gottaman (1997) bahwa pengaplikasian regulasi emosi dalam kehidupan akan membawa dampak yang positif baik dalam kesehatan fisik maupun psikis, juga kemudahan dalam membina hubungan dengan orang lain serta meningkatkan resiliensi. Regulasi emosi menyebabkan individu memiliki keyakinan pada diri sendiri dan kemampuan diri dan menyadari kekuatan serta keterbatasan diri.

Menurut Santrock (2002), semakin orang dewasa lanjut atau lansia aktif dan terlibat, semakin kecil kemungkinan mereka menjadi renta dan semakin besar kemungkinan mereka merasa puas dengan kehidupannya. Pernyataan


(19)

10

tersebut bisa diterapkan individu-individu bahwa seharusnya melanjutkan peran-peran masa dewasa tengahnya disepanjang masa dewasa akhir, jika peran-peran masa dewasa tengahnya diambil seperti terkena PHK, maka sebaiknya segera mencari kesibukan yang lain yang dapat menggantikan peran yang diambil tadi, sehingga tetap bisa memelihara keaktifan dan keterlibatan mereka di dalam aktivitas-aktivitas kemasyarakatan.

Individu yang memiliki kontrol implus yang tinggi akan memiliki regulasi emosi yang tinggi pula. Ketika seseorang tidak mampu mengontrol impuls, ia akan menerima beliefyang pertama kali muncul pada dirinya tanpa mempertimbangkan hal lainnya. Akibatnya ia akan percaya setiap kejadian negatif dan berlaku denganbelief-nya. Individu yang memiliki kontrol impuls dapat menahan dan mengevaluasi kejadian negatif yang menimpanya dan berpikir secara rasional. Ia tidak akan terjebak dan menerima kejadian negatif secara cuma-cuma (Widuri, 2012).

Dalam hal ini adalah lansia pasca kematian pasangan hidupnya. Ketika pasangan hidup mereka sudah meninggal dunia, lansia tersebut diharapkan tidak merasa kesepian bahkan perasaan tidak berharga pun jangan sampai terpikirkan oleh lansia tersebut. Karena kondisi emosi lansia seperti remaja yang labil dan butuh perhatian lebih, khususnya dari pihak keluarga lansia tersebut. Sehingga lansia tidak lagi merasa kesepian dan mampu mengungkapkan dan mengekspresikan apa yang meraka rasakan saat itu dengan benar dan tepat.


(20)

11

Berdasarkan dari sedikit wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 22 April 2016 di rumah subyek, mengenai regulasi emosi lansia pasca kematian pasangan hidupnya diketahui subyek dalam penelitian ini dapat mengendalikan emosi dan perilakunya ketika setelah kehilangan pasangan hidup subyek. Hal ini dikarenakan keluarga subyek terutama anak-anak subyek selalu mendukung dan menemani subyek sehingga tidak merasa sendirian. Selain itu juga karena sejak masih muda subyek berada pada kehidupan yang dapat dikatakan kekurangan sehingga emosi subyek telah terlatih sejak dahulu yang sering dihadapkan pada keadaan yang tidak menyenangkan.

Pada hal ini adalah lansia pasca kematian pasangan hidupnya diharapkan mampu untuk mengelola emosi-emosi negatif yang dialami, seperti sedih, frustasi ataupun marah. Tak lupa juga peran keluarga terutama anak-anak dari lansia tersebut yang harus selalu memberikan dukungan kepada orang tua mereka, agar beliau tetap merasa memiliki teman selain pasangan hidupnya tersebut.

Regulasi emosi dapat terjadi dalam proses yang berbeda tiap antar individu yang pastinya akan diakhiri dengan respon-respon perilaku yang berbeda-beda pula (Hendriana, 2015). Hal tersebut menarik untuk diteliti karena peneliti bisa mengetahui bagaimana regulasi emosi tersebut bisa terjadi dan apa saja upaya dalam regulasi emosi tersebut khususnya pada lansia menghadapi kematian pasangan hidupnya.


(21)

12

B. FOKUS PENELITIAN

Adapun fokus penelitian pada fenomena ini adalah bagaimana gambaran regulasi emosi pasca kematian pasangan hidup pada usia dewasa akhir.

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pada fokus latar belakang diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan regulasi emosi pasca kematian pasangan hidup pada usia dewasa akhir.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa : 1. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan teori-teori dalam bidang ilmu psikologi, utamanya pada bidang psikologi keluarga, psikologi perkembangan, psikologi lansia dan secara khusus kaitannya dengan regulasi emosi pada lansia dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya.

2. Manfaat praktis

a) Bagi peneliti diharapkan akan mendapatkan pengalaman dalam penelitian sehingga menambah wawasan dan pengetahuan untuk mengaplikasikan ilmu psikologi yang penulis tekuni.

b) Bagi lansia, diharapkan dalam penelitian ini dapat tetap menjaga regulasi emosi yang dimilikinya agar kehidupannya tetap stabil meskipun pasangan mereka sudah tidak ada di dunia ini lagi. Dan untuk keluarga lansia diharapkan juga tetap menjaga kondisi emosi


(22)

13

orang tua mereka supaya tidak merasa kesepiaan yang bahkan bisa menyebabkan depresi.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Kajian tentang regulasi emosi tersebut pernah diteliti oleh Jannah, dkk (2014) dengan judul “Pengaruh Regulasi Emosi terhadap perilaku Agresif dalam menyelesaikan Konflik Interpersonal pada siswa SMK. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa regulasi emosi dapat menurunkan sikap agresivitas siswa SMK.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh oleh Adinda Istiqomah, mahasiswi Program Studi Psikologi dan Ilmu Kesehatan dengan judul “Regulasi Emosi Ibu yang Memiliki Anak Autis”. Dari hasil penelitian itu didapatkan hasil bahwa ibu dengan anak autis tersebut memiliki emosi yang sangat beragam. Strategi regulasi emosi yang digunakan oleh subyek adalah blaming other, acceptance, positive refocusing, refocusing on planning dan tindakan lainnya. Selain itu faktor pola asuh, hubungan interpersonal dan perbedaan individual juga turut mempengaruhi strategi regulasi emosi yang digunakan oleh masing-masing subyek.

Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Aprisandityas dan Elfida, dalam judul penelitian “Hubungan Antara Regulasi Emosi dengan Kecemasan Ibu Hamil”. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa regulasi emosi berperan penting terhadap kecemasan yang dirasakan oleh ibu hamil. Semakin baik kemampuan regulasi emosi ibu hamil, maka semakin rendah kecemasan yang dirasakan.


(23)

14

Penelitian oleh Susan Puspita Mandasari (2007) tentang “Perbedaan Loneliness pada Pria dan Wanita Usia Lanjut setelah Mengalami Kematian Pasangan Hidup”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan rasa kesepian antara pria dan wanita yang ditinggal mati pasangan hidupnya. Wanita lansia janda lebih tinggi rasa kesepiannya daripada pria lansia yang ditinggal mati pasangan hidupnya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Jekjati dkk (2015) yang berjudul “Comparing Emotion Regulation Strategies and Psychological Well-being in Women with Breast Cancer and Healty Women”, dalam penelitiannya mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara regulasi emosi pada wanita yang sehat dengan wanita penderita kanker payudara. Dimana regulasi emosi yang dilakukan oleh wanita dengan kanker payudara adalah merupakan regulasi emosi yang negatif seperti self rebuke, acceptance, ruminative thinking, dan blamed others. Sedangkan regulasi emosi yang digunakan oleh wanita sehat adalah positive refocusing, refocusing on planning, and positive evaluation.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Gross (2002). Dalam penelitiannya yang berjudul “Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences”. Hasil dari penelitian tersebut bahwa regulasi dapat berpengaruh terhadap afeksi, kognitif dan konsekusensi sosial.

Penelitian oleh Pamela dan Dennis (2004) dengan judul “Emotion Regulation as a Scientific Construct: Methodological Challenges and Directions for Child Development Research”. Dari penelitian tersebut


(24)

15

diperoleh hasil bahwa regulasi emosi sangat penting bagi anak dan seharusnya dilatih sejak dini karena akan berpengaruh untuk perkembangan anak itu di masa depannya, juga membantu mereka memperoleh kemampuan untuk mengatur emosi anak itu sendiri.

Penelitian Gross yang lain (2001) yang berjudul“Emotion Regulation in Adulhood: Timing is Everything”. Dalam penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa regulasi emosi dapat mengubah cara pandang yang lebih baik dan dapat mengurangi dampak emosi yang negatif. Dan dalam penelitian ini menerangkan bahwa strategi yang digunakan dalam regulasi emosi adalah reappraisal (revolution).

Berdasarkan beberapa penelitian diatas yang mengenai regulasi emosi dan lansia dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya, belum ada penelitian mengenai regulasi emosi pasca kematian pasangan hidup pada usia dewasa akhir. Selain dengan metode penelitian yang berbeda penelitian menggunakan subyek lansia janda. Lansia yang dipilih menjadi subyek ini yang suaminya meninggal belum dua tahun karena dari segi emosi masih teringat dengan jelas bagaimana dan apa yang dirasakan ketika suaminya meninggal dunia dahulu. Yang menjadi alasan lainnya memilih lansia yang perempuan karena perempuan memiliki perasaan yang lebih dalam dari pada laki-laki.

Karena setiap lansia memiliki karakter yang berbeda-beda dan pasti memiliki cara tersendiri dalam mengelola emosi yang dimilikinya pada keadaan yang tersulit sekalipun meskipun dalam kasus yang sama yaitu dalam


(25)

16

menghadapi kematian pasangan hidupnya pada usia dewasa akhir. Dan lansia ini tidak tinggal sendiri melainkan masih ada anak dan menantu yang ada dan dekat dengan beliau. Disinilah letak perbedaan penelitian dengan penelitian terdahulu. Pada penelitian ini lansia janda sebagai subyek utama (key informan)dan keluarga menjadisignificant others.


(26)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. LANSIA

1. Defininis Lansia

Menurut Hurlock (2012: 380), tahap terakhir dalam kehidupan dibagi menjadi dua, yakni usia lanjut dini yang berusia antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh tahun sampai akhir kehidupan seseorang. Sedangkan menurut WHO (dalam Ardi, 2013) yang disebut lansia yaitu jika seorang individu berumur enam puluh sampai tujuh puluh empat.

Pada teori psikologi, usia lanjut usia merupakan proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya (Maryam, 2008: 47)

Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan


(27)

18

untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.

Dalam teori perkembangan, ditekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami lansia pada saat muda hingga dewasa. Erickson (dalam Maryam, 2002: 52) membagi kehidupan menjadi delapan fase, antara lain : a. Lansia yang menerima apa adanya.

b. Lansia yang takut mati

c. Lansia yang merasakan hidup penuh arti d. Lansia yang menyesali diri

e. Lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan f. Lansia yang kehidupannya berhasil

g. Lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri

h. Lansia yang perlu menemukan integritas diri melawan keputusan (ego integrity vs despair).

2. Karakteristik Lansia

Lansia ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa peyesuaian diri yang buruk daripada yang baik dan banyak kesengsaraan daripada kebahagiaan. Adapun karakteristik lansia menurut Hurlock (1980) :

a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran b. Perbedaan individual pada efek menua c. Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda d. Berbagai strereotip orang lanjut usia


(28)

19

e. Sikap sosial terhadap usia lanjut

f. Orang lansia memiliki status kelompok minoritas g. Menua membutuhkan perubahan arah

h. Penyesuaian yang buruk

i. Keinginan menjadi muda sangat kuat 3. Tugas Perkembangan Lansia

Dalam perkembangan masa lansia juga memiliki tugas perkembangan yang harus dilaksanakan oleh para individu yang menginjak usia lansia. Seperti yang diungkapkan oleh Hurlock (1980: 386) ada tujuh tugas perkembangan selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, yaitu:

a) Penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis b) Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan c) Menemukan makna kehidupan

d) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan e) Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga

f) Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia g) Menerima dirinya sebagai seorang lansia.

Menurut Erikson (dalam Maryam, 2008: 40) kesiapan lansia untuk menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik dan bisa membina hubungan yang serasi dengan


(29)

20

orang sekitarnya, pada otomatis di usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan ketika tahap perkembangan sebelumnya, seperti olahraga, mengembangkan hobi, bercocok tanam dan lain-lain. Tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut :

1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun 2) Mempersiapkan diri untuk pensiun

3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya 4) Mempersiapkan kehidupan baru

5) Melakukakn penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai

6) Mempersiapkan diri untu kematiannya dan kematian pasangannya. Dalam mempelajari psikologi perkembangan kita juga akan memahami perubahan emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupannya. Itulah mengapa pentingnya mempelajari psikologi perkembangan. Pokok-pokok dalam teori perkembangan adalah sebagai berikut :

a) Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa kehidupannya.

b) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial yang baru, yaitu pensiun dan/atau menduda/menjanda.

c) Lansia harus menyesuaikan diri sebagai akibat perannya yang berakhir di dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya akibat


(30)

21

pensiun, serta ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temannya.

4. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia

Pada masa lansia banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Menurut Papalia & Old (2001, dalam Mandasari 2007) perubahan-perubahan yang terjadi pada masa lansia antara lain adalah perubahan-perubahan fisik (penglihatan, pendengaran, dan penciuman), perubahan psikologi, dan perubahan emosional.

B. REGULASI EMOSI 1. Pengertian Emosi

Emosi dalam segi etimologi berasal dari kata “e-movere” yang artinya adalah menggerakkan, bergerak. Kemudian ditambah dengan awalan “e”untuk memberikan arti “bergerak menjauh”, mislanya emosi sedih mendorong perubahan suasana hati untuk melakukan sesuatu yaitu menangis (Goleman dalam Salamah, 2009).

Menurut Chaplin (dalam Safaria, 2009) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang timbul dari individu dan menimbulkan suatu perubahan yang disadari. Emosi bisa bersifat mendalam dan dimana hal tersebut bisa menyebabkan perubahan perilaku individu.

Kemudian Lazarus (dalam darwis 2006) mengemukakan pendapatnya tentang emosi. Menurutnya emosi adalah bentuk yang kompleks dari suatu organisme, yang melibatkan perubahan fisik, misalkan dalam bernafas semakin cepat, nadi berdenyut semakin cepat


(31)

22

dari biasanya, produksi kelenjar, sedangkan dari sudut mental adalah suatu keadaan senang atau cemas yang ditandai adanya perasaan yang kuat dan diwujudkan dalam tingak laku individu. Jika emosi tesebut sangat kuat bisa menyebabkan terjadinya gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat disosiasi dan kecenderungan terhadap tindakan yang tidak baik.

Emosi menurut Darwin (2006: 18) adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap dan tingkah laku, serta diungkapkan dalam bentuk ekspresi tertentu. Emosi dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Ketika emosi meledak-ledak secara psikis hal itu memberi kepuasan, namun secara fisik membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa ringan juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi pada semua orang dan disemua kesempatan. Terkadang orang bahagia tetapi malah meneteskan air mata, atau kesedihan yang sama tidak membuat kepedihan yang serupa.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan yang dapat menimbulkan perubahan yang disadari mengikuti keadaan psikologis dan mental serta diekspresikan dalam bentuk perilaku yang tampak.


(32)

23

2. Macam-macam Emosi

Beberapa tokoh telah mengemukakan pendapat mengenai macam-macam emosi antara lain seperi yang telah diungkapkan oleh Sarlito, Descartes, Goleman dan Lazarus.

Sarlito (1986: 51) mengungkapkan ada beberapa macam emosi, antara lain: gembira, bahagia, terkejut, jemu, benci, was-was, dan lain-lain. Menurut Descartes (dalam Salamah), ada enam emosi dasar yang dimiliki tiap individu, antara lain cinta(love),kebahagiaan(enjoy),heran atau ingin tahu (wonder), benci (hate), keinginan atau hasrat (desire) dan kesedihan (sadness).

Selain itu, menurut Goleman (2002, dalam Yuliani) mengemukakan pendapat tentang beberapa macam emosi yang dimiliki oleh individu. Macam-macam emosi tersebut yaitu marah, jijik, malu, rasa bersalah, sedih dan takut.

Sedangkan menurut lazarus (dalam Salamah) tidak jauh berbeda dengan Goleman. Lazarus mengungkapkan bahwa macam-macam emosi-emosi yang terdapat dalam diri seseorang yaitu: anger (marah), anxiety (cemas), Fright(takut), jealously(cemburu), disgust(jijik), shame(malu), sadness (sedih), envy (iri hati), happiness (senang), pride (bangga), relief (lega),hope(harapan), love(cinta), dancompassion(rasa kasihan).


(33)

24

3. Pengertian Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan dalam menstrategikan bagaimana menyesuaikan intensitas atau durasi dari reaksi emosional ke tahap yang lebih menyenangkan untuk mencapai tujuan (Berk, 2004).

Menurut Gross (2001) beliau mendefinisikan bahwa regulasi emosi merupakan upaya individu untuk membuat mengontrol emosi yang mereka miliki ketika dalam keadaan yang sulit sekalipun. Selain itu, regulasi emosi juga mencakup semua strategi sadar maupun tidak sadar yang digunakan oleh individu untuk meningkatan, mempertahankan atau mengurangi suatu keadaan yang diterima oleh respon emosional individu.

Gross dan Thomson (2007) juga mengemukakan pendapatnya mengenai regulasi emosi yaitu sekumpulan berbagai proses tempat emosi diatur. Proses regulasi emosi ini bisa dilakukan secara otomatis maupun secara kontrol oleh individu itu sendiri, dan bahkan disadari ataupun tidak disadari, juga dapat memiliki efek yang dapat membangkitkan suatu emosi. Dalam regulasi emosi melibatkan perubahan dalam dinamika emosi, ataupun waktu munculnya, besar lamanya dan mengimbangi respon perilaku, pengalaman maupun psikologis dan juga dapat mengurangi, memperkuat ataupun memelihara emosi tergantung dari tujuan individu itu sendiri.

Hal tersebut hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Greenberg & Stone (dalam Mawardah, 2014). Menurut mereka regulasi emosi adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam


(34)

25

mengekspresikan emosi baik lisan maupun tulisan dimana hal tersebut bisa membantu peningkatan kesejahteraan individu tersebut dan juga membantu fungsi fisik pada seseorang ketika menghadapi situasi bersifat traumatik dalam kehidupannya yang bisa memicu terjadinya distress psikologis.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi merupakan kemampuan individu untuk tetap menjaga ketenangan emosi dalam suatu kondisi apapun meskipun dibawah suatu tekanan, yang meliputi semua kesadaran dan ketidaksadaran.

4. Aspek - aspek Regulasi Emosi

Thompson (1994, dalam Mawardah, dkk) mengungkapkan terdapat beberapa aspek dalam regulasi emosi. Aspek-aspek regulasi emosi tersebut adalah sebagai berikut:

a) Pemantauan (monitoring), yaitu kemampuan yang berhubungan dengan pembuatan suatu keputusan oleh individu terhadap langkah apa yang akan digunakan untuk menghadapi segala bentuk emosi pikirannya.

b) Penilaian (evaluation), yaitu individu memberikan penilaian baik itu positif atau negatif atas segala peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya dan bagaimana menggunakan pengetahuannya tersebut sesuai dengan harapannya. Penilaian positif dapat mengelola emosi secara baik, sehingga terhindar dari


(35)

26

pengaruh emosi negatif yang dapat membuat individu bertindak diluar harapannya.

c) Kemampuan memodifikasi emosi (modifying emotional reactions), yaitu suatu kemampuan untuk merubah emosi kearah yang lebih baik dengan mengubah pengaruh negatif yang masuk menjadi dorongan dalam diri agar menjadi individu dengan motivasi perubahan kearah positif, dan kemudian diterapkan dalam perilaku atas respon yang dipilihnya.

5. Proses Regulasi Emosi

Menurut Gross (2007) ada lima tahap dalam proses regulasi emosi, yaitu :

a) Situation selection (seleksi situasi), maksudnya adalah ketika individu merubah aksinya dengan tujuan mendapatkan situasi yang diinginkan dan juga bisa meminimalisir atau memaksimalkan emosi yang dirasakannya.

b) Situation modification(modifikasi situasi), merupakan pemodifikasian situasi terhadap penyebab stimulus munculnya emosi. Seperti merubah suasana tegang yang merupakan emosi negatif menajdi suasana yang nyaman.

c) Attentional Deployment (Fokus/menjaga perhatian), upaya mengalihkan perhatian individu dari situasi yang kurang menyenangkan yang bertujuan untuk mempengaruhi emosi.


(36)

27

d) Cognitive change(merubah kognitif), merupakan suatu bentuk regulasi emosi dengan merubah pemahaman individu terhadap suatu stimulus yang membuatnya merasa emosi.

e) Respon modulation (modulasi respon), dimana regulasi emosi ini dilakukan ketika emosi sudah muncul dan dapat mempengaruhi kognitif serta fisik dari suatu individu itu sendiri.

6. Strategi Regulasi Emosi

Menurut Garnefski (dalam Jektaji, dkk, 2015) terdapat beberapa strategi dalam melakukan regulasi emosi, diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Self blame, adalah menyalahkan diri sendiri, maksudnya disini lebih mengacu pada pola pikir yang menyalahkan dirinya sendiri.

b) Acceptance, mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah atas kejadian yang menimpa dirinya

c) Ruminative thinking, individu cenderung selalu memikirkan perasaan yang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi. Nolen menyatakan Ruminative cenderung berasosiasi dengan tingkat depresi yang tinggi.

d) Positive refocusing, kecenderungan individu lebih memikirkan hal-hal yang menyenangkan dan menggembirakan daripada memikirkan situasi yang terjadi. Berfokus pada hal-hal yang positif.

e) Refocusing on planning, adalah pemikiran terhadap langkah apa yang akan diambil dalam menghadapi peristiwa negatif yang dialami.


(37)

28

Dimensi ini terjadi hanya pada tahap kognitif, dan tidak sampai ketahap pelaksanaannya.

f) Positif re-evaluation, adalah kecenderungan mengambil makna positif dari situasi yang sedang terjadi.

g) View of, kecenderungan individu untuk bertindak acuh atau meremehkan orang lain.

h) Catastrophobizing, adalah kecenderungan individu menganggap bahwa hanya dirinya yang lebih tidak beruntung dari situasi yang sudah terjadi.

i) Blamed others, pola pikir yang menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa dirinya.

Dari beberapa penjelasan diatas bahwa strategi regulasi emosi yang baik menurut Garnefski untuk dilakukan yaitu acceptance, positif refocusing, refocusing on planning, positif re-evaluation, dan view of, karena strategi tersebut mengarah pada pemikiran yang positif dan rasa percaya diri yang tinggi, serta rasa kecemasan yang rendah. Sedangkan strategi regulasi emosi yang buruk menurut Garnefski adalah self blame, ruminative thinking, catastrophobizing dan blamed others, dikarenakan strategi tersebut lebih mengarah kepada perasaan yang negatif dan rendahnya rasa percaya diri serta kecemasan yang berlebihan.


(38)

29

Table 1.

Strategi Regulasi Emosi

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Regulasi Emosi

Menurut Salovey dan Skufter 1997 (dalam Istiqomah, 2014) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi strategi regulasi emosi, antara lain adalah :

a) Usia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seiring berjalannya usia, makan semakin dewasa individu semakin adaptif strategi regulasi emosi yang digunakan (Gross, Richard & John, 2004)

b) Jenis kelamin. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Karista, menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan strategi regulasi emosi yang digunakan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa laki-laki dewasa muda lebih banyak menyalahkan diri sendiri saat meregulasi emosinya, sedangkan perempuan dewasa muda lebih sering menyalahkan orang lain.

Strategi Regulai Emosi

Positif Negatif

acceptance Self blame

positive refocusing Ruminative thinking Refocusing on planing catastrophobizing

Positive re evaluation blamed other View of


(39)

30

c) Poal asuh. Pola asuh dalam keluaraga mensosialisasikan perasaan dan pikiran mengenai emosi secara positif akan berdampak positif pula bagi keluarga itu sendiri.

d) Hubungan interpersonal, hal ini dapat mempengaruhi regulasi emosi. Apabila emosi individu meningkat maka timbul keinginan yang kuat untuk mencapai suatu tujuan dengan berinteraksi melalui lingkungan dan individu lainnya

e) Pengetahuan mengenai emosi. Pengetahuan tersebut sangat penting dilakukan sejak dini ,agar di masa mendatang individu sudah memiliki pengetahuan tentang emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga dapat membantu mereka untuk melakukan regulasi emosi secara lebih adaptif.

f) Perbedaan individual. Dipengaruhi juga oleh tujuan, frekuensi, dan kemampuan individu.

C. KEMATIAN

1. Definis Kematian

Kematian masih sulit untuk didefinisikan karena bukan merupakan peristiwa tunggal melainkan suatu proses. Sebelumnya kematian didefinisikan sebagai kondisi dimana tidak ada lagi detak jantung/ denyut nadi atau tidak lagi bernapas (Upton, 2012: 244).

Kematian adalah bagian normal dari kehidupan, namun beresiko tinggi jika tidak ada dukungan yang tersedia, khususnya dari keluarga sendiri. Kematian pasti akan dialami oleh semua makhluk hidup yang ada


(40)

31

di dunia ini. Bagi orang yang ditinggalkan pasti merasakan kehilangan akan kematian tersebut, terlebih lagi jika yang meninggal adalah teman, tetangga bahkan keluarga mereka sendiri.

2. Fase-fase Menjelang Kematian

Menurut Kubler-Ross (dalam Santrock, 2002), beliau membagi perilaku dan proses berpikir seseorang yang akan mengalami kematian menjadi lima fase yaitu penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.

1) Penolakan dan isolasi, merupakan fase pertama dimana orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. Namun, penolakan tersebut biasanya pertahanan diri yang bersifat sementara.

2) Kemarahan. Pada fase ini orang yang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan. Dari penolakan tersebut akan memunculkan rasa marah, benci dan iri. 3) Tawar-menawar. Pada fase ketiga menjelang kematian dimana

seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian sewaktu-waktu dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang melakukan hal tersebut seringkali dengan Tuhan sambil mencoba untuk menunda kematian. Dalam usaha mereka untuk memperpanjang hidup dengan berjanji untuk mengubah hidupnya hanya didedikasikan kepada Tuhannya dan melayani orang lain.

4) Depresi. Pada fase keempat dalam menghadapi kematian dimana orang akan dijemput oleh ajalnya akhirnya menerima kematian. Orang yang


(41)

32

menjelang kematiannya mungkin akan menjadi pendiam, menolak pengunjung serta menghabiskan banyak waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku yang demikian normal dalam situasi tersebut dan sebenarnya merupakan usaha nyata untuk diri dari obyek yang disayangi.

5) Penerimaan. Pada fase ini merupakan fase mengembangkan rasa damai, menerima takdir, dan beberapa hal seseorang yang akan menghadapi kematiannya ingin ditinggal sendiri.

3. Fase-fase Duka Cita

Duka cita adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai disaat kehilangan orang yang kita cintai. Rasa kehilangan merupakan hal yang menyakitkan bagi mereka yang telah ditinggalkan oleh orang yang mereka sayangi, apalagi dipisahkan karena kematian dan dialami oleh pasangan hidup mereka.

Menurut Averill (dalam Santrock, 2002) bahwa setiap individu akan melewati 3 fase duka cita setelah kehilangan orang yang dicintainya. Fase-fase tersebut adalah terkejut, putus asa, dan pulih kembali. Pada Fase-fase awal, individu yang ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak percaya, sering menangis bahkan mudah marah. Fase ini terjadi berlangsung selama 1-3 hari setelah kematian orang yang dicintainya. Fase pertama ini sama seperti fase penolakan dan kemarahan yang telah dikemukakan oleh Kubler-Ross pada individu yang sekarat (Santrock, 2002).


(42)

33

Fase yang kedua, yaitu ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan atas kematian, memori dan gambaran-gambaran visual tentang kematian, kesedihan, sulit untuk tidur, mudah tersinggung, dan gelisah. Pada fase ini seringkali akan memuncak di minggu kedua sampai minggu ke empat setelah kematian orang yang dicintainya tersebut, namun hal tersebut tidak berlangsung selamanya. Perasaan tersebut akan mereda setelah beberapa bulan tetapi ada juga yang bertahan bahkan 1-2 tahun (Santrock, 2002).

Pada fase ke tiga yaitu fase pulih kembali. Pada fase ini individu yang telah ditinggalkan oleh orang yang mereka cintai akan merasa damai, menerima takdir yang telah diberikan oleh Tuhan dan pasrah atas kepergian orang yang dicintainya tersebut. Sehingga individu yang telah ditinggalkan tidak merasa terpuruk lagi dan bangkit dari kesedihan karena kepergian orang yang dicintainya.

Perasaan duka cita tidaklah sederhana, tidak hanya sekedar pernyataan emosi, tetapi lebih kompleks, proses yang lambat laun terjadi, dan sifatnya multi dimensi (Jacobs dalam Santrock, 2002). Menurutnya, kerinduan terhadap orang yang telah meninggal dunia adalah satu dimensi yang penting. Rasa rindu yang sering muncul dan menimbulkan suaru harapan agar orang yang telah meninggal dunia bisa kembali lagi.

Salah satu dari dimensi duka cita adalah rasa cemas akan perpisahan yang tidak berkaitan dengan kematian, tetapi masih berkaitan dengan tempat dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan orang yang meninggal


(43)

34

tersebut, dengan cara menangis atau menarik nafas panjang sebagai tipe menahan tangis. Dimensi yang selanjutnya adalah rekasi yang bersifat tiba-tiba kehilangan seperti emosi yang tumpul, kelumpuhan, ketidakpercayaan, kepanikan yang luar biasa dengan airmata yang berlebihan.

Dimensi yang lainnya dari duka cita adalah melibatkan keputusasaan dan kesedihan, mengandung putus harapan dan penolakan, gejala depresif, apatis, kehilangan arti mengenai kegiatan yang melibatkan orang yang telah pergi dan memunculkan kesunyian. Dimensi ini tidak menunjukkan fase yang jelas, namun terjadi secara berulang-ulang dalam suatu situasi kehilangan.

Meskipun demikian hal tersebut akan beragsur-angsur membaik seiring berjalannya waktu, rasa rindu dan cemas akan cenderung berkurang. Kecemasan akan kehilangan seseorang pasti ada pada setiap individu selama individu hidup. Namun kebanyakan dari individu dalam mengatasi perasaan tersebut dengan cara membelokkan perhatian kita kembali pada tugas-tugas yang produktif dan mendapatkan kembali pandangan hidup yang positif (Morycz dalam Santrock, 2002).

4. Regulasi Emosi dalam Menghadapi Kematian Pasangan Hidup pada Usia Dewasa Akhir

Umumya usia dewasa akhir ketika menghadapi kematian pasangan hidupnya akan mengalami kesepian bahkan bisa menyebabkan stress. Hal ini bisa terjadi pada lansia janda maupun duda. Karena mereka sudah


(44)

35

menghabiskan hidup bersama selama berpuluh-puluh tahun dan akhirnya harus dipisahkan oleh maut, tentu hal tersebut menjadikan pukulan yang berat bagi pasangan mereka. Yang paling sering mengalami kesedihan yang mendalam ketika pasangan hidupnya meninggal adalah perempuan. Hal itu karena wanita diciptakan dominan menggunakan perasaannya dari pada logika, sehingga rasa sedih yang timbul mendalam sudah menjadi hal yang tidak asing lagi, tetapi rasa kehilangan tersebut tidak baik jika dibiarkan berlarut-larut.

Lansia dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya akan membuat beliau merasa terpuruk tidak berdaya dengan kenyataan yang telah ia alami, sehingga muncul berbagai emosi ketika dihadapkan dengan kenyataan yang demikian. (Gross,2001) mengemukakan bahwa regulasi emosi merupakan sekumpulan proses emosi yang diatur. Proses regulasi tersebut dapat otomatis ataupun dengan dikontrol, disadari ataupun tidak disadari dan bisa juga memiliki efek pada satu atau lebih proses yang bisa membangkitkan emosi. Emosi adalah suatu perasaan yang dapat menimbulkan perubahan yang disadari mengikuti keadaan psikologis dan mental serta diekspresikan dalam bentuk perilaku yang tampak. Regulasi emosi melibatkan perubahan dalam dinamika emosi ataupun waktu, lamanya dan mengimbangi respon perilaku, pengalaman ataupun respon fisiologisnya.

Gross (1999) menyatakan bahwa tujuan dari regulasi emosi itu bersifat spesifik dan tergantung pada keadaan yang dialami oleh


(45)

36

masing individu. Regulasi emosi berkaitan dengan menaikkan atau mengurangi emosi positif dan negatif. Emosi akan muncul ketika individu dihadapkan pada situasi langsung dan berinteraksi dengan lingkungannya. Emosi positif muncul ketika individu bisa mencapai tujuan yang ia inginkan, sedangkan emosi negatif muncul ketika individu mendapat halangan yang mengganggu tercapainya tujuan individu itu sendiri. Yang termasuk emosi positif antara lain yaitu senang, dan gembira. Sedangkan yang termasuk golongan emosi negatif yaitu marah, takut, dan sedih.

Oleh karena itu kemampuan regulasi emosi atau keterampilan mengelola emosi menjadi penting bagi setiap individu supaya dapat mudah melakukan pertahanan terhadap berbagai masalah yang datang sewaktu-waktu yang bisa menyebabkan keadaan yang merugikan diri sendiri seperti kecemasan dan depresi. Dalam hal ini adalah lansia ketika menghadapai kematian pasangan hidupnya diharapkan mampu untuk mengelola emosi-emosi negatif yang dialami, seperti sedih, frustasi ataupun marah. Tak lupa juga peran keluarga terutama anak-anak dari lansia tersebut yang harus selalu memberikan dukungan kepada orang tua mereka, agar beliau tetap merasa memiliki teman selain pasangan hidupnya tersebut.

D. KERANGKA TEORI

Secara umum, masa dewasa akhir atau lansia adalah mereka yang berusia enam puluh tahun ke atas (Hurlock, 1980). Masa lansia adalah masa yang


(46)

37

sering ditakuti oleh sebagian besar individu, karena pada masa ini terjadi penurunan kondisi baik dari segi fisik maupun psikisnya.

Dalam masa lansia ini juga memiliki tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh para lansia, antara lain yaitu mempersiapkan diri untuk kematian, baik itu kematian diri sendiri maupun kematian pasangan hidupnya nanti. Ketika seorang individu termasuk ditinggalkan oleh pasangan hidupnya meninggal dunia pasti akan merasa kehilangan, sedih dan merasa terpuruk, tidak terkecuali oleh pasangan lansia. Apalagi seorang janda, karena wanita di dominasi oleh perasaan mereka sehingga perasaan sedih akan lebih banyak daripada laki-laki ketika ditinggal oleh pasangan hidupnya.

Meskipun ditinggalkan oleh suaminya meninggal dunia, seorang janda diharapkan tetap bisa mengendalikan emosi mereka, karena hal tersebut akan berpengaruh positif bagi kehidupannya di masa depan. Proses pengendalian emosi inilah yang disebut dengan proses regualasi emosi. Proses regulasi emosi merupakan kemampuan individu untuk tetap menjaga ketenangan dalam kondisi apapun bahkan saat mengalami situasi yang tertekan (Gross, 2001).

Pendapat lain tentang regulasi emosi yang dikemukakan oleh Greenberg & Stone (dalam Mawardah, 2014) adalah suatu kemampuan individu dalam mengekspresikan emosi baik lisan maupun tulisan, dimana hal tersebut bisa membantu individu meningkatkan kesejahteraan yang bisa mendatangkan kebahagiaan individu. Selain itu regulasi emosi bisa membantu fungsi fisik


(47)

38

pada individu ketika menghadapi situasi yang traumatik sehingga tidak sampai terjadi stress.

Regulasi emosi bersifat spesifik tergantung keadaan yang dialami seseorang. Dari regulasi emosi ini bisa juga meningkatkan atau mengurangi ataupun memelihara emosi tergantung dari tujuan individu itu sendiri. Proses regulasi emosi sendiri dapat dilakukan secara otomatis maupun secara kontrol bahkan dapat ia sadari maupun tidak disadari oleh individu itu sendiri (Gross dan Thompson, 2007).

Dengan demikian regulasi emosi ini sangatlah penting bagi setiap individu dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Sehingga ketika individu menghadapi kematian pasangan hidupnya pada usia dewasa akhir atau saat pada masa lansia diharapkan untuk mampu mengelola emosi-emosi yang negatif, seperti kecewa, marah bahkan frustasi agar tidak sampai terjadi dalam waktu yang lama. Dan lebih baiknya lagi jika proses regulasi emosi ini sudah ditanamkan sejak dini pada setiap individu agar ketika memasuki usia dewasa telah terbiasa untuk mengontrol emosi jika dihadapkan pada kejadian yang bisa membuat individu tertekan.

Garnefski (2002, dalam Jekjati) memperkenalkan ada sembilan strategi regulasi emosi, antara lain menyalahkan diri sendiri (Self-Blame), menyalahkan orang lain (blame others), penerimaan (acceptance), fokus semula secara positif (positif refocusing), terlalu memikirkan (rumination), menilai semula secara positif (positive reappraisal), meletakkan pada


(48)

39

perspektif yang benar (putting into reappraisal), dan memikirkan musibah (catastrophobizing).

Gambar 1. Kerangka Teori Strategi Regulasi Emosi Pasca Kematian Pasangan Hidup Pada Usia Dewasa Akhir

Emosi yang muncul pasca ditinggal mati pasangan hidup:

1. Sedih 2. Terkejut 3. Harapan

Lansia yang ditinggal mati oleh pasangan hidupnya memiliki emosi yang positif dan negatif dalam menerima kematian pasangan hidupnya

Strategi regulasi emosi : 1. Self blame

2. Acceptance

3. Ruminative thinking 4. Positive refocusing 5. Refocusing on palnning 6. Positive re evaluation 7. View of

8. Catastrophobizing 9. Balmed other


(49)

40

BAB III

METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menekankan pada kualitas atau hal yang terpenting suatu barang atau jasa. Hal terpenting tersebut bisa berupa kejadian, fenomena, dan gejala sosial. Dari beberapa hal tersebut akan memiliki makna yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep teori peneliti (Ghony & Almansyur, 2012)

Tujuan utama pada penelitian ini adalah ingin menggambarkan bagaimana gambaran emosi lansia dan bentuk strategi regulasi emosi pada lansia yang ditinggal mati pasangan hidupnya. Oleh karena itu peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Sesuai dengan pendapat Ghony (2012) yang menyatakan bahwa tujuan terpenting dari penelitian kualitataif adalah untuk memahami fenomena yang dialami subyek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya. Selain itu juga mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai masalah yang diteliti.

Menurut Chairani & Subandi (2010) pendekatan kualitatif bersifat fleksibel sehingga memungkinkan peneliti untuk menggunakan metode yang tepat sesuai dengan fenomena khusus yang ditemukan dalam penelitiannya tersebut.

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Menurut Poerwandari (2005) studi kasus digunakan untuk memperoleh


(50)

41

pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus tersebut tanpa bermaksud untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori-teori atau tanpa upaya menggeneralisasikan.

Dalam penelitian ini adalah pada lansia janda dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya. Peneliti memilih subyek penelitian lansia janda dikarenakan bahwa perempuan lebih dominan dengan perasaannya dibandingkan dengan laki-laki. Dan juga memilih subyek yang suaminya meninggal dunia belum lama, sehingga emosi yang dimiliki masih bisa diingat dan diungkapkan dengan baik.

B. LOKASI PENELITIAN

Dalam penelitian ini subyek utama adalah lansia janda. Dalam penelitian ini terdapat satu subyek yang berdomisili di Mojokerto, yang mana lokasi penelitian tersebut akan disesuaikan dengan kesepakatan dibuat sebelumnya antara subyek dan peneliti.

Jarak lokasi subyek tidak terlalu jauh, yaitu berada di Desa Trowulan. Sehingga mudah dijangkau oleh peneliti karena berada di daerah Mojokerto sendiri.

C. SUMBER DATA

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2008), sumber data utama dalam penelitian kualitas ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain sebagainya. Ciri khas data penelitian kualitatif adalah menjelaskan kasus-kasus tertentu. Dari kasus tertentu tersebut tidak dapat dan tidak bertujuan untuk digeneralisasikan


(51)

42

sehingga data penelitian tersebut sifatnya tekstual dan konseptual, yaitu subyek adalah seorang lansia janda yang ditinggal mati pasangan hidupnya yang memiliki masalah terhadap emosi dan meregulasinya. Untuk itulah pengalaman yang dimiliki oleh lansia janda dalam meregulasi emosi tersebut yang dibahas dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder (Bungin, 2001). Data primer adalah data yang diperoleh dari perilaku atau tindakan subyek utama dalam penelitian, dalam hal ini adalah lansia janda. Lansia dalam penelitian ini berinisial KM, subyek berusia 66 tahun, berdomisili di Mojokerto. Subyek telah ditinggal oleh suaminya meninggal pada bulan Desember tahun lalu tepatnya pada tanggal 30 Desember 2015.

Sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan dari informan sebagai penguat dari data primer yang disebut dengan subyek partisipan. Subyek partisipan adalah orang-orang yang hidup di sekitar subyek dan teori-teori yang terkait dengan fokus penelitian yang digunakan. Data sekunder dalam penelitian ini, untuk subyek yang pertama adalah anak subyek yang tinggal satu rumah dengan subyek dan juga anak subyek yang lain dimana rumahnya terletak dekat dengan rumah subyek. Pengambilan subyek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memilih subyek dan informan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan subyek secara purposif (sesuai dengan kriteria yang ditentukan), maka penelitian ini menemukan subyek yang sesuai dengan tema penelitian.


(52)

43

Berdasarkan pada fokus kajian penelitian yaitu regulasi emosi lansia yang ditinggal mati pasangan hidupnya, telah ditentukan kriteria dari subyek penelitian adalah sebagai berikut: 1) Subyek merupakan seorang lansia yang suaminya telah meninggal dunia. Kriteria ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa subyek yang pastinya seorang individu yang memiliki emosi, dan juga memiliki strategi regulasi dalam kehidupan sehari-hari dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya.

Terdapat satu subyek yang ditemukan peneliti yaitu KM, seorang lansia janda yang suaminya meninggal pada bulan Desember tahun lalu. Peneliti memilih subyek tersebut karena jarak waktu suami subyek meninggal masih 6 bulan sehingga belum terlalu lama dan masih ingat bagaimana emosi yang dirasakan subyek ketika ditinggalkan oleh suaminya tersebut. 2) Sehat secara sosial sehingga dapat diketahui kondisi emosionalnya; 3) bersedia menjadi subyek penelitian.

Adapun kriteria utama sebagaisignificant others adalah sebagai berikut; 1) memiliki kedekatan dengan subyek; 2) telah mengenal subyek dan mengetahui keseharian subyek. Maka dari itu, untuk significant others pada subyek pertama, peneliti meminta anak kedua subyek untuk memberikan informasi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan karena beliau merupakan orang yang tinggal serumah dengan subyek. Sedangkansignificant other pada subyek kedua, peneliti meminta menantu dan cucu subyek untuk memberikan informasi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.


(53)

44

D. CARA PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa cara pengumpulan data yaitu wawancara, dan observasi

1. Wawancara

Moleong (2011) menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam penelitian ini wawancara merupakan alat utama untuk menggali emosi lansia janda dan juga bentuk strategi regulasi emosi lansia janda dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya.

Wawancara digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dan menemukan permasalahan yang harus diteliti dan juga hal-hal lain dari subyek secara lebih mendalam lagi yang berhubungan dengan emosi, serta strategi regulasi emosi pada kehidupan sehari-harinya dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya. Jenis wawancara yang digunakan adalah jenis wawancara semi struktural.

2. Observasi

Ghony (2012) mengemukakan bahwa observasi adalah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun langsung ke lapangan untuk mengamati hal-hal yang terkait dengan masalah dalam


(54)

45

penelitian tersebut seperti tempat, pelaku, kegiatan, waktu, peristiwa dalan lain-lain yang berhubungan dengan yang akan diteliti oleh peneliti.

Observasi yang dilakukan merupakan jenis observasi non partisipan, maksudnya observer atau peneliti tidak melibatkan diri kedalam observe karena peneliti hanya melakukan pengamatan yang dilakukan secara sepintas dan pada saat-saat tertentu dalam kegiatan observernya (Subagyo, 1997). Dengan menggunakan pengamatan ini peneliti mengamati dan melakukakan pencatatan emosi serta fenomena yang terjadi pada lansia dalam menghadapi pasangan hidupnya.

E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data yang ada, mengorganisasi data, memilih dan memilahnya menjadi sesuatu unit yang utuh dan dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan dipelajari dan membuat kesimpulan untuk diberitakan kepada orang lain (Ghony & Almanshur, 2012).

Ada tiga proses dalam analisis data kualitatif menurut Seiddel (dalam Ghony, 2012) yaitu:

1. Melakukan pencatatan agar dapat digunakan sebagai catatan lapangan dan memberikan kode dari catatan tersebut agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

2. Mengumpulkan, memilih dan memilah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya.


(55)

46

3. Mencari makna dari data yang diperoleh dan menemukan pola serta hubungan-hubungan dan membuat temuan-temuan umum.

F. KEABSAHAN DATA

Menurut Screven (dalam Moleong, 2004) dalam menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Dalam pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan pada beberapa kriteria tertentu, antara lain yaitu derajat kepercayaan (credibility), keterahlian (transferability), kebergantungan(dependability),dan kepastian(confirmability).Empat kriteria tersebut akan digunakan dalam penelitian ini selama melakukan pemeriksaan data dari lapangan sampai dengan laporan hasil penelitian. Adapun teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini adalah:

1. Ketekunan/Keajegan pengamatan

Keajegan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan. Ketekunan pengamatan bermaksud untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci (Ghony & Almanshur, 2012: 321).

2. Triangulasi

Menurut Ghony & Almanshur (2012) triangulasi merupakan teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Moleong (2011: 330) mengemukakan bahwa triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi


(56)

47

yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.


(57)

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI PARTISIPAN

Subyek utama dalam penelitian adalah lansia janda. Dan subyek memiliki dua significant other untuk membantu memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti. Penelitian dengan metode kualitatif ini dilaksanakan kurang lebih 2 bulan mulai dari bulan april sampai Juni 2016. Dalam penelitian ini dilaksanakan di tempat subyek utama (key informan yang berbeda). Subyek tersebut bertempat tinggal di kecamatan Trowulan Mojokerto.

Setelah mendapatkan subyek yang sesuai dengan kriteria, kemudian peneliti mencoba untuk perkenalan terlebih dahulu agar ketika wawancara nanti berlangsung sudah terbangun kepercayaan dan subyek mau menceritakan apa yang peneliti minta tanpa ada paksaan dan tidak terjadi kecanggungan ketika wawancara dan observasi berlangsung. Serta membuat informed consentsebagai bentuk ketersediaan menjadi subyek penelitian ini.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di rumah subyek, dikarenakan waktu luang mereka ada pada pagi hari dan bertepatan dengan bulan puasa sehingga subyek tidak kemana-mana hanya dirumah saja. Jarak lokasi tempat subyek cukup dekat, dalam satu komplek yang mudah untuk dijangkau. Dari segi usia, subyek berusia 66 tahun, Data yang ada diperoleh dari hasil wawancara dan observasi mulai dari awal hingga akhir yang


(58)

49

dilakukan oleh peneliti. Dalam proses wawancara untuk mengumpulkan data peneliti juga harus berhati-hati dengan setiap pertanyaan yang diberikan kepada subyek agar pertanyaan tersebut tidak menyinggung subyek yang berkaitan dengan regulasi emosi dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya.

Dalam pelaksaan penelitian ini peneliti mengalami beberapa hambatan seperti ketika melakukan wawancara pada significant other agak terhambat karena ketika ada pembeli yang datang ke tokonya, beliau meladeni terlebih dahulu pembeli tersebut, sehingga proses wawancara terhenti sebentar, dan ketika pembeli sudah selesei membeli baru bisa dilanjutkan lagi proses wawancara tersebut. Selain itu juga ketika mewawancarai subyek, peneliti agak kesulitan mendengarkan penjelasan subyek karena suaranya yang sangat kecil sehingga agak kesulitan untuk menterjemahkannya.

1. Profil Subyek

Nama : KM

Usia : 66 tahun

Tempat lahir : Mojokerto Jenis kelamin : perempuan Pekerjaan : ibu rumah tangga Alamat : Trowulan Mojokerto Pendidikan : Madrasah Ibtidaiyah (MI) Urutan kelahiran : 1 dari 4 bersaudara Usia pernikahan : 51 tahun

Tahun suami meninggal : 2015

KM adalah seorang lansia janda (usia 66 tahun). Suaminya meninggal pada bulan Desember 2015 tahun lalu. Beliau memiliki 4 orang anak. Anak pertama bernama S (laki-laki) berusia 51 tahun, anak kedua MU (laki-laki) berusia 48 tahun, anak ketiga MR (perempuan)


(59)

50

berusia 45 tahun, dan SMU (perempuan) berusia 44 tahun. Dulu subyek menikah pada saat berusia kurang lebih 15 tahun. Sehari-hari ibu KM hanya di rumah saja, mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci pakaian, menyapu, dan memelihara hewan ternaknya yaitu ayam. Taraf ekonomi beliau termasuk dalam kategori cukup, karena beliau memiliki lahan sawah yang luas yang mereka rawat sejak masih ada suaminya. Untuk sekarang lahan sawahnya tersebut dilanjutkan di urus oleh anak-anak dari ibu KM.

B. TEMUAN PENELITIAN

1. Deskripsi Temuan dan Analisis Penelitian a) Kasus

Saat itu kematian suami KM jatuh pada bulan Desember 2015. Suami KM meninggal karena sakit yang telah dideritanya sejak lama, sudah sering dibawa berobat kemana-mana, pada saat itu mau dibawa ke rumah sakit namun sudah tidak tertolong lagi dan akhirnya meninggal dunia di rumahnya sendiri.

Mengetahui suaminya tidak tertolong lagi, KM sangat syok dan bersedih. KM sangat mencintai suaminya tersebut. Ketika suami masih di rawat di rumah sakit dahulu, KM selalu menemani dan tidak mau pulang istirahat dirumah, padahal anak-anaknya sudah menasehatinya agar istirahat sebentar dirumah, tetapi KM masih ngotot tidak mau pulang dengan alasan kasihan dengan suaminya tidak ada yang menunggui.


(60)

51

Pada awal kematian suami, setiap hari KM masih menangis terus mengingat kematian suaminya, kesehatannya pun menurun. Anak-anaknya selalu menjaga dan mencoba mengalihkan perhatian KM agar tidak terlalu bersedih mengingat kematian suaminya. ketika KM mengeluh yang dikeluhkan biasanya tentang kesendiriannya yang awalnya biasanya dia selalu ditemani oleh suaminya duduk-duduk santai di ruang tamu ataupun diteras, namun sekarang sudah tidak ada lagi. Ketika nonton TV biasanya berdua, selalu teringat kenangan saat mereka masih bersama.

Saat ini KM tinggal dengan anak dan menantunya. Anaknya yang bernama MU dan istrinya AS. Mereka memiliki toko kelontong yang bersebelahan dengan rumah KM. KM mengeluhkan ketika ia masih teringat dengan suaminya, apalagi ketika MU membuka kamar almarhum bapak untuk membersihkan kamarnya dan ketika itu KM lihat kemudian ikut masuk dan membuka almari pakaian suaminya. ketika melihat semua pakaian suaminya KM langsung menangis.

Menurut KM suaminya merupaka sosok yang sangat penyayang, dermawan dan tidak pelit. Almarhum seringkali megajak KM untuk berbelanja ke pasar, ketika KM menolak ajakan almarhum KM dimarahi agar mau diajak pergi ke pasar. Setiap KM berbelanja KM tidak pernah membawa tas atau barang belanjaannya sendiri karena semua itu selalu dibawakan oleh suaminya. meskipun KM sudah menolak dan berusaha membawa barang dan tasnya sendiri, suaminya tetap bersikeras untuk


(61)

52

membawakannya. Hal itulah yang membuat KM sampai saat ini teringat dengan sosok suaminya.

Begitu juga pada waktu masih muda dahulu dalam mengasuh anak-anaknya. Menurut KM suaminya tidak pernah memukul anak-anaknya ketika mereka nakal. Pernah suatu ketika subyek memukul anaknya, subyek lah yang dimarahi oleh suaminya.

KM menikah dengan suami ketika KM masih berusia 15 tahun. Awal pertemuan mereka karena campur tangan kedua orang tua mereka sendiri. Awalnya mereka tidak saling kenal dan tidak tahu. Namun karena dipertemukan oleh orang tua masing-masing sehingga mereka dinikahkan. KM mengaku awalnya tidak mengerti apa itu menikah karena masih kecil. Dia beranggapan kalau menikah itu ya cuma dikasih makan, tidurnya bareng dan juga ada yang merawat dia selain orang tuanya sendiri.

Itu masih sebagian kecil kenangan-kenangan yang membuat KM masih bersedih ketika mengingat suaminya. saat ini KM tinggal dengan anak keduanya yaitu MU dan istrinya sehingga sedikit terbantu mengurangi rasa kesepian KM karena setiap sore ketika KM duduk-duduk diteras ada yang menemani dan ada yang mengajak ngobrol. Dan untungnya lagi semua anak-anak KM memiliki rumah yang tidak jaug dari rumah KM, sehingga ketika membutuhkan apa-apa dari mereka bisa cepat datang kerumah KM.

Dalam menghadapi kesedihan KM, anak-anaknya sering mengajak ngobrol dan berusaha mengalihkan agar tidak teringat terus dengan


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

86

juga rumah menantu subyek letaknya yang paling dekat dengan rumah subyek, sehingga setiap hari bisa mengunjungi untuk melihat keadaan subyek.

Hubungan subyek dengan cucu dapat dilihat kedekatannya. Hal itu ditunjukkan dengan seringnya memberi nasehat terhadap subyek. Ketika bersedih cucu subyek berusaha untuk ikut menghibur subyek. Selain itu juga cucu subyek ikut mengontrol makanan apa saja yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi oleh subyek dikarenakan keadaannya yang sudah sangat tua, maka harus berhati-hati memilih makanan.

Awal pertemuan subyek dengan suami karena dijodohkan oleh orang tua mereka masing-masing. Saat itu usia subyek yang masih 15 tahun tidak mengerti apa itu menikah tidak menolak saat akan dinikahkan oleh orang tuanya. Kehidupan rumah tangganya pada awal pernikahan dapat dikatakan dalam keadaan yang kurang mampu dalam ekonomi. Mereka berdua harus berkerja keras. Namun subyek tidak perrnah meninggalkan suaminya sekalipun meski dalam keadaan yang kurang mampu. Dukungan subyek selalu diberikan kepada suami serta kerja keras sampai akhirnya keadaan tersebut berubah menjadi lebih baik seperti saat ini. mereka sukses dalam bidang pertanian dan bisa menghidupi keempat anak-anaknya. Adanya saling pengertian satu sama lain menjadikan subyek dan suami awet langgeng hingga maut yang bisa memisahkan mereka. Dukungan dari anak-anak subyek yang selalu memberi perhatian dan menghibur ketika subyek merasa sedih teringat dengan suaminya juga sangat berperan penting pada kondisi subyek sampai saat ini.


(2)

87

Dalam masa muda subyek bisa dikatakan memiliki cobaan hidup yang berat. Karena subyek dalam keadaan ekonomi yang bisa dikatakan kekurangan sehingga subyek dan suami harus bekerja keras untuk dapat bertahan hidup. Dari sudah terbiasa untuk hidup susah menjadikan subyek bisa mengontrol emosi subyek ketika sekaang dihadapkan dengan meninggalnya suami subyek. mereka yang kurang mampu. Karena sudah sering terlatih berada dalam keadaan yang kurang menyenangkan menyebabkan kedua subyek sudah biasa ketika dihadapkan pada kondisi yang tidak menyenangkan seperti sekarang ini.


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

88

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan tentang Regulasi Emosi Pasca Kematian Pasangan Hidup Pada Usia Dewasa Akhir dapat disimpulkan bahwa subyek mampu meregulasi emosi pasca kematian pasangan hidupnya. Emosi yang dimiliki subyek saat awal kematian pasangan hidupnya adalah sedih, terkejut dan harapan. Subyek juga mampu memantau, menilai dan mampu memodifikasi emosinya ketika subyek teringat akan kematian suaminya. Selain itu subyek juga memiliki strategi dalam meregulasi emosinya seperti ketika subyek mulai sedih subyek segera mengalihkan perasaan tersebut dengan cara berusaha mencari kesibukan yang lainnya. Selain itu juga rutin mengirimkan doa untuk suaminya dan juga melakukan wiridan sendiri di rumah subyek. Hubungan subyek dengan anak juga mempengaruhi dalam proses regulasi emosi subyek. Anak subyek selalu menghibur dan berusaha mengalihkan perhatian subyek dari rasa sedihnya. Sehingga subyek semakin baik dalam meregulasi emosi pasca kematian pasangan hidup pada usia dewasa akhir.

B. SARAN

1. Untuk peneliti selanjutnya disarankan ketika dalam proses wawancara hendaknya sudah mempersiapkan pertanyaan secara matang dan dengan menggunakan kata-kata yang tidak menyinggung subyek maupun


(4)

89

significant other, dan juga perlu diperhatikan pemilihan subyek, waktu meninggal suami subyek dipilih yang belum lama meninggal dunia

2. Bagi lansia yang suaminya telah meninggal dunia diharapkan mampu untuk menangani emosi yang dirasakan dan mampu untuk meregulasinya. 3. Bagi anggota keluarga yang telah ditinggalkan oleh salah satu orang

tuanya meninggal diharapkan agar selalu menemani dan memberi dukungan kepada sang ibu dan tidak meninggalkannya sendirian karena akan menyebabkan rasa kesepian bagi sang ibu.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

90

DAFTAR PUSTAKA

Aprisandityas, A. & Elfida, D. 2012. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kecemasan pada Ibu Hamil. Jurnal Psikologi, Volume 8 Nomor 2, Desember 2012.

Cole, P.M. Martin, S.E. and Dennis, T.A. 2004. “Emotion Regulation as a Scientific Construct: Methodological Challenges and Directions for Child Development Research, Child Development, March/April 2004, volume 75, Number 2, Pages 317-333.

Fitri, A. R. “Regulasi Emosi Odapus (Orang dengan Lupus atau Systemic Lupus Erythematosus). Jurnal Psikologi, Volume 8 Nomor 1, Juni 2012. Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Ghony, M.J. & Almanshur, F. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Gross, J.J. 2001. Emotion Regulation in Adulthood: Timing Is Everything.

Departement of Psychology, Stanford University, Stanford, California.

Gross, J.J. Emotion Regulation: Affective, Cognitive and Social Consecuences.

Journal Pschophysiology, 39 (2002), Cambridge University Press. Printed in the USA.

Hendriana, A.A. & Hendriana, W. 2015. Regulasi Emosi pada Wanita Dewasa Awal yang Ditolak Cibtanya (Studi Kasus Pada Cinta Tak Terbalas). Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol.04 No.1,April.

Hude, M. D. 2006. Emosi Penjelajahan religio-psikologis tentang emosi manusia di dalam Al-Qur’an.Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B. 1980.Psikologi Perkembangan.edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Istiqomah, A. 2014. “Regulasi Emosi Ibu yang Memiliki Anak Autis”. Skripsi Fakultas Psikologi dan Ilmu Kesehatan Jurusan Psikologi. UIN Sunan Ampel Surabaya

Jannah, M.R. & Rifayani, H. & Ernawati, S. “Emotion Regulation to Reducing Aggressive Behavior in Resolving Interpersonal Conflict on Student”. Artikel Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandiran. 2014.

Jekjati, M.G. & Khalkali, V. & Rahmani, S. 2015. Comparing Emotion Regulation Strategies and Psychological Well-being in Women with Breast Cancer and Healty Women. Jounal Salmagundi-A Quartely Of The Humanisties and Social Sciences ISSN: 0036-3529 Vol.6 No.1.

Mandasari, S.P. 2007. Perbedaan Loneliness pada Pria dan Wanita Usia Lanjut setelah Mengalami Kematian Pasangan Hidupnya. Universitas Gunadharma Fakultas Psikologi.


(6)

Maryam, R. S.. & Ekasari, M.M. & Rosidawati. & Jubaedi, A. & Batubara, I. 2008.Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.Jakarta: Salemba Medika Moleong, L. J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Munandar, U. 2001. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan dari bayi sampai lanjut usia.Jakarta: Universitas Indonesia.

Muttaqin, E.“The Effect of Emotion Regulation Training ti Reduce Stress Among Unemployed Individual at Salafusolikhin Pekalongan Central Java”.

Journal EMPATHY vol.I No.1 Desember 2012.

Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.Jakarta: Perfecta.

Santrock, J.W. 2002. Life-Span Develpoment Perkembangan Masa Hidup. Edisi kelima. Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Sari, E.P. dan Nuryoto, S. “Penerimaan Diri pada Lanjut Usia Ditinjau dari Kematangan Emosi”. Jurnal Psikologi 2002, NO. 2, 73-88 Universitas Gadjah Mada.

Sarwono, S.W. 1986. Pengantar Psikologi Umum. cetakan keempat. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Upton, P. 2012.Psikologi Perkembangan.Jakarta: Erlangga.

Mawardah, M. dan Adiyanti, MG. Regulasi Emosi dan Kelompok Teman Sebaya