Emosi marah pada dewasa awal pasca kematian pasangan hidup.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Atik Zuhria B37213045

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

viii INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran ekspresi emosi marah dan pengelolaan emosi marah pada wanita yang ditinggal mati pasangan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Subjek penelitian ini adalah wanita dewasa awal yang di tinggal mati pasangannya. Ada tiga subjek yang dijadikan sumber informasi yang masing-masing memiliki dua significant other. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang terjadi pada ketiga subjek ini bahwa mereka mengalami emosi marah yang menjadi masalah terbesar bagi dirinya. Dengan menghadapi tantangan dalam emosi marah yang tejadi, ketiga subjek mampu mengelola emosi marahnya dengan baik. ketiga subyek dapat mengontrol emosi marahnya dengan cara membuat komitmen, relaksasi untuk mengubahnya dan berusaha mengatasinya sendiri sehingga akan menyadari kemarahannya tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing individu dapat mengelola emosi dengan baik ketika individu tersebut dapat menjalani beberapa pengelolaan emosi marah dengan baik.


(7)

ix ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the image of angry emotional expression and management of angry emotions in women who are left behind couples. The method used is qualitative research method with phenomenological approach. The subjects of this study were early adult women who live in their dead partner. There are three subjects that are used as sources of information that each has two significant other. The results of this study indicate that what happened to these three subjects that they experience angry emotion that became the biggest problem for him. By facing the challenges in the angry emotions that occur, the three subjects are able to manage their angry emotions well. The three subjects can control their angry emotions by making commitments, relaxation to change them and try to overcome them on their own so that they will realize their anger. So it can be concluded that each individual can manage emotions well when the individual can undergo some management of angry emotions well.


(8)

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

INTISARI... viii

ABSTRACK... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... . 7

BAB II PEMBAHASAN A. Konseptualisasi Topik Yang Diteliti... 12

1. Dewasa Awal... 12

a. PengertianDewasa Awal... 12

b. Tugas Perkembangan Dewasa Awal... 13

2. Emosi Marah... 18

a. Pengertian Emosi Marah... 18

b. Ciri-ciri Emosi Marah... 19

c. Aspek-aspek Emosi Marah... 20

d. Faktor-faktor Penyebab Marah... 23

e. Macam-macam Emosi Marah... 26

f. Bentuk-bentuk Ekspresi Emosi Marah... 29

g. Teknik Pengelolaan Emosi Marah... 30

B. Perspektif Teoritis... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 43

B. Lokasi Penelitian... 44

C. Sumber Data ... 44

1. Sumber Data Primer... 45

2. Sumber Data Sekunder... 45

D. Teknik Pengumpulan Data ... 46

E. Prosedur Analisis Data ... 47


(9)

vi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Partisipan... 52

B. Temuan Penelitian... 59

1. Deskripsi Temuan Penelitian... 61

2. Analisis Temuan Penelitian... 85

C. Pembahasan... 92

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104


(10)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Transkip Wawancara Subjek 1 ... 107

Lampiran 2. Transkip Wawancara Significant Other 1... ... 118

Lampiran 3. Transkip Wawancara Significant Other 2... ... 128

Lampiran 4. Transkrip Wawancara Subjek 2... ... 135

Lampiran 5. Transkip Wawancara Significant Other 1... .... 153

Lampiran 6. Transkip Wawancara Significant Other 2... 163

Lampiran 7. Transkrip Wawancara Subjek 3 ... 170

Lampiran 8. Transkip Wawancara Significant Other 1... 186

Lampiran 9. Transkip Wawancara Significant Other 2... 195


(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Kehidupan manusia yang ingin bersama, melakukan kontrak dengan manusia yang lainnya tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Tidak jarang dari mereka menjalin suatu ikatan lahir batin yang cukup kuat diantara manusia, yakni dengan jalan perkawinan (dalam Nurpratiwi, 2010).

Pernikahan merupakan hal yang paling membahagiakan bagi setiap manusia (Seligman dalam Williams, Sawyer, dan Wahsltrom, 2006). Walau demikian, bukan berarti selama masa pernikahan mereka akan selalu menikmati kebahagiaan seperti yang diimpikan saat masa pacaran (Dariyo, 2003). Kebahagiaan yang baru mereka nikmati akan terhenti saat salah satu dari mereka harus kembali menghadap Tuhan (dalam Mardhika, 2013).

Saat peristiwa kematian terjadi dalam sebuah pernikahan, pasangan yang ditinggalkan menjadi sangat sulit untuk membangun kembali kehidupan tanpa pasangannya (Duvall dan Miller,1985). Seseorang yang ia cintai dan ia harapkan untuk menjadi pelindung serta pemimpin dalam keluarga yang mereka bangun harus meninggalkannya untuk selama-lamanya (dalam Mardhika, 2013).


(12)

terjadi pada usia muda dan secara tiba-tiba, atau kematian yang tidak diharapkan akan dirasakan lebih tragis daripada kematian pada usia tua dan kematian yang terjadi melalui penderitaan penyakit yang lama (dalam Mardhika, 2013). Meskipun peristiwa kematian pasangan mendadak merupakan suatu hal yang berat, namun sebagai makhluk yang tidak dapat merubah ketetapan Tuhan maka manusia diberi kelebihan akal untuk dapat mengubah sikap serta pemikirannya terhadap keadaan itu. Dalam Papalia Olds, & Feldman (2009) dijelaskan kehilangan seseorang karena kematian sering kali dapat membawa perubahan dalam status dan peran. Merupakan suatu fase yang sulit bagi perempuan saat ia kehilangan pasangan hidupnya.

masalah yang muncul pada wanita yang di tinggal mati pasangan hidupnya antara lain masalah emosional seperti marah, kecewa dan sedih. Bila ibu tidak mampu mengelola emosi negatifnya dengan baik, bukan tidak mungkin akibatnya akan berimbas pada anak. Walaupun wanita (single mother) memiliki kekurangan dalam mengontrol emosi, namun hal itu bisa diatasi dengan belajar dan pengalaman.

Emosi adalah suatu pola yang kompleks dan dapat menimbulkan perubahan pada psikologis, perasaan, proses kognitif, dan reaksi individu. Emosi yang dirasakan manusia memang rumit. Emosi tidak selalu berlangsung sempurna dan menyenangkan, bahkan kadang menyakitkan seperti perasaan sedih ketika ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Emosi juga menjadi tak terkendali, dan menegangkan seperti yang dialami


(13)

seorang single mother yang di tinggal suaminya.

Marah merupakan bagian dari emosi yang mengandung muatan emosi yang negatif. Walaupun termasuk sebagai emosi negatif, akan tetapi kemunculan marah tidak selalu menjadi tanda dari adanya ketidakstabilan emosi, melainkan merupakan emosi alami yang dialami oleh setiap orang baik itu anak-anak, remaja dan orang dewasa (Golden 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Perritano (2011) yang menjelaskan bahwa perbahan kondisi mental kita yang terjadi pada diri kita akan menimbulkan emosi tertentu. Marah memiliki dua sisi yakni sisi positif dan sisi negatif. Memiliki makna positif jika marah diekspresikan dengan cara yang tepat sehinggan dapat membantu individu dalam mengekspresikan berbgai perasaan dengan cara yang dapat diterima lingkungan, membantu menyelesaikan masalah, dan juga memotivasi dalam mencapai tujuan yang positif. (Bhave & Saini 2009). Memiliki makna negatif, jika marah diekspresikan dalam cara yang tidak tepat seperti merusak benda, bertindak agresif baik verbal maupun fisik yang dapat mengganggu hubungan interpersonal.

Penelitian ini penting, karena ketika wanita yang ditinggal orang yang dicintainya secara mendadak di usia muda akan mengalami rasa duka yang mendalam dan emsoional. hal ini dipertegas oleh Duffy, 2004 (dalam Perdana dan Dewi, 2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kesepian yang muncul akibat berpisah dengan pasangan hidup dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan,


(14)

bahkan rasa geram yang membuat seseorang marah pada lingkungan dan dirinya sendiri. Begitupun dengan penelitian Maciejewski et al., 2007 (dalam Parkes 2010: 91) mengalami kemarahan ketika kehilangan orang yang dicintainya dan mengalami puncak kemarahan setelah lima bulan setelah duka cita. Kemarahan terkait erat dengan kegelisahan dan ketegangan.

Seperti yang terjadi di Mojokerto seorang wanita berinisial RD yang ditinggal suaminya meninggal diusia 35 tahun. Suami RD meninggal karena penyakit jantung. Saat ini RD tinggal bersama satu anaknya yang masih menginjak usia 4 tahun. Bahkan sebelas bulan setelah ditinggal orang yang dicintainya, RD masih mudah marah baik terhadap dirinya maupun anaknya.

Sama halnya dengan masalah yang dihadapi oleh EU yang saat ini berusia 28 tahun. Masalah yang dihadapi oleh EU sama halnya dengan yang dihadapi oleh RD, keduanya juga ditinggal oleh suaminya. Hanya saja suami EU meninggal dikarenakan penyakit infeks ginjal. Seringkali EU mearasakan kemarahan terhadap dirinya ketika mengalami kesulitan dalam hal ekonomi karena sebelumnya hanya bergantung pada suami yang meninggalkannya. Bahkan EU juga merasa bahwa dirinya sudah kehilangan motivasi yang dimiliki dalam hidupnya. Keduanya mengalami kondisi yang membuat tertekan. Hal ini dikarenakan sosok suami yang dicintainya meninggalkan untuk selama-lamanya.


(15)

suaminya sejak ia berusia 26 tahun. Suaminya meninggal di karenakan kecelakaan sewaktu pulang dari bekerja. Sehingga AM merasa stres dan sempat ingin bunuh diri karena sosok orang yang dicintainya dan menjadi tulang punggung dalam keluarga meninggalkan untuk selama-lamanya.

Pada kasus yang dihadapi oleh RD, EU dan juga AM memiliki kesamaan, yaitu ketiganya ditinggal oleh suaminya. ketiga subjek tersebut masih selalu teringat dan merasakan kesedihan yang mendalam kepada sosok suaminya. Pada saat mengalami kesedihan yang cukup mendalam pada sosok orang yang dicintainya, ketiga wanita tersebut mengalami kondisi yang dapat membuat tertekan hingga marah pada lingkungan dan dirinya sendiri. Hal ini dikarenkan orang yang dicintainya tidak bisa ditemui untuk selama-lamanya.

Hal ini dipertegas dengan pendapat Hurlock (1996), bahwa wanita yang suaminya meninggal biasanya mengalami rasa kesepian yang mendalam. Perasaan ini semakin diperkuat adanya frustasi dari dorongan seksual yang tidak terpenuhi dan adanya masalah ekonomi karena mata pencaharian keluarga tidak mencukupi.

Berdasarkan masalah diatas, peneliti merasa tertarik untuk menggali lebih mendalam mengenai duka cita yang dilalui oleh RD dan EU dan juga AM dan mengenai emosi marah yang dialami RD dan EU dan AM akibat kematian orang yang dicintainya.


(16)

B. Fokus Penelitian

Pernelitian ini disusun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran ekspresi emosi marah pada dewasa awal pasca kematian pasangan hidup ?

2. Bagaimana gambaran pengelolaan emosi marah pada dewasa awal pasca kematian pasangan hidup ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah disebutkan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan ekspresi emosi marah pada dewasa awal pasca kematian pasangan.

2. Untuk menggambarkan pengelolaan emosi marah pada dewasa awal pasca kematian pasangan hidup.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini bagi dunia psikologi adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu psikologi, khususnya mengenai Psikologi Perkembangan yang memfokuskan pada masalah emosi marah pada dewasa awal pasca kematian pasangan hidup. Bagi penelitian selanjutnya dapat


(17)

menambah ilmu pengetahuan tentang emosi marah pada dewasa awal.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman pada masyarakat umumnya pada wanita (single mother) yang mengalami emosi marah, sehingga dapat membantu serta memberikan wawasan mengenai emosi marah dan untuk dapat memberikan gambaran mengenai ekspresi emosi marah.

E. Keaslian Penelitian

Guna melengkapi laporan penelitian ini, digunakanlah pijakan dan kajian dari peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan topik yang sama tentang Emosi Marah Pada Dewasa Awal Pasca Kematian Pasangan Hidup.

Penelitian yang dilakukan oleh Naufaliasari dan Andriani (2013) yang berjudul “Resiliensi pada Wanita Dewasa Awal Pasca Kematian Pasangan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana relisiensi pada wanita dewasa awal yang menjadi janda untuk dapat bangkit dari segala persoalan yang mereka hadapi serta berbagai pengalaman hidup sebagai janda di usia muda. Metode penelitian ini menggunakan metode wawancara yang dilakukan terhadap subjek dan significant other. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Naufaliasari menyatakan bahwa ketiga subjek mengalami masa-masa sulit setelah kematian suami. Hasil bahwa ketiga subjek adalah individu yang resilien,


(18)

karena faktor-faktor protektif (internal dan eksternal) yang dimiliki dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga ketiga subjek tidak terpuruk dalam kesedihan.

Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Aprilia (2013) yang berjudul “Resiliensi dan Dukungan Sosial pada Orang Tua Tunggal (Studi Kasus pada Ibu Tunggal di Samarinda)”. Metode penelitian ini menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil menunjukkan bahwa resiliensi sangat penting bagi orang tua tunggal dalam menghadapi kesulitan, tekanan dan keterpurukan. Para ibu tunggal ini justru semakin resilien dan kuat ditengah minimnya dukungan yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya, karena mereka merasa harus membuktikan bahwa ada atau tidaknya dukungan yang mereka terima, mereka harus tetap bertahan untuk orang-orang yang masih membutuhkan mereka, yaitu anak-anak.

Selain itu juga penelitian yang dilakukan oleh Mardhika (2013) yang berjudul “Gambaran Pencarian Makna Hidup pada Wanita Dewasa Muda yang Mengalami Kematian Suami Mendadak”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran makna hidup wanita dewasa muda yang mengalami kematian suami secara mendadak melalui analisis logoterapi dan menggunakan metode wawancara mendalam. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode studi kasus instrinsik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peristiwa kematian suami secara mendadak adalah sumber makna hidup yang dapat


(19)

menjadikan ketiga partisipan memiliki kehidupan yang lebih bermakna setelahnya. Terdapat beberapa sumber yang menjadi makna hidup mereka, yaitu anak-anak, aktivitas, nilai-nilai kebaikan, agama, keimanan, dan peristiwa kematian suami secara mendadak.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan Zulfiana, Suryaningrum dan Anwar (2012) yang berjudul “Menjanda Pasca Kematian Pasangan Hidup”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa seseorang memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga. Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Perdana dan Dewi (2015) yang berjudul Hidup Terus Berlanjut: Pergulatan Emosi pada Wanita Karir yang Ditinggal Mati Suami. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami pengalaman dan perasaan pada wanita karir yang menjalani kehidupannya sebagai seorang single parent karena kematian


(20)

pasangan. Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ini mengungkapkan kekhasan yang terjadi pada seorang wanita karir yang single parent bahwa mereka mengalami adanya pergulatan emosi yang menjadi masalah terbesar bagi penyesuaian dirinya. Perasaan yang muncul tidak hanya perasaan sedih, terkejut dan tidak percaya, tetapi juga muncul perasaan bersalah pada suami, perasaan iri melihat keharmonisan pasangan suami istri dan keluarga yang utuh serta perasaan kecewa akan sikap suami. Dengan menghadapi tantangan dalam pergulatan emosi yang terjadi, wanita single parent mampu memaknai pengalamannya sebagai peralihan tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Makna single parent juga dimaknai sebagai peran orangtua yang lebih fokus dalam pengasuhan anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Utz, Carr, Nesse dan Wortman (2004) yang berjudul “The Daily Consequences of Widowhood”. Metode dalam penelitian adalah studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsekuensi harian pada janda saat kehidupan akhir bergantung pada individu.

Selanjtnya penelitian yang dilakukan oleh Kleef, De Dreu, dan Manstcad (2004) yang berjudul “The Interpersonal Effects of Anger and Happiness in Negotiations”. Metode dalam penelitian ini adalah eksperimental. Hasil ini menunjukkan bahwa negosiator terutama dipengaruhi oleh emosi lawan mereka saat mereka termotivasi dan mampu memikirkannya mereka.


(21)

Penelitian yang dilakukan oleh Bennett dan Hall (2000), yang berjudul “Narratives of Death: a qualitative study of widowhood in later life”. Metode dalam penelitian ini adalah wawancara. Hasilnya adalah menunjukkan bahwa janda mengalami masa-masa sulit setelah kematian suami.

Penelitian yang dilakukan oleh carr (2012) yang berjudul “Death and Dying in the Contemporary United States: What are the Psychological Implications of Anticipated Death?”. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Subjek dapat menyesuaikan untuk hidup sendiri dan terhadap kematian orang yang dicintai.

Penelitian yang dilakukan oleh Glazer (2010) yang berjudul “Parenting After the Death of a Spouse”. Penelitian ini merupakan penelitian fenomenologis kualitatif Adapun Hasil penelitian yang ditunjukkan adalah dari ke enam Subjek dapat merubah menjadi single parenting setelah kehilangan pasangan termasuk kebutuhan untuk merevisi peran parenting dan perannya mendukung. Studi ini memiliki implikasi untuk merancang intervensi dan kelompok setelah kematian pasangan.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu seperti yang dijelaskan di atas, terlihat jarang sekali penelitian yang membahas emosi marah khususnya pada dewasa mudaa atas kematian pasangan yang dicintainya. Oleh karena itu, penulis dapat menjamin keaslian penelitian ini.


(22)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Konseptualisasi Topik Yang Diteliti

1. Dewasa Awal

a. Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult atau dewasa berasal dari kata kerja latin yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh karena itu orang dewasa adalah seseorang yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukannya di dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Elizabeth Hurlock, Developmental Psychology, 1991). Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Hurlock (1980) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai kira-kira usia 40 tahun. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa awal ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.

Santrock (2002), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik secara fisik, transisi secara intelektual serta transisi peran sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya pandangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai menjalin hubungan secara intim dengan


(23)

lawan jemisya. Hurlock (1980) mengemukakan beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu initinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya..

b. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Havighurst (dalam Dariyo, 2003) mengemukakan tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal sebagai berikut : 1. Mencari dan Menemukan Calon Pasangan Hidup

Setelah melewati masa remaja, golongan dewasa muda semakin memiliki kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya, asalkna memenuhi persyartan yang sah. (perkawinan resmi). Untuk sementara waktu, dorongan biologis tersebut, mungkin akan ditahan terlebih dahulu. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun untuk membentuk kehidupan rumah tangga berikutnya. Mereka akan menentukan kriteria usia, pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu, sebagai prasyarat pasangan hidupnya. Setiap orang mempunyai kriteria yang berbeda-beda.


(24)

2. Membina Kehidupan Rumah Tangga

Papalia, Olds, Feldman (dalam Dariyo, 2003) menyatakan bahwa golongan dewasa muda berkisar antara 21-40 tahun. Masa ini dianggap sebagai rentang yang cukup panjang, yaitu dua puluh tahun. Terlepas dari panjang atau pendek rentang waktu tersebut, golongan dewasa muda yang berusia diatas 25 tahun, umumnya telah menyelesaikan pendidikan minimal setingkat SLTA (SMU-Sekolah Menengah Umum), akademi universitas. Selain itu, sebagian besar dari mereka yang telah menyelesaikan pendidikan, umumnya telah memasuki dunia pekerjaan guna meraih karir tertinggi. Dari sini mereka mempersiapkan dan membuktikan diri bahwa mereka sudah mandiri secara ekonomis, artinya sudah tidak bergantung lagi pada orang tua. Sikap yang mandiri ini merupakan langkah positif bagi mereka karena sekaligus dijadikan sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang baru. Namun, lebih dari itu, mereka juga harus dapat membentuk, membina dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. Mereka harus dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan hidup masing-masing. Mereka juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina


(25)

anak-anak dalam keluarga. Selain itu, tetap menjalin hubungan baik dengan kedua orang tua ataupun saudara-saudara.

Setiap keluarga mempunyai berbagai peranan yang dapat diprediksi untuk anggota keluarganya. Peran ini memungkinkan keluarga berfungsi dan menjadi bagian efektif dalam masyarakat. Ketika di dalam keluarga terjadi peristiwa seperti kematian, terjadilah stres di dalam kehidupan keluarga. Sehingga dalam keluarga tersebut menjadi keluarga orang tua tunggal. Ketika kematian terjadi mendadak dan tidak terduga akibat mengalami sakit yang mendadak sehingga membuat perasaan kaget dan ketidak percayaan. Dalam sebuah survei terhadap sampel perwakilan dari orang dewasa awal usia 18 hingga 45 tahun di sebuah kota besar di Amerika Serikat, trauma yang paling sering dilaporkan memicu reaksi stres tinggi adalah kematian mendadak dan tidak terduga terhadap seorang terkasih (Breslau dkk, 1998). Begitupun dari studi kasus di London dan The Yale mengenai duka cita (Maciejewski et al, 2007), bahwa pada orang dewasa muda, mereka mudah marah akibat berpisah dengan orang yang dicintainya. Dan puncak kemarahan itu sekitar lima bulan setelah kematian itu dan juga mengalami kemarahan yang berlebihan pada beberapa


(26)

waktu selama beberapa tahun. Bagaimanapun wanita yang ditinggal mati pasangan hidupnya menyebabkan kehilangan yang luar biasa dan juga berbagai masalah muncul dalam hidupnya.

3. Meniti Karir dalam Rangka Memantapkan Kehidupan Ekonomi Rumah Tangga

Untuk menyelesaikan pendidikan formal setingkat SMU, akademi atau universitas, umumnya dewasa muda memasuki dunia kerja, guna menerapkan ilmu dan keahliannya. Mereka berupaya menekuni karir sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan masa depan keuangan yang baik. Bila mereka merasa cocok dengan kriteria tersebut, mereka akan merasa puas dengan pekerjaan dan tempat kerja. Sebaliknya, bila tidak atau belum cocok antara minat atau bakat dengan jenis pekerjaan, mereka akan berhenti dan mencai jenis pekerjaan yang sesuai dengan selera. Tetapi kadang-kadang ditemukan, meskipun tidak cocok dengan latar belakang ilmu, pekerjaan tersebut memberi hasil keuangan yang layak (baik), mereka akan bertahan dengan pekerjaan itu. Sebab dengan penghasilan yang layak (memadai), mereka akan dapat membangun kehidupan ekonomi rumah tangga yang mantap dan mapan. Masa dewasa muda adalah masa untuk mencapai puncak


(27)

prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi kehidupan yang makmur sejahtera bagi keluarganya.

4. Menjadi Warga Negara yang Bertanggung Jawab

Warga negara yang baik adalah dambaan bagi setiap orang yang ingin hidup tenang, damai, dan bahagia di tengah-tengah masyarakat. Warga negara yang baik adalah warga negara yang patuh dan taat pada tata aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini diwujudkan dengan cara-cara, seperti (1) mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan (KTP, akta kelahiran, surat paspor/visa bagi yang akan pergi ke luar negeri), (2) membayar pajak (pajak televisi, telepon, listrik, air, pajak kendaraan bermotor, pajak penghasilan), (3)menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengendalikan diri agar tidak tercela di mata masyarakat, dan (4) mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial dimasyarakat (ikut terlibat dalam kegiatan gotong royong, kerja bakti membersihkan selokan, memperbaiki jalan dan sebagainya).


(28)

Tugas-tugas perkembangan tersebut merupakan tuntutan yang harus dipenuhi seseorang, sesuai dengan norma sosial-budaya yang berlaku dimasyarakat. Bagi orang tertentu, yang menjalani ajaran agama (misalnya hidup sendiri/selibat), mungkin tidak mengikuti tugas pekembangan bagian, yaitu mencari pasangan hidup dan bagian B membina kehidupan rumah tangga. Baik disadari atau tidak, bagian C dan D, setiap orang dewasa muda akan melakukan tugas perkembangan tersebut dengan baik. 2. Emosi Marah

a. Pengertian Emosi Marah

Menurut Davidoff (dalam Safaria dan Saputra, 2012), mendefinisikan emosi marah adalah suatu emosi yang mempunyai ciri-ciri aktivitas sistem syaraf simpatetik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang disebabkan adanya kesalahan yang mungkin nyata salah atau mungkin tidak. Emosi marah adalah suatu emosi yang terentang mulai dari iritabilitas sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya, kemarahan adalah reaksi terhadap stimulus yang tidak menyenangkan atau mengancam (widjaya Kusuma dalam Yosep, 2007).

Stuart dan Sundden (dalam Yosep, 2007) juga menyatakan bahwa emosi marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai


(29)

respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Menurut Chaplin (dalam Safaria dan Saputra, 2012) emosi marah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustasi. Emosi secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa emosi marah adalah suatu emosi yang disebabkan oleh adanya reaksi terhadap stimulus yang tidak menyenangkan atau mengancam, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.

b. Ciri-Ciri Emosi Marah

Hamzah (dalam Safaria dab Saputra, 2012), menjabarkan secara rinci tentang ciri-ciri marah yang terjadi pada seseorang bisa yaitu sebagai berikut:

1. Ciri pada wajah, yaitu berupa perubahan warna kulit menjadi kuning pucat, tubuh terutama pada ujung-ujung jari bergetar keras, timbul buih pada sudut mulut, bola mata memerah, hidung kembang kempis, gerakan menjadi tidak terkendali, serta terjadi perubahan-perubahan lain pada fisik.


(30)

2. Ciri pada lidah, yaitu dengan meluncurnya makian, celaan, kata-kata yang menyakitkan, dan ucapan-ucapan keji yang membuat orang berakal sehat merasa risih untuk mendengarnya.

3. Ciri pada anggota tubuh, seperti terkadang menimbulkan keinginan untuk memukul, melukai, merobek, bahkan membuuuh. Jika amarah tersebut tidak terlampiaskan pada orang yang dimarahinya, kekesalannya akan berbalik kepada dirinya sendiri.

4. Ciri pada hati, di dalam hatinya akan timbul rasa benci, dendam dan dengki (hasud), menyembunyikan keburukan, merasa gembira dalam dukanya, dan merasa sedih atas kegembiraannya, memutuskan hubungan dan menjelek-jelekkannya.

Berdasarkan uraian diatas terdapat empat ciri dalam emosi marah yaitu meliputi ciri pada wajah, pada lidah, pada anggota tubuh, dan pada hati.

c. Aspek-Aspek Emosi Marah

Menurut Beck (dalam Safaria dan Saputra, 2012), emosi marah meliputi beberapa aspek, yaitu aspek biopsikososial-kultural-spiritual yang akan dijelaskan sebagai berikut:


(31)

1. Aspek Biologis

Respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin, sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, wajah merah, pupil melebar dan frekuensi pengeluaran urin meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan, seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku dan refleks cepat. Hal ini disebabkan energi yang dikeluarkan saat marah bertambah. Di samping itu, ada seseorang yang tidak menyukai atau marah terhadap bagian tertentu pada tubuhnya, seperti perut buncit, betis terlalu besar, tubuh terlelu pendek sehingga dapat memotivasi seseorang untuk mengubah sikap terhadap aspek dirinya.

2. Aspek Emosional

Seseorang yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan dan menuntut. Perilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik pada diri sendiri perlu dikaji, seperti melarikan diri, bolos dari kerja, atau penyimpangan seksual.

3. Aspek Intelektual


(32)

penyimpangan persepsi seseorang sehingga hal itu dapat menimbulkan marah. Sebagian besar pengalaman kehidupan seseorang melalui proses intelektual, peran panca indera sangat penting untuk beradaptasi pada lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Oleh karena itu, perlu diperhatikan cara seseorang marah, mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan marah, bagaimana informasi diproses, diklasifikasikan dan diintegrasikan.

4. Aspek Sosial

Emosi marah sering merangsang kemarahan dari orang lain, dan menimbulkan penolakan dari orang lain. Sebagian orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan mengkritik tingkah laku orang lain, sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat menyebabkan seseorang menarik diri dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan, seseorang memerlukan saling berhubungan dengan orang lain. Pengalaman marah dapat mengganggu hubungan interpersonal sehingga beberapa orang memilih menyangka atau berpura-pura tidak marah untuk mempertahankan hubungan tersebut. Cara seseorang mengungkapkan marah, merefleksikan latar belakang budayanya.


(33)

5. Aspek spiritual

Keyakinan, nilai dan moral mempengaruhi ungkapan marah seseorang. Aspek tersebut mempengaruhi hubungan seseorang dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimilikinya akan dapat menimbulkan kemarahan dan dimanifestasi dengan amoral dan rasa tidak berdosa.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek marah menurut Beck meliputi aspek biologis, aspek emosional, aspek intelektual, aspek sosial, dan aspek spiritual. d. Faktor-Faktor Penyebab Marah

Menurut Purwanto dan Mulyono (dalam Safaria dan Saputra, 2012) Penyebab orang marah sebenarnya dapat datang dari luar dan dalam diri orang itu, sehingga secara garis besar sebab yang menimbulkan marah itu terdiri dari faktor fisik dan psikis.

1. Faktor Fisik

Sebab-sebab yang mempengaruhi faktor fisik antara lain: a. Kelelahan yang berlebihan. Misalnya orang yang terlalu

lelah karena kerja keras, akan lebih mudah marah dan mudah sekali tersinggung serta dapat menjadi penyebab utama menurunnya kondisi fisik pada perawat sehingga rentan terhadap kecenderungan somatisasi.


(34)

b. Zat-zat tertentu yang dapat menyebabkan marah. Mislanya jika otak urang mendapatkan zat asam, orang itu akan lebih mudah marah.

c. Hormon kelamin pun dapat mempengaruhi kemarahan seseorang, hal ini dapat dibuktikan pada sebagian wanita yang sedang haid, rasa marah merupakan ciri khasnya yang utama.

2. Faktor Psikis

Faktor psikis yang menimbulkan marah adalah erat kaitannya dengan kepribadian seseorang.

Menurut Edy Zaqeus (dalam Safaria dan Saputra, 2012) secara garis besar emosi marah bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

a. Faktor internal antara lain menyangkut pola pandang yang dianutnya, serta kebiasaan-kebiasaan yang ditumbuhkannya dalam merespon suatu permasalahan.

b. Faktor eksternal antara lain adalah situasi di luar diri seseorang yang memancing respon emosional, latar belakang keluarga, serta budaya dan lingkungan sekitar. Sedangkan menurut Wetrimudrison (2005) berdasarkan pengalaman empirik dalam masyarakat, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang menjadi marah yaitu :


(35)

Orang yang merasa dirinya paling benar cenderung akan membuat dia akan menyalahkan orang lain. Demikian juga ketika manusia merasa dirinya berkuasa, maka cenderung akan meremehkan orang lain. Apabila dua sikap ini bertemu dalam satu peristiwa pada diri seseorang, maka akan terbentuklah sikap egois.

2. Dendam.

Dendam merupakan perasaan sakit hati yang tersimpan atau terpendam dalam hati seseorang, yang dinilai sangat mudah memicu timbulnya kemarahan. Orang pendendam hidupnya tidak akan pernah tenang, karena setiap dia melihat dan mendengar nama orang yang menyakiti hatinya, setiap itu pula hatinya akan semakin sakit dan marahnya semakin membara pada orang tersebut.

3. Direndahkan, dihina atau dicaci maki

Jarang orang meyadari bahwa seburuk atau serendah apapun diri orang, maka dia tidak akan pernah rela dihina, walalupun sesungguhnyaorang hanya menyebutkan keburukan sifat dan kepribadiannya, karena pada dasarnya setiap manusia punya harga diri.

4. Sengaja dirangsang untuk dimanfaatkan orang sedikit sekali orang yang menyadari ketika dia dihasut untuk bermusuhan dengan seseorang. Biasanya bagi orang yang tidak terbiasa


(36)

marah, minimal dia telah mendengar dan menerima persepsi yang salah terhadap orang lain disebabkan penghasutnya. 5. Momentum yang tidak menyenangkan.

a) Ketika orang dalam kondisi lapar

b) Ketika orang dalam kondisi mengantuk/tertidur

c) Ketika orang sedang dalam kondisi kecewa karena perselingkuhan

d) Ketika orang sedang dalam kondisi sangat serius e) Ketika orang dalam kondisi sakit

f) Ketika orang dalam kondisi sibuk g) Ketika orang dalam kondisi sedih h) Ketika orang sedang kaget

i) Ketika orang dalam kondisi malu

Berdasarkan uraian diatas bahwa faktor penyebab orang menjadi marah menurut Wetrimudrison meliputi merasa diri paling benar dan berkuasa, dendam, direndahkan, dihina atau dicaci maki, sengaja dirangsang untuk dimanfaatkan orang, dan momentum yang tidak menyenangkan diantaranya ketika orang dalam keadaan sedih, dimana wanita yang ditinggal mati pasangan hidupnya mengalami masalah emosional seperti marah, kecewa dan sedih.

e. Macam-Macam Emosi Marah


(37)

demikian juga tingkatannya. Masing-masing manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, dengan demikian berbeda pula perilakunya.

Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin berpendapat bahwa kemarahan manusia itu banyak macamnya, yaitu lekas sekali marah, lekas terkena marah lalu cepat tenangnya, terlambat marahnya namun lekas habis marahnya.

Gymnastiar (dalam Purwanto dan Mulyono 2006) menjelaskan tentang macam-macam marah yang disebutkan al Ghazali, menurutnya jika ditimbang dari sudut kemarahan, tentang orang itu dapat dikelompokkan dalam empat golongan. 1. Orang yang lambat marah, lambat reda dan lama

bermusuhannya.

Jenis ini sungguh jelek. Bagaimana tidak, seseorang yang sedang marah dan durasi kemarahannya sangat lama, akan kesulitan saat ia harus mengambil keputusan yang tepat. Selain itu, akibat kemarahannya juga, orang lain akan menjauhi karena takut terjerumus dalam bara permusuhan. 2. Cepat marah dan lambat redanya.

Jenis kedua ini sungguh lebih jelek yang pertama, sebab apapun yang terjadi akan disikapi dengan kemarahan. Orang seperti ini dapat dengan tiba-tiba menjadi marah dan membutuhkan waktu lama untuk menurunkan


(38)

kemarahannya.

3. Cepat marah dan cepat redanya.

Seseorang yang memiliki sifat ini kondisinya cenderung turun naik. Ia dapat marah secara tiba-tiba dan sedetik kembali kepada kondisi semula, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Cepat marah ketika ada sesuatu yang tidak pantas terjadi, namun ia akan reda ketika paham akan latar belakang di balik semua itu. Cepat marah, namun cepat pula redanya.

4. Lambat marah dan cepat redanya.

Orang yang memiliki sifat seperti ini sangat sulit tersinggung, walau di depan matanya terjadi sesuatu yang benar-benar salah. Ia akan mencari seribu satu alasan untuk memaklumi kesalahan orang, memaafkan lalu melupakannya. Namun sekali ia marah, ia akan cepat sekali memaafkan kesalahan orang lain.

Berdasrkan teori diatas terdapat lima macam marah menurut Gymnastiar yang disebutkan oleh al Ghazali diantaranya yaitu orang yang lambat marah, lambat redan dan lama bermusuhannya, cepat marah dan lambat redanya, cepat marah dan cepat redanya, dan lambat marah dan cepat redanya.


(39)

f. Bentuk-bentuk Ekspresi Marah

Menurut Robert (1996) bentuk-bentuk ekspresi emosi marah adalah sebagai berikut :

1. Kesal atau mangkel

Adalah efek dari rasa kekecewaan karena terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan manusia, yang kebetulan pada saat itu perasaan manusia sedang tidak stabil, sehingga dia tidak sanggup menerima kekecewaan itu. Kesal dan mangkel hanya dirasakan oleh orang yang sedang mengalaminya, karena gejolak ini hanya berada dalam hati manusia.

2. Menumpahkan kata-kata yang tidak baik

Marah disini sedikit bisa mengurangi mangkel dan kesal, namun sangat berbahaya bagi orang yang mendengar atau orang yang sedang dimarahi.

3. Diam dan bermuka masam

Diam dan bermuka masam adalah fenomena marah yang berasal dari hati yang kesal dan dongkol terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya. Ini adalah bagian dari pengendalian marah yang tidak berkata-kata buruk dan tidak memukul, tapi cara seperti ini juga belum termasuk cara pengendalian marah yang baik, karena diam seribu bahasa dan bermuka masam masih masuk kedalam


(40)

kategori marah.

4. Memukul atau menghancurkan

Marah dengan memukul dan menghancurkan adalah tingkat kemarahan yang paling berbahaya, pada level ini orang yang marah kadang tidak sadar dia melakukan pembunuhan atau membakar rumah, bunuh diri dan lain-lain.

g. Teknik Pengelolaan Emosi Marah

Adapun teknik yang sering digunakan untuk mengelola emosi marah adalah C.A.R.E dalam bukunya Hershorn (2002) menjelaskan keempat langkah tersebut sebagai berikut :

a. Commitment to change (komitmen untuk mengubah diri) Langkah pertama dalam mengelola kemarahan adalah komitmen untuk berubah. Individu yang bermasalah dalam mengelola kemarahan haruslah mempunyai sebuah komitmen yang kuat untuk mengubah dirinya. Dengan adanya komitmen yang kuat, individu akan semakin termotivasi untuk belajar mengelola emosi marah dan menerapkan teknik-tekniknya dalam kehidupan nyata. b. Awareness of Your Early Warning Signs (Kesadaran akan

pertanda kemarahan)

Setiap orang memegang kendali pada saat bertindak atas dasar kemarahan. Tidak ada orang yang “meledak” atau


(41)

“membentak” begitu saja, setiap amarah pasti memiliki tanda-tanda peringatan awal. Tanda-tanda itu bisa bersifat fisiologis, tingkah laku, dan kognitif. Dengan belajar mengenali tanda-tanda peringatan awal kemarahan. Seseorang bisa lebih sungguh-sungguh memegang kendali atas tindakan kemarahannya. Tanda-tanda peringatan awal kemarahan meliputi tiga macam pertanda yaitu :

a) Fisiologis

Pertanda fisiologis yang sering muncul antara lain : merasa majah menjadi panas memerah, aliran darah yang cepat di urat nadi, jantung berdebar-debar, napas menjadi lebih cepat, pendek atau tidak stabil, badan terasa panas atau dingin, leher terasa nyeri, rahang menjadi kaku, otot mengeras dan tegang.

b) Tingkah laku

Pertanda tingkah laku meliputi : mengepalkan tinju, gigi mengerutuk, berjalan mondar-mandir dalam ruangan, tidak bisa tetap duduk atau berdiri, berbicara dengan lebih cepat.

c) Kognitif

Pertanda kognitif mencakup pikiran-pikiran seperti : dia melakukan itu kepadaku karena dengki, dia melakukan itu dengan sengaja, aku tidak bisa percaya


(42)

dia melakukan hal itu, tidak ada orang yang bicara kepadaku seperti itu, aku akan menunjukkan kepada dia, hal ini tidak bisa diterima.

c. Relaxation (relaksasi)

Relaksasi dan kemarahan merupakan reaksi yang saling berlawanan. Keduanya melibatkan gelombang otak dan reaksi tubuh yang berbeda, sehingga tidak mungkin terjadi bersamaan. Relaksasi merupakan alat bantu yang ampuh untuk mengurangi stres secara umum, mengurangi kemarahan ketika tanda-tanda peringatan awal kemarahan muncul, dan membantu mereka yang mengalami kesulitan tidur. Dengan melakukan relaksasi setiap hari, setiap individu dapat memperoleh manfaatnya. Ada beberapa bentuk relaksasi, yaitu : relaksasi otot, indera, dan kognitif. Relaksasi otot merupakan relaksasi yang disarankan untuk pemula karena relaksasi ini paling mudah untuk dilakukan.

Emosi, pikiran, dan tingkah laku merupakan tiga hal yang saling mempengaruhi. Siklus perasaan, pikiran dan tindakan saling mendorong dan memperkuat dirinya sendiri. Semakin seseorang memikirkan tentang kemarahannya semakin ia menjadi marah. Hal ini membawanya bertindak atas dasar kemarahannya tersebut.


(43)

d. Exercising Self Control with Time Outs (latihan kontrol diri dengan waktu jeda)

Ketika dewasa mulai menyadari akan tanda peringatan awal kemarahan, sebaiknya dewasa tersebut segera mengambil waktu jeda. Waktu jeda adalah waktu dimana dewasa tersebut menjauhi situasi atau orang yang memprovokasi kemarahan. Waktu jeda berguna untuk menenangkan diri sehingga dewasa tersebut dapat menangani kemarahan dengan cara yang lebih konstruktif. Selama waktu jeda, sebaiknya dewasa tersebut terlibat dalam suatu kegiatan yang bersifat berlawanan dengan kemarahan, yaitu relaksasi. Ada banyak kegiatan yang merelakskan, seperti berjalan kaki, berlalri, olahraga, mendengarkan musik, menelpon teman, atau mandi. Selama waktu jeda janganlah terlibat dengan hal-hal yang agresif, seperti memukul bantalan latihan tinju atau mengendarai mobil dengan cepat, karena hal itu dapat mempertahankan asosiasi perasaan marah dengan bertindak atas marah itu. Jika dewasa tersebut sudah merasa tenang, maka individu tersebut dapat kembali ke situasi atau orang yang sebelumnya membawanya ke perasaan marah dan membicarakannya dengan baik. Dengan cara ini, orang tersebut tidak merasa dihindari atau diabaikan dengan teknik


(44)

waktu jeda. Jika dewasa tersebut merasakan adanya tanda-tanda peringatan marah lagi, maka dewasa tersebut dapat mengambil waktu jeda lagi.

Teknik pengelolaan emosi marah dalam Islam adalah sebagai berikut :

Ada banyak sekali cara untuk pengelolaan emosi marah, salah satunya dengan menggunakan pendekatan agama. Meskipun emosi marah merupakan sifat yang ada pada diri setiap manusia, namun islam menganjurkan setiap muslim untuk menahan dan mengendalikan kemarahan. Selain dapat menghindarkan diri dari tindakan dan perkataan yang dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari, menahan emosi marah juga dapat mmelihara keseimbangan serta kesehatan fisik dan psikis manusia. Dalam tinjauan ilmu kesehatan, marah dapat menimbulkan penyakit yang merugikan fisik maupun psikis. Oleh karena itulah kita diperintahkan untuk mengendalikan kemarahan.

Salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, dan lain sebagainya.


(45)

di sekitarnya. Dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak manusia tercapai.

Tentu saja, permsalahannya tidak selesai sampai di sini. Masih ada yang namanya balas dendam dari pihak yang dimarahi. Anda bisa bayangkan, betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan karena marah.

Menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali, cara mengendalikan dan menahan emosi marah adalah dengan mengetahui dan memahami berbagai keutamaan mengendalikan kemarahan, memaafkan, membiasakan sikap lemah lembut, dan bersabar dengan mengharapkan keridhaan Allah dan balasan yang lebih baik atas ketegaran dan kesabarannya.

Senada dengan yang diungkapkan oleh Syauqi, bahwa obat untuk mengendalikan emosi marah adalah ilmu dan agama. Langkah praktis yang bisa dilakukan antara lain ialah dengan memahami dan merenungkan secara mendalam berbagai dalil dari Al-Quran dan hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menahan marah.

Said Hawwa, dalam kitabnya yang berjudul al-Mustakhlas fi tazkiyatin nafs menerangkan bahwa obat yang paling mujarab untuk mengobati api amarah adalah dengan ilmu dan amal. Pendidikan dan pengalaman yang diperoleh seseorang dalam


(46)

lingkungannya sangat mempengaruhi kemampuan orang dalam mengelola kemarahannya. Setidaknya ada enam langkah yang bisa dilakukan untuk mengobati marah dengan ilmu:

1. Hendaknya seseorang mempelajari dan kemudian merenungkan hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan menahan marah, keutamaan sabar, dan memaafkan. Dengan cara ini diharapkan orang akan sadar dan redam amarahnya karena besarnya keutamaan menahan marah.

2. Merenungkan siksaan Allah baik di dunia maupun di akhirat kepada orang yang gemar melampiaskan kemarahan dan pendendam. Padahal Allah telah berfirman bahwa kita diperintahkan untuk mengingat Allah saat marah.

3. Melakukan refleksi dan berdialog dengan diri sendiri berkaitan dengan akibat buruk yang bisa muncul akibat marah yang tidak terkontrol, yakni berupa dendam dan permusuhan.

4. Menyadari bahwa kemarahan yang tidak terkendali layaknya sifat binatang buas yang buruk. Padahal para ulama dan nabi tidak mudah marah dan bersikap penuh santun dan sabar.

5. Merenungkan secara mendalam ekses negatif marah terhadap hubungan sosialnya, yang bisa memicu dendam dan permusuhan yang berkepanjangan dengan orang lain.


(47)

6. Menyadari bahwa kalau kita marah berarti kita mau menyaingi Allah dalam sifat-Nya. Padahal kemarahan Allah itu penuh hikmah dan kebijaksanaan bagi makhluknya, sedangkan marah kita biasanya didasari karena nafsu.

Selain enam cara yang sudah dipaparkan di atas, rasulullah juga menganjurkan agar kita segera mengambil air wudhu untuk menyucikan diri ketika dalam keadaan marah. Sebab marah itu berasal dari api, di mana airlah yang dapat memadamkannya.

Selain dengan cara-cara di atas, berikut ini teknik pengelolaan emosi marah adalah sebagai berikut :

1) Perbanyak membaca ta’awudz

Marah merupakan salah satu perangkap syetan. Maka alangkah tepatnya jika marah mulai menghampiri kita, kita langsung membaca ta’awudz yang mana memiliki arti memohon perlindungan kepada Allah dari godaan dan gangguan syetan yang terkutuk.

Dengan memperbanyak membaca ta’awudz ketika sedang marah, kemungkinan besar kita tidak jadi untuk meluapkan kemarahan kita dan marah tersebut akan langsung hilang dari diri kita.


(48)

2) Diam

Diam menjadi salah satu cara untuk mengendalikan amarah yang sedang memuncak. Lebih baik berusaha untuk diam daripada bertindak anarkis dan mengeluarkan kata-kata kasar dan mengumpat orang lain.

Pada sebuah hadits Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Imam Ahmad).

3) Mengambil posisi lebih rendah

Kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi dan lebih tinggi. Semakin dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa melampiaskan amarahnya sepuasnya.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya. Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih rendah. Maksudnya adalah ketika kita emosi atau marah di saat sedang berdiri, maka hendaklah kita duduk untuk meredakan emosi tersebut. Jika kita marah pada saat posisi duduk, maka hendaklah kita berbaring. Dengan begitu kita


(49)

akan sulit untuk bergerak atau melakukan perlawanan pada saat marah.

Dari Abu Dzar Ra, Rasulullah Saw. menasehatkan: “Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

4) Segera berwudhu

Marah disebabkan oleh godaan setan, dan setan ini terbuat dari api. Maka untuk memadamkan api kemarahan bisa Anda lakukan dengan air seperti saat berwudhu’, seperti yang pernah dikatan oleh Nabi Muhammad SAW, bersabda:

“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

B. Perspektif Teoritis

Kematian pasangan merupakan pengalaman emosional yang dialami seorang wanita yang ditinggal mati pasangan disertai dengan perasaan kehilangan. Emosi yang dirasakan setelah kematian orang yang dicintai semakin mendalam setelah ia ditinggalkan seorang diri.


(50)

Kematian dapat menimbulkan penderitaan bagi pasangan yang dicintainya. Kematian orang-orang terdekat merupakan kehilangan paling menyakitkan yang dapat dialami oleh wanita yang ditinggal suaminya. Kehilangan seorang yang dekat dan dicintainya karena kematian merupakan suatu yang tidak dapat dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa lain bagi seseorang yang ditinggalkan.

Peristiwa kematian suami akan membuat seorang wanita (single mother) menjadi shock dan merasa terpukul. Kejadian kematian akan memberikan efek yang berbeda-beda terhadap individu. Reaksi seseorang sangat dipengaruhi oleh terjadinya kematian. Menurut Range, Waltson, dan Pollard (1992) kematian memiliki beberapa jenis, antara lain: 1) kematian alami yang dapat diantisipasi (misal: mengidap kanker, AIDS, atau penyakit lainnya), 2) kematian dialami yang tidak dapat diantisipasi (misal: serangan jantung, kecelakaan atau bencana), 3) kematian yang tidak alami yang disebabkan pembunuhan atau bunuh diri (Astuti,2005).

Berbagai masalah yang muncul saat usia awal dewasa pasca kematian pasangan hidupnya membuatnya menjadi stress. Santrock (2002) mengungkapkan bahwa pada urutan penyebab stress dalam kehidupan yang menempati urutan pertama adalah karena kematian pasangan hidupnya. Kesedihan pada saat ditinggal pasangan seringkali berkepanjangan dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan orang yang ditinggalkan namun terlewatkan begitu saja karena terlalu lama bersedih karena ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi.


(51)

Menurut Chaplin (dalam Safaria dan Saputra, 2012) emosi marah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustasi. Emosi secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.

Kondisi tersebut memunculkan emosi yang negatif seperti mudah marah, mudah tersinggung, cemas tanpa sebab, gelisah, merasa sendirian dan bahkan merasa tidak berguna lagi. Dalam Hurlock (1980) ciri-ciri masa dewasa awal diantaranya adalah masa ketegangan emosional dan masa bermasalah dimana pada masa tersebut dewasa awal mengalami berbagai macam masalah. Masalah tersebut diantaranya mengenai pekerjaan dan perkawinan terlebih saat ditinggal mati pasangan.

Rasa bersalah dan depresi yang dialami oleh wanita yang ditinggal mati pasangan seringkali disertai dengan perasaan tidak berdaya, frustasi, dan kemarahan atas hal yang terjadi serta tehadap ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu yang dapat mencegah kematian orang yang dicintainya. Rasa marah yang ditujukan pada diri sendiri dan lingkungan sekitar.

Kemarahan yang terjadi pada seseorang akan sangat berbahaya dan terlebih ditinggal mati pasangan yang dicintainya sehingga meresahkan karena harus menghidupi diri dan anaknya dan sulit untuk mencari pekerjaan. Tekanan-tekanan seperti itu menyebabkan banyak orang mudah


(52)

sekali marah yang tidak terkendali, hanya karena masalah sepel saja orang tidak dapat menahan emosinya dan meluapkan kemarahannya dalam berbagai bentuk yang negatif bahkan sadis.


(53)

43 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu menurut Moleong (2000) pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Larasati, 2005).

Tujuan utama pada penelitian ini adalah ingin menggambarkan mengenai emosi marah pada wanita yang ditinggal mati pasangan. Sesuai dengan pendapat Ghony (2012) yang menyatakan bahwa tujuan terpenting dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena yang dialami subyek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya. Selain itu juga mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai masalah yang diteliti.

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis fenomenologi. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subyektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Dalam hal ini, para fenomenologis ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain (Moleong, 2009).


(54)

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian seperti wawancara dan dokumentasi. Lokasi pengambilan data adalah dirumah masing-masing subjek. Pengambilan data pada subjek pertama adalah RD, wawancara dilakukan dirumah RD yang terletak di desa pasinan, kecamatan jetis, Kabupaten Mojokerto. Untuk significant other subjek pertama adalah saudara kandung subjek yang bertempat tinggal di kota mojokerto dan rekan kerja subjek yang sangat dekat dengan subjek. Sedangkan pada subjek kedua yaitu EU, wawancara dilakukan dirumah EU yang terletak di desa wates, kecamatan jetis, Kabupaten Mojokerto. Untuk significant other subjek kedua adalah ibu subjek yang bertempat tinggal yang sama dengan subjek dan tetangga subjek. Untuk subjek yang ketiga adalah AM, wawancara dilakukan dirumah AM yang terletak di desa puri kecamatan jetis, Kabupaten Mojokerto. Untuk significant other subjek ketiga adalah ibu subjek yang bertempat tinggal yang sama dengan subjek dan adik subjek yang tinggal bersebelahan dengan rumah subjek

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainnya.Terdapat dua jenis sumber data yaitu data primer dan sumber data sekunder.


(55)

1. Sumber Data Primer

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data utama adalah seorang wanita yang ditinggal mati pasangan. Pada penelitian ini menggunakan tiga subjek agar hasilnya nanti lebih variatif. Subjek pertama RD (nama inisial), dengan usia 35 tahun yang saat ini bekerja di salah satu toko di dekat rumahnya. Subjek yang kedua adalah EU. Saat ini EU bekerja juga sebagai penjaga toko yang tidak jauh dari rumahnya. Untuk subjek yang ketiga adalah AM. Saat ini AM bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang tidak jauh dari rumahnya.

2. Sumber data sekunder

Yang menjadi data sekunder atau data pendukung untuk penelitian ini yaitu subjek pertama adalah MU saudara kandung RD dan rekan kerja yaitu A. Alasan peneliti memilih significant other tersebut adalah karena saudara kandung RD tinggal berdekatan dengan rumah subjek sedangkan rekan kerja adalah sangat dekat dengan subjek sehingga subjek selalu bertemu dengan MU dan A setiap harinya. Untuk significant other subjek kedua yaitu AS dan I. AS adalah ibu subjek yang tinggal serumah dengan subjek sedangkan I adalah tetangga subjek. Alasan pemilihan significant other tersebut adalah keduanya selalu bertemu dengan subjek sehingga mengerti keseharian subjek. Sedangkan significant other


(56)

untuk subjek ketiga adalah LP dan RB. Alasan peneliti memilih significant other tersebut adalah karena subjek sangat dekat dengan LP dan RB sehingga subjek sering bercerita dan lebih terbuka mengenai keluh kesah yang dialaminya.

D. Teknik Pengumpulan Data

Penjelasan tentang peran peneliti akan turut menentukan penjelasan tentang masalah-masalah yang mungkin muncul dalam proses pengumpulan data. Langkah-langkah pengumpulan data meliputi usaha membatasi penelitian, mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara, baik yang terstruktur maupun tidak, dokumentasi, materi-materi visual, serta usaha merancang protokol untuk merekam/mencatat informasi. Prosedur-prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif melibatkan empat jenis strategi (Creswell, 2014).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2010).

Peneliti dapat melakukan face to face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan, mewawancarai mereka dengan telepon, atau terlibat dalam focus group interview (interview dalam


(57)

kelompok tertentu) yang terdiri dari enam sampai delapan partisipan per kelompok. Wawancara-wawancara seperti ini tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan (Creswell, 2014).

Pada penelitian ini wawancara digunakan untuk menggali data mengenai emosi marah seperti bagaimana subjek dalam menyelesaikan masalahnya, dan apa saja hal-hal utama yang membuat subjek dapat bertahan untuk tetap hidup tanpa kehadiran pasangan, serta dalam menyelesaikan tugas setiap harinya. Selain itu, wawancara juga digunakan untuk menggali informasi mengenai subjek lebih mendalam melalui significant other (informan). Dalam penelitian ini wawancara merupakan alat utama untuk menggali emosi marah pada wanita yang ditinggal mati pasangannya. Wawancara digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dan menemukan keunggulan yang harus diteliti dan juga hal-hal lain dari subyek secara lebih mendalam lagi yang berhubungan dengan emosi marah pada wanita tersebut. Dalam penelitian ini jenis wawancara yang digunakan adalah jenis wawancara semi struktural.

E. Prosedur Analisis Data

Menurut Poerwandari (1998) pengolahan dan analisis data sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak menjadi kewajiban peneliti


(58)

untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin.

Prosedur analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis tematik dengan melakukan koding terhadap hasil transkrip wawancara yang telah di verbatim dan deskripsi observasi. Koding adalah pengorganisasian data kasar kedalam tema-tema atau konsep-konsep yang digunakan untuk menganalisis data. Penelitian kualitatif melakukan koding terhadap semua data yang telah dikumpulkan.

Koding dimasukkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang diteliti. Dengan demikian pada gilirannya peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang telah dikumpulkan. (Poerwandari, 2005)

Langkah-langkah awal koding dapat dilakukan dengan cara berikut: (Poerwandari, 2005)

1. Peneliti menyusun transkripsi verbatim kata demi kata atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip. Hal ini akan memudahkannya membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.

2. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip dan atau catatan lapangan tersebut. Dalam hal


(59)

ini dapat dilakukan dengan memberikan nomor secara urut dari satu baris ke baris lain atau dengan cara memberikan nomor baru untuk paragraf baru.

3. Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Kode yang dipilih haruslah kode yang mudah diingat dan dianggap paling tepat mewakili berkas tersebut. Jangan lupa untuk selalu membubuhkan tanggal di tiap berkas.

F. Keabsahan Data

Moleong (2007) mengutip Screven (1971) untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keterahlian (transferability), kebergantungan (dependabiliy), dan kepastian (confirmability). Dalam penelitian ini menggunakan 2 kriteria dalam melakukan pemeriksaan data selama di lapangan sampai pelaporan hasil penelitian.

Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan informasi yang di kumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran atau valid. Penggunaan kredibilitas untuk membuktikan apakah yang teramati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan tersebut memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi.


(60)

Adapun untuk memperoleh keabsahan data, Moleong (2007) merumuskan beberapa cara, yaitu: 1) perpanjangan keikutsertaan, 2) ketekunan pengamatan, 3) triangulasi data, 4) pengecekan sejawat, 5) Kecukupan referensial, 6) kajian kasus negatif, dan 7) pengecekan anggota. Peneliti hanya menggunakan teknik ketekunan dan triangulasi data.

Pertama, menurut Moleong (2007) ketekunan pengamatan bemaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, maka ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman. Dengan ketekunan pengamatam peneliti bisa mengetahui secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Kedua triangulasi (Moleong, 2010) yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Untuk meningkatkan keabsahan data. Pada penelitian ini, triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan apa yang di katakan oleh subjek dengan dikatakan informan dengan maksud agar data yang diperoleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu sumber saja yaitu


(61)

subjek penelitian, tetapi data juga diperoleh dari beberapa sumber lain.


(62)

52 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Partisipan

Subjek utama dalam penelitian ini 3 orang wanita yang ditinggal mati pasangannya. Setiap subjek memiliki 2 significant other untuk membantu memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti. Untuk significant other yang dipilih adalah orang terdekat dari subjek yang sekiranya secara nyata mengetahui seluk-beluk subjek ketika subjek mengalami emosi marah sehingga peneliti mendapatkan data yang tepat dan sesuai dengan topik yang diangkat.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara di rumah masing-masing subjek. Adapun waktu penelitian disesuaikan dengan jadwal yang dimilki subyek. Jarak lokasi menuju tempat ketiga subjek cukup dekat yaitu masih dalam satu wilayah yang mudah untuk dijangkau. Selama proses wawancara untuk mengumpulkan data, peneliti perlu berhati-hati dengan setiap pertanyaan agar tidak menyinggung subjek.

1. Subjek pertama

Nama : RD

Usia : 35 tahun

Alamat : Desa Pasinan Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto


(63)

Lama menjanda : sebelas bulan Jumlah anak : satu anak

Jumlah saudara : anak kedua dari 3 bersaudara Significant Other

1) Nama : MU Usia : 40 tahun

Alamat : Desa Pasinan Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto

Hubungan dengan subjek : saudara kandung

2) Nama : A

Usia : 35 tahun

Alamat : Desa Pasinan Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto

Hubungan dengan subjek : rekan kerja

Subjek pertama adalah RD. RD adalah Seorang wanita yang bekerja sebagai kasir di salah satu toko di dekat rumahnya. Saat ini RD berusia 35 tahun. RD menikah di usia 30 tahun, usia pernikahan RD berjalan lima tahun. Suami subjek meninggal pada 27 Juli 2016 di usia 38 tahun. Suami subjek meninggal karena mengidap penyakit jantung. Subjek memiliki satu anak laki-laki yang masih berusia empat tahun. RD ditinggal mati suaminya sudah berjalan sebelas bulan. Sebelumnya sang suami bekerja di salah satu pabrik gula yang tidak jauh dari rumahnya.


(64)

RD anak kedua dari 3 bersaudara, mempunyai kakak laki-laki yang sudah menikah dan tinggal bersama istrinya. Istri dari sang kakak laki-laki hanya sebagai ibu rumah tangga. Kakak laki-lakinya bekerja sebagai pegawai koperasi. Kakak laki-laki memiliki dua orang anak laki-laki dan perempuan. Kakak laki-laki tinggal bersebelahan dengan rumah RD yang juga dekat dengan tempat RD bekerja. Sedangkan adik RD tinggal bersama orang tua. Orang tua RD bertempat tinggal jauh dari rumah RD. Sehingga RD jarang bertemu dengan orang tuanya. Saat ini adik RD bekerja di salah satu toko baju di dekat rumahnya. Ayah RD bekerja sebagai satpam di salah satu sekolah dekat dengan rumahnya sedangkan ibu RD hanya sebagai ibu rumah tangga.

Dalam kesehariannya RD hanya tinggal bersama anak laki-lakinya. Saat RD bekerja, anaknya di titipkan kepada kakak iparnya karena anak RD tidak ada yang menjaganya dan di ambil saat RD pulang dari bekerja. Kehidupan RD cukup sederhana. Letak rumah RD cukup bagus dan layak di tempati. Sebelum di tinggal suaminya RD hanya sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak.

Kemudian significant other atau informan pendukung, untuk subjek pertama (RD) memiliki 2 orang yaitu MU dan A. Alasan peneliti memilih MU dan A kerana subjek sangat dekat dengan MU sedangkan A adalah teman RD saat masih sekolah yang juga bekerja di tempat yang sama dengan RD sehingga keduanya mengetahui keseharian RD. MU merupakan saudara kandung RD, pekerjaannya sehari-hari sebagai


(65)

pegawai koperasi, MU berusia 40 tahun. Untuk Significant other yang kedua yaitu A. A adalah rekan kerja RD yang juga teman dekat saat masih sekolah, A berusia 35 tahun.

2. Subjek kedua

Nama : EU

Usia : 28 tahun

Alamat :Desa Wates Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Suami meninggal : 09 september 2016

Lama menjanda : sepuluh bulan

Jumlah saudara : anak ketiga dari 5 bersaudara Significant Other

1) Nama : AS

Usia : 60 tahun

Alamat :Desa Wates Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Hubungan dengan subjek : Ibu kandung

2) Nama : I

Usia : 45 tahun

Alamat :Desa Wates Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Hubungan dengan subjek : tetangga

Subjek kedua adalah EU. EU adalah seorang wanita yang bekerja sebagai penjaga toko. Saat ini EU berusia 28 tahun. EU menikah di usia 27 tahun. Usia pernikahan EU berjalan satu tahun. Suami EU meninggal pada 09 september 2016 di usianya yang masih 30 tahun. EU ditinggal mati


(66)

suaminya sudah berjalan sepuluh bulan. saat ini EU sedang hamil berusia 5 bulan. Sebelumnya sang suami bekerja di salah satu pabrik paku di dekat rumahnya.

Subjek anak ketiga dari 5 bersaudara, mempunyai dua kakak perempuan yang juga sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Hubungan subjek dengan sang kakak tidak terlalu dekat. Kedua kakaknya bertempat tinggal di luar kota yang jauh dari rumah EU. Kakak kedua EU memiliki satu anak laki-laki dan kakak pertama EU memiliki satu anak perempuan. Sedangkan kedua adik EU masih bersekolah menempuh pendidikan SMA dan untuk adik terakhir EU masih menempuh pendidikan SMP.

Dalam kesehariannya EU tinggal satu atap dengan orang tua dan kedua adiknya. Kehidupan EU dengan sang ibu cukup sederhana. Letak rumah sang ibu termasuk layak di tempati, kondisi perekonomian EU dan orang tua tergolong menengah. Ibu EU sering mengalami sakit-sakitan sejak lama. ketika EU lulus dari SMA sang ibu sudah mulai sakit-sakitan. Peneliti pernah bertanya tentang penyakit yang di derita oleh sang ibu, EU berkata bahwa ibu sudah tua dan waktunya istirahat karena sudah puluhan tahun ibu EU bekerja sebagai pembantu rumah tangga, baru-baru ini saja ibu EU berjualan makanan di depan rumahnya dikarenakan sudah tidak kuat untuk menjadi pembantu rumah tangga dan usianya yang sudah tidak muda lagi. Sedangkan Ayah EU bekerja di pabrik. Sebelum di tinggal


(67)

suaminya, EU hanya sebagai ibu rumah tangga karena sang suami tidak memperbolehkan EU untuk bekerja.

Kemudian significant other atau informan pendukung, untuk subjek kedua (EU) memiliki 2 orang yaitu AS dan I. Alasan peneliti memilih AS dan I kaerna dalam kesehariannya EU sering bermain ke rumah I sedangkan EU tinggal satu atap dengan AS sehingga keduanya mengetahui seluk beluk EU. AS merupakan ibu EU, pekerjaannya sehari-hari berjualan makanan di depan rumahnya. AS saat ini berusia 60 tahun. Significant other yang kedua yaitu I. I adalah tetangga EU, I hanya sebagai ibu rumah tangga, I saat ini berusia 45 tahun.

3. Subjek ketiga

Nama : AM

Usia : 26 tahun

Alamat : Desa Puri Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Suami meninggal : 05 oktober 2016

Lama menjanda : sembilan bulan Jumlah anak : satu anak

Jumlah saudara : anak pertma dari 2 bersaudara Significant Other

1) Nama : LP

Usia : 49 tahun

Alamat : Desa Puri Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Hubungan dengan subjek : Ibu kandung


(68)

2) Nama : RB Usia : 21 tahun

Alamat : Desa Puri Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Hubungan dengan subjek : Adik kandung

Subjek ketiga adalah AM. AM adalah seorang wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Saat ini AM berusia 26 tahun. AM menikah di usia 24 tahun. Usia pernikahan AM berjalan dua tahun. Suami AM meninggal pada 05 oktober 2016 di usianya yang masih menginjak 29 tahun. AM ditinggal mati suaminya sudah berjalan sembilan bulan. Saat ini AM memiliki anak laki-laki yang masih berusia satu tahun. Sebelumnya sang suami bekerja di salah satu pabrik kertas yang cukup jauh dari rumahnya.

AM anak pertama dari 2 bersaudara, mempunyai adik perempuan yang juga sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Adik perempuannya tinggal bersebelahan dengan rumah AM. Adik AM bekerja sebagai pegawai TU di salah satu sekolah swasta dekat rumahnya. Suami dari adiknya bekerja di pabrik. Adik AM saat ini sedang hamil berusia 15 minggu.

Dalam kesehariannya AM tinggal satu atap dengan orang tua. Kehidupan AM dengan orang tua cukup sederhana, letak rumah orang tua cukup bagus dan layak ditempati. Sang ibu termasuk orang yang sangat terbuka dan bersedia diwawancarai, sehingga peneliti mudah mendapat data untuk AM. Ayah AM bekerja sebagai kuli batu, sedangkan ibunya


(69)

seorang ibu rumah tangga dan mengurus cucunya (anak subjek) yang masih usia 1 tahun.

Kemudian significant other atau informan pendukung, untuk subjek ketiga (AM) memiliki 2 orang yaitu LP dan RB. Alasan peneliti memilih LP dan RB kaerna dalam kesehariannya AM sering bermain ke rumah RB sedangkan AM tinggal satu atap dengan LP sehingga keduanya mengetahui keseharian AM. LP merupakan ibu AM, pekerjaannya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak EU, LP berusia 49 tahun. Significant other yang kedua yaitu RB. RB adalah adik kandung AM. RB berusia 21 tahun.

B. Temuan Penelitian

1. Deskripsi Temuan Penelitian

Dalam penyajian data ini, peneliti akan menggambarkan atau mendeskripsikan data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan, guna untuk membantu keabsahan data atau kevaliditasan data yang disajikan. Data dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk ekspresi emosi marah pada wanita yang di tinggal mati pasangannya.

a. RD (Subjek Pertama)

1) Menurut Robert (1996) terdapat empat bentuk-bentuk ekspresi emosi marah adalah sebagai berikut :


(1)

101

marahnya sendiri akan tetapi saat benar-benar kesal, RD belum bisa mengendalikannya dengan baik.

RD ingin mengelola emosi marahnya dengan mengubah dirinya untuk memiliki komitmen yang kuat meskipun perubahan itu tidak langsung dan membutuhkan proses juga. RD juga menyadari akan kemarahannya hingga dapat merubah kemarahannya dengan aktivitas lain agar dapat terkontrol emosi marahnya dengan baik.

Pada subjek kedua EU termasuk orang yang belum mampu dalam memgontrol emosinya dengan baik pasca kematian suaminya karena subjek belum mampu menghadapi berbagai anggapan miring yang di terimanya di lingkungan sekitarnya. EU juga berkeinginan untuk berubah dan memiliki komitmen, meski membutuhkan waktu lama utnuk dapat merubahnya. EU juga mengaku dapat mengendalikan kemarahannya dengan menyadari tanda-tanda kemraahan itu sendiri dengan melakukan relaksasi. Sehingga EU dapat mengelola dan mengontrol emosi marahnya dengan baik.

Pada subjek ketiga AM termasuk orang yang belum mampu dalam memgontrol emosinya dengan baik pasca kematian suaminya. Kondisi emosional AM yang mudah meledak mempersulit penyesuaian diri AM dengan semua perubahan yang terjadi. Butuh waktu untuk AM dapat menerima keadaan yang begitu berat ini, bahkan sampai saat ini AM masih belum benar-benar bisa menerima kenyataan. AM memiliki keinginan untuk merubah agar tidak mudah marah yang sudah di alami saat ini. AM juga memiliki komitmen dengan mengubahnya secara perlahan-lahan. Cara AM


(2)

mengelola emosi marahnya dialihkan dengan berolahraga dan juga tidur. Sehingga saat kemarahan memuncak AM dapat mengontrol emosi marahnya tersebut dengan baik.

Ketiga subjek dalam penelitian ini melakukan tahapan yang sama dengan melakukan pengelolaan emosi marahnya kembali setelah kematian suami secara mendadak. Meskipun ketiga subjek dapat melalui beberapa tahapan dalam mengelola emosi marahnya setelah kematian suami, akan tetapi mereka masih membutuhkan waktu dan mengalami proses yang berbeda-beda dalam tiap tahapannya.

B. Saran

1. Saran kepada wanita yang di tinggal mati suami

Bagi Wanita yang di tinggal mati suami, di harapkan agar lebih mampu meningkatkan pengenlolaaan emosi dengan cara diam atau tidak berbicara saat kemarahan terjadi sehingga emosi marahnya dapat terkontrol dengan baik dan dapat menjalani kesehariannya tanpa pasangan. meski cara tersebut membutuhkan waktu yang lama dan juga tetap bertahan dalam menghadapi setiap permasalahan yang muncul.

2. Saran kepada keluarga

Bagi keluarga inti maupun keluarga besar, teman ataupun tetangga sekitar tempat tinggal mampu memberikan dorongan terhadap subjek untuk tetap percaya diri demgan bertahan hidup dan menjalani kesehariannya tanpa pasangan. Dan juga dapat bangkit dari keterpurukan yang menyebabkan subjek mudah marah serta tidak memandang negatif terhadap status


(3)

103

mereka yang menjadi ibu tunggal sehingga mereka semakin kuat menjalaninya.

3. Saran kepada penelitian selanjutnya

a. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan observasi yang lebih mendalam. Sehingga observasi yang dilakukan tidak hanya sebatas pada penampilan fisik, ekspresi muka, intonasi, gaya bicara dan bahasa tubuh saat proses wawancara berlangsung, akan tetapi terhadap kehidupan mereka sehari-hari agar data menjadi lebih akurat.

b. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan tidak hanya melakukan triangulasi sumber melainkan juga dapat melakukan triangulasi sumber data agar data semakin relevan dan lengkap.


(4)

104

Astuti, Yulianti D.

2005.KematianAkibatBencanadanPengaruhnyapadaKondisiPsikologis Survivor: TinjauanTentangArtiPentingDeath Education. Humanitas: Indonesian Psychological Journal Vol.2 No. 1

Bennet, Kate Mary.Hall Steph Vidal. 2000. Narratives of death: a qualitative study of widowhood in later life. Ageing and Society.

Bhave, Swati. Y & Saini, Sunil. 2009. Anger Management. New Delhi, India: Sage Publication

Carr Deborah. 2012. Death and Dying in the Contemporary United States

:Whatare the Psychological Implications of Anticipated Death. Social

and Personality Compas.

Creswell. 2014. Research Design PendekatanKualitatif, Kuantitatifdan Mixed. Yogyakarta: PustakaPelajar

Dariyo, Agus. 2003. PsikologiPerkembanganDewasaMuda. Jakarta:

PT.GramediaWidisarana

Ghony, M.J &Almanshur, F.2012.MetodologiPenelitianKualitatif.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Glazer Hilda R, EhD, PCC-S1-2,Myra D. Clark, MA, PCC-S2, Thomas Rebecca, MS2, and Haxton Heather, MS2. 2010. Parenting After the Death of aSpouse. American Journal of Hospice & Palliative Medicine.

Golden, Bernard. 2003.Healthy Anger: how to help children and teens

managetheir anger.New York: Oxford University Press.

Hershorn, Michael. 2002. 60 Second Anger Management. Jakarta: PT.

BhuanaIlmuPopuler.

Hurlock, B. E. 1980, Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan

sepanjangrentang kehidupan (Edisi Kelima),Jakarta: Erlangga.

Hurlock, B. E. 1996. PsikologiPerkembangan: Suatu pendekatan

sepanjangrentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

KleefGerben A. Van, De DreuCarsten K.W, and Manstead Antony S.R.2004.The Interpersonal Effects of Anger and Happiness in Negotiations.Jornal of Personality and Social Psychology.Vol 86.No. 1.57-76.


(5)

105

Larasati, T. 2005.JurnalKualitasHiduppadaWanita yang

SudahMemasukiMasaMenopouse.JurnalKualitasHidup.

Mardhika, Alfa R. 2013.Gambaran

PencarianMaknaHidupPadaWanitaDewasaMuda Yang

MengalamiKematianSuamiMendadak.JurnalPsikogenesis. Vol. 1, No. 2. Moleong, Lexy. J. 2007. MetodologiPenelitianKualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Moleong, J. Lexy, Prof. Dr. 2009.MetodePenelitianKualitatif. Bandung: PT. RemajaRosdakarya.

Naufaliasari A, AndrianiFitri.2013.

ResiliensipadaWanitaDewasaAwalPascaKematianPasangan.JurnalPsikolo giIndustridanOrganisasi.Vol. 2 No.2.

Nurpratiwi, A.

2010.Pengaruhkematanganemosidanusiasaatmenikahterhadapkepuasanper

nikahanpadadewasaawal. SkripsiUniversitas Islam

NegeriSyarifHidayatullah : Jakarta.

Parkes, Collin.M and Prigerson H.G. 2010.BEREAVEMENT Studies of Grief in Adult Life.USA and Canada.Routledge.

PerdanaDinda P. Dewi K.S. 2015. HidupTerusBerlanjut:

PergulatanEmosiPadaWanitaKarir Yang DitinggalmatiSuami.

JurnalEmpati, Volume 4(2).

Perritano, Jhon. 2011.Science of Emotions. New York : Marshall Cavendish Benchmark

Poerwandari.,E.K. 2005.

PendekatanKualitatifuntukPenelitianPerilakuManusia.Jakarta: Perfecta.

PurwantodanMulyono. 2006. PsikologiMarah, PerspektifPsikologiIslami.

Bandung: PT. RefikaAditama.

Reidy Rebecca L. Utz Erin B, Carr Deborah, Nesse Randolph, Wortman Camille. 2004 The Daily Consequences of Widowhood: The Role of Gender and Intergenerational Transfers on Subsequent Housework Performance. Journal of Family Issues.

Robert Nay. 1996.MengelolaKemarahan.Jakarta: PT. SUN.

SafariadanSaputra. 2012. MANAJEMEN EMOSI

SebuahPanduanCerdasBagaimanaMengelolaEmosiPositifdalamHidupAnd a.Jakarta: PT. BumiAksara.


(6)

Santrock, W.J. 2002.Life Span Development: PerkembanganMasaHidup, Edisi 5, Jilid II.Jakarta: Erlangga.

Wetrimudrison, 2005.SeniPengendalianMarahdanMenghadapi Orang

Pemarah.Bandung: Alfabeta.

Zulfiana, U., Suryaningrum, C., Anwar, Z. 2012. Menjanda Pasca Kematian Pasangan Hidup. Journal Online Psikologi. 1 (1), 1-9. Diunduh dari http://psikologi.umm.ac.id (Pada tanggal 11 Maret 2013 pukul 16:19