Dinamika psikologis pengalaman hidup wanita usia dewasa madya setelah kematian pasangan.

(1)

i

DINAMIKA PSIKOLOGIS PENGALAMAN HIDUP WANITA USIA DEWASA MADYA SETELAH KEMATIAN PASANGAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Laksita Sepastika Pinaremas NIM : 089114044

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

DINAMIKA PSIKOLOGIS PENGALAMAN HIDUP WANITA USIA DEWASA MADYA SETELAHKEMATIAN PASANGAN

Diajukan untuk Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi Oleh:

Laksita Sepastika Pinaremas NIM: 089114044

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Skripsi,

Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si Tanggal : ……….


(3)

iii SKRIPSI

DINAMIKA PSIKOLOGIS PENGALAMAN HIDUP WANITA USIA DEWASA MADYA SETELAH KEMATIAN PASANGAN

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Laksita Sepastika Pinaremas

NIM: 089114044

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal: 14 Januari 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1 Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si ……….. Penguji 2 Ratri Sunar Astuti, M.Si ……….. Penguji 3 C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi ………..

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas SanataDharma Dekan


(4)

iv MOTTO

Segala sesuatu pasti akan terwujud dengan berusaha, berdoa

dan bermimpi.

Selalu bersyukur pada ALLAH.

ALLAH takdirkan kebaikan dengan rasa cinta yang disertai rasa

syukur.

Hidup adalah proses, proses adalah perubahan, perubahan itulah

yang membuat kita hidup (Dik doank)


(5)

v

PERSEMBAHAN

Semua hasil kerja keras ini saya persembahkan untuk ;

ALLAH SWT

Mama Sunarwati dan Bapak Sunarto Sandiman tercinta Adik Tito Diyaksa Prabaswara tersayang

Pacar Wilfried Agusman tersayang Diri saya sendiri

Keluarga besar yang selalu mendukung Sahabat-sahabat saya


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 8 November 2012 Peneliti,


(7)

vii

DINAMIKA PSIKOLOGIS PENGALAMAN HIDUP WANITA USIA DEWASA MADYA SETELAH KEMATIAN PASANGAN

Laksita Sepastika Pinaremas

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis pengalaman hidup yang terjadi pada wanita usia dewasa madya setelah kematian pasangan. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana wanita dewasa madya menjalani hidup setelah kematian pasangan dan bagaimana perubahan aspek psikologis (afeksi, kognisi, perilaku dan harapan) yang terjadi setelah kematian pasangan. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif yaitu fenomenologi deskriptif. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Pengambilan data dilakukan dengan melalui wawancara semi terstruktur. Proses validasi yang digunakan adalah member checking, refleksivitas dan peer debriefing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami kesedihan dan kebingungan yang mendalam ketika menghadapi kematian suami. Saat awal menjadi janda, subjek memiliki keyakinan bahwa janda itu tidak baik karena mengganggu rumah tangga orang lain. Oleh karena itu, subjek juga memiliki perasaan minder dan merasa rendah diri sebagai janda. Selain itu, subjek juga merasa putus harapan dan bingung tidak tahu akan berbuat apa. Setelah memiliki keyakinan, perasaan, dan harapan seperti itu, subjek mulai menarik diri dari lingkungan. Di sisi lain, subjek memiliki tanggung jawab untuk merawat anak-anak dan mencari nafkah. Setelah menyadari tanggung jawabnya dan mendapat dukungan sosial, subjek dapat bangkit dari kesedihan demi anak-anaknya dan mampu mencari nafkah untuk keluarga. Subjek mengatasi perasaan sedih dan mindernya serta berubah menjadi optimis akan masa depannya dan memiliki harapan positif bagi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Subjek juga menjaga amanah suami dengan tidak menikah lagi setelah suami meninggal. Subjek rela berkorban demi anak-anak dengan menjadi orangtua tunggal. Subjek membutuhkan waktu sekitar satu tahun agar dapat bangkit dari kesedihan dan melanjutkan hidup.


(8)

viii

THE DYNAMICS OF PSYCHOLOGICAL EXPERIENCE OF LIFE OF THE WOMEN IN MIDDLE AGE AFTER THE DEATH OF SPOUSE

Laksita Sepastika Pinaremas ABSTRACT

This study aims to determine the dynamics of psychological experience that occurs in women of middle adulthood after the death of spouse. The research question posed is how the middle mature woman lived after the death of a spouse, and how changes in the psychological aspects (affect, cognition, behavior and expectations) that occurred after the death of a spouse. The study was conducted with qualitative methods of descriptive phenomenology. Subjects in this study amounted to 2 people. Data is collected through semi-structured interviews. The validation process is used member checking, reflexivity and peer debriefing. Results showed that subjects experienced deep grief and confusion when faced with the death of her husband. At the beginning of a widow, she had faith that the widow was not good because they interfere with other people's households. Therefore, subjects also have a feeling of inferiority and low self-esteem as a widow. In addition, she also felt hopeless and confused do not know what to do. After haved beliefs, feelings, and hopes like that, she began to withdraw from the environment. On the other hand, subjects have a responsibility to care for the children and earn a living. After realizing his responsibility and social support, subjects can rise from sadness for her children and able to make a living for the family. The subjects of overcoming the feelings of sadness and unconfidence as well as turn out to be optimistic future and will have positive expectations for herself and her children. Subjects also maintain trust with no husband remarried after her husband died. Subjects are willing to sacrifice for the sake of the children with a single parent. Subjects takes about a year to get up from the grief and move on.


(9)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

NAMA : LAKSITA SEPASTIKA PINAREMAS NIM : 089114044

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PENGALAMAN HIDUP WANITA USIA DEWASA MADYA SETELAH KEMATIAN PASANGAN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 8 November 2012 Yang menyatakan,


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas bimbingan dan karunia Nya selama ini sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Dinamika Psikologis Pengalaman Hidup Wanita Usia Dewasa Madya setelah Kematian Pasangan” ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT atas berkah, rahmat dan karunia yang begitu melimpah kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan satu tahap dalam kehidupan peneliti.

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Ketua Program Studi Universitas Sanata Dharma

4. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan nasihat yang sangat berarti untuk peneliti sehingga penelitian ini dapat selesai.

5. Seluruh dosen fakultas Psikologi yang telah memberikan dan berbagi ilmu kepada peneliti selama studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.


(11)

xi

6. Seluruh karyawan fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas Muji, Mas Doni).

7. Kedua orang tua saya Bapak Sunarto Sandiman dan Mama Sunarwati atas doa, semangat, dukungan, nasihat dan omelan yang membuat peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Adik ganteng Tito Diyaksa Prabaswara atas keceriaan, kebersamaan dan cerita-ceritanya.

9. Eyang Suparti, tante Larasati dan seluruh keluarga besar yang ada di Yogyakarta maupun Salatiga.

10. Wilfried Agusman yang telah menjadi pacar, teman, sahabat dan selalu menemani dan menyemangati peneliti.

11. Teman seperjuangan dan satu bimbingan Debora Ratri

Widaningtyas. The craziest patner ever. Makasih banyak yaa buat bantuan, kegilaan, keceriaan, curhatan dan menggosipnya selama ini.

12. Teman seperjuangan dan satu bimbingan Putri Retno Kinanti. Makasih yaa buat semangat, dukungan, nasihat, omelan dan bantuannya selama ini.

13. Teman seperjuangan dan satu bimbingan Ni Ketut Mila Puspitasari yang telah banyak memberikan keceriaan selama proses penulisan


(12)

xii

15. Valentina Triandjung Putri yang telah menjadi sahabat, teman berbagi. Makasih yaa buat segala waktu untuk menjadi teman curhat dan menghibur saat galau, bête, sedih.

16. Sahabat-sahabat di fakultas Psikologi Elissa, Anggun, Kika, Lusi, Heni, Gigi, Rimpi .. ‘EO Rempong’ (Noni, Devi, Vale, Cik Grace, Sari, Riana, Selly, Anggito, Anggita, Hesti, Dian, Nina, Jose, Plentong, Vincent, Dila, Stanley)

17. Cik Lita dan Ade atas bantuannya untuk menganalisis. Makasih yaa temiins..

18. Makasih buat Wawan sama Nursih atas bantuan ngedit skripsinya ini. Thanks berat yaa temins.

19. Mas Hasto, Riana dan mamanya yang telah mengenalkan peneliti kepada subjek.

20. Kedua subjek, ibu T dan tante E. Makasih banyak untuk bantuannya.

21. Segenap pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

Yogyakarta, 8 November 2012 Peneliti


(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR SKEMA ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat penelitian ... 7

1. Manfaat Teoretis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II. LANDASAN TEORI ... 9


(14)

xiv

B. Dewasa Madya ... 9

C. Wanita Janda Dewasa Madya ... 12

D. Dinamika Psikologis Pengalaman Hidup WanitaUsia Dewasa Madya Setelah Kematian Pasangan... 15

E. Pertanyaan Penelitian ... 18

BAB III. METODE PENELITIAN ... 20

A. Jenis Penelitian ... 20

B. Fokus Penelitian ... 20

C. Subjek Penelitian ... 21

D. Metode Pengambilan Data ... 22

E. Metode Analisis Data ... 24

F. Kredibilitas Penelitian ... 25

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27

A. Persiapan Penelitian ... 27

B. Pelaksanaan Penelitian ... 28

C. Latar Belakang Subjek ... 29

1. Subjek 1 ... 29

2. Subjek 2 ... 29

D. Hasil Penelitian ... 30

1. Subjek 1 ... 30

a. Deskripsi subjek ... 30

b. Struktur Dasar Pengalaman ... 33


(15)

xv

a. Aspek Afektif ... 33

b. Aspek Kognitif ... 34

c. Aspek Perilaku ... 35

d. Aspek Harapan ... 36

2. Keadaan setelah suami meninggal ... 38

a.Aspek Afektif ... 38

b. Aspek Kognitif ... 39

c. Aspek Perilaku ... 41

d. Aspek Harapan ... 46

2. Subjek 2 ... 47

a. Deskripsi subjek ... 47

b. Struktur Dasar Pengalaman ... 47

1. Keadaan saat suami meninggal ... 48

a. Aspek Afektif ... 48

b. Aspek Kognitif ... 50

c. Aspek Perilaku ... 51

d. Aspek Harapan ... 52

2. Keadaan setelah suami meninggal ... 55

a.Aspek Afektif ... 55

b. Aspek Kognitif ... 55

c. Aspek Perilaku ... 56

d. Aspek Harapan ... 60


(16)

xvi

1. Subjek 1 ... 61

2. Subjek 2 ... 64

E. Pembahasan ... 67

BAB V. PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Keterbatasan Penelitian ... 80

C. Saran ... 80

1. Bagi Terapis, Konselor, dan Psikolog ... 80

2. Bagi Wanita Usia Dewasa Madya ... 80

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ……….. 23 Tabel 2. Jadwal Wawancara ……… 28


(18)

xviii

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Penelitian ………. 19 Skema 2. Pembahasan ………... 78


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Ikatan pernikahan merupakan suatu bentuk status dimana dua individu bersatu yaitu wanita dan pria yang secara legal dapat hidup bersama dan membentuk keluarga. Mereka terikat secara emosional dan harus membagi segala sesuatu bersama dalam kesulitan maupun kebahagiaan. Semua pasangan suami istri berharap bahwa hubungan pernikahan mereka akan berjalan langgeng. Hal ini tidak dapat berjalan semestinya jika salah satu dari pasangan mereka meninggal dunia.

Usia dewasa madya atau paruh baya dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an. Menurut Rollins (dalam Santrock, 2002) pada masa pernikahan dewasa madya, yang sulit dan penuh hambatan akan menjadi lebih baik karena sudah mengalami penyesuaian. Meskipun pasangan mengalami berbagai hambatan dan gejolak dalam hubungan pernikahan tetapi mereka menemukan landasan yang kuat untuk hubungan pernikahan yang kokoh (Santrock, 2002). Saat anak-anak mulai tumbuh dewasa dan semakin banyak waktu untuk melakukan aktifitas bersama anak-anak akan mempererat hubungan pernikahan. Apabila salah satu dari pasangan hidup meninggal, maka hal ini akan menimbulkan perubahan dalam hidup karena saat pernikahan sedang berjalan harmonis dan hubungan emosional pun semakin terjalin dengan baik namun


(20)

tiba-tiba pasangan lainnya meninggal dunia.Perubahan dalah hidup yang ditimbulkan dapat memicu stress pada orang dewasa dan hal ini menjadi masalah dalam kehidupan orang dewasa.

Menurut Hurlock (1990) ada empat penyebab stress pada usia dewasa madya salah satunya adalah stress psikologis karena kematian suami atau istri. Dalam skala stress yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe (dalam, Gunarsa, 2004) kematian pasangan hidup merupakan stress dengan nilai tertinggi. Penyebab stress umumnya dikarenakan mereka biasa melakukan kegiatan bersama, membagi segala hal bersama dan ketika pasangan hidup meninggal mereka harus menyesuaikan diri dengan mengurus segala sesuatu secara mandiri. Lopata (dalam Lee & DeMaris, 2007) menyebutkan, kehilangan pasangan lebih banyak dialami oleh wanita. Hal ini dikarenakan wanita mempunyai harapan hidup yang lebih lama daripada pria, dan wanita cenderung menikahi pria yang lebih tua dari dirinya. Beberapa peneliti mengatakan bahwa kecil kemungkinan bagi janda untuk menikah lagi, oleh karena itu janda lebih merasakan kesepian daripada duda (Lemme, 1995). Menurut Troll (dalam Lemme, 1995) duda menganggap istri sebagai teman baik mereka. Istri adalah pengatur kehidupan dan penghubung untuk keluarga. Ketika istri meninggal, hal tersebut membuat ikatan yang telah dibangun menjadi terputus. Berardo menjelaskan (dalam Lemme, 1995) duda mengalami isolasi sosial dan kesedihan yang mendalam. Seperti yang diungkapkan oleh Vinick (dalam Lemme, 1995) duda mengalami kesulitan untuk hidup sendiri


(21)

dan memiliki kebutuhan untuk persahabatan, hal ini menjadikan duda menikah kembali.

Troll menjelaskan (dalam Lemme, 1995) bahwa stress yang disebabkan karena kematian pasangan sebagian besar dialami oleh wanita. Hal itu dikarenakan wanita kehilangan pendapatan yang didapat dari suami, dan juga karena wanita memiliki kapasitas yang terbatas untuk menghasilkan. Masalah bertambah jika status ekonomi rendah. Wanita yang tadinya tidak bekerja, harus meringankan beban keluarga karena tidak ada lagi suami sebagai pencari nafkah. Wanita harus membiayai kebutuhan sehari-hari dan juga biaya untuk anak-anak. Selain itu, wanita memiliki peran ganda sebagai ayah, ibu dan juga pencari nafkah untuk meringankan beban keluarga.

Menurut Lemme (1995) bereavement adalah pengalaman kehilangan seseorang yang dicintai karena kematian. Sesuatu hal yang penting di lepaskan atau di rampas oleh kematian. Grief adalah derita emosional yang disebabkan oleh kehilangan, menyebabkan stress secara fisik dan psikologis. Hal ini adalah respon yang normal dan natural. Pengalaman yang dapat menyebabkan kesusahan yang mendalam. Menurut Freud (dalam Lemme, 1995), grief adalah individu menyelesaikan proses secara berangsur-angsur untuk memutuskan ikatan yang menjepit mereka pada objek yang dicintai dan mengambil energi yang terasosiasi dengan ikatan itu. Energi dapat di investasikan pada hubungan yang lain. Ide pokoknya adalah pulih dari kerusakan karena kematian orang yang dicintai,


(22)

individu harus memperoleh identitas baru dan mengembangkan otonomi dan hidup bebas setelah berpisah dari orang yang meninggal.

Menurut Lemme (1995) ada beberapa proses dalam masa grief. Beberapa tahapan berhubungan dengan emosional, fisik dan reaksi perilaku (Hoyer & Roodin, 2003). Proses ini juga berdampak secara psikologis, seperti mengalami psikosomatis, depresi, dan gangguan mood (Santrock, 2002).Tahap pertama adalah initial response, dimulai dari kematian dan berlanjut sampai kira-kira tiga minggu. Reaksi awal adalah terkejut dan tidak percaya. Individu mungkin merasakan mati rasa, linglung, kosong, dan disorientasi. Tahap kedua adalah intermediate phase. Dimulai sekitar tiga minggu setelah kematian sampai sekitar setahun setelah kematian akan mengalami emosi “roller-coaster”. Marah (pada orang yang dicintai, Tuhan, situasi, atau orang lain yang terlihat bahagia), merasa bersalah, rindu dan kesepian biasa terjadi. Tiga perilaku yang menandai fase ini: meninjau kembali bagaimana kematian itu terjadi dan kemungkinan dapat dicegah (bagaimana jika dan jika saja), mencari arti kematian (mengapa), dan mencari almarhum. Keluarga yang ditinggalkan mungkin merasakan kehadiran almarhum dan berhalusinasi bahwa almarhum melihat dan mendengarkan. Hal ini terutama dapat terjadi jika kematian terjadi secara tiba-tiba dan tidak diduga.

Fase terakhir dari bereavement adalah recovery phase, biasanya dimulai pada tahun kedua. Tidur dan nafsu makan sudah kembali normal, inidividu mulai melihat ke depan dan mungkin memulai hubungan yang baru. Worden (dalam Lemme, 1995) menjelaskan empat fase dalam berkabung yaitu menerima


(23)

kenyataan akan kehilangan, mengalami rasa sakit dari dukacita, beradaptasi dengan perubahan lingkungan bahwa orang yang dicintai sudah tidak ada, dan mengambil energi emosional dari hubungan yang sudah berakhir dan menginvestasikannya pada hal lain. Dalam fase recovery, semua tugas-tugas telah terpenuhi. Tetapi, itu tidak berarti proses berkabung selesai. Berkabung akan berlangsung sepanjang hidup walaupun akan berkurang frekuensi dan intensitasnya. Hal ini akan teraktifasi saat mengenang hari peringatan seperti saat pernikahan, ulangtahun, dan liburan (Lemme, 1995).

Semua perilaku ini akan menurun seiring dengan waktu. Selama proses ini, individu menyadari bahwa penderitaan mulai sedikit berkurang (Lemme, 1995). Kebanyakan orang akan berfungsi dengan baik setelah beberapa bulan setelah kematian dan mulai pulih setelah setahun (Lemme, 1995). Wanita akan pulih kembali ke kehidupan normal sekitar satu atau dua tahun setelah kematian suami. Janda akan mulai menata kembali kehidupan mereka karena janda mempunyai identitas yang baru dan mulai menata emosi sepeninggal suami (Lemme, 1995).

Masa bereavement menjadi masa yang cukup sulit, baik bagi pria maupun wanita yang kehilangan pasangannya. Keduanya tetap akan mengalami proses grieving, hanya saja cara mereka mengekspresikannya berbeda-beda. Menurut Martin dan Doka (dalam Hoyer dan Roodin, 2003) pria akan mengalami instrumental grievers yang mengalami grief secara intelektual atau secara fisik. Beberapa terlibat dalam aktivitas fisik seperti hobi untuk mengatasi stress setelah ditinggal pasangan. Wanita akan mengalami intuitive grievers. Mereka mengalami


(24)

beberapa emosi berbeda yang luas dalam waktu yang berbeda. Wanita berbagi emosi dengan keluarga dan teman. Wanita mendapatkan kenyamanan dan dukungan emosional yang lebih daripada pria.

Masa menjanda merupakan masalah yang lebih serius bagi wanita, sehingga wanita kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap hilangnya suami. Masalah-masalah masa menjanda tersebut diantaranya kesehatan mental (misalnya selalu merasa kesepian, depresi sampai bunuh diri), kehidupan sosial (misalnya kurangnya kesempatan untuk tertarik kegiatan di luar rumah, maupun kegiatan di lingkungan tempat tinggalnya), ekonomi (relatif tidak mencukupi) dan kesehatan fisik (Hurlock, 1990; Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, 2008). Masalah ini timbul karena pada saat wanita kehilangan suaminya ia harus menjalankan dua peran, mencari nafkah dan mengurus anak-anak. Wanita juga harus melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh pria.

Kenyataan yang harus dihadapi oleh wanita maupun pria adalah mereka harus menjalani hidup sepeninggal pasangannya. Menjalani hidup sepeninggal pasangan tidaklah mudah. Di perlukan perjuangan yang begitu besar dalam menjalani hari-hari setelah kematian pasangan. Individu akan mengalami perubahan identitas dari menikah ke hidup sendiri. Beberapa sukses melewatinya tergantung pada kemampuan individu mengatasinya, dukungan sosial yang suportif, dan status ekonomi yang aman (Lemme, 1995).

Oleh karena itu, melihat banyak masalah yang dapat timbul pada wanita usia dewasa madya sepeninggal pasangannya, peneliti tertarik untuk mendalami lebih


(25)

jauh mengenai proses pengalaman yang terjadi melalui dinamika psikologis yang dialami wanita dewasa madya. Mereka membutuhkan banyak dukungan dari lingkungan sekitar agar tetap kuat dan semangat menjalani hidup sepeninggal pasangan hidupnya.

B.RUMUSAN MASALAH

Bagaimana dinamika psikologis pengalaman hidup wanita usia dewasa madya setelah kematian pasangan berdasarkan aspek afektif (perasaan), kognitif (pikiran), perilaku, dan harapan ?

C.TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dinamika psikologis pengalaman hidup wanita usia dewasa madya setelah kematian pasangan.

D.MANFAAT PENELITIAN 1. MANFAAT TEORETIS

Memperkaya kajian kritis ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi perkembangan dan psikologi kepribadian khusunya dalam masalah beradaptasi menghadapi kesendirian setelah kematian pasangan.


(26)

2. MANFAAT PRAKTIS

Menambah wawasan pada para wanita tentang masalah adaptasi menghadapi kesendirian setelah kematian pasangan dan diharapkan dapat membantu wanita usia dewasa madya agar lebih memahami dan menyadari pengalaman mereka ketika melakukan proses validitas data yaitu member checking dengan melihatkan hasil interpretasi data diharapkan memberikan pengaruh yang positif agar termotivasi dan meminimalisir efek negatif setelah kematian pasangan.


(27)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A.DINAMIKA PSIKOLOGIS

Dalam dinamika psikologis terdapat empat aspek. Pertama adalah aspek afektif (perasaan), kedua adalah aspek kognitif (pikiran), ketiga adalah aspek perilaku dan keempat adalah aspek harapan.

B.DEWASA MADYA

Periode perkembangan usia dewasa madya dimulai kira - kira pada usia 35 - 45 tahun hingga memasuki usia 60an (Santrock, 2002). Menurut Gilbert Brim (dalam Santrock, 2002) pada periode ini banyak terjadi perubahan, perputaran dan pergeseran. Usia dewasa madya atau paruh baya dipenuhi oleh tanggung jawab yang berat dan berbagai peran yang menyita waktu dan energi. Banyak orang pada usia ini menjalankan rumah tangga, memiliki dan membesarkan anak, memulai karier atau sedang berada di puncak karier mereka.

Menurut Rollins (dalam Santrock, 2002) pada masa ini pernikahan yang sulit dan penuh hambatan pada masa dewasa awal akan menjadi lebih baik karena mengalami penyesuaian selama masa dewasa madya. Meskipun pasangan mengalami berbagai hambatan dan gejolak dalam hubungan pernikahan tetapi mereka menemukan landasan yang kuat untuk hubungan pernikahan yang kokoh (Santrock, 2002). Golan (dalam Santrock, 2002)


(28)

menjelaskan bahwa seiring dengan semakin tuanya pasangan pernikahan, banyak dari ketidaksesuaian sebelumnya yang disebabkan oleh perbedaan agama, etnisitas, kelas sosial, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, dan pola-pola kepribadian telah diatasi dan mengalami penyesuaian. Menurut Birchler (dalam Santrock, 2002) pada titik tertentu di masa dewasa madya, pasangan yang telah bertahan utuh, sering menyesuaikan diri dengan tujuan dan kepentingan yang berubah. Campbell seorang peneliti keluarga (dalam Santrock, 2002) menyebut fase dalam siklus kehidupan keluarga ini dengan stabilitas. Stabilitas dicapai apabila pasangan telah mengalami fase-fase percintaan dan perjuangan kekuasaan hingga pada suatu titik yang akhirnya menerima hubungan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pola-pola konflik menjadi lebih dikenal, lebih dapat diperkirakan, lebih nyaman, tidak begitu mengancam dan kurang membahayakan. Ekspektasi pasangan pada paruh kehidupan juga lebih realistik dibandingkan pada masa-masa awal dalam pernikahan.

Menurut Erikson usia dewasa madya masuk ke dalam fase generativitas vs stagnasi. Mc Adams (dalam Santrock, 2002) generativitas mencakup rencana - rencana orang dewasa atas apa yang mereka harapkan dapat dikerjakan untuk meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya. Stagnasi berkembang ketika individu merasa bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa untuk generasi selanjutnya. Melalui generativitas, orang dewasa mempromosikan dan membimbing generasi berikutnya melalui aspek-aspek penting kehidupan seperti menjadi orang tua (parenting),


(29)

mengajar, memimpin, dan melakukan sesuatu yang menguntungkan masyarakat (McAdams dalam Santrock, 2002).

Menurut Antonucci & Akiyama (dalam Papalia, 2008) ada teori konvoi sosial yaitu orang-orang berpindah melalui kehidupan yang dikelilingi oleh konvoi sosial: berbagai lingkaran teman dan keluarga dekat dengan berbagai kadar kedekatan, yang dapat mereka andalkan untuk bantuan, kesejahteraan, dan dukungan sosial dan kepada mereka juga kita menawarkan kepedulian, perhatian dan dukungan. Kemudian ada teori selektivitas sosial emosional menurut Laura Carstensen (dalam Papalia, 2008) menawarkan sudut pandang rentang kehidupan pada cara orang-orang memilih dengan siapa mereka akan menghabiskan waktu mereka. Carstensen (dalam Papalia, 2008) interaksi sosial memiliki tiga tujuan yaitu: (1) sebagai sumber informasi; (2) membantu orang-orang mengembangkan dan mempertahankan kesadaran diri; (3) sumber kenikmatan dan kenyamanan atau kesejahteraan emosional. Pada masa dewasa madya, meskipun pencarian informasi tetap penting menurut Fang, Carstensen, dan Lang (dalam Papalia, 2008), fungsi orisinal dan pengaturan emosi dari kontak sosial kembali menjadi penekanan. Dengan kata lain, orang-orang usia paruh baya makin mencari orang lain yang membuat mereka merasa nyaman dan menekankan hubungan yang dekat secara emosional.

Jadi yang dimaksud dengan dewasa madya adalah orang yang berusia sekitar 35-59 tahun. Fase perkembangan pada masa ini adalah apa yang dapat diwariskan untuk generasi selanjutnya. Tugas dewasa madya adalah untuk membimbing generasi selanjutnya agar dapat mengembangkan kemampuan


(30)

dan melakukan hal yang berguna bagi masyarakat. Usia dewasa madya juga menekankan hubungan yang dekat secara emosional dengan orang lain dengan melakukan kontak sosial.

C.WANITA JANDA DEWASA MADYA

Menurut KBBI, wanita adalah perempuan dewasa, kaum putri (dewasa). Sedangkan janda adalah wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun ditinggal mati suaminya.

Ketika wanita dewasa madya kehilangan pasangannya, ia akan mengalami duka cita yang mendalam. Menurut Lemme (1995) bereavement adalah pengalaman kehilangan seseorang yang dicintai karena kematian. Sesuatu hal yang penting di lepaskan atau di rampas oleh kematian. Grief adalah derita emosional yang disebabkan oleh kehilangan, menyebabkan stress secara fisik dan psikologis. Hal ini adalah respon yang normal dan natural. Pengalaman yang dapat menyebabkan kesusahan yang mendalam.

Menurut Brubaker (dalam Lemme, 1995) janda membawa dua tantangan : pulih dari kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai dan membangun hidup yang baru sebagai orang yang akan hidup sendiri. Bankoff (dalam Lemme, 1995) menjelaskan tentang tiga fase dalam proses grieving. Fase pertama disebut fase crisis-loss, periode dari disorganisasi dan kacau balau dalam beberapa hari terakhir, minggu bahkan bulan setelah kematian pasangan. Karakteristik dari fase ini adalah marah, tidak percaya, dan bingung tentang masa yang akan datang seperti apa. Fase yang kedua adalah fase transition.


(31)

Terjadi saat individu mengurangi intensitas dukacita dan kemungkinan hidup baru muncul. Pengembangan identitas baru sebagai orang yang hidup sendiri dan membangun kembali sistem sosial. Fase ketiga adalah fase reorganization, melibatkan pembentukan hidup yang baru (kemungkinan menikah kembali) dan kembali ke kehidupan normal setelah merasa kehilangan. Tiap orang mengalami dukacita atau kesedihan yang berbeda, beberapa studi mengatakan bahwa setelah enam bulan intensitas emosi akan berkurang secara signifikan dan mulai mengorganisasi kembali hidup mereka. Hal ini bukan berarti bahwa rasa kehilangan terhadap orang yang dicintai telah selesai (Lemme, 1995).

Dalam Medical Journal yang ditulis oleh Sh Khosravan, dkk (2010) yang melakukan penelitian terhadap 24 janda dewasa madya di Iran menyebutkan bahwa mayoritas janda mengalami keputusasaan setelah kehilangan pasangan, tidak berguna dan kebingungan akan masa depan karena harus membesarkan anak-anak sendirian. Mereka juga mengalami kesulitan ekonomi, maka dari itu para janda bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anak. Mereka rela berkoban demi anak-anak dan akan melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Banyak dari janda mengalami penurunan kesehatan mental maupun fisik karena mereka sudah tidak lagi memikirkan dirinya karena semua hal berpusat pada anak-anak mereka. Mereka juga kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungan karena muncul stigma sosial di masyarakat yang menyudutkan para janda.

Dalam Journal of Marriage and The Family yang ditulis oleh Morgan (1981) mengatakan bahwa janda pada usia dewasa tengah yang ditinggal mati


(32)

pasangan akan mengalami penurunan pendapatan. Sumber pendapatan utama berasal dari suami sehingga ketika suami meninggal akan menganggu ekonomi keluarga. Terlebih ketika mempunyai anak yang harus di biayai. Hal ini akan menyebabkan janda mengalami kesulitan penyesuaian diri.

Penelitian yang dilakukan oleh Afriyanti (2010) terhadap 85 janda menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya dengan nilai korelasi rxy -0.643 dan p=0.000 yang artinya semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Kontribusi dukungan sosial terhadap kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya adalah sebesar 41.3%.

D.DINAMIKA PSIKOLOGIS PENGALAMAN HIDUP WANITA USIA

DEWASA MADYA SETELAH KEMATIAN PASANGAN

Kematian pasangan hidup merupakan hal yang paling membuat stress pada kehidupan orang dewasa dan membutuhkan penyesuaian kembali daripada hal lain yang terjadi pada kehidupan orang dewasa.

Rasa sakit dari dukacita adalah stress pertama yang harus dihadapi oleh para janda. Studi yang dilakukan oleh Marris (dalam Barrett, 1977) terhadap 72 janda dengan status ekonomi menengah ke bawah di Inggris menyebutkan bahwa para janda merasakan kegagalan dan kecurigaan yang tidak bermanfaat,


(33)

ketidakmampuan untuk memahami kehilangan, merasa tidak adil pada nasib, dan timbul rasa untuk menyalahkan. Para janda mengalami kesulitan tidur, merasa rindu pada suami, menarik diri dari lingkungan sosial dan terkadang merasakan kehadiran suami yang telah meninggal.

Para janda juga mengalami beban ekonomi atau kesulitan ekonomi karena berkurangnya pendapatan keluarga. Studi tentang keluarga janda oleh Palmore (dalam Barrett, 1977) menyebutkan bahwa janda mengalami penurunan penghasilan semenjak suami meninggal. Janda banyak menghabiskan uang untuk makanan, dan rumah. Penghasilan mereka tidak cukup untuk kebutuhan yang lain seperti asuransi kesehatan dan mobil. Janda yang bekerja biasanya menitipkan anak mereka kepada kerabat, tetapi janda yang lain meninggalkan anak-anak mereka di sekolah sementara mereka bekerja.

Penelitian yang dilakukan Lopata (dalam Barrett, 1977) menjelaskan bahwa menjadi janda menandai berkurangnya peran sosial. Suami menjalani peran sebagai patner seksual, ayah dari anak-anak, teman menjalani aktivitas bersama, dan kontributor untuk mengatur rumah. Kematian suami mungkin menghilangkan hubungan istri dengan kerabat suami, dengan teman satu pekerjaan, teman dekatnya, dan komunitas yang diikutinya. Banyak janda mengalami isolasi sosial setelah kematian suami. Mereka kesulitan menemukan kegiatan yang memuaskan untuk mereka ikuti. Dukungan sosial didapat dari keluarga terutama dari anak perempuan.


(34)

Para janda juga mengalami penurunan kesehatan fisik sepeninggal suami mereka. Penelitian Madison dan Viola di Australia dan Boston (dalam Barrett, 1977) mendokumentasikan bahwa terjadi penurunan kesehatan terhadap wanita janda di usia muda dibandingkan dengan wanita yang menikah. Kematian pasangan juga mempengaruhi kesehatan mental para janda. Banyak dari mereka mengalami kecemasan, depresi, insomnia, dan putus harapan.

Wanita dewasa madya akan mengalami berbagai masalah setelah suami meninggal yaitukehilangan teman berbagi karena wanita terbiasa membagi segala sesuatu dengan suami. Selain itu, wanita juga kehilangan sumber ekonomi utama dan mengalami penurunan pendapatan karena suami lah yang mencari nafkah pokok untuk keluarga. Kemudian, wanita juga akan berperan ganda setelah suami meninggal karena wanita harus bekerja keras membiayai keluarga. Di sisi lain, muncul pandangan negatif dari lingkungan terhadap status janda yang disandang seorang wanita. Wanita juga memiliki harapan yang kurang jelas tentang hidupnya.

Wanita mengalami perubahan dalam aspek-aspek psikologis yaitu aspek afeksi, kognisi, perilaku dan harapan. Perubahan itu disebabkan karena masalah-masalah yang muncul setelah suami meninggal. Maka dari itu, wanita mendapatkan tantangan yaitu wanita mempunyai tanggung jawab terhadap merawat anak-anak dan mencari biaya hidup untuk keluarga. Wanita dapat menjalani tantangan hidup itu dikarenakan juga mendapat dukungan sosial dari lingkungan, keluarga, dan teman-teman. Tantangan untuk masa depan adalah bagaimana wanita merubah aspek-aspek psikologis yang telah muncul berbagai


(35)

masalah setelah suami meninggal. Fokus penelitian ini adalah melihat dinamika psikologis yang terjadi pada pengalaman hidup wanita dewasa madya setelah kematian pasangan.

Dari penelitian-penelitian yang ditemukan, tidak banyak yang fokus membahas tentang proses dinamika psikologis yang dialami oleh para janda setelah ditinggal mati suaminya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengalaman hidup wanita dewasa madya berdasarkan dinamika psikologis yaitu afektif, kognitif, perilaku dan harapan.

E.PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan utama dalam penelitian kualitatif ini adalah bagaimana gambaran proses wanita usia dewasa madya setelah ditinggal mati pasangan 1. Bagaimana wanita dewasa madya menjalani hidup setelah kematian

pasangan?

2. Bagaimana perubahan aspek psikologis (afeksi, kognisi, perilaku dan harapan) yang terjadi setelah kematian pasangan?


(36)

(37)

20 BAB III

METODE PENELITIAN

A.JENIS PENELITIAN

Penelitian ini termasuk kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggali lebih jauh dan memahami makna pengalaman seseorang atau kelompok tertentu sebagai masalah sosial atau masalah personal (Creswell, 2009). Penelitian ini menggunakan analisis fenomenologi deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara sungguh-sungguh sebuah fenomena seperti apa adanya fenomena itu sendiri. Fokus penelitian adalah fenomena sebagai pengalaman yang di alami oleh subjek sendiri daripada fenomena sebagai realitas material (Smith, 2009).

B.FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan analisis fenomenologi deskriptif yang bertujuan untuk menangkap sedekat mungkin bagaimana fenomena tersebut dialami di dalam konteks terjadinya fenomena tersebut (Smith, 2009). Selain itu, fenomenologi berusaha menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam fenomena melalui penyelidikan dan analisis contoh-contoh hidup (Smith, 2009). Berdasarkan tujuan dari analisis fenomenologi deskriptif, maka dapat diuraikan langkah-langkah analisis data menurut Giorgi (dalam Smith, 2009).


(38)

1. Membaca keseluruhan data secara detail 2. Menentukan unit-unit makna

3. Melakukan transformasi data

4. Menangkap struktur dasar pengalaman

Fokus penelitian adalah pada dinamika psikologis pengalaman hidup wanita usia dewasa madya setelah kematian pasangan melalui aspek-aspek psikologis yaitu afektif, kognitif, perilaku, motivasi atau harapan hidup.

C.SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian ini berjumlah dua orang dan semua berjenis kelamin perempuan. Subyek tersebut dipilih dengan menggunakan Criterion Sampling yaitu cara penentuan subyek berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti (Creswell, 1998). Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini tergolong dewasa madya yang berumur 35-59 tahun. Subjek telah menjadi janda selama satu tahun keatas karenakebanyakan orang akan berfungsi dengan baik setelah beberapa bulan setelah kematian dan mulai pulih setelah dua tahun (Lemme, 1995). Seorang janda akan berfungsi penuh atau kembali pulih dari kesedihan setelah dua tahun ke atas. Oleh karena itu peneliti memilih subjek yang telah menjanda kurang lebih dua tahun ke atas. Subjek juga menjadi janda karena ditinggal meninggal oleh suami. Tidak ada batas maksimal rentang waktu subjek menjadi janda karena penelitian ini ingin melihat dinamika psikologis pada pengalaman hidup seorang janda.


(39)

Bagaimana seorang janda dapat berjuang dan bangkit dari keterpurukan dan menjalani hidup. Di sisi lain, untuk mendapatkan variasi hasil pada penelitian ini karena kedua subjek berbeda karakter dan rentang waktu menjadi janda.

D.METODE PENGAMBILAN DATA

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur yaitu suatu wawancara yang memiliki daftar pertanyaan yang menjadi panduan untuk melakukan wawancara (Smith, 2009). Peneliti membuat guide interview yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada subjek. Wawancara semi terstruktur tidak bersifat kaku karena peneliti dapat menanyakan kepada subjek bagian cerita yang menarik atau cerita yang kurang dapat dimengerti sehingga membangun kedekatan antara subjek dengan peneliti. Data wawancara direkam menggunakan digital recorder yang nanti akan di transkrip kan menjadi verbatim wawancara.

Berdasarkan metode pengumpulan tersebut maka peneliti merancang proses pengambilan/pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

1. Menentukan subjek dan mencari subjek yang relevan dengan kriteria penelitian

2. Menemui subjek penelitian satu per satu untuk menyampaikan maksud dan tujuan peneliti


(40)

3. Melakukanrapport

4. Menjelaskan tujuan penelitian kepada subjek

5. Meminta bantuan kepada subjek untuk menjadi subjek penelitian 6. Menentukan jadwal wawancara dengan subjek

7. Datang ke rumah subjek untuk melakukan wawancara dengan digital recorder

Tabel 1. Panduan pertanyaan wawancara 1. Bagaimana kronologis suami meninggal? 2. Apa yang dirasakan saat suami meninggal? 3. Hal apa yang dipikirkan saat suami meninggal? 4. Kegiatan apa yang dilakukan saat suami meninggal? 5. Bagaimana motivasi atau harapan hidup pada saat itu? 6. Setelah suami meninggal, hal apa yang dipikirkan? 7. Bagaimana perasaan setelah suami meninggal?

8. Kegiatan apa yang dilakukan setelah suami meninggal? 9. Bagaiman harapan hidup setelah menjadi janda?

Dalam guide interview, yang dimaksudkan dengan pertanyaan saat suami meninggal adalah saat subjek masih dalam masa kesedihan karena suami meninggal. Sedangkan pertanyaan setelah suami meninggal adalah ketika subjek


(41)

sudah dapat bangkit dari kesedihan dan berjuang menjalani hidup untuk diri dan anak-anaknya.

E.METODE ANALISIS DATA

Analisis data menggunakan analisis fenomenologi deskriptif. Analisis ini bertujuan menangkap sedekat mungkin bagaimana fenomena tersebut dialami di dalam konteks terjadinya fenomena tersebut. Selain itu, fenomenologi berusaha menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam fenomena melalui penyelidikan dan analisis contoh-contoh hidup (Smith, 2009). Prosedur penelitian yang dilakukan adalah :

1. Pada tahap awal, peneliti membaca keseluruhan data yang didapat dari subjek penelitian. Perspektif fenomenologis bersifat holistik. Maka peneliti harus memahami sisi global dari deskripsi.

2. Tahap kedua yaitu melakukan konstitusi terhadap bagian-bagian dari deskripsi. Tahap ini menekankan peneliti untuk merangkum dan menemukan unit makna yang dihasilkan dari pembacaan ulang secara cermat terhadap deskripsi.

3. Tahap ketiga yaitu melakukan transformasi dari data mentah yang dikumpulkan. Mentransformasikan apa yang implisit khususnya dalam makna psikologi menjadi eksplisit. Hal ini untuk mempermudah membuat generalisasi. Transformasi juga untuk mengartikulasikan data mentah menjadi


(42)

lebih deskriptif dan dapat menyampaikan makna-makna psikologis dengan baik.

4. Tahap keempat adalah menemukan struktur dasar pengalaman. Struktur diperoleh dengan menyelesaikan transformasi terakhir dari pemaknaan unit-unit. Kemudian berusaha menentukan apa saja konstituen yang tampaknya esensial.

F. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas atau validitas dalam penelitian kualitatif merujuk pada seberapa akurat sebuah penelitian dari sudut pandang peneliti, subjek penelitian dan pembaca laporan (Creswell & Miller, 2003). Setelah melakukan analisis data, maka memerlukan tahap verifikasi data. Pada tahap ini peneliti memilih strategi yang disebut member checking yaitu peneliti meminta subjek penelitian untuk membaca keseluruhan hasil analisis data dan deksripsi tema (Creswell, 2009). Hal ini dilakukan untuk mengecek apakah terjadi satu pemahaman terhadap cerita yang dipaparkan oleh subjek penelitian kepada peneliti. Peneliti membawa hasil penelitian yang sudah di olah seperti tema-tema dan analisis. Kemudian peneliti juga mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti dalam penelitian. Peneliti melakukan refleksivitas terhadap diri peneliti sendiri agar mempu membuat narasi yang jujur dan terbuka yang akan dirasakan pembaca. Lalu peneliti melakukan tanya jawab dengan rekan sesama peneliti (peer de-briefing) untuk meningkatkan


(43)

keakuratan hasil penelitian. Dalam proses ini, peneliti mencari seorang rekan (a peer debriefer) untuk berdiskusi tentang penelitian sehingga hasil penelitian dapat dirasakan oleh rekan lain (Creswell, 2009). Diskusi ini melibatkan interpretasi lain selain peneliti.


(44)

27 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.PERSIAPAN PENELITIAN

Sebelum memulai penelitian, peneliti mencari subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian yaitu wanita dewasa madya yang berumur 35-59 tahun, berstatus janda karena pasangan hidup meninggal dan lama ditinggalkan adalah 2 tahun keatas. Peneliti mendapatkan informasi tentang subjek penelitian dari teman-teman peneliti sendiri. Subjek pertama dalam penelitian ini ialah tetangga dari teman peneliti. Sedangkan subjek kedua adalah teman sewaktu kuliah dari salah satu ibu teman peneliti. Setelah mendapatkan subjek, peneliti berkunjung ke rumah subjek dan melakukan rapport. Peneliti mengambil dua subjek karena peneliti adalah peneliti pemula dan kedua subjek tersebut memiliki kepribadian yang berbeda. Dari hasil rapport terlihat bahwa subjek pertama cenderung negatif dalam memandang diri sebagai seorang janda, sedangkan subjek kedua cenderung berpikir positif tentang diri. Kedua subjek adalah orang yang ramah dan mudah dekat dengan peneliti. Peneliti menyampaikan maksud peneliti kepada subjek. Setelah itu peneliti menjelaskan tujuan penelitian kepada subjek. Peneliti meminta kesediaan subjek untuk membantu peneliti dalam penelitian ini. Kedua subjek bersedia membantu peneliti dalam penelitian ini dan dapat dengan mudah diajak


(45)

untuk bekerja sama. Setelah subjek bersedia menjadi subjek penelitian, peneliti menentukan jadwal wawancara dengan subjek.

Dokumentasi wawancara di rekam secara audio menggunakan digital recorder. Hasil rekaman wawancara kemudian di transkrip menjadi verbatim oleh peneliti. Verbatim yang di tulis sesuai dengan deskripsi yang disampaikan oleh subjek. Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan deskripsi subjek, maka transkrip yang telah di print out, peneliti berikan kepada subjek untuk di koreksi. Apakah sesuai dengan yang disampaikan subjek kepada peneliti. Kemudian, peneliti membuat analisis dari transkrip data dan berusaha menemukan proses psikologis yang dialami subjek.

B.PELAKSANAAN PENELITIAN

Adapun waktu wawancara yang dilakukan dengan kedua subjek adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Jadwal wawancara

No. Subjek Hari/ Tanggal Waktu Tempat

1. T Minggu/ 6 Mei 2012 Minggu/ 25 Mei 2012

16.00–17.00 16.00-17.00

Rumah subjek 2. E Minggu/ 10 Juni 2012 16.00–18.00 Rumah subjek


(46)

C.LATAR BELAKANG SUBJEK 1. Subjek 1

T telah menjadi janda selama 3 tahun. Suami T meninggal karena sakit flu tulang dan meninggal secara mendadak. T adalah seorang ibu rumah tangga dan mempunyai 6 anak laki-laki. Suami T bekerja serabutan. Terkadang sebagai tukang becak atau menjadi tukang bangunan.Sewaktu suami hidup, T membantu suami dengan berjualan soto dekat rumahnya. T tinggal di gang sempit dengan kondisi lingkungan yang ramai. Saat suami meninggal, T kaget dan tidak mengira jika suami akan meninggal. T mulai menarik diri dari lingkungan karena rasa berduka dan rasa terkejutnya saat suami meningggal. T membutuhkan waktu satu tahun untuk dapat beraktifitas seperti biasa. T mendapatkan dukungan sosial yang besar dari keluarga dan anak-anak. T merasa minder dengan status janda yang ia sandang. T memandang negatif status janda yang ia sandang.

2. Subjek 2

E telah menjadi janda selama 10 tahun. Suami E meninggal karena sakit batu ginjal dan akhirnya divonis gagal ginjal. Suami E telah menderita sakit sejak muda. E mempunyai 3 anak perempuan. Suami E bekerja sebagai pembuat pemetaan geologi dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. E adalah seorang ibu rumah tangga. Sewaktu suami masih hidup, E


(47)

bekerja sebagai konsultan kosmetik dan berhenti karena hamil. Setelah memiliki anak, E memiliki usaha kost-kostan dan berjualan baju keliling. Rumah E terletak di pinggir jalan besar. Saat suami meninggal, E merasa siap karena telah mengetahui jika suami mempunyai penyakit. Tetapi E tetap merasa sedih dan bingung. E membutuhkan waktu satu tahun agar dapat beraktifitas seperti biasa. Dukungan sosial yang besar menjadi motivasi untuk bangkit. E juga merasa minder dengan status janda yang disandangnya tetapi E telah beradaptasi dengan status jandanya.

D.HASIL PENELITIAN

Berikut adalah profil subjek dalam penelitian ini : 1. Subjek 1

a. Deskripsi subjek

Subjek pertama dalam penelitian ini berinisial T. T seorang wanita berusia 52 tahun dan telah menjadi janda selama tiga tahun. T menikah sejak tahun 1981 dan suami meninggal pada tahun 2008. T telah menikah dengan suami selama 25 tahun. Perawakan T agak gemuk, tinggi dan berambut pendek. Ia terlihat sangat keibuan dan ramah pada siapapun. T termasuk orang yang pendiam dan polos dalam bercerita. T tidak malu dan apa adanya dalam bercerita.


(48)

T adalah seorang ibu rumah tangga dan mempunyai 6 orang anak laki-laki. Saat ini T tinggal dengan ketiga anaknya yaitu anak kedua yang sudah bekerja menjadi guru, anak keempat yang sedang menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi swasta dan anak yang paling kecil yang masih duduk di Sekolah Dasar kelas 2. Anak tertua T dan anak kelima sudah berkeluarga. Anak tertua T tinggal di Kalimantan bersama keluarganya. Sedangkan anak keempat bekerja di Kalimantan. Kegiatan T sehari-hari adalah membuka usaha laundry, isi ulang air mineral dan berjualan pulsa. Anak keempat T yang menjalankan usaha air mineral dan pulsa sedangkan T mengelola usaha laundry dengan dibantu oleh seorang adik iparnya. Usaha ini dapat membantu biaya hidup T sehari-hari.

Suami T meninggal karena sakit flu tulang. Meninggalnya suami T sangat mendadak karena suami sebelumnya sehat dan tidak pernah ada gangguan atau keluhan kesehatan. T masih sedih jika bercerita tentang suaminya bahkan pernah T menangis ketika bercerita kembali tentang sang suami saat proses wawancara dengan peneliti. Banyak kenangan yang begitu membekas hingga sekarang. Proses meninggal yang begitu cepat dan mendadak membuat T terkejut dan sulit untuk melupakan.

Semenjak suami T meninggal, otomatis T harus mencari uang sendiri dan menjadi tulang punggung keluarga. Beruntung bahwa anak tertua T dapat membantu biaya pendidikan adik-adiknya karena ia sudah bekerja dan


(49)

memiliki penghasilan yang mapan. Usaha laundry cukup membantu perekonomian T karena dapat mambantu biaya hidup sehari-hari. T sudah dapat menyesuaikan diri dengan stasusnya sebagai janda walaupun T masih merasa minder dengan statusnya jika bergaul di masyarakat. T merasa tidak bebas jika bergaul dengan laki-laki karena statusnya. Tetapi T merasa lebih bebas jika mengurus rumah tangga. T juga mengalami masa sulit sepeninggal suaminya. Ia membutuhkan waktu selama satu tahun untuk bisa berfungsi penuh menjalani kehidupannya sebagai seorang janda. Tetapi T sekarang sudah mengikhlaskan kepergian suaminya.

b. Struktur Dasar Pengalaman 1. Keadaan saat suami meninggal

a. Aspek Afektif

Saat suami meninggal, T merasa tidak siap untuk menerima kematian suaminya karena proses meninggal yang dialami berlangsung cepat dan mendadak. T tidak mengira jika suami akan meninggal secepat itu karena suami tidak pernah mengeluh sakit dan tiba-tiba meninggal.

“Iya, masuk itu tanggal 12, gak adanya itu tanggal 20 Oktober. Berarti cuma seminggu to mbak“ (25-27)

“Ya itu sakit satu minggu terus gak ada sampe sekarang. Ibu juga kaget, gak ngira kalo mau gak ada ” (44-46)


(50)

“Padahal baru satu minggu persis, satu minggu diterima kerja trus bapaknya paginya gak ada. Sedih mbak” (104-106)

“Ya kaget aja mbak, orang-orang sini semua tetangga pada kaget” (230-231)

“Kan bapak waktu meninggal itu umurnya 56. Ya masih sehat bapak itu gak. Ya gak gemuk gitu lho orangnya gak kecil” (417-420)

“yaudah lah diterima, memang udah saatnya bapak diambil sampe saat ini” (148-150)

“yaa gimana ya, gak rela mungkin tapi mungkin udah saatnya bapak diambil itu “ (161-163)

“Pertama ya bingung gimana jalan keluarnya anak masih banyak tapi gak ada suami”(833-835)

b. Aspek Kognitif

T merasa tidak memiliki kejelasan akan masa depannya. T tidak tahu akan bekerja apa karena pendidikan yang rendah. T juga berpikir bahwa ia sebaiknya tidak banyak berinteraksi dengan laki-laki untuk menghindari perbincangan di masyarakat karena status jandanya.

“Ibu mikir, gimana nanti ngidupin anak-anak itu, anak cowok-cowok lagi. Laen lho mbak sama cewek. Trus ibu juga mau kerja apa kan pendidikan gak tinggi to cuma SD aja gak tamat.” (241-245)

“Ya kaget to mbak. Ya itu yang agak males-males. Haduh, ditinggal gimana ini. Bisa gak aku anu berubah ya, gak


(51)

harus bergantung dari orang lain. Harus kerja sendiri gimana” (731-735)

“Ibu juga mikir jaga jarak sama bapak-bapak disini” (1107-1108)

c. Aspek Perilaku

T juga mulai menarik diri dari lingkungan karena rasa tidak siapnya menerima kepergian suami. T membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa bangkit dan beraktifitas seperti biasanya. T tidak berdaya dengan kepergian suaminya. T tidak mengikuti kegiatan apapun saat suami baru meninggal. T hanya berdiam diri di rumah dan pergi ke masjid setiap hari untuk menenangkan diri karena rasa berduka yang dialami. T juga berhenti berjualan karena T berpikir untuk tidak banyak berinteraksi dengan lawan jenis.

“Dulu waktu ditinggal lemes mbak, gak makan, kalo makan tuh sedikit. Kalo pas makan inget bapak” (279-281)

“Gak..gak, belom sampe satu tahun baru. Dirumah aja sebulan, gak keluar-keluar, gak ikut apa-apa aku mbak, gak ikut arisan, gak” (709-712)

“Iya setelah setaun, ibu udah biasa. Bisa menyesuaikan, bisa lupa-lupa sedikit-sedikit sampe sekarang” (720-722)

“Terus ibu kan setiap hari ke mesjid ya, solat, ibu juga sering denger ceramah-ceramah” (836-838)


(52)

“Kalo buka laundry kan aman, ketemunya sebentar gak kayak buka warung dulu, makanya ibu berenti jualan” (1108-1111)

d. Aspek Harapan

T tidak memiliki harapan saat suami meninggal. T merasa putus asa dan putus harapan karena T merasa tidak siap menerima kepergian suaminya.

“Gak mikir apa-apa, lemes waktu itu. Putus asa” (261-262)

Banyak faktor pendukung yang membuat T dapat bangkit dan bertahan hidup. Salah satunya adalah dukungan sosial dari keluarga dan anak-anak. T mendapatkan dukungan sosial yang besar dari keluarga. Hal ini yang menjadikan T dapat pulih dan bangkit dari kesedihan. Selain itu, T juga mendapat dukungan dari keluarga besar untuk menikah kembali. Dukungan yang didapat T menjadi motivasi untuk bangkit dan T tetap harus menjalani hidup seperti biasa. T harus bertahan hidup tanpa suami demi keenam anak-anaknya.

“Nanti kalo ibu cuma diem, tidur aja gak bisa apa-apa kan gak semangat nanti gimana. Ya cuman liat anak yang kecil itu”(264-267)

“Yaa, yang paling gede, yang pertama itu. Memang dia kerjanya di PT minyak, di Pertamina to. Emang yo bisa buat, ya itu biayain adeknya dua yang di UPN itu” (320-324)

“Ya suruh sabar, ya mungkin ini udah saatnya bapak” (450-451)


(53)

“Cuman dari anak-anak itu to, anak yang nomer satu yang pasti setiap bulan ngirim uang” (467-469)

“Yaudah paling cuman di depan rumah, nanti ngobrol sama anak-anak, tetangga” (680-682)

“Sodaranya kan sembilan, banyak sodara mbak. Disini empat, ya itu rembukan sama adek-adek. Tapi kalo segi misalnya uang ya gak bisa, ya cuman meringankan beban, ngobrol” (776-781)

“Dari keluarga sana ya dukungannya kuat, kalo punya suami lagi ya gak papa. Tapi ibu gak lah, udah tua. Lain to mbak perempuan sama laki-laki” (942-946)

2. Keadaan setelah suami meninggal a. Aspek Afektif

Seiring berjalannya waktu, T mulai menerima kepergian suaminya dan sudah bisa mengikhlaskan.

“Seneng mbak sekarang udah gak susah lagi, udah lupa-lupa. Udah 3 tahun lebih to emang harus bisa merelakan bapak. Udah, ibu dah ikhlas” (701-704)

b. Aspek Kognitif

Walaupun begitu, T masih sering mengenang dan membayangkan jika suaminya masih hidup. Banyak kenangan yang menyenangkan dengan suami.

“Sebetulnya kalo ada bapak kan misalnya kan kekurangan mesti bayar sekolah kan jadi ibu harus kerja keras to mbak buat anak-anak” (166-169)


(54)

“Wah kalo ada bapak seneng yaa misalnya hajatan apa, misalnya pengajian bareng-bareng, sukuran anak-anak”

(580-582)

“Suamiku itu yaa Alhamdulillah ya mbak, orangnya diem memang.. tetangga sini juga kalo gak diajak ngomong gak pernah ngomong. Kedua tanggungjawab sekali, cari uang itu pagi sampe malem pulangnya itu sampe jam 8 baru pulang, kalo belum dapat uang belum pulang mbak. Orangnya disiplin, keras. Misalnya punya utang, bayar besok ya harus. Jangan bikin kecewa orang lain Terus gak pernah marah, sabar bapak” (553-564)

“Dulu sama yang kecil itu sering maen ke alun-alun sana, itu yang ibu inget” (618-620)

Setelah merelakan kepergian suami, T harus menyesuaikan diri dengan status baru sebagai seorang janda. T memandang negatif status janda yang disandang.

“Bicara sama suaminya orang, ibu juga merasa rendah gitu mbak”(998-999)

“Iyaa, minder rasanya mbak” (1009)

“Ada mbak kemaren terjadi waktu masih jualan itu disini ada tetangga, gak tau, seneng sama ibu si gak, ibunya juga agak curiga ya. Bapaknya kan tiap hari maem disini, di dalem. Trus istrinya mondar mandir gitu, trus ngomongnya agak lain” (1019-1025)

“Misalnya ibu campur guyonan gitu, ya udah gak ada harganya” (1141-1143)


(55)

“Ibu usaha cari uang itu aja mbak, gimana kita bisa hidupi anak-anak nanti ndak pandangannya orang lain wah ditinggal gak bisa apa-apa” (839-843)

“Berarti ibu tenang, ngopeni anake tenang, gak mau punya suami. Orang-orang suka bilang gitu. Yaudah ibu diem aja. Wah ibunya bener, cari uang sendiri buat anaknya” (1176-1180)

c. Aspek Perilaku

Oleh karena itu, T menjaga jarak dengan lingkungan. T berhati-hati dalam bergaul dengan lingkungan terlebih dengan pria yang mempunyai istri agar tidak menjadi perbincangan di tetangga.

“Pertemuan bapak ibu biasanya kan ada ya. Misalnya bapak-bapak kita kan ya memaklumi sendiri, selalu menghindar. Soalnya takut timbul perasaan cemburu dari istri” (987-991)

“Sekarang agak minggir-minggir sedikit, agak kurang kumpul-kumpul bareng. Ibu juga maklumin kan udah sendiri, ibu jaga anak-anak juga jaga lingkungan biar dihormatin sedikit sama bapak-bapak lain” (1055-1060)

“Kalo dulu kan ada bapak, sekarang ya gak bebas aja mbak kalo duduk-duduk sama yang punya istri, gak berani ibu”

(1070-1073)

“Ya sikapnya harus rendah sama orang” (1135)

“Deket ibu itu istrinya meninggal bareng sama bapak, anaknya dua cowok sama cewek. Itu emang sering ngobrol karena dia juga sendiri ibu juga sendiri, itu baru berani. Tapi kalo yang punya istri, gak berani” (1157-1162)


(56)

“Ibu jaga perasaan kan. Emang selalu jaga perasaan mbak kalo udah sendiri, laen kalo punya suami kan bebas mau ngobrol sama suami orang, duduk bareng. Kalo sekarang kan gak, gak bisa. Ya gampang-gampang susah si kalo di masyarakat. Ya merendah sama tau diri, kalo gak ya diomongin” (1162-1170)

T juga menhindari tempat atau situasi yang dapat mengingatkannya pada sang suami.

“Anak kesayangan dari mertua. Tiap ibu kesana mesti nangis, yaudah ibu pergi. Gak kuat liat mertua nangis”

(404-407)

“Gak sempat ngomong sama tamu itu, kalo ada tamu gak bisa nerima. Ibu gak sanggup gitu lho, kan ingat bapak to kan baru satu tahun” (427-431)

“Makanya sampe sekarang ibu gak mau ke alun-alun, ibu inget bapak itu” (634-636)

Banyak hal yang berubah saat T menjadi janda. Dulu ia terbiasa mendapatkan uang dari suami tetapi sekarang T harus mencari sendiri untuk biaya sehari-hari. T dibantu oleh anak tertuanya yang juga menjadi tulang punggung keluarga.

“Kalo pas hajatan tetangga itu ya susah juga gak ada bapak. Misalnya ada bapak kan bapak yang cariin uang lha sekarang sendiri” (252-255)

“Ya itu ibu usaha buka laundry terus kakaknya itu yang pertama yang di Riau kan belum nikah bantu buat adek-adek buat masuk kuliah terus sampe sekarang”(308-312)


(57)

“Kalo makan sih ibu sendiri setiap hari, ya nyuci ini lah kalo ada pemasukan kan buat keperluan di masyarakat misalnya ada hajatan ada apa ya sendiri” (324-328)

“Dulu harus ngeladeni bapak dulu, masak, kalo bapak belum berangkat, ya ibu belum kerja. Sekarang gak, bangun pagi langsung solat subuh bis selese itu ya nyuci, langsung mulai, kalo belum selese belum berenti” (485-491)

“Kalo sekarang kan bebas, misalnya mau duduk-duduk lama, ngobrol. Kalo dulu kan baru keluar sebentar udah dipanggil, harus dirumah ngurus anak-anak. Sekarang kan gak” (496-501)

“Kalo dulu ya mikir kok bapak belom pulang, besok mau masak apa, kalo sekarang kan gak. Terserah mau masak nasi siang bisa, gak masak juga bisa. Anak-anak bisa makan diluar” (503-507)

“Cuma kalo ada bapak kalo sakit bisa berenti kerja tapi kalo sekarang sakit tetep harus kerja. Ya ibu terima dengan sabar, mau gak mau ibu kerja sendiri. Tar ongkos buat anak darimana” (516-521)

“Cuman untung kebetulan anak-anak itu nurut juga, gak nakal gak seperti.. misalnya gak seperti yang lain lah. Suruh sekolah ya sekolah, gitu aja .. gak ngerokok. Dia ngerti keadaan orangtua, kerja keras buat sekolah” (532-537)

“Yaudah ibu sambil kerja terus langsung kerja jualan itu. Setaun terus langsung kerja biar buat ngilangin, susahnya itu” (684-687)

T juga tidak menikah lagi setelah suami meninggal. Banyak faktor yang menyebabkan ia tidak menikah lagi salah satunya adalah


(58)

pesan dari suami sebelum meninggal. T juga takut jika suaminya nanti tidak akan sama seperti suami terdahulu.

“Besok kalo bapak meninggal, kalo bapak pergi, gak meninggal anu.. ibu anu anak-anak aja gak usa punya suami lagi, cuman kaya gitu pesennya. Ya gak pesen cuman ngomong, gak tau kalo mau gak ada. Anak-anak nanti biar sekolahnya selesai”(207-214)

“Makanya ibu gak mau misalnya punya suami lagi nanti takutnya gak kayak bapak” (587-589)

d. Aspek Harapan

T juga memiliki harapan untuk diri dan anak-anak. T berharap agar semua anak dapat menyelesaikan kuliah dan memiliki masa depan yang cerah. T juga berharap diberi kesehatan sehingga dapat mengasuh anak-anak hingga dewasa.

“Yang penting adeknya berdua ini bisa selese kuliah, itu aja. Ibu mengharapkan itu, biar besok berguna mbak kalo udah selese.. seperti kakaknya, itu aja”(475-479)

“Selese kuliah biar bisa kerja biar buat masa depannya anak-anak” (541-543)

“Semoga diberi kesehatan. Ibu uda ikhlas, dalem hati pengennya ibu sama anak-anak aja, anak-anak biar selese sekolahnya nanti bisa kerja” (1086-1089)


(59)

2. Subjek 2

a. Deskripsi subjek

Subjek kedua dalam penelitian ini berinisial E. E berusia 52 tahun dan telah menjadi janda selama 12 tahun. E menikah pada tahun 1990 dan suami meninggal pada tahun 2000. Usia pernikahan E dengan suami saat itu adalah sepuluh tahun. E berperawakan tinggi, kurus dan masih cantik di usianya yang menginjak setengah abad. E orang yang senang bercerita sehingga sifatnya yang terbuka dalam bercerita memudahkan ia untuk dekat dengan orang lain. E juga orang yang periang, ramah dan menyenangkan ketika diajak mengobrol.

E tinggal dengan ketiga anak perempuannya. Yang pertama berusia 20 tahun dan duduk di perguruan tinggi swasta, anak kedua berusia 18 tahun dan duduk di kelas XII SMA, sedangkan anak terakhir berusia 16 tahun dan duduk di kelas X SMA. E adalah seorang ibu rumah tangga dan memiliki usaha salon dan kost-kostan. Usaha yang dijalaninya ini dapat membantu biaya hidup sehari-hari. Walaupun E mendapatkan bantuan biaya dari keluarga besarnya, ia tetap harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk keluarga.

Suami E meninggal karena sakit gagal ginjal yang diderita sejak muda. E sudah mengetahui penyakit batu ginjal yang di derita suaminya sejak mereka pacaran sehingga E nampak lebih siap ketika suaminya meninggal.


(60)

E tabah menjalani kehidupannya sebagai seorang janda. E sudah pasrah pada Tuhan dengan keadaannya sekarang. E juga menjalani masa sulit sepeninggal suaminya. E mengatakan bahwa ia dapat pulih dan menjalani aktifitasnya seperti biasa setelah satu tahun sepeninggal suaminya. E juga merasa minder dengan status janda yang disandangnya tetapi E mampu beradaptasi dengan baik dan bangkit kembali menjalani hidup demi diri dan masa depan anak-anak.

b. Struktur Dasar Pengalaman 1. Keadaan saat suami meninggal

a. Aspek Afektif

Saat suami meninggal, E telah mempunyai pengetahuan tentang sakit yang diderita suami. Suami E menderita sakit batu ginjal sejak muda.

“Tante tau dari pacaran dulu udah punya, uda sakit terus sampe punya anak satu itu keluar masuk rumah sakit, anak kedua juga gitu sampe anak ketiga sampe akhirnya terus dia kerja diluar jawa, di Bengkulu ” (9-14)

“Saya sudah siap mental soalnya saya sebelumnya udah dikasih tau dokternya. Bapak ini sudah gak lama lagi tinggal menghitung hari. Pokoknya ibu harus ikhlas”(841-845)

Saat suami meninggal, E merasa sedih, bingung dan belum ikhlas.


(61)

“Temen-temennya kesini. Saya gak ngabarin kantor, uda gak kepikiran. Mikir anak kecil-kecil trus suami meninggal”

(98-101)

“Ya sedih ya bingung karena kan gak punya pensiun”

(142-143)

“Dari hari pertama sejak suami meninggal, selalu ke makam papanya sampe hari ke 40. Padahal makamnya jauh, di Sanden situ. Jaraknya 30 kilo dari sini. Ya tiap ke makam ya nangis itu kita, belom ikhlas lah”(811-817)

Dengan status baru yang di sandang E yaitu sebagai seorang janda, E mengalami rasa minder dengan status jandanya ketika mulai bergaul di lingkungan.

“Temen-temen suaminya belum meninggal. Kakak-kakak ku suaminya pada belom meninggal kok aku meninggal sendiri”(649-652)

“Ada undangan gitu di RT, kalo sarimbit gitu among tamu, aku gak sendiri kan gak ada suaminya. Jadi kayak kecil hati gitutetangga bilang maap ya, ibu kan gak ada suami tar kalo aku pasangin sama yang lain takut jadi heboh, jadi ibu tamu aja. Jadi rasanya kok kayak aku dikucilkan gitu ya” (688-695)

b. Aspek Kognitif

E hanya fokus memikirkan anak-anak yang masih kecil dan bagaimana caranya mendapatkan biaya hidup.

“Besarkan anak-anak terus saya dapet duit darimana”


(62)

c. Aspek Perilaku

E mulai menarik diri dari lingkungan karena rasa berduka atas kehilangan suami yang dirasakan masih belum hilang. E juga masih perlu beradaptasi dengan status barunya sebagai janda. E membutuhkan waktu satu tahun agar dapat kembali pulih beraktifitas seperti biasanya.

“Dulu saya masih gak mau arisan pas suami baru meninggal sampe 100 hari suami saya, malah lebih. Terus tetangga pada tanya kenapa, trus pada kasih dukungan, menghibur trus” (698-702)

“Ya males aja ngapa-ngapain, masih keingetan. Gak bisa senyum mbak dulu waktu ditinggal suami. Murung kayak ada beban” (733-736)

“Satu tahunan baru bisa normal lagi. Ya susahnya gini, apa-apa sendiri”(686-687)

“Iya di rumah aja gak keluar-keluar, males ikutan kegiatan RT gitu” (808-809)

d. Aspek Harapan

E tetap memiliki harapan agar tetap kuat dan agar cepat bangkit dari kesedihan.

“Ya pokoknya saya tuh harus kuat, harus bangkit karena anak-anak” (411-412)

Tetapi E dapat bangkit dari kesedihannya karena ia mendapatkan dukungan sosial yang besar dari lingkungan. Dukungan yang didapat


(63)

berupa dukungan moril dari teman, tetangga dan keluarga. E juga mendapat dukungan keuangan dari keluarga besar untuk biaya sekolah dan kesehatan anak-anak. Dukungan dari lingkungan yang didapat E menjadi motivasi untuk bangkit dan meneruskan hidup demi diri dan ketiga anaknya. E tetap harus berjuang menghidupi anak-anaknya. E akan melakukan apapun untuk menghidupi keluarganya. E harus bertahan hidup tanpa suami demi anak-anak.

“Mereka malah support saya sama anak-anak terus kan uda tau to kalo suami sering sakit. Jadi pas suami meninggal itu malah pada kasih semangat, dukungan”(255-259)

“Terus anak saya bilang kata bude gak papa eyang soalnya daripada mama ngelangut dirumah suruh buka salon sama bude, yang modalin bude”(294-297)

“Yang memberi dukungan ya keluarga, kamu harus tetep hidup bagaimanapun juga, 3 anak tuh tergantung dari kamu, perlu bimbingan kamu kalo kamu ngelokro, kamu sakit yo kasian anak mu. Tunjukkan kamu bisa besarin anak-anak mu sendirian” (412-419)

“Kakak-kakak saya bilangnya misal kamu berjodoh ya tetep saya nikahkan, manusia itu kan berpasang-pasangan untuk hari tua mu. Udah anak-anak ditinggal disini, mengelola kost-kostan untuk anak-anak mu, kamu ya ikut suami mu”

(431-437)

“Iya sampe sekarang pun ini dari budenya masih. Anak saya yang nomer 2 ya dari buku, uang saku ya dari budenya yang di Semarang itu. Kalo anak saya yang pertama dari budenya yang di Jakarta. Kalo anak yang kecil dari budenya yang sekarang lagi sakit itu” (474-481)


(64)

“Senengnya pas ada suami apa-apa tinggal ngomong, ada tempat curhat kalo sekarang curhatnya sama anak-anak tiga itu” (485-487)

“Ya ada. Kalo dulu kan pontang panting sana sini. Kalo sekarang kan kakak-kakak saya tau, hidup sendirian. Itu motor anak saya dibelikan. Dari handphone, laptop itu dibelikan. Saya gak pernah belikan, kakak tau kondisi saya. Kalo makan, untuk hari-hari saya sendiri”(571-576)

“Kakak saya tuh ya kalo untuk biaya kesehatan, pendidikan dia nomer satu. Ngirim duit ke saya itu ya hanya untuk kepentingan anak-anak” (620-623)

“Dulu saya masih gak mau arisan pas suami baru meninggal sampe 100 hari suami saya, malah lebih. Terus tetangga pada tanya kenapa, trus pada kasih dukungan, menghibur trus” (698-702)

“Trus temen-temen kasih spirit lah. Mereka bilang ya namanya orang hidup itu mesti mati. Jodoh ketemu pacaran menikah punya anak meninggal itu udah wajar. Ya itu tahapannya udah begitu kalo kamu nglokro, kasian anak-anak”(711-717)

2. Keadaan setelah suami meninggal a. Aspek Afektif

Setelah mengalami kesedihan dan tidak melakukan aktifitas seperti biasa, E lama kelamaan mulai merelakan kepergian suaminya.

“Raganya udah gak kuat. Ya makanya itu kita harus mengikhlaskan ya jalan yang terbaik. Kalo memang harus diambil ya diambil, kalo diberi kesehatan ya biar” (834-838)


(65)

b. Aspek Kognitif

E sekarang hanya fokus untuk memikirkan anak-anak, mencari biaya hidup untuk keluarga dan mengamati perkembangan anak-anak.

“Sekarang ya itu besarkan anak-anak, cari duit untuk dia, udah. Ngawasin dia, nungguin perkembangannya dia” (538-540)

E masih sering mengingat kenangan bersama suami dan anak-anak sewaktu hidup.

“Orang bangun rumah ini juga saya gak setuju, kan lagi sakit to. Pokoknya gak usah ya tapi tetep bangun. Ya kalo kamu gak mau, aku nggawe nggo anak-anak” (160-164)

“Ya suami saya itu keras, tapi dia tuh penyabar, penyayang. Selama saya pacaran gak pernah berantem besar, kayak ada orang lain, dia apa saya tuh gak pernah ada orang lain”

(350-354)

“Kalo maen-maen paling ke kids fun, kan dulu masih baru-barunya, taman pintar belum ada. Terus ke Pura wisata tempat rekreasi anak-anak, inget saya tu itu terus bonbin. Tiap anaknya minta pergi tu sering ngajak kesitu ato gak makan kemana. Dulu waktu toko Ramai pertama kali yang belom ada mall, ada mainan yang diatas situ. Ya cuma main-main kesitu”(385-394)

c. Aspek Perilaku

Banyak hal yang berubah saat E menjadi janda sekarang karena E terbiasa mendapatkan biaya hidup sehari-hari dari suami tetapi sekarang E harus mencari nafkah sendiri. E juga mulai bangkit karena teringat akan masa depan anak-anaknya. Bekerja menjadi sarana untuk


(66)

menghilangkan kesedihan yang sedang dirasakan E. Tetapi saat mulai bangkit dari kesedihan dan berjuang demi hidupnya, banyak cobaan yang harus dihadapi oleh E. Mulai dari pandangan negatif dari lingkungan tentang statusnya sebagai janda hingga penolakan mertua dengan usaha yang dimiliki E.

“Saya ambil baju di rumah temen-temen tak jualin sampe saya jual sembako. Dulu ada mobil ditinggal, pajak juga berat bayarnya, tak jual bikin kios sembako itu warung. Bertahan dua tahun itu warung” (276-281)

“Akirnya dimodali kakak saya. Dibelikan kaca, kursi, apa-apa semua kakak saya yang beliin. Saya buka salon ini 2003”(285-288)

“Mertua saya gak boleh buka salon. Saya janda nanti ibaratnya orang datang laki-laki, goda-goda, kan kolot toh mertua” (288-291)

“Ya susah biasanya dulu dapet dari suami sekarang mikir sendiri to” (321-323)

“Ya salon jadi hiburan karna aku seneng dandanin orang, seneng potong jadi tersalurkan”(655-657)

“Iya cari kesibukan aja, kerja buat ngilangin sedih sekalian cari duit sambil bisnis baju itu. Dulu saya masih belom bisa juga bonding trus temen ngajakin ikut seminar” (663-667)

“Ya orang tu lain-lain ya. Dulu ada tetangga yang bilang, halah paling ra kacek setaun wes nikah meneh wong konco-konco ne okeh” (741-744)


(1)

747. 748. 749. 750. 751. 752. 753. 754. 755. 756. 757. 758. 759. 760. 761. 762. 763. 764. 765. 766. 767. 768. 769. 770. 771. 772. 773. 774. 775. 776. 777. 778. 779. 780. 781. 782. 783. 784. 785. 786. 787. 788. 789. 790. 791. 792. 793. 794. 795. 796.

ya saya yang ngerasain. Anak saya tuh perempuan, iya kalo dapet suami yang baik kalo gak. Saya tuh liat ditipi-tipi yang jelek-jelek itu. Saya ditinggali harta ya cuma anak-anak. Kalo saya gak bisa jaga ya saya dosa sama suami saya, sama yang dititipi anak itu, ya tuhan.

Berarti ada yang positif ada yang negatif ya tante ?

Iya ada yang suka ada yang gak. Tapi saya tuh gak ngurus, yang penting saya gak merugikan orang lain. Tingkah laku saya di RT, di kampung sini ya umumnya orang.

Kalo tante memandang hidup tante sekarang sebagai janda gimana ?

Ada orang meninggal ya layat, ada orang hajatan ya nyumbang, ada kegiatan apa ya saya ikut, dipanggil apa ya ikut, normalnya orang lah. Pokoknya mengikuti aturan kampung lah. Dulu banyak yang ngomongin tapi lama-lama kan orang liat saya juga gak nikah lagi. Yah saya sama anak-anak aja. Kemana-mana ya berempat, ke makan juga.

Ya saya menata hidup saya sendiri, hidup anak-anak saya. Ke depannya saya ya pengen hidup normal, maksudnya tercukupi makan, bisa nyekolahkan anak, bisa biayain anak, ya lumrahnya orangtua lah, ya mengawinkan anak. Sekarang kan tahapan saya baru membesarkan anak, pendidikannya penting. Kalo suatu saat anak saya harus menikah ya saya harus mikir kesitu. Pokoknya sekarang saya mikir maju lah gak mikir mundur. Saya mandang positif lah. Itu udah garis saya jadi janda. Kalo misal saya pergi sama temen-temen trus mereka pada bawa suami, ya saya gak papa. Tadinya kan saya agak gimana gitu, saya sendiri yang gak bawa suami tapi itu udah garis hidup saya. Ya temen-temen juga yang menguatkan saya sampe sekarang. Dulu pernikahan saya cuma sebentar, cuma 10 tahun. Suami saya lagi giat-giatnya cari duit trus penyakitnya itu akirnya meninggal.

Tidak perduli dengan omongan orang, yang penting tidak merugikan orang lain dan bersikap normal di masyarakat dengan status janda yang disandang

Subjek ingin hidup normal seperti orang lain dengan biaya hidup yang cukup dan bisa menikahkan anak

Pada awalnya subjek merasa iri jika melihat teman bersuami tapi subjek akhirnya menerima takdir dan memandang positif status janda

Tidak perduli omongan orang dan menjalani hidup seperti biasa dengan status janda di masyarakat

Harapan subjek untuk hidupnya agar dapat membesarkan anak seperti orang pada umumnya

Memandang positif status janda yang disandang


(2)

797. 798. 799. 800. 801. 802. 803. 804. 805. 806. 807. 808. 809. 810. 811. 812. 813. 814. 815. 816. 817. 818. 819. 820. 821. 822. 823. 824. 825. 826. 827. 828. 829. 830. 831. 832. 833. 834. 835. 836. 837. 838. 839. 840. 841. 842. 843. 844. 845. 846.

Dulu kakak-kakak suami pada mau ambil anak-anak saya, saya cuma disuruh rawat yang kecil itu. Kan masih susah dulu itu, masih pada butuh biaya banyak. Tapi tetep saya gak mau, suka duka tetep berempat. Mudah-mudahan anak saya yang besar cepet selese biar plong tar tinggal adek-adeknya.

Berarti dulu waktu suami baru meninggal tante di rumah terus ? Iya di rumah aja gak keluar-keluar, males ikutan kegiatan RT gitu. Terus kakak-kakak yang dukung terus. Ya sama anak-anak di rumah. Dari hari pertama sejak suami meninggal, selalu ke makam papanya sampe hari ke 40. Padahal makamnya jauh, di Sanden situ. Jaraknya 30 kilo dari sini. Ya tiap ke makam ya nangis itu kita, belom ikhlas lah. Waktu itu kan masih ada mobil jadi saya setir sendiri. Lama-lama kaka saya kasih tau trus agak berkurang, seminggu sekali. Kalo anak saya gak bisa lepas. Tiap ulangtahun papanya, kalo mau ujian, sebelum puasa itu sama abis lebaran, itu mesti ke makam papanya. Pas ultah papanya walaupun malem tetep kesana, bawa lilin apa senter. Dulu anak saya yang kecil itu, pas masih awal SMP suka cerita sama papanya. Tiap abis beli baju sama sepatu baru. Cerita ke papanya kalo mau ujian, ya di makam itu. Cerita kayak biasa papanya masih hidup. Dulu tuh saya masih belom ikhlas, ibunya juga belom tapi kasian suami.

Terus, Apa yang tante lakukan saat itu ?

Raganya udah gak kuat.Ya makanya itu kita harus mengikhlaskan ya jalan yang terbaik. Kalo memang harus diambil ya diambil, kalo diberi kesehatan ya biar.

Saya sudah siap mental soalnya saya sebelumnya udah dikasih tau dokternya. Bapak ini sudah gak lama lagi tinggal menghitung hari. Pokoknya ibu harus ikhlas. Bapak ini harus cangkok ginjal, kalo cocok ya

Saat suami baru meninggal, subjek tidak berinteraksi sosial

Saat suami meninggal subjek setiap hari pergi ke makam dengan anak-anak sampai hari ke 40 karena belum ikhlas dengan kepergian suami

Menyiapkan mental untuk menerima kepergian suami

Tidak melakukan interaksi sosial di masyarakat saat suami baru meninggal

Belum mengikhlaskan kepergian suami saat baru meninggal

Mengikhlaskan kepergian suami


(3)

847. 848. 849. 850. 851. 852. 853. 854. 855. 856. 857. 858. 859. 860. 861. 862. 863. 864. 865. 866. 867. 868. 869. 870. 871. 872. 873. 874. 875. 876. 877. 878. 879. 880. 881. 882. 883. 884. 885. 886. 887. 888. 889. 890. 891. 892. 893. 894. 895. 896.

bisa. Tapi tak pikir-pikir kan mahal mesti ke luar juga, yaudah jalan satu-satunya mesti cuci darah itu. Mahal dulu itu.

Biaya darimana tante ?

Dari mertua itu kan jual rumah sama tanah yang di desa itu. Kebetulan ya maaf, mertua saya ndilalah

tinggalannya kok banyak. Mertua saya kan depan situ. Warnet, warung sembako sama bengkel depan itu punya mertua saya. Cuma itu nanti dibagi dua kakak-dua kakak. Sebelah rumah ini buat saya sama adik saya. Untungnya udah dibagi-bagi. Dulu Berjaya tapi karena bapak sakit, dua kapling itu dijual untuk biaya. Tapi sekarang udah meninggal. Suami sakit trus dijual juga. Kan ibu bapak mertua asli Sanden trus mereka tuh anak lurah. Jadi anak lurah ragil ketemu ragil. Jadi sekarang ibu tinggal sendiri sama cucu-cucunya.

Menurut tante, suami sosok yang seperti apa ?

Dia itu suami yang penyayang anak, sayang keluarga. Selama jadi suami saya gak pernah mukul anak. Kalo anak nakal di bentak biasa, tapi kalo pake tangan tu gak. Kalo ibu kan marah pengen nyubit tapi sama dia gak boleh. Takut jadi kebiasaan katanya. Dia tuh galak di mulut, galaknya setengah mati. Trus orangnya keras. Selama jadi suami dulu ya gak pernah ribut gitu walaupun ekonomi pas-pasan lah. Paling ribut masalah anak. Saya tuh orangnya nrimo, dikasih duit seratus ribu ya terima aja. Gak pernah minta apa bilang kurang gitu. Suami saya tuh pendiem, gak banyak omong. Malah banyak omong saya. Suami saya gertak gitu aja saya udah takut, keras orangnya. Kalo dia bilang gak ya gak. Gak seneng kalo ngutang gitu kayak misalnya ibu-ibu kan biasa ya kredit gitu panci lah apa, gak seneng dia itu. Sayangnya dia itu gak ikut aturannya dokter, kalo dia ikut mungkin masih bisa bertahan.


(4)

897. 898. 899. 900. 901. 902. 903.

Harusnya makannya ada sayuran, minum banyak. Gak tongseng gitu, memperburuk kondisinya. Di keluarga gak ada yang sakit gitu, ya kakak saya, kakak ipar pada heran kok bisa. Apa mungkin airnya jelek disana, kan kalo pake PAM banyak kaporitnya, suka gak bersih banyak endapan.


(5)

DINAMIKA PSIKOLOGIS PENGALAMAN HIDUP WANITA USIA DEWASA MADYA SETELAH KEMATIAN PASANGAN

Laksita Sepastika Pinaremas ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis pengalaman hidup yang terjadi pada wanita usia dewasa madya setelah kematian pasangan. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana wanita dewasa madya menjalani hidup setelah kematian pasangan dan bagaimana perubahan aspek psikologis (afeksi, kognisi, perilaku dan harapan) yang terjadi setelah kematian pasangan. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif yaitu fenomenologi deskriptif. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Pengambilan data dilakukan dengan melalui wawancara semi terstruktur. Proses validasi yang digunakan adalah member checking, refleksivitas

dan peer debriefing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami kesedihan dan

kebingungan yang mendalam ketika menghadapi kematian suami. Saat awal menjadi janda, subjek memiliki keyakinan bahwa janda itu tidak baik karena mengganggu rumah tangga orang lain. Oleh karena itu, subjek juga memiliki perasaan minder dan merasa rendah diri sebagai janda. Selain itu, subjek juga merasa putus harapan dan bingung tidak tahu akan berbuat apa. Setelah memiliki keyakinan, perasaan, dan harapan seperti itu, subjek mulai menarik diri dari lingkungan. Di sisi lain, subjek memiliki tanggung jawab untuk merawat anak-anak dan mencari nafkah. Setelah menyadari tanggung jawabnya dan mendapat dukungan sosial, subjek dapat bangkit dari kesedihan demi anak-anaknya dan mampu mencari nafkah untuk keluarga. Subjek mengatasi perasaan sedih dan mindernya serta berubah menjadi optimis akan masa depannya dan memiliki harapan positif bagi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Subjek juga menjaga amanah suami dengan tidak menikah lagi setelah suami meninggal. Subjek rela berkorban demi anak-anak dengan menjadi orangtua tunggal. Subjek membutuhkan waktu sekitar satu tahun agar dapat bangkit dari kesedihan dan melanjutkan hidup.


(6)

viii

THE DYNAMICS OF PSYCHOLOGICAL EXPERIENCE OF LIFE OF

THE WOMEN IN MIDDLE AGE AFTER THE DEATH OF SPOUSE

Laksita Sepastika Pinaremas

ABSTRACT

This study aims to determine the dynamics of psychological experience that occurs in women of middle adulthood after the death of spouse. The research question posed is how the middle mature woman lived after the death of a spouse, and how changes in the psychological aspects (affect, cognition, behavior and expectations) that occurred after the death of a spouse. The study was conducted with qualitative methods of descriptive phenomenology. Subjects in this study amounted to 2 people. Data is collected through semi-structured interviews. The validation process is used member checking, reflexivity and peer debriefing. Results showed that subjects experienced deep grief and confusion when faced with the death of her husband. At the beginning of a widow, she had faith that the widow was not good because they interfere with other people's households. Therefore, subjects also have a feeling of inferiority and low self-esteem as a widow. In addition, she also felt hopeless and confused do not know what to do. After haved beliefs, feelings, and hopes like that, she began to withdraw from the environment. On the other hand, subjects have a responsibility to care for the children and earn a living. After realizing his responsibility and social support, subjects can rise from sadness for her children and able to make a living for the family. The subjects of overcoming the feelings of sadness and unconfidence as well as turn out to be optimistic future and will have positive expectations for herself and her children. Subjects also maintain trust with no husband remarried after her husband died. Subjects are willing to sacrifice for the sake of the children with a single parent. Subjects takes about a year to get up from the grief and move on.