KOPING RELIGIUS PADA JANDA DEWASA MADYA PASCA KEMATIAN PASANGAN HIDUP.

(1)

KOPING RELIGIUS PADA JANDA DEWASA MADYA PASCA

KEMATIAN PASANGAN HIDUP

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Erma Ro’idhotul Jannah B07212008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

xii

ABSTRACT

This study aims to describe how religious coping widow middle adulthood after the death of a spouse. Religious coping is a process and business activities of individuals in the face of life events through religious. Widow middle adulthood after the death of a spouse is the status of women aged 40-60 years who are not married anymore because apart by the death of a spouse. These women serve as the backbone of the family who is responsible for financial, emotional and family’sfuture. Subjects in this study were three widows middle age who had been left for dead by her husband. Limitation of the study is the widow of middle adulthood after the death of a spouse, which has been felt after the death of her husband for 1-2 years. This subject is taken in accordance with the criteria in this study. This study uses a phenomenological approach. Collecting data in this study using interview and observation techniques.

The results showed that religious coping very large role in the daily life of the subject. because the subject is more likely to need Tuhandan depend on the Lord. The subject is also more likely to use positive religious coping of the negative religious coping. It was stated able to reduce the pressure experienced by the subject, as well as a positive impact in their lives. Subject to minimize future problems widowed after the death of a spouse. Many positive things made the subject is to be patient, sincere, and thankful.


(7)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan. Janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup merupakan status wanita usia 40-60 tahun yang tidak bersuami lagi karena terpisah oleh kematian pasangan hidup. Wanita ini berperan sebagai tulang punggung keluarga yang bertanggung jawab atas finansial, emosional maupun masa depan keluarga. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang janda dewasa madya yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Batasan penelitian yaitu pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup, yang mana telah merasakan pasca meninggalnya suami selama 1-2 tahun. Subjek ini diambil sesuai dengan kriteria dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping religius berperan sangat besar dalam kehidupan sehari-hari subjek. karena subjek lebih cenderung membutuhkan Tuhandan bergantung kepada Tuhan. Subjek juga lebih cenderung menggunakan koping religius positif dari pada koping religius negatif. Hal tersebut dinyatakan mampu mengurangi tekanan yang dialami subjek, serta berdampak positif dalam kehidupan mereka. Subjek mampu meminimalisir masalah masa menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hal positif yang banyak dilakukan subjek adalah bersabar, ikhlas, dan bersyukur.

Kata Kunci: Koping religius, janda dewasa madya, pasca kematian pasangan hidup


(8)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xii

INTISARI... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN TEORI A. Koping Religius ... 18

1. Pengertian Koping Religius ... 18

2. Strategi Koping Religius ... 20

3. Koping Religius Positif dan Negatif ... 20

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koping Religius ... 24

B. Janda pada Masa Dewasa Madya ... 27

1. Pengertian Janda Dewasa Madya ... 27

2. Karakteristik Dewasa Madya ... 28

3. Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya... 32

C. Janda Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 33

1. Pengertian Menjanda ... 33

2. Masalah Umum Masa Menjanda ... 35

3. Pengertian Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 36

D. Koping Religius pada Janda Dewasa Madya Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 38

E. Perspektif Teoritis ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 45

B. Lokasi Penelitian ... 46

C. Sumber Data ... 46


(9)

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 56

F. Keabsahan Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 60

B. Hasil Penelitian ... 62

1. Diskripsi Hasil Temuan ... 62

2. Analisis Temuan Penelitian ... 76

C. Pembahasan ... 88

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Profil Subjek ... 60 Tabel 2: Jadwal Kegiatan Wawancara Subjek ... 61


(11)

DAFTAR GAMBAR


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara Subjek ... 102

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Informan... 114

Lampiran 3. Pedoman Observasi ... 116

Lampiran 4. Transkrip Wawancara ... 117

Lampiran 5. Transkrip Observasi ... 170

Lampiran 6. Surat Permohonan... 175

Lampiran 7. Surat Keterangan Kematian ... 176

Lampiran 7. Lembar Kesediaan Subjek ... 179


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap aspek dalam kehidupan manusia merupakan suatu hal yang kompleks dan tak pernah lepas dari masalah. Masalah dapat muncul dari berbagai setting dan setiap sisi kehidupan manusia baik dari sisi sosial, pribadi, dan lainnya yang mampu menimbulkan perasaan dan emosi tertentu.

Ketika manusia mendapati hal yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, direncanakan, dan diinginkannya, saat itulah masalah cenderung muncul. Masalah tersebut seringkali diiringi oleh perasaan kecewa bahkan marah yang berujung pada stres.

Tidak hanya itu, ketika manusia mengalami peristiwa atau kejadian tertentu yang bersifat negatif dan tidak terduga seperti kecelakaan dan kematian orang terdekat, maka muncullah berbagai efek seperti reaksi stres, akut, trauma, dan depresi. (Angganantyo, W, 2014)..

Kematian adalah sesuatu yang tidak dapat dicegah oleh siapapun dan itu akan terjadi pada setiap makhluk hidup yang bernyawa. Kematian pasangan memiliki nilai perubahan kehidupan yang paling tinggi dibandingkan peristiwa-peristiwa lain dalam kehidupan individu selaku pihak yang ditinggalkan Papalia, et al., (2001 dalam Zulfiana, U, Cahyaning, dan Zainul, 2012).


(14)

2

Seperti halnya yang terdapat dalam Al-Quran surat Al-Anbya’: 35, Allah berfirman:             

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”. (QS Al-Anbiya’ (21): 35).

Berdasarkan QS Al-Anbiya’ (21): 35 diatas, menunjukkan bahwa setiap manusia yang hidup di dunia ini, pasti akan merasakan mati. Seperti miskin, kaya, sakit, sehat, dan kehilangan pasangan hidup, keluarga lengkap. Supaya manusia melihat, apakah mereka bersabar dan bersyukur ataukah tidak. Kemudian Allahlah yang akan membalasnya.

Biasanya kehilangan yang paling sulit adalah kehilangan akibat kematian pasangan hidup. Kematian pada usia dewasa lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita. Oleh karena itu, hidup menjanda merupakan masalah utama bagi wanita (Hurlock, 1980, hlm: 359). Menurut (Santrock, 2002, hlm: 273), terdapat lebih dari 12 milyar janda di Amerika Serikat; orang yang menjadi janda jumlahnya lima kali lipat melebihi duda yang ada. Kematian pasangan hidup tidak dapat dicegah, yang dampaknya melibatkan kehancuran ikatan yang sudah lama terjalin, munculnya peran baru dan status baru serta kekurangan keuangan.

Kematian suami atau istri memiliki nilai perubahan kehidupan yang paling tinggi dibandingkan peristiwa-peristiwa lain dalam kehidupan individu selaku pihak yang ditinggalkan (Atkinson, Atkinson, dan Hilgrad, 1991).


(15)

3

Kematian pasangan ini merupakan masalah yang paling menyebabkan stres dalam kehidupan orang dewasa (Brooks, 1987). Peristiwa ini membutuhkan penyesuaian tersendiri apabila terjadi pada awal masa dewasa madya, ketika beberapa tugas perkembangan menghendaki individu untuk menciptakan hubungan suami–istri yang serasi, membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia, serta mencapai dan memelihara kepuasan dalam pekerjaan (Schaie dan Willis, 1991), terlebih ketika peristiwa ini terjadi dengan penyebab yang tidak terduga dan dengan proses yang singkat. (Sawitri, 2012).

Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi, Mappiare, 1983, hlm:19).

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang memperkuat penelitian tentang stres pasca kematian pasangan hidup yaitu penelitian yang dilakukan oleh (Zulfiana, Cahyanig, dan Zainul, 2012) merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga. Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada


(16)

4

keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh (Sawitri, 2012) menunjukkan bahwa penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami bagaimana subjek menjalani hidup sepeninggal suami. Informan ini dari seorang partisipan wanita berusia 50 tahun, dengan 2 anak, yang telah menjadi janda selama 8 tahun. Suami yang lebih tua 1 tahun darinya meninggal karena serangan jantung pada tahun 1999, setelah 15 tahun pernikahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima tema utama yang dapat dimunculkan dari data, yaitu sosok suami dalam keluarga, ketika yang ada menjadi tiada, dukungan dari almarhum keluarga suami, ketika permasalahan memuncak, dan menjalani hidup saat ini.

Berdasarkan berbagai sumber referensi dan data yang ada jumlah keluarga single parent daripada ayah yang menjadi single parent, lebih banyak dibandingkan dengan keluarga orang tua pria. Wibowo (2008) perbandingan jumlah janda dan duda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah duda yang tidak menikah hanya seperlima dari jumlah janda yang tidak menikah lagi. Jadi lebih banyak duda yang menikah akibatnya ibu single parent lebih banyak. Hasil Survey Sosial Ekonomi nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik tahun 1994 (Harian Tempo, 2011) menunjukkan bahwa jumlah ibu di Indonesia yang menjadi kepala rumah karena bercerai sebanyak 778.156 orang dan karena kematian suami berjumlah 3.681.586 orang (total 4.459.724). Berdasarkan data Program


(17)

5

Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia berstatus janda. Hal ini berarti kenaikan jumlah orang tua tunggal ibu hampir sepuluh kali lipat selama rentang 10 tahun. (Akmalia, 2013).

Berita Dunia.net- Survei yang dilakukan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) menunjukkan, sebanyak 24 persen atau hampir seperempat dari jumlah keluarga yang ada dan tersebar di Indonesia, dipimpin janda. http://www.beritadunia.net/berita-dunia/asiatenggara/miris,seperempat-kepala-keluarga-indonesia-adalah-janda-miskin. (diunduh pada tanggal 10 April 2016).

Berdasarkan wawancara dan hasil observasi pada tanggal 9 April 2016 dengan seorang ibu pasca meninggalnya suami yang menderita strok, ibu ini mengatakan bahwa sebuah kematian adalah takdir Allah. Memang berat dalam menjalani hidup, kedua anaknya merantau (bekerja) dan subjek sering memikirkan masalah keuangan, karena sebelumnya keuangan keluarga yang mendominasi adalah suaminya. Belum lagi, subjek pernah di fitnah mengenai status jandanya oleh orang lain. Informan benar-benar telah menyerahkan segalanya kepada Allah. Percaya bahwa Allah akan selalu melindungi keluarganya. Dan hasil observasi menyatakan bahwa subjek masih aktif dalam kegiatan muslimat di lingkungan sekitar.

Fakta menunjukkan bahwa ketika mengalami musibah atau mendapat bencana ditinggal pasangannya, subjek lebih siap menerima dan mempercayakan kepada Allah, tanpa harus berlama-lama terlarut dalam


(18)

6

kesedihan, padahal kebanyakan orang memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan masih terbelenggu dengan kesedihan yang menimpanya.

Setiap manusia pasti memiliki strategi atau cara untuk menyelesaikan, menghindari, atau meminimalisirnya. Karena setiap cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah akan berhubungan dengan sikap individu. Jika individu memandang permasalahan itu positif maka individu cenderung memiliki sikap positif, dan jika individu memandang permasalahan itu negatif maka individu cenderung memiliki sikap negatif. Setiap individu memliki strategi yang bermacam-macam untuk menyelesaikan masalah mereka sesuai dengan situasi, lingkungan, dan pribadi individu tersebut. Pemilihan cara menyelesaikan masalah ini menurut Lazarus dan Folkman, (1984) disebut proses koping (Richard P. Halgin and Susan, 2010, hlm: 258).

Tahap dan perkembangan seseorang mempengaruhi pemilihan coping yang digunakan, karena semakin matang seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dan semakin baik coping yang akan digunakan. Hal ini sesuai menurut (Richard P. Halgin and Susan, 2010, hlm: 259) yang mengatakan bahwa semakin orang bertambah tua, semakin memiliki kemampuan yang baik untuk memilih strategi coping yang lebih tepat.

Pargamen (1997 dalam Muslimah dan Siti, 2013) menyatakan salah satu bentuk koping, yaitu Strategi Koping Religius. Koping ini termasuk dalam Emotional Focused Coping. Strategi Koping Religius adalah koping yang melibatkan Agama dalam penyelesaian masalah, dengan meningkatkan


(19)

7

ritual keagamaan merupakan berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur agama di dalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara tuntutan internal maupun external, sehingga dapat membantunya dalam mengatasi stress.

Sedangkan menurut Karekla dan Canstantinou, (2010 dalam Octarina dan Tina, 2013) mengatakan bahwa koping religius melibatkan proses kognitif dan perilaku yang muncul dari agama seseorang saat menghadapi situasi yang menekan. Cara kognitif dilakukan dengan melibatkan penilaian terhadap suatu kejadian sebagai rencana dari Tuhan sedangkan komponen perilaku dilakukan dengan menggunakan praktek-praktek religius seperti beribadah, berdoa sebagai jalan keluar yang ditawarkan oleh agama.

Serta menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa agama dapat menjadi kekuatan positif untuk kesehatan fisik dan mental. Namun demikian agama dapat juga mempunyai efek yang buruk (Pruyser, dalam Pargament, Tarakeshwar, Ellison & Wulf, 2001), sehingga mungkin secara potensial dapat memperburuk masalah. Oleh karena itu Pargament, Smith, Koenig, dan Perez (dalam Pargament, et al., 2001, Ano & Vasconcelles, 2005) menghipotesiskan dua pola koping religius, yaitu: (1) koping religius positif dan (2) koping religius negatif (Utami, 2012).


(20)

8

Koping religius positif merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan dimana ada sesuatu yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual dalam berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya koping religius negatif melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan terhadap dunia, dan perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara atau berdialog dengan orang lain dalam kehidupan. Namun demikian, koping religius yang dilakukan oleh setiap orang berbeda dalam hal pelaksanaan serta macamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Pargament, bahwa coping religius terdapat tiga macam (self-directing, deferring, dan collaborative) dan dua pola (positif dan negatif). Setiap pola dan macam dari koping religius tersebut memiliki pendekatan dan metode yang berbeda pula. Ini menandakan bahwa koping religius merupakan koping yang multidimensional dengan subvarian yang berbeda. Pargament yang dikenal sebagai pelopor koping religius, telah menemukan beragam teori koping religius dengan berbagai aspek pendukung dan faktornya. Angganantyo, W (2014).

Kemampuan setiap individu dalam memilih koping religius dan menggunakannya untuk mengurangi tekanan adalah berbeda. Perbedaan juga terdapat dalam hal pemahaman mengenai bagaimana dan kapan harus memakai koping religius yang diperlukan.

Berdasarkan uraian di atas, tidak semua janda dewasa madya mampu menghadapi masalah dengan sendiri pasca kematian pasangan hidup. Hal ini


(21)

9

merupakan suatu pengalaman baru dan merupakan masa-masa yang sulit bagi seorang janda. Kecemasan yang terjadi pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup umumnya disebabkan karena mereka harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan fisik dan psikologis yang banyak menyita waktu, emosi dan energi. Pada saat cemas individu akan sangat sulit untuk menyesuaikan diri baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.

Kematian pasangan yang dihadapi oleh para wanita biasanya terjadi secara tidak terduga. Mereka juga merasakan duka yang mendalam dari orang-orang disekitarnya. Walaupun kematian pasangan adalah hal yang traumatis, mereka ditantang untuk bisa mengatasi dari kesedihan dan berhadapan dengan masalah-masalah menjanda, serta melaksanakan tugas dan peran baru agar hidupnya menjadi lebih kuat dan dapat mengatasi serta belajar dari segala kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang sedang dihadapi.

Ada banyak proses yang harus dilewati oleh masing-masing janda dewasa madya pasca kematian hidup untuk mengembalikan kondisi kehidupannya seperti semula. Semua janda mempunyai caranya sendiri untuk menghadapi permasalahan tersebut. Janda yang mampu melakukan koping religius, diharapkan mampu mengelola tuntutan internal dan eksternal yang dinilai berat dan melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Seperti tingkat religiusitas tinggi yang dimiliki dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga janda tidak mudah merasa terpuruk dalam kesedihan.


(22)

10

Nuansa yang mengemukakan adalah bahwa janda telah mampu melalui perjalanan kesendiriannya, seperti usaha kerasnya dalam tuntutan untuk menjadi tulang punggung keluarga, mensejahterakan, merawat, memberikan pendidikan dan menggiring anak mandiri sesuai pedoman agama. Penyelesaian masalah dan bangkit dari keterpurukan melalui keagamaan menjadikan janda lebih survive setelah duka cita tak lagi menghampirinya. Hal inilah yang menjadikan kondisi kesehatan mental janda membaik dari sebelumnya.

Koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup, apabila ditinjau dengan pendekatan psikologi perkembangan sesuai dengan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) berdasarkan teori terkait sosiokultural tentang perkembangan terdiri dari lima sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dn kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkunngan. Mesosistem adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga dengan pengalaman teman sebaya (Donna dan Suzanne, 2012).

Menurut Sigelman dan Rider (2012) ekosistem adalah keterkaitan setting sosial dan karakter individu tidak secara langsung menentukan pengalaman hidup, melainkan lingkungan sosial dapat mewakili karakter individu pada masa dewasa. Sedangkan makrosistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari


(23)

11

sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kronosistem adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang dilihat dari kurun waktu peristiwa terjadi (Sntrock, 2002, hlm: 53).

Berdasarkam lima sistem lingkungan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) peneliti fokus pada makrosistem untuk menggambarkan adanya keterkaitan perilaku dan keyakinan individu dalam penggunaan koping religius sebagai dukungan terhadap penyesuaian janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Pernyataan ini didukung hasil penelitian Rammohan, Rao, dan Subbakrisna, (2002 dalam Utami, 2012) bahwa melalui berdoa, ritual, dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping pada saat kehidupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan. Hasil penelitian Peres, Almeida, Nasello, dan Koenig (2007 dalam Octarina dan Tina, 2013) menyebutkan bahwa saat mengalami peristiwa traumatik atau peristiwa menekan, banyak orang menggunakan koping yang didasarkan pada keyakinan agamanya.

Berdasarkan penjelasan diatas, kesimpulan koping religius janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup adalah janda berusia 40 sampai dengan 60 tahun yang mengalami penyesuaian diri karena kematian pasangan hidup. Wanita ini terbebas dari gejala depresi ditandai dengan adanya usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan, mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang Allah yang merujuk pada teori Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012). Pendekatan psikologi perkembangan yang digunakan dalam penelitian


(24)

12

ini adalah teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) fokus pada makrosistem untuk menggambarkan kebudayaan dimana individu hidup yang menyebabkan kepercayaan dalam membentuk koping religius janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini meliputi:

1. Bagaimana gambaran koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup?

2. Bagaimana dampak psikologis koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran koping religius pada janda dewasa madya

pasca kematian pasangan hidup

2. Untuk mengetahui dampak psikologis koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pada keilmuan psikologi terutama psikologi agama dalam ranah koping religius. Kedua pada


(25)

13

keilmuan psikologi klinis dalam ranah kecemasan dan stress. Ketiga pada keilmuan psikologi perkembangan dalam ranah perkembangan dewasa madya

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi konselor dilembaga swadaya baik formal maupun informal berkenaan dengan penangana kecemasan pasca kematian pasangan hidup melalui koping religius pada janda dewasa madya.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang menjadi acuan yang cukup relevan dalam penelitian yang ada di Indonesia diantaranya yaitu “Coping Religius Pada Karyawan Muslim Ditinjau Dari Tipe Kepribadian” oleh Angganantyo, W (2014). Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana perbedaan koping religius karyawan muslim ditinjau dari tipe kepribadian. Subjek penelitian ini adalah 100 orang karyawan beragama islam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa adanya perbedaan dalam penggunaan jenis koping namun tidak bermakna.

Penelitian selanjutnya dengan judul “Tingkat Kecemasan Dan Strategi Koping Religius terhadap Penyesuaian Diri pada Pasien HIV/AIDS Klinik Vct RSUD Kota Bekasi” oleh Muslimah, A. I dan Siti, A (2013). Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat pengaruh kecemasan dan strategi koping religius terhadap penyesuaian diri pada pasien HIV/AIDS di klinik VCT RSUD Kota Bekasi. Menggunakan 62 responden dengan rentang usia


(26)

14

21-37 tahun. Hasil menunjukkan bahwa kecemasan dan koping religius bersama-sama berpengaruh terhadap penyesuaian diri.

Penelitian oleh Utami, M. S (2012) dengan judul “Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan Subjektif”, hasil menunjukkan bahwa secara bersama-sama religiusitas, koping religius positif dan koping religius negatif dapat menjadi prediktor terhadap kesejahteraan subjektif mahasiswa dalam kehidupan personalnya. Octarina, M dan Tina (2013) “Efektivitas Pelatihan Koping Religius untuk Meningkatkan Resiliensi pada Perempuan Penyintas Erupsi Merapi” merupakan penelitian eksperimen yang hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan koping religius efektif untuk meningkatkan resiliensi pada perempuan penyintas erupsi merapi dan Juniarly, A (2012) dengan judul “Peran Koping Religius dan Kesejahteraan Subjektif terhadap Stres pada Anggota Bintara Polisi di Polres Kebumen” hasilnya menunjukkan terdapat korelasi antara koping religius dengan stres sebelum dan sesudah variabel kesejahteraan subjektif dikontrol.

Sedangkan penelitian dari luar negeri mengenai koping religius sudah sangat banyak terpublikasi diantaranya dengan judul “Religious Coping, Posttraumatic Stress, Psychological Distress, and Posttraumatic Growth Among Female Survivors Four Years after Hurricane Katrina” oleh Chan, C. S and Jean E. R (2012). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan trauma pada pengalaman korban empat tahun setelah badai Katrina. Hasil menunjukkan bahwa koping religius positif dikaitkan dengan Pertumbuhan


(27)

15

pasca trauma (PTG), sedangkan koping religius negatif dikaitkan dengan tekanan psikologis pasca bencana.

Penelitian selanjutnya oleh Ursaru, M, Irina, dan Gabriel (2014) dengan judul “Quality of Life and Religious Coping in Women with Breast Cancer” Hasil menunjukkan bahwa koping religius sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup bagi wanita dengan kanker payudara.

Penelitian oleh Radzi, H. M, dkk (2014) dengan judul “Religious and Spiritual Coping Used by Student in Dealing with Stress and Anxiety”, Nurasiki, M. S, dkk (2012), “Religiousness, religious coping methods and distress level among psychiatric patients in Malaysia”. Kim, P. Y, Dana, dan Marcia (2015), “Religious Coping Moderates the Relation between Racism and Psychological Well-Being among Christian Asian American College Students”.

Penelitian selanjutnya yang mendukung dari pemilihan subjek adalah penelitian dari Pitasari dan Rudi (2014) dengan judul “Coping pada Ibu yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal Pasca Kematian Suami” penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana coping pada Ibu yang menjadi orangtua tunggal pasca kematian suami untuk dapat mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi. Penelitian ini dilakukan kepada dua orang wanita pasca kematian pasangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek mengalami masa-masa sulit pasca kematian suami. Kedua subjek harus beradaptasi dengan situasi baru setelah kematian suami, sebelum akhirnya mereka dapat menerima keadaan


(28)

16

tersebut. Strategi coping yang digunakan adalah problem focused coping dan emotion focused coping.

Selanjutnya penelitian dari Zulfiana, Cahyaning, dan Zainul (2012) dengan judul “Menjanda Pasca Kematian Pasangan Hidup”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan subjek penelitian berjumlah 3 orang yang memiliki klasifikasi, yaitu wanita yang ditinggal meninggal dunia oleh suaminya dengan status janda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga. Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.

Dari hasil penelitian-penelitian diatas, ada perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini. Penelitian terdahulu mayoritas menggunakan pendekatan kuantitatif sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model fenomenologi. Subjek pada penelitian saat ini adalah janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Sedangkan kesamaan dengan penelitian terdahulu yaitu pada topik penelitian


(29)

17

tentang koping religius. Batasan penelitian yaitu pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup, yang mana telah merasakan pasca meninggalnya suami selama 1-5 tahun. Tempat penelitian berada di Dusun Krajan Desa Mlilir Kecamatan Berbek Kabupaten Nganjuk. Maka penelitian dengan judul Koping Religius pada Janda Dewasa Madya Pasca Kematian Pasangan Hidup belum pernah diteliti. Kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti ingin menggambarkan koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup dan dampak psikologis pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.


(30)

18 BAB II

KAJIAN TEORI

A. Koping Religius

1. Pengertian Koping Religius

Pada umumnya, seseorang yang memiliki keyakinan pada Tuhan apabila dihadapkan pada situasi yang menekan (stresor) maka individu tersebut akan melibatkan Tuhan dan unsur-unsur keagamaan lainnya dalam mengatasi permasalahannya (back to religion). Artinya koping (penyelesaian masalah) yang dilakukan menggunakan pendekatan ketuhanan, hal ini dinamakan dengan koping religius. Menurut Pargament, K. I (1997, hlm: 135)

Religious coping is a private experience, it is almost always measured through individual self reports. these self reports can be biased (although some researchers have tried to control for these potential biases).

Koping religius adalah pengalaman pribadi, itu hampir selalu diukur melalui laporan diri individu. laporan diri ini dapat menjadi bias (meskipun beberapa peneliti ini telah mencoba untuk mengendalikan potensi bias).

Menurut Wong-McDonald dan Gorsuch, koping religius adalah suatu cara individu menggunakan keyakinannya dalam mengelola stres dan masalah-masalah dalam kehidupan (Utami, M. S, 2012). Sedangkan menurut Pargament koping religius adalah upaya memahami dan mengatasi sumber-sumber stres dalam hidup dengan melakukan berbagai


(31)

19

cara untuk mempererat hubungan individu dengan Tuhan (Anggraini, 2014). Ini merupakan salah satu strategi untuk meminimalisir atau mengatasi stres yang muncul akibat situasi atau keadaan yang menekan melalui ibadah, lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan cara keagamaan lainnya.

Pargament menyatakan bahwa strategi koping religius cenderung digunakan saat individu menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapat dari manusia serta mendapati dirinya tidak mampu menghadapi kenyataan (Angganantyo, 2014). Hal ini membuktikan bahwa koping religius mampu menjadi alternatif dalam mengurangi pengaruh negatif stres yang terjadi pada individu.

Sedangkan menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh McMahon dan Biggs membuktikan dalam penelitiannya bahwa seseorang yang memiliki tingkat spiritual atau religiusitas yang tinggi dan menggunakan koping religius dalam kehidupannya maka individu tersebut akan lebih tenang dan tidak cemas dalam menghadapi masalah hidup (Angganantyo, 2014). Maka dari itu, kekuatan spiritual atau kerohanian dapat membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme bagi pelakunya.


(32)

20

Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulan koping religius adalah berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur agama di dalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara tuntutan internal maupun eksternal, sehingga dapat membantunya dalam mengatasi stres.

2. Strategi Koping Religius

Pargament, seorang pelopor koping religius, mengidentifikasi strategi koping religius menjadi 3 (Agganantyo, 2014) yaitu:

a. Collaborative, yakni strategi koping yang melibatkan Tuhan dan

individu dalam kerjasama memecahkan masalah individu.

b. Self-directing, artinya seorang individu percaya bahwa dirinya telah

diberi kemampuan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah.

c. Deffering, artinya individu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan

dalam memberikan isyarat untuk memecahkan masalahnya.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa koping religius terdapat tiga macam yaitu Collaborative, Self-directing, dan Deffering.

3. Koping Religius Positif dan Negatif

Namun meskipun dirasa ampuh dalam mengatasi suatu masalah, Pargament mengemukakan bahwa koping religius tidak hanya berdampak positif melainkan juga negatif bagi kesehatan mental.


(33)

21

Menurut Pargament, Koenig dan Perez, koping religius positif adalah sebuah ekspresi spiritualitas, hubungan yang aman dengan Tuhan, keyakinan bahwa ada makna yang dapat ditemukan dalam hidup, serta adanya hubungan spiritualitas dengan orang lain (Anggraini, 2014). Bentuk koping religius positif ini diasosiasikan dengan tingkat depresi yang rendah dan kualitas hidup yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Jim dkk. bahkan menyatakan bahwa pasien-pasien penderita kanker yang menggunakan koping religius positif dilaporkan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Harries, J. I, tanpa tahun). Hal ini membuktikan bahwa koping religius positif sangat berhubungan dengan sikap optimis seseorang dalam menghadapi masalah kehidupan. Menurut Pargament (2001 dalam Utami, 2012), koping religius positif diidentifikasi memiliki beberapa aspek yaitu:

a. Benevolent Religious Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali

stresor melalui agama secara baik dan menguntungkan. Misalnya husnuzon pada ketetapan Allah.

b. Collaborative Religious Coping, yaitu mencari kontrol melalui

hubungan kerjasama dengan Allah dalam pemecahan masalah. Misal merasa ditemani Allah saat menghadapi kesulitan hidup.

c. Seeking Spiritual Support, yaitu mencari keamanan dan kenyamanan

melalui cinta dan kasih sayang Allah. Misal ketika mendapat ujian ia merasa Allah menyayanginya sehingga Allah pasti menolongnya.


(34)

22

d. Religious Purification, yaitu mencari pembersihan spiritual melalui

amalan religius. Misal bertobat kepada Allah dan melakukan amalan baik untuk mengganti amalan buruk yang pernah dilakukan.

e. Spiritual Connection, yaitu mencari rasa keterhubungan dengan

kekuatan transenden. Misalnya meyakini bahwa segala sesuatu memang sudah ketetapan dari Allah.

f. Seeking Support from Clergy or Members, yaitu mencari keamanan

dan kenyamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman dan alim ulama.

g. Religious Helping, yaitu usaha untuk meningkatkan dukungan

spiritual dan kenyamanan pada sesama. Misal dengan mendoakan saudara atau teman yang terkena musibah.

h. Religious Forgiving, yaitu mencari pertolongan agama dengan

membiarkan pergi setiap kemarahan, rasa sakit dan ketakutan yang berkaitan dengan sakit hati.

Sedangkan koping religius negatif adalah sebuah ekspresi dari hubungan yang kurang aman dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan kesenangan terhadap dunia, serta tidak adanya perjuangan religiusitas dalam pencarian makna. Koping religius negatif diasosiasikan dengan distres, fungsi kognitif yang buruk, tingkat depresi yang tinggi dan kualitas hidup yang buruk. Bentuk dari koping religius negatif meliputi penilaian negatif terhadap agamanya dan juga munculnya sikap pasif pada individu ketika menghadapi suatu masalah,


(35)

23

yakni hanya menunggu solusi dari Tuhan tanpa aktif bertindak. Beberapa aspek koping religius negatif (Utami, 2012) yaitu:

a. Punishing God Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali stressor

sebagai sebuah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan oleh individu.

b. Demonic Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali stresor

sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan. Misalnya terkena santet atau pelet.

c. Reappraisal of God’s Power, yaitu menggambarkan kekuatan Allah

untuk mempengaruhi situasi stres. Misal seseorang berdoa kepada Allah agar membalas kejahatan orang lain.

d. Self-directing Religious Coping, yaitu mencari kontrol melalui

inisiatif individu dibandingkan meminta bantuan kepada Tuhan.

e. Spiritual Discontent, yaitu ekspresi kecemasan dan ketidakpuasan

terhadap Tuhan.

f. Interpersonal Religious Discontent, yaitu ekspresi kecemasan dan

ketidakpuasan terhadap alim ulama atau saudara seiman.

Berdasarkan urian diatas menunjukkn bahwa aspek-aspek koping

religius positif adalah: Benevolent Religious Reappraisal, Collaborative

Religious Coping, Seeking Spiritual Support, Religious Purification,

Spiritual Connection, Seeking Support from Clergy or Members,

Religious Helping, dan Religious Forgiving. Aspek-aspek koping religius


(36)

24

Reappraisal of God’s Power, Self-directing Religious Coping, Spiritual

Discontent, dan Interpersonal Religious Discontent.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koping Religius

Faktor-faktor yang mempengaruhi koping religius menurut Thouless (2000, hlm: 34) meliputi:

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

(faktor sosial)

Pendidikan sangat mempengaruhi penggunaan koping

religius atau tidak dalam hidup seseorang, terlebih pendidikan dari keluarga. Menurut Rasulullah saw fungsi dan peran orangtua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap bayi yang terlahir sudah memiliki potensi beragama, namun bentuk keyakinan agama yang dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka (Jalaluddin, 1996, hlm: 204). Apabila orang tua tidak memberikan contoh sikap atau didikan keagamaan pada anak sehingga anak tidak memiliki pengalaman keagamaan maka ketika dewasa ia akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama. (Jalaluddin, 1996, hlm: 69). Lain halnya jika orang tua telah memperkenalkan konsep keimanan kepada Tuhan dan membiasakan anak pada ritual keagamaan sejak kecil, maka sikap keagamaannya pun akan menjadi positif.


(37)

25

Namun faktor pendidikan keluarga bukan menjadi

satu-satunya penentu rasa keagamaan seorang individu, melainkan juga peran pendidik dalam lingkup formal. Seorang guru (terutama guru agama) memiliki tugas yang cukup berat dalam meluruskan pemahaman dan keyakinan anak yang terdidik dalam keluarga yang rusak pengetahuan keagamaannya. Apabila guru agama di Sekolah Dasar mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja menjadi mudah dan anak akan memiliki pegangan serta bekal dalam menghadapi berbagai kegoncangan yang biasa terjadi pada masa remaja (Zakiah Daradjat, 1970, hlm:69).

b. Pengalaman

Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan,

terutama pengalaman-pengalaman mengenai:

1. Keindahan, Keselarasan, dan kebaikan di dunia lain

2. Konflik moral (faktor moral)

3. Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)

Pengalaman seorang individu atau pengalaman orang lain

juga turut mempengaruhi penggunaan koping religius pada seorang individu. Misalnya pengalaman Prof. Mohammad Sholeh yang rutin melaksanakan ibadah sholat tahajud dan mendapat manfaat dari ke


(38)

26

penggunaan koping religius (dalam hal ini adalah sholat tahajud) bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari

kebutuhan-kebutuhan terhadap:

1. Keamanan

2. Cinta kasih

3. Harga diri

4. Ancaman Kematian

d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual)

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Sikap keagamaan adalah keputusan untuk menerima atau menolak terhadap ajaran suatu agama. keagamaan adalah apabila keputusan untuk menerima itu membuat individu menginternalisasi ajaran agama tersebut ke dalam dirinya. faktor ini menyangkut proses pemikiran secara verbal terutama dalam pembentukan keyakinan‐keyakinan agama.

Jadi, beberapa hal yang dapat mempengaruhi koping religius antara lain pengaruh pendidikan, berbagai tekanan sosial (faktor sosial), pengalaman keagamaan, faktor yang tumbuh dari kebutuhan yang tidak terpenuhi (keamanan, cinta kasih, hrga diri, kematian), serta berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual).


(39)

27

B. Janda pada Masa Dewasa Madya 1. Pengertian Janda Dewasa Madya

Hilangnya pasangan, bagi wanita disebut dengan janda. Sedangkan pada pria disebut dengan duda. Hilangnya pasangan dapat disebabkan oleh adanya kematian atau perceraian.

Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi, Mappiare, 1983, hlm:19).

Janda dewasa madya menurut Hurlock (1980, hlm: 320) adalah rentang kehidupan manusia yang terbagi menjadi dua bagian, meliputi: usia madya dini dari usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun dan usia dewasa madya lanjut yang dimulai dari usia 50 tahun sampai dengan 60 tahun.

Menurut Santrock, periode perkembangan pada masa dewasa madya dimulai pada usia kurang lebih 35-45 hingga 60 tahun. bagi sebagian besar orang masa dewasa madya adalah masa dimana terjadi penurunan keterampilan fisik dan meluasnya tanggung jawab; sebuah periode dimana seseorang menjadi lebih sadar mengenai polaritas usia muda dan berkurangnya jumlah waktu yang masih tersisa didalam hidup. Masa dewasa madya mencakup “suatu titik ketika individu berusaha meneruskan sesuatu yang berarti pada generasi berikutnya;


(40)

28

dan suatu masa ketika orang mencapai dan mempertahankan kepuasan dalam karirnya” (Santrock, 2002, hlm:139).

Beberapa pandangan tentang fase dewasa madya akan menjelaskan bagaimana mereka melalui dan memasuki masa transisi dalam kehidupannya. Erikson memahami bahwa orang dewasa usia tengah baya menghadapi persoalan hidup yang signifikan. Diantaranya yakni generativitas, generativitas meliputi rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap dapat dikerjakan guna meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya (Larassati: 2013).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, kesimpulan janda dewasa madya adalah masa pertengahan wanita mulai dari umur 40 tahun sampai 60 tahun. Masa ini merupakan masa penurunan fisik maupun psikologis, masa kepuasan karir, masa untuk membesarkan dan mendidik buah hati untuk meraih masa depan.

2. Karakteristik Dewasa Madya

Masa dewasa madya memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan pada masa dewsa awal, berikut ini karakteristik dewasa madya (Hurlock, 1980, hlm: 320-324).

a. Masa yang Ditakuti

Usia madya merupakan periode yang menakutkan,


(41)

29

usia tersebut. Alasan mereka tidak mau mengakui karena fikiran negatif yaitu: tentang kerusakan mental, penurunan fisik, berhentinya reproduksi menopause dan klimaterik, mereka merasa tidak dihormati lagi, mereka menjadi rindu pada masa muda mereka dan berharap kembali masa muda mereka.

b. Usia Madya merupakan Masa Transisi

Usia madya merupakan masa dimana wanita meninggalkan

ciri-ciri jasmaninya dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku baru. Transisi berarti penyesuaian diri terhadap minat, nilai dan pola perilakunya yang baru.

c. Usia Madya adalah Masa Stres

Maksudnya penyesuaian secara radikal terhadap peran dan

pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostasis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stres, suatu masa bila sejumlah penyesuaian pokok yang harus dilakukan di rumah, bisnis dan aspek sosial kehidupan mereka.


(42)

30

Merupakan suatu masa dimana seseorang mengalami

kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan. Timbulnya penyakit jiwa datang dengan cepat dikalangan pria dan

wanita, dan gangguan ini berpuncak pada suicide (bunuh diri),

khususnya dikalangan pria.

e. Usia Madya adalah “Usia Canggung”

Wanita yang berusia madya bukan “muda” lagi tapi bukan

juga tua. Kemudian mereka merasa tidak dianggap. Orang-orang yang berusia madya sedapat mungkin berusaha untuk tidak dikenal oleh orang lain.

f. Usia Madya adalah Masa Berprestasi

Merupakan masa dimana peran orang yang berusia madya

akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apabila dewasa madya mempunyai kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari masa-masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya.


(43)

31

Wanita mencapai puncak prestasinya, maka masa ini juga

merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi mereka semula dengan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.

h. Usia Madya Merupakan Masa Sepi

Ketika anak-anak sudah tidak lagi tinggal dirumah, banyak

yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam sebuah rumah yang berpusat pada keluarga (family-centered home), umumnya orang dewasa menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rumah yang berpusat pada pasangan suami istri. Keadaan ini terjadi selama masa-masa mengasuh anak, suami dan isteri selalu berkembang terpisah dan mengembangkan minat masing-masing. Akhirnya, mereka hanya memiliki sedikit persamaan setelah minat mereka terhadap anak-anak berkurang dan ketika mereka harus saling menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya. Terbukti juga bahwa, periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat traumatik bagi wanita daripada bagi pria. Hal ini benar khususnya pada wanita yang telah menghabiskan masa-masa dewasa mereka dengan pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka yang kurang memiliki minat atau sumber daya untuk mengisi waktu senggang mereka pada waktu pekerjaan rumah tangga berkurang atau selesai. Banyak


(44)

32

yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan. Kondisi yang serupa juga dialami pria ketika mereka mengundurkan diri dari pekerjaan.

i. Usia Madya merupakan Masa Jenuh

Merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Para wanita menjadi jenuh dengan kegiatan sehari-hari dan dalam kehidupan keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan.

Berdasarkan karakteristik dewasa madya diatas, dapat disimpulkan bahwa masa ini adalah masa rawan terhadap perubahan fisik maupun psikis, apabila tidak mampu mengatasi perubahan siklus kehidupan akan menimbulkan ketidakbahagiaan yang mendorong akan timbulnya ketidakpuasan dalam menjalani kehidupan.

3. Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya

Adapun tugas-tugas perkembangan pada dewasa madya menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980: 10) adalah sebagai berikut:

a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara. b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa


(45)

33

c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa. Aktivitas dan memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya bersama orang-orang dewasa lainnya.

d. Menghubungkan diri sedemikian rupa dengan pasangannya (dengan suami atau istri) sebagai seorang pribadi yang utuh.

e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan psikologis yang lazim terjadi pada masa setengah baya.

f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan.

g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua

Jadi dapat disimpulkan ada tujuh bagian dalam tugas perkembangan, yaitu: tanggung jawab sebagai orang dewasa, membantu anak, mengembangkan kegiatan, menjaga hubungan suami-istri, menerima perubahan yang ada, mempertahankan prestasi, dan menyesuaikan diri dengan orang tua.

C. Janda Pasca Kematian Pasangan Hidup 1. Pengertian Menjanda

Janda berarti perempuan yang tidak bersuami lagi, baik karena cerai maupun karena ditinggal mati oleh suaminya (Departemen Pendidikan Nasional, 2003, hlm:457). Janda merupakan perempuan yang tidak memiliki pasangan dan status kesendirian karena berpisah dengan suami setelah dikumpuli, baik berpisah karena dicerai maupun


(46)

34

karena ditinggal mati. Pria maupun perempuan yang telah menikah dan telah bercampur kemudian berpisah, baik disebabkan karena

perceraian berstatus sama. Hanya karena frame budaya yang

memberikan kekuasaan kepada pria atas perempuan dan lebih banyak menunjukkan status kaum perempuan, sebagai janda (Munir, 2009, hlm:33).

Menurut Santrock, (2002, hlm:274) Masa menjanda dapat dialami dalam berbagai cara yang berbeda (Lopata, 1987, O’Bryant, 1991). Beberapa janda ada yang pasif, menerima perubahan yang disebabkan kematian suaminya.Yang lain memperoleh kemampuan-kemampuan pribadi dan barangkali tetap berkembang di masa menjandanya.

Status janda bukanlah posisi yang menguntungkan bagi perempuan secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Kondisi yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali mengundang barganing position kaum ini ketika berhadapan dengan kaum pria. Kaum janda kadang ditempatkan sebagai perempuan pada posisi yang tidak berdaya, lemah, dan perlu dikasihani sehingga dalam kondisi sosial budaya yang patriarkhi seringkali terjadi ketidakadilan terhadap kaum perempuan, khususnya kaum janda (Munir, 2009, hlm: 144).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa janda merupakan status wanita yang tidak bersuami lagi karena terpisah oleh kematian atau perceraian pasangan hidup.


(47)

35

2. Masalah Umum Masa Menjanda

Seorang janda akan mengalami permasalahan secara umum digambarkan oleh Hurlock (1980, hlm: 361) yaitu:

a. Masalah ekonomi

Beberapa janda mempunyai situai keuangan yang lebih baik dari waktu mereka masih hidup berkeluarga, tetapi mereka ini merupakan pengecualian, karena di luar kenyataan umum. Namun ada janda yang menemukan dirinya dalam lingkungan ekonomi yang jauh berkurang, kecuali suaminya telah meninggalkan kehidupan yang cukup dan telah mengasuransikan berbagai aspek kehidupannya. Pendapatan yang menurun menyebabkan ia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai sebagaiman kehidupan sebelumnya.

b. Masalah sosial

Usia dewasa awal yang kehidupan sosialnya berorientasi pada pasangan, ketika suaminya meninggal maka seorang janda akan menemuka n bahwa tidak ada tempat untuknya apabila berada diantara pasangan yang menikah. Kemampuan ekonomi yang rendah mengakibatkan seorang janda tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di masyarakat.

c. Masalah praktis

Mencoba untuk menjalankan rumah tangga sendiri setelah terbiasa dibantu suami, misalnya membetulkan peralatan rumah tangga,


(48)

36

akan menambah ketegangan seiring dengan menurunnya pendapatan karena ia harus mengupah orang lain.

d. Masalah seksual

Karena merasa frustasi beberapa janda mengatasi masalah kebutuhan seksual dengan melakukan hubungan gelap dengan pria bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup bersama tanpa menikah atau dengan menikah serta bermasturbasi.

e. Masalah tempat tinggal

Hal ini tergantung pada dua kondisi, yaitu bila status ekonominya tidak memungkinkan, seorang janda akan pindah ke rumah yang lebih kecil. Dan kondisi kedua adalah apakah janda mempunyai seseorang untuk bisa diajak tinggal bersama.

Berdasarkan paparan diatas, mengenai masalah umum pada janda yaitu masalah ekonomi, sosial, praktis, seksual, dan tempat tinggal.

3. Pengertian Pasca Kematian Pasangan Hidup

Menurut Hurlock (1980, hlm: 359-360) menyatakan bahwa Hilangnya pasangan hidup karena kematian, menimbulkan banyak masalah penyesuaian diri bagi pria dan wanita usia madya. Hal ini lebih menyulitkan secara khusus bagi wanita. Kecuali bila kematian didahului oleh penyakit lama, kebanyakan pria dan wanita berusia madya mengalami rasa duka cita yang amat selama jangka waktu


(49)

37

tertentu. Jangka waktu, sebagaimana dijelaskan oleh Conroy, mempunyai 4 tahap:

a. Pertama, hilang semangat hidup, apabila orang itu tidak sanggup

menerima kenyataan atas kematian satu-satunya yang dicintai

b. Kedua, hidup merana, yang ditandai dengan usaha untuk terus

mengenang masa silam dan ingin sekali melanjutkannya

c. Ketiga, Depresi, karena kesadaran bahwa suaminya telah tiada

dan mendorongna untuk mencari kompenssi seperti obat-obatan

d. Keempat, bangkit kembali ke masa biasa dimana ia telah

menerima dengan rela kematian suami yang dicintanya dan mencoba membangun pola hidup baru dengan berbagai minat dan aktifitas untuk mengisi kekosongan

Sedangkan menurut Santrock (2002, hlm: 273) Tidak mengejutkan bahwa kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan dan meningkatnya angka kematian dari rata-rata normal. (Zisook, Schuchter, dan Lyous, 1987).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa janda pasca kematian pasangan hidup dapat memperburuk kondisi fisik maupun psikis seseorang. Tergantung cara individu untuk dapat memahami kehilangaan pasangan hidup.


(50)

38

D. Koping Religius pada Janda Dewasa Madya Pasca Kematian Pasangan Hidup

Dalam strategi koping religius ini Pargament (1997) tidak mempermasalahkan cara beragama yang baik atau buruk, ia lebih menekankan bahwa dalam hubungan seseorang dengan agamanya, agama dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas koping. Agama berperan penting dalam proses penyelesaian masalah, agama berpengaruh terhadap bagaimana orang memahami makna berbagai persoalan. (Muslimah dan Siti, 2013).

Salah satu persoalan yang sulit diterima oleh janda dewasa madya adalah meninggalnya pasangan hidup. Sebagaimana menurut (Hurlock, 1980, hlm: 359) hidup menjanda merupakan masalah utama bagi wanita. Seorang janda akan mengalami permasalahan secara umum yaitu masalah ekonomi, masalah sosial, masalah praktis, masalah seksual, dan masalah tempat tinggal.

Maka dari itu, dibutuhkan adanya koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Hal ini sesuai pemaparan yang disampaikan oleh Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) yang mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang memperkuat penelitian tentang stres pasca kematian pasangan hidup yaitu penelitian yang dilakukan oleh (Zulfiana, Cahyanig, dan Zainul, 2012) merupakan


(51)

39

penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga. Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh (Sawitri, 2012) menunjukkan bahwa penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami bagaimana subjek menjalani hidup sepeninggal suami. Informan ini dari seorang partisipan wanita berusia 50 tahun, dengan 2 anak, yang telah menjadi janda selama 8 tahun. Suami yang lebih tua 1 tahun darinya meninggal karena serangan jantung pada tahun 1999, setelah 15 tahun pernikahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima tema utama yang dapat dimunculkan dari data, yaitu sosok suami dalam keluarga, ketika yang ada menjadi tiada, dukungan dari almarhum keluarga suami, ketika permasalahan memuncak, dan menjalani hidup saat ini.


(52)

40

E. Perspektif Teoritis

Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun sampai pada umur 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi, Mappiare, 1983, hlm:19). Janda dapat disebabkan oleh adanya kematian atau perceraian.

Kematian pada usia madya lebih sering terjadi pada pria dari pada

wanita. Oleh karen itu, hidup menjanda merupakan masalah utama bagi wanita. Masalah yang dihadapi selama masa menjanda merupkan masalah utama bagi wanita (Hurlock, 1980, hlm:360). Kematian pasangan hidup merupakan masa yang paling sulit, yang dampaknya melibatkan kehancuran ikatan yang telah lama terjalin, munculnya peran dan status baru, kekurangan keuangan, dan depresi. (Santrock, 2002, hlm: 273). Sebaliknya janda yang mempunyai koping religius akan mampu menghadapi stres ataupun depresi dalam hidupnya.

Koping religius janda pasca kemtian pasangan hidup dapat dilihat

dengan pendekatan psikologi perkembangan yaitu teori ekologis Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) mengungkapkan bahwa pandangan sosiokultural tentang pekembangan terdiri dari lima sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dn kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkunngan. Mesosistem adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga dengan pengalaman teman sebaya (Donna dan Suzanne, 2012).


(53)

41

Menurut Sigelman dan Rider (2012) ekosistem adalah keterkaitan

setting social dan karakter individu tidak secara langsung menentukan pengalaman hidup, melainkan lingkungan sosial dapat mewakili karakter individu pada masa dewasa. Sedangkan makrosistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kronosistem adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang dilihat dari kurun waktu peristiwa terjadi (Sntrock, 2002, hlm: 53).

Berdasarkam lima sistem lingkungan teori ekologi Bronfenbreuner

(1979 dalam Santrock, 2002) peneliti fokus pada makrosistem untuk menggambarkan adanya keterkaitan perilaku dan keyakinan individu dalam penggunaan koping religius sebagai dukungan terhadap penyesuaian janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Pernyataan ini didukung hasil penelitian Rammohan, Rao, dan Subbakrisna, (2002 dalam Utami, 2012) bahwa melalui berdoa, ritual, dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping pada saat kehidupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan. Hasil penelitian Peres, Almeida, Nasello, dan Koenig (2007 dalam Octarina dan Tina, 2013) menyebutkan bahwa saat mengalami peristiwa traumatik atau peristiwa menekan, banyak orang menggunakan koping yang didasarkan pada keyakinan agamanya.


(54)

42

Masyarakat cenderung menghakimi dan memberi label buruk serta

kejam kepada para janda tanpa pernah melihat berbagai faktor penyebab atau kondisi perempuan menjanda. Stigma negatif orang terhadap status janda memang tak bisa dihindari. Pada wanita, status janda adalah satu tantangan emosional yang paling berat. Di dunia ini tidak akan ada seorang wanita yang merencanakan jalan hidupnya untuk menjadi janda baik karena kematian suami atau bercerai dengan pasangan hidupnya. Papalia dkk, (2001 dalam Zulfiana, Cahyaning, dan Zainul, 2012) menyatakan bahwa wanita janda memiliki tingkat peningkatan depresi, setidaknya selama lima tahun pertama setelah kematian.

Maka dari itu, diperlukan adanya koping yang sesuai untuk mengatasi depresi atau stres pada janda pasca kematian pasangan hidup. Menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.

Terdapat dua pola dalam koping religius yaitu koping religius

positif dan koping religius negatif. Koping religius positif merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan dimana ada sesuatu yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual dalam berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya koping religius negatif melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan terhadap dunia, dan


(55)

43

perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara atau berdialog dengan orang lain dalam kehidupan Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012).

Di Indonesia ada beberapa kepercayaan dalam memeluk agama,

Islam adalah salah satu agama yang menekankan sebagai aturan yang

komprehensif sebagai cara hidup. Konsep Ad-din dalam Islam

menyiratkan pemahaman semua hidup sehari-hari ke dalam tindakan beribadah yang menyatukan kehidupan konsisten dengan prinsip-prinsip tawadu’ (keesaan Allah) dari kesatuan ilahi. Al-Quran surat An-Nisa’ (4): 125                            

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang

yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An-Nisa’ (4): 125)

Ajaran Islam dan praktek atau Ad-Din harus dapat membuat

Muslim yang dinamis dan bergerak maju. Maju dalam pencarian mereka dari pemurnian diri, self-perspektif melalui ibadah, tindakan yang berlangsung pada pengetahuan dan melakukan tindakan tanpa pamrih. Kepribadian agama di sisi lain adalah manifestasi dari pandangan agama seseorang dalam melakukan yang benar (dikenal sebagai amal soleh). Hal ini juga terkait dengan cara tertentu seseorang mengekspresikannya, ciri individu menyesuaikan dengan berbagai situasi, seperti yang dinyatakan


(56)

44

oleh Krauss et al. (2005). Dia menambahkan bahwa kepribadian agama terdiri dari perilaku individu, sikap, motivasi dan emosi yang membantu untuk menentukan ukuran kesalehan seorang muslim menurut ajaran Islam dan perintahNya. (Krauss et al., 2005) menyatakan bahwa memiliki kepribadian agama juga dapat dijadikan sebagai tindakan pencegahan terhadap stres, kecemasan dan depresi. Radzi, dkk (2013).

Berdasarkan penjelasan diatas, kesimpulan koping religius janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup adalah janda berusia 40 sampai dengan 60 tahun yang mengalami penyesuaian diri karena kematian pasangan hidup. Wanita ini terbebas dari gejala depresi ditandai dengan adanya usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan, mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang Allah yang merujuk pada teori Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012). Pendekatan psikologi perkembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm 50) fokus pada makrosistem untuk menggambarkan kebudayaan dimana individu hidup yang menyebabkan kepercayaan dalam membentuk koping religius janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.


(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian yang mengangkat judul koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup ini adalah metode kualitatif. dimana metode ini menurut Prastowo, A (2011, hlm:22), Metode penelitian kualitatif ini sering disebut “metode penelitian naturalistik” karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) ada juga yang menyebutnya sebagai metode etnografi karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya. Sehingga penelitian kualitatif secara umum bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka Herdiansyah (2012, hlm: 10).

Jenis atau strategi yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah fenomenologi. Menurut Ghony & Fauzan (2012, hlm: 58) secara sederhana penelitian fenomenologi ini memfokuskan diri pada konsep suatu fenomena tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk melihat dan memahami arti dari suatu pengalaman individu yang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu. Sehingga fenomenologi berusaha untuk mengungkap dan mempelajari serta memahami suatu fenomena beserta konteksnya yang khas


(58)

46

dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran “keyakinan” individu yang bersangutan (Herdiansyah, 2010). Dalam konteks penelitian yang akan dikaji ini fokus utamanya adalah koping religius pada janda dewsa madya pasca kematian pasangan hidup

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di rumah masing-masing subjek, sebanyak 3 orang subjek dalam penelitian ini tinggal berdekatan di dusun Krajan, desa Mlilir, Kecamatan berbek, Kabupaten Ngnjuk. Rumah subjek I dengan subjek II berdekatan selisih empat rumah berjarak kurang lebih 50 meter. Sedangkan rumah subjek III berbeda dusun yaitu berada di dusun tulungsari. Peneliti mengambil rumah subjek sebagai lokasi penelitian karena akan memberikan rasa nyaman dan aman bagi subjek untuk memberikan informasi tentang koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup melalui wawancara maupun observasi.

C. Sumber Data

Penelitian kualitatif dengan model fenomenologi menurut Dukkes (1984 dalam Creswell, 2010, hlm: 126) “recommends studying 3 to 10 subject and in one phenomenology”. Subjek penelitian yang digunakan pada penelitian model fenomenologi minimal 3 sampai 10 subjek dalam satu


(59)

47

fenomena. Pada penelitian ini peneliti menggunakan 3 subjek janda dewasa madya berusia 40 sampai dengan 60 tahun.

Untuk kriteria lanjutan sebagai subjek penelitian adalah sebagai berikut:

1. Wanita berusia 40-60 tahun

Wanita berusia 40-60 tahun merupakan wanita di usia dewasa madya. (Hurlock, 1980, hlm: 320-324) memaparkan dari berbagai karakteristik usia madya, salah satunya adalah terjadinya masa sepi di usia madya. Masa sepi ini dirasakan ketika anak-anak tidak lagi tinggal bersama orang tuanya, sehingga usia madya merasakan kesepian dan kebosanan di dalam rumah. Kemungkinan besar wanita di usia ini, apabila telah ditinggal oleh suaminya berakibat lebih terpuruk bila kurang mampu menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang ada.

2. Berstatus janda karena kematian pasangan hidup

Berstatus janda karena kematian pasangan hidup kondisinya sangat berbeda dengan berstatus janda karena perceraian. Menurut penelitian Mailany, I dan Afrizal, S (2013) menyatakan hasil penelitiannya bahwa janda akibat perceraian mengalami masalah yang paling banyak adalah pada kehidupan berkeluarga yaitu pada askpek hubungan dengan keluarga pihak suami. Sedangkan pada janda akibat kematian mengalami maslah terbanyak pada kehidupan pribadi yaitu aspek kehidupan jasmani dan kesehatan. Tidak heran bahwa fenomena yang ada ketika seorang suami meninggal, selang tak berapa lama istrinya juga ikut meninggal akibat


(60)

48

sakit. Kemungkinan besar, sakit yang dideritanya karena merasa kehilangan suami karena hubungan yang sudah lama terjalin, belum lagi ditambah oleh masalah yang lain. Sehingga menjadi beban pikiran, kesehatan menurun dan mengikuti ketiadaan suami. Subjek memilih janda karena menurut (Santrock, 2002, hlm: 273), terdapat lebih dari 12 milyar janda di Amerika Serikat; orang yang menjadi janda jumlahnya lima kali lipat melebihi duda yang ada. Kebanyakan wanita di Indonesia menikah dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua, sehingga kemungkinan besar yang lebih awal meninggal adalah pasangan lelakinya.

3. Pasca kematian pasangan hidup 1-5 tahun

Menurut penelitian Papalia dkk, (2001 dalam Zulfiana, Cahyaning, dan Zainul, 2012) menyatakan bahwa wanita janda memiliki tingkat peningkatan depresi, setidaknya selama lima tahun pertama setelah kematian.

4. Beragama islam

Peneliti memilih subjek yang beragama islam guna untuk mempermudah penggalian data. Memilih koping religius karena menurut Richard P dan Susan (2010, hlm: 259) semakin orang bertambah tua, semakin memiliki kemampuan yang baik untuk memilih strategi coping yang lebih tepat. Wanita dewasa madya kemungkinan lebih cenderung menggunakan koping yang berfokus pada emosi, sehingga ketika ditinggal oleh suami akibat kematian pasangan hidup lebih bisa menerima dengan ikhlas bahwa semuanya merupakan takdir dari Allah.


(61)

49

Penelitian ini meneliti topik yang termasuk sensitif, yaitu kehidupan janda dewasa madya yang merupakan privasi seseorang untuk diungkap keluar. Maka identitas subjek disamarkan untuk menjaga kerahasiaan. Adapun profil subjek pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Subjek I

Nama : A

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 19 Mei 1972

Agama : Islam

Usia : 44 tahun

Pendidikan : SD

Status : Janda

Pasca meninggal suami : 2 tahun

Anak ke : 5

Jumlah saudara : 6

Memiliki anak : 2

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Desa Mlilir

Peneliti memilih subjek ini, karena subjek berstatus janda berusia 43 tahun. Subjek mudah menerima kehadiran orang lain termasuk peneliti. Subjek juga berterus terang dengan status janda yng disandangnya karena kematian pasangan hidup.

2. Subjek II

Nama : B

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 21 April 1971

Agama : Islam

Usia : 45 tahun

Pendidikan : SD

Status : Janda

Pasca meninggal suami : 2 tahun


(62)

50

Jumlah saudara : 2

Memiliki anak : 2

Pekerjaan : Buruh tani

Alamat : Desa Mlilir

Peneliti memilih subjek ini, karena subjek pernah menceritakan kepada tetangganya akan keterpurukannya pasca meninggalnya suami, akan tetapi subjek telah disadarkan oleh tetangganya bahwa semuanya adalah kehendak Allah. Dan subjek tetap berkomunikasi dengan orang lain walaupun menyandang status janda.

3. Subjek III

Nama : C

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 12 Juni 1966

Agama : Islam

Usia : 50 tahun

Pendidikan : SMP

Status : Janda

Pasca meninggal suami : 1 tahun

Anak ke : 1

Jumlah saudara : 5

Memiliki anak : 2

Pekerjaan : Penjahit

Alamat : Desa Mlilir

Peneliti memilih subjek ini karena subjek mudah menerima kehadiran orang lain termasuk peneliti. Subjek juga berterus terang dengan status janda yang disandangnya.

Sumber data pendukung atau significant other berfungsi untuk mengecek kebenaran hasil wawancara. Adapun yang menjadi signifikan other dalam penelitian ini adalah 2 orang dari masing-masing subjek. Informan 1


(63)

51

dari keluarga atau saudara subjek, sedangkan informan 2 diambil dari tetangga subjek.

1. Informan 1 subjek A

Nama : SI

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 7 Januari 2001

Agama : Islam

Usia : 15 tahun

Status : Siswa (MTs) :

Alamat : Desa Mlilir

No Tlp : -

Peneliti memilih anak kandung kedua subjek sebagai sumber data pendukung (significant other) karena anak kandung tinggal serumah dengan subjek. Anak kandung diduga mengetahui tentang subjek.

2. Informan 2 subjek A

Nama : BI

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 25 September 1989

Agama : Islam

Usia : 27 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Desa Mlilir

No Tlp : -

Peneliti memilih tetangga terdekat subjek yang biasanya bergurau dengan subjek. Tetangga sebelah rumah diduga sangat dekat dengan subjek. Setiap kejadian apapun dia selalu berbicara dengan tetangga.

1. Informan 1 subjek B

Nama : MI

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 14 Agustus 1973

Agama : Islam

Usia : 43 tahun


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Gambaran koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup digambarkan dengan koping religius yang sangat kuat pada subjek, khususnya koping religius positif, karena mereka merasa sangat bergantung kepada Allah dan sangat membutuhkan Allah, dengan adanya peran dari Allah itu sendiri maka subjek merasakan banyak manfaat menjadi lebih bersabar dan ikhlas dalam mengahdapi masalah hidup pasca kematian pasangan hidup. Seakan waktu tidak terlepas dari pertolongan Allah, sehingga subjek lebih mampu mengambil pelajaran dalam hidup. Hanya beberapa kasus yang merasa pernah mengeluh namun setelah beberapa waktu dan karena intensitas mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat sekitar serta seringnya berkumpul dengan oranglain menjadikannya mampu memahami dan menerima apa yang menimpanya. Dalam kasus ini semua subjek cenderung menanggap musibah itu baik, dan dijadikan pelajaran bagi mereka. Ketika ada maslah subjek juga lebih sering menyelesaikan dengan cara lebih mendekatkan diri kepada Allah serta dengan mengintropeksi diri mereka kembali, dengan adanya masalah tersebut.


(2)

97

2. Dampak psikologis koping religius pada janda dewasa madya berperan baik dalam memberikan dukungan kenyamanan hidup subjek, karena subjek sangat percaya bahwa Allah akan membimbing mereka dengan memberikan solusi kepadanya. Sikap subjek dalam menghadapi musibah berdasarkan nilai-nilai religiusitas mampu memberikan dampak yang positif bagi psikologis subjek, juga mengurangi tekanan pada diri ketiga subjek. Hal inilah yang membuat hati subjek lebih tenang, nyaman, sabar, menghilangkan stres, memudahkan kehidupan, dan lebih bisa berpikir positif dalam menghadapi masalah kehidupan pasca kematian pasangan hidup.

B. Saran

1. Bagi ibu yang berperan sebagai orangtua tunggal

Pada penelitian ini menghasilkan bahwa banyak hal positif yang bisa dilakukan oleh seorang ibu yang berstatus janda untuk mampu menyelesaikan masalah demi masalah dengan tidak melupakan unsur agama, karena agama menjadi pedoman hidup yang menjadikan seseorang tenang, tentram, baik dunia maupun akhirat. Sehingga dengan adanya agama mampu menurunkan rasa tekanan ketika ada masalah.

2. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat

Bagi konselor dilembaga swadaya baik formal maupun informal perlu membangun kembali harapan positif yang berkenaan dengan penanganan


(3)

98

kecemasan pada janda pasca kematian pasangan hidup melalui koping religius.

3. Bagi masyarakat luas

Bagi masyarakat sekitar yang memiliki anggota keluarga atau tetangga yang berstatus janda tidak perlu ikut mencela mereka.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya yang ingin membahas tentang koping religius diharapkan membandingkan dengan jenis kelamin yang lain (duda) supaya mendapatkan gambaran koping religius yang lebih menyeluruh dengan memperhatikan kedalaman melakukan wawancara dan observasi. Sebaiknya peneliti yang ingin menggunakan topik yang serupa, melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif.


(4)

99

DAFTAR PUSTAKA

Akmalia. (2013). Pengelolaan Stres Pada Ibu Single Parent. Humanitas Indonesian Psychological Journal. 1, 1-18

Angganantyo, W. (2014). Coping Religius pada Karyawan Muslim Ditinjau dari Tipe Kepribadian. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 2 (1), 50-61

Anggraini. 2014. Religious Coping dengan Stres pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi: Universitas Muhammadiyah Malang, 2 (1), tanpa halaman Balgies, S. (2012). Wawancara, Teori&Aplikasi dalam Psikodiagnostik.

Surabaya: SA Press Anggota IKAPI

Bungin, B. (2001) Metodologi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif. Yogyakarta:Gajah Mada Press

Chan, C. S and Jean E. R (2012). Religious Coping, Posttraumatic Stress, Psychological Distress, and Posttraumatic Growth Among Female Survivors Four Years after Hurricane Katrina. Journal of Traumatic Stress. 26 (tanpa nomer), 257-265

Daradjat, Z. (1970). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Donna & Suzane. (2012). Funtional Movement Development AcrossThe Life Span. United Stated: Elvesier

http://www.beritadunia.net/berita-dunia/asia-tenggara/miris,-seperempat-kepala-keluarga-indonesia-adalah-janda-miskin (diunduh pada tanggal 10 April 2016)

Hadi, S. (2004). Metodologi Research Untuk Penulisan Laporan Skripsi, Thesis, dan Disertasi. Jilid 2. Yogyakarta: Andi Press

Hurlock. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Jalaluddin. (1996). Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Juniarly, A (2012). Peran Koping Religius dan Kesejahteraan Subjektif terhadap Stres pada Anggota Bintara Polisi di Polres Kebumen. PSIKOLOGIKA. 17 (1), 5-16

Kim, P. Y, Dana, dan Marcia (2015), Religious Coping Moderates the Relation between Racism and Psychological Well-Being among Christian Asian


(5)

100

American College Students. Counseling Psychology Commons. 41 (tanpa nomer). 1-24

Larassati (2013). Kebermaknaan Hidup pada Usia Dewasa Madya Menghadapi Pengisian Sarang Kosong. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 2 (3), 184-193

Mailany, I dan Afrizal. S (2013). Permasalahan yang Dihadapi Single Parents di Jorong Kandang Harimau Kenagarian Sijunjung dan Implikasinya terhadap Laynan Konseling. KONSELOR Jurnal Ilmiah Konseling, 1 (2), 76-82

Mappiare, A. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional

Moleong, L. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Munir, A. (2009). Kebangkitan Kaum Janda: Akar Teologis Spiritual Kaum Papa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Muslimah & Siti. (2013). Tingkat Kecemasan dan Strategi Koping Religius terhadap Penyesuaian Diri pada Pasien HIV/AIDS Klinik VCT RSUD Kota Bekasi. Journal Soul, 6 (2). tanpa halaman

Naution, (1996). Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Gunadarma

Nurasiki, M. S, dkk (2012). Religiousness, religious coping methods and distress level among psychiatric patients in Malaysia. International Journal of Social Psychiatry. 0 (0), 1-7

Octarina dan Tina (2013). Efektifitas Pelatihan Koping Religius untuk Meningkatkan Resiliensi pada Perempuan Penyintas Erupsi Merapi. Jurnal Intervensi Psikologi, 5 (1), 95-110

Pargament, K. I. (1997). The Psychological of Coping and Religion. New York: The Guilford Press

Pitasari dan Rudi (2014) dengan judul. Coping pada Ibu yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal Pasca Kematian Suami. JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. 3 (1), 37-41

Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Perfecta


(6)

101

Radzi dkk (2014). Religious and Spiritual Coping Used by Student in Dealing with Stress and Anxiety. International Journal of Asian Social Science, 4 (2), 314-319

Richard P. Halgin & Susan. (2010). Psikologi Abnormal Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologis. Jakarta: Salemba Humanika

Santrock, J. W. (2002). Life Span Development Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga

Sawitri, D. R. (2012). Menjalani Hidup Sepeninggal Suami: Kenangan, Perjuangan, dan Harapan. Jurnal Psikologi, 3 (4), 1-10

Sigelmen, C. K & Rider, E. A. (2012). Life-Span Human Devlopment. Canada: Wadswort Cencage Learning

Thouless. (2000). Pengantar Psikologi Agama. Terj: Husein. Cet:1. Jakarta: Rajawali Press

Utami, M. S. (2012). Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan Subjektif. JURNAL PSIKOLOGI, 39 (1), 46-66

Zulfiana, U, Cahyaning, & Zainul. (2012). Menjanda Pasca Kematian Pasangan Hidup. Journal Online Psikologi, 1 (1), 1-17