MUSYAWARAH DALAM SURAT ALI IMRON 159 MENURUT PERSPEKTIF PARA MUFASSIR.

(1)

MUSYAWARAH DALAM SURAT ALI IMRON 159

MENURUT PERSPEKTIF PARA MUFASSIR

Skripsi

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

ACHMAD DHAFIR (E03211003)

STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN Al-QUR’AN DAN HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Achmad Dhafir. Musyawarah dalam surat Ali-Imron 159 menurut perspektif para mufassir.

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana penafsiran para mufassirin dalam menafsirkan Surah Ali Imron ayat 159, karena dari penafsiran - penafsiran akan ada basis yang berbeda-beda. Serta kekurangan dan kelebihan dari model penafsiran tersebut.

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memaparkan dan memproporsionalkan penafsiran Para Mufasir dalam menafsirkan Surah Ali Imron ayat 159. Supaya bisa dipahami sebagaimana mestinya. Karena dari penafsiran para mufassir yang berbeda ini memunculkan pemahaman - pemahaman yang yang berbeda pula. Sehingga dari penafsiran yang berbeda dapat dipahami sebagaimana mestinya dan bisa sesuai dengan keadaan zaman yang berkembang.

Dalam menjawab permasalahan di atas, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan metode penyajian data secara

deskriptif dan analitis. Deskriptif analitis adalah menggambarkan bagaimana model penafsiran Para Mufassir dalam menafsirkan surah Ali Imron ayat 159.

Penelitian ini dilakukan karena adanya perbedaan penafsiran antara Mufassir Klasik dan Modern, yang sudah memiliki basis masing-masing. Penafsiran. Klasik yang didominasi oleh tafsir bi al-Ma’tsur berbasis Quasi kritis, sedangkan penafsiran Modern (Modern kontemporer) telah berbasisi nalar kritis dan sudah dikaitkan dengan berbagai ilmu pengetahuan. Seperti penafsiran surah Ali Imron ayat 159. Ayat ini menjelaskan tentang ‘‘bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah.’’

Kesimpulan dari penelitian ini adalah musyawarah berarti tempat atau forum masyarakat dalam mengeluarkan segala pendapat mengenai suatu parkara (kehidupan sosial umat Islam) dan bertukarpendapat agar bisa diatasi bersama dengan maksud mencpai suatu mufakat dan kemslahatan bersama. Syura merupakan salah satu prinsip paling penting yamg telah dijelaskan dalam al-Qur’an. Syura mengharuskan kepala Negara dan pemimpin pemerintahan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat.


(6)

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 9

C. Pembatasan Masalah……… 9

D. Rumusan Masalah……… 9

E. Tujuan Penelitian………. 9

F. Kegunaan Penelitian……… 10

G. Penegasan Judul……….. 10

H. Telaah Pustaka……… 10

I. Metode Penelitian………... 11

J. Sistematika Pembahasan………. 13

BAB II MUSYAWARAH A. Pengertian Musyawarah………. 15

B. Bentuk –Bentuk Musyawarah ….………. 23

BAB III PENAFSIRAN PARA MUFASSIRIN TENTANG AYAT-AYAT MUSYAWARAH A. Penafsiran Surat Ali Imron Ayat 159 ……….……….. 29

B. Ayat – Ayat Yang Berkaitan………. 35

C. Asbabun Nuzul……….. 36

BAB IV MUSYAWARAH SEBAGAI DASAR HUKUM DEMOKRASI A. Pengertian Musyawarah……… 46

B. Lapangan Atau Ruang Lingkup Musyawarah………... 48

C. Peserta Musyawarah……….. 49

D. Etika Dalam Melakukan Musyawarah……….. 50

E. Manfaat Musyawarah……… 51

F. Prinsip – Prinsip Musyawarah……….. 53

G. Pendapatan-Pendapatan Tentang Demokrasi………... 60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……… 77

B. Saran………. 78 DAFTAR PUSTAKA


(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Al-Quran adalah undang-undang umat Islam dan petunjuk dari Allah.Al-Quran merupakan syariat Allah untuk seluruh penduduk bumi.Al-Quran menampilkan hukum yang abadi dan menyiapkan segala yang diperlukan manusia baik yang tekait dengan dunia spiritual maupun dunia material. Tidaklah heran jika al-Quran adalah kitab yang lengkap dan berisi petunjuk yang komprehensif terkait dengan seluruh aktifitas manusia, termasuk ajaran-ajaran tentang tata cara beribadah, etika, transaksi, politik, hukum, perang, damai, sistem ekonomi, dan lain sebagainya.1

Untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Quran yang lengkap terkait dengan segala problematika kehidupan manusia, diperlukan tafsir, sebab al-Quran hanya menjelaskan hal-hal di atas secara global dan hanya berupa kaidah-kaidah inti yang memerlukan penjabaran. Oleh sebab itu, tafsir al-Quran merupakan kunci untuk membuka gudang simpanan al-Qur‟an guna mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. Dengan demikian, tafsir menjadi kebutuhan yang begitu penting, karena kandungan al-Qur‟an bukan hanya menyodorkan ajaran agama, tapi juga pedoman kehidupan sosial pragmatis.2

1

A. Athaillah, Sejarah al-Qur‟an; Verifikasi tentang Otentisitas al-Qur‟an, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010),1.

2


(8)

2

Upaya menafsirkan al-Qur‟an telah dimulai dan dilakukan oleh Rasulullah. Dia dibimbing Allah dengan pemberian wahyu sehingga ia adalah orang yang tahu persis tentang maksud Allah dalam menurunkan al-Qur‟an. Setelah Rasulullah wafat, para Sahabat –yang dibimbing Rasulullah- juga melakukan penafsiran yang sesuai dengan porsi permasalahan yang muncul. Setelah masa sahabat, para tabi‟in juga melakukan hal yang sama. Namun demikian, permasalahan umat Islam semakin bertambah seiring semakin luasnya daerah kekuasaan Islam dan semakin banyaknya orang-orang non-Arab yang masuk Islam. Dengan semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi umat Islam dari masa ke masa, maka penafsiran al-Qur‟an semakin luas.Demikian, tafsir itu selalu berkembang dari masa ke masa hingga masa modern ini.Dalam sejarahnya, tafsir memiliki perkembangan yang luas, meliputi berbagai macam kecenderungan, corak, serta aneka ragam metodenya.3

Dalam kehidupan berpolitik, al- Qur‟an memberikan kaidah-kaidah dasar politik yang benar dengan mengedepankan ide-ide demokrasi dalam mengambil keputusan, yakni musyawarah. Sebagai mana firman Allah di dalam Al Quran:

ٍةََْْر اَمِبَف

َُ ْرِفْغَ تْساَو ْمُهْ َع ُفْعاَف َكِلْوَح ْنِم اوَّفْ نا ِبَّْقْلا َظيَِّغ اَّف َتُْك ْوَلَو ْمَُ َتِْل ِّلا َنِم

ْم

َيِّّكَوَ تُمْلا بُِ َّلا نِإ ِّلا ىََّع ْلكَوَ تَ ف َتْمَزَع اَذِإَف ِرْمأا ِِ ْمُْرِواَشَو

4

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu.Karena itu ma‟afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

3

Kusmana, Syamsuri, Pengantar Kajian al-Qur‟an; Tema Pokok, Sejarah, dan Wacana Kajian,

(Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), 147-149. 4


(9)

3

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.5

Islam merupakan agama universal mengandung prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai sebuah konsep ajaran, Islam memposisikan manusia pada kedudukan yang setara dengan manusia yang lainnya. Perbedaan individu satu dengan individu lainnya hanya didasarkan pada kualitas keimanan dan ketaqwaanya. Hal ini merupakan dasar yang sangat kuat dan tidak dapat dipungkiri telah memberikan konstribusi pada perkembangan prinsip-prinsip hak asasi manusia di dalam masyarakat internasional.

Al-Qur‟an sebagai way of life bagi umat islam tidak diragukan lagi akan kebenaran kandungannya serta salah satu tujuannya untuk menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan etika dalam kehidupan manusia. Hak asasi dan demokrasi adalah dua hal yang saling terkait satu sama lainnya. Tidak ada demokrasi tanpa adanya hak asasi manusia, begitu juga sebaliknya bahwa hak asasi manusia tidak akan survive tanpa adanya demokrasi. Dengan kata lain bahwa eksistensi dmokrasi berkaitan dengan eksistensi hak asasi manusia.

Islam sendiri pada dasarnya adalah demokrasi. Hal ini didasarkan pada beberapa hal. Pertama, Islam adalah agama hukum dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas, struktur sosial masyarakat dari kalangan atas hingga kalangan bawah, dari kaum borjui hingga proletar, semuanya diberlakukan sama dihadapan hukum. Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan (syura). Artinya seluruh perkara-perkara yang dihadapi dibicarakan dan dibicarakan bersama diantara

5


(10)

4

mereka. Dengan demikian tradisi membahas, duduk bareng, urun renbug, bersama-sama mengajukan argumentasi dan berdiskusi untuk sebuah kesepakatan merupakan salah satu aktivitas yang ada dalam demokrasi. Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Hal ini sebenarnya merupakan prinsip demokrasi, dimana demokrasi bertujuan untuk menciptakan perbaikan dalam hidup. Oleh karena itu menurut Fazlurrahman, Islam adalah agama perbaikan (din al-ishlah) atau agama inovasi.6

Latar belakang kelahiran demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa penguasa adalah wakil Tuhan. Tuhan telah memberikan kewenangan kepada para penguasa untuk membuat hukum dan perundang-undangan serta ke-wenangan untuk memerintah rakyat. Tidak sedikit dari aturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh para penguasa itu hanya menguntungkan penguasa itu sendiri serta merugikan rakyat. Akibatnya, rakyat tertindas dan terdzalimi.7

Ide dasar demokrasi adalah, kekuasaan mutlak berada di tangan rakyat, rakyatlah yang berhak membuat dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan sendiri berdasarkan suara mayoritas. Rakyat berhak memilih anggota badan legislatif berdasarkan suara mayoritas. Rakyat berhak memilih penguasa (badan eksekutif) berdasarkan suara mayoritas bahkan rakyat berhak menentukan hakim (badan yudikatif) berdasarkan suara

6

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung : Pustaka, 1995).54 7 Jurnal Sosioteknologi „Demokrasi dan Musyawarah Dalam Pandangan Darul Arqam, NII, dan HTI‟


(11)

5

mayoritas pula. Jadi, inti demokrasi adalah segala keputusan ditentukan oleh suara mayoritas rakyat.8

Ada dua ide demokrasi yakni (1). kekuasaan di tangan rakyat (2). rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dengan dua ide ini pada hakikatnya demokrasi telah menghapus ide hak Ketuhanan (Divine Right) yang selama ratusan tahun berada di tangan penguasa yang menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan.9

Berbicara demokrasi maka kita tidak akan lepas dari dunia politik dan pemerintahan. Demokrasi menjadi salah satu sistem politik Islam yang turut didiskusikan di negara-negara Islam, bahkan istilah ini telah diterima dan digunakan oleh hampir seluruh pemerintahan di dunia, bahkan pemerintahan otoriter pun

menggunakan atribut “demokrasi” untuk memberikan ciri kepada rezim dan aspirasi

mereka. Akibatnya adalah menjamurnya penggunaan kata demokrasi seperti “demokrasi

liberal”, “Demokrasi Sosial”, “Demokrasi Terpimpin” dan sebagainya. Sebagaiman

Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man, mengatakan bahwa demokrasi liberal paling tidak dalam pengertian pemilihan umum plus jaminan HAM merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan yang bertahan dan lebih dekat pada sifat manusia. Karena tujuan agung demokrasi adalah pengakuan terhadap martabat dan kebebasan manusia dan adanya korelasi yang tinggi antara demokrasi dan kesejahteraan (yakni menawarkan jalan keluar dari kemiskinan): dua hal yang dalam sejarah manusia diperjuangkan secara konstan. Maka, sudah sewajarnya jika saat ini demokrasi menjadi pilihan mayoritas negara di dunia.

8

Ibid, 603

9


(12)

6

Dengan memberi garis besar saja, Allah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada umat Islam untuk menggunakan akal dan pikiran mereka, sejauh tidak melanggar batasan-batasan yang ditentukan-Nya dalam al- Qur‟an. Sebagaimana firman-Nya di dalam Al Quran :

لا اَه يَأ اَي

ُوُّرَ ف ٍءْيَش ِِ ْمُتْعَزاََ ت نِإَف ْمُك ِم ِرْمَأا ِِْوُأَو َلوُسرلا ْاوُعيِطَأَو َّّلا ْاوُعيِطَأ ْاوَُمآ َنيِذ

ِّّلا ََِإ

اليِوْأَت ُنَسْحَأَو ٌرْ يَخ َكِلَذ ِرِخآا ِمْوَ يْلاَو ِّّلاِب َنوُِمْؤُ ت ْمُت ُك نِإ ِلوُسرلاَو

10

„Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.‟11

Pada masa pemerintahan Rasulullah, Islam telah diperaktekkan sebagai agama kemanusiaan yang menempatkan nilai-nilai demokrasi untuk kepentingan bersama. Dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat.Nabi dianggap orang yang paling banyak melakukan musyawarah. Beliau melakukan hal ini, karena prinsip musyawarah adalah merupakan suatu perintah dari Allah. Sebagaimana yang digariskan dalam ayat al- Qur‟an yang dengan tegas menyebutkan perintah itu dengan :

.رما ى م رواشو

12

10

Al- Qur‟an, 04-59

11

Al- Qur‟an dan terjemahan 04-59 12


(13)

7

„Dan bermusyawarahlah engkau wahai Muhammad dangan mereka dalam setiap urusan kemasyarakatan.13‟

Karena persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui nabi-Nya, tidak dapat dimusyawahkan. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.14.

Ada satu sandi lain yang tidak boleh dilupakan guna menjamin musyawarah dapat terlakasana sesuai dengan semangat aslinya, yairu musyawarah untuk mufakat, menurut tatanan kemasyarakatan. Ada satu rujukan baku yang dipatuhi, bahkan bagi ummat Islam yang diimani, oleh semua pihak yang terlibat dalam bermusyawarah. Adanya satu rujukan bersama, Common Platform. Dalam Islam,Common Platform itu adalah al-Qur‟an dan hadits. Di Indonesia Common Platform itu adalah pancasila ; ketuhana Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah konsep rasional yang cerdas dan dimaksudkan tidak hanya untuk dihayati tetapi dilaksanakan dan diupayakan penyelenggaraanya secara sungguh-sungguh.15

Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa pada dasarnya dalam ajaran Islam terdapat sistem demokrasi. Tercatat pada historis masa Rasulullah SAW dan masa Al-Khulafaur al-Rasyidin secara esensial telah ada praktek ini. Tentu saja demokrasi dalam pengertian paket politik. Seperti adanya pemilu dengan logika pembatasan masa jabatan

13

Al- qur‟an dan terjemahan 3:159 14

M. quraish shihab, wawasan Al-qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), 479


(14)

8

kepala pemerintahan dan dewan perwakilan rakyat permanen hasil pemilu belum dikenal. Nabi misalnya mendapatkan kekuasaan politiknya bukan lewat kenabiannya, tetapi lewat apa yang disebut John Locke sebagai kontrak sosial dengan hak-hak

alamiah rakyat yang tersisa, yaitu lewat ba‟iah „aqobah II dan perjanjian Madinah. Nabi

pun selanjutnya menjadikan asas efisiensi, rasionalitas dan partisipasi sosial sebagai basis dalam mengatur kekuasaannya yang temporal. Bahkan pada massa Umar Bin Al-Khattab terutama, negara Madinah pun telah menerapkan konsep yang mirip dengan model negara kesejahteraan modern Barat (Welfare State).16

Penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan oleh nabi Muhammad SAW di madinah bersifat egaliter dan partisipatif, telah menampilkan suatu bentuk kehidupan politik modern. Agam Islam ada kesamaan dengan unsur-unsur demokrasi. Unsur-unsur yang dimaksud, seperti sebagaimana yang dikemukakan Ernest Gellner dan Robert N. Bellah adalah doktrin Islam tentang keadilan (al-„adalah), egalitarian (al-musawah), dan musyawarah (al-asyura) yang terimplementasi dalam praktik politik kenegaraan awal Islam.17

Dalam bukunya identitas politik umat Islam, dalam bahasanya Kuntowijoyo memberikan kaidah-kaidah demokrasi. Yang meliputi : saling mengenal (ta‟aruf), musyawarah (syura), kerja sama (taawun), menguntungkan bagi masyarakat (maslahah) dan keadilan.

16

Azyumardi Azra, “Kata pengantar” dalam islam dan demokrasi; telaah konseptual dan Historis, (jakarta : gaya Media Pratama, 2002), 12.

17


(15)

9

B.Identifikasi Masalah

Dari paparan latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa permasalahan-permasalahan, diantaranya Bagaimana musyawarah menurut para mufassir dalam surat Ali Imron ayat 159 yang di sertai dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Akan tetapi, dengan terjunya permasahan yang akan diteliti oleh penulis, maka penjelasan penulis akan tertuju pada permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini.

C.Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan salah satu hal yang penting di dalam penulisan penelitian, oleh karena itu penulis akan memberikan batasan dalam penulisan penelitian ini mengingat banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan demokrasi dalam Islam menurut Al-Qur‟an. Maka dalam hal ini penulis akan mengkaji atau membahas husus pada surat Ali Imron ayat 159.

D.Rumusan Masalah

A.Bagaimana konsep musyawarah dalam surat Ali Imron ayat 159 ? B.Bagaimana penafsiran para mufassir surat Ali Imron ayat 159 ? E.Tujuan Penelitian

A.Untuk mengetahui konsep musyawarah dalam surat Ali Imron ayat 159. B.Untuk mengetahui penafsiran para mufassir tentang surat Ali Imron ayat 159.


(16)

10

F. Kegunaan Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, penulis berharap ada manfa‟at yang akan di

peroleh baik oleh penulis maupun pembaca penelitian ini sekurang-kurangnya sebagai berikut :

a) Akan menambah wawasan ilmu ke-Islaman khususnya dalam lingkup

Demokrasi dalam Al-Quran surat Ali Imron ayat 159 menurut para mufassirin. b) Penulis maupun pembaca akan mengerti bagaimana Demokrasi dalam Islam

menurut Al-Quran dan para mufassirin.

c) Dapat menambah ilmu-ilmu tafsir Al-Quran bagi penulis hususnya dan pembaca pada umumnya.

G.Penegesahan Judul

Agar terhindar dari kekeliruan dalam memahami penelitin yang berjudul

„‟Musyawarah dalam surat Ali Imron 159 menurut perspektif para mufassir‟‟ ini, maka akan sedikit dijelaskan ulang bahwa pembahasan penelitian ini tertuju hanya pada Musyawarah dalam surat Ali Imron 159 meskipun ada ayat-ayat pendukung nantinya. Tetapi ayat pendunkung di sini hanya bersifat membantu dan mempertegas ayat-ayat yang penulis teliti.

H.Telaah Pustaka

Ada beberapa penelitian yang pembahasannya hampir sama dengan yang hendak penulis teliti yaitu yang dibahas oleh Novalina Eka Hapsari yang berjudul Perspektif Islam Tentang Hukum, Dan Demokrasi Dalam Islam. Dia menjelaskan bahwa: Hukum yang bersumber dan merupakan bagian dari ajaran Islam. Ada dua


(17)

11

Istilah yang berhubungan dengan hukum Islam.Pertama syari‟at, kedua fiqih.Ada 3

sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur‟an, Sunnah, dan ijtihad. Menurut Hasby Al-Shidiqqi ada 5 prinsip yang menjadi batu pijakan hukum Islam:persamaan, kemaslahatan, keadilan, tidak memberatkan, dan tanggung jawab.

Hukum Islam merupakan bagian dari sistem tata hukum nasional yang sebagian telah dimuat dalam hukum positif dan akan tetap berperan sebagai contribution factor dalam pembangunan kodifikasi hukum nasional. Baik di dalam hukum Islam maupun hukum nasional telah dikenal Hak Asasi Manusia.Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat secara eksistensial dalam identitas kemanusiaan.Dengan adanya HAM ini, maka dikenal pula demokrasi. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu: musyawarah (syura), kesepakatan (ijma), dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad).

I. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif.Penelitian ini dilakukan melalui riset kepustakaan (library research), dan kajiannya disajikan secara deskriptif dan analitis.18

2. Sumber data

Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh data yang mengarah pada tujuan, maka penulis menggunakan sumber data sebagai berikut:

18


(18)

12

a) Data primer, yaitu sumber data yang berfungsi sebagai sumber asli, yakni dalam hal ini penulis akan mengambil buku-buka tafsir Al Qur‟an dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti.

b) Data sekunder, yaitu data yang melengkapi atau mendukung dari data primer, yakni berupa bahan pustaka yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

c) Data tersier, yaitu data dari internet, karya ilmiah, diktat perkuliahan, dan data yang terkait dengan judul makalah yang penulis teliti.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah:19

a) Penelusuran dalam berbagai literatur kepustakaan.

b) Menelaah berbagai macam buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti.

4. Teknik Analisis data

Data-data yang berhasil dihimpun selanjutnya dianalisis dengan metode analisis data sebagai berikut:20

a) Pengolahan data secara editing, yaitu pemeriksaan kembali seluruh data yang diperoleh mengenai kejelasan data, kesesuaian data yang satu dengan yang lainnya, relevansi keseragaman satuan atau kelompok data.

19

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung; Alfabeta, 2008), 247.

20


(19)

13

b) Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematisasi data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya, sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk merumuskan suatu deskripsi.

c) Perbandingan, adalah membandingkan berbagai pengertian yang telah penulis telusuri didalam penelitian ini, sehingga bisa menenkan kesimpulan dari berbagai macam pengertian yang telah ditelaah oleh penulis.

J. Sistematika Pembahasan

Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka Peneliti akan menyajikan sistematika penulisan karya ini. Sehingga dengan sistematika yang jelas, hasil penelitian proses reproduksi manusia ini lebih baik dan terarah seperti yang diharapkan peneliti dan semua orang. Adapun sistematika karya ini sebagai berikut:

a) BAB I :Pendahuluan. pada bab ini, lebih mencantumkan beberapa sub-judul sebagai pengantar bagi pembaca. Meliputi Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Judul, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.

b) BAB II : Pada bab ini lebih didominasi oleh pembahasan mengenai pengertian Musyawarah.

c) BAB III : Pada bab ini pembahasannya didominasi mengenai penafsiran ayat surat Ali Imron ayat 159 menurut para mufassirin yang akan disertai dengan ayat-ayat yang mendukung.


(20)

14

d) BAB IV : Musyawarah dalam surat Ali Imron ayat 159 menurut para mufassirin. Pada bab ini mengedepankan analisis dari berbagai macam pengertian yang terdapat pada BAB II dan BAB III.

e) BAB V : Penutup. Bab ini merupakan bagian penutup yang mengemukakan kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pokok permasalahan dan saran-saran.


(21)

15

BAB II

MUSYAWARAH

A.Pengertian Musyawarah

Istilah musyawarah berasal dari kata اشم . Ia adalah masdar dari kata kerja

syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra‟ dengan pola fa‟ala. Struktur

akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan menawarkan sesuatu” Dari

makna terakhir ini muncul ungkapan syawartu fulanan fi amri (aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku).21

Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada mulanya

bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian

berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.22

21 Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu‟jam Maqayis al

-Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa Al-Bab al-Halabi, 1972), 226.

22

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 603.


(22)

16

Dalam sususnan kemasyarakatan, prinsip muyawarah ditegakkan sesuai dengan azas hukum yang mendasari sistem demokrasi. Tetapi musyawarah itu sendiri tidak terikat oleh komunitas yang sifatnya masih (pemerintahan atau kenegaraan) saja, ia menyentuh segala aspek yang menyangkut kepentingan bersama, bukan masalah yang telah menjadi ketetapan Tuhan.

Karena apersoalan- persoalan yang telah ada petunjukannya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung mauoun maupun melaluinabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukab pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan – persoalan kehidupan duniawi baik yang bersifat global maupun tampa oetunjuk yang mengalami perkembangan dan perubahan.23

Musyawarah merupakan esensi ajaran Islam yang wajib ditetapkan dalam kehidupan sosial umat Islam. Syura memang merupakan tradisi Arab Pra Islamyang sudah turun-temurun. Oleh Islam tradisi ini dipertahankan karena syura merupakan tuntutan abadi dari kodrat manusia sebagai mahluk sosial.24

Kata “syura” atau dalam bahasa Indonesia menjadi “Musyawarah” mengandung

makna segala sesuatu yang diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperolah kebaikan. Hal ini semakna dengan pengertian yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.25 Dengan demikian, keputusan yang diambil

23

M. Quraisi Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996

24

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarata: Mizan, 1995), 203

25


(23)

17

berdasarkan Syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan kehudupan manusia.

Musyawarah merupakan kata kunci yang semua orang Indonesia tidak hendak menulak. Bagi orang Islam, menerima azas musyawarah untuk membangun mufakat adalah perkatra aqidah. Karena ungkapan itu adalah petunjuk suci yang termaktub dalam kitabullah. Bagi semua orang Indonesia, musyawrah adalah wahana konstitusional untuk mewujudkan azas kerakyatran atau demokrasi. Musyawarah untuk mufakat adalah bentuk kongkrit dari forum perumusan consensus yang berhikmat kebijaksanaan bukan sembaran consensus yang bisa melenceng menjadi kesepakatan itu

“deal” yang mengacu pada Self Interest atau traksasti kepentingan semata –mata.26

Dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusiaonal dalam monokrasi Islam yang wajib dilaksanak dalm suatu pemerintahan dengan tuhjuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atu rakyat.27

Melalui musyawarah setiap masalah yang menyangjut kepentingan umum dan kepentingngau suatn rakyat dapat ditemukan dalam satu jalan keluar yang sebaik-baiknya setelah semua pihak mengemukakan pandangan dan pikir mereka wajib terdengan oleh pemegang negara supaya ia dalam membuat suatu keputusan dapat mencerminkan pertimbangan-pertimngandan bijak sna untuk kepentingan umum.

26

Soetjipto Wirosardjo, Dialok dengan Kekuasan, (Bandung: Mizan, 1995), 203

27


(24)

18

Ada satu sandi lain yang tidak boleh dilupak guna menjamin musyawarah dapat terlaksana sesuai dengan semangat yaitu musyawarah untuk mufakat, menurut tatanan kemasyarakatan ada satu rujukan baku yang dipatuhi bahkan bagi umat Islam yang diimani, oleh semua pihak yang terlibat dalam musyawarah adanya satu rujukan bersama, Commonn Platform. Dalam Islam Commonn Platform itu dalah al-qur‟an dan Hadist. Di indonesia Commonn Platform itu adalah pencasila; ketuhanan yang ,maha esa, kemanusian yang adil dan beradap, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipinpin oleh kebijaksanaan dalm pemusyawratan dan perwakilan, dan keadlan bagi selirih rajyat indonesia. Pancasila adalah konsep rasional yang cerdas dan dimaksudkan tidak hanya dihayati tapi dilaksankan dan diupayakan penyelenggaraannya secara sungguh-sungguh.28

Sila keempat. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan”, juga merupakan ajaran dasar Islam. Ajaran tauhid

tersebut diatas yag membawa kepada prikemahlukan dan prikemanusian,selanjutnya juga membawa kepada paham kerakyatan dan permusyawaratan. Semua manusia adalah bersaudara dan sama.29

Tidak ada perbedaan dalam Islam kecuali segi taqwa, sebagaimana yang telah termaktub dalam firman-Nya:

ها د ع مكمركأ ّنإ

.مكقتأ

28

Wirosadjo, Dialog...205

29


(25)

19

Sesungguhnya diantara manusia yang paling manusia disisi Allah adalah orang-orang yang paling taqwa (al-Hujurat : 13)30

Begitu pentingnya musyawarah bagi kehidupan manusia, maka Al-Qur‟an telah mengisyaratkan kepentingan sebagai kewajiban bagi seorang muslim dan menjadikan sistem ini sebagai salah satu undang-undang bagi hukum Silam. Orgensi dari pembahasan dari masakah ini dapat menyadarkan masyarakan untuk selalu mengambil segala keputusan berdasarkan musyawarah agar mencapai suatu mufakat dan tidak merugikan orang banyak atau rakyat dan tentunya musyawarah rakyat indonesia selalu merujuk pada kaidah-kaidah yang telah menjadi rebutan buku yaitu pancasila, dalam Islam adalah Al-Qur‟an, dan Hadist.

Dawam Rahardjo, dalam ensiklopedi al-Qur‟an memandang bahwa syura, sebenarnya adalah suatu forum, dimana setiap orang mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembug, tukar pikiran, membentuk pendapat dan memecahkan suatu persoalan bersama atau musyawarah, baik masalah-masalah yang menyangkut kepentingan maupun nasib anggota masyarakat yang bersangkutan. Penafsiran terhadap istilah syura atau musyawarah nampaknya mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bahkan pengertian dan persepsi tentang kata yang syarat makna ini mengalami evolusi. Evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang dan waktu. Di era ini pula, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, misalnya sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, formatur dan

30


(26)

20

berbagai konsep yang berkaitan dengan sistem pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat.31

Sementara itu, pandangan Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, melihat bahwa dari deretan titik-titik pandang tentang manusia dapat dilihat konsistensi ajaran Islam tentang musyawarah. Disebabkan adanya tanggungjawab pibadi setiap orang kelak di hadapan Tuhan, maka setiap orang mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya dan tindakannya sendiri. Bahkan kebenaran agama pun tidak boleh dipaksakan kepada siapapun.32

Penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang bertemakan musyawarah menunjukan bahwa terdapat tiga ayat al-Qur‟an yang akar katanya merujuk kepada musyawarah. 33 Ketiga ayat tersebut sesuai dengan tertib turunnya adalah :

a. QS. Al-Syura (42) : 38

َنوُرِفْغَ ي ْمُ اوُبَِّغ اَم اَذِإَو َشِحاَوَفْلاَو ِِْْْْا َرِئاَبَك َنوُبَِتَْ َنيِذلاَو

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.34

31

Dawam Rahardjo, 440.

32

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi baru Islam Indonesia

(Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1995), 194-195. 33

Muhammad Fuad al-Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur‟an al-Karim (Cet. I; Kairo: Dar al-Hadis, 1996M-1417H), 481.

34

Departemen Agama, R.I., Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta : PT. Toha Putra Semarang, 1989), 789.


(27)

21

b. QS. Al-Baqarah (2): 233

ِْيَِّماَك ِْيَلْوَح نََُّاْوَأ َنْعِضْرُ ي ُتاَدِلاَوْلاَو

نُهُ تَوْسِكَو نُهُ قْزِر َُل ِّوُلْوَمْلا ىََّعَو َةَعاَضرلا مِتُي نَأ َّاَرَأ ْنَمِل

َعَو ِِدَلَوِب ُلُُُّوُلْوَم َاَو اَِدَلَوِب ُةَدِلاَو رآَُّت َا اَهَعْسُو اِإ ٌسْفَ ن ُفَّكُت َا ِفوُرْعَمْلاِب

َكِلَذ ُلْثِم ِثِراَوْلا ىَّ

َأ ْنِإَف

ُكََّاْوَأ اوُعِضْرَ تْسَت نَأ َُُّْْرَأ ْنِإَو اَمِهْيََّع َحاَُج َلَف ٍرُواَشَتَو اَمُهْ ّم ٍضاَرَ ت نَع اااَصِف اَّاَر

َحاَُج َلَف ْم

َُّمْعَ ت اَِِ َها نَأ اوُمَّْعاَو َها اوُق تاَو ِفوُرْعَمْلاِب مُتْيَ تاَءآم مُتْمَّس اَذِإ ْمُكْيََّع

ُُُرِصَب َنو

c. QS. Ali Imron ayat 159

ْمُهْ َع ُفْعاَف َكِلْوَح ْنِم اوَّفْ نا ِبَّْقْلا َظيَِّغ اَّف َتُْك ْوَلَو ْمَُ َتِْل ِّلا َنِم ٍةََْْر اَمِبَف

ْمَُ ْرِفْغَ تْساَو

ِإ ِّلا ىََّع ْلكَوَ تَ ف َتْمَزَع اَذِإَف ِرْمأا ِِ ْمُْرِواَشَو

َيِّّكَوَ تُمْلا بُِ َّلا ن

35

Quraish Shihab, dengan bukunya Wawasan al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan umat, menitik beratkan pandangannya terhadap tiga ayat yang bekenan dengan musyawarah itu, karena banyaknya persoalan yang dapat dijawab oleh ketiga ayat tersebut. Walaupun, menurutnya tidak sedikit dari jawaban tersebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau Ulama. Juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang bersumber dari sunnah Nabi Saw., tetapi petunjuk-petunjuk-petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya mengikat.36

35

Ali-Imran : 159

36

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟I atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h. 473.


(28)

22

Ayat di atas, secara redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Akan tetapi, ayat itu juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.37

Dalam sejarahnya, ayat tersebut turun setelah perang Uhud. Pada perang Uhud Rasulullah keluar dari Madinah ke Uhud menuruti pendapat para sahabatnya. Sebelumnya, beliau berpendapat untuk tetap tinggal di Madinah dan membela diri dengan tetap bertahan di dalam kota Madinah. Peristiwa yang dilalui kaum muslimin saat terjadi peperangan menunjukkan bahwa pendapat Rasulullah Saw. yang benar dan lebih tepat. Walaupun begitu, Allah Swt. Memerintahkan kepada Nabi-Nya setelah berakhir peperangan itu untuk tetap bermusyawarah dengan mereka dalam segala perkara yang memerlukan musyawarah.38

Secara redaksional ayat tersebut di atas, ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Akan tetapi ayat itu juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin agar bermusyawarah dengan anggota yang dipimpinnya.39

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah

37

Ibid, hal. 474

38

Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an, Juz IV (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, t.th), 120.

39

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟I atas berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 470.


(29)

23

bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.40

B.Bentuk – Bentuk Musyawarah

Dalam berbagai moment Rasulullah senantiasa memperlihatkan bagaimana beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya. Atas dasar ini Zafir al-Qasimi mengklasifikasi bentuk musyawarah yang dipraktikkan oleh Rasulullah atas dua bentuk. Pertama, musyawarah yang terjadi atas inisiatif Rasulullah Saw. Sendiri. Kedua, Musyawarah yang terjadi atas permintaan sahabat.41

Pelaksanaan musyawarah atas permintaan Rasulullah Saw. Tampaknya merupakan suatu bentuk pembinaan terhadap umat Islam pada masa itu. Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Ini pernah terjadi ketika beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya sebelum pecah perang Uhud. Nabi ketika itu meminta kepada para pemuka kaum muslim bahkan pemuka orang-orang munafik sebagaimana dilukiskan al-Qur‟an untuk berkumpul. Nabi meminta pandangan mereka dengan berkata : “Asyiru „alayya” (berikanlah pandanganmu terhadapku).42Sebelumnya, Nabi telah mengemukakan pendapatnya, kemudian setelah itu, baru Nabi meminta pendapat para sahabat.43

Ini adalah salah satu bentuk dari sekian cara Nabi bermusyawarah. Saat itu Nabi telah mengikutkan bermusyawarah kaum muhajirin, Anshar dan bahkan kaum yang

40

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 603.

41

Istilah al-Qasimi untuk kedua bentuk tersebut ialah syura nabiyyah dan syura salbiyyah. Lihat, Zafir al-Qasimi, Nizam al-Hukm fi al-Syari‟ah wa al-Tarikh, Juz I (Beirut: Dar al-Nafais, 1973), 67.

42

Ibn Hajar al-Asqallani, Fath al-Bari, Juz XIII (Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), 343.

43


(30)

24

masih ragu-ragu terhadap Islam. Terhadap golongan yang terakhir ini, mereka diikut sertakan yang mungkin secara politis untuk mengetahui apakah mereka memiliki rasa tanggungjawab bersama.44

Bentuk musyawarah yang kedua, yang dimulai oleh sahabat sendiri, diantaranya pernah terjadi pada waktu perang Badar. Ketika itu Rasulullah Saw. Memerintahkan membuat kubu pertahanan di suatu tempat tertentu. Sahabat Hubab Ibn Munzir kemudian bertanya kepada Nabi tentang tempat itu: apakah tempat yang dipilih itu berdasar wahyu sehingga tidak bisa maju ataupun mundur lagi, ataukah sekedar pendapat Rasulullah Saw. Sendiri, ataukah taktik perang belaka? Nabi lalu menjawab: Ini adalah pendapat saya dan juga sebagai taktik perang. Lalu Ibn Munzir menyarankan agar pasukan pindah ke tempat sumber air terdekat dari mereka. Akhirnya Rasulullah Saw. Memutuskan menerima saran Ibn Munzir karena tempat yang ditentukan oleh Nabi sebelumnya jauh dari sumber mata air.45

Sebaliknya dalam perundingan Hudibiyah, beberapa syarat yang disetujui Nabi tidak berkenan di hati banyak sahabat beliau. Bahkan Umar ibn al-Khattab menggerutu

dan menolak, lalu berkata “mengapa kita harus menerima syarat- syarat yang merendahkan agama kita”. Tetapi Ketika Nabi Saw. Menyampaikan bahwa “aku adalah

Rasul Allah” Umar dan sahabat-sahabat lainnya terdiam dan menerima putusan Rasul Saw. itu.46

44

Ibid, 505

45

Muhammad Husain Haikal, Hayat Muhammad (Kairo: Matba‟ah Misr, 1974), 261.

46

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, Vol. II (Cet. I; Jakarta:


(31)

25

Rasulullah Saw. Mengajarkan musyawarah kepada para sahabatnya sesuai dengan perintah al-Qur‟an. Pendapat para sahabat selalu diperhatikan setiap kali hendak mengambil keputusan. Namun sekiranya sahabat berbeda pendapat dengan Nabi dalam suatu persoalan maka, Nabi pun terkadang mengambil keputusan sendiri. Dalam kasus tawanan perang Badar misalnya, Abubakar berependapat bahwa para tawanan dapat dibebaskan dengan syarat mereka membayar uang tebusan. Sedang Umar dan sahabat lainnya menyarankan agar para tawanan dibunuh saja, sebab tindakan mereka sudah melampaui batas dan mengusir orang dari tanah airnya.47

Sikap Rasulullah Saw. Dalam hal pengambilan keputusan seperti itu, dapat dibenarkan, karena tindakan tersebut sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an bahwa, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.

Dari peristiwa yang tergambar di atas sesuai yang dipraktekkan Rasulullah Saw. musyawarah oleh pemikir Islam modern, dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok. Hal ini tidak saja karena jelas nashnya dalam al-Qur‟an, tetapi karena banyaknya hadis atau perkatan Nabi yang merupakan sunnah atau keteladanan.

Namun di sisi lain, situasi tersebut menyebabkan pula adanya kesulitan para

mufassir dalam menafsirkan arti dan makna musyawarah. Di satu pihak, para mufassir

dan pemikir harus berusaha melihat konteks maknanya secara lebih spesifik sesuai yang pernah dipraktikkan oleh Nabi dan sahabatnya, namun di lain pihak mereka utamanya pemikir politik dan kemasyarakatan mengacu kepada bentuk-bentuk musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang mungkin tidak ditemukan modelnya yang

47


(32)

26

persis sama pada awal perkembangan Islam. Misalnya kita tidak bisa temukan contoh dan model lembaga parlemen di masa itu,yang memang belum ada di dunia sebelum modern.48

Meskipun di Mekah juga terdapat lembaga musyawarah, misalnya yang diselenggarakan di rumah Quraisy Ibn Kilab, yang disebut Dar al-Nadwah, beranggota para pemuka kabilah yang disebut mala‟ . Kegiatan Tasyawwur ini juga biasa dilakukan di antara orang-orang yang berpengaruh. Ini merupakan Tradisi unik di kalangan suku-suku Badui dan golongan elite plutokrat. Mereka tidak saja bermusyawarah dalam memecahkan suatu masalah bersama, tetapi mereka juga memiliki kebiasaan memilih pemimpin.49

Menurut Asghar Ali Engineer seorang penulis modern dari India, seperti dikutip Dawam Rahardjo, beliau menamakan tradisi itu sebagai tribal democracy, atau demokrasi kesukuan.50

Gambaran di atas memberi kesan, bahwa sesungguhnya al-Qur‟an melegitimasi tradisi yang sudah ada dan dianggap baik. Hanya saja diberi makna baru, seperti halnya lembaga musyawarah dan pranata musyawarah ini, diangkat dan dikukuhkan oleh wahyu. Karena itu, Syura adalah lembaga dan pranata yang bukan saja sunnah Nabi, tetapi merupakan perintah Allah dan al-Qur‟an.

Sementara itu redaksi perintah dalam surah Ali Imran ayat 159 secara tegas menunjukkan bahwa perintah musyawarah itu ditujukan kepada nabi Muhammad Saw. Hal ini mudajh dipahami dengan melihat redaksi perintahnya yang berbentuk tunggal.

48

Ibid, 444 49

Ibid, 445 50


(33)

27

Akan tetapi, para pakar al-Qur‟an menurut Quraish Shihab, sepakat bahwa perintah Musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh

Al-Qur‟an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang masum, apalagi manusia-manusia selain beliau.51

Hal lain yang penting dikemukakan sekitar musyawarah dalam al-Qur‟an adalah hukum bermusyawarah, al-Fakhr al-Razi dalam menafisrkan surah Ali-Imran 159 di atas, berpendapat bahwa perintah itu secara lahiriah adalah bermakna wajib. Karena itu

menurutnya, firman Allah “Dan bermusyawarahlah dengan mereka, berarti wajib. Artinya, perintah menunjukkan atas kewajiban selama tidak ada indikasi yang mengubah wajib menjadi sunnah.52

Ibn Atiyyah berkata bahwa musyawarah termasuk salah satu kaedah syari‟at dan

ketetapan hukum. Pemimpin yang tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama, maka ia wajib diberhentikan. Tidak ada yang menyalahi hal itu. Dengan demikian, musyawarah termasuk salah satu ketetapan hukum yang tidak boleh ditinggalkan.53

Al-Jassas bahkan membantah pendapat yang mengatakan bahwa musyawarah itu tidak wajib. Dia menolak jika dikatakan perintah musyawarah itu hanya untuk menyenangkan hati para sahabat dan memuliakan kedudukan mereka, sebagaimana yang diyakini sebagian fuqaha. Sebab, jika para sahabat yang dimintai pendapat sudah tahu bahwa walaupun mereka mengerahkan segala pikiran dalam mengeluarkan usulan pada masalah yang dimusyawarahkan itu, tetap usulan mereka tidak akan dipakai dan

51

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, Vol. II (Cet. I; Jakarta:

Penerbit Lentera Hati, 2000), 475

52

Al-Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz IX, 67.

53


(34)

28

diterima. Maka, pastilah tidak menyenangkan hati mereka dan ini berarti pula para sahabat tidak dimuliakan kedudukan mereka. Dan secara tidak langsung sebagai informasi bahwa pendapat mereka tidak akan diterima dan tidak mungkin direalisasikan. Dengan demikian penafsiran tersebut sangat tidak tepat. Kendati demikian, walaupun mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa musyawarah itu wajib, namun ada sebagian yang berpendapat bahwa perintah musyawarah itu perintahnya bersifat sunnah, bukan wajib.54

Dari aspek ini, bermusyawarah dapat dianggap sebagai suatu unsur dari berbagai unsur kepribadian yang penuh dengan keimanan yang sesungguhnya, disamping kesucian hati penuh iman, tawakkal, dan penyucian anggota badan dari dosa dan perbuatan keji. Juga sikap pendekatan diri kepada Allah dengan mendirikan shalat dan menjalin ukhuwah dengan jalan musyawarah, demikian halnya dengan berinfak di jalan Allah. Surah al-Syura (42): 38 ini turun sebagai pujian kepada muslim Madinah yang bersedia membela Nabi Saw. dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Ansari. Namun demikian, ayat ini berlaku umum, mencakup setiap kelompok masyarakat yang hendak melaksanakan musyawarah.55

54

Al-Jassas, Ahkam al-Qur‟an, Juz II, 330.

55

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, Vol. II (Cet. I; Jakarta:


(35)

29

BAB III

PENAFSIRAN PARA MUFASSIR TENTANG AYAT-AYAT

MUSYAWARAH

A.Penafsiran Surat Ali Imron Ayat 159

Dalam Al-Qur‟an banyak sekali terdapat ayat yang berkenaan dengan demokrasi akan tetapi karena terfokusnya penelitian ini maka, akan dijelaskan secara khusus satu ayat demokrasi yaitu dalam surat Ali Imron ayat 159.

1. Qs. Ali-Imran :159.

ِم ٍةََْْر اَمِبَف

َُ ْرِفْغَ تْساَو ْمُهْ َع ُفْعاَف َكِلْوَح ْنِم اوَّفْ نا ِبَّْقْلا َظيَِّغ اَّف َتُْك ْوَلَو ْمَُ َتِْل ِّلا َن

ْم

َيِّّكَوَ تُمْلا بُِ َّلا نِإ ِّلا ىََّع ْلكَوَ تَ ف َتْمَزَع اَذِإَف ِرْمأا ِِ ْمُْرِواَشَو

56

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Seekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri

dari sekelilingmu. Karena itu ma‟afkanlah mereka, mohonkanalah ampun bagi meeka,

dan bermusyawarahlah (demokrasi) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.57

Firmannya

ْمَُ َتِْل ِّلا َنِم ٍةََْْر اَمِبَف

ۖ

,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah

engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. “

56

Ali-Imran : 159

57

Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an,

1992), h. 789.


(36)

30

Firman Allah menjadi salah satu bukti bahwa karunia yang berupa rahmat kepada rasul-Nya, yaitu bahwa Allah SWT. Sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian

Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana sabda beliau : “Aku dididik oleh Tuhanku”,

maka sungguh baik hasil pendidikannya kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu Al-Quran, tetapi kalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. 58

Semua perlakuan baik Nabi Muhammad berkat rahmat yang diturunkan Allah kedalam hatinya, dan Allah menghususkan hal itu kepada Nabi-nya. Karena Allah telah membekalinya dengan akhlaq Al-Quran yang luhur disamping hikmah-hikmah-nya yang agung. 59 Dengan itu Allah memuji Nabi-nya didalam ayat Al-Qur‟an mengenai kebaikan akhlaknya surat Al-Qalam : 4 yang berbunyi :

ٍميَِّع ٍقُُّخ ٰىََّعَل َكنِإَو

60

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.61

Abdullah bin umar berkata ; Sesungguhnya aku telah menemukan sifat-sifat rasulullah dalam kitab-kitab yang terdahulu, bahwa ia tidaklah kasar dalam sikapnya tidaklah keras dalam hatinya dan tidak pula berteriak dan bersuara ramai dalam pasar,

58

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Vol II (Jakarta : Lentera Hati,2002), 242

59

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Vol IV, (Bairut : Daar Al-Fikr,tt), 193

60

Al-Quran, 68: 4

61


(37)

31

tidak membalas keburukan dengan keburukan, hatinya luhur dan penuh kasih saying dan suka member maaf dan ampun.62

Ayat diatas adalah sesuai dengan ayat :

ٌميِحَر ٌفوُءَر َيِِمْؤُمْلاِب ْمُكْيََّع ٌصيِرَح ْمتَِع اَم ِْيََّع ٌزيِزَع ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ٌلوُسَر ْمُكَءاَج ْدَقَل

63

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu‟min”.64

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Umamah bahwa rasulullah SAW bersabda :

ا اي

بّق َ يّي نم ي مؤ ا نم نا ةماما اب

65

“Hai abu umamah, ada diantara orang-orang mukmin yang hatiku menjadi lemah

lembut terhadapnya”66

.

Pada ayat diatas menurut DR. M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, ada tiga sifat secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah, penyebutan ketiga hal itu, walaupun dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah. Ia menghiasi diri Nabi

62

Abu Al-Fida‟ Ismail Ibnu Kasir Al-Dimasyqi, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Vol II Ter. Salim Bahreisy (Surabaya : PT. Bina Ilmu), 236

63

Al-Quran, 9 : 128

64

Al-Qur‟an dan terjemahan, 9:128

82

Abu Abdillah Bin Muhammad Bin Hambal Al-Marwazi, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal. Vol V (Bairut: Dar Al Kutub Al-Ilmiah, 1993), 315

66


(38)

32

Muhammad Saw dan setiap orang yang melakukan musyawarah, setelah itu disebut lagi atau sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah itu bulat tekadnya.

Pertama : Berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras, seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama ia harus hindari adalah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi.

Kedua : Memberi maaf dan membuka lembaran baru dalam bahasa ayat diatas

مُهْ َع ُفْعاَف

ْ

maaf secara harfiah berarti manghapus, mamafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak pihak lain yang dinilai tidak wajar sedangkan kecerahan fikirannya hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati, disisi lain, yang bermusyawarah harus mempersiapkan mentalnya untuk selalu bersedia member maaf, karena boleh jadi ketika melakukan musyawarah terjadi perbedaan pendapat atau ada pendapat yang menyinggung perasaan bahkan bisa jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.

Untuk mencapai yang terbaik dari suatu hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis itu sebabnya hal ketiga harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi

(

ْمَُ ْرِفْغَ تْساَو

) pesan terakhir ilahi dalam


(39)

33

konteks musyawarah adalah bertawakkal atau berserah diri setelah membulatkan tekad.67

Untuk mencapai yang terbaik dari suatu hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis itu sebabnya hal ketiga harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi

(

ْمَُ ْرِفْغَ تْساَو

) pesan terakhir ilahi dalam konteks musyawarah adalah bertawakkal atau berserah diri setelah membulatkan tekad.68

Nabi selalu melakukan musyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi suatu masalah penting, karena hal ini merupakan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah mengenai hal itu. Akan tetapi tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah, karena untuk bermusyawarah itu berbeda-beda sesuai dengan sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempatnya. Seandainya nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka hal itu akan dianggap sebagai dien

oleh kaum muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala tempat.69

Quraish Shihab memberikan definisi bahwa musyawarah terambil dari kata

روش

,

yang ada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Kemudian

berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan

67

Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol II……….,244-245

68

Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol II……….,244-245

69


(40)

34

dari yang lain termasuk pendapat. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik.70

Menurutnya, madu yang dihasilkan oleh lebah tidak hanya manis, tetapi juga menjadi obat bagi banyak penyakit, sekaligus menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Jika demikian, yang bermusyawarah bagaikan lebah adalah makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya mengagumkan, karena lebih makanannya dari sari kembang, hasilnya madu, sengatannya pun obat. Itulah permusyawaratan, Nabi menyamakannya seorang mukmin dengan lebah.71

Sebagaimana Al-Qurthubi yang menukil dari pendapat Ibnu Athiyah :

بجاو لزعف نيدلاو مّعلا ل ا رشتسي ا ل م ماكحاا مئازعو ةعيرشلا دعاوق نم ىروشلا

72

“Musyawarah adalah suatu kaidah syari‟at dan ketentuan hokum yang harus ditegakkan.

Barang siapayang menjabat kepala Negara, tetapi tidak mau bermusyawarah dengan

ahli ilmu dan agama haruslah ia dipecat”.

Jadi pemerintah (pemimpin) tidak boleh lepas dari bermusyawarah, karena Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk selalu bermusyawarah , menurut suatu riwayat, dikatakan bahwa Abu Hurairah berkata :

مّسو يّع ها ىّص ى لا نم باحصآ ةروشم رثكا ادحا تيار ام

73

70

Shihab, Tafsir Al-Misbah,Vol II………….,244 71

Ibid, hal. 256

72

Abu Abdillah Muhammad Bin jarir Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-jami‟ Li Ahkam Al- Quran, Vol II (Bairut: Daar Al-FIkr, 1995),235


(41)

35

“Tidak seorang pun yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya selain dari Rasulullah Saw”.

Menurut Sayyid Quthb bahwa musyawarah merupakan dalil yang qath‟ie yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang-orang muslim dan tidak diragukan. Karena syura merupakan dasar yang asasi dalam undang-undang hokum Islam yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Dan tidak ada hukum Islam yang asasi selain dari musyawarah. Namun bentuk dan cara-cara musyawarah diserahkan kepada manusia, karena kemajuan dan perkembangan zaman yang selalu mengalami perubahan.74

B.Ayat – Ayat Yang Berkaitan

1. QS. Al-Syura (42) : 38

َنوُرِفْغَ ي ْمُ اوُبَِّغ اَم اَذِإَو َشِحاَوَفْلاَو ِِْْْْا َرِئاَبَك َنوُبَِتَْ َنيِذلاَو

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.75

2. QS. Al-Baqarah 233

ِّوُلْوَمْلا ىََّعَو َةَعاَضرلا مِتُي نَأ َّاَرَأ ْنَمِل ِْيَِّماَك ِْيَلْوَح نََُّاْوَأ َنْعِضْرُ ي ُتاَدِلاَوْلاَو

َوْسِكَو نُهُ قْزِر َُل

نُهُ ت

َعَو ِِدَلَوِب ُلُُُّوُلْوَم َاَو اَِدَلَوِب ُةَدِلاَو رآَُّت َا اَهَعْسُو اِإ ٌسْفَ ن ُفَّكُت َا ِفوُرْعَمْلاِب

َكِلَذ ُلْثِم ِثِراَوْلا ىَّ

ْنِإَو اَمِهْيََّع َحاَُج َلَف ٍرُواَشَتَو اَمُهْ ّم ٍضاَرَ ت نَع اااَصِف اَّاَرَأ ْنِإَف

َحاَُج َلَف ْمُكََّاْوَأ اوُعِضْرَ تْسَت نَأ َُُّْْرَأ

ُُُرِصَب َنوَُّمْعَ ت اَِِ َها نَأ اوُمَّْعاَو َها اوُق تاَو ِفوُرْعَمْلاِب مُتْيَ تاَءآم مُتْمَّس اَذِإ ْمُكْيََّع

73

Ahmad Bin ali bin hajar abu al-fadl al-asqalani al-syafi‟ie, fathu al-baari, vol XIII (Bairut: Daar al-ma‟rifah, 1379), 240

74

Sayyid Quthb, Fi Dzilal Al-Qur‟an, Vol I (Jiddah: Daar Al-Ilm, tt), 495

75

Departemen Agama, R.I., Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta : PT. Toha Putra Semarang, 1989), 789.


(42)

36

„Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan‟.76

3. QS. An-Nisa 59

ْمُكِْم ِرْمَْأا ِِوُأَو َلوُسرلا اوُعيِطَأَو َّلا اوُعيِطَأ اوَُمآ َنيِذلا اَه يَأ

ۖ

ِلوُسرلاَو ِّلا ََِإ ُوُّرَ ف ٍءْيَش ِِ ْمُتْعَزاََ ت ْنِإَف

ِر ِخ ْآا ِمْوَ يْلاَو ِّلاِب َنوُِمْؤُ ت ْمُتُْك ْنِإ

ۚ

ْأَت ُنَسْحَأَو ٌرْ يَخ َكِلَٰذ

اليِو

.

77

Hai orang-orang yang beriman, ta‟atilah Allah Dan ta‟atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) Da rasul (Sunnahnya), jika kamu benar -benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.78

C.Asbabun Nuzul

Ayat 159 sampai ayat 165 dalam QS. Ali Imran, berbicara tentang perang Uhud.

Karena itu, Ibn Kaśīr menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya QS. Ali Imrān (3): 159, secara khusus berkaitan dengan perang Uhud.79 Ayat ini Ditambahkan oleh al-Wāhidiy berdasarkan riwayat dari al-Kalabi, ia berkata bahwa ayat tersebut turun ketika para tentara Islam berlomba-lomba menuntut rampasan perang.80

76

Ibid, hal. 57.

77

Ibid, hal. 78

78

Ibid, hal. 79-80

79Ibn Kaśīr

,juz I, 420.

80Abū al

-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naysābūriy, Asbāb al-Nuzūl (Jakarta: Dinamika Utama, t.th), 84.


(43)

37

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Nabi saw berkali-kali mengutus pasukan ke medan jihad. Pada suatu waktu, ada pasukan yang kembali dan di antaranya ada yang mengambil ghanīmah sebelum dibagikan menurut haknya. Maka turunlah ayat tersebut sebagai larangan mengambil rampasan perang sebelum dibagikan oleh amīr (pimpinan).81

Berdasar pada sabab nuzūl ayat tersebut di atas, maka dipahami bahwa ketika terjadi perang Uhud, Nabi saw. kecewa atas tindakan tidak disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang mengakibatkan kekalahan di pihak Nabi. Melalui QS. Ali

Imrān (3): 159 Allah swt mengingatkan Nabi saw bahwa dalam posisinya sebagai

pemimpin umat, ia harus bersikap lemah lembut terhadap para sahabatnya, memaafkan kekeliruan mereka dan bermusyawarah dengan mereka.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi saw. Ia bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, ia menerima usul mayoritas mereka, walau Nabi saw sendiri kurang berkenan. Nabi saw tidak memaki dan mempersalahkan sahabat yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus.82

81Jalāl al

-Dīn al-Suyūtiy, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, et al

dengan judul Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur‟an (Cet. II; Bandung:

CV. Diponegoro, 1975), 198.

82


(44)

38

Dengan mencermati sabab nuzūl dan intisasari QS. Ali Imrān (3): 159 tersebut, kelihatan bahwa ayat ini masih memiliki munāsabah yang erat dengan QS. al-Syūra (42): 38 yang telah uraikan sebelumnya yang sama-sama berbicara tentang sikap terpuji yang harus ditampilkan dalam bermusyawarah, yakni sikap pemaaf dan menghindari

sikap kasar. Terkait dengan ini, Mahmūd Hijāziy menyatakan bahwa munāsabah ayat

yang diperoleh dalam QS. Ali Imrān (3) 159 pada aspek nikmat-nikmat dan keutamaan yang dari Allah swt dan rahmat-Nya, sehingga pada diri Nabi saw selalu tampil dengan sikap memafkan, dan menyepakati hal-hal yang baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.83

QS. al-Syūra (42): 38 yang dikutip di atas, turun pada periode Makkah. Dalam hal ini, Ibnu Kaśīr menyatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa permusuhan yang sedang memuncak di Makkah, sehingga sebagian para sahabat terpaksa harus berhijrah ke Habsyah.17 Tidak ditemukan keterangan lebih lanjut mengenai permusuhan apa yang dimaksudkan oleh Ibn Kaśīr tersebut, namun dapat diprediksi bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tahun kelima kerasulannya, karena pada tahun ini, Nabi saw menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagai tempat pengungsian.84

Masih terkait dengan kronologi turunnya QS. al-Syūra (42): 38 tersebut, M.

Quraish Shihab menyatakan bahwa “ayat ini turun pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik”. Dengan demikian, dapat

dipahami bahwa turunnya ayat yang menguraikan syūra pada periode Makkah,

83Mahmūd Hijāziy,

al-tafsīr al-Wādhih, juz I (Cet. X; Bairūt: Dār al-Jīl, 1993), 301.

84

Uraian lebih lanjut mengenai latar belakang hijrahnya sebagian sahabat ke Habsyah, lihat Badri Yatim,


(45)

39

menunjukkan adanya perintah untuk bermusyawarah adalah anjuran Alquran dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah swt. di dalamnya. Ini berarti bahwa Nabi Saw. dan para sahabatnya seringkali melakukan musyawarah, jauh sebelum hijrah ke Madinah.85

Di Makkah (sebelum periode Madinah), memang telah ada lembaga

musyawarah, misalnya yang diselenggarakan di rumah Qusay ibn Kilāb, yang disebut

Dār al-Nadwah, beranggotan para pemuka kabilah yang disebut Malā‟. Kegiatan

tasyāwur ini biasa juga dilakukan di antara orang-orang yang berpengaruh, termasuk orang-orang kaya dan yang dipandang cendekia atau bijak. Dari keterangan ini, diperoleh informasi yang akurat bahwa Alquran telah meligitimasi permusyawaratan sejak awal kedatangan Islam.86

QS. al-Baqarah 233 ayat ini turun pada periode Madinah. Dalam hal ini,

berdasar pada pernyataan Mannā‟ al-Qaththān bahwa “semua ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah adalah madaniy” Antara lain muatan pokok ayat ini, adalah memberi petunjuk agar persoalan-persoalan kerumahtanggaan dimusyawarahkan. Dengan demikian, ayat ini masih memiliki munāsabah yang erat dengan ayat-ayat tentang musyawarah yang telah diuraikan sebelumnya.87

Surat an-Nisa‟ ayat 59, Diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa‟i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi dalam

85

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, vol. 12 (Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 2002), 512.

86

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), 445.

87Mannā‟ al


(46)

40

Dalâil dari jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun berkenaan

dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‟Adi, ketika dia diutus Rasulullah saw.

dalam sebuah sariyah (perang).88

Dalam kalimat tersebut dapat kalimat ulul amr yang diperintahkan untuk ditaati. Kata amr disini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan dalam quran surat al-syura : 38

ْمُهَ ْ يَ ب ٰىَروُش ْمُُرْمَأَو

(persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan) tentunya tidak mudah melibatkan semua orang atau semua anggota masyarakat dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakli mereka, yang oleh pakar diberi nama berbeda-beda sekali Ahl Al-Hal Wa Al-„Aqd,Ahl L-Ijtihad Atau Al-Syura.89

Ulul amr menurut Fakhruraz yaitu pemimpin yang benar, pemimpin yang ataat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang sungguh-sngguh menegakkan keadilan dan mengetahui yang benar dan mengerjakan kedua perintah tersebut serta menjauhi larangannya.90

Rasyid ridha menafsirkan sebagai menunjuk kepada ijma‟ kaum muslim, bukannya pada ulama atau mujtahid, kebanyakan mufassir al-qur‟an serta faqih

88

As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 314.

89

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Maudlui Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 481

90

Abu Al-Qasim Jarullah Mahmud Bin Umar Al-Zamakhsyari Al-Khawarizmi, Al-kassyaf, Vol I (Mesir, MAktabah Misra, tt), 456


(47)

41

memandang istilah ulul amr sebagai penguasa dan ulama, sedangkan sebagian dari mereka menyatakan bahwa hal itu hanya mengacu padahal al-hal wa al-aqd saja.91

Sebagai pakar kontemporer memahmi istilah ahl al-hal wa al aqad sebagai orang-orang yang mempunya pengaruh ditengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada suatu pendapat atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama, seperti Muhammad Abduh, beliau memahami ahl al-hal wa al aqd sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal ataupun non formal, sipil ataupun militer. Adapn ahl al-ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu. 92

Al-Qurthubi meriwayatkan dari Ibnu Khuwaiz Mindad bahwa penguasa harus

bermusyawarah dengan ulama‟ mengenai masalah-masalah agama dan hokum, dengan ahli militer, dengan tokoh masyarakat mengenai kesejahteraan dan dengan menteri, sekretaris atau gubernur daerah mengenai pembangunan negeri.93 Gagasannya adalah mengenai penasehat-penasehat yang ahi dalam berbagai bidang agama dan dunia. Al-Qurthubi juga mengungkapkan penafsiran dari Ibnu Kaysan yang tidak membatasi

konsep ulul amr pada ulama‟ saja melainkan juga orang cerdik, pandai dan yang

menguasai urusan kemasyarakatan.94

91

Fazlurrahman, masalah teori poltik islam (Bandung : Mizan, 1996). 107

92Shihab, wawasan…………,48 93

Al-Qurthubi, al-jami‟………..,235

94


(48)

42

Pada ayat diatas

ْمُهَ ْ يَ ب ٰىَروُش ْمُُرْمَأَو

(persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan), tetapi ayat terbut tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah. Tidak juga jumlahnya. Namun demikian dai al-sunnah dan pandangan ulama diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya dimiliki oleh orang yang diajak bermusyawarah. Riwayat mengatakan bahwa rasul Saw pernah berpesan kepada Imam Ali Bin Abi Thalib sebagai berikut :

كتياغ نع كب رصقي ناف ليخبلا نرواشتاو .جرخ ا كيّع قيّي ناف انابج نرواشتا ىّع اي

ىيزي ناف اصيرح نرواشتاو

يرغ صر او ليخبلاو ن ا نا ىّعي مّعاو .ا رش كل

اهعم ةدحاو ةز

هاب نّلاؤس

95

Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan berambisi, karena dia tidak akan memperindah untukmu keburukan sesuatu, ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaann yang sama, kesemuanya bernuansa pada prasangka buruk terhadap Allah.96

Imam ja‟far As-Shadiq berpesan :

ىرواش

ىوقتو حصنو ةبرجو مّحو لقع : لاصخ سم يف نم كروما

95

Shihab, wawasan………..,480

96


(49)

43

Bermusyawarahlah dalam hal persoalan-persoalanmu dengan seseorang yang memiliki lima hal : akal, lapang dada, pengalaman, perhatian dan taqwa.97

Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan mufakat, praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarhkan kepada semua yang terlibat didalam masalah yang dihadapi.

Ayat yang mengisyaratkan tentang lapangan musyawarah yaitu ( ماا ف) fil amr yang diterjemahkan dalam urusan itu dari segi konteks ayat dipahami bahwa urusan dimaksud adalah urusan peperangan karena itu ada ulama yang membatasi musyawarah yang diperintahkan kepada Nabi Saw. Terbatas dalam urusan tersebut.98

Yang dimaksud dengan al-amr yaitu mengatur kehidupan berpolitik umat dalam urusan perang, damai, kritis dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan duniawi.99

Namun ayat Al-quran yang lain yang menggunakan akar kata musyawarah, yang dapat diangkat guna memahami lapangan musyawarah, yaitu QS. Al-baqarah : 233, yang membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri dalam mengambbil keputusan yang berhubungan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak (sebelum dua tahun) dan dalam soal amr atau urusan, dalam Al-Quran ditemukan adanya urusan haya menjadi wewenang Allah semata-mata, sehingga tidak ada campur tangn manusia, misalnya dalam surat al-isra‟ 85:

97

Ibid 497

98

M. Quraish Shihab, Tafsi Al-Misbah………….,245

99


(50)

44

ِحورلا ِنَع َكَنوُلَأْسَيَو

ۖ

َّّر ِرْمَأ ْنِم ُحورلا ِلُق

100

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah ruh adalah urusan

tuhanku”101

.

َاَسْرُم َنايَأ ِةَعاسلا ِنَع َكَنوُلَأْسَي

102

ا

Mereka bertanya kepadamu tentang datangnya hari kiamat.

Betapapun dari ayat-ayat Al-Qur‟an tanpak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata, sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.

Perintah Al-quran untuk bermusyawarah juga hanya digambarkan secara umum artinya kata Umar atau Al-Amr dalam dua ayat tersebut mencakup ruang lingkup masalah yang luas, yaitu berbagai masalah yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat Islam. Tetapi menurut Adbul Qodir sudah yang dikutip oleh J. Suyuthim pulungan ada dua hal yang tidak boleh terjadi dalam musyawarah, yaitu memasalahkan perintah yang sudah jelas ketetapannya dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, dan keputusan musyawarah tidak boleh bertentangan dengan perintah dan perundang-undang dalam al-Qur‟an dan as-sunnah.103

100

Al-Quran, 17:85

101

Al-Qur‟an dan terjemahan, 15 : 302

102

Ibid, 79 :42

103


(51)

45

Wahbah al-Zauhaili menafsirkan bahwa materi yang dimusyawarahkan adalah semua perkara baik hal politik, strategi perang, perdamaian dan segala macam masalah yang berhubungan dengan kehidupan duniawi.104 Menurut al-Kalbi sebagaimana dikutip oleh al-Baghawi bahwa perintah musyawarah hanyalah dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan taktik dan strategi perang dalam menghadapi musuh, ini sesuai dengan konteks turunnya surat al-imron : 159. 105

Menurut penafsiran Rasyid Ridha menyatakan bahwa materi yang dimusyawarahkan hanya berkaitan dengan urusan dunia, bukan urusan agama, sebab jika urusan agama seperti keyakian, ibadah, dan hokum-hukum yang ditetapkan oleh Allah dimusyawarahkan, berarti ada campur tangan manusia didalamnya.106

Menurut sebagian ahli tafsir yang lain, masalah musyawarah ini hanyalah dibatasi terhadap urusan-urusan duniawi yang tidak ada wahyunya, bukan persoalan agama. Pendapat ini dianut oleh hasan al-Bisri dan al-Dahlaq menurut mereka, Nabi diperintahkan oleh Allah untuk bermusyawarah tidaklah menujukkan bahwa Nabi membutuhkan pendapat mereka. Akan tetapi perintah ini dimaksudkan untuk mendidik umatnya betapa musyawarah ini merupakan suatu yang sangat penting dalam kehidupan sosial politik umat islam.107

104

Al-Zuhaili, Al.Munir………,139

105

Abu muhamad Al-Husain bin mas‟ud al-farra‟ al-baghwai al-syafi‟I, tafsir al-baghwai vol I (Bairut : Daar Al-kutub alilmiah,tt), 287

106Di ambil, prinsip musyawarah……….,222 107


(52)

46

BAB IV

MUSYAWARAH SEBAGAI DASAR HUKUM DEMOKRASI

A.Pengertian Musyawarah

Kata

اش

mempunyai arti menampakkan, memperlihatkan, mengambil

sesuatu. Bisa yang berarti mengeluarkan seperti dalam ungkapan

هج ختسإ ا سع ا اش

"هعض م نم

"madu itu keluar atau diperas dari tempatnya (sarang lebah).”

Kata

اش

mempunyai isim masdar

ا ش

,

sedangkan

ش

adalah isim yang mempunyai kata kerja

اش

bentuk lain dari

اشا

yaitu memberi isyarat.

Kata

ا ش

artinya menunjukkan mengarahkan (pada kebenaran) atau

شا

yang mempunyai arti bisa meninggikan.108

Keutuhan dan kekuatan umat untuk mengerjakan yang ma‟ruf dan menjauhi yang munkar, seperi yang telah disebutkan dalam Al-qur‟an Surat Ali Imran: 104 :

ِرَك

ُ

ا ِنَع َنوَهَيَو ِفورعَاِب َنورُمأَيَو ِرَ ا ََِإ َنوعدَي ٌةمُأ مُك ِم نُكَتلَو

ۚ

َنوحِّفُا ُمُ َكِئٰلوُأَو

109

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,

menyuruh kepada ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang

beruntung.”110

Jadi, dengan musyawarah setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang menyelesaikan problem yang dihadapi.

108Louis Ma‟luf, Al

-Munjid Fi al-Lugha Wa al-A;lam (Bairut: Daar al-Masyriq, 1986), 407

109

Al-Qur‟an, 3 : 104

110 Diambil dari skripsi „‟Konsep Musyawarah Menurut Para Mufassirin‟‟ 65


(1)

65

orang yang mengangkat bai‟at terhadapnya, serta keduanya harus dibunuh”.142

Secara eksplisit perkataan musyawarah dalam ketetapan ini tidak disebut

akantetapi dari kalimat “ harus atas dasar persamaan dan adil diantara mereka”. Dalam

pasal ini menghendaki nadanya pelaksanaan musyawarah atau konsultasi. Dengan demikian prinsip musyawarah secara implicit diundangkan dalam Piagam Madinah sebagai salah satu ketetapan tersebut, NABI Muhammad SAW, sebagai kepala Negara telah mempraktikkan musyawarah ini dalam berbagai masalah termasuk masalah politik.143

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan

142

HR> Bukhari, Shahih al-Bukhari Bab: Rajmi al-Hubla fi az-Zina Idza Ahshanat, no. 6830

143


(2)

66

Dari penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa :

Musyawarah merupakan esensi ajaran Islam yang wajib ditetapkan dalam kehidupan sosial umat Islam. Syura memang merupakan tradisi Arab Pra Islamyang sudah turun-temurun. Oleh Islam tradisi ini dipertahankan karena syura merupakan tuntutan abadi dari kodrat manusia sebagai mahluk sosial.Dari beberapa ayat yang telah dijelaskan diatas maka Musyawarah menurut para mufassirin sangatlah didukung adanya karena berisikan banyak sekali hal-hal yang bisa menjadikan suatu negara atau kepemimpinan menjadi lebih tentram dan teratur. Karena didalam sistem Musyawara juga mengedepankan suara rakyat.

Menurut dari beberapa pendapat para mufassir, penulis dapat menganalisis bahwa musyawarah berarti tempat atau forum masyarakat dalam mengeluarkan segala pendapat mengenai suatu parkara (kehidupan sosial umat Islam) dan bertukarpendapat agar bisa diatasi bersama dengan maksud mencpai suatu mufakat dan kemslahatan bersama. Syura merupakan salah satu prinsip paling penting yamg telah dijelaskan dalam al-Qur‟an. Syura mengharuskan kepala Negara dan pemimpin pemerintahan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat.

B.Saran

Dengan terselesaikannya skripsi tentang Musyawarah ini, penulis menyarankan kepada seluruh pembaca pada umumnya untuk selalu bertawakkal kepada Allah SWT.


(3)

67

Kembalikan semua urusan kalian kepada-Nya. Cukup kalian berusaha yang disertai niat

dan do‟a yang ikhlas dan mengharap ridha serta maunah dari Allah SWT. „‟MAY SUCCESS GUYS‟‟


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abu Husayn bin Faris bin Zakariyya, Mujam Maqayis al-Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa Al-Bab al-Halabi, 1972

al-Baqi, Muhammad Fuad, Al-Mujam al-Mufahras li al-Faz al-Quran al-Karim Cet. I; Kairo: Dar al-Hadis, 1996M-1417H

Al – Maraghi, Ahmad Musthafa, t.t. Tafsir al- Maraghi, Vol IV, Bairut : Daar al- Fikr. Al – Marwazi, Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal. 1993. Musnad Imam Ahmad

Bin Hanbal, Vol V, Bairut: Dar al Kutub al- Ilmiah.

Al-Rays, Muhammad Diya al-Din, al-Nazariyyah al-Siyasiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Misriyyah, 1957.

Al-Suyuthi, Jalal al-Din al-Jami al-Shagir fi Ahadis al-Basyir wa al-Nazir (Kairo: Dar al-Qalam, 1966.

Al- Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al- Anshari. 1995. Al- Jami’ Li

Ahkam al- Qur’an, Vol II, Bairut: Daar al- Fikr.

Al- Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. 1992. Al- Tafsir al- Thabari al Jami’ al-

Bayan Fi Ta’wil al- Qur’an, Vol III, Bairut: Daar al-Kutub al- Ilmiah.

Al Zuhaili, Wahbah. 1991. al Tafsir al- Munir Fi al-Aqidah Wa al- Syari’ah wa al -Manhaj, Vol IV, Damsyik: Daar al- Fikr.

Al- Aridh, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Ter. Ahmad Akrom, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Al- Dimasyqi, Abu al- Fida’ Ismail Ibnu Katsir Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Vol II. Ter. Salim Bahreisy, Surabaya : PT. Bina Ilmu.

Al- Farmawi, Abd. Al-Hayy. 1996. Metode Tafsir Maudlu’iy, Ter. Suryan A. Jumrah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Al- Khawarizmi, Abu al-Qasim Jurullah Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari. t.t. al- Kassyaf, Vol I, Mesir: Maktabah Misra.


(5)

Al- Qattan, Manna’ Khalli. 1994. Study Ilmu al- Qur’an, Jakarta: PT. Pustaka Lentera

Antar Nusa.

Al- Suyuthi, Jalaluddin.t.t. Al-Itqam Fi Ulum Al-Qur’an, Vol II. Bairut: Daar al-Fikr.

Al- Syafi’i, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi. t.t. Tafsir

al-Baghawi, Vol I, Bairut: Daar al- Kutub al-Ilmiah>

Al-Syafi’i, Ahmad bin Ali bin Hajar abu al-Fadl al-Asqalani. 1379. Fathu al-Baari, Vol

XIII< Bairut: Daar al-Ma;rifah.

Al- Zarkazyi, M. Burhanuddin Ibnu Abdillah. 1957. Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an,

Vol II, Mesir: Isa al Babi al-Halabi.

Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, Jokjakarta: UII Press.

As-Shiddiqi, Hasby. 1994. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Jakarata: Bulan Bintangi .

Azhary, Muhammad Thahir. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip- Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implikasinya pada Periode madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang.

Baidan, Nasrullah. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Belajar. Charles Kurzman (Ed.)2001. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer

Tentang Isu-isu Global, ter. Bahrul Ulum (et.al), Jakarta: Paramadina.

Fakhruddin Muhammad bin Umar al Razi, al Tafsir al- Kabir au Mafatih al-Ghaib, Vol V, Bairut: Daar al- Kutub al- Ilmiah.

Fazlurrahman. 1996. Masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan.

Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqih Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Kamali, Muhammad Hashim. 1996. Kebebasan Berkehendak dalam Islam, Bandung: Mizan.

Ma’luf, Louis 1986. Al-Munjib Fi al-Lughah Wa al-A’lam. Bairut: Daar al-Masyriq


(6)

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir: Kamus arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif.

Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional; Gagasan dan Pemokiran, Jakarta: Mizan. Partato, Pius A t.t. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola.

Pulungan, J. Suyuthi. 1994. Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Quthb, Sayyid. t.t. Fi dzilal Qur’an, Vol I, Jiddah : Daar al-Ilm. Shihab, M. raish. 1994. Mebumikan Al-Qir’an, Bandung : Mizan.

Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an : Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung : Mizan.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an

Vol II, Jakarta: Lentera Hati.

Surahmat, Winarto. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito. Tim Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Wirosardjo, Soetjipto. 1995. Dialog dengan Kekuasaan,m Bandung: Mizan.