AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR

AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR

Tesis Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh : Asnin Syafiuddin

NPM : 00.2.00.1.05.01.0186

Pembimbing : Prof. Dr.H. Ahmad Thib Raya, MA. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H

PERSETUJUAN

Tesis dengan judul AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR yang ditulis oleh Asnin Syafiuddin NPM : 00.2.00.1.05.01.0186 Program Studi Tafsir Hadits disetujui untuk dibawa ke dalam sidang munaqasyah.

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

NIP.

NIP.

Tanggal :

Tanggal :

PENGESAHAN

Tesis yang berjudul AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Januari 2007.

Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Program Strata 2 (S2) pada jurusan Tafsir Hadits.

Sidang Munaqasyah

Pembimbing I,

Pembimbing II/Penguji,

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

Tanggal :

Tanggal :

Ketua Sidang/Penguji,

Penguji,

Dr.Sri Mulyati,MA

Prof. Dr. Salman Harun

Dr. H. Mukhlis M. Hanapi, MA. Tanggal :

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya milik Allah swt, yang atas curahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis dalam rangka memperoleh gelar magister dalam bidang tafsir hadits pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan umat

Nabi Muhammad saw. yang telah diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta. Begitu juga semoga tercurah kepada para sahabat, keluarga serta pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Penulisan tesis ini tidak akan pernah selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik perorangan maupun lembaga, baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai perencanaan, penelitian, penyusunan sampai pada perampungan.

Untuk itu, sudah sewajarnya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan kepemimpinan dan kebijakan-kebijakannya, penulis bisa menyelesaikan program S2 ini.

2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana, Asisten Direktur dan seluruh staf Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan dan pelayanan yang 2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana, Asisten Direktur dan seluruh staf Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan dan pelayanan yang

3. Bapak Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA. dan Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA. yang telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk memberikan bimbingan, masukan-masukan, arahan-arahan serta memberikan dorongan moril yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

4. Segenap Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

selama penulis menimba ilmu, mereka dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab memberikan ilmu pengetahuan dan telah memperluas cakrawala berfikir penulis.

5. Kepala dan segenap staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala perpustakaan Iman Jama yang telah sudi meminjamkan buku-buku yang diperlukan untuk penyelesaian penulisan tesis ini.

6. Rekan seperjuangan yang telah banyak membantu memberikan solusi dan motivasi untuk penyelesaian studi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu di dalam lembaran yang singkat ini. Atas semua bantuan dan jasa mereka, sekali lagi penulis ucapkan terima

kasih, jazaahumullah khairan katsiro, semoga menjadi amal shaleh yang akan memberatkan timbangan amal kebaikan di akhirat nanti. Amin.

Selanjutnya penulis tidak lupa memanjatkan do’a kepada Allah swt, kiranya Allah mengampuni dan mengasihi kedua orang tua penulis Amir (almarhum) dan

Amnah yang atas asuhan bimbingan, dorongan serta kasish sayangnya, penulis dapat menempuh jenjang pendidikan seperti sekarang ini.

Begitu pula penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak dan Ibu Mertua HM. Marfu’ dan Hj. Mursiah atas dorongan moril dalam upaya menyelesaikan studi ini.

Terakhir, kepada isteri tercinta, Nurhayati serta keenam ananda tersayang, penulis sampaikan terima kasih atas pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran serta

dorongan dalam rangka penyelesaian studi dan penulisan tesis ini.

Akhirnya, bagaimanapun maksimal usaha yang telah dilakukan, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam penulisan tesis ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca sangat dinantikan demi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat hendaknya. Dan Kepada Allah swt. penulis berserah diri dan senantiasa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya. Amin.

Tangerang, 26 April 2007 M

8 R. Tsani 1428 H Penulis

( Asnin Syafiuddin )

A. Amanah Terhadap Allah ………………………………. 48

B. Amanah terhadap Sesama Manusia …………………… 85

C. Amanah terhadap Diri Sendiri ………………………… 144 BAB IV

METODE AL-QUR’AN DALAM MENDORONG UMAT BERSIKAP AMANAH …………………………. 175

A. Menanamkan Nilai-Nilai Keimanan …………………. 175

B. Perintah Amanah dan Janji Bagi Pelakunya …………. 180

C. Larangan Khianat dan Ancaman Bagi Pelakunya …… 185 BAB V

PENUTUP ………………………………………………… 205

A. Kesimpulan …………………………………………… 205

B. Saran-saran …………………………………………… 207 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 209

PEDOMAN TRANSLITERASI

ا Tanpa lambang

th

zh

gh

ts

kh

dz

sy

sh

dh ة

ah; at

Untuk Mad dan Diptong

ى .َ.. ا .َ..

= â (a Panjang)

= î (i Panjang)

= û (u Panjang)

Kata Sandang

( لا )

- Diikuti oleh huruf syamsiah = ditransliterasikan sesuai dengan bunyi setelah

digabung. - Diikuti oleh huruf qamariah = ditransliterasikan ditulis sesuai dengan bunyi

= Subhanahu wa ta’ala saw = Shallallahu ‘alaihi wasallam ra

= Radhiyallahu ‘anhu

as

= ‘Alaihissalam / ‘alaihimussalam

H = Tahun Hijriyyah

= Tahun Masehi

ttp

= Tanpa Tahun

tth

= Tanpa Tahun

tp

= Tanpa Penerbit

h = halaman

vol

= volume

jld

= jilid

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia membutuhkan pedoman hidup yang dapat menuntun dan mengarahkannya ke jalan yang benar dan kehidupan yang teratur serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah sebagai pencipta manusia sudah barang tentu lebih tahu

tentang kebutuhannya. Oleh karena itu, Allah menurunkan kitab-kitab suci sebagai pedoman dan tuntunan hidup manusia. Di antara kitab suci itu adalah al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Al-Qur’an adalah merupakan kumpulan firman-firman Allah (kalamullah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril as. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah swt. yang paling utama, semua kandungannya adalah kebenaran semata. Firman Allah swt. :

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah.(QS. An-Nisa’/4 : 87)

Firman Allah yang lain :

Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (QS. An-Nisa’/4 : 122)

Sebagai pedoman hidup manusia, kandungan al-Qur’an mencakup semua aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan dengan alam sekitar. Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang aqidah, ibadah dan akhlak saja, tetapi juga berbicara tentang ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Hal ini dapat dibuktikan dengan data yang dikemukakan oleh Harun Nasution, bahwa 86 dari 114 surat al-Qur’an merupakan surat Makkiyyah yang

umumnya mengandung keterangan dan penjelasan tentang keimanan, perbuatan- perbuatan baik serta jahat, pahala dan ancaman, dan riwayat dari umat terdahulu. Sementara 28 surat lainnya merupakan surat Madaniyyah yang pada umumnya

mengandung ketentuan-ketentuan hukum tentang hidup kemasyarakat umat 1 . Dari sekian banyak yang dibicarakan al-Qur’an, amanah merupakan salah satu bagian yang penting dari yang dibicarakan al-Qur’an itu. Dikatakan penting, karena amanah merupakan salah satu ciri ketaatan seseorang kepada Allah dalam keislamannya. Sementara sifat khianat yang merupakan lawan dari sifat amanah merupakan salah satu ciri pembangkangan seseorang terhadap Allah yang bisa jadi akan membawanya pada keadaan cacat keislaman dan keimanannya. Dalam hal ini ‘Abd ar-Rahmân Hasan Habannakah al-Maidânî mengungkapkan : “ Sesungguhnya Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk memiliki sifat amanah, dan mengharamkan mereka menempuh jalan khianat. Orang yang memiliki sifat amanah berarti ia taat kepada Tuhannya, dan orang yang memiliki sifat khianat berarti ia

1 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta : UI Press, cet. 2, 1986), h. 26-27.

berbuat maksiat kepada Allah, dan bisa jadi ia sampai pada suatu keadaan di mana keislaman dan keimanannya menjadi cacat”. 2

Dari ungkapan Habannakah di atas jelas bahwa ada hubungan antara amanah dengan keimanan. Hal ini pun sebetulnya telah diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Mu’minûn : 8 :

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat ( yang dipikulnya ) dan janji- janjinya.(QS. al-Mu’minûn/23 : 8) 3

Ayat di atas merupakan lanjutan dari ayat pertama yang berbunyi :

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.(QS. al-Mu’minûn/23 : 1) Jelas sekali bahwa memelihara amanat yang terdapat dalam QS. al- Mu’minûn : 8 merupakan sifat orang-orang yang beriman. Orang yang menunaikan amanah berarti memiliki sifat orang-orang yang beriman. Sebaliknya orang yang khianat berarti memiliki sifat orang munafik. Ini merupakan bukti bahwa amanah memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam Islam. Dalam hal ini Wahbah az-Zuhaylî ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa orang-orang yang

2 ‘Abd ar-Rahmân Hasan Habannakah al-Maydânî (selanjutnya disebut Habannakah), al- Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha , (Damaskus : Dâr al-Qalam, cet. 2, 1407 H/1987 M), jld. 1, 647.

3 Lihat juga QS. al-Ma’arij/70 : 32.

memelihara kehormatan amanah dan kesucian janji, jika diberikan amanah (kepercayaan) tidak khianat, tetapi menunaikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Dan jika berjanji atau melakukan perjanjian, menepatinya. Jadi menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang yang beriman. Sedangkan khianat, melanggar janji, tidak menepati konsekwensi perjanjian dalam jual beli, sewa menyewa, perseroan dan sebagainya merupakan sifat orang

munafik… 4

Amanah yang merupakan sifat orang yang beriman mempunyai cakupan yang sangat luas. Amanah tidak hanya berkaitan dengan masalah harta, tetapi juga berkaitan dengan yang bukan harta, atau menurut istilah M. Quraish Shihab amanat bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non material dan bermacam- macam 5 . Cukuplah sebagai dalil, amanah dalam surat an-Nis â ’ ayat 58 disebutkan

dalam bentuk jamak yang menunjukkan banyak. Ayat itu berbunyi :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

4 Wahbah az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr Fî al-'Aqîdah wa asy-Syarî'ah wa al-Akhlâq, (selanjutnya disebut az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr), (Beirut : Dâr al-Fikr al-Mu'âshir, 1418 H/1998

M), jld. 9, juz 18, h. 13.

5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, (Ciputat : Lentera Hati, cet. 1, 1421 H/2000 M), vol. 2, h. 458.

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. an-Nisa’/4 :58)

Banyak mufassir yang dalam menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa amanah mempunyai ruang lingkup yang luas. Sayyid Quthub umpamanya dalam tafsirnya Fî Zhilâl al-Qur’ân menyebutkan beberapa macam amanah, yaitu : pertama, amanah fithrah manusia, di mana makhluk lain enggan dan menolak menerimanya. Ia adalah amanah hidayah, ma’rifah dan iman kepada Allah atas dasar

niat, kemauan, usaha dan orientasi. Amanah ini merupakan dasar, karena amanah- amanah lain bersumber dari amanah ini. Kedua, amanah kesaksian terhadap Islam,

yaitu berupa tiga kesaksian : kesaksian diri agar menjadi potret hidup bagi Islam; kesaksian dakwah dengan menyampaikan agama kepada orang lain; kesaksian agar menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan manusia di bumi Allah dengan mengerahkan berbagai macam sarana yang dimiliki. Atas dasar kesaksian inilah kata beliau jihad akan tetap berlangsung sampai hari kiamat. Ketiga, amanah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, seperti mengembalikan titipan harta, memberikan nasehat bagi pemimpin dan rakyat, mengurus anak, memelihara kehormatan dan kekayaan masyarakat, dan seluruh kewajiban yang disebutkan dalam Islam dalam segala lapangan kehidupan. Amanah ini bisa disebut amanah

memelihara hak orang lain baik berupa harta atau kehormatan. 6

6 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Beirut : Dâr asy-Syurûq, 1399 H/1979 M), jld. 2, h. 688-689.

Luasnya ruang lingkup amanah disebutkan juga oleh Sayyid Sâbiq dalam bukunya Islâmunâ : “Amanah adalah segala sesuatu yang wajib dipelihara dan ditunaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Amanah kata yang pengertiannya luas mencakup segala hubungan. Konsisten dalam keimanan serta merawatnya dengan faktor-faktor yang menyebabkan berkembang dan kekalnya adalah amanah; memurnikan ibadah kepada Allah adalah amanah; berinteraksi secara baik dengan perorangan dan kelompok adalah amanah; dan memberikan setiap hak

kepada pemiliknya adalah amanah…” 7 . Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa amanah mencakup ajaran Islam secara

keseluruhan, bukan seperti pemahaman sebagian orang bahwa amanah itu sebatas menjaga dan mengembalikan titipan orang lain. Amanah dalam pengertian yang luas inilah yang harus ditunaikan seorang muslim sebagai konsekwensi keimanannya kepada al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.

Namun dalam kenyataan, ada orang yang tidak menunaikan amanah ini. Ada orang yang mestinya menjadi citra yang baik bagi Islam, tetapi malah sebaliknya, memberikan citra yang buruk bagi Islam karena perbuatan dan tindakannya yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga lahirlah anggapan buruk terhadap Islam dari kalangan orang non muslim lantaran melihat pribadi muslim yang seperti ini.

Oleh karena itu, agar setiap muslim terdorong untuk memiliki sifat amanah, al-Qur’an menyebutkan beberapa metode untuk mendorong umat agar memiliki sifat

7 Sayyid Sâbiq, Islâmunâ, (Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, tth.), 166-167.

amanah tersebut. Di antara metode tersebut adalah al-Qur’an secara langsung dan secara tegas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisâ’ ayat 58 di atas. Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya. Perintah pada dasarnya menunjukkan arti wajib yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat siksa. Oleh karena itu az-Zuhaylî dalam menafsirkan ayat dimaksud mengungkapkan

bahwa menunaikan amanah adalah wajib terutama ketika diminta pemiliknya. Orang yang tidak menunaikannya di dunia, maka hal itu akan diambil dari dirinya pada hari kiamat. Dan apabila amanah itu rusak, hilang, atau dicuri, maka hal itu jika karena kesengajaan, kelalaian, dan kecerobohannya, ia harus menggantinya. Jika bukan karena demikian, maka ia tidak harus menggantinya 8 .

Dari uraian di atas, semakin jelaslah bahwa amanah merupakan tema penting yang dibicarakan al-Qur’an. Oleh karena itu perlu diadakan kajian yang konprehensif dan mendalam tentang pengertian amanah, urgensinya, ruang lingkupnya, dan cara menanamkannya agar umat Islam memilikinya dengan merujuk kepada al-Qur’an. Untuk memahami kandungan al-Qur’an yang berbicara tentang amanah diperlukan penjelasan para mufassir dalam kitab tafsirnya.

Di antara kitab tafsir adalah Fî Zhilâl al-Qur’ân yang disusun oleh Sayyid Quthub, at-Tafsîr al-Munîr Fî al-'Aqîdah wa asy-Syarî'ah wa al-Akhlâq yang

8 az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr, jld. 3, juz 5, h. 124.

disusun oleh Wahbah az- Zuhaylî, dan Tafsir al-Mishbâh, yang disusun oleh M. Quraish Shihab.

Dengan melakukan kajian ini, seorang muslim dapat mengetahui bagaimana sebenarnya para mufassir menafsirkan kandungan al-Qur’an yang berbicara tentang amanah, urgensinya dalam Islam, ruang lingkupnya dan apa metode al- Qur’an dalam mendorong umat memiliki sifat amanah. Dengan demikian, setiap muslim dapat memiliki sifat amanah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan dapat

mengaplikasikannya dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk mengetahui bagaimana para mufassir berbicara tentang sifat amanah,

maka sebagai studi pokok dalam penelitian ini akan ditelusuri penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat amanah beserta kata jadiannya, ayat-ayat tentang khianat sebagai lawan dari kata amanah, serta ayat-ayat lain yang berhubungan dengan pokok pembahasan. Penafsiran para mufassir difokuskan pada tiga kitab tafsir yang disebutkan di atas, dengan tidak menutup kemungkinan penelusuran kitab tafsir lain untuk memperdalam pembahasan dan mempertajam analisa. Untuk hal ini, akan ditelusuri pula kitab-kitab lain seperti kitab hadits, kitab akhlak, dan sebagainya.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Masalah pokok yang menjadi obyek kajian dari penelitian yang berjudul “Amanah dalam Persepektif Para Mufassir “ ini adalah untuk memperoleh jawaban Masalah pokok yang menjadi obyek kajian dari penelitian yang berjudul “Amanah dalam Persepektif Para Mufassir “ ini adalah untuk memperoleh jawaban

Berkenaan dengan masalah pokok yang dijelaskan di atas, maka serangkaian masalah di bawah ini akan dicarikan jawabannya melalui kajian penelitian ini, yaitu :

1. Apa pengertian amanah dan apa urgensinya dalam kehidupan.

2. Apa saja ruang lingkup amanah yang harus ditunaikan oleh seorang muslim.

3. Metode apa yang digunakan al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah. Untuk menghindari kesalahpahaman dan persepsi yang berbeda tentang

pokok masalah dan serangkaian masalah yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini, maka penulis perlu memberikan batasan berikut ini :

1. Yang dimaksud dengan “Para Mufassir “ adalah para mufassir al-Qur’an, yakni para ulama yang menafsirkan al-Qur’an dalam kitab tafsirnya. Karena banyaknya ulama yang menafsirkan al-Qur’an, maka penulis membatasi pada tiga mufassir, yaitu : Sayyid Quthub dengan kitab tafsirnya Fî Zhilâl al- Qur’ân , Wahbah az-Zuhaylî dengan kitab tafsirnya at-Tafsîr al-Munîr fî al- ‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, dan M. Quraish Shihab dengan kitab tafsirnya Tafsir al-Mishbâh. Dipilihnya tiga tafsir di atas, karena ketiga tafsir tersebut termasuk tafsir modern yang penulisannya secara umum memadukan antara penafsiran ulama terdahulu dengan tuntutan masa sekarang. Selain itu, Fî Zhilâl al-Qur’ân , dalam mengaktualisasikan penafsiran dengan kondisi 1. Yang dimaksud dengan “Para Mufassir “ adalah para mufassir al-Qur’an, yakni para ulama yang menafsirkan al-Qur’an dalam kitab tafsirnya. Karena banyaknya ulama yang menafsirkan al-Qur’an, maka penulis membatasi pada tiga mufassir, yaitu : Sayyid Quthub dengan kitab tafsirnya Fî Zhilâl al- Qur’ân , Wahbah az-Zuhaylî dengan kitab tafsirnya at-Tafsîr al-Munîr fî al- ‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, dan M. Quraish Shihab dengan kitab tafsirnya Tafsir al-Mishbâh. Dipilihnya tiga tafsir di atas, karena ketiga tafsir tersebut termasuk tafsir modern yang penulisannya secara umum memadukan antara penafsiran ulama terdahulu dengan tuntutan masa sekarang. Selain itu, Fî Zhilâl al-Qur’ân , dalam mengaktualisasikan penafsiran dengan kondisi

2. Ayat-ayat pokok yang menjadi objek kajian adalah : pertama, ayat-ayat yang berkaitan dengan amanah, yaitu : QS. 33 : 72; 2 : 283; 4 : 58; 8 : 27; 23 : 8;

44 : 18; 81 : 21; 3 : 75. Kedua yang berkaitan dengan khiyanah (khianat) sebagai lawan dari amanah, yaitu : QS. 66 : 10; 8 : 71; 8 : 27; 4 : 105, 107; 8 : 58; 5 :13; 45 : 19; 22 : 38. Selain ayat-ayat pokok di atas, penulis juga melakukan kajian terhadap ayat-ayat lain dalam rangka memperdalam pembahasan.

3. Ruang lingkup amanah yang akan dibahas adalah amanah terhadap Allah, amanah terhadap sesama manusia dan amanah terhadap diri sendiri. Sedangkan amanah terhadap lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Tafsir al-Mishbâh tidak menjadi ruang lingkup bahasan dalam tesis ini. Hal ini agar pembahasan ini tidak terlalu luas dan pelaksanaan amanah terhadap 3. Ruang lingkup amanah yang akan dibahas adalah amanah terhadap Allah, amanah terhadap sesama manusia dan amanah terhadap diri sendiri. Sedangkan amanah terhadap lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Tafsir al-Mishbâh tidak menjadi ruang lingkup bahasan dalam tesis ini. Hal ini agar pembahasan ini tidak terlalu luas dan pelaksanaan amanah terhadap

Berdasarkan batasan masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah yang akan diteliti dan diungkapkan dalam penelitian ini bisa dirumuskan sebagai berikut : Apa amanah itu dalam persepektif para mufassir, pengertian, urgensi, ruang lingkupnya, serta metode al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang amanah dalam persepektif para mufassir, yang meliputi pengertian, urgensinya dalam kehidupan, ruang lingkupnya, metode al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dan sumbangan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu tafsir. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan bacaan masyarakat umum khususnya masyarakat muslim agar dapat memahami tuntunan al-Qur’an tentang amanah sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai konsekwensi seorang muslim.

Penelitian ini juga dilakukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mencapai gelar magister di bidang Tafsir Hadits pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tela’ah Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada buku yang membahas amanah secara sistematis dan menyeluruh. Begitu juga penulis belum mendapatkan tesis atau disertasi yang meneliti tentang amanah dalam persepektif para mufassir. Sekalipun demikian, pembahasan tentang amanah banyak didapatkan dalam buku- buku tafsir, baik buku-buku tafsir klasik seperti kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân yang

terkenal dengan Tafsir ath-Thabarî dan tafsir Ibnu Katsîr, maupun buku-buku tafsir modern seperti kitab tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, at-Tafsîr al-Munîr, dan Tafsir al-

Mishbâh . Hanya saja sebagaimana layaknya buku-buku tafsir, pembahasan amanah dilakukan sesuai dengan ayat-ayat tentang amanah yang terpencar dalam beberapa surat al-Qur’an, tidak secara sistematis dan terpadu.

Di samping kitab-kitab tafsir, pembahasan amanah dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab akhlak. Di antara kitab-kitab akhlak yang melakukan pebahasan tentang amanah adalah kitab al-akhlâq al-Islâmiyyah wa Ususuhâ yang ditulis oleh ‘Abd ar-Rahmân Hasan Habannakah al-Maydânî. Dalam buku ini dibahas tentang pengertian amanah, sikap Islam tentang sifat amanah, ruang lingkup amanah, sifat amanah merupakan sifat fitrah dan hasil usaha, teks-teks al-Qur’an dan hadits tentang

amanah dan juga membahas khianat sebagai lawan dari amanah 9 . Selain buku tersebut, penulis mendapatkan juga pembahasan amanah dalam buku Islâmunâ yang

9 Lihat : Habannakah, al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha, jld. 1, h. 645-673.

ditulis oleh Sayyid Sâbiq. Dalam buku ini, dibahas tentang urgensi memiliki sifat amanah, ajakan untuk memiliki sifat amanah, dan luasnya ruang lingkup amanah 10 .

Namun kedua karya di atas tidak membahas amanah secara luas dan menyeluruh Sekalipun buku-buku tafsir dan buku-buku akhlak tidak membahas amanah secara sistematis dan terpadu, atau tidak luas dan menyeluruh, namun buku-buku itu sangat membantu penulis dalam melakukan penelitian ini.

E. Metodologi Penelitian

Untuk mengetahui tinjauan para mufassir terhadap masalah yang dibicarakan, maka akan ditelusuri ayat-ayat yang berkenaan dengan amanah beserta kata jadiannya, ayat-ayat tentang khianat yang merupakan lawan kata amanah, serta ayat-ayat lainnya yang relevan dengan pokok pembicaraan.

Karena penelitian ini menyangkut tafsir secara langsung, maka sumber utama penelitian ini adalah tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân oleh Sayyid Quthb, at-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj oleh Wahbah az-Zuhaylî, dan Tafsir al-Mishbâh oleh M. Quraish Shihab.

Untuk memperdalam pembahasan dan mempertajam analisa sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tidak menutup kemungkinan dipergunakan juga kitab-kitab tafsir yang lain, seperti Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm yang terkenal dengan Tafsir Ibnu Katsir oleh Ibnu Katsir, at-Tafsir al-Marâghî, oleh Mushthafâ al- Marâghî, dan tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Qurthubî.

10 Lihat Sâbiq, , Islâmunâ , h. 161-172.

Selain sumber-sumber rujukan buku tafsir di atas, untuk lebih memperdalam bahssan dugunakan juga, buku-buku hadits, buku-buku akhlak, serta buku-buku lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

Agar pembahasan mengenai kata-kata bahasa al-Qur’an lebih lengkap, akan dipergunakan al-Mu’jam al-Wasîth, karya Ibrahîm Mushthafâ, dkk, Lisân al-'Arab, karya Muhammad ibn Makram Ibn Manzhûr. Untuk memudahkan pelacakan ayat- ayat al-Qur’an yang diperlukan dalam pembahasan, dipergunakan al-Mu’jam al-

Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm , karya Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî. Dan agar penulisan teks al-Qur’an beserta terjemahnya terhindar dari kekeliruan, di gunakan juga CD Holy Qur’an.

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, dipergunakan studi kepustakaan, dengan mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penulisan dari berbagai sumber yang diperlukan. Data-data dan bahan-bahan tersebut diperiksa kembali, kemudian disusun dengan sistematis dalam kerangka dan paparan yang sudah direncanakan.

Karena objek pemabahasan penelitian ini utamanya adalah ayat-ayat al- Qur’an, maka metode yang digunakan penulis untuk menganalisa data-data yang dihimpun adalah metode at-tafsir al-muqâran ( metode perbandingan), di mana penulis mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang amanah yang ditulis oleh sejumlah para mufassir dalam kitab tafsirnya, terutama oleh ketiga mufassir yang telah disebutkan di atas. Kemudian penafsiran mereka dikaji dan Karena objek pemabahasan penelitian ini utamanya adalah ayat-ayat al- Qur’an, maka metode yang digunakan penulis untuk menganalisa data-data yang dihimpun adalah metode at-tafsir al-muqâran ( metode perbandingan), di mana penulis mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang amanah yang ditulis oleh sejumlah para mufassir dalam kitab tafsirnya, terutama oleh ketiga mufassir yang telah disebutkan di atas. Kemudian penafsiran mereka dikaji dan

Sesuai dengan karakteristik dari penelitian ini, yaitu mencoba menganalisis penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif seperti kata-kata tertulis. Melalui

metode ini, penulis mencoba untuk mengungkapkan apa tinjauan para mufassir tentang amanah secara komprehensif dan obyektif.

Adapun teknik penulisan tesis ini berpedoman pada buku “ Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi “ yang diterbitkan IAIN Jakarta Press edisi tahun 2000.

F. Sistimatika Penulisan

Pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis. Bab Pertama memaparkan pendahuluan yang meliputi uraian tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tentang pengertian amanah secara etimologi dan terminologi serta urgensinya dalam kehidupan.

Bab ketiga membahas tentang ruang lingkup amanah, yang meliputi amanah terhadap Allah, amanah terhadap sesama manusia dan amanah terhadap diri sendiri. Bab keempat membahas metode al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah, yaitu menanamkan nilai-nilai keimanan, perintah amanah dan janji bagi pelakunya, larangan khianat dan ancaman bagi pelakunya.

Bab kelima mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, serta saran-saran yang penulis anggap perlu.

BAB II PENGERTIAN AMANAH DAN URGENSINYA DALAM KEHIDUPAN

A. Pengertian Amanah

Dalam bahasa Arab amanah ( ﺔﻧﺎﻣ ) أ berasal dari kata ، ﺎًﺘْﻣَأ – ُﻦَﻣْﺄَﯾ – َﻦِﻣَأ ُﻦْﯿِﻣَأَو ، ُﻦِﻣَأَو ، ُﻦِﻣآ َﻮُﮭَﻓ – َﺔَﻨَﻣَأَو ، ﺎًﻨْﻣِإَو ، ﺎًﻨَﻣَأَو ، ًﺔَﻧﺎَﻣَأَو ، ﺎًﻧ ﺎ َﻣَأَو dan – ًﺔ َﻧﺎَﻣَأ – ُﻦُﻣْﺄَﯾ – َﻦُﻣَأ

ُﻦْﯿِﻣَأ َﻮُﮭَﻓ yang berarti merasa aman dan percaya, jujur dan terpercaya, penunaian kewajiban yang didasari dengan niat, titipan, kewajiban, ketaatan, dan ibadah. 11

Tentang arti merasa aman dan percaya dapat dipahami dari firman Allah :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; (QS. Al-Baqarah/2 : 283)

Tentang arti jujur dan terpercaya antara lain Allah berfirman :

11 Ibrahîm Mushthafâ, et al , al-Mu’jam al-Wasî th, (Istanbul : al-Maktabah al-Islamiyyah, tth.), h. 28; Muhammad ibn Makram Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, ( Beirut : Dâr Shâdir, tth.), jld.

13, h. 22, CD Maktabah at-Tafsîr wa 'Ulûm al-Qur'ân; ath-Thahir Ahmad az-Zawi, Tartîb Qâmûs al- Muhîth, (Riyadh : Dar ‘Alam al-Kutub, cet. 4, 1417 H/1996 M), jld. 1, h. 182.

Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu". (QS. Al-A’raf/7 : 68) 12

Tentang arti kewajiban, ketaatan dan ibadah yang harus ditunaikan seseorang baik yang menyangkut dengan Allah atau yang menyangkut dengan manusia Allah berfirman :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa’/4 : 58) 13

Tentang kewajiban yang harus ditunaikan seseorang yang bersifat harta (hutang) sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 283 sebagaimana telah disebutkan di atas.

Tentang arti kewajiban secara umum atau penunaian kewajiban yang didasari dengan niat, Allah berfirman :

12 Lihat juga, QS. 12 : 54; 26 : 107, 125, 143, 162, 178, 193; 27 : 39; 28 : 26; 44 : 18; 81 : 21.

13 Lihat juga : QS. 8 : 27; 23 : 8; 70 : 32.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung- gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. Al-Ahzab/33 : 72)

Berkenaan dengan arti amanah dalam ayat di atas, pengarang Lisân al-‘Arab dan Tartîb Qâmûs al-Muhîth mengungkapkan bahwa amanah di atas berarti kewajiban-kewajiban yang diwajibkan Allah kepada manusia atau niat yang diyakini seseorang tentang keimanan yang diucapkan dengan lisan, dan menunaikannya secara

lahir dari semua kewajiaban itu. 14 Dalam Bahasa Indonesia, selain kata amanah digunakan juga kata amanat.

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, amanah ialah sesuatu yang dititipkan kepada orang lain, sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain; dapat dipercaya. Sedangkan amanat ialah titipan atau suatu kepercayaan yang dibebankan kepada orang lain – pesan atau perintah yang disampaikan kepada orang lain - keseluruhan

makna suatu pembicaraan , gagasan yang mendasari isi karya sastra 15 . Pengertian dua kata amanah dan amanat dalam bahasa Indonesia ini sejalan

dengan kata amanah dalam bahasa Arab. Dalam terminologi Islam, terdapat beberapa ungkapan para ulama tentang amanah :

1. Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaylî :

14 Muhammad ibn Makram Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, jld. 13, h. 24; ath-Thahir Ahmad az-Zawi, Tartîb Qâmûs al-Muhîth, jld. 1, h. 182.

15 Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya, Apollo, tth,) hal 33-34.

Setiap yang dibebankan kepada manusia dari Allah seperti kewajiban-kewajiban agama, atau dari manusia seperti titipan harta. 16

2. Menurut M. Quraish Shihab : Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara

dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya . 17

3. Menurut Mushtafâ al-Marâghî :

Amanah ialah segala sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang berupa perintah dan larangan baik dalam urusan agama maupun dunia. 18

4. Menurut Dr. Mushthafâ Sa’ î d al-Khin dkk. :

Memelihara dan menunaikan hak kepada pemiliknya . 19

5. Menurut 'Abd ar-Rahman Hasan Habannakah al-Maydan î :

16 az-Zuhaylî, , at-Tafs îr al-Munîr, jld. 9 , juz 18 h. 9.

17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 2, h. 457.

18 Muhammad Mushtafâ al-Marâghî (selanjutnya disebut al-Marâghî), Tafsîr al-Marâghî , jld. 8, h 45. Di tempat lain dalam kitab tafsirnya, al-Marâghî memberikan definisi yang serupa

walaupun redaksinya berbeda. (Lihat : jld. 2, h. 69, jld.6, h. 4)

19 Al-Khin, Mushthafâ Sa’îd, Al-Khin, et al, Nuzhah al-Muttaqîn Syarh Riyâdh al-Shâlihîn, (selanjutnya: al-Khin, Nuzhah al-Muttaqî) (Beirut : Muassasah al-Risâlah, cet. 1, 1397 H/1977 M), jld.

Amanah dari sisi kejiwaan ialah sifat akhlak yang melekat dalam jiwa yang dengannya seseorang menjaga diri dari sesuatu yang bukan haknya, walaupun kondisi untuk berbuat pelanggaran mendukungnya tanpa dihadapkan kepada adanya pembuktian di hadapan orang banyak; dan menunaikan kewajibannya atau hak orang lain yang ada padanya, walaupun ia mampu menguranginya tanpa dihadapkan

kepada adanya pembuktian di hadapan orang banyak . 20

Selanjutnya setelah menjelaskan pengertian amanah di atas, Habannakah menyimpulkan pengertian amanah mengandung tiga unsur :

a. Sikap menjaga diri orang yang dapat dipercaya dari sesuatu yang bukan haknya.

b. Sikap menunaikan orang yang dapat dipercaya terhadap kewajibannya yang menjadi hak orang lain.

c. Adanya perhatian penuh dari orang yang dapat dipercaya untuk menjaga sesuatu hak orang lain yang dititipkan kepadanya dengan tidak menyia-

nyiakan dan melalaikannya. 21

Pengertian-pengertian amanah yang dikemukakan oleh ketiga mufassir di atas pada dasarnya sama. Pendekatan mereka adalah penafsiran terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang amanah yang konteksnya kewajiban, tugas, atau beban yang

20 Habannakah, al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha , jld. 1, h. 645.

21 Habannakah, al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha , jld..1, h. 646-647.

harus ditunaikan seseorang, baik yang menyangkut dengan Allah maupun yang menyangkut sesama manusia. Sedangkan kedua ulama berikutnya dalam mengartikan amanah lebih melihat amanah sebagai suatu sikap dan sifat yang melekat pada seseorang dalam menunaikan hak atau kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pengertian yang dikemukakan oleh kedua ulama tersebut sejalan dengan ayat-ayat al- Qur’an yang menyebutkan sifat “amîn” nya beberapa orang rasul. Sifat “amîn” para rasul ini seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara’ ayat 107

berekenaan dengan Nabi Nuh as. : ( ٌﻦﯿِﻣَأ ٌلﻮُﺳَر ْﻢُﻜَﻟ ﻲﱢﻧِإ / Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu ). Berkenaan dengan ayat di atas,

beberapa mufassir mengungkapkan bahwa para rasul itu bersifat jujur terpercaya, tidak khianat, tidak menipu, tidak bersikap curang, tidak menambah dan mengurangi dalam menyampaikan ajaran Allah yang ditugaskan kepada mereka. Sifat jujur dan terpercaya yang dimiliki para rasul ini sebetulnya sudah dikenal oleh para pengikut mereka sebelum mereka diangkat menjadi rasul. 22

Jadi kelima pengertian amanah di atas pada dasarnya tidak bertentangan, tapi saling melengkapi, karena memandang amanah dari dua aspek yang berbeda. Tiga orang mufassir lebih menyoroti amanah sebagai tugas atau beban yang harus ditunaikan seseorang, sedangkan kedua ulama lainnya lebih menyoroti amanah sebagai sifat dan sikap yang melekat pada diri seseorang dalam menunaikan suatu

22 Lihat umpamanya : Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 5 h. 2607; az-Zuhaylî, at- Tafs îr al-Munîr, jld. 10, juz, 19, h. 185; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 10, h. 90.

kewajiban atau beban yang dipikulakan kepadanya. Oleh karena itu, dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan bahwa amanah mempunyai dua arti :

Pertama : Tugas atau beban yang diberikan kepada seseorang, baik diberikan oleh Allah atau oleh sesama manusia.

Kedua : Kredibilitas atau sifat dapat dipercaya yang ada pada seseorang dalam menunaikan tugas atau beban tersebut.

B. Korelasi Amanah dengan Iman

Amanah dalam pengertian di atas merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam Islam. Di antara urgensi amanah dalam Islam adalah bahwa amanah mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keimanan sesuai dengan firman Allah :

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat ( yang dipikulnya ) dan janji- janjinya .(QS. al- Mu’minûn/23 : 8; al- Ma’ârij /70 : 32)

Ayat di atas terdapat dalam dua surat dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat al- Mu’minûn ayat 8 dan surat al-Ma’ârij ayat 32. Ayat 8 surat al- Mu’minûn merupakan lanjutan ayat pertama yang berbunyi :

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. .(QS. al- Mu’minûn/23 : 1) Jelas sekali bahwa memelihara amanat yang terdapat dalam ayat 8 surat al- Mu’minûn merupakan sifat orang-orang yang beriman. Begitu juga ayat 32 surat al- Ma’ârij walaupun sebelumnya tidak menyebutkan kata al- Mu’minûn (orang-orang

yang beriman), namun sifat-sifat yang disebutkan dalam surat al- Ma’ârij dari ayat 19-35 tidak jauh berbeda dengan sifat-sifat orang-orang yang beriman yang

disebutkan dalam surat al- Mu’minûn dari ayat 1-11. Dalam hal ini Wahbah az-Zuhaylî ketika menafsirkan QS. al- Mu’minûn/23 : 8 di atas sebagaimana disebutkan dalam bab pertama mengungkapkan bahwa orang-orang yang memelihara kehormatan amanah dan kesucian janji, jika diberikan amanah (kepercayaan) tidak khianat, tetapi menunaikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Dan jika berjanji atau melakukan perjanjian, menepatinya. Jadi menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang yang beriman. Sedangkan khianat, melanggar janji, tidak menepati konsekwensi perjanjian dalam jual beli, sewa menyewa, perseroan dan sebagainya merupakan sifat orang

munafik…. 23 Begitu juga ketika menafsirkan QS. al- Ma’ârij /70 : 32, az-Zuhaylî

mengungkapkan : “ Yakni orang-orang yang menunaikan amanah yang dipercayakan

23 az- Zuhaylî, , at-Tafsîr al-Munîr , jld. 9, juz 18 h. 13.

terhadap mereka kepada pemiliknya, menepati segala perjanjian, dan sedikitpun tidak melanggar perjanjian yang mereka ikat. Apabila mereka diberi amanah, tidak khianat; apabila mereka berjanji, tidak mengingkari. Inilah sifat-sifat orang-orang

yang beriman, dan lawannya adalah sifat orang-orang munafik”. 24

Menunaikan amanah merupakan sifat orang-orang yang beriman, didapat juga dalam penafsiran Sayyid Quthub, Ibnu Katsir dalam menafsirkan dua ayat di atas. 25

Dalam hubungan amanah dengan iman M. Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa amanah adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi saw. “Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah”. 26

Hubungan amanah dengan iman diperkuat juga dalam hadits Rasulullah

saw. :

24 Az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr, jld.15, juz 29, h. 123.

25 Lihat : Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân t, jld. 4, h. 2456, dan jld. 6, h. 3701-3702; Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, (Riyâdh, Dâr 'Alam al-Kutub, cet. 2, 1418 H/1997 M), jld. 4,

h. 498; dan jld. 3 h. 301. 26

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 2, h. 457, vol. 10, h. 159. Sedangkan hadits yang beliau nukil teks aslinya adalah : هاور )." ُﮫَﻟ َﺪْﮭَﻋ ﺎَﻟ ْﻦَﻤِﻟ َﻦﯾِد ﺎَﻟَو ، ُﮫَﻟ َﺔَﻧﺎَﻣَأ ﺎَﻟ ْﻦَﻤِﻟ َنﺎَﻤﯾِإ ﺎَﻟ ": َلﺎَﻗ ﺎﱠﻟِإ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﮫﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﮫﱠﻠﻟا ﱡﻲِﺒَﻧ ﺎَﻨَﺒَﻄَﺧ ﺎَﻣ : َلﺎَﻗ ٍﻚِﻟﺎَﻣ ِﻦْﺑ ِﺲَﻧَأ ْﻦَﻋ ( ﺪﻤﺣأ Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullahsaw. tidak berkhutbah kepada kami, kecuali beliau bersabda : " Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai Amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak (menepati) janji ". HR. Ahmad (Lihat : Ahmad bin Hanbal asy-Syaybanî (selanjutnya ditulis : Ahmad), Musnad al-Imâm Ahmad , (Mesir : Muassasah Qurthubah, tth.), jld. 3, h. 135, CD Room al-maktabah al-Alfiyyah li as-Sunnah an-Nabawiyyah.

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw.bersabda : "Demi Allah seseorang tidak beriman, demi Allah seseorang tidak beriman, demi Allah seseorang tidak beriman", dikatakan kepadanya : Siapa wahai Rasulullah ?, beliau menjawab : " Orang yang tetangganya

tidak merasa aman dari segala kejahatannya " (HR. Bukhari dan Muslim) 27

Dalam hadits ini Rasulullah saw. menafikan kesempurnaan iman orang yang melakukan kejahatan terhadap tetangganya. Melakukan kejahatan terhadap tetangga

merupakan salah satu bentuk tidak melakukan amanah terhadap orang lain (tetangga).

Hadits Rasulullah yang lain :

Dari Abu Hurairah ia bersabda : Rasulullah saw. bersabda : " Orang muslim itu adalah yang orang muslim lainnya merasa selamat dari (gangguan) lidah dan tangannya, dan orang mukmin itu adalah yang orang lain merasa aman dalam darah dan hartanya ". (HR. Tirmidzi dan Nasa'I, Tirmidzi berkata : Ini hadits hasan shahih) 28

27 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , Kitâb al-Adab, bâb Itsmu man lâ ya’manu jâruhu bawâiqahu , (Riyadh : Daar 'Alam al-Kutub li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', cet. 1, 1417

H/1996 M), jld. 4, juz 7, h. 78; Muslim, Shahih Muslim, Kitâb al- mân, Bâb BayânTahr î m idzâ’ al- Jâr, (Riyadh : Daar 'Alam al-Kutub li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', cet. 1, 1417 H/1996 M), jld. 1, h. 68.

28 Al-Mubârakfurî, Muhammad 'Abd ar-Rahmân bin 'Abd ar-Rahîm, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jami' at-Tirmidz î, Kitâb Abwâb al-Imân, Bâb Mâ Jâa al-lmuslimu man salima al-Muslimûna min

lis ânihi wa yadihi, (selanjutnya : al-Mubârakfuriy, Tuhfah al-Ahwadzî) (Madinah : Maktabah as- Salafiyyah, tth.), jld. 7, h. 379; an-Nasâ'î, Sunan an-Nasâ'î bi Syarh al-Hâfuzh Jalâl ad-Dîn as-Suyuthî, Kitâb al-Îmân wa Syarâi’ihi, Bâb Shifah al-Muslim, (selanjutnya disebut Sunan an-Nasâ'î) (Beirut : Ihyâ' at-Turâts al-'Arabî, tth.), jld. 4, juz 8, h. 105.

Dalam hadits ini, Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang beriman adalah orang yang tidak mengganggu orang lain. Tidak mengganngu orang lain merupakan salah satu bentuk penunaian amanah.

Dalam hadits ini juga Rasulullah saw. menafikan iman bagi orang yang tidak menunaikan Amanah. Dengan demikian jelas sekali hubungan amanah dengan iman. Oleh

karena itu dalam hadits lain beliau menjelaskan bahwa khianat - sebagai lawan dari amanah- termasuk salah satu tanda orang munafik. Rasulullah saw. bersabda :

Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : " Tanda orang munafik itu tiga : apabila bicara dusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila diberi amanat khianat

". (HR. Bukhari dan Muslim) 29

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. bersabda :

Dari Abdullah bin 'Amr, bahwa Nabi saw. bersabda : "Ada empat sifat apabila terdapat pada diri seseorang ia termasuk orang munafik murni, dan apabila satu dari empat sifat itu ada padanya, berarti ia mempunyai sifat munafik sehingga ia

29 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Îmân, Bab ‘Alâmah al-Munâfiq, jld. 1, juz 1, h. 14; Muslim, Muslim, Shahîh Muslim , Kitâb al-Îmân, Bab Khishâl al-Munâfiq jld. 1, h. 78.

meninggalkannya. (Yaitu) Apabila diberi amanat ia khianat, apabila ia bicara ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila ia bertengkar ia berbuat durhaka". (HR.

Bukhari dan Muslim) 30

C. Amanah Merupakan Sifat Para Rasul

Di samping amanah merupakan sifat orang mukmin, amanah juga termasuk sifat para rasul yang menonjol, karena sifat amanah merupakan syarat utama dipilihnya mereka menjadi rasul. Kalau mereka bukan orang-orang yang amanah,

pasti Allah tidak menugaskan mereka untuk membawa risalah kepada umat manusia. Karena orang yang tidak memiliki sifat amanah, tidak bisa dijamin ia menyampaikan risalah kepada umatnya.

Dalam al-Qur'an banyak dikisahkan para rasul, di antara mereka ada yang secara tegas disebutkan memiliki sifat amanah. Ini tidak berarti para rasul lain tidak memiliki sifat amanah. Penyebutan sifat amanah bagi sebagian rasul, barangkali kemaslahatan dakwah menghendaki demikian sesuai dengan kondisi umatnya.

Para rasul yang dalam al-Qur'an disebutkan memiliki sifat amanah adalah nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu’aib, Yusuf dan Musa as. Tentang nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu'aib as, Allah memberitakan bahwa masing-masing mereka berkata kepada kaumnya :

30 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , Kitâb al-Îmân, Bab ‘Alâmah al-Munâfiq, jld. 1, juz 1, h. 14; Muslim, Muslim, Shahîh Muslim , Kitâb al-Îmân, Bab Khishâl al-Munâfiq jld. 1, h. 78.

Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu (QS. asy-Syu'ara'/26 : 107, 125, 143, 162, 178)

Khusus tentang nabi Hud as, Allah juga menyebutkan dalam surat al-A'raf :

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya " ? Pemuka-pemuka yang kafir dari

kaumnya berkata: "Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang- orang yang berdusta". Hud berkata: "Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu". (QS. Al-A'raf/7 : 65-68)

Tetang nabi Yusuf, Allah berfirman mengkisahkan perkataan penguasa Mesir :

Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". (QS. Yusuf/12 : 54)

Sedangkan tentang nabi Musa a.s. Allah berfirman dalam surat al-Qashash :

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al- Qashash/28 : 26)

Allah juga berfirman dalam surat ad-Dukhân :