Pengaruh pangan yang dicemari logam berat timbal (Pb) terhadap kadar timbal pada cacing Lumbricus rubellus

(1)

PENGARUH PANGAN YANG DICEMARI LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) TERHADAP KADAR TIMBAL PADA CACING Lumbricus rubellus

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Jimmy Pieter Chua

NIM : 098114018

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

i

PENGARUH PANGAN YANG DICEMARI LOGAM BERAT TIMBAL TIMBAL (Pb) TERHADAP KADAR TIMBAL PADA CACING Lumbricus

rubellus

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Jimmy Pieter Chua

NIM : 098114018

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

vi

“Jadilah seperti pohon yang ditanam ditepi aliran air, yang

menghasilkan buah pada musimnya, dan tidak layu daunnya, serta apa yang diperbuatnya pun berhasil ”

(Mazmur 1: 3)

Karya ini kupersembahkan untuk:

Bapak dan Ibu sebagai rasa syukur atas kasih sayang yang berlimpah, perhatian, semangat, dan dukungannya

Teman - teman Almamaterku


(8)

vi

PRAKATA

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria berkat kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pangan yang Dicemari Logam Berat Timbal (Pb) Terhadap Kadar Timbal Pada Cacing Lumbricus rubellus” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku Ketua Program Studi Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta yang turut memberikan saran dan masukan untuk penulis selama tahap penelitian.

3. Prof. Dr. Sri Noegrohati Apt, selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.

4. Dra. M.M. Yetty Tjandrawati, M.Si. dan Enade Perdana Istyastono, Ph. D., Apt. selaku dosen penguji atas segala masukan dan bimbingannya.

5. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt. atas dukungan dan segala bantuan dalam perijinan penggunaan lab.


(9)

7. Segenap dosen yang telah berkenan membagikan ilmu kepada penulis selama belajar di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Teman seperjuangan skripsi: Rachelia Octavia, A. A. Istri Yulianti S., untuk kesabaran, kebersamaan dan suka dukanya.

9. Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, Mas Kethul Ismadi, Mas Ottok dan seluruh staff laboratorium Fakultas Farmasi serta staff keamanan dan kebersihan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya.

10.Teman seperjuangan di laboratorium Kimia Analisis Instrumentasi : Leo, Topan, Ina, Nety, Jo, Shinta, Sasya, Metri, Victor, Agnes, Novia, Teti, Febrin, Wisnu dan Ozy.

11.Teman-teman FST A 2009 dan seluruh angkatan 2009 atas dukungan dan suka duka yang diberikan, Semoga pengalaman yang telah kita lalui bersama bisa menjadi bekal untuk perjuangan hidup kita kelak.

12.Seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis, sehingga sangat diharapkan adanya masukan dan saran yang membangun untuk penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan.


(10)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………... v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. vi

PRAKATA………... vi

DAFTAR ISI………... viii

DAFTAR TABEL……….. xiv

DAFTAR GAMBAR……….. xv

DAFTAR LAMPIRAN………... xvi

INTISARI………... xvii

ABSTRACT……….. xviii

BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang……… 1

1. Perumusan Masalah ……….. 3

2. Keaslian Penelitian ………. 3

3. Manfaat Penelitian ………... 4

B. Tujuan Penelitian ………... 4 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

A. Lumbricus rubellus………..…………... B. Manfaat Cacing Lumbricus rubellus………...

5 5


(11)

C. Pencemaran Logam Berat .…..………...………… 6

D. Timbal………...………...… 6

1. Definisi ………..………..…….. 6

2. Keracunan Timbal…….……… 7 E. Destruksi………...………...

1. Destruksi Kering………. 2. Destruksi Basah………...……… a. Satu Jenis Asam……….. b. Campuran Asam……….

7 8 8 9 10 F. Spektroskopi Serapan Atom ……….……….

1. Source (Sumber Cahaya) ………. 2. Absorption Cell………. a. Burner system……….

b. Nebulizer……….

3. Slit………

4. Monochromator………... 5. Detector………...

6. Display………

G. Validasi Metode Analisis……… 1.Linearitas………...……….. 2.Spesifisitas………..… 3.Akurasi……… 4.Presisi……….. 10 12 13 13 13 13 13 13 14 14 15 15 15 16


(12)

a. Repeatability………. b. Intermediate Precision... c. Reproducibility……….. 5.Limit of Detection……….... 6.Limit of Quantitation………... H. Landasan Teori……… I. Hipotesis……….. J. Bagan Kerja ………

16 16 17 17 18 19 19 19

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ………...……… 20

B. Variabel Penelitian………...……… 20

C. Definisi Operasional……… 20

D. Bahan-bahan Penelitian ……….. 21

E. Alat-Alat Penelitian ……… 21 F. Tatacara Penelitian ………..

1. Pencucian Wadah dan Peralatan………. 2. Pemilihan Sampel………... 3. Penimbangan Bobot Kering Sampel ……….. 4. Destruksi Cacing Lumbricus rubellus………... a. Digesti Basah………... b. Penyaringan………. 5. Kondisi Optimum Analisis………...………...

21 21 22 22 22 23 23 24


(13)

a. Optimasi Tinggi Burner………... b. Optimasi Untuk Perbandingan Bahan Bakar dan Oksidator…... 6. Kurva Baku………. a. Larutan Stok (1000 µg/ml)……….. b. Larutan Intermediet………. 7. Validasi Metode Analisis………... a. Prosedur Standar Adisi……… 8. Penetapan Kadar………..………

a. Penyiapan Sampel……… b. Preparasi Sampel………. c. Digesti Basah………... d. Penyaringan………. e. Penetapan Kadar………..

24 24 24 24 25 25 26 26 26 26 26 27 27 G. Tata Cara Analisis Hasil... ………..

1. Validitas Alat Untuk Determinasi…….……….. a. Linearitas………. b. Sensitivitas………... 2. Validasi Metode……… a. Akurasi………. b. Presisi………... c. Intermediate precision………. d. Limit of Quantitation………... e. Pengaruh Prosedur Analisis……….………

28 28 28 28 28 28 28 28 28 29


(14)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemilihan Sampel……… B. Destruksi Sampel………. C. Optimasi Spektroskopi Serapan Atom………. 1. Garis Resonansi………... 2. Lebar Celah………. 3. Kuat Arus……… 4. Perbandingan Udara-Asetilen………. 5. Tinggi Burner…………...………... D. Validasi Instrumen Analisis………. 1. Linearitas………. 2. Sensitivitas……….. E. Validasi Metode Standar Adisi……… 1. Akurasi……….... 2. Presisi……….. 3. .Intermediate Precision……….. 4. Limit Of Quantification (LOQ) ...………... 5. Pengaruh Prosedur Analisis……… F. Penetapan Kadar……….. 1. Perlakuan Sampel……….. 2. Penetapan Kadar………

30 31 33 34 35 36 38 40 41 42 44 46 46 47 48 49 50 53 53 54 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


(15)

B. Saran ………... 56

DAFTAR PUSTAKA ………. 57

LAMPIRAN ………... 59


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I Kategori metode analisis………. 15

Tabel II Perolehan kembali menurut Horwitz …………..………... 16

Tabel III %RSD menurut Horwitz dan AOAC……….. 17

Tabel IV Data optimasi spektroskopi serapan atom………... 33

Tabel V Hasil perolehan kembali (Recovery)………... 47

Tabel VI CV dari standar adisi………...……… 48

Tabel VII Uji signifikansi intersep dan slope……….. 49

Tabel VIII LOQ………. 50

Tabel IX Uji F standar deviasi baku dan adisi………... 52


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Instrumen spektroskopi serapan atom……….. 11

Gambar 2. Cacing Lumbricus rubellus……….. 31

Gambar 3. Garis resonansi timbal……… 34

Gambar 4. Ilustrasi pengecilan garis resonansi……… 36

Gambar 5. Hollow Cathode Lamp………... 36

Gambar 6. Sputtering……….... 37

Gambar 7 Sistem nebulizer………. 39

Gambar 8. Porses atomisasi……….. 39

Gambar 9. Flame Structure……….. 40

Gambar 10. Profil suhu nyala………. 41

Gambar 11. Kurva Baku PbNO3……… 43

Gambar 12. Ilustrasi pencarian LOD………. 44

Gambar 13. Overlapping kurva LOD………. 44

Gambar 14. Gabungan Kurva baku dan kurva standar adisi rep 1………. 50

Gambar 15. Gabungan Kurva baku dan kurva standar adisi rep 2………. 51


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. COA PbNO3………. 60

Lampiran 2. Pengenceran HNO3 65% p.a menjadi 1 M……… 60

Lampiran 3. Penimbangan PbNO3 99,7%... 60

Lampiran 4. Pengenceran larutan stok menjadi larutan kerja………... 61

Lampiran 5. Penimbangan bobot kering……….……. 61

Lampiran 6. Data optimasi SSA………... 63

Lampiran 7. Data absorbansi kurva baku………. 63

Lampiran 8. Kurva regresi baku PbNO3 dan kisaran linearitas……… 64

Lampiran 9. Perhitungan sensitifitas alat………. 65

Lampiran 10. Data absorbansi standar adisi………... 65

Lampiran 11. Perhitungan akurasi standar adisi (%Recovery)………... 67

Lampiran 12. Perhitungan presisi standar adisi (CV)……… 71

Lampiran 13. Intermediate Precision..…….………. 71

Lampiran 14. Perhitungan LOQ………. 75

Lampiran 15. Pengaruh prosedur analisis……….. 78


(19)

xvii

INTISARI

Cacing Lumbricus rubellus memiliki Lumbricin I yaitu antimikroba dengan spektrum luas tanpa menimbulkan hemolitik dan Lumbrokinase yaitu enzim yang memiliki daya fibrinolotik yang sangat kuat. Pemberian pangan yang terkontaminasi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar logam berat pada cacing Lumbricus rubellus. Tujuan penelitian ini ingin melihat apakah terjadi peningkatan kadar logam berat timbal (Pb) pada cacing Lumbricus rubellus karena pangan yang diberikan terkontaminasi oleh timbal (Pb).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah destruksi basah dan instrumen yang digunakan adalah Spektroskopi Serapan Atom. Dari hasil penelitian dengan instrumen yang optimal didapatkan hasil validitas yang baik dari sisi linearitas, akurasi, presisi. Dalam penelitian ini juga melihat apakah ada pengaruh prosedur analisis terhadap hasil akhir dengan mengunakan statistik.

Hasil dari penetapan kadar tidak dapat disimpulkan. Hal ini dikarenakan semua sampel yang digunakan baik perlakuan maupun blanko tidak dapat dikuantifikasikan karena semua data berada di bawah LOQ (4,1460 µg/g sampel).


(20)

xviii

ABSTRACT

Lumbricus rubellus has Lumbricin I and Lumbrokinase. Lumbrin I is a broad spectrum antimicrobial without hemolytic activity. Lumbrokinase is an enzyme with very strong fibrinolytic activity. Provision of contaminated food can cause elevated levels of heavy metal lead (Pb) in the Lumbricus rubellus because given food contaminated by lead (Pb).

The method which is used in this study is wet digestion and the instrument is Atomic Absorption Spectrophotometry. This study obtains a good validity from the linearity, accuracy, and precision parameters. This study determines the effect of analysis method to the result using statistic.

The results of this study are inconclusive because all the samples cannot be quantified. All the data that obtain from this study is under the LOQ value (4,1460 µg/g sample).


(21)

1

BAB I PENGANTAR A.Latar Belakang

Di Indonesia baru-baru ini sedang marak penggunaan cacing Lumbricus rubellus sebagai obat alternatif untuk mengobati penyakit tipus dan demam. RRC,

Korea, Vietnam, dan banyak tempat lain di Asia Tenggara cacing jenis Lumbricus rubellus sudah biasa digunakan sebagai obat sejak ribuan tahun yang lalu (Dina,

2012). Cacing Lumbricus rubellus memiliki peptida antimikroba yang disebut dengan Lumbricin I yang terdiri dari 62 asam amino. Peptida dari Lumbriucs rubellus ini ternyata memiliki daya antimikroba dengan spektrum yang luas tanpa

menimbulkan efek hemolitik (Cho, Chan Young, Sun, 1998).

Lumbricus rubellus juga memiliki enzim yang disebut dengan

lumbrokinase. Enzim ini terdapat dalam tubuh cacing Lumbricus rubellus dalam bentuk iso-enzim yang berada pada saluran cerna dan cairan usus dari cacing tersebut. Enzim lumbrokinase ini memiliki daya aktivitas fibrinolitik yang sangat kuat, stabil dalam rentang pH yang luas dan menunjukkan kestabilan terhadap panas dan degradasi. Lumbrokinasi memiliki efek sebagai pemacu aktivitas plasminogen dan memacu sistem normal di dalam tubuh manusia untuk melarutkan fibrin pada bekuan darah (Verma dan Pulicherla, 2011).

Manfaat dari cacing Lumbricus rubellus cukup banyak, maka perlu adanya penangganan khusus dalam pemilihan media tumbuh dan pangan untuk mengurangi kontaminan yang ada. Cacing Lumbricus rubellus yang beredar dipasaran berupa kapsul yang berisi serbuk dari cacing yang dikeringkan. Maka


(22)

hal ini menjadi suatu keraguan bagi peneliti terhadap pangan cacing dan proses dari pembuatan kapsul cacing ini.

Laporan adanya timbal (Pb) dalam obat tradisional yang teramati berasal dari USA, Australia, India, New Zealand dan Hongkong terdapat beberapa formulasi yang mengandung timbal sebanyak 30% dari berat serbuk dan pil (Babu, 2011). Dampak dari timbal sendiri sangat mengerikan bagi manusia, utamanya bagi anak-anak diantaranya adalah mempengaruhi fungsi kognitif, kemampuan belajar, penurunan fungsi pendengaran, merusak fungsi organ tubuh, seperti ginjal, sistem syaraf, dan reproduksi, meningkatkan tekanan darah dan mempengaruhi perkembangan otak (BPLH, 2009).

Jika pembudidayaan cacing Lumbricus rubellus tidak tepat pemberian pangannya, maka cemaran yang ada dipangan cacing tersebut dapat berpindah ke dalam tubuh cacing. Salah satunya adalah timbal (Pb) yang dapat berasal dari kendaraan bermotor, debu bangunan tua serta air dan tanah yang terkontaminasi. (Babu, 2011).

Untuk menganalisis kadar logam timbal maka dapat digunakan metode destruksi basah dan menggunakan instrumen SSA (Spektroskopi Serapan Atom) dimana instrumen ini sangat selektif untuk mendeteksi timbal. Instrumen ini menggunakan hollow cathode lamp yang menghasilkan garis resonansi yang spesifik sehingga mampu menghasilkan intensitas yang tinggi untuk timbal. Hal ini membuat spektroskopi serapan atom menjadi instrumen analisis yang spesifik (Anonim, 1996).


(23)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah dengan pemberian pangan yang terkontaminasi timbal dapat berpindah ke tubuh cacing Lumbricus rubellus dan mengalami akumulasi dalam masa pemeliharaan selama 2 bulan.

1. Perumusan Masalah

a. Apakah metode untuk penetapan kadar logam berat timbal (Pb) pada cacing Lumbricus rubellus menggunakan spektroskopi serapan atom memiliki validitas yang baik?

b. Apakah terjadi akumulasi kadar timbal di dalam tubuh cacing dengan pemberian pangan yang tercemar selama dua bulan?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai logam berat pada cacing Lumbricus rubellus, yaitu The Accumulation of Metals (Cd, Cu, Pb, Zn and Ca) by two Ecologically

Contrasting Earthworm Species (Lumbricus rubellus and Aporrectodea

caliginosa): Implications for Ecotoxicological testing oleh J.E. Morgan dan

A.J. Morgan (1999).

Penelitian yang akan dilakukan terdapat perbedaan yaitu media yang digunakan adalah serbuk gergaji dan cemaran logam berat berasal dari pangan bukan dari media tumbuh.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Menambah informasi bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai metode yang digunakan untuk analisis kadar logam berat (timbal) pada cacing Lumbricus rubellus.


(24)

b. Manfaat metodologi. Metode penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu metode yang dapat digunakan untuk sampel mahluk hidup.

c. Manfaat praktis. Memberikan informasi tentang pengaruh pemberian pangan yang tercemar terhadap cacing Lumbricus rubellus yang digunakan sebagai bahan obat.

B.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui metode untuk penetapan kadar logam berat timbal (Pb) pada cacing Lumbricus rubellus menggunakan spektroskopi memiliki validitas yang baik.

2. Mengetahui apakah terjadi akumulasi kadar timbal di dalam tubuh cacing dengan pemberian pangan yang tercemar selama dua bulan.


(25)

5

BAB II

PENELAHAAN PUSTAKA A. Lumbricus rubellus

Lumbricus rubellus termasuk dalam kelompok binatang tidak bertulang belakang (avertebrata) dan banyak ditemukan di daerah yang lembap. Seluruh badannya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin sehingga dapat digolongkan dalam filum Annelida. Pada setiap segmen tubuh terdapat seta yaitu rambut yang keras dan pendek. Jumlah seta ini sangat sedikir maka Lumbricus rubellus dimasukkan dalam kelas oligochaeta. Genus Lumbricus ini suka dengan

bahan organik yang berasal dari kotoran hewan maupun dedaunan (Palungkun, 2010).

B.Manfaat Cacing Lumbricus rubellus

Antimikroba yang berasal dari cacing Lumbricus rubellus dinamakan dengan Lumbricin I, dimana Lumbricin I ini memiliki daya antimikroba dengan spektrum yang luas tanpa menimbulkan efek hemolitik. Lumbricin I hanya dihasilkan oleh cacing Lumbricus rubellus dewasa (Cho, Chan, Young, dan Sun, 1998).

Lumbrokinase hadir dalam bentuk iso-enzim dalam usus terutama dalam cairan usus dari cacing Lumbricus rubellus. Lumbrokinase memiliki karakteristik yang unggul yaitu stabil dalam pelarut organik dan anorganik dan menjadi tidak aktif pada suhu 600C. Enzim Lumbrukinase memiliki aktivitas fibrinolytic yang sangat kuat, stabil pada kisaran pH yang luas dan menunjukkan kestabilan terhadap panas dan degradasi (Verma dan Pulicherla, 2011).


(26)

C. Pencemaran Logam Berat

Pencemaran adalah peningkatan berbagai macam bahan yang biasanya bersifat berbahaya ke lingkungan dan dapat merusak lingkungan sebagai aktivitas manusia ke lingkungan. Pencemaran logam berat terhadap lingkungan merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Logam biasanya digunakan dalam peralatan rumah tangga, batu baterai, tempat makanan, pipa-pipa logam, perhiasan, peralatan pertanian dan lain-lain. Pencemaran logam dapat berasal dari proses produksi, misalnya pembakaran batu bara, pemurnian minyak, pembangkit listrik. Pada cacing pencemaran ini dapat berasal dari pangan yang diberikan (Buchari, Wayan, Pharma dan Kunti, 2001).

D. Timbal (Pb) 1. Definisi

Timbal lebih dikenal dengan nama timah hitam dan dalam bahasa ilmiahnya dikenal dengan kata Plumbum dan logam ini dilambangkan dengan Pb. Di dalam tabel periodik unsur kimia, logam ini termasuk kedalam kelompok logam-logam golongan IV–A. Mempunyai nomor atom 82 dengan masa atom 207,2 adalah suatu logam berat berwarna kelabu kebiruan dan lunak dengan titik leleh 327°C dan titik didih 1.620°C. Pada suhu 550-600°C. Timbal (Pb) menguap dan membentuk oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Bentuk oksidasi yang paling umum adalah timbal (II). Walaupun bersifat lunak dan lentur, timbal (Pb) sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit


(27)

larut dalam air dingin, air panas dan asam. Timbal (Pb) ini bisa larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat (Palar, 1994).

2. Keracunan Timbal

Kelebihan timbal di dalam tubuh dapat memberikan efek toksik multisistemik melalui tiga mekanisme, yaitu melalui aktivitas hambatan enzim, sebagai konsekuensi ikatan pada gugus sulfuhidril (-SH); dengan mempengaruhi aksi kation esensial, terutama kalsium, zat besi dan seng dengan mengubah struktur reseptor serta membran sel (Katzung, 2004).

Timbal dapat mengakibatkan yang bersifat reversibel pada ginjal akibat efek sampingnya terhadap tubulus proksimal sehingga menganggu kerja dari ginjal dalam proses mengabsorbsi glukosa, asam amino dan fosfat. Efek jangka panjangnya yaitu terjadi penurunan fungsi ginjal, termasuk atropi glomular, fibrosis interstinal, dan sklerosis pembuluh darah (Manahan, 2003).

Gejala yang mengindikasikan keracunan Pb kronis, yaitu anoreksia, lelah, malaise, sakit kepala, depresi, kelemahan otot kaki dan tangan, anemia, neuropati perifer (Katzung, 2004).

E. Destruksi

Jaringan hewan dan tanaman, cairan biologis, dan komponen organik biasanya diuraikan dengan destruksi basah dengan menggunakan satu jenis asam atau campuran asam, bisa juga dengan destruksi kering yang dipanaskan pada temperatur tinggi (400-700°C) pada tungku api. Pada destruksi basah, hasil oksidasi asam organik menjadi karbon dioksida, air, dan zat lain yang mudah


(28)

menguap sehingga menyisakan garam atau asam dari konstituen inorganik. (Christian, 2004).

1. Destruksi Kering

Walaupun berbagai macam kombinasi pengabuan dan destruksi basah digunakan dalam frekuensi yang hampir sama oleh analisis senyawa organik dan material biologik, destruksi kering merupakan metode tanpa bantuan bahan kimia adalah teknik yang paling banyak digunakan. Timbal, seng, kobalt dan besi dapat diperoleh dengan kehilangan yang sedikit karena retensi dan penguapan (Christian, 2004).

2. Destruksi Basah

Destruksi basah dengan menggunakan campuran dari asam nitrat dan asam sulfat adalah prosedur oksidasi yang paling sering dipakai. Biasanya sejumlah kecil dari asam sulfat digunakan dengan volume asam nitrat yang lebih besar (20-30 ml). Destruksi basah biasanya dilakukan dengan labu Kjehdahl. Asam nitrat menghancurkan zat organik, tetapi tidak cukup panas untuk menghancurkan sisa terakhir. Campuran dipanaskan selama proses destruksi sampai asap SO3 putih terbentuk dan mulai berefluk dalam labu. Pada keadaan ini cairan akan sangat panas, dan asam sulfat bereaksi terhadap sisa bahan organik. Destruksi dilanjutkan sampai cairan jernih (Christian, 2004).


(29)

Destruksi basah terdiri dari 2 jenis yaitu:

a. Satu Jenis Asam. Sebagai panduan umum berguna untuk mengklasifikasikan perlakuan asam lebih umum menurut apakah asam tersebut dapat mengoksidasi sampel atau tidak. Asam nonoxidizing termasuk asam klorida, fluorida, sulfat, dan perklorat encer, sedangkan asam pengoksidasi termasuk panas, nitrat pekat, sulfat, dan asam perklorat. Larutnya logam dengan asam nonoxidizing adalah proses penggantian hidrogen.

Asam klorida akan melarutkan logam di atas potensial reduksi hidrogen, garam dari asam lemah, dan oksida banyak. Pengenceran asam sulfat dan berguna untuk logam di atas potensial reduksi hidrogen. Asam sulfat pekat akan sering melarutkan logam di bawah potensial reduksi standar hidrogen. Kondisi oksidasi paling ampuh yang diperoleh dengan menggunakan asam perklorat pekat panas, yang akan melarutkan semua logam biasa. Asam klorida pekat merupakan pelarut yang sangat baik untuk oksida logam banyak serta mereka logam yang lebih mudah teroksidasi dibanding hidrogen. Selain itu, sering lebih baik untuk pelarut oksida daripada asam pengoksidasi.

Asam nitrat pekat akan melarutkan semua logam biasa dengan pengecualian dari aluminium dan kromium, yang pasif untuk reagen sebagai akibat pembentukan permukaan oksida. Asam nitrat panas juga mudah mengoksidasi zat organik banyak. Asam sulfat pekat dapat digunakan untuk mengurai dan melarutkan berbagai zat dan itu sangat berguna untuk dehidrasi dan oksidasi sampel organik.


(30)

b. Campuran Asam. Kombinasi asam lebih disukai untuk matriks organik tertentu dan umumnya lebih menguntukan untuk penguraian senyawa organik. Untuk senyawa organik biasanya digunakan yaitu campuran aqua regia (1:3 asam nitrat-asam klorida). Asam nitrat berfungsi untuk agen

pengoksidasi sementara asam klorida berfungsi sebagai agen pengkompleks. Sebagai tambahan brom atau hidrogen peroksida bisa meningkatkan kelarutan dari mineral. Campuran 1:4 asam sulfat dan asam nitrat biasanya digunakan untuk sampel organik. Asam nitrit akan mengurai zat organik tetapi tidak mencapai suhu yang cukup untuk mengurai yang tersisa. Namun karena asam nitrat mendidih dan menguap maka tertinggal asam sulfat. Asap SO3 menguap dan memenuhi labu sehingga membuat suasana yang sangat panas dan memungkinkan asam sulfat panas ini untuk menguraikan bahan-bahan organik yang tersisa. Metode ini harus dilakukan didalam lemari asam. Lebih banyak asam nitrat yang ditambahkan maka akan memperpanjang proses dekstruksi dan menghilangkan bahan organik yang sulit dihancurkan (Twyman, 2005).

F. Spektroskopi Serapan Atom.

Instrumen spektroskopi serapan atom berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom dalam keadaaan dasar dinaikkan tingakt energinya ke tingkat eksitasi.


(31)

Keberhasilan analisis ini tergantung dari proses eksitasi dan cara memperoleh resonansi yang tepat (Khopkar, 1990).

Atomisasi dapat dilakukan dengan nyala maupun dengan tungku. Untuk mengubah unsur metalik menjadi uap atau hasil disosiasi diperlukan energi panas. Temperatur harus benar-benar terkendali dengan sangat hati-hati agar proses atomisasinya sempurna. Ionisasi harus dapat dihindartkan dan ini dapat terjadi bila temperatur terlalu tinggi (Khopkar, 1990).

Seperangkat sumber yang dapat memberikan garis emisi yang tajam dari suatu unsur spesifik tertentu sebagai hollow cathode lamp. Lampu ini memiliki dua elektroda, satu diantaranya berbentuk silinder dan terbuat dari unsur zat yang sama dengan unsur yang dianalisis. Dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar, dan atom-atom logam katodanya akan teruapkan dengan pemercikan. Atom yang tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang tertentu (Khopkar, 1990).

Interaksi materi dengan berbagai energi seperti energi panas, energi radiasi, energi kimia dan energi listik selalu memberikan sifat-sifat yang karakteristik untuk untuk setiap unsur (atau persenyawaan) dan besarrnya perubahan yang terjadi biasanya sebanding dengan jumlah unsur atau persenyawaan yang terdapat didalamnya. Di dalam kimia analisis yang mendasarkan pada proses interaksi itu antara lain cara analisis spektrofotometri serapan atom yang bisa berupa cara emisi dan cara absorpsi (serapan) (Gandjar dan Rohman, 2007).


(32)

Gambar 1. Instrumen spektroskopi serapan atom(Beaty dan Kerber, 1996)

ada 6 komponen dasar dalam instrument serapan atom yaitu: 1. Source (Sumber Cahaya)

Atom-atom menyerap cahaya dengan panjang gelombang yang spesifik, maka perlu digunakan spektra sinar yang sempit. Spektra yang sempit ini memberikan intensitas yang tinggi dan membuat serapan atom menjadi teknik analisis yang spesifik. Sumber cahaya yang digunakan dalam spektroskopi serapan atom adalah hollow catoda lamp (HCL) dan electrodeless discharge lamp (EDL) (Beaty dan Kerber, 1996).

Hollow catoda lamp memiliki sinar yang terang dan stabil untuk sumber

cahaya untuk kebanyakan elemen. Akan tetapi untuk elemen yang menguap, dimana memiliki intensitas yang kecil dan umur lampu yang pendek menjadi permasalahan yang utama. Untuk kebanyakan elemen hollow catoda lamp sangat memuaskan sebagai sumber cahaya akan tetapi memiliki kekurangan terutama sampel dengan intensitas kecil. Electrodeless discharge lamp merupakan sumber cahaya yang lebih terang dan lebih stabil. Electrodeless discharge lamp sangat


(33)

cocok untuk varietas elemen yang lebih luas termasuk yang bersifat menguap (Beaty dan Kerber, 1996).

2. Absorption Cell

Dalam Absorption cell merupakan tempat atom dari sampel hasilkan dimana terdiri dari burner system, nyala dan pengontrol gas.

a. Burner system. Burner system terdiri dari burner heads dan nebulizers. Burner heads terbuat dari titanium padat dimana memiliki karakteristik

tahan terhadap karat dan tahan terhadap pemanasan tinggi. Burner heads dengan panjang 10 cm didesain untuk nyala hasil campuran udara-asetilen. Karena panjang burner ini menyediakan sensitivitas yang baik untuk elemen air-asetilen.

b. Nebulizer. Nebulizer berfungsi mengisap sampel cairan dengan jumlah yang terkontrol diubah menjadi aerosol untuk dimasukkan ke dalam api dan mencampur aerosol sampel, pembakar dan oksidator menuju ke dalam nyala 3. Slit

Berfungsi untuk mengatur jumlah cahaya yang berasal dari nyala dan diteruskan ke monokromator

4. Monokromator

Monokromator untuk mengisolasi cahaya dengan panjang gelombang tertentu dari nyala sehingga cahaya dengan panjang gelombang yang lain tidak diteruskan ke detektor.

5. Detector


(34)

6. Display

Untuk menunjukkan hasil pembacaan dari hasil proses instrument (Beaty dan Kerber, 1996).

G.Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu proses untuk memastikan bahwa prosedur analisis yang digunakan cocok. Metode analisis dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu :

1. Kategori 1, merupakan metode analisis yang digunakan untuk mengukur komponen utama dalam jumlah besar (termasuk bahan pengawet) atau bahan aktif obat dari suatu sediaan.

2. Kategori 2, merupakan metode analisis untuk penentuan impurities bahan obat dan degradasi produk obat, termasuk penentuan kuantitatif dan uji batas. 3. Kategori 3, merupakan metode analisis yang digunakan untuk menentukan

karakteristik sediaan farmasi (misalnya disolusi).

4. Kategori 4, merupakan metode analisis untuk identifikasi secara kualitatif (Synder, Kirkland dan Dolan, 2010).

Setiap kategori metode analisis memiliki persyaratan validasi yang berbeda-beda seperti tercantum pada tabel I berikut.


(35)

Table I. Kategori metode analisis (Synder, Kirkland dan Dolan, 2010)

Parameter Validasi

Kategori 1

Kategori 2 Kategori 3

Kategori 4 Kuantitatif Uji Batas

Akurasi Ya Ya * * Tidak Presisi Ya Ya Tidak Ya Tidak Spesifisitas Ya Ya Ya * Ya

LOD Tidak Tidak Ya * Tidak LOQ Tidak Ya Tidak * Tidak Linearitas Ya Ya Tidak * Tidak Rentang Ya Ya Tidak * Tidak * Mungkin dibutuhkan tergantung dari tipe uji

Parameter-parameter validasi yang sering digunakan antara lain: 1. Linearitas

Linearitas dari prosedur analisis adalah kemampuan (dengan kisaran yang ditentukan) untuk menghasilkan data yang proposional dengan konsentrasi dalam sampel (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

2. Spesifisitas

Spesifisitas adalah kemampuan untuk menilai suatu analit dengan tegas dalam suatu sampel dengan berbagai macam campuran. Uji spesifisitas dari suatu metode dengan cara membandingkan sampel yang mengandung pengotor, produk yang terdegradasi atau dengan penyusun placebo dengan sampel yang tidak ada pengotor, produk yang terdegradasi atau dengan penyusun placebo (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

3. Akurasi

Menurut ICH (International Conference on Harmonization), akurasi dari prosedur analisis adalah kedekatan antara hasil secara referensi atau hasil yang didapatkan secara terhitung dengan hasil yang didapatkan. Akurasi dilaporkan


(36)

sebagai persen perolehan kembali (percent recovery) (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

Persentase perolehan kembali yang diperboleh ditunjukkan pada tabel II dibawah ini:

Tabel II. Perolehan kembali menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador, 2007)

4. Presisi

Presisi dari prosedur analisis menunjukkan kedekatan antara seri pengukuran yang didapatkan dari beberapa sampel dengan perlakuan yang sama. Presisi dilaporkan sebagai %RSD atau CV dan presisi diamati dalam 3 tingkatan yaitu:

a. Repeatability (Precision). Repetability adalah pengukuran presisi daalam kondisi operational yang sama dalam jangka waktu yang singkat.

b. Intermediate Precision. Intermediate precision didefinisikan sebagai

variasi yang muncul pada laboratorium yang sama. Parameter yang diuji adalah pada kondisi penelitian dengan variasi dari peralatan, variasi dari


(37)

tempat dan waktu serta variasi dari yang melakukan proses tersebut yang dilakukan hari demi hari.

c. Reproducibility. Reproducibility mengukur presisi antara laboratorium

yang berbeda ketika digunakan kolaborasi dua atau lebih ilmu (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

Tabel III. Batas %RSD menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador 2007)

5. Limit of Detection (LOD)

Limit of detection adalah konsentrasi atau jumlah dari analit yang

berbeda signifikan dari blanko dan dapat dideteksi oleh instrumen (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

6. Limit of Quantitation (LOQ)

Limit of quantitation adalah konsentrasi atau jumlah analit terkecil yang

dapat dikuantifikasi dengan presis dan akurasi yang cocok. Limit of quantitation merupakan parameter kuantitatif untuk analit dalam suatu matriks dengan konsentrasi kecil dan digunakan untuk menetukan jumlah pengotor atau jumlah sampel yang terdegradasi (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).


(38)

H.Landasan Teori

Cacing Lumbricus rubellus sebagai obat alternatif untuk mengobati penyakit tipus dan demam oleh sebab itu dalam hal pemilihan pangan dan media perlu diperhatikan. Jikalau pangan yang diberikan diambil dengan sembarangan misalnya dari pinggir jalan maka akan ada kemungkinan terdapat cemaran logam berat salah satunya timbal. Timbal dapat mengakibatkan yang bersifat reversibel pada ginjal akibat efek sampingnya terhadap tubulus proksimal shingga menganggu kerja dari ginjal dalam proses mengabsorbsi glukosa, asam amino dan fosfat (BPLHD, 2009).

Keberadaan timbal ini dapat dideteksi dengan menggunakan instrument spektrofotometri serapan atom. Instrumen ini bisa dengan spesifik mendeteksi keberadaan timbal meski ada logam-logam lain yang dapat mengganggu dari pembacaan alat ini. Sampel yang digunakan adalah mahluk hidup maka perlu dilakukan penghilangan senyawa organik dengan cara destruksi. Destruksi yang dipilih adalah destruksi basah karena keamanan dari pengerjaannya terjamin dibandingkan dengan destruksi kering. Pelarut yang digunakan untuk destruksi adalah H2SO4 dan HNO3 (Twyman, 2005).

Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka perlu dilakukan optimasi spektroskopi serapan atom. Optimasi yang dilakukan antara lain optimasi tinggi burner, kuat arus, garis resonansi, perbandingan bahan bakar dan udara, serta

lebar celah. Disamping itu perlu dilakukan optimasi terhadap metode analisis yang digunakan (Anonim, 1996).


(39)

I. Hipotesis

Dari pangan dicemari yang diberikan terhadap cacing Lumbricus rubellus, terjadi akumulasi kadar timbal yang masuk ke dalam tubuh cacing.

J. Bagan Kerja

Cacing

Lumbricus

rubellus

Pangan yang

Tidak Dicemari

Timbal

Tidak Terjadi

Akumulasi Timbal

Pangan yang

Dicemari Timbal

Terjadi Akumulasi

Timbal


(40)

20

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental dengan rancangan deskriptif karena dilakukan manipulasi terhadap subjek uji, subyek uji yang dimaksud disini adalah perlakuan yang diberikan terhadap sampel.

B. Variabel Penelitian 1. Klasifikasi Variabel

a. Varibel bebas. Variabel pada penelitian ini adalah kadar larutan baku PbNO3, tinggi burner,perbandingan udara dan asetilen

b. Varibel tergantung. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah absorbansi, kadar timbal dalam cacing dan parameter validasi

c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah asal cacing Lumbricus rubellus dan alat-alat yang digunakan

C.Definisi Operasional

1. Lumbricus rubellus adalah termasuk dalam kelompok binatang tidak bertulang belakang (avertebrata) dan banyak ditemukan di daerah yang lembab.

2. Cemaran logam berat adalah cemaran Pb dalam cacing Lumbricus rubellus yang diukur dengan SSA dan dinyatakan dalam µg/ml (part per million)


(41)

3. Destruksi basah merupakan salah satu cara dekomposisi sampel dengan penambahan reagen cair.

D.Bahan Penelitian

PbNO3 p.a Merck®, asam sulfat(H2SO4) 90,63% p.a Merck®, asam nitrat (HNO3) 65% p.a Merck®, cacing Lumbricus rubellus, daun hasil fermentasi, asam bikromat, aquabidest ( Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Fakultas Farmasi Sanata Dharma).

E. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas merk Pyrex®, hotplate merk LabTech®, Seperangkat instrument SSA merk Perkin Elmer SSA 3110®, Tipe nyala api yaitu Asetilen : udara, neraca analitik merk Denver®, kertas Whatman No.42, vacuum dan botol plastik.

F. Tata Cara Penelitian 1. Pencucian Wadah dan Peralatan

Peralatan dan wadah yang akan digunakan untuk analisis, dibilas dengan asam pencucikemudian didiamkan pada lemari asam selama 24 jam lalu dibilas dengan aquabidest. Dilakukan pergantian asam pencuci ketika warnanya sudah berubah menjadi kehijauan. Setelah kering, alat ini dimasukkan dalam kantong plastik dan disimpan dalam ruang bebas debu (AOAC, 2007).


(42)

2. Pemilihan Sampel

Sampel cacing Lumbricus rubellus dibeli langsung dari petani cacing di Nyamplung, Gamping Yogyakarta. Cacing yang digunakan memiliki ciri-ciri warna bagian atas tubuh merah dan bawah tubuh merah pucat dan adanya warna kuning bagian anus.

3. Penimbangan Bobot Kering Sampel

Wadah dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam, ditimbang kemudian dipanaskan kembali dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Cara ini dilakukan berulang kali sampai diperoleh bobot tetap. Bobot tetap berarti selisih dua kali penimbangan sampel berturut-turut tidak lebih dari 0,5 mg tiap g sisa yang ditimbang. Penimbangan bobot kering juga dilakukan terhadap sampel yang digunakan. Ditimbang 1-2 g sampel kemudian lakukan seperti prosedur diatas menggunakan wadah yang telah dikuantifikasi (Dirjen POM, 1974).

4. Destruksi Cacing Lumbricus rubellus

a. Destruksi Basah. Ditimbang seksama dua setengah gram sampel (bobot kering), dalam labu Erlenmeyer 50 ml (sebelumnya dicuci asam dan dikeringkan). Ditambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat diikuti oleh 12,5 ml HNO3 pekat ke dalam labu sampel. Sampel dipanaskan menggunakan hotplate pada suhu ±130°C (mendidih). Ketika dipanaskan akan keluar asap cokelat-kuning. Setelah asap cokelat-kuning tersebut hilang, maka akan mucul asap putih dari H2SO4 yang menunjukkan terjadinya proses penguraian H2SO4 dan sampel akan berwarna lebih gelap. Dengan segera ditambahkan HNO3


(43)

pekat setetes demi setetes. Dilanjutkan sampai warna larutan menjadi jernih, yaitu berwarna kuning jerami. Jika larutan itu masih gelap warnanya ditambahkan HNO3 pekat perlahan-lahan dan dididihkan lagi. Proses ini diulangi sampai larutan tersebut jernih, kuning jerami dan ketika dimasukkan kedalam wadah yang berisi es tidak terbentuk gumpalan minyak. Sampel dibiarkan mendingin sampai suhu kamar (dilakukan tiga kali replikasi) (AOAC, 2007).

b. Penyaringan. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan corong burner dan Kertas Whatman No. 42. Kertas Whatman No. 42 dijenuhkan dengan HNO3 1 M lalu diletakkan di bagian atas corong. Corong diletakkan pada mulut labu isap. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke dalam erlenmeyer yang berisi timbal hasil destruksi basah lalu disaring. Kedalam Erlenmeyer kosong dibilas dengan 5 mL HNO3 1 M sebanyak 2 kali untuk mengantipasi sampel tertinggal di Erlenmeyer. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke dalam labu isap melewati kertas saring tadi untuk mengantisipasi adanya sampel yang tertinggal di kertas saring dan corong. Larutan hasil penyaringan dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian ditambahkan HNO3 1 M hingga batas tanda pada labu ukur. Larutan dipindahkan ke wadah plastic dan disimpan dalam lemari pendingin. Larutan siap diujikan ke SSA pada kondisi optimum (dilakukan tiga kali replikasi) (AOAC, 2007).


(44)

5. Kondisi Optimum Analisis

a. Optimasi Tinggi Burner. Tekanan bahan bakar dan gas pembawa diatur sampai nyala api stokiometrik nyala berwarna kuning tipis. Tekanan dinaikkan sampai nyala berpijar kuning kuat. Larutan Pb 5 µg/ml disiapkan dan absorbansinya dicatat pada 217 nm dan λ diatur hingga absorbansi maksimum. Tinggi burner diatur hingga cahaya tampak melalui ujungnya

dengan tombol. Aquadest digunakan untuk men “zero” kan instrumen lalu diukur absorbansi dari larutan Pb lima µg/ml.

b. Optimasi Untuk Perbandingan Bahan Bakar dan Oksidator. Digunakan tipe nyala udara : asetilen dengan perbandingan 20:5 dan 20:10. Tekanan udara dijaga konstan dan tekanan bahan bakar diatur bertahap dari kaya bahan bakar hingga nyala kecil. Absorbansi Pb 5 µg/ml dicatat pada setiap penambahan. Tekanan bahan bakar dipilih yang optimum dan tekanan udara diubah dengan cara yang sama. Absorbansi vs tekanan udara diplot, dengan catatan satu dibuat konstan. Setting tekanan bahan bakar dipilih yang optimum.

6. Kurva Baku

a. Larutan Stok (1000 µg/ml). Dilarutkan 0,31970 g Pb(NO3)2 dalam 50 ml HNO3 1M dalam labu takar 200 ml, kemudian ditambahkan HNO3 1M hingga batas tanda pada labu.


(45)

Konsentrasi 1000 µg/ml didapat dari:

b. Larutan Intermediet 100 µg/ml. Pembuatan larutan Pb 100 µg/ml dengan cara memipet 10 ml larutan stok lalu di ditambahkan dengan HNO3 1M hingga batas tanda pada labu takar 100 ml. Buat seri konsentrasi dari larutan intermediet yaitu 0.1, 0.5, 1, 1.5, 2, 2.5, 3 µg/ml. Kurva kalibrasi unsur Pb diperoleh dengan mengukur serapan larutan standar unsur pada kondisi optimum (dengan menggunakan tinggi burner dan perbandingan bahan bakar dan udara hasil optimasi diawal). Dari hasil yang didapatkan ditentukan linearitas dengan memplotkan absorbansi dan konsentrasi, membuat kisaran linearitas dan menentukan sensitivitas alat dengan menghitung LOD.

7. Validasi Metode Analisis

a. Prosedur Standar Adisi. Sebelum proses destruksi ke dalam 2.5 g sampel (bobot kering) ditambahkan standar PbNO3 dengan konsentrasi 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 µg/ml sebanyak 10 ml. Setelah didestruksi kemudian disaring dengan kertas Whatman no.42 dan diukur absorbansinya menggunakan SSA

pada kondisi optimum dengan panjang gelombang (λ) 217 nm. Proses ini

dilakukan sebanyak tiga kali replikasi. Hasil pembacaan alat digunakan untuk menghitung recovery, presisi, pengaruh prosedur analisis dan LOQ.


(46)

8. Penetapan Kadar

a. Penyiapan Sampel. Sebanyak dua buah wadah yang berisikan media dari serbuk kayu dimasukkan cacing Lumbricus rubellus 1 kg untuk setiap wadah dan diberikan perlakuan yaitu pemberian pangan daun tercemar timbal (Pb) yang diperoleh dari pohon di jalan Godean, Yogyakarta. Kemudian daun-daun ini disemprotkan dengan PbNO3 10µg/ml secara merata dan difermentasi selama seminggu menggunakan cairan EM4®. Pemberian pangan dilakukan semenjak cacing Lumbricus rubellus berumur 2 minggu hingga 2 bulan. Dimana pemberian pangan dilakukan setiap 6 kali sehari.

b. Preparasi Sampel. Sebanyak sejumlah cacing lalu direndam didalam air panas. Jika cacing tidak bergerak lagi diangkat dari wadah lalu dikering anginkan.

c. Destruksi Basah. Ditimbang seksama dua setengah gram sampel (bobot kering), dalam labu Erlenmeyer 50 ml (sebelumnya dicuci asam dan dikeringkan). Ditambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat diikuti oleh 12,5 ml HNO3 pekat ke dalam labu sampel. Sampel dipanaskan menggunakan hotplate pada suhu ±130°C (mendidih). Ketika dipanaskan akan keluar asap cokelat-kuning. Setelah asap cokelat-kuning tersebut hilang, maka akan mucul asap putih dari H2SO4 yang menunjukkan terjadinya proses penguraian H2SO4 dan sampel akan berwarna lebih gelap. Dengan segera ditambahkan HNO3 pekat setetes demi setetes. Dilanjutkan sampai warna larutan menjadi jernih, yaitu berwarna kuning jerami. Jika larutan itu masih gelap warnanya


(47)

ditambahkan HNO3 pekat perlahan-lahan dan dididihkan lagi. Proses ini diulangi sampai larutan tersebut jernih, kuning jerami dan ketika dimasukkan kedalam wadah yang berisi es tidak terbentuk gumpalan minyak. Sampel dibiarkan mendingin sampai suhu kamar (dilakukan dua kali replikasi) (AOAC, 2007).

d. Penyaringan. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan corong burner dan Kertas Whatman No. 42. Kertas Whatman No. 42 dijenuhkan dengan HNO3 1 M lalu diletakkan di bagian atas corong. Corong diletakkan pada mulut labu isap. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke dalam erlenmeyer yang berisi timbal hasil destruksi basah lalu disaring. Kedalam Erlenmeyer kosong dibilas dengan 5 mL HNO3 1 M sebanyak 2 kali untuk mengantipasi sampel tertinggal di Erlenmeyer. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke dalam labu isap melewati kertas saring tadi untuk mengantisipasi adanya sampel yang tertinggal di kertas saring dan corong. Larutan hasil penyaringan dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian ditambahkan HNO3 1 M hingga batas tanda pada labu ukur. Larutan dipindahkan ke wadah plastic dan disimpan dalam lemari pendingin. Larutan siap diujikan ke SSA pada kondisi optimum (dilakukan dua kali replikasi) (AOAC, 2007).

e. Penetapan Kadar. Larutan hasil destruksi diujikan ke SSA dengan kondisi optimum dan diukur absorbansinya dengan panjang gelombang (λ) 217 nm. Lalu dihitung kadarnya dan dibuat kurva antara peningkatan kadar timbal dalam cacing Lumbricus rubellus dan waktu.


(48)

G. Tata Cara Analisis Hasil 1. Validasi Alat Untuk Determinasi

a. Linearitas. Linearitas ditentukan dari koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari kadar dan serapan dari data penentuan kurva baku ke dalam regresi linear.

b. Sensitivitas. Sensitivitas alat dapat ditentukan dengan menghitung LOD dengan rumus:

Keterangan: Sa : standar deviasi dari intercept kurva baku dan b : slope 2. Validasi Metode

a. Akurasi. Akurasi dapat dihitung dengan rumus:

Perolehan Kembali (recovery) =

x 100%

b. Presisi. Presisi dapat dihitung dengan rumus: Kesalahan Acak (%RSD) =

c. Intermediate Precision. Kesesuain alat ditentukan dengan uji-t terhadap slope dan intersept dari 2 kurva baku yang dibaca pada hari yang berbeda. d. Limit of Quantitation. Limit Of Quantitation (LOQ) dapat dihitung dengan

rumus:


(49)

e. Pengaruh Prosedur Analisis. Pengaruh prosedur analisis ditentukan dengan membandingkan antara kurva baku dengan kurva standar adisi. Dilihat apakah terdapat perbedaan slop yang signifikan antara kurva baku dengan kurva standar adisi.


(50)

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Pengaruh Pangan yang Dicemari Logam Berat Timbal (Pb) Terhadap Kadar Timbal pada Cacing Lumbricus rubellus dilakukan beberapa tahapan seperti destruksi basah optimasi spektroskopi serapan atom, pembuatan kurva baku, preparasi sampel dengan menggunakan destruksi basah, pembuatan kurva adisi, perhitungan validasi metode dan penetapan kadar sampel.

A.Pemilihan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing Lumbricus rubellus yang dibeli langsung dari petani cacing di Nyamplung Gamping

Yogyakarta. Cacing Lumbricus rubellus yang dibeli sudah dewasa dan siap untuk berkembangbiak. Cacing Lumbricus rubellus memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya dengan cacing tanah lainnya yaitu perbedaan warna antara bagian atas badan cacing dan bagian bawah cacing. Pada bagian atas berwarna merah sedangkan pada bagian bawah berwarna merah pucat. Selain itu pada bagian anus cacing Lumbricus rubellus berwarna kuning. Hal ini ditunjukkan pada gambar 2.


(51)

Gambar 2. Cacing Lumbricus rubellus

B.Destruksi Sampel

Metode destruksi ada 2 jenis yaitu destruksi kering dan destruksi basah. Destruksi kering merupakan metode untuk mengekstraksi cemaran logam dengan cara mengabukan (ashing) sampelnya dengan suhu diatas 500oC sedangkan destruksi basah melibatkan degradasi kimia dari matriks sampel dalam larutan, biasanya dengan kombinasi asam untuk meningkatkan kelarutan elemen yang akan dianalisis.

Dalam penelitian ini digunakan metode destruksi basah karena:

a. Destruksi kering dapat menyebabkan beberapa elemen seperti AS, Cr dan Pb pada saat pemanasan dan memungkinkan terjadinya adsorpsi pada dinding tungku pada pengabuan dengan suhu 500-5500C (Hseu dan Yei, 2004).

b. Dalam penelitian Sastre et al. (2002) menyatakan destruksi menggunakan asam nitrat merupakan metode yang optimal untuk menentukan jumlah logam berat dalam sampel tanah dengan jumlah material organik yang tinggi (Hseu dan Yei, 2004).


(52)

c. Dalam penelitian Zheljazkov dan Warman (2002) membandingkan antar asam nitrat, campuran asam nitrat-asam perklorat dan metode destruksi basah untuk menganalisis 17 elemen dalam 6 kompos dari Kanada. Hasil penelitian menunjukkan dengan jumlah yang sama, antara asam nitrat dengan campuran campuran asam nitrat-asam perklorat memberikan perolehan kembali (recovery) yang lebih baik daripada digesti kering untuk Cd dan Pb (Hseu dan Yei, 2004).

d. Dalam penelitian ini digunakan campuran asam nitrat-asam sulfat karena mengutamakan keamanan (safety) dalam bekerja. Penggunaan dari asam perklorat perlunya penanganan khusus karena mampu meledak dan mudah mengoksidasi material inorganik (Twyman, 2005).

Untuk sampel organik secara umum digunakan campuran 1:2 asam sulfat dan asam nitrat. Asam nitrat akan mengurai sebagian besar material organik akan tetapi tidak mencapai suhu yang cukup untuk menghancurkan material organik yang tersisa karena terlebih dahulu menguap dan yang tertinggal adalah asam sulfat. Asap SO3 akan memenuhi labu dan membuat larutan menjadi semakin panas dan memungkinkan asalm sulfat untuk mengurai bahan organik yang tersisa. Ketika timbul asap putih menunjukkan asam sulfat mulai terurai jadi perlu ditambahkan asam nitrat sedikit demi sedikit untuk memperpanjang proses destruksi maka demi keamanan pengerjaan dengan metode ini harus dikerjakan dalam lemari asam karena asap yang dihasilkan (Twyman, 2005).

Asam nitrat berfungsi sebagai pengoksida yang utama dan asam sulfat berfungsi sebagai katalis yang mempercepat reaksi dan juga sebagai penghancur


(53)

sisa-sisa material organik yang tidak bisa dihancurkan oleh sama nitrat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

H2SO4

3Pb + 8HNO3 3Pb2+ + 6 NO3- + 2NO + 4H2O (1)

C.Optimasi Spektroskopi Serapan Atom

Hal yang dilakukan pertama kali adalah pengaturan alat spektroskopi serapan atom untuk memperoleh hasil analisis yang sensitif. Ketika instrumen yang akan digunakan dioptimasi diharapkan semakin banyak atom-atom yang menyerap dalam nyala api sehingga serapan yang dihasilkan semakin banyak pula. Pada kondisi optimum akan diperoleh serapan yang maksimum. Dalam penelitian ini spektroskopi serapan atom yang digunakan adalah tipe serapan (absorbation) dari logam timbal (Pb).

Parameter kondisi optimum pada alat spektroskopi serapan atom meliputi garis resonansi, lebar celah, kuat arus lampu katoda, laju alir udara dan asetilen, kuat arus lampu katoda, dan tinggi pembakar burner. Data hasil pengoptimasian instrumen tersaji lengkap pada tabel IV dan data ini diperoleh dari Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada.

Tabel IV. Data optimasi spektroskopi serapan atom

Parameter Kondisi Optimum Garis Resonansi 283,3 nm

Lebar Celah 0,7 mm Kuat Arus Lampu Katoda 10 mA

Laju Alir Udara 2 L/menit Laju Alir Asetilen 3 L/menit Tinggi Burner 1,2 cm


(54)

1. Garis Resonansi

Monokromator dalam spektroskopi serapan atom berfungsi untuk mengecilkan garis resonansi dari semua garis resonansi yang tidak diserap yang dipancarkan oleh sumber. Dari hasil optimasi yang dilakukan oleh Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada didapatkan garis resonansi yang optimal untuk sampel Pb yaitu 283,3 nm karena pada panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang yang kuat untuk menyerap transisi elektron dari keadaan dasar (ground state) ke keadaan tereksitasi. Saat atom-atom dalam keadaan dasar maka ketika diberikan energi, atom tersebut akan tereksitasi namun pada kondisi tereksitasi atom-atom ini tidak stabil sehingga melepaskan energi yang diserapnya dalam bentuk sinar dan kembali ke keadaan dasar.

Pemilihan garis resonansi yang optimum bertujuan untuk meminimalkan gangguang-gangguan sehingga didapatkan performa analitik yang maksimum daripada garis resonansi yang lain. Dari gambar 3 dibawah menunjukkan garis resonansi Pb yang memiliki intensitas tertinggi pada panjang gelombang 283,3 nm.


(55)

Intensitas relatif dari garis spektral tergantung pada jumlah populasi atom. Perubahan suhu dapat mempengaruhi jumlah atom yang berada pada keadaan tereksitasi. Maka dapat dihitung jumlah populasi atom yang menyerap sinar dari hollow catoda lamp dan membuat atom tersebut berpindah dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi dengan persamaan yang dikemukakan oleh Maxwell-Boltzmann yaitu:

Keterangan, N = jumlah populasi atom (1=dari hollow katoda ; 0 =dari sisa sinar yang diteruskan),

P1 = absorbansi dari lampu hollow katoda, P0 = absorbansi dari sisa sinar yang diteruskan, k =

konstanta Boltzmann (1,38x10-23 J/K), = transisi energi (E1-E0)

(Lajunen, 2004) 2. Lebar Celah

Lebar Celah monokromator harus dipilih untuk mengoptimasi signal to noise ratio. Lebar celah dalam spektrofotometri serapan atom harus sebesar yang

diperlukan untuk mengisolasi garis resonansi yang diperlukan. Semakin kecil lebar celah yang dilakukan akan memperkecil gangguan spektranya. (Narsito, 1992). Pada kondisi optimum lebar celah yang digunakan adalah 0,7 mm, ini menunjukkan bahwa lebar celah yang digunakan sangat kecil sehingga efektif untuk mengurangi gangguan spektra yang ada.


(56)

Gambar 4. Ilustrasi pengecilan garis resonansi

3. Kuat Arus

Gambar 5. Hollow Cathode Lamp (Beaty dan Kerber, 1996)

Lampu Katoda berbentuk silinder yang terdiri dari anoda dan katoda yang ditutupi denga kaca Quartz silinder yang diisi dengan gas neon atau argon dengan tekanan 1-5 torr seperti yang ditunjukkan pada gambar 5. Pengisian gas yang optimum untuk memberikan intensitas yang maksimum digunakan saat mempetimbangkan gangguan baik dari neon dan argon. Nyala merah teramati


(57)

ketika lampu diisi dengan gas neon sedangkan yang diisi dengan gas argon menimbulkan warna biru (Elmer, Hon dan Miller, Hon dan Miller 1996).

Pada bagian katoda dilapisi logam yang sesuai dengan logam yang akan dianalisis. Anoda diberi tegangan sehingga bila sejumlah kecil arus yang diberikan di antara katoda dan anoda akan mengakibatkan gas yang ada di dalam tabung akan mengalami ionisasi sehingga ion gas akan tertarik ke arah katoda dengan kecepatan tinggi menyebabkan terjadinya tumbukan yang mengakibatkan tereksitasinya atom-atom logam yang ada dikatoda. Peristiwa tumbukkan ini disebut sputtering ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 6. Sputtering (Beaty dan Kerber, 1996)

Ketika atom kembali ke keadaan dasar (ground state), garis resonansi tertentu akan diemisikan oleh atom tersebut dalam hal ini atom timbal. Sinar akan diteruskan ke nyala api dan atom dengan elemen yang sama dengan elemen katoda (Pb) akan menyerap sinar ini dan akan mengalami eksitasi. Hasil optimasi kuat arus yang dibutuhkan untuk menghasilkan sinar yang memiliki spektrum spesifik dengan garis resonansi 283,3 nm sebesar 10mA.

Kuat arus lampu katoda yang disarankan tergantung pada unsur yang akan dianalisis. Kuat arus yang digunakan sebaiknya seoptimal mungkin karena jika kuat arus yang digunakan terlalu rendah akan menyebabkan intensitas lampu menjadi terlalu sinar rendah sehingga sinar yang dihasilkan juga rendah (Underwood, 2002).


(58)

Efisiensi lampu katoda cekung bergantung pada bentuk geometri dari katodanya dan besarnya tegangan listrik yang diberikan. Peningkatan pemberian arus pada lampu katoda, pada umumnya akan meningkatkan intensitas akan tetapi akan mengurangi umur dari lampu tersebut. Peningkatan ini tetap ada batasnya. Jika pemberian tegangan berlebihan maka akan akan terjadi penyerapan sendiri (self absorption) karena terjadinya peningkatan jumlah atom-atom yang tidak tereksitasi dan menyerap emisi yang dipancarkan sendiri. Hal ini dapat mengurangi intensitas dari lampu tersebut (Underwood, 2002).

4. Perbandingan Udara-Asetilen

Kombinasi udara-asetilen menghasilkan tipe nyala yang lebih banyak digunakan dalam mendeterminasi 35 elemen dengan spektroskopi serapan atom. Temperatur dari kombinasi udara-asetilen ini sekitar 23000C. Rasio dari udara-asetilen perlu dioptimasi untuk mendapatkan sensitivitas yang maksimum (Elmer, Hon dan Miller, 1996).

Udara digunakan sebagai bahan pengoksida dan astilen digunakan sebagai bahan pembakar. Laju oksida dan pembakar yang optimal yaitu asetilen 3 mL/menit dan udara 2 mL/menit. Tipe nyala yang dihasilkan yaitu ‘Lean’ flame ini merupakan kondisi yang baik karena timbal akan cenderung dalam keadaan atom dibandingkan keadaan oksidanya. Selain itu pada kondisi ‘Lean’ flame suhu

yang dihasilkan akan lebih tinggi dibandingkan ‘Rich’ flame (kondisi pembakar

lebih banyak dan mengurangi jumlah timbal dari bentuk oksida menjadi bentuk atom (Pb0)). Udara-astilen ini berfungsi untuk membawa sampel ke dalam sistem


(59)

pengabutan (nebulizer) yang mengubah sampel menjadi uap (aerosol) yang siap masuk ke dalam nyala api untuk atomisasi.

Gambar 7. Sistem nebulizer (Beaty dan Kerber, 1996)


(60)

5. Tinggi Burner

Tinggi burner Spektroskopi Serapan Atom perlu dioptimasi karena parameter ini menentukan letak atau posisi pembakaran sampel yang optimal di burner yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil bacaan detektor. Posisi

pembakaran sampel yang optimum akan menentukan sempurnanya pembakaran yang terjadi sehingga proses atomisasi bisa maksimal.

Gambar 9. Flame Structure (Abdel, 2010)

Dari gambar 9 diatas menunjukkan struktur dari nyala yang digunakan dalam spektroskopi serapan atom. Nyala terbagi menjadi 3 zona yaitu primary contribution zone, interzonal region dan secondary contribution zone. Primary

contribution zone adalah zona dimana belum terjadi kesetimbangan termal, dalam

zona ini masih kaya akan bahan pembakar dan belum adanya sampel yang teratomisasi. Interzonal region adalah zona yang relatif sempit dan daerah ini terjadi peristiwa atomisasi sehingga zona ini merupakan zona yang kaya akan atom bebas sehingga dipilih untuk spektroskopi. Selain itu zona ini juga merupakan zona dengan suhu tertinggi. Secondary contribution zone adalah zona dimana terjadi reformasi molekul dari atom-atom bebas menjadi bentuk oksida stabil yang kemudian tersebar keluar. Zona ini memiliki suhu yang lebih rendah


(61)

dibandingkan dengan interzonal region (Abdel, 2010), Profil suhu dari nyala spektroskopi serapan atom dapat dilihat pada gambar 10 dibawah ini :

Gambar 10. Profil suhu nyala (Abdel, 2010)

Dari gambar 10 dapat dilihat suhu tertinggi adalah diatas 1 cm primary contribution zone. Pembakaran yang optimum akan menghasilkan atom bebas

dalam jumlah banyak sehingga pembacaan hasil oleh detektor juga semakin optimal. Tinggi burner yang optimal hasil optimasi Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada yaitu 1,2 cm.

D.Validasi Instrumen Analisis

Validasi instrumen adalah proses yang terdokumentasi yang memastikan bahwa instrumen yang digunakan bekerja dengan benar selain itu untuk memiliki keyakinan terbukti dalam pengukuran analitis, setiap komponen yang memberikan kontribusi terhadap kualitas keseluruhan hasil harus diidentifikasi dan dikuantitasikan. Validasi instrumen menunjukkan bahwa alat ukur bekerja dengan


(62)

benar dan karenanya tidak memiliki efek yang merugikan untuk hasil analisis. Validasi instrumen merupakan suatu keharusan bagi perusahaan farmasi untuk melakukan validasi instrumen (Anonim, 2008). Validasi instrumen dapat dilakukan dengan cara menguji linearitas, kisaran linearitas dan sensitivitas alat. 1. Linearitas

Linearitas berguna untuk melihat apakah detektor memberikan hasil yang linear terhadap konsentrasi analit yang kemudian dibuat kurva kalibrasi untuk mendapatkan persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear sebagai berikut:

Y = (a±Sa) +(b±Sb)x

Dimana y = respon detektor, a = intercept, b = slope, x = kadar, dengan standar deviasi dari intercept dan slope yaitu Sa dan Sb (González dan Herrardor, 2007).

Rekomendasi dari ICH, dalam menguji linearitas setidaknya 5 tingkat konsentrasi yang harus digunakan dan linearitas tercapai ketika nilai dari coefficient of determination (r2) ≥ 0,997 atau r ≥ 0,9985. Slope dari regresi linear akan memberikan gambaran tentang sensitivitas. (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

Pada suatu penetapan kadar hendaknya pembuatan kurva baku dilakukan setiap akan memulai suatu proses penetapan kadar. Hal tersebut dimaksudkan agar kurva baku yang dibuat merupakan kurva baku yang teraktual dengan kondisi spektroskopi serapan atom yang ada, karena dalam selang rentang waktu tertentu kurva baku yang ada bisa saja memiliki nilai r yang sama dengan kurva baku pada pembuatan waktu sebelumnya namun tidak dengan nilai slope (b) yang sama. Dalam penelitian ini untuk mencari regresi linear digunakan working


(63)

solution. Working solution adalah larutan yang dipreparasi dari larutan stok yang

kemudian diencerkan dengan pelarut yang sesuai dan membuat konsentrasi yang diinginkan. Sebanyak 6 buat larutan baku Pb(NO3)2dengan konsentrasi 0,1-3 µg/mL diukur absorbansinya menggunakan spektroskopi serapan atom yang sudah dioptimasi terlebih dahulu didapatkan hasil pada gambar 11.

Gambar 11. Kurva Baku Pb(NO3)2

Dari 6 analit yang digunakan sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh ICH yaitu sekurang-kurangnya 5 konsentrasi dan hasil coefficient of determination (r2) yang didapatkan sebesar 0,9985 atau r = 0,9992. r = 0,9992 menunjukkan 99,9% perubahan absorbansi dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi analit (Pb(NO3)2). Kisaran linear dari kurva diatas yaitu 0,1-3 µg/mL. Dapat disimpulkan hasil uji linearitas yang tercantum pada lampiran 9 memenuhi syarat yang ditetapkan oleh ICH dan instrumen yang digunakan memberikan respon yang linear terhadap konsentrasi analit.

y = 0,0126x + 0,0027 R² = 0,9985

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Abso

rb

an

si

Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku Pb(NO

3

)

2

Konsentrasi vs absorbansi

0,1-3 µg/mL


(64)

2. Sensitivitas

Sensitivitas dari alat ditentukan dengan mencari Limit Of Detection (LOD). LOD adalah konsentrasi atau jumlah dari analit yang berbeda signifikan dari blanko dan dapat dideteksi oleh instrumen (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

Gambar 11. Ilustrasi pencarian LOD

Gambar 12. Overlapping kurva LOD

Blanko disini merupakan intersep (a) sumbu y dari regresi linear rentang bawah. Setelah diketahui nilai intersep (a) maka dapat ditentukan batasan untuk


(65)

puncak blanko. Dapat dituliskan dengan rumus y = x ± 6 δ atau y = a ± 6 δ,

dengan catatan bahwa nilai Sa = 2 δ untuk regresi linear maka dapat di

substitusikan menjadi :

Sa a y maka Sa a y 3 : 2 , 6        (1) (2) (3)

Nilai ± diatas berarti bahwa nilai plus (+) dapat digunakan untuk mencari nilai y yang berada diatas intersep blanko dan nilai minus (-) untuk y yang berada dibawah blanko, dimana nilai y tersebut merupakan absorbansi. Pada penelitian ini menggunakan nilai plus (+) atau y = a+3Sa dikarenakan absorbansi yang dicari merupakan nilai yang berada diatas absorbansi blanko, sesuai dengan pemahaman bahwa absorbansi LOD > blanko. Dari persamaan (3) diatas maka dapat disubstitusikan dengan persamaan regresi linear (y = bx + a) dan eliminasi terhadap variabel a menjadi :

b Sa LOD atau b Sa x bx Sa Sa a substitusi a bx y Sa a y 3 _ 3 3 a bx 3 3           (4) (5) (6) (7) (8)

Nilai x disini merupakan konsentrasi (ppm) seperti tampak pada gambar 11. Tingkat kepercayaan yang digunakan untuk rumus

b Sa LOD3


(66)

adalah sebesar 99,7%. Untuk meningkatkan nilai Confidence dari 99,7% menjadi 100% maka dilakukan penambahan daerah overlapping (gambar 26) sebesar 0,3% kedalam rumus LOD menjadi :

Untuk mendapatkan nilai Sa (standar deviasi intercept kurva baku) digunakan program Powerfit® (Universitas Uterch Fakultas Kimia) dengan memplotkan konsentrasi teoretis dengan absorbansi sehingga didapatkan nilai Sa = 0,0005. Dari hasil perhitungan pada lampiran 9 didapatkan nilai LOD sebesar 0,1309 µg/mL.

E. Validasi Metode Standar Adisi

Metode standar adisi digunakan ketika sulit ataupun tidak mungkin untuk membuat larutan blanko dengan matriks tanpa adanya analit Sebelum dilakukan penetapan kadar sampel perlu dilakukan validasi metode standar adisi untuk melihat apakah metode yang digunakan valid atau tidak untuk digunakan dalam penetapan kadar. Dalam penelitian ini validasi terhadap metode yang digunakan adalah akurasi, presisi, limit of quantification (LOQ) dan pengaruh prosedur analisis.

1. Akurasi

Data akurasi dilaporkan berupa persen perolehan kembali (%recovery). Akurasi berkaitan dengan sistematic random atau biasa dikenal dengan kesalahan yang diketahui karena kesalahan ini dapat ditentukan dan diperbaiki. Sistematic error secara umum dalam penelitian laboratorium ada tiga yaitu kesalahan pada


(67)

peralatan yang digunakan misalnya timbangan yang tidak terkalibrasi, kesalahan pada operator dan kesalahan prosedur.

Hal yang pertama kali dilakukan adalah melihat kadar analit dalam matriks tanpa adanya penambahan adisi dan kadar analit dalam matriks dengan penambahan lima buah konsentrasi bertingkat dari larutan baku PbNO3. Syarat perolehan kembali menurut Horwitz dengan kadar maksimum 10 ppm yaitu 80-110%. Hasil penelitian ditunjukkan dalam tabel V dengan perhitungan yang tercantum dalam lampiran 11.

Tabel V. Hasil perolehan kembali (recovery)

Persyaratan Menurut Horwitz Kadar Teoretis (µg) Hasil Percobaan Kesimpulan Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3 80-110%

0 - - - -

20 93% 86% 86% Memenuhi 40 89% 83% 83% Memenuhi 60 81% 82% 88% Memenuhi 80 82% 81% 81% Memenuhi 100 83% 82% 81% Memenuhi Sehingga semua replikasi yang diamati masuk dalam range perolehan kembali yang dipersyaratkan. Jadi metode ini bisa dikatakan memiliki akurasi yang baik.

2. Presisi

Data Presisi dilaporkan berupa %RSD (Relative Standard Deviation) atau CV. Presisi ini berkaitan dengan random error. Random error dalam analisis disebabkan oleh perubahan yang tidak dapat diprediksi dan tidak diketahui penyebabnya misalnya 1 buah larutan ketika di ujikan ke AAS memberikan absorbansi yang berbeda ketika dilakukan repitisi, labu takar yang digunakan sudah tidak akurat lagi bisa karena dipanaskan oleh pengguna sebelumnya dan


(68)

masih banyak hal lain. Syarat %RSD menurut Horwitz dengan kadar maksimum 10 ppm yaitu kurang dari 16 % sedangkan syarat menurut AOAC kurang dari 11%. Hasil penelitian yang ditunjukkan dalam tabel VI dengan perhitungan yang tercantum dalam lampiran 12.

Tabel VI. CV dari standar adisi

Persyaratan Menurut Horwitz

Persyaratan Menurut AOAC

Kadar

Teoretis (µg) CV

< 16% < 11%

0 ttd* 20 4% 40 4% 60 6% 80 1% 100 1%

*) menunjukkan hasil tidak terdeteksi karena dibawah nilai LOQ sehingga tidak dapat dikuantifikasikan

3. Intermediate precision

Dalam penelitian ini dilakukan pengerjaan baik validasi dan penetapan kadar dihari yang berbeda. Perlu adanya pengujian terhadap alat yang digunakan untuk melihat apakah hasil pembacaan dihari yang berbeda memiliki perbedaan yang signifikan atau tidak. Hal ini bisa dilihat dengan kurva baku yang dibaca pada saat validasi dan pada saat penetapan kadar.

Pada suatu penetapan kadar hendaknya pembuatan kurva baku dilakukan setiap akan memulai suatu proses penetapan kadar. Hal tersebut dimaksudkan agar kurva baku yang dibuat merupakan kurva baku yang teraktual dengan kondisi spektroskopi serapan atom yang ada, karena dalam selang rentang waktu tertentu kurva baku yang ada bisa saja memiliki nilai r yang sama dengan kurva baku pada pembuatan waktu sebelumnya namun tidak dengan nilai slope (b) yang


(69)

sama. Systematic error ditunjukan dengan adanya perbedaan yang significant dari intercept (Elmer, Hon dan Miller, 1996).

Regresi linear harus memiliki perbedaan intercept yang tidak signifikan. Jika terdapat perbedaan signifikan maka perlu adanya pengujian lebih lanjut yang menunjukkan perbedaan ini tidak memberikan dampak pada akurasi metode yang digunakan (Hurber, 2007).

Dari tabel VII menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan baik intercept dan slope maka dapat disimpulkan bahwa pengujian yang dilakukan

dihari lain akan memiliki kedekatan hasil meski slope yang dihasilkan berbeda.

Tabel VII. uji t intercept dan slope α = 0,05

Kesimpulan t Hitung t Tabel

Intercept 0,531

2,262 Tidak Signifikan Slope 0,638 Tidak Signifikan

4. Limit of Quantification (LOQ)

Limit of quantification (LOQ) digunakan untuk melihat kadar terkecil

dari sampel yang masih bisa dikuantifikasi. Penentuan nilai LOQ dilakukan dengan cara merata-rata nilai LOQ dari tiap kurva adisi yang digunakan. Cara mencari nilai LOQ dari tiap kurva adisi menggunakan rumus:

Untuk mendapatkan nilai Sa (standar deviasi intercept kurva adisi) digunakan program Powerfit® dengan memplotkan konsentrasi teoretis dengan absorbansi sehingga didapatkan nilai Sa. LOQ yang didapatkan dalam penelitian


(70)

ini ditunjukkan dalam tabel VIII dengan perhitungan yang tercantum dalam lampiran 14.

Tabel VIII. LOQ

Hasil Perhitungan LOQ (µg/g sampel)

Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3 Rata-rata 0,1941 0,1587 0,2073 4,146

Dari tabel diatas maka dapat disimpulkan LOQ untuk penelitian ini adalah sebesar 4,146 µg/g sampel.

5. Pengaruh Prosedur Analisis

Fungsi melihat pengaruh prosedur analisis adalah melihat apakah proses yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap hasil akhirnya. Ketika pengujian larutan baku untuk kalibrasi (penentuan linearitas) perlu dilakukan perbandingan slope dengan kurva adisi untuk melihat apakah terdapat perbedaan sensitivitas

dari instrumen yang digunakan. Selain itu juga melihat ketepatan estimasi antara kurva baku dengan kurva adisi terhadap jumlah dan distribusi dari titik-titik pengukuran (Ermer, Hon dan Miller, 2005).

Gambar 14. Gabungan Kurva baku dan kurva standar adisi rep 1

Baku y = 0,0126x + 0,0027

Adisi y = 0,0102x + 0,0032 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Abso

rb

an

si

Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku dan Kurva Adisi Rep 1

Konsentrasi vs Absorbansi

Baku


(71)

Gambar 15. Gabungan Kurva baku dan kurva standar adisi rep 2

Gambar 16. Gabungan Kurva baku dan kurva standar adisi rep 3

Jika dilihat dari gambar 14, 15 dan 16 terlihat adanya perbedaan dari kurva baku dengan kurva standar adisi. Untuk mengetahui hal tersebut maka perlu dilakukan uji signifikasi terhadap slope kurva baku dan kurva adisi. Uji signifikasi yang dilakukan adalah uji t (t-test) untuk melihat apakah ada signifikansi antara kurva baku dan kurva adisi.

Baku y = 0,0126x + 0,0027

Adisi y = 0,0103x + 0,0028 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 0,045

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Abs o rba ns i Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku dan Kurva Adisi Rep 2

Konsentrasi vs Absorbansi

Baku

Rep 2

Baku y = 0,0126x + 0,0027

Adisi y = 0,0092x + 0,0032 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 0,045

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Abs o rba ns i Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku dan Kurva Adisi Rep 3

Konsentrasi vs Absorbansi

Baku


(72)

Sebelum uji t dilakukan perlu dilakukan uji signifikasi dari standar deviasi slope kurva baku dan kurva adisi dengan uji F dan dilihat apakah hasilnya berbeda signifikan atau tidak. Dari hasil perhitungan yang ditunjukkan dalam tabel IX dapat disimpulkan standar deviasi slope kurva adisi tidak ada perbedaan yang signifikan dengan slope kurva baku.

Tabel IX. Uji F standar deviasi baku dan adisi

F Hitung α F Tabel Kesimpulan

Replikasi 1 2,778

0,05 7,146

Tidak signifikan Replikasi 2 1,778 Tidak signifikan Replikasi 3 5,444 Tidak signifikan

Tahap selanjut dilakukan uji t persamaan:

t = √

Dimana b1 merupakan slope kurva adisi dan b2 slope kurva baku. Selain itu perlu dilakukan perhitungan degree of freedom dengan persamaan:

Hasil perhitungan yang ditunjukkan dalam tabel X dapat disimpulkan slope dari tiap replikasi kurva adisi memberikan hasil yang signifikan terhadap

kurva baku. Pada kurva adisi, semakin besar konsentrasi maka semakin menjauhi kurva baku. Hal ini dapat disebabkan karena suhu untuk atomisasi tidak optimal sehingga tidak semua Pb pada larutan adisi dapat teratomisasi. Maka perlu adanya optimasi yang dilakukan terhadap suhu pembakaran.


(1)

b. Replikasi 2

Baku Rep 2

b 0,0126 0,0104 SDb 0,0003 0,0004

n 6 6

i. Uji signifikansi standar deviasi dengan uji F F =

(S12 = Standar deviasi slope adisi ; S22 = Standar deviasi slope baku)

F =

= 1,778

Perhitungan Degrees of freedom (df) = n1-1 dan n2-1

n1-1 = 6 - 1 = 5

n2-1 = 6 – 1 = 5

α F Hitung F Tabel Kesimpulan

0,05 1,778 7,146 Tidak signifikan

ii.Uji t untuk melihat signifikansi slope antara kurva baku dan kurva adisi

Dari hasil perhitung uji F diatas dapat dilihat SD antara kurva baku dan kurva adisi tidak berbeda signifikan maka standar deviasi untuk uji t dihitung dengan persamaan: S2 =

S2 =

S2 =

S2 = 1,25 x 10-7

S = √ = 3,536 x 10-4

Baku y = 0,0126x + 0,0027

Adisi y = 0,0103x + 0,0028 0

0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 0,045

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Abs

o

rba

ns

i

Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku dan Kurva Adisi Rep 2

Konsentrasi vs Absorbansi

Baku Rep 2


(2)

Perhitungan nilai t : t =

(b1 = slope kurva adisi ; b2 = slope kurva baku)

t = t =

t = 9,241

Perhitungan df : df : n1 + n2 - 2

df : 6+6-2 = 10

α t Hitung t Tabel Kesimpulan

0,05 9,241 2,228 Signifikan

c. Rep 3

Baku Rep 3

b 0,0126 0,0092 SDb 0,0003 0,0006

n 6 6

i. Uji signifikansi standar deviasi dengan uji F F =

(S12 = Standar deviasi slope adisi ; S22 = Standar deviasi slope baku)

F =

= 5,444

Perhitungan Degrees of freedom (df) = n1-1 dan n2-1

Baku y = 0,0126x + 0,0027

Adisi y = 0,0092x + 0,0032 0

0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 0,045

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Abs

o

rba

ns

i

Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku dan Kurva Adisi Rep 3

Konsentrasi vs Absorbansi

Baku Rep 3


(3)

n1-1 = 6 - 1 = 5

n2-1 = 6 – 1 = 5

α F Hitung F Tabel Kesimpulan

0,05 5,444 7,146 Signifikan

ii.Uji t untuk melihat signifikansi slope antara kurva baku dan kurva adisi

Dari hasil perhitung uji F diatas dapat dilihat SD antara kurva baku dan kurva adisi tidak berbeda signifikan maka standar deviasi untuk uji t dihitung dengan persamaan: S2 =

S2 =

S2 =

S2 = 6,95 x 10-7

S = √ = 8,337 x 10-4 Perhitungan nilai t :

t = √

(b1 = slope kurva adisi ; b2 = slope kurva baku)

t = t =

t = 7,063

Perhitungan df : df : n1 + n2 - 2

df : 6+6-2 = 10

α t Hitung t Tabel Kesimpulan


(4)

Lampiran 16, Data Penetapan Kadar

a. Data Absorbansi dan kadar Sampel

Blanko

Lama perlakuan Replikasi 1 Rata-rata Kadar (µg/mL)

0 Minggu 0 0 0 0 0

2 Minggu 0,003 0,003 0,004 0,0030 0,0238 4 Minggu 0,004 0,003 0,002 0,0030 0,0238 6 Minggu 0,004 0,004 0,004 0,0040 0,1032 8 Minggu 0,005 0,003 0,004 0,0040 0,1032

Blanko

Lama perlakuan Replikasi 1 Rata-rata Kadar (µg/mL)

0 Minggu 0,003 0,003 0,002 0,0027 0

2 Minggu 0,003 0,003 0,004 0,0033 0,0503 4 Minggu 0,004 0,005 0,005 0,0047 0,1561 6 Minggu 0,007 0,008 0,005 0,0067 0,3148 8 Minggu 0,004 0,004 0,003 0,0037 0,0767

Blanko

Lama perlakuan Replikasi 1 Rata-rata Kadar (µg/mL)

0 Minggu 0,003 0,002 0,006 0,0037 0,0767 2 Minggu 0,004 0,005 0,003 0,0040 0,1032 4 Minggu 0,004 0,004 0,004 0,0040 0,1032 6 Minggu 0,006 0,005 0,004 0,0050 0,1825 8 Minggu 0,005 0,005 0,006 0,0053 0,2090

Perlakuan

Lama perlakuan Replikasi 2 Rata-rata Kadar (µg/mL)

0 Minggu 0,003 0,002 0,002 0,0023 0

2 Minggu 0,006 0,005 0,005 0,0053 0,2090 4 Minggu 0,002 0,006 0,006 0,0047 0,1561 6 Minggu 0,004 0,008 0,005 0,0057 0,2354 8 Minggu 0,005 0,007 0,006 0,0060 0,2619


(5)

b. Perhitungan kadar dalam µg/g berat sampel

Kadar sampel / berat sampel (µg/g )=

Lama perlakuan

Kadar (µg/mL)

Volume pengencaran

Berat sampel

Kadar (µg/g)

LOQ = 4,1460 (µg/g)

Blanko Replikasi 1

0 Minggu 0

50 mL 2,5 g

0 ttd

2 Minggu 0,0238 0,476 ttd

4 Minggu 0,0238 0,476 ttd

6 Minggu 0,1032 2,064 ttd

8 Minggu 0,1032 2,064 ttd

Blanko Replikasi 2

0 Minggu 0

50 mL 2,5 g

0 ttd

2 Minggu 0,0503 1,006 ttd

4 Minggu 0,1561 3,122 ttd

6 Minggu 0,3148 6,296 terdeteksi

8 Minggu 0,0767 1,534 ttd

Perlakuan Replikasi 1

0 Minggu 0,0767

50 mL 2,5 g

1,534 ttd

2 Minggu 0,1032 2,064 ttd

4 Minggu 0,1032 2,064 ttd

6 Minggu 0,1825 3,65 ttd

8 Minggu 0,2090 4,18 terdeteksi

Perlakuan Replikasi 2

0 Minggu 0

50 mL 2,5 g

0 ttd

2 Minggu 0,209 4,18 terdeteksi

4 Minggu 0,1561 3,122 ttd

6 Minggu 0,2354 4,708 terdeteksi


(6)

85

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi yang berjudul “Pengaruh Pangan yang Dicemari Logam Berat Timbal (Pb) Terhadap Kadar Timbal pada Cacing Lumbricus rubellus” bernama lengkap Jimmy Pieter Chua. Penulis lahir di Dumai pada tanggal 05 Juni 1991 sebagai anak pertama dari pasangan Chua Beng Huat dan Magdalena Mellinda Chan. Penulis telah menyelesaikan pendidikannya di TK Santo Tarcisisus (1997), SD Santo Tarcisisus (2003), SMP Santo Tarcisisus (2006), SMA Santo Tarcisisus (2009). Penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2009. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, penulis aktif dalam kegiatan seperti menjadi panitia Pelepasan Wisuda 2009, TITRASI 2010, TITRASI 2011, Donor Darah 2010, Pekan Budaya 2010, Panitia KPU BEMU 2011 serta menjadi asisten praktikum Kimia Dasar 2010, FTS Semisolid Liquid 2012, Kultur Jaringan 2013, Validasi Metode dan Analsis Farmasi 2013. Juara 1 kompetisi Video Pendek Interprofesional Education HPEQ DIKTI bidang Farmasi