Peran Mediasi Kepuasan Kerja Pada Kepemimpinan Trasformasional dan Budaya Patient Safety Tenaga Kesehatan.

(1)

TESIS

PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN

BUDAYA

PATIENT SAFETY

TENAGA KESEHATAN

AYU DIANDRA SARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i

TESIS

PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN

BUDAYA

PATIENT

SAFETY

TENAGA KESEHATAN

AYU DIANDRA SARI NIM: 1290662022

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

ii

PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN

BUDAYA

PATIENT SAFETY

TENAGA KESEHATAN

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Program Pascasarjana Universitas Udayana

AYU DIANDRA SARI

NIP. 129062022

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis Ini Telah Disetujui

Tanggal………

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi Dr. Gede Riana, SE., MM NIP. 19590801 198601 2 001 NIP. 19631127 198601 1 001

Mengetahui

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Ketua Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001

Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi NIP. 19590801 198601 2 001


(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal ……….

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: ……… Tanggal………

Ketua: Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi Anggota:

1. Dr. Gede Riana, SE., MM

2. Prof. Dr. Wayan Gede Supartha, SE., SU 3. Dr. Gde Adnyana Sudibia, SE., MKes., Ak. 4. Dr. Made Subudi, SE., MSi.


(6)

v

SURAT PERSYARATAN BEBAS PLAGIAT

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat

Apabila di kemudian hari terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar,

(AYU DIANDRA SARI)

NAMA : AYU DIANDRA SARI

NIM : 1290662022

PROGRAM STUDI : MAGISTER MANAJEMEN

JUDUL TESIS : PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN


(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi sebagai Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti pendidikan pada program Magister Manajemen, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. I Gede Riana,SE.,MM sebagai Pembimbing Pendamping yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister Manajemen. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., MSi sebagai Ketua Program Magister Manajemen Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. Dr. Wayan Gede Supartha, SE., SU, Dr. Gde Adnyana Sudibia, SE., MKes., Ak. dan Dr. Made Subudi, SE., MSi yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.


(8)

vii

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu, Putu Linarta (alm) dan Ida Ayu Gde Candra Suryani yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada suami tercinta, I Made Junior Rina Artha, yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan, dukungan, kasih sayang, dan pengertian untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa penulis ucapkan terimka kasih atas bantuan teman-teman angkatan XXIX Program Magister Manajemen Universitas Udayana dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Semoga Ida Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, Penulis


(9)

viii ABSTRAK

PERAN MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN BUDAYA PATIENT SAFETY TENAGA KESEHATAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran mediasi kepuasan kerja pada kepemimpinan transformasional dan budaya patient safety tenaga kesehatan. Populasi penelitian adalah tenaga kesehatan puskesmas rawat inap yang ada di Kota Denpasar dengan jumlah responden adalah 86 orang. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis Structural Equation Model-Partial Least Square (SEM-PLS). Hasil penelitian menunjukkan (1) kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja (2) kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap budaya patient safety (3) kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap budaya patient safety (4) kepuasan kerja memediasi secara parsial dan positif serta signifikan hubungan antara kepemimpinan transformasional dan budaya patient safety. Implikasi penelitian ini yaitu perlunya pimpinan yang mampu menerapkan gaya kepemimpinan transformasional dengan optimal agar terbentuk budaya patient safety yang kuat oleh tenaga kesehatan serta memperhatikan faktor-faktor pembentuk kepuasan kerja tenaga kesehatan.

Kata Kunci : Kepemimpinan Transformasional, Kepuasan Kerja, Budaya Patient Safety


(10)

ix ABSTRACT

JOB SATISFACTION ROLE AS MEDIATION OF

TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP AND PATIENT SAFETY CULTURE ON HEALTH WORKERS

This study aims to analyze job satisfaction role as mediation of transformational leadership and patient safety culture on heath workers in community health centers in Denpasar. The population study were health workers from community health centers in Denpasar, with number of the respondents were 86 health workes. Sampling technique conducted with a random proportional sampling technique and analyzed with Structural Equation Model-Partial Least Square (SEM-PLS). The results showed that (1) Transformational Leadership gave significant positive effect toward Job Satisfaction (2) Transformational Leadership gave significant positive effect toward Patient Safety Culture (3) Job Satisfaction gave significant positive effect toward Patient Safety Culture (4) Job Satisfaction gave positive partially mediation and significant toward relationship between Transformational Leadership and Patient Safety Culture. Implications of this research are the need of a leader who can apply transformational leadership style and could build strong patient safety culture of health workers, and also give more concern to all those factors which form job satisfaction.


(11)

x DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1 Budaya Patient Safety ... 10

2.1.1 Definisi Budaya Patient Safety ... 10

2.1.2 Dimensi Budaya Patient Safety ... 12

2.1.3 Variabel Yang Mempengaruhi Budaya Patient Safety ... 13

2.2 Kepuasan Kerja ... 14

2.2.1 Definisi Kepuasan Kerja ... 14

2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja... 16

2.3 Kepemimpinan Transformasional ... 18

2.3.1 Definisi Kepemimpinan Transformasional ... 18


(12)

xi

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

PENELITIAN ... 22

3.1 Kerangka Berpikir dan Konseptual Penelitian ... 22

3.2 Kerangka Konsep ... 24

3.3 Hipotesis Penelitian ... 25

3.3.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Kerja ... 25

3.3.2 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Patient Safety ... 27

3.3.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Budaya Patient Safety ... 28

BAB IV METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Rancangan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 30

4.2 Variabel Penelitian ... 30

4.2.1 Identifikasi Variabel ... 30

4.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 31

4.3 Pengumpulan Data ... 34

4.3.1 Jenis Data ... . 34

4.3.2 Sumber Data ... 35

4.3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

4.3.4 Instrumen dan Pengumpulan Data ... 37

4.3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 38

4.3.6 Metode Pengumpulan Data ... 40

4.4 Metode Analisis Data ... 41

4.4.1 Analisis Deskriptif ... . 41

4.3.2 Analisis Inferensial... 41

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1 Hasil Penelitian ... 47

5.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 47

5.1.2 Karakteristik Responden ... 52


(13)

xii

5.1.3.1 Variabel Kepemimpinan Transformasional ... 55

5.1.3.2 Variabel Kepuasan Kerja ... 57

5.1.3.3 Variabel Budaya Patient Safety ... 59

5.1.4 Hasil Analisis Inferensial ... 61

5.1.4.1 Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) .... 62

5.1.4.2 Evaluasi Model Struktural (Inner Model) ... 65

5.1.4.3 Hasil Koefisien Jalur dan T-Statistik ... 66

5.1.5 Hasil Pengujian Hipotesis... 67

5.2 Pembahasan ... 70

5.2.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Kerja ... 70

5.2.2 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Patient Safety ... 72

5.2.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Budaya Patient Safety ... 74

5.2.4 Peran Mediasi Kepuasa Kerja Pada Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Patient Safety ... 76

5.3 Implikasi Penelitian ... 77

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN... 80

6.1 Simpulan ... 80

6.2 Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

No. Nama Tabel Halaman

4.1 Jumlah Tenaga Kesehatan Puskemas Rawat Inap (PRI) di Kota

Denpasar ... 35

4.2 Distribusi Pengambilan Sampel Tenaga Kesehatan Puskemas Rawat Inap (PRI) di Kota Denpasar... 37

4.3 Nilai Koefisien Cronbach’s Alpha untuk masing-masing Variabel ... 40

5.1 Luas Wilayah, Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Denpasar Tahun 2016... 47

5.2 Karakteristik Responden ... 53

5.3 Analisis Deskriptif Responden Pada Variabel Kepemimpinan Transformasional... 56

5.4 Analisis Deskriptif Responden Pada Variabel Kepuasan Kerja ... 58

5.5 Analisis Deskriptif Responden Pada Variabel Budaya Patient Safety.. 59

5.6 Pemeriksaan Outer Model ... 63

5.7 Pemeriksaan Discriminant Validity... 64

5.8 Nilai Composite Reliabilty ... 65

5.9 Hasil Evaluasi Goodness of Fit ... 66

5.10 Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung dan Pengaruh Total Antar Variabel ... 67

5.11 Perhitungan VAF Hubungan Tidak Langsung Variabel Kepemimpinan Transformasional Terhadap Budaya Patient Safety Melalui Kepuasan Kerja ... 69


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

No. Nama Gambar Halaman

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ... 25

4.1 Diagram Alur (Path Diagram) atau Outer Model ... 42

5.1 Model Persamaan Struktural Penelitian ... 61


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

No. Nama Lampiran Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 91

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 98

3. Karakteristik Responden ... 105

4. Analisis Deskriptif Kepemimpinan Transformasional (X) ... 108

5. Analisis Deskriptif Kepuasan Kerja (Y1) ... 112

6. Analisis Deskriptif Budaya Patient Safety (Y2) ... 118

7. Korelasi Antar Variabel Laten ... 129


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan investasi esensial bangsa yang secara signifikan mempengaruhi kemajuan suatu negeri. Agenda pembangunan di bidang kesehatan menekankan pada pembenahan status kesehatan masyarakat. Peningkatan mutu kesehatan masyarakat menuntut usaha dan perhatian berbagai pihak yaitu masyarakat, pengambil kebijakan, dan tenaga kesehatan. Pelayanan kesehatan biasanya berjalan dengan suatu sumber pendanaan dan sistem operasi, sehingga terdapat perbedaan antara struktur organisasi, kualitas, keamanan serta kenyamanan dalam pemanfaatan suatu pelayanan kesehatan yang satu dengan lainnya (Tsang et al., 2008).

Era jaminan kesehatan nasional memberikan masyarakat keleluasaan untuk mengakses pelayanan kesehatan yang berakibat pada meningkatnya kunjungan ke fasilitas kesehatan. Mengacu pada alur jaminan kesehatan nasional, puskesmas sebagai penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan untuk tingkat pertama memiliki peran yang sangat fundamental sebagai garda terdepan akses kesehatan yang dikunjungi masyarakat (Tjiptoherijanto, 2008). Pelayanan rawat inap merupakan salah satu pelayanan medis yang utama di puskesmas dan merupakan tempat untuk interaksi antara pasien dan puskesmas berlangsung dalam waktu yang tak lama (Haryanto dan Suranto, 2012). Pelayanan rawat inap melibatkan


(18)

2

pasien dan tenaga kesehatan dalam hubungan yang sensitif yang menyangkut kepuasan pasien, mutu pelayanan dan citra puskesmas (Jacobalis, 2000).

Hasil ekstrapolasi penyebab kematian 98.000 pasien dari total 33,6 juta rawat inap pada tahun 1997 di Amerika Serikat merupakan kesalahan medis (Kohn et al., 2006:43). Hasil studi dari Harvard University melaporkan bahwa 3,7 persen dari seluruh pasien yang menjalani perawatan dalam pelayanan kesehatan primer dengan cedera medis, 28 persen diantaranya terjadi kasus penelantaran medis, dan 76 persen dari seluruh kasus yang terjadi merupakan kasus yang dapat dicegah (Brennan et al., 2014). Kepala Direktorat Pelayanan Medik Dasar Depkes dan Kesos dalam Seminar Public Private Mix mengatakan bahwa kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh puskesmas cukup tinggi (Pohan, 2007). Indonesia sendiri memiliki kasus kesalahan medis di puskesmas mencapai 80 persen (Dwiprahasto, 2006).

Berdasarkan data yang sudsh dijabarkan, fenomena yang saat ini dihadapi puskesmas adalah masih tingginya angka pelanggaran salah satu prinsip pelaksanaan pelayanan kesehatan yaitu zero human error. Human error atau medical error adalah kesalahan di bidang kesehatan yang didefinisikan sebagai suatu kecelakaan yang disebabkan dari pelaksana kesehatan, bukan dikarenakan kondisi pelaksana kesehatan (misal gangguan jiwa), bukan karena motif apapun, tidak disertai niat kriminal atau penyakit dari pasien yang sedang dirawat (Wetterneck dan Karsh, 2011). Puskesmas sebagai garda terdepan untuk pencegahan dan pengobatan pasien tentunya menerima kunjungan paling banyak


(19)

3

setiap harinya, dan di sinilah terlihat kualitas sistem kerja tenaga kesehatan serta mampu tidaknya dalam memberi pelayanan maksimal.

Hasil observasi menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya human error adalah tidak maksimalnya pelaksanaan budaya patient safety di puskesmas. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa keluhan pasien yang berkunjung dan menginap di puskesmas yang mereka tulis pada surat keluhan yang ada di kotak kritik dan saran di tiap puskesmas. Rata-rata pasien mengeluhkan bahwa layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan baik yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan pasien masih belum optimal sehingga pasien merasa tidak nyaman.

Hasil wawancara terhadap 7 (tujuh) pasien dan 5 (lima) tenaga kesehatan di puskemas rawat inap di Kota Denpasar dapat dirangkum, diantaranya (1) Sikap tenaga kesehatan dalam menanggapi keluhan dan masalah pasien kurang responsif (2) Beberapa tenaga kesehatan yang sering meninggalkan tempat kerja, dan (3) kesalahan pemberian label pada obat pasien. Memperhatikan permasalahan-permasalahan di atas, kondisi ini tentu menuntut perlunya perubahan yang cepat, yang mengharapkan semua pihak khususnya pimpinan dan tenaga kesehatan agar dapat memahami benar apa sebenarnya makna dan poin-poin penting dari budaya patient safety, sehingga dapat bekerjasama dengan baik dan budaya patient safety dapat terlaksana secara efektif.

Keselamatan pasien atau patient safety merupakan komponen penting dari mutu layanan kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis dari manajemen mutu WHO (Lim, 2004). Patient safety adalah pasien yang bebas


(20)

4

dari harm (cedera), termasuk di dalamnya adalah penyakit, cedera fisik, psikologis, sosial, penderitaan, cacat, hingga kematian yang tidak seharusnya terjadi atau cedera yang potensial (KKP–RS, 2008). Budaya patient safety sangat penting artinya untuk mencegah berbagai kesalahan medis yang dapat terjadi baik di puskesmas, rumah sakit maupun tempat pelayanan kesehatan lainnya. Berbagai negara di dunia telah memasukkan elemen patient safety pada peraturan pemerintahnya (Kemenkes, 2011). Sejak tahun 2001, the Joint commission on Accreditation of Healthcare Organization telah memberikan instruksi pada berbagai fasilitas kesehatan guna mengaplikasikan strategi patient safety (Depkes, 2006:11). Di Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Seminar Nasional VII PERSI dan Hospital Expo XVIII mencanangkan Gerakan Keselamatan Pasien, yang meliputi tujuh program, yaitu dari sosialisasi hingga pengembangan kerja sama dalam mewujudkan patient safety (Depkes RI-PERSI, 2006: 9).

Organisasi pada bidang kesehatan tidak dapat bertahan tanpa sumber daya manusia yang berperilaku positif dalam proses penyembuhan pasien. Sumber Daya Manusia (SDM) adalah bagian krusial yang menjadi motor penggerak dan kendali suatu pelayanan kesehatan baik dalam usaha pengembangan maupun keberadaannya seiring dengan tuntutan zaman (Khan et al., 2012). Menurut Jones et al. (2007), elemen budaya keselamatan pasien mengacu pada peningkatan kepercayaan dan perilaku dari staf dalam mengidentifikasi dan belajar dari kesalahan. Condon (2009) menemukan hubungan yang positif antara budaya


(21)

5

patient safety dengan pola perilaku aman secara medis yang ditunjukkan oleh para tenaga kesehatan.

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri di bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Republik Indonesia, 1996). Tenaga kesehatan tersebut meliputi tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga farmasi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga terapi fisik dan tenaga teknisi medis. Tenaga kesehatan memegang peranan sebagai garda terdepan dalam pemenuhan kebutuhan akan jasa pelayanan kesehatan masyarakat, sehingga harus mampu memberikan pelayanan yang ramah, menggunakan peralatan yang tersedia secara maksimal dan mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu serta terpercaya dalam mewujudkan patient safety sebagai komitmen organisasi (Azwary, 2013). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terwujudnya budaya patient safety adalah kepuasan tenaga kerja kesehatan (Andini, 2006).

Menurut Kreitner dan Kinicki (2008) terdapat korelasi positif dan signifikan antara kepuasan dengan pengawasan/ supervisi, di mana atasan/ manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka dapat mempengaruhi pekerja secara potensial dan meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha, sehingga kepuasan kerja dapat tercapai optimal. Ada tiga gaya kepemimpinan yang hirarkis terstruktur dari Bass dan Avolio (2006), diantaranya gaya transformasional yang biasanya diterapkan oleh pemimpin yang optimal, gaya transaksional dan gaya pasif-menghindari (avoiding style) yang biasanya


(22)

6

diterapkan pada tingkat yang lebih rendah (Mannheim dan Hallamish, 2008). Gaya kepemimpinan transformasional sesuai dengan lingkungan yang dinamis karena kepemimpinan transformasional dianggap efektif dalam situasi atau budaya apapun, karena anggota organisasi dapat merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan serta penghormatan terhadap pemimpin dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang semula diharapkan dari mereka (Muenjohn dan Armstrong, 2007). Omar dan Hussin (2013) melakukan penelitian terhadap kinerja 100 karyawan dari salah satu institusi akademi di Malaysia dengan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Tingginya angka kesalahan medis yang masih kerap dilakukan oleh tenaga kesehatan sehingga pencapaian budaya patient safety menjadi tidak optimal tentunya dapat dipengaruhi oleh motif internal lainnya seperti peran seorang pemimpin di dalam organisasi. Kepemimpinan transformasional merupakan salah satu diantara beberapa model kepemimpinan yang dipandang lebih lengkap dan memiliki banyak keunggulan karena tidaklah terbatas pada subjek orang, melainkan kepemimpinan yang lebih menyeluruh karena terkait dengan tujuan yang ingin dicapai bersama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh tidak langsung terhadap menurunnya kejadian kesalahan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Kim, 2007). Insititute of Medicine (IOM) (2008) merekomendasikan bahwa prinsip utama dalam mendesain sistem keselamatan pasien adalah dengan kepemimpinan, karena keselamatan pasien menjadi tanggung jawab bersama serta


(23)

7

menyediakan sumber daya manusia maupun dana untuk analisa kejadian dan merancang ulang sistem. Kualitas pemimpin seringkali dipandang sebagai refleksi keberhasilan maupun kegagalan sebuah organisasi. Untuk menjadi seorang pemimpin efektif, seorang pimpinan harus mampu memberi pengaruh pada seluruh elemen pada tempat pelayanan berlangsung guna mencapai tujuan yang telah disematkan sebelumnya (WHO, 2007).

Penelitian dilakukan pada puskesmas rawat inap yang ada di Kota Denpasar untuk mengeksplorasi variabel – variabel yang mempengaruhi budaya patient safety di puskesmas. puskesmas rawat inap dipilih sebagai lokasi penelitian mengingat fungsi dan keberadaannya sesuai alur jaminan kesehatan masyarakat, merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan serta pengobatan, baik bersifat pencegahan maupun tindakan perawatan yang dikunjungi masyarakat. Kepuasan kerja para tenaga kesehatan serta gaya kepemimpinan yang ada di puskesmas akan menjadi penilaian kualitas pelayanan yang diberikan puskesmas tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya dapat disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja tenaga kesehatan?

2) Bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan?


(24)

8

3) Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan?

4) Bagaimana kepuasan kerja memediasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah menjawab semua rumusan masalah penelitian ini, yaitu:

1) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja tenaga kesehatan.

2) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan.

3) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepuasan kerja terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan.

4) Menganalisis dan menjelaskan peran mediasi kepuasan kerja pada pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu:

1) Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam bidang ilmu manajemen sumber daya manusia sebagai referensi tambahan terutama dalam manajemen pelayanan kesehatan dan organisasi


(25)

9

layanan jasa lainnya, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kepuasan transformasional, kepuasan kerja, dan budaya patient safety. 2) Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan

bahan pertimbangan untuk digunakan sebagai referensi tambahan bagi organisasi terutama puskesmas dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang berhubungan dengan kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja, dan budaya patient safety.


(26)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan

kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang mendasari

penelitian ini. Kajian pustaka memberikan gambaran tentang kaitan antara teori

dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan para peneliti terdahulu untuk

mendekati permasalahan. Pembahasan kajian pustaka akan menjelaskan berbagai

acuan komprehensif mengenai konsep, prinsip, atau teori yang digunakan sebagai

landasan dalam memecahkan masalah. Berikut ini akan dibahas kajian pustaka

yang berkaitan dengan budaya patient safety, kepuasan kerja, dan kepemimpinan

transformasional.

2.1Budaya Patient Safety

2.1.1 Pengertian Budaya Patient Safety

Industri kesehatan merupakan industri yang memiliki banyak risiko, baik

itu risiko pada pasien maupun tenaga kesehatan sehingga pandangan bahwa

pelayanan kesehatan sebagai industri yang bebas dari kesalahan adalah pandangan

yang perlu dikoreksi (Leape, 2012). Keselamatan pasien (patient safety) adalah

suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah

terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu

tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes

RI-PERSI, 2006). Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan


(27)

11

insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi

untuk meminimalkan resiko yang meliputi penilaian risiko, identifikasi dan

pengelolaan hal berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi

untuk meminimalkan timbulnya risiko ( Carroll, 2009).

Budaya patient safety adalah kepercayaan, sikap dan nilai sebuah

organisasi kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan

struktur, praktek, peraturan dan kontrol keselamatan pasien (Sammer et al., 2010).

Menurut Nieva dan Sorra (2003), Budaya patient safety adalah produk dari nilai,

sikap dan persepsi, kompetensi, dan pola perilaku dari individu dan kelompok

dalam sebuah organisasi (pelayanan kesehatan) yang menentukan komitmen,

gaya, dan kemahiran dalam manajemen patient safety. Budaya patient safety

terfokus pada nilai, kepercayaan dan asumsi terhadap iklim organisasi (pelayanan

kesehatan) dalam peningkatan program keselamatan pasien (Deilkas dan Hofoss,

2008).

Budaya patient safety merupakan bagian yang penting dalam keseluruhan

budaya organisasi yang diperlukan dalam institusi kesehatan sehingga budaya

patient safety dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan, norma, perilaku,

peran, dan praktek sosial maupun teknis dalam meminimalkan pajanan yang

membahayakan atau mencelakakan karyawan, manajemen, pasien, atau anggota

masyarakat lainnya (Hamdani, 2007). Menurut Blegen (2006), persepsi yang

meliputi kumpulan norma, standar profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung


(28)

12

untuk melindungi pasien dari kesalahan tata laksana maupun cedera akibat

intervensi, sehingga akan mempengaruhi keyakinan dan tindakan individu dalam

memberikan pelayanan. Kohn (2006) mengemukakan bila tenaga kesehatan dapat

menciptakan lingkungan yang aman bagi pasien, berarti tercipta juga lingkungan

yang aman bagi pekerja, karena keduanya terikat satu sama lain.

2.1.2 Dimensi Budaya Patient Safety

Beragam pengertian terkait budaya patient safety mencakup beberapa

dimensi umum dalam pelayanan kesehatan yang mengacu pada peningkatan

kepercayaan dan perilaku dari staf dalam mengidentifikasi dan belajar dari

kesalahan (Hellings et al, 2007). Dalam National Healthcare Quality Report,

budaya patient safety dinilai dalam 12 aspek (AHRQ, 2013):

1) Supervisor/ manager action promoting safety – pelaksanaan dari pimpinan

2) Organizational learning – perbaikan yang berkelanjutan

3) Kerja sama dalam unit di pelayanan kesehatan

4) Komunikasi yang terbuka

5) Umpan balik dalam komunikasi mengenai kesalahan

6) Respon tidak saling menyalahkan terhadap kesalahan

7) Staffing/ Staf

8) Dukungan manajemen terhadap budaya patient safety

9) Kerja sama antar unit

10) Perpindahan dan transisi pasien

11) Persepsi keseluruhan staf terkait budaya patient safety


(29)

13

Copper (2000) menyebutkan ada tiga dimensi yang mempengaruhi budaya

patient safety, yaitu:

1) Personal, dimensi yang cenderung dari orang/ manusia yang bekerja dalam

suatu organisasi kesehatan. Dimensi personal biasanya mencakup

pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi dan kepribadian.

2) Perilaku organisasi, dimensi yang mengukur kondisi lingkungan kerja dari

segi organisasi pelayanan kesehatan secara umum. Dimensi ini mencakup

kepemimpinan, kewaspadaan situasi, komunikasi, kerja tim, stress,

kelelahan, kepemimpinan tim dan pengambilan keputusan.

3) Lingkungan, dimensi pendukung proses pelayanan dalam organisasi

kesehatan yang meliputi perlengkapan, peralatan, mesin, kebersihan,

teknik dan standar prosedural operasional.

2.1.3 Variabel yang Mempengaruhi Budaya Patient Safety

Rathert dan May (2007) mengungkapkan dalam hasil penelitiannya

bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi budaya patient safety dari

perspektif komperehensif adalah lingkungan kerja (work environments) dan

kepuasan kerja tenaga kesehatan. McFadden et al. (2009) dalam studinya pada

tenaga kesehatan rumah sakit mengatakan bahwa beberapa faktor yang

berpengaruh secara langsung pada budaya patient safety adalah kepemimpinan

transformasional dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kepuasan kerja

tenaga kesehatan melalui adanya penghargaan (rewards). Tarcan et al. (2013)

yang melakukan studi pada para tenaga kesehatan di beberapa rumah sakit


(30)

14

dalam melaksanakan budaya patient safety sangat dipengaruhi oleh bagaimana

pelaksanaan kepemimpinan transformasional di rumah sakit masing-masing.

Gershon et al. (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan durasi

waktu kerja dan tingkat stress yang tinggi di pelayanan kesehatan, tentunya

tenaga kesehatan memerlukan sistem kepemimpinan yang efektif serta efisien

dan motivasi kerja yang sesuai, sehingga tercapai kepuasan optimal dan

pekerjaan dapat terlaksana dengan sempurna. Kunzle et al. (2012) menyatakan

bahwa suatu sistem kepemimpinan yang efektif sangatlah diperlukan dalam

mewujudkan budaya patient safety yang optimal, sehingga kepemimpinan

transformasional adalah sistem yang paling sesuai dengan para tenaga

kesehatan karena paling adaptif dan fleksibel.

2.2 Kepuasan Kerja

2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Hasibuan (2006) menyatakan bahwa kerja adalah sejumlah aktivitas fisik

dan mental yang dilakukan seseorang dalam memenuhi kebutuhan, dimana

setiap orang akan melakukan produktivitas tinggi dengan mengharapkan

mencapai status, keadaan yang lebih baik serta mencapai kondisi yang

memuaskan. Bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk memuaskan

karyawan karena kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual dan

setiap individu akan memiliki tingkat kepuasaaan yang berbeda–beda dalam

dirinya (Aziri, 2011). Studi tentang kepuasan kerja ditemukan menjadi faktor

yang penting untuk mengembangkan kemampuan kerja karyawan dan masih


(31)

15

Luthans (2011:141) menyatakan kepuasan kerja adalah hasil dari

persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal

yang dinilai penting. Handoko (2002) menyatakan kepuasan kerja adalah

keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan

mana karyawan memandang pekerjaannya. Teori tentang kepuasan kerja yang

sering diadopsi dalam studi tentang kepuasan kerja adalah teori dua faktor dari

Frederick Herzberg (Robbins et al, 2013:230) yang membagi kebutuhan

karyawan menjadi dua, yaitu hygiene dan motivator, dimana faktor – faktor

hygiene memuaskan karyawan dalam kondisi tertentu seperti pengawasan,

hubungan interpersonal, kondisi kerja fisik, gaji, dan tunjangan, sedangkan

yang menjadi faktor motivator adalah prestasi karyawan, tanggung jawab serta

perkembangan hasil kerja. Kepuasan terhadap kebutuhan hygiene dapat

mencegah ketidakpuasan dan kinerja yang buruk, sedangkan kepuasan

terhadap faktor – faktor motivasi akan meningkatkan produktifitas organisasi.

Kepuasan kerja dibentuk oleh faktor kepuasan intrinsik dan ekstrinsik,

dimana faktor intrinsik terkait dengan penggunaan kemampuan, aktivitas,

prestasi, otoritas, kemerdekaan, nilai – nilai moral, tanggung jawab, keamanan,

kreativitas, pelayanan sosial dan status sosial anggota organisasi (Furnham et

al, 2002). Faktor kepuasan kerja ekstrinsik adalah kemajuan, kebijakan

perusahaan, kompensasi, pengakuan, hubungan pengawasan sumber daya


(32)

16

2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja

Robbins et al. (2013:260) menyatakan ada tiga dimensi kepuasan kerja,

yaitu: 1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi dan

kondisi kerja, sehingga kepuasan kerja dapat dilihat dan diduga; 2) kepuasan

kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi

dan melampaui harapan; 3) kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang

berhubungan. Berdasarkan hasil penelitian Herzberg (Robbins et al., 2013),

ada beberapa faktor yang terkait dengan kepuasan maupun ketidakpuasan

kerja. Faktor yang memfasilitasi kepuasan kerja atau faktor intrinsik adalah

prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan kemajuan;

sedangkan faktor - faktor yang menjadi penentu ketidakpuasan pekerjaan atau

faktor ekstrinsik adalah kebijakan dan administrasi, pengawasan, gaji,

hubungan interpersonal dan kondisi kerja.

Dimensi kepuasan kerja yang sering digunakan dan dikembangkan

dalam berbagai studi kepuasan kerja adalah dimensi intrinsik dan ekstrinsik

kepuasan kerja (Furnham et al, 2009; Robbins et al. 2013). Dimensi intrinsik

yang merupakan karakter dari faktor motivator yang terdiri dari: (a)

pencapaian (achievement), (b) kesempatan berkembang (development), (c)

tanggung jawab (responsibility), (d) pengakuan (recognition) dan (e) pekerjaan

itu sendiri (work itself). Dimensi ekstrinsik yang merupakan karakteristik dari

faktor hygiene. terdiri dari: (a) pengawasan (supervision), (b) kondisi kerja

(working condition), (c) kebijakan perusahaan (company policy), (d) gaji


(33)

17

Azeem (2010) dan Robbins et. al. (2013) mengungkapkan lima komponen

pengukur kepuasan kerja, yaitu:

1) Pembayaran (pay), yaitu sejumlah upah yang diterima dan dianggap pantas

sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Para karyawan juga akan

membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para karyawan

tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda dengan karyawan lainnya.

2) Pekerjaan (job), yaitu pekerjaan yang dianggap menarik dan memberikan

kesempatan untuk pembelajaran bagi karyawan serta kesempatan untuk

menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Karyawan akan merasa senang dan

tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan

semua kemampuannya.

3) Kesempatan promosi (promotion opportunities), yaitu adanya kesempatan bagi

karyawan untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan

untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta

pengembangan individu setiap karyawan.

4) Atasan (supervisor), yaitu kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan

perhatian kepada karyawan, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan

dalam memperlakukan karyawan akan mempengaruhi perilaku karyawan

dalam pekerjaannya sehari-hari.

5) Rekan kerja (co-worker), yaitu sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis,

bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan

kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat


(34)

18

2.3 Kepemimpinan Transformasional

2.3.1 Pengertian Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan memiliki beragam pendekatan serta perspektif sehingga

melahirkan pengertian kepemimpinan yang beragam pula. Menurut Hersey et al.

(2010), kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan individu atau

kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi. Stoner (2009)

menyatakan kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan dan pemberian

pengaruh terhadap kegiatan – kegiatan dari sekelompok anggota yang saling

berhubungan tugasnya. Menurut Bass (2008), kepemimpinan adalah suatu

interaksi antara dua orang atau lebih di dalam suatu kelompok yang mengatur

ulang situasi, persepsi dan ekspektasi dari para anggota, sehingga dapat

dikatakan pemimpin adalah agen perubahan (agents of change), dimana

perilakunya mempengaruhi orang lain.

Beberapa pengertian kepemimpinan yang didapat membentuk suatu

esensi yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah upaya seseorang untuk

mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai dengan yang diinginkan

olehnya (Sharma dan Jain, 2013). Seorang pemimpin mempunyai banyak pilihan

gaya kepemimpinan yang akan digunakannya untuk mempengaruhi orang lain,

salah satunya dengan menggunakan gaya kepemimpinan transformasional

(Sadeghi dan Pihie, 2012). Luthans (2011:430) mengatakan bahwa

kepemimpinan transformasional termasuk dalam teori kepemimpinan modern

yang gagasan awalnya dikembangkan oleh James McGroger Burns, yang secara


(35)

19

sebuah proses dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha mencapai

tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi.

Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang pemimpin

dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan

secara optimal sumber daya organisasi (pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli,

guru, dosen, peneliti, dll) dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai

dengan target capaian yang telah ditetapkan (Danim, 2003). Sedangkan menurut

O’Leary (2004), kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan

yang digunakan oleh seorang manajer bila ingin suatu kelompok melebarkan

batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian

sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional

merupakan salah satu alat penting yang berpengaruh dalam perubahan organisasi

karena dapat perubahan organisasi melalui artikulasi visi, penerimaan visi, dan

mengarahkan keinginan karyawan agar sesuai dengan visi yang ingin dicapai

(Pawar dan Eastman, 2007). Kepemimpinan transformasional memiliki ciri-ciri

seperti, mampu mendorong pengikut untuk menyadari pentingnya hasil

pekerjaan, dan mendorong pengikut untuk lebih mendahulukan kepentingan

organisasi, dan mendorong untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi.

(Mulyono, 2009).

2.3.2 Dimensi Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yang dapat

dibedakan dengan gaya kepemimpinan yang lainnya, karena karisma yang timbul


(36)

20

masuk akal, menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya

(Bass, 2008). Luthans (2011:434) menyimpulkan bahwa pemimpin

transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut: 1) Mereka

mengidentifikasi dirinya sebagai alat perubahan, 2) Mereka berani, 3) Mereka

mempercayai orang, 4) Mereka motor penggerak nilai, 5) Mereka pembelajar

sepanjang masa, 5) Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas,

ambiguitas dan ketidakpastian, 6) Visioner.

Adapun, karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Avolio et

al. (2004) adalah sebagai berikut:

(1) Idealized influence / Karisma

Idealized influence mempunyai makna bahwa seorang pemimpin

transformasional harus memiliki kharisma yang mampu “menyihir” bawahan

untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Karisma ini biasanya ditunjukan melalui

perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi, mempunyai pendirian

yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah

diambil, dan menghargai bawahan, sehingga pemimpin transformasional dapat

menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya.

(2) Inspirational motivation / Motivasi inspirasional

Inspirational motivation berarti karakter seorang pemimpin yang mampu

menerapkan standar yang tinggi akan tetapi sekaligus mampu mendorong

bawahan untuk mencapai standar tersebut. Karakter seperti ini mampu

membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari para bawahan,


(37)

21

(3) Intellectual stimulation / Stimulasi Intelektual

Intellectual stimulation adalah karakter seorang pemimpin transformasional

yang mampu mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan

dengan cermat dan rasional. Karakter ini mendorong para bawahan untuk

menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah,

sehingga mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan

inovatif.

(4) Individualized consideration / Perhatian Individual

Individualized consideration berarti karakter seorang pemimpin yang mampu

memahami perbedaan individual para bawahannya, mau dan mampu untuk

mendengar aspirasi, mendidik, serta melatih bawahan. Seorang pemimpin

transformasional juga harus mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan

berkembang para bawahan serta memfasilitasinya, sehingga pemimpin

transformasional mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan


(1)

2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja

Robbins et al. (2013:260) menyatakan ada tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu: 1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi dan kondisi kerja, sehingga kepuasan kerja dapat dilihat dan diduga; 2) kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi dan melampaui harapan; 3) kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Berdasarkan hasil penelitian Herzberg (Robbins et al., 2013), ada beberapa faktor yang terkait dengan kepuasan maupun ketidakpuasan kerja. Faktor yang memfasilitasi kepuasan kerja atau faktor intrinsik adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan kemajuan; sedangkan faktor - faktor yang menjadi penentu ketidakpuasan pekerjaan atau faktor ekstrinsik adalah kebijakan dan administrasi, pengawasan, gaji, hubungan interpersonal dan kondisi kerja.

Dimensi kepuasan kerja yang sering digunakan dan dikembangkan dalam berbagai studi kepuasan kerja adalah dimensi intrinsik dan ekstrinsik kepuasan kerja (Furnham et al, 2009; Robbins et al. 2013). Dimensi intrinsik yang merupakan karakter dari faktor motivator yang terdiri dari: (a) pencapaian (achievement), (b) kesempatan berkembang (development), (c) tanggung jawab (responsibility), (d) pengakuan (recognition) dan (e) pekerjaan itu sendiri (work itself). Dimensi ekstrinsik yang merupakan karakteristik dari faktor hygiene. terdiri dari: (a) pengawasan (supervision), (b) kondisi kerja (working condition), (c) kebijakan perusahaan (company policy), (d) gaji (salary) dan (e) hubungan dengan rekan kerja (relations with co-worker).


(2)

Azeem (2010) dan Robbins et. al. (2013) mengungkapkan lima komponen pengukur kepuasan kerja, yaitu:

1) Pembayaran (pay), yaitu sejumlah upah yang diterima dan dianggap pantas sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Para karyawan juga akan membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para karyawan tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda dengan karyawan lainnya. 2) Pekerjaan (job), yaitu pekerjaan yang dianggap menarik dan memberikan

kesempatan untuk pembelajaran bagi karyawan serta kesempatan untuk menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Karyawan akan merasa senang dan tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya.

3) Kesempatan promosi (promotion opportunities), yaitu adanya kesempatan bagi karyawan untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta pengembangan individu setiap karyawan.

4) Atasan (supervisor), yaitu kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian kepada karyawan, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan karyawan akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam pekerjaannya sehari-hari.

5) Rekan kerja (co-worker), yaitu sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai.


(3)

2.3 Kepemimpinan Transformasional

2.3.1 Pengertian Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan memiliki beragam pendekatan serta perspektif sehingga melahirkan pengertian kepemimpinan yang beragam pula. Menurut Hersey et al. (2010), kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi. Stoner (2009) menyatakan kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh terhadap kegiatan – kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Menurut Bass (2008), kepemimpinan adalah suatu interaksi antara dua orang atau lebih di dalam suatu kelompok yang mengatur ulang situasi, persepsi dan ekspektasi dari para anggota, sehingga dapat dikatakan pemimpin adalah agen perubahan (agents of change), dimana perilakunya mempengaruhi orang lain.

Beberapa pengertian kepemimpinan yang didapat membentuk suatu esensi yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah upaya seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai dengan yang diinginkan olehnya (Sharma dan Jain, 2013). Seorang pemimpin mempunyai banyak pilihan gaya kepemimpinan yang akan digunakannya untuk mempengaruhi orang lain, salah satunya dengan menggunakan gaya kepemimpinan transformasional (Sadeghi dan Pihie, 2012). Luthans (2011:430) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional termasuk dalam teori kepemimpinan modern yang gagasan awalnya dikembangkan oleh James McGroger Burns, yang secara eksplisit mengangkat suatu teori bahwa kepemimpinan transformasional adalah


(4)

sebuah proses dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha mencapai tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi.

Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi (pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli, guru, dosen, peneliti, dll) dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan (Danim, 2003). Sedangkan menurut O’Leary (2004), kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh seorang manajer bila ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional merupakan salah satu alat penting yang berpengaruh dalam perubahan organisasi karena dapat perubahan organisasi melalui artikulasi visi, penerimaan visi, dan mengarahkan keinginan karyawan agar sesuai dengan visi yang ingin dicapai (Pawar dan Eastman, 2007). Kepemimpinan transformasional memiliki ciri-ciri seperti, mampu mendorong pengikut untuk menyadari pentingnya hasil pekerjaan, dan mendorong pengikut untuk lebih mendahulukan kepentingan organisasi, dan mendorong untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi. (Mulyono, 2009).

2.3.2 Dimensi Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yang dapat dibedakan dengan gaya kepemimpinan yang lainnya, karena karisma yang timbul lewat kepemimpinan transformasional dapat memberikan visi dan misi yang


(5)

masuk akal, menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya (Bass, 2008). Luthans (2011:434) menyimpulkan bahwa pemimpin transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut: 1) Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai alat perubahan, 2) Mereka berani, 3) Mereka mempercayai orang, 4) Mereka motor penggerak nilai, 5) Mereka pembelajar sepanjang masa, 5) Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas, ambiguitas dan ketidakpastian, 6) Visioner.

Adapun, karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Avolio et al. (2004) adalah sebagai berikut:

(1) Idealized influence / Karisma

Idealized influence mempunyai makna bahwa seorang pemimpin transformasional harus memiliki kharisma yang mampu “menyihir” bawahan untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Karisma ini biasanya ditunjukan melalui perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi, mempunyai pendirian yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah diambil, dan menghargai bawahan, sehingga pemimpin transformasional dapat menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya. (2) Inspirational motivation / Motivasi inspirasional

Inspirational motivation berarti karakter seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinggi akan tetapi sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Karakter seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari para bawahan, sehingga senantiasa memberikan inspirasi dan memotivasi bawahannya.


(6)

(3) Intellectual stimulation / Stimulasi Intelektual

Intellectual stimulation adalah karakter seorang pemimpin transformasional yang mampu mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan rasional. Karakter ini mendorong para bawahan untuk menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah, sehingga mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif.

(4) Individualized consideration / Perhatian Individual

Individualized consideration berarti karakter seorang pemimpin yang mampu memahami perbedaan individual para bawahannya, mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, serta melatih bawahan. Seorang pemimpin transformasional juga harus mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para bawahan serta memfasilitasinya, sehingga pemimpin transformasional mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan memperhatikan keinginan berprestasi dan berkembang