PENGARUH POLA ASUH, LINGKUNGAN SEKOLAH, PERSEPSI PESERTA DIDIK TENTANG PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL, DAN MEDIA MASSA TERHADAP PERILAKU ASERTIF DAN KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI JAWA BARAT.

(1)

PENGARUH POLA ASUH, LINGKUNGAN SEKOLAH,

PERSEPSI PESERTA DIDIK TENTANG PEMBELAJARAN

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL, DAN MEDIA MASSA TERHADAP

PERILAKU ASERTIF DAN KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA

PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI

JAWA BARAT

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Oleh

Sriyanto

1006993

PROGRAM STUDI


(2)

THE INFLUENCE OF PARENTING, SCHOOL ENVIRONMENT,

STUDENTS' PERCEPTION ABOUT LEARNING SOCIAL STUDIES, AND

MASS MEDIA TOWARD ASSERTIVE BEHAVIOR AND JUVENILE

DELINQUENCY TREND OF JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS IN

WEST JAVA PROVINCE

Oleh Sriyanto

S.Pd IKIP Yogyakarta, 1995 M.Pd. in Social Studies Education, 2009

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

© Sriyanto 2014

Universitas Pendidikan Indonesia Januari 2014


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kehadlirat Allah swt. karena dengan ridho dan izin-Nya, penulisan disertasi ini dapat terselesaikan tepat waktu. Disertasi dengan judul, “Pengaruh Pola Asuh, Lingkungan Sekolah, Persepsi Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS, dan Media Massa Terhadap Perilaku Asertif dan Kencenderungan Kenakalan Remaja Pada Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Negeri Jawa Barat”, ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan menempuh ujian Doktor Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Perkembangan industrialisasi, mekanisasi, dan globalisasi sebagai wujud nyata dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak kuat terhadap kualitas kehidupan manusia. Masalah sosial masyarakat modern yang serba kompleks muncul sebagai salah satu dampak perkembangan teknologi modern, industrialisasi, dan juga mekanisasi. Adaptabilitas manusia terhadap keadaan tersebut menjadi hal yang tidak mudah. Hal ini disebabkan akibat munculnya konflik, kecemasan, dan kebimbangan jika manusia tidak memiliki kontrol diri yang baik. Konflik dalam diri manusia dapat berupa konflik eksternal yang terbuka dan konflik internal dalam batin yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Peran Pendidikan IPS (social studies) sebagai bidang yang mengkaji mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem kehidupan bermasyarakat dapat menjadi centrum untuk mempersiapkan hal tersebut. Pendidikan IPS mengkaji bagaimana hubungan manusia dengan sesama di lingkungan sendiri termasuk dengan tetangga yang dekat dan jauh. Pendidikan IPS juga mengkaji bagaimana manusia bergerak dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pendidikan IPS memiliki kelebihan dalam dimensi aksiologi bahwa Pendidikan IPS mencakup nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat. Kelebihan ini perlu dimanfaatkan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang memiliki perilaku dan sikap yang sesuai dengan norma. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi perilaku asertivitas dari lingkungan keluarga, sekolah, persepsi peserta didik


(4)

kepribadian remaja. Kenyataan yang ada di Indonesia selama dasawarsa terakhir ini adalah adanya kecenderungan yang semakin meningkat tentang permasalahan sosial, ekonomi, dan politik secara umum dan permasalahan remaja secara khusus.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan, saran, dukungan, bantuan, dan motivasi dari semua pihak untuk menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih terutama disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia yang telah memberikan izin penelitian.

2. Prof. Dr. H. Bunyamin Maftuh, M.Pd., M.A., selaku Ketua Program Studi Pendidikan IPS Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, yang telah memberikan kemudahan-kemudahan sebelum dan selama mengadakan penelitian.

3. Prof Dr. H. Aim Abdulkarim, M.Pd., selaku Promotor yang telah membuka wacana baru sehingga dalam penyusunan disertasi ini diperkaya dengan analisis yang lebih komprehensif dan bermakna.

4. Prof Dr. H. Asmawi Zainul, M.Ed., selaku Ko-Promotor di sela kesibukannya, namun dengan sabar dan teliti menuntun penulis utamanya dalam metode penelitian melalui diskusi yang panjang sehingga disertasi ini menjadi lebih sistematis dan terstruktur.

5. Prof. Dr. Hj. Enok Maryani, MS., selaku Anggota Promotor dukungan dan motivasinya yang luar biasa, dengan model bimbingan yang tanpa membuat jarak namun tetap konsisten menjaga kaidah akademik, sehingga menjadikan disertasi ini lebih berbobot dan berkualitas. 6. Prof. Dr. H. M. Noor R. Hadjam, SU, dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

selaku Penguji, banyak memberikan masukan dan kritikan selama Ujian Tahap I, serta telah menemukan makna dari ikhlas sehingga menjadikan disertasi ini lebih baik.

7. Dr. Eli Malihah, M.Si. selaku Penguji dengan coretan-coretan yang begitu banyak, namun sangat bermanfaat untuk perbaikan disertasi ini.

8. Prof. H. Helius Sjamsuddin, M.A., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing Akademik, dengan gayanya yang khas terus memberikan masukan dan saran, selama penyusunan proposal, dan menjadikan rumahnya sebagai “kampus” kedua.


(5)

10.Kepala Sekolah dan guru di Sekolah Menengah Pertama yang dijadikan uji coba dan tempat penelitian yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan izin, membantu, dan memfasilitasi penulis selama menyebarkan angket kepada peserta didik.

11.Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Bapak Pembantu Rektor II dan seluruh civitas akademika Universitas Muhammadiyah Purwokerto, utamany rekan dosen di Prodi PGSD, atas segala perhatiannya.

12.Rekan-rekan seperjuangan Angkatan 2010 Program Studi Pendidikan IPS Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, terima kasih atas motivasi dan bantuan, terutama Pak Baryana dan Mas Victor, sebuah perjalanan yang melelahkan tapi penuh hikmah terima kasih atas motivasi, dukungan, dan diskusi intensifnya di kamar dan selama di Yogya.

13.Ibu Surip yang selalu menjadi penyemangat hidupku, dengan kerentaan yang setia selalu memberikan dukungan dan doa selama menempuh pendidikan hingga selesai, semuanya takkan terbalaskan.

14.Teman yang membantu di lapangan: Murniawaty, M.Pd.; Dr.Yati Rosmiati, M.Pd.; Arifin P., SE; Dwi Woro, M.Pd; Oky, S.Pd.; Dra. Teja; Aris G., M.Pd.; W. Kalwan; H. Didi, M.Pd.I; Endang Z.; Mbak Pur, Dede, dan rekan-rekan di SMA N Sukadana atas bantuannya. 15.Last but not least untuk istriku Lylie dan “sang jagoan” Lintang dan Bintang Fajar, atas

dukungan dan motivasi, serta rela untuk tidak menerima perhatian yang lebih selama menempuh pendidikan dan penyusunan disertasi ini.

16.Terakhir, disertasi ini penulis dedikasikan kepada almarhum Bapak Karsodimedjo dan my

little angel Najwa Zharifa Clio Exa yang telah mendahului menghadap Illahi.

Besar harapan penulisan penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan Pendidikan IPS khususnya.

Bandung, Oktober 2013 Penulis


(6)

PENGARUH POLA ASUH, LINGKUNGAN SEKOLAH, PERSEPSI PESERTA DIDIK TENTANG PEMBELAJARAN IPS, DAN MEDIA MASSA TERHADAP PERILAKU ASERTIF DAN KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA PADA

PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI JAWA BARAT Sriyanto

NIM 1006993

ABSTRAK

Penelitian ini secara teoretis dilandaskan pada perkembangan psikologi remaja sebagai masa transisi yang ditandai perubahan aspek biologis, psikologis, dan sosial. Secara empiris penelitian ini didasarkan atas meningkatnya fenomena kecenderungan kenakalan remaja karena ketidakmampuan para remaja awal untuk bersikap asertif sehingga kepribadiannya menjadi lemah dan sering terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana lingkungan dan media massa memiliki pengaruh terhadap perilaku asertif dan kecenderungan kenakalan remaja pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP N) di Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner terhadap 458 responden yang tersebar di sejumlah SMP N di Jawa Barat. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling. Data yang terkumpul dianalisis melalui Structural Equation Modelling (SEM) dengan pengujian dua tahap yaitu

measurement model dan structural model menggunakan aplikasi software Analysis Moment of Structure (AMOS), Statistical Passage for Social Science (SPSS), dan Microsoft Excel. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak semua pernyataan

hipotetik yang diajukan berpengaruh signifikan. Dari keempat variabel eksogen, yaitu (1) pola asuh, (2) lingkungan sekolah, (3) persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS, dan (4) media massa berpengaruh signifikan terhadap perilaku asertif peserta didik. Dari keempat variabel eksogen tersebut, hanya variabel lingkungan sekolah yang tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel kecenderungan kenakalan remaja. Pernyataan hipotetik tentang pengaruh perilaku asertif terhadap kecenderungan kenakalan remaja berpengaruh signifikan dapat diterima. Temuan dari penelitian ini adalah meningkatnya perilaku asertif peserta didik ternyata dapat menurunkan kecenderungan kenakalan remaja.

Keyword: Perilaku asertif, pola asuh, lingkungan sekolah, persepsi pembelajaran IPS, media massa, kecenderungan kenakalan remaja.


(7)

THE INFLUENCE OF PARENTING, SCHOOL ENVIRONMENT, STUDENTS' PERCEPTION ABOUT LEARNING SOCIAL STUDIES, AND MASS MEDIA TOWARD ASSERTIVE BEHAVIOR AND JUVENILE DELINQUENCY TREND

OF JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS IN WEST JAVA PROVINCE

Sriyanto NIM 1006993

ABSTRACT

This study was theoretically based on the adolescent psychological development as a transition period which is marked by changes in biological, psychological, and social aspects. Empirically, the increasing trend of juvenile delinquency phenomenon is caused by the inability of the early adolescents to be assertive that their personality became weak, and they can easily fall into negative things. This study was aimed to determine the extent to which environment and mass media have the influence on assertive behaviour and juvenile delinquency trend in Junior High School in West Java Province. The data were collected through questionnaires to 458 respondents that spread across a number of Junior High Schools in West Java. Samples were chosen by using stratified random sampling technique. Data were analyzed by using Structural Equation Modelling (SEM) with two-stages testing: measurement model and structural model, using Analysis of Moment Structure (AMOS), Statistical Passage for Social Science (SPSS) and Microsoft Excel. The results of this study proved that not all hypothetical statements submitted have significant effects. The four exogenous variables, which are parenting, school environment, students’ perceptions about learning social studies, and mass media have a significant effect on students’ assertive behaviour. It is only school environment variable has no significant effect on the variable of juvenile delinquency trend. Hypothetical statements stating that the effect of assertive behaviour toward the trend of juvenile delinquency has significant effect was accepted. The finding can be concluded that the increasing assertive behavior can reduce juvenile delinquency trend.

Keywords: Assertive behaviour, school environment, perception of learning social studies, mass media, juvenile delinquency trend


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 23

C. Tujuan Penelitian ... 24

D. Manfaat Penelitian ... 26

E. Desain Penelitian ... 27

F. Struktur Organisasi Penulisan ... 32

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 34

A. Asertivitas dan Perilaku Remaja dalam Konteks Pendidikan IPS ... 34

1. Pendekatan dalam Pendidikan IPS ... 37

2. Tujuan Pendidikan IPS ... 40

B. Asertivitas dalam Perspektif Psiko-Pedagogis ... 48

1. Definisi Asertivitas ... 53

2. Ciri Perilaku Asertif ... 55

3. Komponen Perilaku Asertif ... 56


(9)

1. Pengertian Remaja ... 58

2. Definisi Kenakalan Remaja ... 60

3. Tipe Kenakalan Remaja ... 61

D. Pola Asuh Orangtua ... 67

1. Pengertian Pola Asuh ... 67

2. Tipe Gaya Pengasuhan ... 67

E. Lingkungan Sekolah ... 72

1. Pengertian Lingkungan Sekolah ... 72

2. Unsur-Unsur Lingkungan Sekolah ... 73

F. Persepsi Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS ... 75

1. Pengertian Persepsi ... 75

2. Komponen dalam Persepsi ... 77

3. Pengertian Pembelajaran ... 78

G. Media Massa ... 80

1. Pengertian Media Massa ... 80

2. Efek Media Massa ... 82

H. Kajian Terdahulu yang Relevan ... 84

I. Kerangka Pemikiran ... 87

J. Pengajuan Hipotesis Penelitian ... 100

BAB III METODE PENELITIAN ... 103

A. Desain Penelitian ... 103

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 103

1. Lokasi Penelitian ... 103

2. Subjek Penelitian ... 107

a. Populasi Penelitian ... 107

b. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 108

C. Variabel dan Definisi Operasional ... 111

D. Pengembangan Alat Pengumpul Data ... 116

E. Pengembangan Instrumen Penelitian ... 116

F. Analisis Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 121

G. Teknik Analisis Data ... 123

1. Pengolahan Data ... 123

2. Pengembangan Diagram Jalur ... 124

3. Persamaan Struktural ... 126


(10)

a. Ukuran Sampel ... 127

b. Normalitas Data ... 127

c. Outliers Data ... 128

d. Multikoliniaritas dan Singularitas ... 128

6. Pengujian Model Pengukuran (Measurement Model) ... 129

a. Measurement Model ... 129

b. Analisis Hubungan Indikator dengan Konstruk ... 132

7. Pengujian Model Struktural ... 134

BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN .... 136

A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat ... 136

B. Hasil Penelitian ... 137

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 138

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Wilayah ... 138

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Gender ... 139

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Orangtua ... 140

d. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orangtua ... 140

e. Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Tinggal ... 140

2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 141

a. Variabel Pola Asuh Orangtua... 141

b. Variabel Lingkungan Sekolah ... 142

c. Variabel Persepsi Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS ... 143

d. Variabel Media Massa ... 144

e. Variabel Perilaku Asertif ... 145

f. Variabel Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 147

C. Analisis Data dengan Model Persamaan Struktural (SEM) ... 148

1. Uji Asumsi Statistik ... 149

2. Uji Asumsi Normalitas Data ... 151

3. Evaluasi Outliers Data ... 151

4. Evaluasi Multikoliniaritas dan Singularitas ... 151

5. Pengujian Model Pengukuran (Measurement Model) ... 152

a. Analisis Faktor Konfirmatori ... 153

1) Analisis Faktor Konfirmatori Pola Asuh Orangtua ... 154

2) Analisis Faktor Konfirmatori Lingkungan Sekolah ... 157

3) Analisis Faktor Konfirmatori Persepsi Pembelajaran IPS ... 160

4) Analisis Faktor Konfirmatori Media Massa ... 163


(11)

6) Analisis Faktor Konfirmatori Kecenderungan Kenakalan ... 169

b. Model Pengukuran Struktural (Structural Model) ... 172

1) Model Awal (Full Model) ... 172

2) Uji Kesesuaian Model ... 174

3) Model Revisi ... 175

4) Rata-rata Variance Extracted ... 177

5) Reliabilitas Konstruk ... 178

6) Discrimant Validity ... 179

D. Analisis Atas Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total ... 181

E. Hasil Uji Hipotesis ... 184

1. Hipotesis 1 ... 184

2. Hipotesis 2 ... 184

3. Hipotesis 3 ... 185

4. Hipotesis 4 ... 185

5. Hipotesis 5 ... 186

6. Hipotesis 6 ... 186

7. Hipotesis 7 ... 187

8. Hipotesis 8 ... 187

9. Hipotesis 9 ... 188

10. Hipotesis 10 ... 189

11. Hipotesis 11 ... 189

F. Pembahasan Hasil Penelitian ... 191

1. Pengaruh pola asuh orangtua terhadap perilaku asertif ... 191

2. Pengaruh lingkungan sekolah terhadap perilaku asertif ... 194

3. Pengaruh persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS terhadap perilaku asertif ... 197

4. Pengaruh media massa terhadap perilaku asertif ... 199

5. Pengaruh pola asuh orangtua terhadap kecenderungan kenakalan Remaja 203 6. Pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecenderungan kenakalan remaja ... 206

7. Pengaruh persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS terhadap kecenderungan kenakalan remaja ... 208

8. Pengaruh media massa terhadap kecenderungan kenakalan remaja ... 211

9. Pengaruh pola asuh orangtua, lingkungan sekolah, persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS, media massa terhadap perilaku asertif ... 214


(12)

10.Pengaruh pola asuh orangtua, lingkungan sekolah, persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS, media massa terhadap kecenderungan

kenakalan remaja ... 219

11.Pengaruh perilaku asertif terhadap kecenderungan kenakalan remaja .... 221

G. Pengaruh Tidak Langsung Pola Asuh, Lingkungan Sekolah, Persepsi Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS, Media Massa terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 225

H. Pengaruh Total Pola Asuh, Lingkungan Sekolah, Persepsi Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS, Media Massa terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 227

I. Gagasan Model Pengembangan Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Perilaku Asertif ... 229

BAB V SIMPULAN, REKOMENDASI, DAN IMPLIKASI ... 239

A. Simpulan ... 239

B. Rekomendasi ... 241

C. Implikasi ... 243

D. Keterbatasan Penelitian ... 148

DAFTAR PUSTAKA ... 250 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1.1. Kasus Penyalahgunaan Narkoba Usia Sekolah Berdasarkan Pendidikan

Formal ... 14

2.1. Klasifikasi Gaya Pengasuhan ... 70

3.1. Daftar Unit Populasi dan Sampel Penelitian ... 111

3.2. Kisi-Kisi Instrumen Variabel ... 117

3.3. Koefisien Konsistensi Internal Cronbach Alpha ... 123

3.4. Kriteria Uji Kesesuaian Model Goodness of Fit ... 131

4.1. Hasil Seleksi Data ... 138

4.2. Karakteristik Sekolah Responden Berdasarkan Wilayah ... 138

4.3. Komposisi Responden Berdasarkan Asal Sekolah ... 139

4.4. Kategori Responden Berdasarkan Tempat Tinggal ... 141

4.5. Kategori Variabel Pola Asuh ... 142

4.6. Kategori Variabel Lingkungan Sekolah ... 143

4.7. Kategori Variabel Persepsi Pembelajaran IPS Responden ... 144

4.8. Kategori Pemanfaatan Media Massa Responden ... 145

4.9. Kategori Variabel Perilaku Asertif Responden ... 146

4.10. Kategori Variabel Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 147

4.11. Hasil Assessment of Normality Variabel ... 150

4.12. Indeks Kesesuaian Model Analisis Konfirmatori Konstruk Pola Asuh ... 155

4.13. Regression Weights Konstruk Pola Asuh ... 156

4.14. Standardized Regression Weights Estimasi Nilai Loading Factor Konstruk Pola Asuh ... 156

4.15. Indeks Kesesuaian Model Analisis Konfirmatori Konstruk Lingkungan Sekolah ... 158

4.16. Regression Weights Konstruk Lingkungan Sekolah ... 159

4.17. Standardized Regression Weghts Estimasi Nilai Loading Factor Konstruk Lingkungan Sekolah ... 159

4.18. Indeks Kesesuaian Model Analisis Konfirmatori Konstruk Perspektif Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS ... 161 4.19. Regression Weights Konstruk Persepsi Peserta Didik tentang


(14)

4.20. Standardized Regression Weghts Estimasi Nilai Loading Factor Konstruk

Persepsi Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS ... 163

4.21. Indeks Kesesuaian Model Analisis Konfirmatori Konstruk Media Massa .... 165

4.22. Regression Weights Konstruk Media Massa ... 166

4.23. Standardized Regression Weghts Estimasi Nilai Loading Factor Konstruk Media Massa ... 166

4.24. Indeks Kesesuaian Model Analisis Konfirmatori Konstruk Perilaku Asertif 168

4.25. Regression Weights Konstruk Perilaku Asertif ... 168

4.26. Standardized Regression Weghts Estimasi Nilai Loading Factor Konstruk Perilaku Asertif ... 169

4.27. Indeks Kesesuaian Model Analisis Konfirmatori Konstruk Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 171

4.28. Standardized Regression Weghts Estimasi Nilai Loading Factor Konstruk Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 172

4.29. Indeks Kesesuaian Model Uji Structural Equation Model ... 174

4.30. Indeks Kesesuaian Model Uji Structural Equation Model Hasil Revisi Model 177 4.31. Hasil Perhitungan Variance Extracted, Construct Reliability, Discriminant Validity ... 179

4.32. Korelasi Antar Konstruk dan Akar Kuadrat AVE ... 180

4.33. Hasil Perhitungan Pengaruh Langsung (Direct Effect) ... 181

4.34. Hasil Perhitungan Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effect) ... 182

4.35. Hasil Perhitungan Pengaruh Total (Total Effect) ... 183


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1.1 Diagram Jalur Hubungan antar Variabel Penelitian ... 31

2.1. Klasifikasi Masa Remaja ... 59

2.2. Kerangka Penelitian ... 102

3.1. Wilayah Sampel Penelitian Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat ... 110

3.2. Diagram Jalur Pengaruh Pola Asuh, Lingkungan Sekolah, Persepsi Pembelajaran IPS, Media Massa terhadap Perilaku Asertif dan Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 121

3.3. Hubungan Antar Variabel Penelitian ... 135

4.1. Path Diagram dengan SEM ... 153

4.2. Analisis Faktor Konfirmatori Konstruk Pola Asuh ... 154

4.3. Analisis Faktor Konfrmatori Konstruk Lingkungan Sekolah ... 157

4.4. Revisi Analisis Faktor Konfirmatori Konstruk Lingkungan Sekolah ... 158

4.5. Analisis Faktor Konfirmatori Konstruk Persepsi Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS ... 160

4.6. Revisi Faktor Konfirmatori Konstruk Perspektif Peserta Didik tentang Pembelajaran IPS ... 161

4.7. Analisis Faktor Konfirmatori Konstruk Media Massa ... 163

4.8. Revisi Faktor Konfirmatori Konstruk Media Massa ... 163

4.9. Analisis Faktor Konfirmatori Konstruk Perilaku Asertif Peserta Didik ... 167

4.10. Revisi Faktor Konfirmatori Konstruk Perilaku Asertif Peserta Didik ... 167

4.11. Analisis Faktor Konfirmatori Konstruk Kecenderungan Kenakalan Remaja 170

4.12. Revisi Faktor Konfirmatori Konstruk Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 170

4.13. Full Model SEM ... 172

4.14. Revisi Uji Kesesuaian Model ... 176

4.15. Bagan Model Pengembangan Pembelajaran untuk Meningkatkan Perilaku Asertif ... 237


(16)

LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Instrumen Penelitian ... 274

2. Uji Validitas dan Reliabilitas Masing-Masing Variabel ... 284

3. Tabulasi Data Setiap Indikator ... 306

4. Evaluasi Outliers Data ... 334

5. Hasil Revisi Evaluasi Outliers Data ... 337


(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Filosofi asertivitas didasarkan pada satu premis bahwa setiap individu memiliki hak dasar yang sama sebagai pribadi dan sebagai bagian dari kelompok sosial. Asertivitas sebetulnya merupakan konsep yang agak samar untuk didefinisikan (Golden, 1978: 1) sebab berada di antara dua perilaku ekstrim yang bertentangan yaitu perilaku pasif dan agresif. Para psikolog (Rakos 1991; Wilson dan Gallois, 1993; Janda, 1996; Alberti dan Emmos, 2001) sepakat bahwa untuk menjelaskan asertivitas, maka perlu membandingkan dua respon perilaku, yaitu pasif (submissive) dan agresif (aggressive). Asertivitas merupakan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan diri, pandangan-pandangan dirinya, dan menyatakan keinginan dan perasaan diri secara langsung, jujur, dan spontan tanpa merugikan diri sendiri dan melanggar hak orang lain. Lazarus (Lumley, 2001: 2) mengklasifikasikan respon perilaku asertif ke dalam empat kategori, yaitu: (1) mempertahankan hak untuk menolak permintaan dan tuntutan; (2) mengekspresikan diri; (3) langsung, terbuka, dan jujur; dan (4) menghargai hak orang lain. Asertivitas dalam perspektif pendidikan merupakan domain keterampilan sosial (social skills) di antara kerja sama (cooperation), tanggung jawab (responsibility), dan self-control (Sivin-Kachala dan Bialo, 2009),

empathy (Elliot dan Gresham dalam Golden, 2002: 39), problem behavior (Jia

Ying dan Yi, tt.: 8). Dengan demikian, asertivitas merupakan kemampuan untuk mengungkapkan hak dan kebutuhan secara positif dan konstruktif tanpa melanggar hak orang lain. Ciri seseorang yang memiliki perilaku asertif adalah hubungan yang dilakukan merasa lebih percaya diri, mendapatkan rasa


(18)

2

hormat dari orang lain melalui jalinan komunikasi secara langsung, terbuka, dan jujur. Asertivitas bermanfaat bagi individu untuk menjaga kejujuran dalam komunikasi, mampu untuk mengendalikan diri, dan meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan.

Perilaku manusia sebetulnya memiliki sifat yang kompleks. Kompleksitas ini terlihat dari penjelasan teori tentang perilaku. Dua penjelasan awal mengenai perilaku (Mustafa, 2011: 144-145) dapat dijadikan landasan bagaimana perilaku diperoleh, yaitu (1) dari Charles Darwin yang mengemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan untuk bertahan hidup. Teori tentang perilaku ini diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink biologis, yang dikenal dengan

nature, dan (2) seorang psikologi sosial William McDougall mengawali

penjelasan perilakunya berbeda dengan Darwin, bahwa perilaku menurut McDougall diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan, yang dikenal dengan nurture. Kedua pendekatan tersebut, dijelaskan Mustafa (2011), memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial, yaitu perspektif perilaku (behavioral perspective), perspektif kognitif (cognitive perspective), perspektif struktural (structural perspective), dan perspektif interaksionis (interactionist perspective).

Berkaitan dengan perilaku, Mönks et al., (2006: 9) mengatakan bahwa teori perilaku dapat dipahami melalui teori yang berorientasi biologis, teori lingkungan, teori psikodinamika, dan teori interaksionisme. Teori biologis menitikberatkan pada faktor keturunan dan konstitusi yang dibawa sejak lahir. Namun, teori ini memiliki kelemahan jika diterapkan pada penelitian anak kembar yang dibesarkan dalam suatu lingkungan yang berbeda, akan mengalami proses perkembangan yang berbeda pula. Sementara kelompok teori lingkungan (termasuk teori belajar dan teori sosialisasi) merupakan


(19)

prinsip sosialisasi dalam bentuk belajar sosial. Teori ini memandang belajar sebagai suatu bentuk perubahan dalam disposisi seseorang yang bersifat relatif tetap, dan perubahan tersebut tidak disebabkan oleh pertumbuhan (Mönks, 2006; Hergenhahn dan Olson, 2008).

Tingkah laku pada dasarnya merupakan aktualisasi dan manifestasi individu yang dipengaruhi oleh sifat bakat dan lingkungan yang sifatnya dinamis. Perkembangan perilaku yang bersifat dinamis ini dapat mengalami gangguan jika terjadi kerusakan sifat bakat seseorang atau kurangnya stimulasi dari lingkungan, atau hambatan dalam interaksi bakat dan lingkungan (Mönks

et al., 2006: 354). Pendapat dari Mönks et al., (2006) tersebut secara eksplisit

menekankan pentingnya pengaruh lingkungan dalam perkembangan tingkah laku seseorang. Meskipun secara sintetik terdapat jalan tengah untuk menjembatani perbedaan antara faktor keturunan dan lingkungan yang meretaskan pertemuan (konvergensi) dalam teori interaksionisme.

Permasalahan tentang perilaku remaja dalam perspektif teori belajar meyakini bahwa lingkungan (keluarga dan kelompok) memberikan kontribusi yang penting dalam perkembangan perilaku menyimpang pada remaja. Bandura (1979) dalam Myers (2012: 80) sebagai penggagas teori belajar sosial (social learning theory) mengemukakan bahwa agresivitas tidak hanya berasal dari dampak merasakan perbuatannya, tetapi juga dengan mengamati seseorang. Ide pokok pemikiran Bandura merupakan pengembangan pemikiran dari Miller dan Dollard tentang perilaku meniru (imitative

behavior) (Hergenhahn dan Olson, 2010: 357). Di sini Bandura berhasil

mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor kognitif dan perilaku, sehingga dapat mempengaruhi seseorang. Menurut Bandura (1979), model yang terpampang dalam keluarga, kelompok masyarakat, dan media massa merupakan sarana yang efektif sebagai model untuk berperilaku agresif. Teori


(20)

4

belajar sosial dari Bandura mendasarkan pada asumsi bahwa perilaku pada dasarnya ditentukan oleh lingkungan dan dapat dipelajari dengan membentuk asosiasi yang terjadi karena kebiasaan, refleksi, atau hubungan antara respon dengan penguatan yang memungkinkan dalam lingkungan (Kurniadi, 2001: 270). Berdasarkan asumsi ini, jika perilaku agresif dipelajari, maka ada harapan untuk mengendalikannya (Myers, 2012: 112). Dodge (1990) mengatakan bahwa permasalahan mengenai perilaku remaja, sebetulnya mencakup sekumpulan perilaku yang heterogen yang memiliki sebab dan perjalanan yang berbeda.

Perilaku yang bermasalah dapat berupa perilaku pasif (submissive) dan perilaku agresif (aggressive). Remaja yang memiliki perilaku pasif (pemalu dan ketakutan), tidak merugikan lingkungannnya, akan tetapi remaja tersebut mudah menjadi ejekan teman-temannya dan cenderung menjadi depresif (Mönks, et al., 2006:369). Sedangkan perilaku agresif dapat mengganggu lingkungannya, juga menjadi tanda-tanda kuat pada perilaku delinkuen.

Rendahnya kepribadian para remaja ditunjukkan dengan lemahnya asertivitas, dalam perspektif psikologi sosial dapat ditelusuri dari lingkungan yang membentuknya. Istilah lingkungan, Ki Hadjar Dewantara dalam konsep pendidikan menyebutnya dengan tri pusat pendidikan, adalah suatu lingkungan yang menggambarkan lembaga atau lingkungan pendidikan yang memengaruhi perilaku peserta didik (Ki Hadjar Dewantara, 1962). Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, karena dalam keluarga anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan, dan sebagian besar kehidupan anak ada dalam lingkungan keluarga. Bagi Langeveld (Rasyidin, 2007: 37) pergaulan dan komunikasi antara orang dewasa (orangtua) dengan anak dalam keluarga merupakan kegiatan mendidik berlangsung. Dalam konteks sosio-budaya, orangtua dengan sistem


(21)

nilai-norma melaksanakan tugas hidupnya menjalankan peran kedewasaan, termasuk menjadi pendidik terhadap anak dengan mewakili atau sebagai pengantara (mediasi) dari dunia makna-nilai (abstrak namun bersifat imperatif-operasinal) yang berwibawa atas dirinya dan juga orang dewasa umumnya.

Keluarga menjadi faktor yang penting dalam perkembangan psikologi anak. Pola asuh dan komunikasi yang dilakukan orangtua dapat memberikan pengalaman masa kanak-kanak yang akan memberi warna pada perkembangan berikutnya. Orangtua juga memberikan dasar kehidupan emosi dan dasar kehidupan moral anak. Kehidupan emosional keluarga dapat menjamin perkembangan emosional anak dalam pembentukan pribadinya. Demikian juga dengan keteladanan orangtua dalam bertutur kata dan berperilaku sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak untuk membentuk manusia susila. Keluarga merupakan peletak dasar pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orangtua dan anggota keluarga yang lainnya.

Namun pada kenyataannya, orangtua seringkali memberikan model agresif secara fisik melalui hukuman fisik pada anaknya. Hal ini dilakukan dengan dalih untuk mendisiplinkan anaknya, padahal sejatinya secara bersamaan orangtua juga memberikan contoh agresif kepada anak. Studi Bandura dan Walter (1963) menemukan bahwa hukuman fisik yang dilakukan oleh para orangtua, akan berlanjut pada anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan ketika anak tersebut telah menjadi orangtua. Hasil penelitian Scholte (1991) dalam Mönks et al., (2006) juga menemukan remaja berusia 15 tahun yang terlibat perkelahian, mencuri, dan bentuk perilaku yang melanggar hukum sangat berhubungan dengan teman-teman sebaya (peers group) yang mengalami masalah, pengasuhan di rumah yang problematik, situasi pendidikan, dan masalah yang terjadi di sekolah. Model pengasuhan orangtua


(22)

6

seringkali sebagai antitesa dari perilaku anak sendiri, dimana anak dapat memancing cara pengasuhan tertentu pada orangtua yang selanjutnya justru dapat memperdalam permasalahan.

Seringkali kekerasan fisik yang dilakukan orangtua terhadap anak dapat menghasilkan luka fisik. Tindakan kekerasan fisik umumnya meliputi memukul, melempar, menampar, menendang, menguncang-guncangkan tubuh, dan membakar. Bahkan tidak jarang orangtua melakukan kekerasan fisik terhadap anak dengan menggunakan alat seperti ikat pinggang, kaki, korek api, setrika, air panas, dan rokok (Hidayat, 2004: 83). Dampak kekerasan fisik yang dilakukan orangtua terhadap anak dapat berupa dampak fisik dan dampak emosional. Orangtua melakukan tindakan kekerasan terwujud dalam dua bentuk, yaitu hostile aggression yang merupakan hasil dari kemarahan dan bertujuan untuk menyakiti atau melukai orang lain, dan

instrumental aggression merupakan bentuk perilaku agresif dan menyakiti

untuk suatu tujuan atau sarana menuju suatu tujuan yang lain (Myers, 2012: 82).

Memasuki usia sekolah, interaksi dan komunikasi anak akan bertambah luas. Tugas mendidik anak tidak semuanya dapat dilakukan oleh orangtua terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang lainnya. Sekolah merupakan tempat atau lembaga yang melaksanakan kegiatan yang bertujuan agar remaja bertumbuh dan mampu mencapai kedewasaan sesuai dengan konteks norma dan sistem nilai yaitu secara moral mampu melaksanakan tugas hidupnya secara susila (morally mature person) (Rasyidin, 2007: 44). Dengan demikian, sekolah dalam hal ini memberikan sumbangan dalam hal menanamkan budi pekerti yang baik, memberikan bekal pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat, dan juga sekolah sebagai wahana memberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, dan nilai.


(23)

Sekolah merupakan tempat bertemunya anak yang memiliki usia yang sama, sehingga akan terjadi interaksi antara individu satu dengan individu lainnya, guru dengan peserta didik. Dari segi kehidupan psikis, sekolah memiliki sumbangan dalam dimensi motivasi, emosi, kognisi dan psikomotorik anak. Dengan kata lain, sekolah adalah tempat untuk mendewasakan dan mencapai kemandirian manusia (mature person) dalam konteks sosio-budaya (Rasyidin, 2007: 44). Komponen yang terdapat dalam lingkungan sekolah dapat memberikan kontribusi positif atau negatif terhadap perkembangan sikap dan kepribadian anak. Sarana dan prasarana di sekolah menjadi faktor pendukung bagi perkembangan minat dan bakat peserta didik. Seperti halnya dalam keluarga, interaksi dan komunikasi antara peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, guru dengan guru, dan kurikulum yang dituangkan dalam proses pembelajaran dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.

Proses interaksi antara peserta didik dengan guru yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual, afektif, dan psikomotoriknya. Salah satu mata pelajaran yang disampaikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah mata pelajaran IPS. Melalui program pendidikan IPS peserta didik dapat belajar tentang etika, sikap dan nilai (attitudes and values), serta berbagai kemampuan berpikir kritis, kreatif, reflektif dan mampu mengambil keputusan dengan tepat (decission making). Pendidikan IPS tidak hanya mengajarkan pengetahuan sosial secara konsep keilmuan, tetapi juga makna dari konsep-konsep ilmu sosial yang bermanfaat bagi kehidupan dan berbagai kemampuan yang dibutuhkan manusia.

Masalah sosial masyarakat modern yang serba kompleks muncul sebagai hasil perkembangan teknologi modern, industrialisasi, dan juga mekanisasi dalam kehidupan manusia. Adaptabilitas manusia terhadap


(24)

8

keadaan tersebut menjadi hal yang tidak mudah sebab dapat memunculkan konflik, kecemasan, dan kebimbangan jika manusia tidak memiliki kontrol diri yang baik. Konflik dalam diri manusia dapat berupa konflik eksternal yang terbuka, dan internal dalam batin yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Kondisi ini berdampak pada pengembangan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum (Kartono, 2010: 109). Tumbuh suburnya konflik pada masyarakat modern didukung pula ketidaksiapan masyarakat dari laju perkembangan teknologi informasi yang cepat, yang tidak diimbangi oleh perkembangan pola berfikirnya. Globalisasi, internet, dan telepon genggam adalah fenomena masyarakat modern dengan segala kemudahan yang ditawarkan, tetapi juga berdampak luas bagi masyarakat baik positif maupun negatif.

Dunia modern yang ditandai oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju, berdampak signifikan terhadap tata kehidupan manusia di berbagai aspek. Tidak dapat dihindari juga, arus ini menyeret setiap orang ke dunia digital, dengan terminilogi yang sering disebut dengan virtual (Shields, 2012: 59). Salah satu bentuk dunia digital terelaborasi dalam komunikasi melalui media massa. Bagian terpenting dari perkembangan media massa ini adalah jaringan internet, yang sudah masuk hingga ke pelosok. Komunikasi melalui jaringan internet atau komunikasi virtual merupakan cara berkomunikasi dimana penyampaian dan penerimaan pesan dilakukan dengan melalui cyberspace. Bentuk komunikasi ini sangat digandrungi oleh kalangan remaja ini karena dapat ditemukan di mana saja dan kapan saja. Media komunikasi ini dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan menjadikan komunikasi lebih efektif dan efisien dengan layanan fasilitas web, chatting, email, facebook, friendster, twitter, whatsapp dan fasilitas lainnya. Begitu banyak fasilitas yang ditawarkan dalam dunia maya untuk melakukan komunikasi, dan keberadaannya semakin membuat manusia


(25)

tergantung. Shields (2012) menjelaskan bahwa dunia maya adalah sesuatu yang riil namun tidak konkret, ia hanya sebuah kualitas yang merupakan efek dari sesuatu dan bukan sesuatu yang aktual. Dalam perkembangannya media massa melalui dunia maya ini sudah menjadi gaya hidup, dan memberikan efek yang kuat terhadap perkembangan perilaku di kalangan remaja. Mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat menjadi satu kecenderungan dalam kehidupan modern. Siebert et al. (1963) mengemukakan bahwa empat teori media massa pada dasarnya mengacu pada satu pengertian media massa sebagai forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang terjadi di masyarakat. Media massa juga harus sebagai kontrol sosial, dan guru bagi masyarakat. Dengan demikian, media massa sebetulnya memiliki peranan yang penting dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas konsumen. Namun, hal ini berbeda dengan perkembangan media massa saat ini. Seperti dilaporkan Myers (2012) bahwa media berdampak pada perilaku terdapat tiga dasar pemikiran, yaitu (1) keterbangkitan fisik (arousal) yang dimunculkan karena melihat kekerasan, sebagai satu bentuk untuk menyalurkan tenaga pada perilaku lain; (2) penelitian juga menunjukkan bahwa melihat kekerasan bersifat membebaskan; dan (3) melihat kekerasan memicu perilaku agresif dengan mengaktifkan pikiran yang berhubungan dengan kekerasan (violence-related). Tayangan di media televisi juga menimbulkan imitasi, yaitu mengulangi perilaku yang disaksikan melalui media.

Seperti telah disebutkan di awal, bahwa menurut teori belajar permasalahan perilaku remaja berasal dari hasil belajar, maka permasalahan perilaku tersebut ada harapan untuk dikendalikan. Sebagai contoh, dalam suatu eksperimen, anak menjadi kurang agresif ketika pengasuh mengacuhkan perilaku agresif dan memberikan penguatan (reinforcement) pada perilaku nonagresif (Hamblin et al., 1969 dalam Myers, 2012: 112). Memberikan


(26)

10

hukuman pada pelaku agresif tidak sepenuhnya berhasil, sebab hukuman fisik juga memiliki efek samping negatif. Untuk membentuk dunia yang lebih lebih lembut, dapat memberikan model dan imbalan terhadap sensitivitas dan kerja sama sejak usia dini, melalui pola asuh orangtua yang tanpa kekerasan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian positif, keterampilan berkomunikasi, mengendalikan kemarahan, meningkatkan penalaran moral, kritis, dan ketegasan dalam pengambilan keputusan berdasarkan pengetahuan untuk penyesuaian diri terhadap perkembangan kehidupan yang progresif. Asertivitas adalah ketegasan dan keberanian menyatakan pendapat, tetapi bersamaan dengan itu individu yang asertif tetap menghormati dan tidak melanggar hak orang lain. Asertivitas merupakan keterampilan berinteraksi secara aktif, jujur, terbuka, dan penuh inisiatif, yang menekankan aspek positif pada diri sendiri dan orang lain tanpa memiliki rasa bersalah dan kecemasan, mengekspresikan diri melalui hak-hak dasar tanpa melanggar hak-hak orang lain (Burley-Allen, 1993: 73).

Pentingnya asertivitas tercermin dari studi Sobsey (Lumley, 2001) dan Watson (Lumley, 2001) mengatakan bahwa asertivitas dapat mencegah pelecehan seksual bagi individu yang mengalami keterbelakangan mental; dan pencegahan penyakit menular seperti HIV/AID (Scotti, et.al., dalam Lumley, 2001), pencegahan penggunaan bahan-bahan yang mengandung zat kimia, seperti rokok, alkohol dan marijuana (Trudeau, et.al., 2003; Afiatin, 2003; Subaedah, 2008), meningkatkan kemampuan (intelingesi, pusat kendali internal, dan keterampilan sosial) (Uyun dan Hadi, 2005), meningkatkan

self-esteem anak-anak (Sert, 2005), harga diri dan mengatasi masalah (Farida,

2006; Rahmasari, 2007). Ketegasan dalam pengambilan keputusan dan sikap, serta jujur dapat menumbuhkan perilaku asertif bagi peserta didik di sekolah, dan perilaku asertif dapat meningkatkan self-efficacy (Lange dan Jakubowski, 1976: 99). Nunally dan Hawari (Marini dan Andriani, 2005: 46) menyatakan


(27)

bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal-hal yang negatif, seperti narkoba, tawuran, dan seks bebas. Salah satunya disebabkan kepribadian yang lemah. Pernyataan ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Family &

Consumer di Ohio AS (Marini dan Andriani, 2005: 47) yang menunjukkan

fakta bahwa kebiasaan merokok, penggunaan narkotika psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), alkohol, serta hubungan seksual di luar nikah berkaitan dengan ketidakmampuan remaja untuk bersikap asertif.

Manfaat perilaku asertif bagi remaja adalah memudahkan bersosialisasi dalam lingkungannya, menghindari konflik karena bersikap jujur dan terus terang, dan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi secara efektif. Sikone (2007, diunduh 6/1/2012) mengatakan bahwa perilaku asertif bermanfaat untuk menjembatani dirinya sendiri dan lingkungannya agar berinteraksi secara efektif. Selanjutnya, Sikone (2007) membagi manfaat tersebut menjadi (1) memudahkan bersosialisasi dengan lingkungan seusianya maupun di luar lingkungannya secara efektif; (2) menghindari konflik dengan dirinya dan orang lain; (3) menyelesaikan kesulitan dan permasalahan secara efektif (problem solving); (4) meningkatkan kemampuan kognitifnya (memiliki rasa keingintahuan yang tinggi); dan (5) memahami kekurangannya sendiri dan bersedia memperbaiki kekurangan tersebut.

Asertivitas pada dasarnya merupakan reaksi dari situasi sosial dan lingkungan dan bukan hanya merupakan sesuatu yang lahiriah, sehingga dapat ditanamkan sejak dini. Lazarus dan Allen May (tt.: 12) mendefinisikan asertivitas sebagai suatu tindakan mempertahankan hak – hak dirinya. Hal ini dapat terjadi karena adanya kondisi afektif yang meliputi (1) pengetahuan akan hak – haknya; (2) berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak – hak tersebut; (3) melakukan hal itu untuk mencapai kebebasan emosi. Fensterheim dan Baer (1995: 24) mengatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki perilaku asertif apabila: (1) bebas mengemukakan pikiran dan pendapat, baik melalui


(28)

kata-12

kata maupun tindakan; (2) dapat berkomunikasi secara langsung dan terbuka; (3) mampu memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan dengan baik; (4) mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pendapat orang lain, atau segala sesuatu yang tidak beralasan dan cenderung bersifat negatif; (5) mampu mengajukan permintaan dan bantuan kepada orang lain ketika membutuhkan; (6) mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat; (7) memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan; dan (8) menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin, sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri (self esteem) dan kepercayaan diri (self confidence). Orang yang memiliki sikap asertif adalah orang yang memiliki keberanian untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan hak-hak pribadinya, serta tidak menolak permintaan-permintaan yang tidak beralasan. Perilaku asertif merupakan pengembangan pribadi yang positif. Tercapainya pembentukan pribadi yang asertif akan mengantar seseorang pada eksistensi diri yang secara mental mantap dan seimbang.

Berdasarkan definisi di atas, maka asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Dalam bersikap asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan atau pun merugikan pihak lainnya. Sejauh mana kemampuan perilaku asertif dapat diidentifikasi melalui empat elemen utama (Alberti dan Emmons dalam Farida 2006: 35) yaitu: (1) maksud, keasertivan individu tidak dimaksudkan untuk melukai orang lain dengan mengemukakan kebutuhan dan keinginannya sendiri; (2) perilaku, perilaku yang diklasifikasikan asertif akan dievaluasi


(29)

oleh “pengamat objektif” seperti: jujur, langsung, ekspresif dan tidak bersifat merusak atau menyakiti orang lain; (3) efek, perilaku yang diklasifikasikan asertif memiliki efek pada orang lain berupa pesan yang langsung dan tidak destruktif, sehingga tidak melukai orang-orang yang menerimanya; dan (4)

konteks sosial budaya, perilaku yang diklasifikasikan asertif pada lingkungan

budaya tertentu mungkin menjadi tidak asertif pada budaya orang lain. Asertivitas dalam hal ini akan sejalan dan dapat menjadi bagian dari keterampilan sosial, yaitu keterampilan yang ditujukan untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam kelompok (Maryani, 2011: 18). Pengembangan keterampilan sosial ini diperlukan landasan dari kecerdasan personal (intrapersonal intelligence dan extrapersonal intelligence), yaitu kemampuan mengontrol diri, percaya diri, disiplin dan tanggung jawab.

Berbagai kemampuan tersebut dipadukan dengan kemampuan berkomunikasi secara jelas, jujur, meyakinkan, dan mampu membangkitkan inspirasi, sehingga mampu mengatasi konflik dan memecahkan masalah (problem-solving) dan pengambilan keputusan (decision making), akhirnya mampu menciptakan kerja sama. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki sifat dasar keterampilan, seperti keterampilan berdaya nalar dan berpikir, keterampilan hidup bersama, dan keterampilan pengendalian diri (emosi) yang berfungsi untuk menjalani hidupnya. Asertivitas juga merupakan sesuatu yang penting untuk membantu peserta didik menjadi lebih memiliki keyakinan serta dapat membina hubungan yang baik pada waktu di sekolah. Individu yang tidak tegas akan menjadi individu yang pasif. Individu yang pasif akan mengalami kesukaran untuk memasuki dunia kerja karena lemahnya keterampilan komunikasi (Gillen, 2003; Althen 1991; Delamater dan McNamara 1985).

Fenomena tentang kehidupan remaja yang ditandai oleh berbagai macam kenakalan remaja adalah bukti lemahnya moralitas dan kepribadian


(30)

14

anak-anak usia remaja. Kondisi ini dalam pandangan Habermas (Hardiman, 2009: 98) disebut distorsi komunikasi, yaitu ketidakmampuan para remaja memahami atau sengaja tidak mau untuk menyepakati aturan-aturan budaya, masyarakat, dan komunitas, sehingga kaum remaja terlibat dalam perilaku negatif, seperti geng motor, tawuran, atau narkoba. Padahal, dalam aturan-aturan tersebut dapat ditelusuri latar belakang sosial dan kultural yang memberikan kemungkinan membayangkan diri sendiri dalam posisi orang lain.

Persoalan yang perlu mendapat perhatian adalah Indonesia pernah menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara untuk perokok usia remaja (13

18 tahun) tahun 2007 (Laporan Global Youth Tobacco Survey, dalam Muhammad, 2008), dan an Indonesian smoking baby (Abdullah, 2012). Tidak kurang dari 13,2 persen remaja di Indonesia adalah perokok aktif, dan sekitar 34,4 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas mempunyai kebiasaan merokok (Susenas, 2004 dalam Muhamad, 2008: 5). Di Jawa Barat fakta tentang kecenderungan terjadinya kenakalan remaja setiap tahun memiliki kecenderungan meningkat. Laporan Dinas Kesehatan Depok (2007) mengatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah perokok berusia lebih dari 15 tahun di wilayah Jawa Barat. Prevelansi perokok berumur lebih dari 15 tahun di wilayah Jawa Barat sebesar 31,8% tahun 2001, 32% tahun 2003, dan tahun 2004 naik menjadi 39%.

Kenyataan yang ada di Indonesia selama dasawarsa terakhir ini adalah adanya kecenderungan yang semakin serius tentang permasalahan sosial-ekonomi dan politik secara umum dan permasalahan anak-anak Indonesia secara khusus, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya (Puspitawati, 2008; 2009; 2010). Sebagai contoh, gambaran kenyataan tentang banyaknya anak-anak Indonesia yang mengalami masalah sosial (kenakalan kriminal, asusila, pergaulan bebas), masalah budaya (kehilangan identitas diri,


(31)

terpengaruh budaya barat), dan masalah degradasi moral (kurang menghormati orang lain, tidak jujur sampai ke usaha menyakiti diri seperti narkoba, mabuk-mabukan dan bunuh diri). Khusus untuk penyalahgunaan narkoba pada remaja telah menunjukkan kecenderungan yang tinggi dengan dampak negatif yang sangat merugikan (Fukuyama dan Greenfield, 2002: 30).

Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa semakin banyak remaja di bawah usia 18 tahun yang sudah melakukan hubungan seks di luar nikah. FKUl-RSCM melaporkan bahwa lebih dari 75% kasus infeksi HIV di kalangan remaja terjadi di kalangan pengguna narkotika. Jawa Barat sebagai provinsi yang paling banyak penduduknya ternyata kasus HIV/AIDS yang menimpa mayoritas kalangan remaja dan tertular pada saat remaja jumlahnya menduduki peringkat pertama di Indonesia, yaitu sampai dengan tahun 2010 mencapai 3.508 orang dan yang meninggal 634 orang. Selain itu, pengguna napza 78%-nya adalah remaja (Baskara, 2012). Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (2009) maka jumlah kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia dari tahun 1998 - 2003 adalah 20.301 orang, di mana 70% diantaranya berusia antara 15 - 19 tahun. Tabel di bawah ini menunjukkan peningkatan kasus penyalahgunaan narkoba dilihat dari pendidikan formal.

Tabel 1.1 Kasus Penyalahgunaan Narkoba Usia Sekolah Berdasarkan Pendidikan Formal

No Pendidikan

Tahun

Jumlah Total

Rata-Rata Pertahun

2006 2007 2008

1 SD 3,247 4,138 4,404 17,537 1,949

2 SMP 6,632 7,486 10,819 42,943 4,771

3 SMA 20,977 23,727 28,470 109,451 12,161

4 PT 779 818 1,001 6,413 713


(32)

16

Berdasarkan tabel tersebut, maka kasus penyalahgunaan narkoba pada usia remaja (SMP dan SMA) mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Data Kepolisian sepanjang tahun 2011 menunjukkan para pelaku pengguna narkoba di Jawa Barat mayoritas dilakukan kelompok umur 15-30 tahun. Sejak Januari hingga awal Desember 2011, pihak kepolisian di Jawa Barat berhasil mengungkap 3048 kasus penyalahgunaan narkoba dengan jumlah tersangka 3882 orang (Tribunnews, 2011/12/07).

Fenomena menarik lainnya pada usia remaja di Jawa Barat adalah munculnya geng1 motor yang cukup meresahkan masyarakat karena sifatnya yang destruktif. Pelajar sekolah menengah mendominasi aktivitas ini, di kota Bandung, dan kemudian menjalar ke berbagai kota Jawa Barat. Karakteristik geng motor mengedepankan kekerasan seperti tawuran, balap liar, pengrusakan, bahkan dalam rekruitmen anggota baru kekerasan menjadi syarat wajib.

Studi Bandura (1991, 2001) mengungkapkan bahwa perilaku dibentuk melalui konteks sosial yang dapat dipelajari. Bandura meneguhkan gagasannya ini dalam teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang merupakan penamaan baru dari teori belajar sosial (social learning theory), dimana manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri karena interaksi orang (person), lingkungan (environment), dan perilaku orang (behavior) yang disebut dengan reciprocal determinism. Konsep

mutual-causality menjadi dasar bagi Bandura untuk menjawab pertanyaan, mengapa

manusia bertindak seperti yang dilakukan. Deduksi dari konsep ini adalah

1Isitilah “geng” digunakan dalam tulisan ini sebagai terjemahan dari bahasa Inggris gang” yang berarti gerombolan atau kelompok. Menurut literature istilah gang merupakan

kependekan dari gangster yang memiliki arti bandit atau penjahat (Jatmiko, 2010: 5).

Penulisan kata “geng” dalam serapan bahasa Indonesia sesuai dengan fonetik asalnya dan


(33)

perilaku dapat memengaruhi seseorang dan lingkungan, dan lingkungan atau orang memengaruhi perilaku. Bandura juga menjelaskan bahwa banyak aspek fungsi kepribadian yang melibatkan interaksi dengan orang lain, sehingga berdampak pada kepribadian berhubungan dengan konteks sosial di mana tingkah laku diperoleh.

Jika Bandura beranjak dari hubungan yang saling memengaruhi dan bukan searah, maka Erikson (Salkind, 2009: 188) menyandarkan teori psikososialnya pada perkembangan psikologis yang dihasilkan dari interaksi antara proses-proses maturasional atau kebutuhan biologis dengan tuntutan masyarakat dan kekuatan sosial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Teori psikososial (psychosocial theory) Erikson mengkaji tentang perkembangan yang berlangsung sepanjang umur manusia, di mana proses perkembangan dibagi menjadi delapan tahapan. Setiap tahapan dalam teori Erikson ini selalu terkait dengan konflik yang perlu diselesaikan oleh individu, agar dapat berpindah ke tahapan berikutnya.

Perubahan di masyarakat adalah salah satu upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang membentuk pola tingkah laku, nilai, dan norma sesuai dengan tuntutan masyarakat. Utamanya melalui jalur pendidikan informal, formal, dan nonformal berlangsung proses transformasi dan transmisi pola tingkah laku, nilai, dan norma dari generasi ke generasi. Pendidikan, menurut studi Koster (Farisi, 2005: 10), belum menunjukkan hasil yang diharapkan oleh masyarakat dalam membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. Indikasi dari studi ini adalah kecenderungan kenakalan remaja, kemorosotan moral, dan perilaku menyimpang dari etika kehidupan dan budaya bangsa. Sekolah sebagai agen perubahan dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya, tidak hanya pandai secara akademik dan kemampuan intelektual dalam memecahkan masalah, tetapi juga memiliki integritas moral yang baik.


(34)

18

Pendidikan dapat menjadi wadah untuk mewariskan kebudayaan, dalam membentuk kepribadian dan karakter generasi muda. Secara sistematis pendidikan merupakan usaha sadar yang memiliki landasan filosofis, psikologis, sosiologis, dan kultural untuk mencapai tujuan pendidikan. Apa yang tersirat dalam landasan tersebut bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk membangun peradaban suatu bangsa di atas fondasi budaya masyarakat. Terkait erat dengan landasan tersebut, maka tujuan pendidikan mempersyaratkan pengembangan kemampuan dan intelektual peserta didik seperti yang tergambar dalam dimensi kemampuan kehidupan manusia.

Sayangnya, pengembangan berbagai kemampuan dan dimensi intelektual dalam proses pembelajaran masih menjadi bagian dominan dalam pendidikan di Indonesia sampai saat ini. Hal ini tercermin dari analisis kritis seorang pakar pendidikan, Hasan (2007) mengatakan bahwa persoalan pendidikan seringkali hanya terbatas pada transfer ilmu dan tidak membangun karakter peserta didik. Analisis tersebut dapat menjadi bahan refleksi bersama bahwa sepanjang dasawarsa terakhir, perspektif sosio-pedagogis melihat fenomena meningkatnya kecenderungan kasus kenakalan remaja (Willis, 2005; Puspitawati, 2006; Muhammad, 2008). Kenakalan remaja (juvenile

delinquency) dalam kajian masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam

perilaku menyimpang pada remaja (Maria, 2007; Sarwono, 2011), yaitu penyimpangan perilaku remaja dari aturan, nilai, dan norma yang berlaku di keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Pakar psikologi perkembangan, Hurlock (1998) menunjukkan bahwa sumber kenakalan remaja dapat ditelusuri dari kondisi moral yang berbahaya seperti terjadinya masalah dalam keluarga, menurunnya peran sekolah, dan menurunnya peranan lembaga agama dalam menangani masalah moral. Namun, bersamaan dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya yang


(35)

begitu cepat dewasa ini, kajian kritis Hurlock tersebut nampaknya kurang mampu mewadahi sumber kenakalan remaja dewasa ini. Kecanggihan dan kemudahan komunikasi yang ditawarkan oleh teknologi informasi dan komunikasi, memiliki peranan penting dalam memengaruhi perilaku generasi muda (Willis, 2005: 89). Ironisnya, sebagian besar remaja Indonesia masih berada dalam kehidupan yang dikategori sebagai masyarakat transisi (modernizing society) yaitu suatu keadaan dimana masyarakat beranjak dari kondisi tradisional menuju yang lebih modern (Sarwono, 2011: 124).

Masyarakat transisi (modernizing society) – meminjam istilah Useem dan Useem - (Sarwono, 2011: 124) adalah masyarakat yang sedang mencoba membebaskan diri dari nilai-nilai masa lalu dan menggapai masa depan dengan membuat nilai-nilai baru. Kondisi masyarakat seperti ini seringkali menimbulkan konflik terhadap nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Di satu sisi masyarakat sudah terbanjiri nilai baru dari derasnya budaya modern, sementara di sisi lain nilai lama masih dijadikan panutan oleh masyarakat setempat. Keadaan ini dapat menimbulkan ketiadaan pedoman untuk mengukur kegiatan berdasarkan nilai dan norma yang ada, sehingga menjadi tidak stabil dan tanpa kaidah, Durkheim menyebut keadaan ini sebagai anomie (Soekanto, 2006: 211), yaitu suatu keadaan tanpa norma (normlessness).

Ketiadaan pedoman yang terstandarkan karena perubahan dan perkembangan, dalam psikologi perkembangan dapat pula dialami oleh individu yang memasuki masa pubertas dan remaja. Keadaan anomie masa remaja di Indonesia (Taufikurrohman; Latifah, dalam Sarwono, 2011: 17) disebabkan oleh keadaan dimana remaja berada pada masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif, dan sosial. Memasuki masa remaja individu mengalami perkembangan dan perubahan kemampuan atau kebutuhan secara fisik dan psikis secara drastis. Secara biologis dan kultural masa ini juga


(36)

20

dipandang sebagai akhir masa anak-anak dan pintu masuk masa dewasa. Tidak mengherankan jika pada tahapan ini sering terjadi konflik, goncangan jiwa. Bahkan Stanley Hall (Salkind, 2008: 202), salah seorang pendiri studi psikologi anak dan perkembangan, menyebut masa remaja sebagai periode yang penuh dengan badai dan tekanan (storm and stress). Masa remaja merupakan masa yang ditandai oleh berbagai perubahan besar dan aktivitas, di mana individu mulai mengembangkan identitas dan eksistensi dirinya.

Kebutuhan akan eksistensi diri ini juga diakui oleh Fromm (2008: xvi) yang mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat dua dorongan yang fundamental yaitu antara kebutuhan fisiologis (dorongan organik) dan hasrat manusia yang berakar dari karakter. Karakter merupakan jawaban bagi kebutuhan eksistensi manusia yang dapat diwujudkan dalam rasa cinta, kelembutan hati, kebebasan, bahkan tindakan destruktif, agresif, dan keinginan untuk memiliki kekuasaan. Dua eksistensi yang mencerminkan karakter yang berbeda dan bertentangan dalam perkembangan psikis ini dapat mendukung perilaku individu menjadi baik atau jahat. Individu memiliki legitimasi untuk menentukan pilihan, motivasi atau kemauannya sendiri (rational choice).

Masa pubertas dan remaja dalam perkembangan psikologis merupakan masa yang rawan terhadap perilaku kenakalan remaja (juvenile delinquency) karena terjadinya kegagalan penghargaan dari masyarakat (Willis, 2005: 88). Masa remaja mengharapkan tugas dan tanggung jawab seperti orang dewasa, sebagai salah satu bentuk eksistensi dirinya, namun orang dewasa belum memberikan tanggungjawab tersebut. Bagi remaja, predikat anak-anak sudah enggan menempel dalam statusnya. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu tindak perbuatan oleh seseorang yang belum dewasa yang bertentangan dengan hukum, agama, norma-norma masyarakat dan dapat merugikan orang lain, mengganggu ketentraman umum dan merusak diri sendiri (Willis, 2005: 90). Berkaitan dengan hal tersebut, maka hasil analisis


(37)

Kartono (2010: 25) menyimpulkan bahwa sumber penyebab kenakalan remaja memiliki sifat yang multi-kausal. Studi Jones (2007) menghasilkan pengelompokkan sumber kenakalan remaja ke dalam: (1) teori biologis (biological theory), menjelaskan bahwa penyebab kenakalan remaja karena faktor fisiologis dan struktur jasmani individu yang dimiliki sejak lahir; (2) teori psikogenis (psychological theory), beranggapan bahwa kenakalan terjadi sebagai bentuk kompensasi atau penyelesaian dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimulus eksternal atau sosial dan keluarga yang patologis; yang termasuk dalam kelompok teori ini adalah

psychoanalytic theory dan social learning theory, rational choice; (3) teori

sosiogenis (sociological theory), faktor lingkungan masyarakat memiliki pengaruh yang kuat terhadap kenakalan remaja, seperti tekanan kelompok, struktur sosial yang deviatif, atau internalisasi simbolis yang keliru; kelompok teori ini meliputi strain theory, labeling theory, dan social control theory; (4) teori delinquent sub-culture (Kartono, 2010; Mulyadi, 2009) sumber kenakalan remaja menurut teori ini karena cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok masyarakat dominan sehingga melahirkan sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang didiami remaja nakal tersebut.

Kenakalan remaja pada dasarnya memiliki sifat psikis, interpersonal, antarpersonal, dan kultural sebab perilaku kenakalan selalu berlangsung dalam konteks antarpersonal dan sosio-kultural (Kartono, 2010: 37). Teori psikologi menunjukkan bahwa individu menjadi faktor utama dalam memilih dan menentukan eksistensi dirinya dalam membentuk karakter agresif, asertif, atau pasif (submissive). Kemampuan dan keterampilan untuk menentukan pilihan dalam tinjauan sosio-pedagogis dapat disejajarkan dengan kemampuan membuat keputusan (decision-making) (Banks dan Clegg Jr., 1990: 18-19). Pendidikan selayaknya menjadi sarana yang efektif untuk mengembangkan


(38)

22

kemampuan dan membangun karakter peserta didik, sebab pendidikan membelajarkan nilai-nilai kearifan dan budaya masyarakat. Selaras dengan hal itu maka, pendidikan yang bermakna dan bermutu pada dasarnya selalu mengacu ke masa depan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi kehidupannya. Pendidikan bermakna juga harus bersifat komprehensif dan holistik, untuk mempersiapkan masa depan peserta didik. Sebab peserta didik akan menghadapi kehidupan yang komplek karena tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pendidikan IPS (PIPS) berdasarkan analisis kritis Hasan (2007) seharusnya mampu memberikan solusi terhadap permasalahan karakter generasi muda, jika secara pedagogis tidak hanya mengutamakan transfer ilmu. Sebab Pendidikan IPS adalah hasil integrasi ilmu sosial, humaniora, dan ilmu pengetahuan alam, bahkan National Council for the Social Studies tahun 1992 telah memasukkan bidang matematika dan religi, yang dikemas secara pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, PIPS di tingkat sekolah bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang penting digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik (Barr et al., 1987; Ross, 2006). Hingga saat ini tujuan tersebut dimungkinkan agar peserta didik dapat menjadi warga negara yang berpartisipasi aktif dalam masyarakat yang demokratis.

Analisis Drost (2005:32) dapat dijadikan landasan pijakan yang cocok bahwa pendidikan bukan hanya soal kemajuan otak ataupun pengetahuan kognitif. Pendidikan juga bertujuan mengembangkan pribadi peserta didik agar menjadi manusia yang utuh dengan segala nilai dan seginya. Pendidikan juga dapat mengajari nilai-nilai kehidupan manusia yang dianggap perlu


(39)

seperti nilai sosialitas, nilai demokrasi, nilai kesamaan, persaudaraan, nilai kejujuran, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai.

Pemaknaan sikap dan nilai (attitudes and values), dalam Pendidikan IPS terintegrasi dalam tujuan pembelajaran yang dikonkretkan ke ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada ranah kognitif hal-hal tentang manusia dan dunianya harus dapat dinalar agar dapat dijadikan sebagai alat untuk pengambilan keputusan yang rasional dan tepat. Kajian IPS bukanlah hafalan belaka, melainkan harus dapat mendorong daya nalar yang kreatif. Secara afektif, perolehan pengetahuan dan pemahaman dapat mendorong tindakan berdasarkan nalar, sehingga dapat dijadikan alat berkiprah dengan tepat dalam hidup. Secara psikomotorik, tujuan pengajaran IPS sangat luas, karena keterampilan yang dikembangkan harus mencakup keterampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan, nilai dan sikap. Pengembangan keterampilan dalam Pendidikan IPS sangat ditekankan agar peserta didik memiliki keterampilan yang dipersyaratkan, seperti dinyatakan Banks dan Cleggs Jr. (1990: 6) bahwa “skill goals are very important in the social studies.”

Berbagai kasus penyimpangan yang dilakukan oleh remaja seperti diuraikan di atas, pada dasarnya menimpa individu yang masih mengenyam pendidikan di sekolah menengah. Suatu masa dimana mereka memasuki masa remaja, merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Konflik yang dihadapi masa-masa remaja ini semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi biologis, kognitif, moral, dan psikologis (Widianti, 2007;


(40)

24

Dahar, 1996; Turiel, 1983; Csikszentmihalyi dan Larson, 1984). Perkembangan biologis, kognitif, moral, dan psikologis remaja ini membutuhkan ketegasan dalam setiap pengambilan keputusan, agar mereka tidak terjebak pada perilaku agresif atau pasif.

Provinsi Jawa Barat dijadikan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan, provinsi ini memiliki karakteristik unik baik dari segi sosial, budaya, demografi, maupun kondisi alamnya. Salah satu kota di Jawa Barat, Bandung, menurut survei majalah Time tahun 1990 dalam situs Wikipedia, menjadi kota teraman di dunia. Wilayah yang mayoritas masyarakatnya suku Sunda ini menganut filosofi silih asah, silih asih, dan silih asuh yang merupakan kristalisasi budaya masyarakat Sunda. Ia menunjukan karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah secara teoretis dan faktual di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku asertif peserta didik dan kenakalan remaja sebagai pengaruh dari pola asuh keluarga, lingkungan sekolah, pembelajaran IPS, dan media massa. Perilaku asertif dalam perkembangan psikologi remaja merupakan perilaku yang berada di antara agresif dan pasif (submissive) dapat menjadi kontrol untuk bertindak secara negatif. Dari konteks sosial, asertivitas menjadi salah satu dimensi keterampilan berkomunikasi yang merefleksikan individu sebagai makhluk sosial, sedangkan representasi asertivitas dalam perspektif pedagogis terdapat dalam tujuan pembelajaran terutama pembentukan karakter dan membangun keterampilan sosial. Perilaku asertif,


(41)

dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai perilaku yang dipengaruhi secara simultan oleh pola asuh keluarga, lingkungan sekolah, persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS, dan media massa.

Perspektif psikologis-pedagogis merekomendasikan perilaku asertif sebagai perilaku positif sebab dapat menjadi kontrol perkembangan kepribadian ke arah yang negatif, seperti kenakalan remaja. Fenomena tersebut pada dasarnya masih bersifat umum, sehingga memerlukan elaborasi secara definitif. Selanjutnya, fenomena tersebut diidentifikasi ke dalam masalah penelitian, yaitu “Sejauh manakah pengaruh pola asuh orangtua, lingkungan sekolah, persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS, dan media massa terhadap perilaku asertif peserta didik dan kecenderungan

kenakalan remaja?”

Berdasarkan masalah penelitian tersebut, maka kemudian dijabarkan dalam pertanyaan penelitian yang lebih operasional sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh pola asuh orangtua terhadap perilaku asertif peserta didik?

2. Apakah ada pengaruh lingkungan sekolah terhadap perilaku asertif peserta didik?

3. Apakah ada pengaruh persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS terhadap perilaku asertif peserta didik?

4. Apakah ada pengaruh media massa terhadap perilaku asertif peserta didik? 5. Apakah ada pengaruh pola asuh orangtua terhadap kecenderungan

kenakalan remaja?

6. Apakah ada pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecenderungan kenakalan remaja?

7. Apakah ada pengaruh persepsi peserta didik tentang pembelajaran IPS terhadap kecenderungan kenakalan remaja?


(1)

Trudeau, L., Lillehoj, C., Spoth, R., & Redmond, C., (2003). “The Role of Assertiveness and Dicesion Making in Early Adolescent Substance Initiation: Mediating Processes”, Journal of Research on Adolescence, 13 (3), 301 – 328.

Turner, E.A., Chandler, M., & Heffer, RW., (2009). “The Influence of Parenting Styles, Achievement Motivation, and Self-Efficacy on Academic Perpormance in College Students”, Journal of College Student Development, Volume 50, Number 3 May/June 2009, 337 – 346.

Uyun, Q., dan Hadi, S., (2005). “Pelatihan Asertivitas untuk Meningkatkan Ketahanan Isteri terhadap Tindak Kekerasan Suami”, SOSIOSAINS, 18 (1), Januari 2005.

Wijayanti, R., (2008, Februari) “Hubungan Menonton Tayangan Sinetron “Virgin” di ANTV dengan Perilaku Asertif Remaja”, MediaKOM, Vol 1, (No. 1), Februari 2008, 50 – 61.

Wood, P. S., dan Mallinckrodt, B. (1990). “Culturally sensitive assertiveness training for ethnic minority clients”. Professional Psychology Research and Practice, 21, 5-11.

Yusrizal, (2008). Pengujian Validitas Konstruk dengan Menggunakan Analisis Faktor, Jurnal Tabularasa PPS Unimed, Vol. 5 No. 1, Juni 2008.

Zane, N. W. S., Sue, S., Hu, L., & Kwon, J. (1991). Asian-American assertion: A social learning analysis of cultural differences. Journal of Counseling Psychology, 38, 63–70.

Zinbarg, R. E., Revelle, W., Yovel, I., dan Li, W. (2005). Cronbach’s a, Revelle’s, b and McDonalds w: their relations with each other and two alternative conceptualizations of reliability. Psychometrika, 70(1), 1-11.

Sumber Disertasi, Tesis, Skripsi

Afiatin,T. (2003). Pengaruh Program Kelompok AJI dalam Peningkatan Harga Diri, Asertivitas, dan Pengetahuan Mengenai NAPZA untuk Prevensi Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja. Disertasi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada: tidak diterbitkan.

Arslan, D.O., (2012). Perbedaan Perilaku Asertif dan Konformitas Antara Etnis Cina dengan Etnis Jawa (Penelitian Pada Siswa SMA Sedes Sapentiae


(2)

Argiati, S.H.B., (2008). Perilaku Agresif ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Authoritarian, Asertivitas dan Tahap Perkembangan Remaja pada Anak Binaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo Jawa Tengah, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tesis: tidak diterbitkan.

Astiwi, H., (2007). Pola Membaca Majalah Remaja dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Remaja (Kasus Siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bogor, Propinsi Jawa Barat), Prodi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian, IPB, Skripsi: tidak diterbitkan.

Astuti, AM.E.S., (2004), Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Gejala Kenakalan Anak/Remaja Dan Penanggulangannya (Studi Kasus Kenakalan Anaka/Remaja Di Kabupaten Semarang), Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Tesis: tidak diterbitkan. Dalyono, T., (2009). Konstribusi Konsumsi Media Massa Terhadap Pemanfataan

Teknologi Informasi Generasi Muda Kota, Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI, Disertasi: tidak diterbitkan.

Farida. (2006). Efektivitas pelatihan asertivitas untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa. Tesis. Yogyakarta, Universitas Gajah Mada: tidak diterbitkan.

Farisi, M.I., (2005). Rekonstruksi Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan IPS-SD Berdasarkan Perspektif Konstruktivisme, Disertasi, Bandung: SPS UPI: tidak diterbitkan.

Golden, M., (1978). A Suggested Measure of Cognition Within the Context of Assertion, A Thesis of Department of Psychology, Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy at Concordia University, Montreal, Quebec: Concordia University: unpublished.

Hardjasaputra, (2002), Perubahan Sosial di Bandung 1810 – 1906. Disertasi tidak diterbitkan. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Jencks, N.L.B., (1991). A Study of the Effectiveness of an Assertiveness Training Program on a Group of Elderly Serious and Persestent Mentally Ill, San Jose State University, Master’s Theses and Garduate Research.


(3)

Jiwani, A., (2011). Pengaruh Media Audio Visual Film untuk Meningkatkan Asertivitas Perokok Pasif Remaja Sekolah Menengah Atas, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Tesis: tidak diterbitkan.

Kuntjahjo, W.A., (2003). Perilaku Kepemimpinan Inovatif dan Pengaruhnya pada Mutu Institusi Pendidikan (Studi Pada Institusi Pendidikan Kesehatan Jenjang Pendidikan Tinggi Depkes di Provinsi Jawa Barat Banten, dan DKI Jakarta), Bandung: SPS UPI, Disertasi: tidak diterbitkan.

Lumley, V.A., M.S. (2001). An Assessment of Assertion Skill Among Adult With Mild Mental Retardation, Dissertation Submitted to the Eberly College of Arts and Sciences at West Virginia University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy in Psychology, Morgantown: Departement of Psychology.

Maria, U., (2007). Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga Dan Konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja, Yogyakarta: UGM, Tesis Tidak Diterbitkan.

Muhamad, F.I., (2008). Perilaku Merokok Remaja Di Lingkungan RW 22 Kelurahan Sukatani Kecamatan Cimanggis Tahun 2008, Skripsi, Program Sarjana Kesehatan Masyarakat, FKM UI, Depok. Tidak diterbitkan. Poyrazli, S., (2000). The role of assertiveness, academic experiences, and

academic selfefficacy on psychosocial adjustment of graduate international students. Unpublished doctoral dissertation, University of Houston.

Puspitawati, H., (2006). “Pengaruh Faktori Keluarga, Lingkungan Teman Dan Sekolah

Terhadap Kenakalan Pelajar Di Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor”, Disertasi Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber

Daya Keluarga, Institut Pertanian Bogor, Bogor: tidak diterbitkan.

Putri, N.M., (2012). Pengaruh Efek Afektif Menonton Tayangan Workplce Bullying yang Menimpa TKI Televisi Terhadap Kesiapan Memutuskan Untuk Migrasi Ke Luar Negeri, Universitas Negeri Semarang, tesis: tidak diterbitkan.

Rahmasari, D. (2007). Hubungan Antara Harga Diri, Asertivitas, dan Strategi Mengatasi Masalah dengan Depresi pada Remaja Jawa dan Madura, Tesis Program Studi Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: tidak diterbitkan.


(4)

Reputrawati, A., (1996). Hubungan Antara Asertivitas dengan Kreativitas pada Remaja SMA Suku Jawa. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sadli, S., (1976). Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Disertasi,

Ilmu Psikologi, Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.

Samsi, W.N., (2012). Peningkatan Perilaku Asertif Terhadap Perilaku Negatif Berpacaran Melalui Pelatihan Asertivitas Pada Siswa Kelas X Pemasaran 1 di SMK Negeri 1 Depok, Skripsi, Prodi Bimbingan dan Konseling, FIP UNY: tidak diterbitkan.

Sert, A.G., (2003). The Effect of an Assertiveness Training on the Assertiveness and Self-Esteem Level of 5th Grade Children, A Thesis Submitted to The Graduate School of Social Sciences of Middle East Technical University, in Partial Fullfilment of The Requirements for the Degree of Master of Science in The Department of Educational Sciences, June 2003.

Sihabuddin, R., (2002). Pendidikan Demokrasi melalui Pengelolaan Asertivitas dan Atribusi Siswa Terhadap Sikap dan Perilaku Berdemokrasi, Disertasi, Pendidikan IPS SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Subaedah, (2008). Pelatihan Asertivatas dan Efek Alkohol Terhadap Sikap Mahasiswa Papua Mengenai Minuman Keras Pada Mahasiswa Papua Di Yogyakarta, Tesis Program Studi Psikologi (S2) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: tidak diterbitkan.

Sumber Makalah:

Abdullah, T., (2012). Kisah Pembangunan dalam Refleksi Sejarah, Makalah Disampaikan pada Kuliah Umum di Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung, 9 Februari 2012.

Hardjasaputra, A.S., (2007). Kawasan Cekungan Bandung dalam Lintasan Sejarah dan Budaya, Dari Pasca Prasejarah Hingga Berdirinya Kota Bandung, Makalah Disampaikan Pada Penyuluhan Dan Penyebaran Informasi, Tema : Kawasan Cekungan Bandung Lintas Sejarah Dan Budaya Di Tepiannya, Bandung, 17 Desember 2007

Hasan, S. Hamid, (2007), Revitalisasi Pendidikan IPS dan Ilmu Sosial untuk Pembangunan Bangsa, Makalah Seminar Nasional Revitalisasi Pendidikan IPS, 21 November 2007, Bandung: UPI.


(5)

Siregar, A.R., (2006). Motivasi Mahasiswa Ditinjua dari Pola Asuh, Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi, Universitas Sumatra Utara, Medan. Widianti, E., (2007). Remaja dan Permasalahannya: Bahaya Merokok,

Penyimpangan Seks Pada Remaja, Dan Bahaya Penyalahgunaan Minuman Keras/Narkoba, Makalah Disampaikan dalam Penyuluhan Sosial Remaja Di MTs Banuraja dan Mts Batujajar Kabupaten Bandung Winataputra, U.S., (2007a). Dinamika Pemikiran Inovatif Dalam Khasanah

Social Studies Dan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah Di Indonesia, Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Program Sudi PIPS-SPs UPI, 21 November 2007, Bandung.

Winataputra, U.S., (2007b). Inovasi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Dalam Perspektif Global, Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Program Sudi PIPS-SPs UPI, 21 November 2007, Bandung.

Sumber Internet:

Bandung, [Online], Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung, Diunduh: 21/02/2012.

Baskara, U.D., (2012). Genre, Solusi Mencegah Ledakan Penduduk Dan Mewujudkan Keluarga Berkualitas Dimasa Datang, [Online], Tersedia: http://bkbppkuningan.blogdetik.com/2012/01/05/, Diunduh 20/01/2012. Darling,N. (1999b). Parenting Style and its Correlates. APA Parents News for

Juli-August 1999. Retrieved October 14, 2000, [Online], Tersedia: http://www.athealth.com/Practioner/ceduc/parentingstyles.html.

9/05/2012.

Hasan, S. H., (tt.). Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan Teoritik Pedagogis (1950 2005), Makalah, [Online], www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/s_hamid_hasan.pdf.

[diunduh 16/09/2011].

Jawa Barat, [Online], Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Barat, Diunduh 26/01/2012.


(6)

Jones, K., (2007). Theories of Juvenile Delinquency, Why Young People Commit Crimes, [Online], Tersedia: http://voices.yahoo.com/theories-juvenile-delinquency-214245.html?cat=17, 1/07/2012

Kennedy, P.J., (tt.). Assertive Communication - An Introduction, [Online], Tersedia:(http://www.uwec.edu/counsel/pubs/assertivecommunication.ht m, Diunduh: 30/05/2012).

Media Massa. [Online], Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa, Diunduh: 06/03/2012.

Mu'tadin, Z. (2002). Remaja dan Rokok. [Online], Tersedia: http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=379., Diakses: 16/09/2011. Pargito, (2010/07/17), Hakekat Pendidikan IPS, [Online], Tersedia:

http://blog.unila.ac.id/pargito/2010/07/17/hakekat-pendidikan-ips. Diunduh: 1/3/2012, 8.35

Sekolah, [Online], Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah, Diunduh: 8/03/2012.

Sikone, S., (2007). Menanamkan Sikap Asertif di Sekolah, [Online], Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/1685406-menanamkan-sikap-asertif-di-sekolah/#ixzz1a0PzgKIW, Diunduh: 6/1/2012.

Teori Kognitif Sosial, [Online], Tersedia:

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Kognitif_Sosial, Diunduh: 27.02/2012 Tribunnews, (2011/12/07). Mayoritas Pengguna Narkoba Kelompok Umur 15

30 Tahun, [Online], Tersedia: http://www.tribunnews.com /2011/12/07/mayoritas-pengguna-narkoba-kelompok-umur-15-30-tahun, Diunduh: 23/2/2012


Dokumen yang terkait

ANALISIS MAKNA REFERENSIAL DAN DAMPAK SLOGAN TERHADAP PERILAKU PESERTA DIDIK DI LINGKUNGAN SEKOLAH MENENGAH Analisis Makna Referensial Dan Dampak Slogan Terhadap Perilaku Peserta Didik Di Lingkungan Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Banyudono Kabupaten B

0 3 19

ANALISIS MAKNA REFERENSIAL DAN DAMPAK SLOGAN TERHADAPPERILAKU PESERTA DIDIK DI LINGKUNGAN SEKOLAH MENENGAH Analisis Makna Referensial Dan Dampak Slogan Terhadap Perilaku Peserta Didik Di Lingkungan Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Banyudono Kabupaten Boy

0 5 12

PENGARUH MEDIA PEMBELAJARAN DAN LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR ILMU PENGETAHUAN SOSIAL Pengaruh Media Pembelajaran Dan Lingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Pada Siswa Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Neger

0 2 16

PENGARUH PERSEPSI, MOTIVASI, DAN LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP MINAT PESERTA DIDIK MEMILIH PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS).

0 1 50

Perilaku Asertif dan Kecenderungan Kenakalan Remaja Berdasarkan Pola Asuh dan Peran Media Massa | Sriyanto | Jurnal Psikologi 6959 12204 1 PB

2 3 15

Pergub Nomor 31 Tahun 2017 Lampiran

0 0 13

PENGEMBANGAN RING BASKET UNTUK PEMBELAJARAN SHOOTING PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

0 0 10

PENGARUH BIMBINGAN SOSIAL TERHADAP KENAKALAN REMAJA PADA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 21 PONTIANAK

0 0 9

PENGARUH BRAINSTORMING TERHADAP PEROLEHAN BELAJAR ILMU PENGETAHUAN SOSIAL PESERTA DIDIK DI SEKOLAH DASAR

0 0 8

PENGARUH PERSEPSI POLA ASUH ORANG TUA DAN FRUSTASI PESERTA DIDIK TERHADAP PERILAKU AGRESIF DI SEKOLAH DASAR NEGERI SE-UPK KARANGLEWAS - repository perpustakaan

0 0 14