PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN PENGAWAS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SUPERVISI AKADEMIK.

(1)

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM

PELATIHAN PENGAWAS SEKOLAH

UNTUK MENINGKATKAN

KOMPETENSI SUPERVISI AKADEMIK

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pengembangan Kurikulum

Promovendus

DARWIS 0800832

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCASARJANA


(2)

2014

Proses Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas

Sekolah

untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik

Oleh Darwis

S.Pd. UPI Bandung, 1994

M.Pd. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, 2003

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Ilmu Pendidikan (Dr.) Program Studi Pengembangan Kurikulum

© Darwis 2014

Universitas Pendidikan Indonesia Januari 2014


(3)

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(4)

(5)

Disetujui untuk ujian Tahap II

Promotor Merangkap Ketua:

Prof. Dr. Hj. Mulyani Sumantri, M.Sc.

Kopromotor Merangkap Sekretaris:

Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.

Dr. H. Dinn Wahyudin, MA.

Mengetahui


(6)

(7)

DAFTAR ISI

hal

LEMBAR PERSETUJUAN ………..…... LEMBAR PERNYATAAN... KATA PENGANTAR ...………..………... UCAPAN TERIMA KASIH ... ABSTRAK ... DAFTAR ISI ...………... DAFTAR SINGKATAN ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN ... ……...………....……….... A. Latar Belakang ...……...………. B. Fokus Kajian Penelitian ... ………... C. Rumusan Masalah Penelitian ...……...……...………... D. Tujuan Penelitian…...………...…….... E. Manfaat Penelitian…...………... F. Struktur Organisasi Disertasi……...………... BAB II KAJIAN PUSTAKA ..………....……...………... A. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah ...

1. Pengertian Kurikulum Pelatihan ... 2. Pengembangan Kurikulum….………...… 3. Aspek-Aspek Pelatihan Pengawas Sekolah ………...……... 4. Pengawas Sekolah dan Tugas Pokoknya ...….. B. Kompetensi Supervisi Akademik ...… 1. Pengertian Kompetensi ... 2. Supervisi Akademi……….………... a. Pengertian Supervisi Akademik .….……… b. Tujuan Supervisi Akademik ....…….………... c. Fungsi Supervisi Akademik ………..………...… d. Prinsip Supervisi Akademik ………..……….. e. Pendekatan Supervisi Akademik …….……… f. Model Supervisi Akademik ………...………... 3. Kompetensi Supervisi Akademik Pengawas Sekolah... C. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas untuk

Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik... D. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ... E. Kerangka Pikir Penelitian ...

i ii iii iv viii x xiii xiv xv xvi 1 1 14 17 17 18 19 20 20 20 25 31 42 54 54 57 57 59 60 62 65 66 69 73 83 87


(8)

A. Desain Penelitian ...………...…... B. Tempat dan Informan Penelitian …...………..…...……. 1. Tempat Penelitian ... 2. Informan Penelitian... C. Prosedur Penelitian ... D. Unit Kajian Penelitian ... E. Teknik Pengumpulan Data ... 1. Wawancara... 2. Obervasi ... 3. Studi Dokumentasi... F. Prosedur dan Teknik Analisis Data Penelitian ... 1. Prosedur Analisis Data Penelitian ... a. Reduksi Data ... b. Display Data ... c. Verifikasi dan Pengambilan Kesimpulan... 2. Teknik Analisis Data Penelitian ... G. Keabsahan Data Hasil Penelitian ... 1. Triangulasi... 2. Member check ... 3. Diskusi terfokus... 4. Deskripsi hasil penelitian yang detail dan padat ... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...…...……... A. Hasil Penelitian...

1. Proses Training Need Assessment... 2. Proses Perumusan Tujuan Kurikulum Pelatihan ... 3. Proses Pengembangan Materi Kurikulum Pelatihan ... 4. Proses Implementasi Kurikulum Pelatihan ... 5. Proses Evaluasi Kurikulum Pelatihan ... 6. Kurikulum Pelatihan Supervisi Akademik ... B. Pembahasan Hasil Penelitian ...

1. Proses Training Need Assessment... 2. Proses Perumusan Tujuan Kurikulum Pelatihan ... 3. Proses Pengembangan Materi Kurikulum Pelatihan ... 4. Proses Implementasi Kurikulum Pelatihan ... 5. Proses Evaluasi Kurikulum Pelatihan ... BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DALIL DAN REKOMENDASI ...

A. Simpulan ... B. Implikasi ... C. Dalil Penelitian... D. Rekomendasi ...

92 92 94 94 94 95 100 102 104 105 166 106 106 107 108 108 108 109 110 111 112 112 114 114 115 120 127 133 136 143 145 145 158 166 174 182 194 194


(9)

DAFTAR PUSTAKA ... DAFTAR LAMPIRAN ...

199 200 205 213


(10)

APSI : Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia

BPSDMPK&PMP : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan

Dirjen PMPTK : Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Ditendik : Direktorat Tenaga Kependidikan

IK : Indikator Kajian

KKPS : Kelompok Kerja Pengawas Sekolah LPMP : Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan MKPS : Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah

P : Pertanyaan (unit-unit pertanyaan dari kisi-kisi penelitian) PPPPTK : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan

Tenaga Kependidikan

Pusbangtendik : Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan

R : Respon (resume respon sumber data atau Informan/fieldnote)


(11)

DAFTAR TABEL

hal 3.1 Unit Kajian Penelitian ... 4.1 Data Survey Kebutuhan Materi Pelatihan Penguatan Pengawas ... 4.2 Indikator Keberhasilan Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah ... 4.3 Materi Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah ... 4.4 Rencana Pengembangan Materi Pelatihan Pengawas Sekolah ... 4.5 Jenis Tagihan Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah... 4.6 Kisi-Kisi Penilaian Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah ...

100 120 126 129 130 133 137


(12)

DAFTAR GAMBAR

hal 1.1 Diagram Skor Rata-rata Kompetensi Pengawas ... 1.2 Korelasi Kompetensi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah dan Guru... 1.3 Korelasi Kompetensi dan Kinerja... 2.1 Model Dasar Pendekatan Sistematik terhadap Pelatihan ... 2.2 Model tahapan sistematik pengelolaan Pelatihan ... 2.3 Proses Pengembangan Kurikulum... 2.4 Kerangka Pikir Kajian Penelitian ... 3.1 Langkah-langkah Kegiatan Penelitian ... 3.2 Proses Penelitian... 4.1 Diagram Data hasil TNA Pelatihan Pengawas Sekolah ... 4.2 Diagram Peningkatan Pembelajaran... 4.3 Diagram Peningkatan Supervisi Pembelajaran...

4 10 13 22 23 28 90 95 98 119 142 142


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

hal 1. Surat Keterangan Melakukan Penelitian ... 2. Kisi-Kisi Unit Kajian Penelitian ... 3. Resume Fieldnote Wawancara 01 ... 4. Resume Fieldnote Wawancara 02 ... 5. Resume Fieldnote Wawancara 03 ... 6. Resume Fieldnote Wawancara 04... 7. Resume Fieldnote Wawancara Gabungan... 8. Fieldnote Hasil Studi Dokumentasi ... 9. Rekomendasi Praktis Proses Pengembangan Kurikulum untuk

Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik ... 214 215 218 224 231 238 241 249


(14)

ABSTRAK

Darwis, (2013). 0800832. “Proses Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik”. Penelitian ini didasari oleh masih lemahnya kompetensi supervisi akademik pengawas sekolah yang sangat dibutuhkan dalam melaksanakan tugas pokok meningkatkan kualitas proses pembelajaran guru sekolah binaannya. Penelitian dilakukan terhadap tim pengembang kurikulum pelatihan pengawas sekolah di lingkungan Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan menggunakan desain penelitian mix method, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dengan fokus pada proses (1) TNA, (2) perumusan tujuan, (3) pengembangan materi, (4) strategi implementasi, dan (5) evaluasinya dengan harapan dapat menemukan proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang akurat dan komprehensif untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik. Data diperoleh melalui interview dan observasi terhadap penentu kebijakan dan pengembang kurikulum, dan analisa dokumen kurikulum pelatihan pengawas sekolah serta meminta pendapat ahli pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dan peserta pelatihan pengawas sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik meliputi lima tahapan yang dilakukan secara sistematis, sinergis dan komprehensif diawali dengan (1) proses TNA yang akurat dan komprehensif untuk menggambarkan profile kebutuhan yang sesungguhnya, (2) merumuskan tujuan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistik, dan jelas batasan waktunya serta berbasis hasil TNA, (3) mengembangkan materi esensial, menyusun struktur kurikulum, mengembangkan bahan ajar dan lembar kerja yang aplikatif, operasional, terorganisasi dan sistematis untuk memudahkan pencapaian tujuan, (4) mengembangkan metode implementasi pelatihan bervariasi, efektif, fleksibel, berpusat pada peserta untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan supervisi akademik, dan (5) menggunakan teknik dan bentuk evaluasi yang otentik dan bervariasi sesuai dengan tujuan dan tahapan aktivitas pelatihan untuk menilai proses dan produk, serta memudahkan tindak lanjut pelatihan. Rekomendasi hasil penelitian ini ditujukkan untuk pengembang kurikulum dan lembaga penyelenggara pelatihan pengawas sekolah untuk mengoptimalkan proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang meliputi analisa kebutuhan, perumusan tujuan, pengembangan materi, implementasi, serta evaluasinya, khususnya di lingkungan Pusbangtendik, seperti LPMP dan P4TK serta lembaga penyelenggara pelatihan pengawas sekolah di lingkungan Disdik Provinsi dan Kabupaten/Kota, pengawas sekolah dan organisasinya, serta instansi terkait lainnya, serta bagi peneliti lainnya sebagai bahan informasi untuk kegiatan penelitian relevan selanjutnya.


(15)

supervisi akademik.

ABSTRACT

Darwis, (2013). 0800832. “Curriculum Development Process of School Supervisor Training for Improving Academic Supervision Competence.” This research is based on the weakness of school supervisor academic supervision competence that required in performing their main task to develop the quality of the learning process of teachers in their target schools. This research conducted to the team of curriculum developer on school supervisor training in the Personnel Development Center, the Board of Human Resource Development of Education and Culture and Quality Assurance of Education, Ministry of Education and Culture. Using a mix method research approach, the study aims to explore the process of developing a training curriculum school supervisor with a focus on the process of (1) needs analysis, (2) setting goals, (3) development of materials, (3) implementation strategy, (4) and evaluating in the hope to find a model training curriculum development process to improve the competence of supervisor academic supervision. Data were obtained through interviews and observation to policy makers, curriculum developers, and the participant of school supervisor training, and analysis the document school supervisor curriculum training. The results showed that the process of curriculum development of school supervisor training to improve their academic supervision competence is carried out in systematic, synergic and comprehensive steps that begins with (1) conducting accurate and comprehensive TNA process that relevant to the real needs, (2) formulating specific, measurable, achievable, realistic, and time bound objectives to make clear direction and limitize the achievement of objectives, (3) developing essential materials and operational worksheets that organized in a logical and systematic way to accelerate the achievement of objectives, (4) developing varies method of implementation based training activities to enhance participants knowledge, attitudes, and skills of the participants, and (5) using the techniques and the forms of authentic evaluation in accordance with the objectives and stages of training activities in order to be able to assess the processes and products of training, as well as facilitate the follow up the school supervisor curriculum development training. Recommendations of this study results is addreesed for curriculum developers and institutions of school supervisor training providers to optimize the process of developing the curriculum of the school supervisor training covering needs analysis, materials development, implementation, and evaluation, particularly in Pusbangtendik, such as P4TK and LPMP, and school supevisor training providers in the Department of Education provincial and district/city, school supervisors and their organizations, other relevant agencies, as well as for other researchers as information for further relevant research activities.

Keywords: curriculum development, school supervisor training, academic supervision competence.


(16)

(17)

Darwis, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena itu, kemajuan suatu bangsa dalam berbagai bidang dapat diukur dari kemajuan kualitas pendidikannya. Optimalisasi peran pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia sudah dilakukan, namun fakta menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya pencapaian standar nasional pendidikan.

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, melalui standarisasi pendidikan nasional, pengembangan kurikulum nasional dan lokal, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan mutu manajemen sekolah peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui latihan dan pengembangan keprofesian lainnya. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Keberhasilan pendidikan pada satuan mikro di sekolah, seolah bertumpu pada tanggung jawab guru sebagai pengelola proses pembelajaran, padahal selain guru sebagai tenaga pendidik, terdapat pula tenaga pendidikan lainnya yakni kepala sekolah yang bertugas sebagai pimpinan dan manajer utama di lingkungan sekolah serta komponen pengawas sekolah yang bertugas melakukan supervisi baik aspek akademik ataupun aspek manajerial yang secara keseluruhan bertujuan untuk mengawal dan meningkatkan mutu capaian Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/Madrasah, dan Keputusan Menteri


(18)

Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya, dinyatakan bahwa:

Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan. Tugas pengawasan akademik dan manajerial tersebut merupakan tugas pokok yang meliputi penyusunan program pengawasan, pelaksanaan pembinaan, pemantauan pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan, penilaian, pembimbingan dan pelatihan professional Guru, evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan pelaksanaan tugas kepengawasan di daerah khusus.

Tugas pengawas sekolah dalam melaksanakan pengawasan akademik dan pengawasan manajerial pada sejumlah satuan pendidikan yang ditetapkan ini meliputi kegiatan menyusun program pengawasan satuan pendidikan; melaksanakan pembinaan; pemantauan pelaksanaan delapan standar nasional pendidikan; penilaian, pembimbingan dan pelatihan profesional guru, dan penyusunan laporan pengawasan sekolah.

Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 15 ayat (4) beban kerja guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan adalah melakukan tugas pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan tugas pengawasan, yang meliputi pengawasan akademik dan manajerial. Dalam melakukan tugas pengawasan akademik pengawas sekolah melakukan pembinanaan, pemantauan dan penilaian guru agar dapat mempertinggi kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakannya, sedangkan dalam tugas pengawasan manajerial pengawas sekolah melakukan pembinanaan, pemantauan dan penilaian kepala sekolah agar dapat mempertinggi kualitas administrasi dan pengelolaan sekolah untuk terciptanya sekolah yang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa pengawas sekolah memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, khususnya dalam melaksanakan kegiatan supervisi akademik yang berkaitan dengan peningkatan proses pembelajaran, sebagimana bunyi salah satu tulisan dari Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika yang menyebutkan bahwa:


(19)

“Almost all writers agree that the primary focus in educational supervision is and should be the improvement of teaching and learning. The term instructional supervision is widely used in the literature of embody all effort to those ends. Some writers use the term instructional supervision synonymously with general supervision.” (Association for Supervision and Curriculum Development-ASCD, 1987:129)

Pengawas sekolah juga merupakan salah satu komponen dalam peningkatan mutu pendidikan karena kegiatan pengawasan yang dilakukan menyentuh upaya-upaya perbaikan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan perbaikan manajemen sekolah yang dilakukan oleh kepala sekolah. Upaya perbaikan proses pembelajaran ini berdampak signifikan pada peningkatan hasil pembelajaran jika pengawas sekolah melakukan dengan supervisi akademik yang efektif. Too, Kimutai, dan Zachariah (2012:306) menyatakan bahwa ”... effective supervision of teachers by head teachers enhances teaching and learning which in the long run

improves students’ performance in national examinations.”

Kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pengawasan sekolah sangat menentukan dalam meningkatkan mutu pelaksanaan pendidikan di sekolah. Kinerja pengawasasan ini tentunya harus dibangun melalui ketepatan program-program yang dikembangkan oleh pengawas sekolah melalui proses need assessment dan hasil analisis pengawasan sebelumnya, perencanaan program, implementasi program serta prosedur evaluasi yang akurat. Kinerja pengawas juga perlu didukung dengan oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai agar kegiatan supervisi di sekolah dapat diimplementasikan dengan baik.

Kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugasnya dipengaruhi oleh kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi ini bisa dianggap sebagai bentuk-bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlihatkan oleh pengawas sekolah ketika melaksanakan tugasnya. Seorang pengawas sekolah yang memiliki kompetensi yang baik dapat memberi bimbingan, motivasi, dan arahan kepada guru dan kepala sekolah dalam meningkatkan profesionalismenya.

Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/ Madrasah menyebutkan bahwa seorang pengawas sekolah harus memiliki


(20)

enam dimensi kompetensi yaitu: (1) kompetensi kepribadian; (2) kompetensi supervisi akademik; (3) kompetensi supervisi manajerial; (4) kompetensi evaluasi pendidikan; (5) kompetensi penelitian pengembangan; dan (6) kompetensi sosial. Berdasarkan hasil uji kompetensi terhadap pengawas sekolah yang dilakukan Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas (Sekarang Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud), dari keenam kompetensi tersebut hanya dua yang memiliki nilai di atas angka 60 yaitu kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial, sedangkan kompetensi yang paling menunjang untuk melaksanakan tugas pokok atau tugas utama pengawas masih di bawah angka 60. Bahkan kompentensi utama yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum dan peningkatan kualitas pendidikan, yaitu kompetensi supervisi akademik memiliki nilai yang paling rendah yaitu 52,8. Seperti tergambar dalam diagram berikut:

Diagram 1.1 Skor Rata-Rata Kompetensi Pengawas

Sumber: Direktorat Tenaga Kependidikan, Depdiknas (Ditendik, 2010a:5)

Hasil uji kompetensi tersebut mengisyaratkan perlunya pendidikan dan pelatihan yang relevan untuk meningkatkan semua kompetensi yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, khususnya kompetensi supervisi akademik. Karena kompetensi supervisi akademik yang dikuasi oleh pengawas sekolah memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan efektifitas dan kualitas proses pembelajaran

40,0 45,0 50,0 55,0 60,0 65,0 70,0 75,0

80,0 69,5

63,5 56,5

52,8 58,2

54,7

S

K

OR

K

OM

PE


(21)

yang dilakukan oleh guru yang berujung pada peningkatan kualitas hasil pendidikan. Selanjutnya, berkaitan dengan hasil uji kompetensi tersebut, kelemahan pengawas sekolah dalam kompetensi supervisi akademik disebabkan oleh beberapa faktor baik kondisi maupun kendala-kendala serta masalah-masalah berkaitan dengan pengawas sekolah yang ada di Pusbangtendik, Badan PSDMPK dan PMP, Kemdikbud, di antaranya:

(1) masih banyaknya pengawas yang belum memenuhi kualifikasi persyaratan pendidikan minimal, khususnya pengawas sekolah dasar; (2) sistem rekruitmen belum berdasarkan kompetensi; (3) jabatan dan karir pengawas belum dioptimalkan dan dihargai; (4) belum ada kegiatan pengembangan keprofesian yang berkelanjutan dan terprogram; (5) program, pelaksanaan dan evaluasi pengawasan belum terpola dan terprogram dengan baik; (6) laporan pengawasan belum dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan; (7) belum ada program induksi bagi pengawas sekolah pemula; dan (8) fasilitas dan daya dukung kerja pengawas sekolah belum memadai. (Grand Design Pengembangan Pengawas Sekolah Indonesia, Pusbantendik, 2011:2)

Selain hasil uji kompetensi dan masalah pengawas yang terdapat dalam dokumen Pusbangtendik di atas, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak yang dirasakan oleh guru ketika pengawas sekolah melakukan supervisi akademik masih rendah dan belum bermakna sebagaimana hasil penelitian Sudin (2008:3) membuktikan bahwa implementasi supervisi akademik terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh pengawas sekolah dampaknya masih belum memuaskan. Titik persoalannya adalah belum optimalnya pelaksanaan supervisi akademik terhadap proses pembelajaran.

Hasil penelitian Ruswenda (2011:114) menunjukan ada persoalan lain karena kegiatan penyusunan program dan laporan hasil pengawasan, kegiatan pembinaan, pemantauan, penilaian, dan kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesionalitas guru tidak sesuai dengan pedoman tugas pengawasan. Faktor penyebabnya adalah motivasi, komitmen dan kemampuan pengawas rendah, komunikasi tidak lancar, upaya pemberdayaan, kompleksitas dan beban kerja pengawas berat, dan budaya sekolah tidak mendukung. Juga tingkat profesionalisme dan frekuensi dalam malaksanakan supervisi akademik (Hubullah, 2012:142). Sedangkan dalam konteks


(22)

pemberdayaan pengawas sekolah untuk meningkatkan atau dalam rangka penjaminan mutu pendidikan di sekolah, penelitian Darjat (2008:vi) membuktikan belum seluruh pengawas sekolah memiliki dan melaksanakan kompetensi seperti yang dipersyaratkan.

Dalam kaitan dengan kinerja pengawas sekolah, Arifiatun (2009:vii) menemukan bahwa kinerja supervisi yang dilakukan pengawas sekolah belum mempunyai hubungan signifikan terhadap kinerja profesional guru. Hal ini mengindikasikan bahwa bahwa kinerja pengawas sekolah dalam pelaksanaan supervisi akademik yang masih perlu ditingkatkan. Penyebab lain lemahnya kinerja pengawas adalah minimnya rasio jumlah pengawas dibanding dengan jumlah sekolah yang harus dibina berpengaruh pada rendahnya frekuensi pengawas sekolah melaksanakan tugas supervisi ke sekolah binaannya, apalagi jika daerah tersebut memiliki kendala geografis.

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa permasalahan pengawas sekolah bukan hanya berkaitan dengan lemahnya kompetensi yang harus dimiliki tetapi juga perlunya pengembangan dan pemberdayaan pengawas sekolah yang optimal dan profesional. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa upaya. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang mampu memenuhi kompetensi supervisi akademik pengawas sekolah.

Pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas sebagai supervisor akademik idealnya menjadi panutan dan teladan para guru, karena keberadaan pengawas sekolah di tengah-tengah mereka menjadi inspirator bagi guru untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan tugas pokoknya. Realitanya, masih banyak pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas ini belum optimal dan belum berdampak pada peningkatan kualitas proses pembelajaran.

Mukhtar dan Iskandar (2009:39) mengatakan bahwa pelaksanaan supervisi akademik oleh pengawas di sekolah belum efektif sehingga belum memberi kontribusi yang memadai untuk meningkatkan mutu layanan belajar, alasan


(23)

utamanya bertumpu pada dua hal yaitu pertama beban kerja pengawas terlalu berat, kedua latar belakang pendidikan mereka kurang sesuai dengan bidang studi yang disupervisi. Akibatnya, di lapangan beberapa guru merasakan kehadiran pengawas di tengah-tengah mereka tidak dapat membantu memperbaiki dan mengatasi kesulitan guru dalam melaksanakan tugas pengajaran yang dihadapinya. Bahkan dalam praktiknya pengawas lebih sering menekankan pada tanggung jawab administratif guru. Artinya dalam melaksanakan supervisi akademik pengawas hanya memeriksa kelengkapan administrasi pengajaran guru. Kondisi ini tentunya memerlukan kepedulian semua pihak, khususnya optimalisasi peran tugas Pusbangtendik yang memiliki kewenangan dalam pembina pengawas sekolah.

Pelaksanaan supervisi akademik semestinya juga dilakukan berdasarkan data, fakta dan informasi yang objektif dan ditunjang dengan prinsip kolaborasi dan hubungan kesejawatan antara pengawas sekolah, guru dan kepala sekolah dengan menjunjung tinggi harga diri dan martabat masing-masing. Karena suasana dan berhubungan yang dibangun secara akrab dan hangat atas dasar saling menghargai dan menghormati dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan supervisi akademik sehingga dapat mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hal ini senada dengan hasil penelitian Awuah (2011:202) tentang bentuk supervisi pembelajaran yang diminati oleh guru dan kepala sekolah, yaitu:

“...nature of supervision of instruction desired by both teachers and heads can be characterised as considerably more contemporary than currently experienced (administrative and managerial roles) than aspects of instructional supervision that related to monitoring teaching activities and ensuring

maximum use of instructional time.”

Hasil penelitian ini mengingatkan bahwa bentuk supervisi yang diminati oleh guru dan kepala sekolah adalah supervisi kontemporer yang lebih menekankan pada pada aspek proses pembelajaran, memonitor bagaimana aktivitas pengajaran, dan meyakinkan bagaimana menggunakan waktu pembelajaran secara maksimum.


(24)

Kemdikbud menunjukkan bahwa Pusbangtendik merupakan bagian dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis, koordinasi, dan pengembangan tenaga kependidikan dan pegawai di lingkungan Kementerian. Dalam konteks melaksanakan tugas berkaitan dengan pengawas sekolah sebagai salah satu tenaga kependidikan, Pusbangtendik menyelenggarakan fungsi, diantaranya:

(a)penyusunan kebijakan teknis di bidang pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah; (b) penyusunan program pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah; (c) penyusunan bahan pelaksanaan pengembangan tenaga kependidikan; (d) fasilitasi pelaksanaan pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah; (e) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah.

Dengan demikian program pelatihan pengawas sekolah merupakan salah satu kewenangan dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh Pusbangtendik. Kewenangan ini merupakan tugas dari Bidang Pengembangan Tenaga Teknis dan Fungsional Non-Pendidik, karena menurut tugas pokok dan fungsinya Bidang tersebut mempunyai tugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan program pengembangan tenaga teknis dan fungsional nonpendidik serta bahan koordinasi, fasilitasi, dan evaluasi pelaksanaan pengembangan tenaga teknis dan fungsional nonpendidik. Bidang ini secara rinci menyelenggarakan fungsi: (a) penyusunan bahan kebijakan teknis; (b) penyusunan program; (c) penyusunan bahan koordinasi dan pelaksanaan; (d) fasilitasi pelaksanaan; (e) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program; dan (e) penyusunan laporan pelaksanaan program.

Berdasarkan tugas, kewenangan dan tanggung jawab tersebut, permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pengawas sekolah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Pusbangtendik beserta bidang dan seksi yang relevan lainnya untuk memcahkan solusi seperti masih lemahnya kompetensi supervisi akademik yang dimiliki oleh pengawas sekolah.

Solusi-solusi yang sedang dilakukan untuk menyelasaikan masalah kurangnya kompetensi supervisi akademik dan permasalahan lainnya adalah dengan


(25)

mengoptimalkan dan meningkatkan kegiatan-kegiatan pelatihan pengawas sekolah dengan fokus pada tujuan, materi dan strategi yang belum banyak tersentuh sesuai kebutuhan pengawas sekolah, di antaranya adalah (1) pengembangan silabus dan kurikulum pelatihan pengawas sekolah; (2) pengembangan bahan ajar peningkatan kompetensi supervisi akademik; (3) pengembangan tes kompetensi dan pemetaan kompetensi pengawas; (4) memperbanyak pelatihan untuk pelatih (training of trainer) untuk meningkatkan kualitas pelatihan pengawas; (5) pengembangan sistem penilaian kinerja pengawas sekolah dan pemetaannya; dan (6) pengembangan kebijakan pengembangan keprofesian berkelanjutan pengawas sekolah; serta (7) program induksi bagi pengawas sekolah pemula. (Grand Desain Pengembangan Pengawas Sekolah, Pusbantendik 2011:5).

Perubahan paradigma dalam pengawasan sekolah patut mendapat perhatian, karena banyak pengawas yang belum mendapatkan kesempatan untuk menerima wawasan dan keterampilan baru dalam praktek pengawasan sekolah melalui pendidikan dan pelatihan kepengawasan seperti pelatihan yang dilaksanakan oleh Pusbantendik. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga tersebut dibanding dengan jumlah pengawas sekolah yang ada.

Berkaitan dengan tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, pemerintah mengluarkan kebijakan melalui PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP, dan disusul dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Kebijakan ini berimplikasi pada semakin menantangnya peran semua pihak yang terlibat dalam praktek pendidikan baik pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru serta tenaga kependidikan lainnya dalam pengembangan kurikulum. Kepala sekolah dan guru tidak hanya sebagai pelaksana kurikulum melainkan juga menjadi pengembang kurikulum pada tingkat satuan pendidikan masing-masing yang tentunnya di bawah pembinaan, pemantauan dan penilaian pengawas sekolah.


(26)

Kompetensi Pengawas, Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah dan Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam meningkatkan kinerja pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ketiga peraturan ini berisi dimensi-dimensi kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh pengawas, kepala sekolah dan guru untuk melakukan tugas pokok masing-masing.

Kompetensi yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru di atas saling berkorelasi antara satu dan lainnya baik dilihat dari substansi maupun hierarki. Secara substansi masing-masing kompetensi pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru memiliki esensi yang sama, sedangkan secara hierarki pengawas sekolah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kepala sekolah, demikian juga kedudukan kepala sekolah lebih tinggi dari guru. Dengan demikian pengawas sekolah memiliki peran untuk meningkatkan kompetensi kepala sekolah dan kepala sekolah memiliki peran untuk meningkatkan kompetensi guru, dan akhirnya guru memiliki peran untuk meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Korelasi-korelasi tersebut dapat digambarkan dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 1.1 Korelasi Kompetensi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa

Sumber: Direktorat Tenaga Kependidikan, Depdiknas (Ditendik, 2010b:10). Gambar tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dan peran


(27)

pengawas sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Tentunya jika masih terdapat masalah yang berkaitan dengan kompetensi pengawas sekolah akan memiliki dampak kompetensi kepala sekolah, guru, dan siswa. Hal ini juga akan berdampak pada upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Berkaitan dengan lemahnya kompetensi yang dimiliki oleh pengawas sekolah serta korelasi kompetensi dengan tenaga pendidik dan kependidikan lainnya diperlukan adanya upaya peningkatan kompetensi pengawas sekolah di antaranya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan prajabatan (preservice training) maupun pendidikan dalam jabatan (inservice training). Oleh karena itu, sesuai dengan tugas pokoknya, Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan (Pusbangtendik) memiliki tugas menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi pengawas sekolah dan tenaga kependidikan lainnya harus mengoptimalkan peran sentral tersebut untuk menghasilkan pengawas sekolah yang professional yang ditandai dengan terpenuhinya kompetensi yang dibutuhkan oleh pengawas tersebut dalam melakukan tugas pokoknya.

Kaitan dengan analisis kebutuhan yang menjadi dasar penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan, khususnya dalam menentukan tujuan pelatihan, proses menentukan kurikulum pelatihan tersebut paling tidak mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dasar belajar (basic learning needs) peserta pendidikan dan pelatihan. Kebutuhan dasar tersebut menurut UNESCO tahun 1996 meliputi esential learning tools yang lengkapnya berbunyi

These needs comprise both essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values, and attitudes) required by human beings to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make

informed decisions and to continue learning” (UNESCO, 1996:1).

Hal tersebut di atas sesuai dengan pernyataan pentingnya basic learning needs yang telah menjadi isu utama dalam Konferensi Internasional tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) tahun 1990 di Thailand.


(28)

mendesain suatu kurikulum pelatihan harus mempertimbangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh jabatan atau jenis profesi tertentu, seperti kompetensi yang dibutuhkan oleh jabatan fungsional pengawas sekolah, dengan harapan hasil pelatihan akan meningkatkan profesionalisme dan kinerja pengawas sekolah tersebut.

Dalam tataran implementasi, kurikulum pelatihan harus mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan proses metode dan pendekatan pembelajaran. Salah satunya adalah aspek karakteristik peserta pelatihan. Karakteristik peserta ini akan berimplikasi pada pemilihan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan.

Sehubungan dengan peserta pelatihan pengawas sekolah pada umumnya adalah orang dewasa, pengembangan pendekatan pembelajaran sebagai bentuk implementasi desain kurikulum pelatihan harus mengacu pada pendekatan pembelajaran andragogi. Dalam pandangan Sims & Sims seperti dikutip Chaves (2006:148) pendekatan andragogi (androgogical approaches) dalam pembelajaran

adalah “based on the learners’ needs and interests so as to create opportunities for

the learners to analyze their experience and its application to their work and life”.

Selanjutnya Chaves (2006:148) menyatakan bahwa ada sembilan karakteristik yang menjadi pembeda pembelajaran orang dewasa (andragogy) yaitu:

“(1) peserta didik disebut partisipan atau pembelajar (learner), (2) cara belajar bersifat otonom dan mandiri, (3) tujuan pembelajaran bersifat fleksibel, (4) diasumsikan bahwa setiap peserta didik dapat berkontribusi sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya, (5) mempergunakan metode pembelajaran aktif, (6) peserta didik memberikan pengaruh terhadap kecepatan proses pembelajaran dalam konteks a leaner-centered approach, (7) keterlibatan peserta didik menjadi kunci utama keberhasilan, (8) pembelajaran berpusat pada problem kehidupan nyata, (9) peserta didik dipandang sebagai sumber yang utama pengembangan ide dan contoh-contoh.” (Chaves, 2006:148).

Mengacu kepada karakteristik pembelajaran orang dewasa di atas, suatu aktifitas pelatihan seperti pelatihan pengawas sekolah perlu ditunjang dengan keterampilan belajar (learning skill). Peserta pelatihan yang memiliki keterampilan belajar akan mampu melaksanakan proses pembelajaran yang lebih efektif dan efisien, serta mampu memenuhi tugas dan penilaian yang diberikan dalam pelatihan.


(29)

Selain itu tujuan dan konten atau materi kurikulum pelatihan ini tidak hanya mencakup aspek materi pelatihan, tetapi juga mencakup sistem penyampaian materi pelatihan yang harus diprogramkan dan dilaksanakan. Sehingga materi dan sistem pelatihan ini benar-benar bermakna untuk penyegaran, penguatan dan peningkatan bahkan pembentukan kompetensi baru yang bermanfaat bagi pengawas sekolah ketika melaksanakan tugas pokoknya.

Sesuai dengan konsep Competency Approach to Human Resource Management atau pengelolaan sumber daya manusia dengan pendekatan kompetensi, kompetensi yang harus dikembangkan dalam rangka meningkatkan kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya meliputi aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap, sebagaimana dikemukakan dalam gambar berikut:

Gambar 1.2 Korelasi Kompetensi dan Kinerja

Sumber: www.http:xa.yimg.com

Dengan demikian tingkat kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok supervisi akademik, sangat tergantung pada pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki pengawas sekolah tersebut.


(30)

komprehensif dengan mengacu pada tuntutan dan kebutuhan peningkatan kompetensi pengawas sekolah sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada. Berdasarkan Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Penguatan Kemampuan Pengawas Sekolah tahun 2010 dinyatakan bahwa:

(1)Fokus tujuan pelatihan penguatan pengawas sekolah belum memenuhi semua kompetensi yang dibutuhkan oleh pengawas sekolah, khususnya aspek kompetensi supervisi akademik secara utuh sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan melalui Permendiknas No. 12 Tahun 2007; dan (2) alokasi waktu yang masih kurang untuk peningkatan supervisi akademik dibanding dengan materi pelatihan lainnya. (Ditendik, 2010:9)

Hal ini menunjukkan perlu adanya kajian ulang terhadap kurikulum pelatihan penguatan pengawas yang ada di Pusbangtendik, dengan harapan dapat dihasilkan suatu tahapan atau proses pengembangan kurikulum dan dokumen kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah yang mampu dengan secara efektif dan efisien dapat diserap dengan mudah oleh seluruh peserta pelatihan penguatan pengawas sekolah secara langsung, dan dapat memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh pengawas sekolah.

Tahapan tersebut tentunya harus mengacu pada model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli. Salah satu model yang relevan dengan pendapat para ahli pelatihan adalah perencanaan kurikulum yang diajukan oleh Taba (1962:12) dalam bukunya Curriculum development: theory and practice

yang terdiri dari tujuh langkah linier dalam perencanaan kurikulum, yaitu:

“...(1) diagnosis of the needs, (2) formulation of objectives, (3) selection of

content, (4) organization of content, (5) selection of learning experiences, (6) organization of learning experiences, dan (7) determination of what to evaluate and of ways and means of evaluating.”

Dengan demikian, kurikulum pelatihan perlu dikembangkan berdasarkan tahapan yang dimulai dari diagnosis atau analisis kebutuhan, merumuskan tujuan, seleksi materi, organisasi materi, seleksi pengalaman belajar, organisasi pengalaman belajar, dan menentukan apa yang dievaluasi dan cara serta alat evaluasinya.

Terdorong oleh keinginan untuk memeroleh gambaran dan mempelajari lebih jauh tentang proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah


(31)

mampu memenuhi kompetensi supervisi akademik yang dibutuhkan oleh pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokoknya, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: ”Proses Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik” yang dilaksanakan di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud.

B. Fokus Kajian Penelitian

Sebagai mana dijelaskan pada bagian latar belakang di atas, penelitian ini berfokus pada kajian proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah di Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud. Fokus kajian penelitian ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian sebelumnya dan beberapa hasil identifikasi masalah yang bersumber dari laporan dan beberapa panduan pelatihan pengawas sekolah sebelumnya yang dilakukan lembaga di lingkungan Kemdikbud dan lembaga terkait lainnya seperti PPPPTK dan LPMP, misalnya Panduan Peningkatan Kompetensi Pengawas Sekolah dalam Pembimbingan Guru, Ditendik, Dirjen PMPTK, Depdiknas tahun 2009, Panduan Diklat Pengawas Sekolah, Dirjen PMPTK, LPMP Jabar tahun 2010, Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Penguatan Kemampuan Pengawas Sekolah tahun 2010, Panduan Fasilitasi Bimtek Pengawas Sekolah, Dirjendikdas, Kemdiknas tahun 2011 ditemukan bahwa:

1. Pelatihan pengawas sekolah belum memberikan dampak yang signifikan pada peningkatan kompetensi pengawas sekolah, khususnya supervisi akademik. 2. Desain kurikulum pelatihan pengawas sekolah belum merepresentasikan

kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah dalam melakukan tugas pokok supervisi akademik yang spesifik.

3. Perencanaan dan pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah belum mengacu pada kebutuhan pengawas sekolah yang sesungguhnya untuk melakukan tugas pokoknya karena belum diawali dengan analisis kebutuhan


(32)

pelatihan secara khusus.

4. Model dan strategi pembelajaran kegiatan pelatihan pengawas sekolah belum efektif dan efisien untuk menunjang pencapaian tujuan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi yang utuh karena cenderung lebih menekankan pada aspek pengetahuan melalui paparan.

5. Tujuan pelatihan pengawas sekolah belum memenuhi semua kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan stander kompetensi yang telah ditetapkan, khususnya kompetensi supervisi akademik.

6. Kegiatan pelatihan pengawas sekolah belum banyak diikuti dengan follow up dan

feedback seperti prinsip In Service Learning 1 - On the Job Learning - In Service Learning 2.

7. Evaluasi pelatihan belum dilakukan secara komprehensif pada kompetensi tertentu, khususnya supervisi akademik.

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas diperlukan proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang efektif, efisien, komprehensif, dan berkelanjutan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas pokok dan untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja dan produktifitas pengawas sekolah. Oleh karena itu dibutuhkan kajian khusus berkenaan dengan pokok permasalahan tersebut di atas, di antaranya sebagai berikut: 1. Untuk memenuhi kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah dalam

melaksanakan tugas pokoknya, perlu kajian tentang proses Training Need Assessment(TNA) kurikulum pelatihan pengawas sekolah.

2. Untuk meningkatkan kebermaknaan dan pedoman arah pelatihan, perlu dikaji tentang rumusan tujuan kurikulum pelatihan pengawas sekolah, khusunya untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik.

3. Untuk kesesuaian pelaksanaan pelatihan dan kebutuhan pengawas sekolah dalam melaksanakan tugasnya, diperlukan kajian terhadap kecukupan dan pengembangan materi pelatihan kurikulum pelatihan pengawas sekolah.


(33)

tujuan kurikulum pelatihan yang digunakan, dibutuhkan kajian terhadap strategi implementasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah.

5. Untuk meningkatkan dampak dan relevansi hasil pelatihan pengawas, dibutuhkan analisis prosedur evaluasi dan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan pelatihan pengawas sekolah sesuai dengan kurikulum pelatihan yang digunakan.

Berdasarkan kelima kajian tersebut di atas, diharapkan penelitian ini menghasilkan suatu gambaran yang utuh tentang proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, khususnya untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik pengawas sekolah yang dilakukan oleh Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud.

Fokus kajian dalam proses pengembangan proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik ini dibatasi pada uraian dimensi kompetensi supervisi akademik yang harus dimiliki pengawas sekolah sebagaimana tercantum Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah dan Madrasah.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan sebagaimana dipaparkan di atas, permasalahan pokok penelitian ini, dirumuskan dengan pertanyaan berikut:

“Bagaimana proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik di Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud?”

Untuk lebih memudahkan proses kajian terhadap pertanyaan penelitian tersebut, rumusan masalah penelitian tersebut dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses Training Need Assessment (TNA) kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?


(34)

pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

3. Bagaimanakah proses pengembangan materi pelatihan kurikulum pelatihan penguatan pengawas untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik? 4. Bagaimanakah proses implementasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas

sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

5. Bagaimanakah proses evaluasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

D. Tujuan penelitian

Beranjak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memperoleh gambaran tentang proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik yang dilakukan di Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan fenomena tentang:

1. Proses Training Need Assessment (TNA) pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik.

2. Proses perumusan tujuan pelatihan pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik.

3. Proses pengembangan materi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah; untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik.

4. Proses implementasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik;

5. Proses evaluasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik;

E. Manfaat Penelitian


(35)

signifikan dalam peningkatan standar kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah, dalam melaksanakan tugas pokoknya, khususnya kompetensi supervisi akademik yang akan meningkatkan kinerja pengawas sekolah dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran guru. Oleh karena itu hasil temuan penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap aspek-aspek berikut:

1. Aspek pengembangan ilmu pengetahuan

Bagi aspek pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan bahan pemikiran tentang konsep dan teori pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dalam meningkatkan kompetensi yang diperlukan dalam melakanakan tugas pokoknya yang dapat diaplikasikan dalam training need Assessment, perumusan tujuan, pengembangan materi, implementasi, serta evaluasi kurikulum pelatihan pengawas.

2. Aspek manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan praktis dalam menyusun panduan, mekanisme, prosedur pengembangan, implementasi dan evaluasi kurikulum pelatihan pengawas sekolah sekaligus dapat menjadi kebijakan bagi Badan PSDMPK&PMP dan lembaga di bawahnya seperti LPMP dan PPPPTK serta lembaga penyelenggara pendidikan pelatihan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kebupaten/Kota serta institusi terkait lainnya dalam proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokoknya yang terinci diawali proses analisis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan materi, strategi implementasi, sampai dengan prosedur atau metode evaluasinya.

3. Aspek pengembangan penelitian

Kaitan dengan aspek pengembangan penelitian, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan informasi untuk kegiatan penelitian relevan selanjutnya.


(36)

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini diuraikan dalam bentuk laporan penelitian dengan struktur organisasi komponen disertasi sebagai berikut:

1. BAB I : Pendahuluan 2. BAB II : Kajian Pustaka 3. BAB III : Prosedur Penelitian

4. BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan


(37)

Darwis, 2014

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi konsep, teori, hasil penelitian terdahulu, dan posisi teoritik atau kerangka pikir peneliti berkaitan dengan pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan supervisi akademik yang meliputi dua cakupan pokok yaitu pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dan kompetensi supervisi akademik yang masing-masing diuraikan dalam beberapa sub sebagai berikut:

A. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah 1. Pengertian Kurikulum Pelatihan

Memahami pengertian kurikulum pelatihan tidak lepas dari makna dasar kurikulum dan pelatihan itu sendiri. Secara sempit kurikulum dapat diartikan sebagai curere (pelari) dan dapat pula diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh seorang pelari (Print,1993:111). Implikasi pengertian tersebut dalam dunia pelatihan dapat diartikan menjadi sejumlah mata tatar atau materi pelatihan yang harus ditempuh oleh seorang peserta pelatihan dari awal sampai akhir program pelatihan untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk pengakuan status misalnya melalui pemberian sertifikat. Dengan demikian pengertian ini memberikan indikasi bahwa setiap kurikulum pelatihan setidaknya memiliki dua komponen utama, yaitu (1) adanya struktur kurikulum yang harus ditempuh oleh peserta dan (2) adanya tujuan utama yaitu untuk mendapatkan pengakuan status pencapaian pelatihan itu sendiri.

Secara umum kegiatan pelatihan merupakan upaya pembelajaran yang diselenggarakan oleh organisasi baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Pengertian ini didasarkan pada definisi yang dikemukakan oleh Friedman & Yarbrough (1985) dalam Sudjana (2006:132)

bahwa: “Training is a process used by organization to meet their goals. It is called into operation when a discrepancy is perceived between the current situation and a


(38)

Darwis, 2014

Proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

preferred state of affairs”.

Dilihat dari dampak dan manfaat pelatihan, definisi ini juga memberikan pemahaman bahwa sebuah pelatihan dianggap berhasil bila bisa memberi dampak perubahan bagi peserta pelatihan sesuai dengan tuntutan organisasi. Sudjana (2006:137) mengatakan bahwa pelatihan harus berdampak pada perubahan sumber daya manusia dan membawa realitas sumber daya manusia saat ini kepada sebuah realitas sumber daya manusia yang seharusnya diinginkan oleh organisasi. Ini artinya bahwa peran pelatih pada proses pelatihan adalah membantu membelajarkan peserta pelatihan agar dapat merubah apa yang biasanya ditampilkan pada saat ini menjadi perilaku yang seharusnya sesuai dengan harapan lembaga. Hal ini senada dengan bunyi Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 Sistem Pelatihan Kerja Nasional bahwa pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

Ivancevich (2008:45) mengemukakan bahwa “...pelatihan adalah sebuah

proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang atau sekelompok pegawai

dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi”. Pelatihan berkaitan dengan tugas

pokok jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, dengan tujuan untuk membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik agar berhasil dalam pekerjaannya. Sedangkan dilihat dari tahapannya, Mangkunegara (2005:9) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pelatihan dan pengembangan meliputi:

“(1) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan/need assesment; (2) menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan; (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya; (4) menetapkan metode pelatihan; (5) mengadakan percobaan (try out)

dan revisi; dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi.”

Dalam kaitan dengan tujuan, Mathis dan Jackson (2002:309) mengemukakan bahwa pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan lembaga. Dengan demikian logikanya


(39)

pelatihan memfasilitasi pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui, sikap serta keterampilan sesuai dengan tuntutan pekerjaan mereka. Selain itu, Bisa juga untuk memfasilitasi secara individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya yang sesuai dengan kondisi apapun.

Buckley & Caple, (2004:5) mendefinisikan bahwa pelatihan (training)

adalah sebagai:

“A planned and systematic effort to modify or develop knowledge/skill/attitude through learning experience, to achieve effective performance in an activity or range of activities. Its purpose, in the work situation, is to enable an individual to acquire abilities in order that he or she can perform adequately a given task or job.”

Kata kunci dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa pelatihan merupakan usaha yang sistematis dan terencana untuk memodifikasi atau mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap melalui proses pembelajaran berdasarkan pengalaman, guna meningkatkan performa yang lebih efektif dari suatu kegiatan atau beberapa kegiatan. Tujuan ini diperoleh dalam situasi kerja yang memberi dan menyediakan seorang peserta mendapatkan kemampuan untuk meningkatkan penguasaan terhadap tugas yang diberikan secara memadai. Konseweksinya, suatu pelatihan memerlukan pengelolaan yang sistematis. Pengeloaan tersebut mengacu kepada model dasar yang banyak dikembangkan para ahli. Salah satunya adalah model yang diperkenalkan Buckley & Caple (2004:25) seperti nampak dalam gambar berikut:


(40)

Gambar 2.1 Model Dasar Pendekatan Sistematis pada Pelatihan Sumber: Buckley & Caple (2004:25)

Dari model dasar ini kemudian Buckley dan Caple mengidentifikasi 14 tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam pengelolaan pelatihan (training). Tahapan-tahapan tersebut adalah:

“(1) membangun rujukan program (establish terms of reference), (2) melakukan investigasi lanjut (further investigation), (3) analisis terhadap pengetahuan, ketarampilan dan sikap yang dibutuhkan (knowledge, skills and attitudes analysis), (4) analisis terhadap target peserta (analysis of the target population), (5)analisis kebutuhan materi pelatihan (training needs and content analysis), (6) mengembangkan kriteria pengukuran (develop criterion measures), (7) menyiapkan tujuan pelatihan (prepare training objectives), (8) memilih prinsip pembelajaran dan motivasi (consider principles of learning and motivation), (9) memilih metode training (consider and select training methods), (10) mendesain percontohan program pelatihan (design and pilot training, (11) melaksanakan program pelatihan (deliver the training),(12) melakukan validasi internal (internal validation), (13)dan(14)mengaplikasikan dan proses monitoring eksternal program pelatihan (application and external monitoring of training) (Buckley & Caple, 2004:27-33).”

Keempat belas tahapan tersebut oleh Buckley & Caple digambarkan dalam model sistematik berikut:


(41)

Model yang terdiri empat belas tahapan ini pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan proses pengembangan kurikulum yang memiliki empat tahapan inti, yaitu penentuan tujuan, isi, metodologi dan evaluasi. Dengan demikian model ini juga dapat disederhanakan menjadi empat tahapan pokok yang meliputi; persiapan, desain program, pelaksanaan program dan evaluasi program pelatihan.

Kaitan dengan pelatihan pengawas sekolah, pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme pengawas sekolah yang dapat dicirikan dengan meningkatnya kompetensi dan kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, khususnya dalam proses pembinaan, pemantauan dan penilaian kinerja pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Kinerja ini juga harus sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan. Misalnya bunyi Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/Madrasah yang menyatakan bahwa kompetensi pengawas terdiri dari enam dimensi kompetensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi akademik, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian pengembangan, dan kompetensi sosial. Selanjutnya keenam kompetensi

Gambar 2.2 Model tahapan sistematik pengelolaan pelatihan


(42)

tersebut diuraikan lagi menjadi tiga puluh enam sub dimensi yang merupakan langkah operasional yang harus dilakukan oleh seorang pengawas sekolah. Karenanya dalam proses pelatihan, diperlukan desain kurikulum yang memiliki akurasi dan relevansi yang mengacu pada standar kompetensi tersebut.

Pada dasarnya kurikulum pelatihan didesain seperti halnya kurikulum pada umumnya yang mencakup empat komponen utama sebagaimana yang dikemukakan oleh Tyler (1949:1), yaitu:

“(1)What educational purposes the schools seek to attain? (2) What educational experiences can be provided that is likely to attain these purposes? (3) How can these educational experiences be effectively organized? (4) How can we determine whether these purposes are being attained?”

Jawaban keempat pertanyaan mendasar tersebut selanjutnya lebih dikenal juga dengan istilah anatomi kurikulum, yaitu: (1) tujuan (aims, goals, objective); (2) isi materi (content); (3) kegiatan belajar (learning activities); (4) evaluasi

(evaluation) (Zais,1976:295). Komponen-komponen tersebut dirancang tidak berdiri sendiri melainkan satu sama lain saling terkait dan saling terintegrasi secara sinergis dan memiliki sinkronisasi dan tingkat relevansi yang tinggi. Implikasinya, pengembangan kurikulum pelatihan harus memperhatikan sejumlah prinsip pengembangan kurikulum.

Berkaitan dengan prinsip pengembangan kurikulum, Sukmadinata (2002:150-151) menawarkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok yaitu prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Prinsip umum terdiri dari relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Sedangkan prinsip khusus berkenaan dengan tujuan pendidikan, pemilihan isi pendidikan, pemilihan proses belajar mengajar, pemilihan media dan alat pelajaran, dan pemilihan kegiatan penilaian. Dengan demikian prinsip relevansi merupakan aspek utama yang harus mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum.

2. Pengembangan Kurikulum


(43)

kegiatan yang memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang akurat terhadap berbagai komponen kurikulum dan aspek yang mempengaruhi proses pengembangan kurikulum, seperti analisis kebutuhan, perumusan tujuan, materi, strategi pelaksanaan dan evaluasinya serta pertimbangan terhadap berbagai tuntutan lain, seperti kondisi sosial budaya, psikologis, tuntutan perkembangan teknologi dan tuntutan kemajuan jaman lainnya.

Unruh & Unruh (1984:97) menyatakan bahwa proses pengembangan kurikulum “...a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve.” Hal ini menunjukkan, bukan hanya komponen kebutuhan, tujuan serta kegiatan pembelajaran yang harus dipertimbangkan tetapi juga faktor lainnya seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Selain pengembangan kurikulum itu merupakan proses yang kompleks, Oliva (1992:39-41) bahwa “curriculum is a product of its time. Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history.” Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum merupakan hasil perjalanan waktu dan responsif serta berubah sesuai dengan kondisi sosial, filisofis, psikologis, perkembangan ilmu pengetahuan dan kepemimpinan pendidikan sesuai dengan perkembangan sejarah atau jamannya.

Longstreet & Shane (1993:87) mengemukakan bahwa aspek sosial budaya memiliki peran yang sangat signifikan. Fungsi tersebut dapat dilihat dari dua perspektif yaitu eksternal dan internal:

“The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our


(44)

swiftly changing, current realities”.

Dari pendapat tersebut dapat teridentifikasi bahwa lingkungan kurikulum secara eksternal sejauh ini merupakan tatanan sosial perlu dipertimbangkan secara umum di mana lingkungan sekolah beroperasi, sedangkan secara internal membawa pemikiran kita tentang bagaimana sekolah harus berfungsi dan bagaimana kurikulum seharusnya. Juga, lingkungan eksternal penuh konsepsi yang berbeda namun terbuka tentang apa yang seharusnya dilakukan sekolah. Sedangkan, lingkungan internal bisa merupakan kecenderungan pandangan tanpa disadari sering menyimpang dari realitas pendidikan sering dipengaruhi oleh pola pikir budaya kita sendiri tentang apa yang seharusnya, bukan oleh cepatnya perubahan yang terjadi atau realitas saat ini. Hal ini menunjukan dalam proses pengembangan kurikulum, unsur-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada harus mendapat perhatian dan pertimbangan utama. Walau terkadang, karena isu dan sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks sosial-budaya tersebut sering terlupakan. Pengertian pengembangan kurikulum banyak yang membedakan antara apa yang direncanakan atau kurikulum sebagai dokumen dengan kurikulum sebagai apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Lepas dari banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan dan perbadaan ini, banyak juga ahli kurikulum yang menganut pendapat eksistensi perbedaan antara keduanya.

Dalam konteks kurikulum sebagai rencana, dalam implementasinya mungkin terlaksana sesuai rencana tapi mungkin juga tidak sesuai rencana. Disisi lain, realitas yang terjadi di tempat pembelajaran adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Implikasinya, penelaahan suatu pengembangan kurikulum harus dipandang secara utuh, baik menggunakan cara pandang kelompok ahli kurikulum dengan ahli pembelajaran, karena baik ahli kurikulum maupun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda. Perbedaan titik pandang ini berpengaruh penggunaan model pengembangan kurikulum yang akan digunakan.


(45)

Proses pengembangan kurikulum paling sering banyak menggunakan pandangan pengembangan kurikulum sebagai pengembangan rencana. Dalam konteks ini langkah awal pengembangan kurikulum lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam mempelajari disiplin ilmu tertentu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya dan juga mempertimbangkan masalah yang mungkin muncul di masyarakat atau pandangan tentang bagaimana kondisi dan tuntutan masyarakat di masa yang akan datang.

Proses pengembangan kurikulum dilakukan berdasarkan tindak lanjut dari sebuah proses evaluasi terhadap seluruh tahapan pengembangan kurikulum itu sendiri. Salah satu model pengembangan kurikulum berbasis evaluasi ini ditawarkan oleh Hasan (2008:67). Dia menyatakan bahwa proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.

Salah satu proses pengembangan kurikulum secara keseluruhan proses dapat digambarkan sebagai berikut:


(46)

Gambar 2.3 Proses Pengembangan Kurikulum Sumber: Hasan (2008)

Gambar di atas mengisyaratkan bahwa konteks pengembangan kurikulum tidak sebatas menghasilkan sesuatu yang baru, tetapi bisa juga merupakan perbaikan dan pengembangan dari hasil evaluasi terhadap aspek-aspek atau tahapan-tahapan kurikulum yang ada. Hal ini dikarenakan pengembangan kurikulum mempunyai makna yang cukup luas, menurut Sukmadinata (2002:150) bahwa pengembangan kurikulum bisa berarti penyusunan kurikulum yang sama sekali baru (curriculum construction), bisa juga menyempurnakan kurikulum yang telah ada (curriculum improvement).

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum adalah berbagai bentuk atau model yang nyata dalam penyusunan kurikulum yang baru ataupun penyempurnaan kurikulum yang telah ada. Namun, dalam pengembangan kurikulum ini tentunya tidak dapat lepas dari berbagai faktor maupun asfek yang mempengaruhinya, seperti cara berpikir, sistem nilai (nilai moral, keagamaan, politik, budaya, dan sosial), proses pengembangan kebutuhan peserta didik, ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran, kebutuhan masyarakat maupun arah program pendidikan.


(1)

P: Prinsip-prinsip apa saja yang digunakan dalam pengembangan materi kurikulum pelatihan?

R: Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan materi kurikulum pelatihan adalah prinsip pengembangan kurikukum secara umum yaitu prinsip relevansi Artinya relevan dengan tuntutan kebijakan, kebutuhan, serta keterpaduan antar komponen kurikulum, dan efektif dalam mencapai tujuan.

2) Landasan pengembangan materi kurikulum pelatihan

P: Landasan apa saja yang digunakan dalam pengembangan materi kurikulum

pelatihan?

R: Landasan yang digunakan dalam pengembangan materi kurikulum pelatihan mengacu pada tujuan serta mempertimbangkan pandangan para ahli di bidang yang relevan.

3) Mekanisme pengembangan materi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana mekanisme pengembangan materi kurikulum pelatihan?

R: Mekanisme pengembangan materi kurikulum pelatihan melalui penjabaran dan menterjemahkan tujuan pelatihan kedalam materi yang diperlukan.

4) Pengorganisasian materi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana pengorganisasian materi kurikulum pelatihan?

R: Pengorganisasian materi kurikulum pelatihan terdiri dari materi umum, inti dan penunjuang sebagaimana tercantum dalam pedoman pelatihan.

b. Proses pengembangan materi kurikulum pelatihan

1) Metode pengembangan materi kurikulum pelatihan

P: Metode apa yang yang digunakan dalam pengembangan materi kurikulum

pelatihan?

R: Metode yang digunakan dalam pengembangan materi kurikulum melalui pembagian tugas setelah ada komitmen apa tugas yang dikerjakan, misalnya komitmen tentang outline, dan jadwal mengumpulkan draft.

2) Tahapan pengembangan materi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana tahapan pengembangan materi kurikulum pelatihan?

R: Tahapan pengembangan materi kurikulum pelatihan dilakukan melalui tahapan drafting, revisi, draft final.

c. Produk pengembangan materi kurikulum pelatihan

1) Struktur materi kurikulum pelatihan pengawas

P: Bagaimana struktur materi kurikulum pelatihan pengawas?

R: Struktur materi kurikulum pelatihan pengawas disusun secara utuh dalam tiga ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Materi ini diklasifikasikan dalam materi umum, materi initi dan meteri penunjang sebagaimana diuraikan dalam pedoman pelatihan.

2) Identifikasi prediksi dampak dari materi kurikulum pelatihan.

P: Bagaimana cara memprediksi dampak dari materi kurikulum pelatihan yang telah

dikembangkan dan apa saja indikatornya?

R: Cara memprediksi dampak dari materi kurikulum perancangan dan diskusi pengembangan dengan merealisakannya dalam instrumen post test dan peniliaian pengamatan peserta. Indikator yang bisa menggambarkan dampak hasil pelatihan adalah tersampaikannya pengalaman belajar yang meliputi ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun tidak sampai detail mengacu pada seluruh


(2)

taksonomi.

4. Strategi Implementasi Kurikulum Pelatihan:

a. Prinsip dan landasan implementasi kurikulum pelatihan

1) P: Prinsip-prinsip apa saja yang digunakan dalam implementasi kurikulum pelatihan?

R: Prinsip-prinsip yang digunakan dalam implementasi kurikulum pelatihan, selain prinsip relevansi, juga prinsip kepraktisan. Artinya relevan dengan tuntutan dan

kebutuhan, sesuai dengan materi yang dikembangkan, serta efektifdalam mencapai

tujuan dan efisien dari sisi tenaga dan biaya atau DIPA ketika pelatihan ini dilaksanakan.

2)

Landasan implementasi kurikulum pelatihan

P: Landasan apa saja yang digunakan implementasi kurikulum pelatihan?

R: Landasan yang digunakan dalam implemantasi kurikulum pelatihan adalah menjaga konsistensi dan relevansi dengan hasil perumusan tujuan dan

mempertimbangkan materi yang telah ditetapkan, serta waktu yang dialokasikan. 3) Perencanaan implementasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana perencanaan implementasi kurikulum pelatihan?

R: Perencanaan implementasi disesuaikan dengan anggaran, dan kegiatan di sekolah,

khususnya ketika melakukan On the Job Learning karena berkaitan dengan

kegiatan atau kalender sekolah.

b. Prosedur implementasi kurikulum pelatihan

1) Metode dan teknik implementasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana metode dan teknik implementasi kurikulum pelatihan?

R: Metode dan teknik implementasi kurikulum melalui prentasi, diskusi, portofolio, dan paparan laporan.

2) Tahapan oprasional implementasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana tahapan oprasional implementasi kurikulum pelatihan?

R: Tahapan oprasional implementasi kurikulum pelatihan sesuai dengan tahapan pada kegiatan In Service Learning Service 1, On the Job Learning, dan In Service Learning 2 dan upaya pemenuhan lembar kerja yang telah disusun dan tercantum dalam panduan pelatihan.

3) Optimalisasi aspek pendukung implementasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana proses optimalisasi aspek pendukung implementasi kurikulum

pelatihan?

R: Proses optimalisasi menggunakan fasilitas standar dan diserahkan kepada fasilitator dan nara sumber atau lembaga penyelenggara P4TK dan LPMP.

4) Strategi evaluasi implementasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana strategi evaluasi implementasi kurikulum pelatihan?

R: Strategi evaluasi implementasi kurikulum pelatihan melalui lembar kerja, test dan non test, instrumen keterlaksanaan pelatihan, instrumen pengamatan peserta dan nara sumber, instrumen pre test dan post test, dan lain-lain.

c. Peran serta lembaga penyelenggara dalam implementasi kurikulum

1) Pembagian tugas dan tanggungjawab lembaga penyelenggara

P: Bagaimana pembagian tugas dan tanggungjawab lembaga penyelenggara dalam


(3)

R: Pembagian tugas dan tanggungjawab lembaga penyelenggara sesuai dengan panduan pelatihan yang diberikan.

2) Penyusunan target setiap satuan tugas lembaga penyelenggara

P: Bagaimana penyusunan target setiap satuan tugas lembaga penyelenggara dalam implemetasi kurikulum pelatihan pengawas sekolah?

R: Penyusunan target setiap satuan tugas lembaga penyelenggara dalam implemetasi kurikulum pelatihan pengawas sekolah berdasarkan pedoman atau panduan yang disusun oleh Pusbangtendik agar lembaga penyelenggara pelatihan memiliki standar pelaksanaan yang sama.

5. Prosedur Evaluasi Kurikulum Pelatihan:

a. Prinsip dan landasan evaluasi kurikulum pelatihan.

1) Prinsip pengembangan evaluasi kurikulum pelatihan

P: Prinsip-prinsip apa saja yang digunakan dalam pengembangan evaluasi kurikulum

pelatihan?

R: Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan evaluasi kurikulum adalah prinsip relevansi dengan tujuan, dengan materi dan dengan pelaksanaan, selain mempertimbangkan prinsip penilaian secara umum, seperti prisip objektif, sahih dan berkelanjutan yang disusun melalui tahap drafting, revisi dan validasi.

2) Landasan evaluasi kurikulum pelatihan

P: Landasan apa saja yang digunakan dalam pengembangan evaluasi kurikulum

pelatihan?

R: Landasan yang digunakan dalam pengembangan evaluasi kurikulum pelatihan adalah tujuan, materi dan metode, dan bentuk evaluasi bervariasi sesuai dengan kegiatan In-On-In.

3) Mekanisme evaluasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana mekanisme evaluasi kurikulum pelatihan?

R: Mekanisme evaluasi kurikulum pelatihan sementara ini menggunakan instrumen pre test dan post test, lembar kerja, isntrumen evaluasi dampak kiklat.

4) Model evaluasi kurikulum pelatihan

P: Apa model evaluasi yang digunakan dalam kurikulum pelatihan?

R: Belum mempertimbangkan jenis model penilaian tertentu, yang penting dilakukan secara komrehensif, terpadu dan berkelanjutan.

5) Perencanaan jenis instrumen evaluasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana perencanaan jenis instrumen evaluasi kurikulum pelatihan?

R: Perencanaan jenis instrumen evaluasi kurikulum pelatihan dilakukan melalui diskusi, pembagian tugas kepada para pengembang kerikulum.

6) Indikator keberhasilan implementasi kurikulum pelatihan

P: Apa indikator keberhasilan implementasi kurikulum pelatihan?

R: Indikator keberhasilan implementasi kurikulum pelatihan dilihat dari data yang berkaitan dengan keterlaksanaan dan penggunaan instrumen pengamatan peserta, fasilitator, dan dampak diklat, laporan dan presentasi.

b. Prosedur evaluasi kurikulum pelatihan

1) Teknik evaluasi kurikulum pelatihan


(4)

R: Teknik evaluasi kurikulum pelatihan dilakukan dengan teknik yang bervariasi baik menggunkan tes dan non test, diantaranya tes tulis, penugasan, tes unjuk kerja, portofolio, penilaian diri , dan observasi.

2) Bentuk evaluasi kurikulum pelatihan

P: Bagaimana bentuk evaluasi kurikulum pelatihan?

R: Bentuk evaluasi kurikulum pelatihan yang digunakan dalam pelatihan penguatan pengawas sekolah dilakukan dengan cara pre test dan post test, lembar kerja, praktek lapangan, presentasi, laporan praktek, refleksi dan tindak lanjut, serta monitoring dan evaluasi.

3) Tahapan operasional evaluasi kurikulum

P: Bagaimana tahapan operasional evaluasi kurikulum?

R: Tahapan operasional evaluasi kurikulum melalui pre test-post test, lembar kerja, dampak diklat di lapangan.

c. Hasil evaluasi kurikulum pelatihan

1) Profil kompetensi peserta pelatihan

P: Bagaiman profil kompetensi peserta pelatihan?

R: Profil kompetensi peserta pelatihan dapat dilihat dari proses dan produk melalui instrumen penilaian, dan hasil analisis terhadap semua laporan penyelenggaraan. Dampak lain hasil pelatihan ini banyak pengawas sekolah yang mengajukan kenaikan angka kredit untuk angka kreditnya.

2) Tindak lanjut hasil evaluasi kurikulum pelatihan

P: Apa tindak lanjut hasil evaluasi kurikulum pelatihan?

R: Bentuk tindak lanjut dari hasil evaluasi kurikulum pelatihan melalui refleksi dan revisi kurikulum untuk pelatihan pengawas selanjutnya sekaligus untuk

penyempurnaan dan pengembangan program pelatihan selanjutnya.

6. Pengembangan kurikulum pelatihan untuk meningkatkan kompetensi

supervisi akademik:

a. Proses

TNA

Proses TNA kurikulum pelatihan untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik

P: Bagaimana proses TNA kurikulum pelatihan untuk meningkatkan kompetensi supervisi

akademik?

R: TNA harus dikembangkan berbasis standar kompetensi yang tercantum dalam peraturan yang ada dan sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas supervisi akademik di lapangan yang dilakukan secara akurat dan komprehensif agar menggabarkan kesenjangan dan kebutuhan yang sesunguhnya tentang kompetensi supervisi akademik pengawas sekolah.

b. Proses perumusan tujuan

Perumusan tujuan kurikulum pelatihan untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik

P: Bagaimana proses perumusan tujuan kurikulum pelatihan untuk meningkatkan

kompetensi supervisi akademik?

R: Proses perumusan tujuan harus merupakan tindak lanjut TNA dan dikembangkan secara

berjenjang dari tujuan umum dan khusus dengan menggunakan konsep SMART (specific, measurable, acheivable, realistic, dan time base) serta berbasis standar kompetensi supervisi akademik yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai supervisor akademik agar jelas arah dan batasan


(5)

pencapaian keberhasilannya.

c. Pengembangan materi

Materi pelatihan untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik

P: Bagaimana materi pelatihan untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

R:  Pengembangan materi-materi esensial untuk mendukung pencapaian tujuan yang

telah ditentukan dengan efektif dan efisein, serta mengembangkan lembar kerja atau tugas-tugas yang operasional dan membimbing peserta untuk mendapatkan pemahaman, sikap dan keterampilan yang utuh tentang kompetensi supervisi

akademik, misalnya lembar kerja untuk menyusun best parctice pelaksanaan

supervisi akademik.

 Materi pelatihan disusun dalam struktur kurikulum dengan mempertimbangkan

urutan prioritas yang logis, gradasi yang sistematis, dan alokasi waktu yang seimbang. Selanjutnya, diklasifikasikan dalam materi umum, inti atau pokok dan penunjang yang meliputi ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap yang disusun secara prosedural, hirarkis dan terintegrasi dan memenuhi jenis materi berbentuk fakta, konsep, prinsip dan prosedur tentang kompetensi supervisi akademik.

d. Strategi Implementasi

Strategi implementasi untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik

P: Bagaimana strategi implementasi untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

R:  Mengggunakan strategi atau metode pelatihan bervariasi berbasisi andragogi yang berpusat pada keaktifan peserta, memberikan pengalaman dan praktek untuk mempercepat pencapaian tujuan pencapaian kompetensi supervisi akademik yang telah ditentukan, agar mampu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan supervisi akademik yang dibutuhkan peserta pelatihan. Strategi tersebut harus praktis dalam pelaksanaan, fleksibel dengan situasi dan kondisi lapangan, dan efisien dari sisi tenaga dan biaya.

 Kegiatan pelatihan cocok dirancang menggunakan tahapan In-On-In yang

diorganisasikan secara kronologis, berkelanjutan, dan terintegrasi.

 Perlu meningkatkan kegiatan simulasi supervisi klinis dengan teknik coaching yang

ditindaklanjuti dengan praktek memberikan feedback atau balikan.

 Menetapkan alokasi waktu yang ideal dengan mempertimbangkan jumlah tujuan

umum dan tujuan khusus dan mempertimbangkan keluasan, kedalaman, dan tingkat kesulitan materi pelatihan.

 Perlu ada placement test untuk memetakan kondisi peserta pelatihan sebelum pelatihan dilaksanakan.

e. Prosedur Evaluasi

Bagaimana prosedur evaluasi untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik

P: Bagaimana prosedur evaluasi untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

R:  Pengembangan evaluasi berbasis tujuan dan indikator pencapaian kompetensi

supervisi akademik.

 Memenuhi prinsip penilaian yang sahih, handal, objektif, komprehensif,

berkelanjutan, praktis, rasional, efektif, dan sistematis berkaitan dengan aspek-aspek pelatihan untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik.

 Menggunakan teknik evaluasi yang bervariasi baik test atau non test, seperti soal pre test-post test, lembar observasi, lembar kerja, rubrik, unjuk kerja, portofolio, evaluasi dampak, dan monitoring dan evaluasi sesuai dengan tujuan dan tahapan kegiatan


(6)

pelatihan In-On-In, agar mampu melakukan penilaian proses dan produk pelatihan.  Perlu ada pedoman penilaian atau evaluasi hasil pelatihan untuk meningktakan

supervisi akademik yang berisi perencanaan, penyusunan instrumen, metode pelaksanaaan, waktu atau jadwal pelaksanaan, pengolahan dengan bobot dan sistem penskoranya serta kesimpulan dan tindaklanjutnya.

 Melakukan evaluasi pada implementasi dan komponen kurikulum pelatihan