Identifikasi Aspek Pengaruh Bentuk Kota

Tugas III Morfologi Kota

Identifikasi Aspek Pengaruh Bentuk Kota

Studi Kasus Kota Denpasar, Bali

Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Rima Dewi Supriharjo, MIP.

Disusun Oleh :

I Putu Praditya Adi Pratama

3611100020

R.M Bagus Prakoso

3611100021

Jodi Rahadian

3611100056

Yasser Basuwendro

3611100068

Nizar Harsya Wardhana

3611100046

Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota

Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya makalah “Identifikasi Aspek Pengaruh Bentuk Kota, Studi Kasus : Kota Denpasar, Bali ” ini dapat terselesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Morfologi Kota.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Bapak Ir. Heru Purwadio, MSP. selaku dosen mata kuliah Morfologi Kota, Dr. Ir. Rima Dewi Supriharjo, MIP selaku dosen pembimbing tugas, serta pihak-pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini.

Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi perbaikan dan kelancaran pembuatan makalah yang selanjutnya, mengingat makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan kami masih dalam proses belajar. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Surabaya, Mei 2013

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Perkembangan tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan yang terjadi secara terus menerus sebagai fenomena tersendiri yang tidak bisa dihentikan (Sijmon dalam Zahnd, 1999). Perubahan yang terjadi dikarenakan adanya kegiatan pembangunan yang selalu berjalan di setiap bagian kota, terutama di pusat kota. Perkembangan kota dari masa ke masa sangat berpengaruh terhadap penataan kota. Aktivitas masyarakat juga sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan suatu kota. Menurut Rapoport (1977), aktivitas rutin masyarakat memiliki nilai sosial budaya yang mendasari, dan nilai sosial budaya tersebut melandasi bagaimana masing-masing individu berperilaku, sehingga aktivitas yang terbentuk mempunyai ciri khas. Selanjutnya aktivitas yang terjadi memunculkan bentuk kawasan yang terlihat dari penggunaan ruangnya, karena apapun aktivitas yang dilakukan terkait dengan ruang dan waktu. Hal ini memperlihatkan bahwa pola struktur ruang dapat diidentifikasi melalui pendekatan yang bersifat non fisik dalam hal ini aktivitas masyarakatnya, yang secara langsung terkait juga dengan penggunaan ruang (space use).

Selain karena aktivitas masyarakatnya, perkembangan kota juga dipengaruhi oleh faktor sejarah. Kota sebagai Urban Artifact dalam perjalanan sejarahnya telah dan akan terus membentuk suatu pola morfologi sebagai implementasi bentuk perubahan sosial budaya masyarakat yang membentuknya. Morfologi kota merupakan kesatuan organik elemen-elemen pembentuk kota yang didalamnya mencakup aspek detail (bangunan, sistem sirkulasi, open space, dan prasarana kota), aspek tata bentuk kota/townscape (terutama pola tata ruang, komposisi lingkungan terbangun terhadap pola bentuk disekitar kawasan studi), dan aspek peraturan (totalitas rencana dan rancangan kota yang memperlihatkan dinamika kawasan kota). Perencanaan dan perancangan kota sebagai pengendali perkembangan kota sebagai proses formal, membawa implikasi pola morfologi kota. Untuk mengetahui struktur ruang suatu kota dapat diidentifikasi melalui pendekatan morfologi kota. Menurut Herbert (Yunus, 1999) dikatakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisik lingkungan perkotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakkan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan

(perdagangan/industri) dan juga bangunan-bangunan individual. Sedangkan tiga unsur dalam morfologi kota adalah unsur-unsur penggunaan lahan, pola jalan dan tipe bangunan (Smailes dalam Yunus, 1999). Dengan kata lain pendekatan ini lebih menekankan pada kondisi fisik.

Hal ini dilakukan untuk mengungkapkan struktur ruang serta faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kota Denpasar yang dilihat dari morfologi dan penataan ruang serta sejarah pembentukannya yang sangat berpengaruh terhadap penataan ruang Kota Denpasar. Banyak permasalahan dalam perancangan kota yang secara khusus berkaitan dengan bentukan fisik kota yang tidak terkendali hingga menembus batas administrasinya; adanya ketidakjelasan kaitan fungsional kawasan akibat perkembangan penggunaan lahan, masalah pengendalian tata bangunan meliputi pemadatan, pelanggaran ketentuan ketinggian bangunan, pelanggaran garis sempadan, hilangnya ruang terbuka digantikan dengan massa bangunan padat; dan ketidakjelasan karakter kota. Hal ini menujukkan secara garis besar masalah-masalah bentukan fisik ini terfokus pada masalah kesatuan ruang fisik dengan disebabkan oleh banyak faktor yang saling menstimulasi. Oleh karena itu adanya masalah fisik kota tersebut yang dibenturkan dengan tuntutan perancangan kota yang baik telah mendorong pada kebutuhan mengkaji kota secara khusus dari aspek morfologinya (Weishaguna, 2008).

Pemahaman tentang morfologi kota tidak dapat dilepaskan dari wujud fisik kota yang terbentuk. Sebagai sebuah cabang ilmu geografi dan arsitektur, morfologi mempelajari perkembangan bentuk fisik di kawasan perkotaan, yang tidak hanya terkait dengan arsitektur bangunan, namun juga sistem sirkulasi, ruang terbuka, serta prasarana perkotaan (khususnya jalan sebagai pembentuk struktur ruang yang utama). Secara garis besar, wujud fisik kota tersebut merupakan manifestasi visual dan parsial yang dihasilkan dari interaksi komponen-komponen penting pembentuknya yang saling mempengaruhi satu sama lainnya (Ernawi, 2010). Morfologi berawal dari tipologi yang memiliki kaidah- kaidah atau norma-norma yang membentiknya dan dapat dilihat pula dari segi yang mempengaruhinya sehingga terjadinya perubahan-perubahan wujud fisik yang ditimbulkannya. Terjadinya morfologi pola permukiman adat Bali dimulai semenjak adanya perkembangan kemampuan, dan keinginan masyarakat untuk merubahnya. Keinginan untuk merubah, gagasan, produk, dan pembangunan yang dating dari luar ini semuanya ikut memberikan andil dalam perkembangan morfologi kotanya terutama di Denpasar.Untuk itu perlu sekali kita untuk mempelajari dan mendalami sejarah kota, proses perkembangan serta ciri-ciri fisik dan non fisik kota. Dalam penulisan ini, perlu diketahui bagaimanakah proses transformasi morfologi di Kota Denpasar, Bali. Selain itu faktor-faktor apakah yang berpengaruh dalam pembentukan kawasan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini yaitu :  Bagaimana sejarah dan perkembangan Kota Denpasar?

 Apa saja karakteristik fisik dan non-fisik dari Kota Denpasar?  Apa saja aspek dominan yang mempengaruhi morfologi Kota Denpasar?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini, antara lain :  Mendeskripsikan sejarah dan perkembangan Kota Denpasar.

 Mendeskripsikan karakteristik fisik dan non-fisik Kota Denpasar.  Mengidentifikasi aspek dominan yang mempengaruhi bentuk Kota Denpasar.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, berisi latar belakang, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan

makalah. BAB II PEMBAHASAN, berisi review penjelasan mengenai sejarah dan perkembangan

morfologi Kota Denpasar serta identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk kota ini.

BAB III PENUTUP, berisi kesimpulan dan lesson learned dari keseluruhan makalah ini.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Kota Denpasar

Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung. Sempat menjadi Ibukota Kabupaten Badung, Pada tahun 1992 Kota Denpasar menjadi kotamadya mandiri dan mulai tahun 1958 Denpasar dijadikan pusat pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Dengan dijadikan Denpasar sebagai pusat pemerintahan Tingkat I Bali, kota ini mengalami pertumbuhan yang sangat cepat, baik dalam hal fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Keadaan fisik Kota Denpasar dan sekitarnya sedemikian maju dan pola kehidupan masyarakatnya telah banyak menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata. Denpasar terdiri atas empat kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara (ciptakarya.pu.go.id).

Gambar 1. Peta Wilayah Kota Denpasar. Sumber : www.denpasarkota.go.id, 2013

Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, serta perekonomian. Letak yang sangat strategis ini sangatlah menguntungkan, baik dari segi pusat pendidikan, ekonomi, maupun kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten lainnya. Luas seluruh Kota Denpasar adalah 12.778 Ha, termasuk tambahan dari reklamasi pantai serangan seluas 380 Ha. Kota Denpasar berada di ant ara 08° 35 31”-08° 44 49 Lintang Selatan dan 115° 10 23 -115° 16 27 Bujur Timur, yakni berbatasan dengan:

 Utara

: Kabupaten Badung

 Timur

: Kabupaten Gianyar

 Selatan

: Selat Badung

 Barat

: Kabupaten Badung

Pembangunan Kota Denpasar diarahkan untuk tetap mempertahankan tingkat laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi serta meningkatkan pemerataan dengan struktur perekonomian yang mantap. Peranan sektor-sektor lain, seperti: pariwisata, seni dan budaya, serta pendidikan sangat menunjang laju pertumbuhan pembangunan di Kota Denpasar, apalagi kota ini mencanangkan diri sebagai kota berwawasan budaya. Dengan sendirinya peningkatan dan pelestarian budaya perlu dipertahankan. Wawasan budaya menempatkan kebudayaan dalam kategori dasar atau asasi, yaitu berfungsi sebagai potensi dasar, cara/pendekatan, di samping sebagai tujuan. Sebagai potensi dasar unsur-unsur kebudayaan Bali bersifat khas, unggul, dan menyiratkan nilai-nilai luhur yang sangat perlu dikedepankan. Unsur-unsur tersebut mencakup: pura, puri, arsitektur Bali, kesenian daerah, upacara, hukum adat, konsepsi-konsepsi budaya, serta unsur-unsur yang lainnya.

2.2 Sejarah dan Proses Perkembangan Kota Denpasar

Sejarah dan perkembangan Kota Denpasar terdiri dari beberapa fase, diantaranya adalah fase awal berdiri, zaman Puri Denpasar (1788-1906), zaman masuknya pengaruh kolonial, zaman kemerdekaan, serta fase setelah berpisah dengan Kabupaten Badung dan menjadi Ibukota Provinsi Bali.

Gambar 2. Diagram perkembangan Kota Denpasar

Sumber : Berbagai literatur.

2.2.1 Masa Kerajaan Badung dan Puri Denpasar (1788 – 1906)

Kota Denpasar merupakan dahulu merupakan ibukota dari Kerajaan Badung, sehingga sejarah perkembangan Kota Denpasar berkaitan erat dengan perkembangan Kerajaan Badung pada masa pra-kolonial, lalu menjadi ibukota Kabupaten Badung pada masa pasca kemerdekaan, hingga terpisah dengan Kabupaten Badung dan menjadi Ibukota Provinsi Bali pada tanggal 27 Februari 1992 (Sujaya, 2013). Denpasar Pada mulanya adalah sebuah taman. Taman ini merupakan kesayangan Raja Badung Kyai Jambe Ksatrya yang beristana di Puri Jambe Ksatrya di Pasar Satria sekarang hingga ke utara. Taman ini dilengkapi dengan tempat peraduan yang diperuntukkan khusus bagi tamu-tamu yang datang dari luar Badung. Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, taman tersebut adalah semacam villa peristirahatan.

Sang Raja dikenal suka bermain adu ayam. Pada masa itu, raja kerap mengundang raja-raja lain di Bali untuk bermain adu ayam. Raja-raja undangan itulah yang kerap ditempatkan di taman sang Raja. Taman itu diserahkan pengelolaannya kepada I Gusti Ngurah Made Pemecutan dari Puri Kaler Pemecutan atau Puri Kaler Kawan. Taman itu terletak di sebelah utara pasar, tepatnya di rumah jabatan Gubernur Bali sekarang (Jaya Sabha). Awalnya pasar terletak di lapangan Puputan Badung sekarang, tapi pada zaman Belanda pasar itu dipindah ke dekat Tukad (sungai) Badung sehingga dikenal sebagai Pasar Badung. Karena terletak di utara pasar, taman itu diberi nama Taman Denpasar. Kata den dalam bahasa Bali memang berarti „utara‟. Banyak daerah di Bali yang diawali dengan kata den yang menunjuk makna utara, seperti Denbukit (nama lain Kabupaten Buleleng yang berlokasi di sebelah utara gunung/bukit).

Pada tahun 1779 terjadi konflik antara Kyai Jambe Ksatrya dengan I Gusti Ngurah Rai. Padahal, I Gusti Ngurah Rai tak lain orang kepercayaan Kyai Jambe Ksatrya, terutama dalam hal permainan aduan ayam. Konflik ini berujung pada terbunuhnya Kyai Jambe Ksatrya. Pascaterbunuhnya Kyai Jambe Ksatrya, kekuasaan dilimpahkan kepada

I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Pelimpahan kekuasaan kepada I Gusti Ngurah Made Pemecutan menandai berakhirnya kekuasaan Puri Jambe Ksatrya. Pasalnya, I Gusti Ngurah Made Pemecutan mendirikan istana baru di Taman Denpasar. Istana baru itulah dinamai Puri Denpasar. I Gusti Ngurah Made Pemecutan pun dinobatkan sebagai Raja Denpasar I.

Puri Denpasar ini di-pelaspas pada tahun 1788. Dalam tradisi Bali, upacara pemelaspas adalah bentuk peresmian sebuah tempat. Itu sebabnya, tim peneliti merekomendasikan tahun 1788 sebagai tonggak kelahiran Kota Denpasar. Alasannya, ketika sebuah puri berdiri, itu berarti munculnya sebuah kota. Pasalnya, pada masa kerajaan puri menjadi pusat pemerintahan. Selain itu, puri juga menjadi pusat budaya serta pusat perekonomian masyarakat karena di dekat puri berdiri alun-alun serta pasar. Sebelumnya nama Denpasar memang sudah muncul, tapi belum sebagai kota. Begitu dijadikan puri, saat itulah Denpasar itu berubah menjadi sebuah kota. Wilayah Kota Denpasar saat itu baru mencakup di sekitar Puri Denpasar, dimana di sekitar puri dibangun Catus Patha, yaitu terdiri dari pasar, alun-alun, puri (pusat pemerintahan dan kediaman raja), dan pura sebagai lokasi persembahyangan. Catus Patha ini bertahan hingga sekarang dan menjadi pusat Kota Denpasar saat ini, berupa perempatan yang berisi patung Catur Muka.

Gambar 3. Foto Puri Denpasar yang diambil pada tahun 1900. Sumber : den-pasar.blogspot.com, 2010.

Merunut pada Raja Bandana Purana disebutkan Puri Denpasar dipelaspas pada hari Tumpek Landep, 1 Februari 1788. Tumpek Landep memang menjadi hari petoyan, wedalan atau patirtaan (hari suci) di Pemerajan Agung Puri Denpasar. Jika merujuk pada kalender 20 tahun karya IB Suparta Ardana, pada tahun 1788 ada dua hari Tumpek Landep yakni 5 April 1788 dan 1 November 1788. Akan tetapi, Pemerintah Kota Denpasar memutuskan tetap menggunakan tanggal 27 Februari sebagai hari jadi, tetapi tonggak tahun diambil 1788. Wirawan menyatakan hal itu sebagai bentuk kompromi sejarah. Tanggal 27 Februari tetap dipilih karena didasari pertimbangan masyarakat Denpasar sudah terbiasa merayakan hari jadi kotanya pada tanggal itu. Tapi, untuk kepentingan membangun kesadaran sejarah, tahun 1788 dipilih sebagai momentum tahun pendirian Kota Denpasar.

Sebelum wilayah Badung yang dipimpin oleh Kyai Tegeh Kori, wilayah ini dikuasai oleh penguasa tingkat desa (mekel desa) yang umumnya dipegang oleh para Pasek. Sebagian wilayah Kerajaan Badung saat itu merupakan wilayah Kertalangu yang sebelumnya dikuasai oleh I Gusti Ngurah Penatih. Sekitar tahun 1505, I Pasek Bendesa beserta pasek-pasek lain membangun puri untuk Kyai Anglurah Tegeh Kori di ujung utara Desa Tonjaya, di pinggir Sungai Ayung sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Badung. Puri ini ditempatkan di sudut timur laut Catus Patha, di sebelah barat SungaiAyung kemudian disebut Puri Benculuk. Di samping Puri Benculuk juga dibangun dua buah puri yakni Pura Dalem Bengkasa (Pura sebelah timur puri untuk pemujaan Batara Tohlangkir (Gunung Agung) dan Pura Gde Batur Sari (yang dulu bernama Pura Batur Sari untuk pemujaan Batari Danuh di Gunung Batur terletak disebelah barat daya pusat catuspatha).

Pusat pemerintahan Kerajaan Badung dalam periode 1788 –1906 terletak di Puri Denpasar (Artana & Arimbawa). Catus Patha yang terletak di halaman luar Puri Denpasar merupakan Catus Patha Agung atau Catus Patha yang paling utama di Kerajaan Badung. Puri Denpasar merupakan puri yang paling utama di kerajaan Badung di atas puri-puri lain. Keutamaan puri terlefleksi dari luas, jumlah mandala (palebahan, pelataran), dan jumlah mandala inti (mijil) suatu puri. Sedangkan ke-utama-an suatu Catus Patha tergantung dari ke-utama-an puri dan kelengkapan fasilitas kota yang ada di sekitar catuspatha yaitu pasar, wantilan, dan taman/alun-alun.

Gambar 4. Struktur kekuasaan puri dan catuspatha kerajaan Badung. Sumber : J.M Nas, 1995

2.2.2 Masa Kolonialisme (1906 – 1950)

Setelah peristiwa Puputan Badung 20 September 1906, kekuasaan kerajaan Badung telah dikuasai oleh Belanda, sehingga Belanda membuat sistem pemerintahan sementara dengan menempatkan seorang Asisten Residen dan seorang Adspirant Controleur (Artana & Arimbawa, 2012). Tempat kedudukan pemegang pemerintahan kerajaan Badung dan juga tempat kedudukan Asisten Residen Bali Selatan sudah mulai disebut dengan Kota Denpasar bukan Puri Denpasar. Selanjutnya, setelah Kerajaan Klungkung dapat ditaklukkan Belanda pada 28 April 1908, Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan kolonial, maka pemimpin pemerintahan Belanda untuk kerajaan Badung di Denpasar diubah dari Adspirant Controloeur menjadi Controloeur. I Gusti Alit

Ngurah, putra Cokoda Alit Ngurah disingkirkan ke Lombok tahun 1907 dan pada tanggal

15 Oktober 1916, dipulangkan kembali ke Bali dan kemudian ditampung di Jro Blaluan sampai Tahun 1933. Pada Tahun1918, I Gusti Alit Ngurah bekerja sebagai mandor di Kantor BOW (Bouw Werkplaats), sejenis Kantor Pekerjaan Umum sekarang. Kemudian menjadi Juru Tulis di Kantor Asisten Residen (1920-1924) dan kemudian menjadi Manteri Polisi (1925-1926). Kemudian pada Tahun 1929 diangkat menjadi negara-bestuurder dengan sebutan regent atau kepala pemerintahan daerah Badung dengan gelar Cokorda. Pembangunan kembali Puri Satrya mulai dirintis sejak tahun 1930 dan selesai tahun 1933.

Pada tanggal 1 Juli 1938 Cokorda Alit Ngurah (II) diangkat sebagai zelfbestuurder untuk memimpin daerah Swaprajayang disebut zelfbestuurend landschappen dan berakhir ketika mulai pendudukan Jepang sejak tahun1942. Ketika menduduki jabatan sebagai zelfbestuurder, Cokorda Alit Ngurah(II) telah menempati Puri Satrya. Di bawah pemerintah Belanda cakupan wilayah Badung ditata kembali dan menjadi seperti Daerah Kabupaten Badung sebelum terpisah dengan Kota Denpasar. Pada masa ini Belanda yang menempati lokasi di sekitar Catus Patha memulai berkembangnya daerah pecinaan Gajah Mada. Selain itu, pemerintahan kolonial juga membangun sebuah jam/lonceng di lokasi yang saat ini menjadi perempatan catur muka sebagai landmark untuk memperlihatkan hegemoni pemerintahan kolonial. Fasilitas-fasilitas seperti gedung- gedung pemerintahan dan rumah sakit bermunculan, salah satunya berada di daerah Wangaya yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Wangaya. Belanda juga membangun hotel-hotel sebagai fasilitas pariwisata mereka. Pada masa ini juga lokasi-lokasi pariwisata terkenal di Bali dan terletak pada cakupan Kabupaten Badung, seperti Kuta dan Sanur mulai berkembang dan didatangi banyak wisatawan. Kedatangan Belanda serta pembangunan dan penataan sarana prasarana di Kota Denpasar pada masa itu secara tidak langsung membuka pintu gerbang pariwisata ke Bali.

Menurut Dharma Putra (2010), saat itu di sebelah utara alun-alun, yang kini menjadi rumah jabatan Gubernur Bali, ada tiga kompleks bangunan: kantor Asisten Resident (paling barat), rumah Asisten Resident (tengah), dan Kantor Pos dan Telegraf sekaligus rumah pimpinannya (timur). Kantor Pos itu masih bercokol sampai sekitar 1979. Setelah pindah ke Renon awal 1980, sesekali masih ada wisatawan asing pangling di utara Alun-alun mencari-cari kantor pos. Ini terjadi karena turis itu membawa buku panduan wisata (guide book) lama. Di sebelah timur kompleks perumahan Gubernur atau Jalan Kaliasem terdapat tiga kompleks bangunan yaitu kantor telepon serta rumah pimpinan dan karyawannya. Sampai sekarang, properti itu masih ada, walau instansi Telkom sudah memiliki gedung di Renon dan di Teuku Umar.

Hadirnya Kantor Pos dan Kantor Telepon tahun 1915, sekitar satu dasawarsa setelah Puputan Badung, bisa dilihat sebagai tanda kemajuan kota Denpasar. Bagi pemerintah kolonial, komunikasi lewat surat dan telepon tampaknya merupakan prioritas, untuk memperlancar birokrasi atau memperteguh kekuasaannya. Tanda kemajuan Denpasar bisa juga dilihat dengan hadirnya dua sekolah modern Belanda. Pertama, sekolah untuk pribumi (Schoolen voor Inlanders), lokasinya di seberang selatan Alun- alun, kira-kira di lokasi kantor Pertamina (sekarang). Di sebelah timur sekolah ada kantor polisi dan di timurnya lagi kantor Irigasi dan perumahan pejabatnya. Di ujung timur, yang kini kantor Garuda Indonesia adalah tanah kosong. Beberapa tahun kemudian, di leretan itu dibangun kantor KPM (perusahaan kapal layar Belanda) yang berurusan dengan pariwisata, pendiri Bali Hotel tahun1928. Sekolah yang kedua adalah Hollandsch Inlandsch School (HIS) lokasinya di Jalan Surapati, di seberang jalan dari sekolah itu ada dua perumahan untuk kepala sekolah dan guru. Untuk tambahan sekolah, sudah disediakan lahan di Jalan Kartini, ini yang kemudian menjadi sekolah Cina yang gedungnya pernah dipakai oleh Universitas Bali (1980-an) dan kantor sementara (1990- an) Pemkot Denpasar.

Gudang opium dan rumah penjaganya berlokasi di Jalan Veteran, kira-kira tepat di lokasi Bali Hotel sekarang. Opium atau madat candu lainnya pada zaman Belanda beredar legal. Beberapa raja ada yang senang mengonsumi candu, begitu juga masyarakat biasa. Belanda mendapat banyak pajak dari opium, jaringan perdagangan biasanya dikuasai etnik Cina. Untuk di Denpasar, opium masuk lewat pelabuhan Benoa. Belakangan Belanda sadar, opium tidak baik. Raja-raja yang kecanduan disarankan berhenti menghisapnya karena bisa merepotkan roda pemerintahan. Konon, ada dua raja yang menyerahkan alat sedot opiumnya kepada Belanda, tanda berhenti nyandu. Untuk mengurangi pecandu, Belanda sengaja membuat rumah penjualan candu di kota dan desa-desa yang banyak pemadatnya. Ini bukan untuk meningkatkan penjualan dan pajak tetapi untuk mengontrol peredaran opium, dan lama-lama mengurangi pemadat. Lewat rumah penjualan opium yg terpusat, harga candu pelan-pelan dinaikkan sehingga tidak banyak orang yang mampu membeli, dan rasa madat dihambarkan sehingga tidak membuat orang sakit. Karena hambar, orang tidak suka madat lagi!

Satu-satunya rumah sakit (Zieken huis) yang sudah ada tahun 1915 adalah RS Wangaya. Selama ini, RS ini dianggap berdiri 1921, mungkin perlu direvisi karena sudah ada dalam peta 1915. Penjara (gevangenis) berlokasi di Jalan Diponegoro yang di selatan dan utaranya (agak jauh) ada kantor polisi. Selama ini Penjara Denpasar dianggap berdiri 1916, nyatanya sudah ada dalam peta 1915. Di sinilah pelaku kriminalitas dihukum, termasuk pencuri yang melakukan aksinya untuk membeli madat.

Tahun 1986, Penjara Denpasar dipindahkan ke Kerobokan. Peta Denpasar 1915 menunjukkan ada dua kantor Pemadam Kebakaran. Satu terletak di Jalan Beliton (seberang jalan selatan Kantor Kodam), satu lagi di pojok Jl. Wahidin dan Thamrin ujung barat Jl. Gajah Mada. Sampai tahun 1970-an, daerah itu dikenal dengan Batan Moning. Di barat Alun-alun, di sekitar Kantor Walikota Denpasar sekarang, berdiri kantor kontrolir (pejabat di bawah asisten resident). Di sebelah selatan –belakangnya adalah rumah kontrolir. Kompleks kantor dan rumah kontrolir berdekatan dengan Kantor dan Rumah Assisten Resident.

Gambar 5. Peta Kota Denpasar yang dibuat tahun 1915 oleh pemerintah Belanda. Sumber : dasarbali.wordpress.com, 2010

2.2.3 Masa Pasca Kemerdekaan (1950 – 1992)

Cokorda Alit Ngurah (II) kemudian digantikan oleh I Gusti Ngurah Gde dari Puri Agung Pemecutan sebagai pemimpin Kerajaan Badung dengan gelar Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan (Cokorda Pemecutan X) yang memimpin sejak 1 Mei 1947 sampai 23 Desember 1959 (Artana & Arimbawa, 2012). Pemerintah Kabupaten Badung selanjutnya terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat Bali,

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pada Tahun 1992 Kota Administratif Denpasar ditetapkan menjadi Kotamadya Denpasar berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar. Sejak 27 Februari 1992, Kota Denpasar memisahkan diri dari Kabupaten Badung dan secara difinitif menjadi wilayah otonom. Selain menjadi Ibukota Provinsi, Kota Denpasar juga menjadi Ibukota Dati II Badung. Terbentuknya Dati II ini tidak bisa dilepaskan dari Undang-undang No. 1 tahun 1957 yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di Jakarta.

Undang-undang ini kemudian diperkuat oleh Undang-undang No. 69 tahun 1958, yang mengatur Pembentukan Daerah Swatantra. Berdasarkan UU No. 18 tahun 1965 (disahkan pada tanggal 1 September 1965) tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka status Badung berubah dari Daerah Swatantra Tingkat II menjadi Kabupaten dengan Ibukotanya Denpasar. Semua infrastruktur politik seperti lembaga-lembaga pemerintahan dan infrastruktur ekonomi yang dibangun sejak zaman Belanda yang dipusatkan di Denpasar dan sekitarnya mengalami perkembangan hingga sekarang sehingga menyebabkan Kota Denpasar mengalami perubahan fisik dan non fisik. Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Februari 1975 No. B.K.T 3/1/12, pemerintah pusat mengadakan penelitian mengenai kelayakan Denpasar menjadi sebuah kota administratif. Surat dari Bupati Badung bernomor Pemb. 1/299/77, tanggal 5 Maret 1977 akhirnya menjadi surat yang bersejarah dalam perkembangan pembangunan kota yang ideal, kota administratif, karena tanpa adanya inisiatif ini maka PP No. 20 tahun 1978 yang menjadi landasan yuridis formal kota administratif Denpasar tidak akan keluar.

Gambar 6. Pengembangan kawasan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung pasca kemerdekaan. Sumber : Artana dan Arimbawa, 2012

Sebagai sebuah kota administratif yang diresmikan pada tanggal 28 Agustus 1978, maka wilayah kota Denpasar yang sebelumnya hanya sebuah kecamatan, kemudian dipecah menjadi tiga kecamatan yakni; Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan. Semakin meningkatnya masalah sosial dan semakin mampunya Kota Denpasar menjawab tantangan-tantangan itu, maka akhirnya berhasil mengubah statusnya dari kota administratif menjadi Kotamadya Denpasar pada tanggal 27 Februari 1992. Saat ini Kota Denpasar memiliki empat kecamatan dengan ditambahnya satu kecamatan lagi, yaitu Denpasar Utara. Pemerintah kota mencanangkan proyek-proyek besar pada masa itu, seperti pusat pemerintahan di kawasan Renon, pembangunan kompleks kesenian Art Centre, terminal penumpang di Ubung, serta perumahan militer di kawasan Jalan Jendral Sudirman. Kota Denpasar mulai berkembang sebagai sebuah kota dengan masyarakat yang heterogen.

2.2.4 Masa Pasca Terpisah Dari Kabupaten Badung (1992 – Sekarang )

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar menetapkan wilayah Kota Denpasar menjadi wilayah otonom terpisah dari Kabupaten Badung (Artana & Arimbawa, 2012). Hal ini menjadi babak baru perkembangan Denpasar sebagai sebuah kota. Pada tahun 1970-an, Kota Denpasar tidaklah seramai kini. Jalan-jalan yang ada masih lebih lengang. Selain berjalan kaki, orang-orang lebih banyak berkendara sepeda gayung. Di setiap ruang sirkulasi publik, dokar masih hilir mudik. Sepeda motor tak seberapa jumlahnya. Terlebih mobil, amat jarang lalu lalang, kecuali bemo roda tiga. Hampir semua jalan bisa dilalui dua arah. Banjir dan tanah longsor jarang terjadi. Udara pun nyaman dihirup, jauh dari polusi, tak banyak kebisingan. Mengamati perkembangan kota Denpasar khususnya, tentu disertai pula dengan melihat beragam problema, peluang dan tantangan serta langkah-langkah yang perlu dilakukan guna meningkatkan peran Denpasar-sebagai kota berwawasan budaya-dalam pembangunan wilayah. Untuk itu, perlu dituangkan kebijaksanaan pembangunan kota Denpasar dan aspek-aspek penting yang mesti diperhatikan operasionalisasinya, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata, seimbang, harmonis, serasi secara berkesinambungan.

Pada tahun 1990-an hingga 2000-an, Kota Denpasar menghadapi beberapa kecenderungan pokok yang mempunyai implikasi luas bagi terbukanya beragam peluang dan terjadinya berbagai gangguan dan tantangan yang mempengaruhi kebudayaan, agama, dan pendidikan (Geriya, 2000). Makin sesaknya ruang kota berdampak pada Pada tahun 1990-an hingga 2000-an, Kota Denpasar menghadapi beberapa kecenderungan pokok yang mempunyai implikasi luas bagi terbukanya beragam peluang dan terjadinya berbagai gangguan dan tantangan yang mempengaruhi kebudayaan, agama, dan pendidikan (Geriya, 2000). Makin sesaknya ruang kota berdampak pada

Gambar 7. Peta Tata Ruang Kota Denpasar. Sumber : www.denpasarkota.go.id.

Makin berkembangnya format ekonomi industri dan jasa dengan menurunnya ekonomi agraris, Pada satu sisi membuka beragam peluang kesempatan kerja baru, namun di sisi lain makin kuatnya ancaman komersialisasi, meterialisme, pragmatisme yang cenderung mendangkalkan dimensi moral, nurani, dan kerekatan sosial. Makin Makin berkembangnya format ekonomi industri dan jasa dengan menurunnya ekonomi agraris, Pada satu sisi membuka beragam peluang kesempatan kerja baru, namun di sisi lain makin kuatnya ancaman komersialisasi, meterialisme, pragmatisme yang cenderung mendangkalkan dimensi moral, nurani, dan kerekatan sosial. Makin

Saat ini Kota Denpasar direncanakan untuk dikembangkan lagi menjadi megapolitan, melalui kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan). Kawasan Perkotaan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) merupakan kawasan strategis nasional dengan sudut kepentingan ekonomi yang berbentuk kawasan metropolitan, yang merupakan rencana rinci dari Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN). Wilayah kawasan perkotaan Sarbagita adalah Kota Denpasar dan kawasan perkotaan di tiga wilayah Kabupaten (Badung, Gianyar, Tabanan) yang berdekatan dan berjarak maksimal ±30 km, memiliki kecenderungan penglaju (commuter) dari/ke Kota Denpasar dan kawasan sekitarnya (Kuta, Nusa Dua, Tabanan, Gianyar, Ubud) dan sebaliknya. Kawasan metropolitan Sarbagita sebagai tulang punggung perekonomian Provinsi Bali dan salah satu pusar perkembangan nasional dengan tiga sektor utama yaitu pariwisata, pertanian dan industri pendukung pariwisata. Metropolitan Sarbagita berbeda dengan metropolitan lain, dimana sektor pertanian masih dipertahankan keberadaannya untuk kepentingan pariwisata maupun kepentingan ekonomi. Struktur sosial budaya masyarakat dipengaruhi tata kehidupan Agama Hindu (Tri Hita Karana) yang unik dan berjati diri akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan Bali dan Kota Denpasar.

2.3 Karakteristik Fisik dan Non-Fisik Kota Denpasar

Kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam dan non-alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah lainnya (Ridwanaz, 2012). Karakteristik kota dapat dibagi menjadi dua, yaitu karakteristik fisik dan karakteristik masyarakat kota atau non-fisik. Karakteristik Kota Denpasar dapat dilihat dari bentuk topografinya, penggunaan lahan, filosofi kosmologi tradisional, serta kondisi sosial budaya masyarakatnya.

2.3.1 Topografi

Topografi dan iklim wilayah Kota Denpasar sebagian besar merupakan dataran, dan secara umum miring kearah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75 m di atas permukaan laut, dataran pantai dengan kemiringan lahan berkisar 0-5%, di bagian tepi kemiringannya bisa mencapai 15%. Wilayah Kota Denpasar sebagian besar berada pada ketinggian tempat antara 0-75 m dari permukaan air laut. Denpasar Selatan seluruhnya terletak pada ketinggian 0-12 m di atas permukaan air laut. Sedangkan Denpasar Timur, Denpasar Barat dan Denpasar Utara terletak pada ketinggian 0-75 m diatas permukaan air laut. Panjang pantai kurang lebih 11 km, berupa perairan laut pantai Padang Galak dan Pantai Sanur serta pantai Pulau Serangan (Merti, 2010). Kota ini berada di jalur gunung api yang terdapat di Pulau Bali. Batuan padat dan keras hasil kegiatan vulkanik membentuk tebing curam pantai jalur gunung api, diselingi lereng landai kaki gunung berbatuan lepas dan pasir membentuk pantai sempit datar. Aliran lava atau lahar seringkali langsung masuk ke laut, membentuk lereng dasar laut dengan kemiringan dan jenis batuannya tergantung dari komposisi magmanya. Pantai sempit landai dengan sungai kecil disekitarnya memungkinkan bakau tumbuh, adakalanya bersisian atau menumpang di atas substrat pasiran dan terumbu karang.

Tabel 1. Tabel Ketinggian Tiap Kecamatan Kota Denpasar.

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2007.

Kondisi alam yang subur menjadi salah satu faktor perkembangan perekonomian Bali. Selain kondisi alam yang demikian, adanya sistem pengaturan air yang baik seperti

dilakukan organisasi tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya sistem pengaturan pengairan yang lebih baik. Selain sebagai kota pusat kebudayaan, Kota Denpasar juga dapat dikategorikan sebagai kota sungai dan kota pesisir. Sistem aliran Sungai Ayung yang melalui Kota Denpasar bagian timur dan Sungai Badung di Denpasar bagian barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat pemerintahan, baik pada masa kerajaan hingga sekarang (Sunaryo, 2003). Lokasi ini juga menjadi pusat kegiatan perekonomian, perumahan, dan kegiatan lain masyarakat Kota Denpasar. Pesisir Kota Denpasar sangat terbatas. Sebagian besar merupakan dilakukan organisasi tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya sistem pengaturan pengairan yang lebih baik. Selain sebagai kota pusat kebudayaan, Kota Denpasar juga dapat dikategorikan sebagai kota sungai dan kota pesisir. Sistem aliran Sungai Ayung yang melalui Kota Denpasar bagian timur dan Sungai Badung di Denpasar bagian barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat pemerintahan, baik pada masa kerajaan hingga sekarang (Sunaryo, 2003). Lokasi ini juga menjadi pusat kegiatan perekonomian, perumahan, dan kegiatan lain masyarakat Kota Denpasar. Pesisir Kota Denpasar sangat terbatas. Sebagian besar merupakan

2.3.2 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan Kota Denpasar didominasi oleh permukiman. Dari 12.778 ha luas total Kota Denpasar, penggunaan lahan untuk permukiman adalah 7.831 ha atau 61,29%. Diikuti oleh sawah dengan luas 2.717 ha (21,26%), hutan negara seluas 538 ha (4,21%), Tegalan 396 ha (3,10%), hutan rakyat 75 ha (0,59%), perkebunan 35 ha ( 0,27%), tambak dan kolam 10 ha (0,08%), dan sisanya seluas 1.176 ha (9,20%) termasuk penggunaan lainnya seperti rumput, pasir, rawa, dan tanah kosong. (SLHD Kota Denpasar, 2008). Sementara menurut BPS dan Bapeda Kota Denpasar (2008), luas wilayah menurut jenis penggunaan lahan meliputi lahan sawah 2. 717 Ha dan lahan kering 10,051 Ha. Tanah kering terdiri dari tanah pekarangan 7,832 Ha, tanah tegalan 396 Ha, tanah yang belum diusahakan 166 Ha. Hutan Negara 538 Ha, hutan rakyat 75

ha, perkebunan 35 Ha, rawa-rawa 10 Ha, tanah lain-lain 1.175 Ha. Penggunaan lahan di Kota Denpasar sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan sawah irigasi (21,26%), lahan kering (78,66%), dan lahan lainnya (0,08%). Luas kawasan rakyat sebesar 0,59% yang ditanami tanaman Tanaman Hutan Rakyat terdiri dari hutan bakau (mangrove) yang berfungsi sebagai hutan pencegah abrasi, terletak di kawasan Suwung, Benoa, dan Serangan.

Hampir semua jenis penggunaan lahan tersebar di masing-masing kecamatan, kecuali hutan negara hanya terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan, sedangkan perkebunan hanya ditemukan di Kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar Selatan, sementara, tegalan, hutan rakyat, dan tambak/kolam tidak terdapat di Kecamatan Denpasar Barat (SLHD Kota Denpasar, 2008). Pemukiman yang merupakan penggunaan lahan terluas di Kota Denpasar terdistribusi paling luas di Kecamatan Denpasar Selatan seluas 2.591 ha atau 33,08% dari luas seluruh permukiman di Kota Denpasar atau 20,28% dari luas total Kota Denpasar, kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Utara 2.189 ha (27,95% dari luas permukiman yang ada atau 17,13% dari luas Kota Denpasar), Kecamatan Denpasar Barat 1.834 (23,42% dari total luas permukiman atau 14,35% dari luas Kota Denpasar), dan luasan permukiman terkecil terdapat di Kecamatan Denpasar Timur seluas 1.217 ha.

Gambar 8. Peta Penggunaan Lahan Kota Denpasar. Sumber : SLHD Kota Denpasar, 2008.

Sawah merupakan penggunaan lahan terluas kedua setelah permukiman (SLHD Kota Denpasar, 2008). Denpasar Selatan merupakan Kecamatan dengan luasan sawah terbesar, yaitu 935 ha (34,41% dari luas keseluruhan sawah di Kota Denpasar). Kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Utara seluas 772 ha (28,41%), Kecamatan Denpasar Timur 726 ha (26,72%), dan Kecamatan Denpasar Barat 284 ha (10,45%). Penggunaan lahan tegalan tersebar di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan seluas 183 (46,21%), Kecamatan Denpasar Timur 144 ha (36,36%), dan Kecamatan Denpasar Utara seluas 69 ha (17,42%). Hutan rakyat terdistribusi di 3 kecamatan, masing-masing Kecamatan Denpasar Selatan 53 ha (70,67%), Kecamatan Denpasar Timur 15 ha (20,00%), dan Kecamatan Denpasar Utara 7 ha (9,33%).

Gambar 9. Diagram proporsi penggunaan lahan Kota Denpasar. Sumber : SLHD Kota Denpasar, 2008.

Tambak dan Kolam juga terdapat di 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Kecamatan Denpasar Selatan 6 ha (60,00%), Kecamatan Denpasar Utara 2 ha (20,00%), dan Kecamatan Denpasar Timur 2 ha (20,00%). Perkebunan hanya terdapat di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan 21,00 ha (60,00%) dan Kecamatan Denpasar Timur

14 ha (40,00%). Sementara hutan negara (Tahura) hanya terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan seluas 538,00 ha. Penggunaan lahan lain termasuk diantaranya rumput, pasir, rawa, dan tanah kosong terdapat di semua kecamatan. Di Kecamatan Denpasar Selatan terdapat 672 ha (57,19%), Kecamatan Denpasar Barat 288 ha (24,51%), Kecamatan Denpasar Timur 112 ha (9,53%), dan Kecamatan Denpasar Utara 103 ha (8,77%).

2.3.3 Kosmologi Tradisional

Terdapat beberapa konsep kosmologi yang mempengaruhi struktur ruang Kota Denpasar, antara lain seperi konsep orientasi arah mata angin, konsep Sanga Mandala, konsep Catus Patha, serta konsep Tri Hita Karana. Konsep-konsep tersebut merupakan orientasi tradisional yang sejak dulu telah digunakan oleh masyarakat Bali pada umumnya.

 Konsep Orientasi Mata Angin Denpasar bisa dipandang sebagai „kota gunung‟, dimana warganya –

sebagaimana halnya orang Bali lainnya- menghadapkan diri ke arah Gunung Agung, gunung yang mendominasi seluruh Bali (J.M Nas, 1995). Gunung Agung adalah gunung suci, „pusar bumi‟ yang menurut legenda berasal dari sepotong Gunung Mahameru di India, gunungnya dewa-dewi. Pura utama Bali, Pura Besakih, terletak di gunung ini. Gunung suci ini menguasai tata kehidupan masyarakat di Kota Denpasar dan Bali pada umumnya, bahkan hingga posisi tidur seseorang yang menghadap ke arah gunung ini. Di Kota Denpasar, timur-laut ditetapkan sebagai arah suci, karena ini adalah letak Gunung Agung. Sebaliknya, bagi orang Bali Utara, arah suci adalah arah tenggara. Di Kota Denpasar, arah dari laut ke barat-daya dianggap profan.

Oposisi suci-profan, ditunjukkan oleh kaja-kelod (timur laut), menguasai divisi ruang kota dan rumah di Denpasar, dan juga suatu oposisi yang „hidup‟, yang setiap hari

mengambil bentuk aktivitas profan dan ritual. Dari pembuatan persembahyangan kepada para dewa dan roh jahat, orang Bali percaya pada satu Tuhan yang mengejawantah diri mengambil bentuk aktivitas profan dan ritual. Dari pembuatan persembahyangan kepada para dewa dan roh jahat, orang Bali percaya pada satu Tuhan yang mengejawantah diri

Sumbu ritual di Kota Denpasar berorientasi pada timur-barat atau surya-sewana, yaitu arah matahari terbit dan terbenamnya matahari, dimana orientasi timur tempat matahari terbit lebih utama dari barat (Arif, 2012). Sumbu yang kedua adalah konsep sumbu natural spiritual kaja-kelod yang dikaitkan dengan arah orientasi kepada gunung dan lautan (nyegara gunung, segara-wukir), luan-teben, sekala-niskala, suci-tidak suci dan sebagainya. Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan menempati letak di baian kaja (utara) mengarah ke gunung, seperti letak pura, arah sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala sesuatu yang dikategorikan kurang suci dan bernilai profan, akan menempati letak bagian kelod (selatan), seperti letak kuburan, letak kandang, tempat pembuangan sampah/ kotoran,dan sebagainya.

Gambar 10. Struktur Kota Denpasar yang disesuaikan dengan orientasi timur-laut sebagai arah utama dan

barat-daya sebagai arah profan.

Sumber : J. M Nas, 1995.

 Konsep Sanga Mandala Dalam kasus perumahan masyarakat Kota Denpasar, prinsip kaja-kelod jelas

berperan penting. Rumah Bali terdiri atas daerah yang bertembok yang di dalamnya sejumlah bangunan mengelompok di seputar sebuah ruang terbuka. Tempat kedudukan berbagai bangunan di tanah itu tergantung pada prinsip sanga-mandala (J.M. Nas, 1995). Hal ini meyebabkan perumahan masyarakat Kota Denpasar di masa lalu pada umumnya memerlukan ruang yang cukup luas untuk menerapkan konsep ini. Selain perumahan masyarakat umum, beberapa Puri (tempat tinggal keluarga kerajaan) yang tersebar di Kota Denpasar, misalnya Puri Pemecutan, Puri Satria, Puri Kesiman, dan Puri Tainsiat, menerapkan konsep sanga-mandala yang dikombinasikan dengan konsep nista-madya- utama dengan cukup megah. Namun, seiring berkembangnya jaman, keberadaan perumahan sederhana, arus penduduk pendatang, serta tradisi pembagian tanah warisan di Bali menyebabkan konsep ini mulai sulit diterapkan di Kota Denpasar yang semakin padat.

C B A Gunung (kepala, utama)

F E D Tanah (tubuh, madya)

I H G Laut (kaki, nista)

Gambar 11. Konsep Sanga Mandala. Sumber : J.M Nas, 1995.

Dalil-dalil dua tripartisi ini diambil dari alam, yakni gunung, tanah, laut, serta matahari terbit, zenit, matahari terbenam. Kedua tripartisi ini masing-masing berhubungan dengan kombinasi utara-selatan dan timur-barat. Kombinasi ini mewakili rumah sebagai suatu antrpomorf dengan kepala, tubuh, dan kaki, yang juga berkaitan dengan empat titik mata angin. Sembilan bidang ini memiliki konotasi sendiri-sendiri. A adalah pura rumah sebagai lokasi paling suci yang mengarah ke Gunung Agung. Daerah B diisi dengan kamar tidur orang tua yang menjaga benda-benda suci, seperti keris. C sering dipakai untuk altar bagi roh tanah tersebut. Daerah terbuka sentral terletak di E, di kedua sisinya Dalil-dalil dua tripartisi ini diambil dari alam, yakni gunung, tanah, laut, serta matahari terbit, zenit, matahari terbenam. Kedua tripartisi ini masing-masing berhubungan dengan kombinasi utara-selatan dan timur-barat. Kombinasi ini mewakili rumah sebagai suatu antrpomorf dengan kepala, tubuh, dan kaki, yang juga berkaitan dengan empat titik mata angin. Sembilan bidang ini memiliki konotasi sendiri-sendiri. A adalah pura rumah sebagai lokasi paling suci yang mengarah ke Gunung Agung. Daerah B diisi dengan kamar tidur orang tua yang menjaga benda-benda suci, seperti keris. C sering dipakai untuk altar bagi roh tanah tersebut. Daerah terbuka sentral terletak di E, di kedua sisinya

Sebagai konsekuensi urbanisasi dan semakin padatnya penduduk, masyarakat Kota Denpasar sekarang mulai kesulitan menerapkan konsep ini dalam membangun rumah mereka. Kesulitan tersebut hanya menyangkut bangunan-bangunan yang multifungsi, untuk posisi pura masih berkiblat ke timur-laut. Konsep ini biasanya hanya diterapkan pada „rumah tua‟ atau rumah utama keluarga besar yang juga memiliki pura atau pemerajan utama bagi keluarga besar. Sedangkan bagi anak laki-laki yang mesepih atau pindah dari „rumah tua‟, rumahnya hanya terdiri dari satu bangunan rumah sederhana dan tugu pemujaan atau pelinggih. Hal ini jamak terlihat di perumahan- perumahan sederhana di Kota Denpasar saat ini, misalnya pada wilayah Monang Maning atau Denpasar Selatan. Pencampuran komposisi penduduk dari berbagai etnik yang ada di Kota Denpasar saat ini juga mengurangi penerapan dari konsepsi ini.

 Konsep Catus Patha Catus Patha adalah konsep tradisional tentang perempatan jalan yang digunakan

sebagai pusat pertumbuhan kota dengan elemen Puri (Istana), Wantilan (Ruang Terbuka Publik), Alun-alun (Ruang Terbuka Hijau) dan Peken (Pasar) (Juliarthana, 2012). Catus Patha memberi pengertian bertemunya pengaruh yang datang dari empat arah mata angin (Timur, Selatan, Barat dan Utara). Jika konsep Catus Patha digabung dengan Panca Aksara maka akan melahirkan konsep Dasa Aksara. Filosofi ini kemudian menjiwai konsep Astha Dala (delapan penjuru mata angin) dengan satu inti di tengah, yang akhirnya melahirkan konsep Dewata Nawa Sanga. Konsep ini merupakan kristalisasi filosofi yang menggambarkan pengendalian ketertiban proses keseimbangan alam, mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat dan sebagai jiwa dalam perencanaan fisik/tata ruang yang telah melahirkan konsep Nawa Sanga atau sembilan arah suci pada filosofi masyarakat Bali.

Gambar 12. Konsep Catus Patha Kota Denpasar. Sumber : J.M Nas, 1995.

Di Denpasar terdapat satu perempatan pusat yang berfungsi sebagai Catus Patha wilayah, yaitu perempatan Patung Catur Muka. Pada masa kolonial tempat ini ditandai oleh sebuah jam besar, tidak jauh dari hotel paling penting pada masa itu itu, Hotel Indies (J.M Nas, 1995). Jam tersebut menyimbolkan pentingnya waktu yang tercatat secara mekanis serta pentingnya supremasi kolonial. Pada tahun 1972, jam ini diganti dengan patung Dewa Brahma dengan empat wajah atau Catur Muka. Patung ini menunjukkan kesucian empat titik mata angin dan kosmos. Dengan dibangunnya patung ini, perempatan ini sekali lagi menjadi pusat kota, perempatan suci, dan simbol restorasi identitas masyarakat Bali. Hingga akhir tahun 1980-an, lapangan di arah tenggara patung masih digunakan sebagai lapangan sepak bola, namun pada tahun itu lapangan tersebut diubah menjadi alun-alun untuk melengkapi konsepsi Catus Patha. Lapangan tersebut kini dikenal sebagai Lapangan Puputan Badung, alun-alun yang dibangun untuk mengingat peristiwa Puputan atau perang berani mati masyarakat Denpasar (atau Badung pada saat itu) dalam melawan tentara kolonial.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Aspek Normatif UU Kepailitan (Bagian I)

4 84 3

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Pengaruh mutu mengajar guru terhadap prestasi belajar siswa bidang ekonomi di SMA Negeri 14 Tangerang

15 165 84

Analisis pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil badan usaha milik daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Tangerang (2003-2009)

19 136 149

Pengaruh model learning cycle 5e terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem ekskresi

11 137 269

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84