MENGKAJI KONSEP KOSMOLOGI DALAM RUMAH AD

MENGKAJI KONSEP KOSMOLOGI DALAM RUMAH ADAT MASYARAKAT
ADAT KASEPUHAN CIPTAGELAR, SUKABUMI SEBAGAI USAHA
MENDORONG APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP ARSITEKTUR
TRADISIONAL DAN KEARIFAN LOKAL
oleh
REBIYYAH SALASAH1

Abstrak
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar ini merupakan sub-etnis suku Sunda yang masih
mempertahankan adat lama, termasuk berkaitan dengan rumah adat. Rumah milik Masyarakat
Adat Kasepuhan Ciptagelar ini merupakan jenis rumah panggung. Karena merupakan sub-etnis
dari suku Sunda, rumahnya pun menunjukkan adanya kesamaan dengan pola arsitektur Sunda
pada umumnya.
Pandangan kosmologi suatu masyarakat dapat dilihat dari benda-benda fisik yang ada
di masyarakat salah satunya ialah rumah. mengetahui konsep kosmologi masyarakat
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar dalam rumah adatnya serta mengungkapkan wujud
nilai-nilai kosmologi pada bangunan rumah adat tersebut agar dapat mendorong peningkatan
apresiasi masyarakat terhadap arsitektur, khususnya arsitektur tradisional
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan yang dilakukan berdasarkan bahan yang
didapat dari buku-buku, jurnal dan sumber internet. Semuanya dilakukan untuk mengetahui
konsep kosmologi dalam Rumah Adat Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.

Metode analisis yang digunakan adalah hermeneutika filosofis dengan unsur-unsur
metodis antara lain interprestasi, deduksi dan induksi, kesinambungan historis, idealisasi,
heuristika dan bahasa inklusif.
Rumah Adat Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar didirikan berdasarkan azas dasar
yang disebut Tritangtu. Atas dasar azas inilah dapat ditemukan konsep kosmologi Sunda.
Konsep kosmologi Sunda terdapat dalam Naskah Kosmologi Sunda membagi menjadi 3 alam,
yaitu bumi sangkala (dunia nyata), buana niskala (alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau
alam kemahagaiban sejati). Ada juga yang membaginya dengan sebutan dunia atas, dunia
tengah, dan dunia bawah.

Kata kunci: Rumah Adat, Kosmologi, Arsitektur Tradisional

Abstract
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar is sub-ethnic Sundanese still retain old
customs, including with regard to the traditional house. The house belongs to Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar this is the type of houses on stilts. Because it is a sub-ethnic of Sundanese,
his house was about similarities with the pattern of Sundanese architecture in general.
Cosmology view of a society can be seen from the physical objects that exist in society
one is home. knowing cosmological concept Masyarkat Adat Kasepuhan Ciptagelar communities
in the traditional house and reveals a form of cosmological values in the custom home building in

order to encourage increased public appreciation of architecture, particularly the traditional
architecture
1

Program studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada 2013
Rebiyyah.salasah@mail.ugm.ac.id

1

This study is a literature review conducted by the material obtained from books, journals
and internet resources. Everything is done to determine cosmological concept in Traditional house

Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
The analytical method used is philosophical hermeneutics with methodical elements
include interpretation, deduction and induction, historical continuity, idealization, heuristics and
inclusive language.
Traditional house Masyarkat Adat Kasepuhan Ciptagelar established based on the
basic principle called Tritangtu. On the basis of this principle can be found cosmological concept
Sunda. Sunda cosmological concept contained in the manuscript Cosmology Sunda divide into 3
nature, namely bumi sangkala (dunia nyata), buana niskala (alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia

atau alam kemahagaiban sejati). There is also a divide as the world's top, middle world and the
underworld.

Keywords: traditional house, Cosmology, Traditional Architecture

Pendahuluan
Indonesia, seperti telah diketahui bersama, merupakan negara yang kaya akan segala
hal, termasuk di dalamnya kaya akan suku bangsa. Berdasarkan survei Badan Pusat
Statistik tahun 2010, suku bangsa Indonesia berjumlah 1.340 suku bangsa yang
dikelompokkan menjadi 31 kelompok suku bangsa.
Terdapat sebuah kampung adat bernama Kampung Ciptagelar berdiri di sisi selatan
daerah Sukabumi, Jawa Barat. Dalam kampung tersebut terdapat Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar yang terkonsentrasi di Kampung Cirancang, Dusun Sukamulya.
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu komunitas yang ruang hidupnya
berada di dalam kawasan TNGHS serta menjalankan pola perilaku sosio-budaya yang
mengacu pada kehidupan masyarakat tradisional Sunda pada abad 18 (Asep dalam RMI,
2004) . Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar ini merupakan sub-etnis suku Sunda yang
masih mempertahankan adat lama.
Setiap suku bangsa di Indonesia nampaknya memiliki kebudayaan masing-masing.
Kebudayaan sendiri adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1985:180). Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar pun memiliki
potensi budaya yang banyak, salah satunya yaitu berkaitan dengan tempat tinggal; rumah.
Rumah milik Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar ini merupakan jenis rumah
panggung. Karena merupakan sub-etnis dari suku Sunda, rumahnya pun menunjukkan
adanya kesamaan dengan pola arsitektur Sunda pada umumnya.
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar sendiri merupakan “lahan” yang sangat luas
untuk eksplorasi, terutama eksplorasi filosofis. Banyak konsep hidup yang dapat digali
salah satunya ialah konsep kosmologi. Belum pernah ada penggalian dan pengeksplorasian
konsep kosmologi masyarakat Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar. Kosmologi sendiri
merupakan sebuah upaya upaya penyelidikan secara mendasar untuk dapat menjelaskan
makna dunia yang mendasari semua arti “dunia” lainnya yang selalu diandaikannya (secara
implisit) (Siswanto, 2005: 5).
Pandangan kosmologi suatu masyarakat dapat dilihat dari benda-benda fisik
yang ada di masyarakat salah satunya ialah rumah. Menurut Moerdjoko (2006), dalam
masyarakat tradisional rumah dianggap sebagai bentuk mikro kosmos sebagai
penjelmaan dari bentuk makro kosmos (alam raya) yang terbagi atas tiga bagian yaitu:


Dunia atas, adalah daerah suci sebagai tempat para dewa

2





Dunia tengah, adalah daerah yang dihuni oleh manusia
Dunia bawah, adalah daerah kotor yang dihuni oleh binatang

Rumah tak hanya memiliki dimensi fungsional, tetapi juga mencerminkan
pandangan hidup masyarakatnya. Arsitektur dapat dipandang sebagai manifestasi dari
aspek sosial, budaya, teknik, ritual dan mampu mengekspresikan keyakinan atau
kaidah-kaidah yang bersifat kosmologis, serta mampu mengkomunikasikan informasi
yang mengandung sistem nilai (Amos Rapoport, 1969: 22)
Karena belum adanya usaha penggalian dan pengeksplorasian konsep
kosmologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar serta konsep kosmologi tersebut
dapat dilihat dari arsitektur rumah, maka dari itu peneliti mencoba untuk
mengeksplorasi dan menggali konsep kosmologi masyarakat Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar dengan melihat rumah adatnya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, peneliti

menentukan rumusan masalah yaitu apa konsep kosmologi masyarakat Masyarakat
Adat Kasepuhan Ciptagelar dilihat dari rumah adatnya?
Adapun tujuan penelitian ini yaitu mengetahui konsep kosmologi masyarakat
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar dalam rumah adatnya serta mengungkapkan
wujud nilai-nilai kosmologi pada bangunan rumah adat tersebut agar dapat mendorong
peningkatan apresiasi masyarakat terhadap arsitektur, khususnya arsitektur tradisional
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat diantaranya, yaitu:
1. Bagi kehidupan masyarakat, tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi
posifitf yang sifatnya filosofis mengenai nilai-nilai kosmologi pada bangunan
rumah adat terutama rumah adat tradisional yang nantinya berguna untuk
peningkatan apresiasi terhadap arsitektur tradisional dan kearifan lokal
2. Bagi perkembangan ilmu dan filsafat, kajian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
referensi dan kajian mengenai kosmologi budaya dan pengembangan kearifan lokal.
3. Bagi penulis, kajian ini dapat memberi penulis pemahaman tekstual mengenai suatu
pandangan serta merefleksikan permasalahan sehari-hari yang berada di lingkungan
penulis untuk diteliti secara lebih mendalam
Tinjauan Pustaka
Kosmologi
Kosmologi atau Philosophy of Nature secara etimologis berasal dari bahasa
Yunani Kosmos yang artinya “susunan atau keteraturan; dan logos yang artinya “telaah

atau studi”. Kosmologi merupakan salah satu cabang dari ontologi yang membecirakan
tentang problem-problem alam semesta. Kosmologi mempelajari struktur-struktur
kosmos yang pokok, dan norma-norma yang terukir di dalamnya. Kosmologi dalam hal
ini adalah sebuah upaya filsafati, yaitu upaya penyelidikan secara mendasar untuk dapat
menjelaskan makna dunia yang mendasari semua arti “dunia” lainnya yang selalu
diandaikannya (secara implicit) (Siswanto, 2005: 5).
Kosmologi mencari struktur-struktur dan hukum-hukum yang paling umum dan
mendalam dalam kenyataan duniawi seluruhnya. Kosmologi misalnya bertanya: dunia
itu apa; materi itu apa; kuantitas dan kualitas itu apa; perubahan itu apa; ruang dan
waktu itu apa; penyebaban itu apa. (Baker, 1995 dalam Said,2004)
3

Menurut Rapar (1996:47), kosmologi memandang alam semesta sebagai suatu
totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisika dengan
evidensi ilmiah dalam suatu kerangka yang koheren. Hal-hal yang biasa disoroti dan
dipersoalkan ialah mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinankemungkinan, dan keabadian. Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal
itulah yang membedakannya dari berbagai kisah asal mula dan struktur alam.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan yang dilakukan berdasarkan bahan
yang didapat dari buku-buku, jurnal dan sumber internet. Semuanya dilakukan untuk

mengetahui konsep kosmologi dalam Rumah Adat Masyarakat Adat Kasepuhan
Ciptagelar.
Metode analisis yang digunakan adalah hermeneutika filosofis dengan unsurunsur metodis antara lain interprestasi, deduksi dan induksi, kesinambungan historis,
idealisasi, heuristika dan bahasa inklusif.
Kajian atas Temuan
Masyarakat Adat Ciptagelar
Geografi
Masyarakat Adat Ciptagelar berada di Desa Sirnaresmi, desa ini termasuk dalam
wilayah administratif Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Lebak, timur dengan Kecamatan Kelapa Nunggal, Selatan
dan Barat dengan Desa Cicadas.
Masyarakat Adat Ciptagelar termasuk kedalam Komunitas Adat Kasepuhan Ciptagelar
yang terkonsentrasi di Kampung Cikarancang, Dusun Sukamulya. Anggota komunitas
Kasepuhan dalam kenyataannya telah tersebar di berbagai tempat, terutama dalam wilayah tiga
kabupaten, yaitu Sukabumi, Bogor dan Lebak. Ada juga yang hidup dan bekerja di daerahdaerah lain di luar Jawa Barat dan Banten bahkan di luar Jawa, dan khususnya di kota-kota
besar di Jawa. Mereka umumnya masih tetap mengidentifikasi diri sebagai warga masyarakat
Kasepuhan.
Pusat Kasepuhan Adat Ciptagelar berada di pedalaman hutan (enclave) yang termasuk
wilayah kelola Perum Perhutani dan Taman Nasional Gunung Halimum-Salak (menurut versi
Pemerintah), tepatnya di Dusun Sukamulya, Kampung Cikarancang.

Jarak pusat Kasepuhan Ciptagelar dari ibukota Propinsi 198 Km; dari ibukota
Kabupaten 46 Km; dari ibukota kecamatan 21 Km; dari desa Sirnaresmi 16 Km. Curah hujan
cukup, dengan jumlah bulan hujan sekitar 5 bulan per tahun. Kemiringan lereng berkisar 25 45%. Suhu udara berada pada kisaran 21 - 28°C dengan curah hujan antara 2120-3250
mm/tahun serta kelembaban udara 84% men¬jadikan wilayah desa tersebut cukup nyaman.
Sebagian besar wilayah Desa Sirnaresmi (75,24%) berada di dalam kawasan Perum
Perhutani dan sebagian kecil masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun
(TNGH). Menurut data Monografi Desa Sirnaresmi tahun 1997, dari 4.917 ha luas wilayah
Desa Sirnaresmi, 298,9 ha (6,08%) adalah lahan sawah, 203,4 ha (4,14%) berupa huma, kebun
dan talon 29 ha (0,59%), hutan lindung (TNGH) 800 ha (16,27%), hutan produksi (Perum

4

Perhutani) 2.900 ha (58,9%) dan permukiman 687 ha(13,97%). Menurut adat Kasepuhan
Ciptagelar, wilayah Desa Sirnaresmi terletak di tanah awisan (cadangan), termasuk tanah adat.
Dengan kondisi alam yang berbukit-bukit pada ketinggian antara 800 – 1200 meter dpl
dan dialiri banyak sungai, akses ke wilayah beriklim sejuk yang sangat cocok untuk pertanian
dan perkebunan ini agak sulit ditembus, terutama pada musim hujan. Dengan kondisi jalan
tanah berbatu, transportasi publik yang tersedia sekarang untuk mencapai wilayah ini adalah
sebuah Jeep - 4 WD dan motor/ojeg.
Adat

Semua perangkat adat dalam struktur kelembagaan adat bertanggung jawab kepada
pimpinan tertinggi yaitu Sesepuh (yang biasa disebut “Abah”). Semua posisi dalam struktur
tersebut didapat berdasarkan keturunan, bukan dipilih dan ditetapkan oleh warga Kasepuhan.
Pengecualian berlaku untuk Kokolot Lembur atau sesepuh di tingkat kampung dipilih oleh incu
putu atau warga Kasepuhan dalam kampung yang bersangkutan. Kokolot lembur adalah
sesepuh kampung dan dalam pertemuan adat merupakan forum yang menentukan kapan akan
diselenggarakannya seluruh rangkaian siklus dari persiapan lahan sampai panen. Umumnya
para kokolot lembur memiliki posisi tertentu dalam struktur pengurus adat Kasepuhan.kejaran
pihak Kesultanan Banten. Hal lain adalah mereka tetap tidak mau tunduk di bawah struktur
kekuasaan Banten.
Pada tahun 1957 pusat Kasepuhan, pindah lagi ke Kampung Cikaret (Sirnaresmi), untuk
kemudian ke Kampung Ciganas (Sirna Rasa) pada tahun 1972 sebelum ke Kampung Lebak
Gadog (Linggar Jati ) tahun 1982. Pada tahun 1983 mereka pindah lagi ke Kampung Datar
Putat (Cipta Rasa) dan terakhir pada 2000 ke Kampung Cikarancang (Ciptagelar) sampai
sekarang. Semua tempat perpindahan ini termasuk daerah Kabupaten SukabumiJawa Barat.
Perpindahan yang terjadi kemudian ini, menurut para pemuka adat Kasepuhan adalah
sebuah upaya untuk menapak-tilasi dan mengurus wilayah adat Kasepuhan, yang terletak
dalam tiga kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi dan Lebak dan berada di seputar kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun.
Menurut ceritera turun temurun, suatu saat kelak masyarakat adat Kasepuhan

Ciptagelar bersama-sama dengan Kasepuhan Citorek dan Cicarucub, ketiganya memiliki
hubungan kekerabatan, akan kembali lagi ke Pusat Kerajaan Pajajaran di Batu Tulis Bogor.

Rumah Adat
Rumah Adat Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan rumah yang
mencerminkan rumah adat Sunda. Rumah adat Ini dibangun dengan menggunakan
material lokal yang sifatnya ramah lingkungan. Ungkapan rasa hormat terhadap alam
tercermin dalam sebutan bumi bagi alam yang menunjukkan pula bahwa alam adalah
tempat tinggal bagi masyarakat Sunda. Istilah bumi juga digunakan untuk menyebut
secara hals rumah atau tempat tinggal orang Sunda. (Puspita, 2013:15)
Rumah adat ini memiliki lima struktur utama yang merupakan analogi dari
tubuh manusia. Struktur utama rumah tersebut digambarkan sebagai berikut.
No

Struktur Rumah

Analogi

5

Fungsi

1.

Hateup (Atap)

Kepala

Melindungi
bangunan dari cuava
seperti panas dan
hujan

Atap rumah yang berbentuk
segitiga, merupakan simbol
masyarakat
yang
patuh
terhadap adat.
Material
atap
meliputi
dedaunan, ijuk, tepus dan
lainnya disusun bertumpuk
saling menutupi menyerupai
struktur kulit salak

2.

Para (Plafond)

Taktak (bahu)

Menahan panas dan
beban, menjadikan
suhu menjadi lebih
sejuk. Selain itu juga
sebagai
tempat
penyimpanan
barang.

3.

Beuteung (isi rumah)

Perut

Tempat
berlangsungnya
segala aktivitas yang
memberikan
kehidupan
pada
manusia.

4.

Kolong (Panggung)

Pernapasan

Bentuk
penghormatan
terhadap
unsur
kehidupan di dalam
tanah.

Kaki bangunan yang membuat
jarak antara tanah dan dasar
bangunan, biasanya diukur
setinggi lutut pemilik rumah.

Melindungi
dari
banjir, melancarkan
sirkulasi
udara,
melindungi
dari
hewan buas, tempat
menyimpan hewan
peliharaan.
5.

Tapak (Fondasi)

Kaki

Bermaterial batu kali atau
cettakan beton

Penopang
bangunan

tiang

Rumah Adat Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian depan merupakan ruangan yang bersifat umum, ruangan ini disebut ruangan yang
merupakan wilayah kekuasaan laki-laki. Sedangkan bagian belakang merupakan ruangan
6

bersifat khusus merupakan wilayah kekuasaan perempuan. Bagian tengah merupakan ruang
berkumpulnya keluarga, dimana terdapat suami, istri dan anak.
Bagian depan rumbah biasa terdiri dari teras. Teras berada di luar rumah. Namun, tidak
semua rumah harus memiliki teras. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan.Teras juga biasa
digunakan juga untuk menerima tamu.
Selain itu juga terdapat ruang tamu, biasanya dipakai para laki-laki untuk menerima
tamu; bagian lainnya kamar tamu diperuntukkan untuk orang di luar anggota keluarga baik
saudara yang tinggal jauh dari Ciptagelar atau tamu dari kota yang ingin menginap.
Pada bagian belakang rumah terdapat Pawon (dapur), Di dapur terdapat hawu,
merupakan tungku api yang digunakan untuk memasak nasi atau jenis makanan lainnya.
Bagian depan rumah merupakan tempat berkumpulnya keluarga, baik suami, istri
maupun anak. Tempat dimana berleburnya wilayah kekuasaan laki-laki dan perempuan. Lalu
ada MCK (Mandi, Cuci, Kakus) yang ditempatkan terpisah dari bagian rumah karena tempat
ini
bersifat
kotor.

Konsep Kosmologi dalam Rumah Adat Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
Rumah Adat Masyarakat Ciptagelar mengikuti konsep rumah adat Sunda. Hal ini
terlihat dari pembagian ruangan dalam rumah adat tersebut. Meskipun struktur rumah serta luas
bangunan bisa jadi berbeda-beda tetapi konsep rumah tersebut selalu dipegang teguh, terutama
konsep yang sudah ditentukan oleh adat.
Pada dasarnya, masyarakat Sunda dalam berbagai segi kehidupannya selalu dilandasi
konsep Tritangtu. Konsep Tritangtu atau disebut juga azas kesatuan merupakan azas dasar
masyarakat Sunda lama. Azas demikian itu bukan hanya terdapat di masyarakat Sunda, tetapi
juga di Minangkabau, Melayu, Batak. Itulah pandangan dunia masyarakat peladang.
Konsep Titangtu atau tiga ini mendasari berbagai artefak budaya Sunda, baik yang
tampak maupun tidak tampak.
Konsep Tritangtu berarti adanya dualisme antagonistik segala hal yang diharmonikan
dalam entitas ketiga yang paradoksal. Realitas itu dualistik, tetapi semua hal yang dualistik
merupakan pasangan biner, yakni pasangan dua hal yang saling bertentangan. Kondisi
semacam ini tidak boleh dibiarkan dalam ketegangan konflik, yang hanya berakhir dengan
kemusnahan. Untuk itu diperlukan harmoni antara pasangan dualistik tersebut. Harmoni itu
merupakan integrasi antara dua alamat dualistik, sehingga memunculkan “alamat yang ketiga”.
Dengan demikian, pemikiran dualisticlmenjelma menjadi pemikiran tritunggal.
Konsep Tritangtu ini terlihat jelas dalam rumah Adat Masyarakat Ciptagelar, terutama
dalam pembagian ruang dimana terbagi dalam tiga bagian. Bagian depan merupakan wilayah
kekuasaan laki-laki, bagian belakang merupakan wilayah kekuasaan perempuan, dan bagian
tengah merupakan tempat berkumpulnya keluarga. Pada bagian tengah ini, pasangan dua hal
yang saling bertentangan yakni laki-laki dan perempuan sebagai suami istri kemudian melebur
dan diharmonikan dalam entitas ketiga yang diwakilkan oleh kehadiran anak yang sifatnya
paradoksal.
7

Dari pembagian ruangan serta azas yang mendasarinya dapat dilihat konsep kosmologi
Sunda, dimana dalam Naskah Kosmologi Sunda membagi menjadi 3 alam, yaitu bumi sangkala
(dunia nyata), buana niskala (alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban
sejati). Ada juga yang membaginya dengan sebutan alam atas, alam tengah, dan alam bawah.
Bumi sangkala, alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki jasmani
(raga) dan rohani (jiwa), yakni manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Buana niskala, alam gaib tempat tinggal
makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi,
bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa
bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi dari manusia. Buana niskala,
merupakan kata lain dari surga dan neraka.
Naskah Kosmologi Sunda mencerminkan gambaran jenis penghuni dan tingkat
kegaiban dari masing-masing alam. Digambarkan pula kedudukan masing-masing, baik
kosmos maupun penghuninya. Namun naskah tersebut tidak mengungkapkan adanya alam
yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala).

Penutup
Rumah tak hanya memiliki dimensi fungsional, tetapi juga mencerminkan pandangan
hidup masyarakatnya. Arsitektur dapat dipandang sebagai manifestasi dari aspek sosial,
budaya, teknik, ritual dan mampu mengekspresikan keyakinan atau kaidah-kaidah yang
bersifat kosmologis, serta mampu mengkomunikasikan informasi yang mengandung sistem
nilai (Amos Rapoport, 1969: 22). Pun begitu dengan Rumah Adat Masyarakat Adat Kasepuhan
Ciptagelar Sukabumi, dalam rumah tersebut dapat digali nilai-nilai serta konsep-konsep yang
merupakan cerminan pandangan hidup masyarakat.
Rumah adat milik Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan rumah yang
memiliki konsep yang sama sebagaimana halnya rumah adat Sunda. Masyarakat Sunda, entah
di daerah manapun ia berada, hidupnya selalu didasari atas sebuah azas dasar yang disebut
Tritangtu atau tri tunggal. Konsep ini melandasi seluruh segi kehidupan manusia Sunda.
Bentuk rumah serta bagian-bagiannya pun tidak terlepas dari konsep Tritangtu, hal ini
memudahkan untuk mengamati lebih jauh konsep-konsep selanjutnya yang tercermin dalam
rumah adat tersebut.
Konsep kosmologi merupakan konsep yang akhirnya dapat digali, tentunya dengan
melihat terlebih dahulu konsep dasar yakni Tritangtu. Kosmologi Sunda membagi alam
menjadi tiga bagian yakni alam atas, alam bawah, dan alam tengah. Ada juga yang
menyebutnya bumi sangkala (dunia nyata), buana niskala (alam gaib), dan buana jatiniskala
(dunia atau alam kemahagaiban sejati).
Dunia nyata merupakan dunia yang penuh paradoks dimana tempat manusia hidup dan
beraktivitas bersama makhluk Tuhan lainnya. Dunia ini disebut entitas kettiga yang
mengharmonikan realitas dualistik yang menjadi ciri khas Tritangtu.
Konsep Tritangtu berarti adanya dualisme antagonistik segala hal yang diharmonikan
dalam entitas ketiga yang paradoksal. Realitas itu dualistik, tetapi semua hal yang dualistik
merupakan pasangan biner, yakni pasangan dua hal yang ]saling bertentangan. Kondisi
8

semacam ini tidak boleh dibiarkan dalam ketegangan konflik, yang hanya berakhir dengan
kemusnahan. Untuk itu diperlukan harmoni antara pasangan dualistik tersebut. Harmoni itu
merupakan integrasi antara dua alamat dualistik, sehingga memunculkan “alamat yang ketiga”.
Dengan demikian, pemikiran dualisticlmenjelma menjadi pemikiran tritunggal.
Kajian mengenai konsep kosmologi serta kajian-kajian lainnya terhadap bangunan
ataupun peninggalan adat suatu masyarakat merupakan suatu usaha agar sebuah kebudayaan
dtidak sekadar dihayati begitu saja sehingga pada akhirnya tergerus zaman, tetapi mendorong
peningkatan apresiasi masyarakat terhadap arsitektur, khususnya terhadap kebudayaan dan
kearifan lokal masyarakat Indonesia.

9

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Moerdjoko, 2006, Discourseto The Concept of Place in The Vernacular Settlement, Prosiding
3rd International Seminar on Vernacular Settlement, Jurusan Arsitektur Universitas
Kristen Petra , Surabaya.

Puspita, Ita, 2013, Rumah Etnik Sunda, Jakarta, Naga Swadaya
Rapoport,A., 1969, House, Form and Culture. Prentice-Hall,Inc., Engelwood Cliffs, New
Jersey.
Rapar, Jan Hendrik., 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius
Said, A..A., 2004, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja, Ombak, Yogyakarta.

Penelitian :
Agustian, Pitria, 2014, Leksikon Etnofarmakologi Di Kampung Adat Ciptagelar, Desa
Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi (Kajian Etnolinguistik).
Universitas Pendidikan Indonesia
Efendi, Rahmad, 2012, Dampak Penguasaan Kawasan Halimun oleh Pemerintah dan
Korporasi terhadap Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar. Universitas
Padjadjaran
Putra, B. D, 2013, Tumpang Tindih Hak Penguasaan Atas Tanah (Ulayat) Masyarakat Hukum
Adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi-Jawa Barat dengan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. SKRIPSI HUKUM.

Samsuri, H., & Siswoko, B. D, 2015, Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
dalam Pengelolan Hutan (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

10