FILOLOGI DAN FILSAFAT ILMU docx

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari untuk menyampaikan pikirannya. Bahasa menjadi satu hal yang tidak bisa dipisahkan
dari manusia, melekat dan menjadi milik manusia. Bahasa yang melekat pada manusia selalu
hadir dalam kegiatan manusia sepanjang hidup manusia tersebut. Manusia mampu
mengungkapkan segala sesuatu yang mereka pikirkan tentang dunia ini melalui bahasa yang
dimilikinya.
Dalam kehidupan bermasyarakat bahasa menjadi satu identitas bagi masyarakat
penuturnya. Masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat lainnya dalam menggunakan
suatu bahasa. Bahasa juga merupakan aspek yang terkandung dalam filologi selain kesusastraan
dan kebudayaan. Filologi merupakan subdisiplin linguistik yang mengkaji naskah-naskah lama
dalam rangka untuk mengetahui latar belakang kebudayaan masyarakat pemakainya (Soeparno,
2013: 29). Filologi secara luas merupakan ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan
suatu bangsa yang meliputi bahasa, sastra dan seni.
Karya masa lalu termasuk naskah-naskah kuno merupakan peninggalan yang mampu
memberikan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah ada yang mengandung
nilai-nilai berharga yang masih dapat diterapkan dimasa kini. Kita juga dapat memperoleh
informasi dari masa lalu atau dari tempat yang sangat jauh melalui karya masa lalu, meliputi
pengetahuan dan kebudayaan nenek moyang serta kebudayaan-kebudayaan yang lain. Oleh

karena itu, menjadi penting bagi setiap generasi untuk menjaga peninggalan-peninggalan karya
masa lalu.
Filsafat merupakan sekumpulan pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses
berpikir yang sangat logis dan sistematis. Zainal Abidin (2011: 26-27) mengatakan pada
dasarnya filsafat merupakan suatu pendekatan (approach) dalam memandang, mendeskripsikan,
dan menginterpretasikan objek-objek kajiannya yakni sesuatu yang menjadi kenyataan
(ontologi), pengetahuan (epistemologi) dan nilai (aksiologi).
Setiap disiplin ilmu memiliki objek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material
dan objek formal. Objek material merupakan objek yang menjadi tinjauan penelitian atau hal
1

yang diselidiki sedangkan objek formal yaitu sudut pandang dari mana objek material tersebut
disorot. Objek formal tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama juga
membedakannya dari bidang lain. (Surajiyo, 2015: 9).
Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi
yang jauh lebih berkembang dibanding pengetahuan-pengetahuan lain. Menurut Jujun S.
Suriasumantri (2009: 33), semua pengetahuan baik seni, ilmu, atau pengetahuan apa saja
memiliki ketiga landasan ini dan untuk membedakan jenis pengetahuan maka dapat dilihat dari:
Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan
tersebut (epistemologi) serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologi)?.

Filologi sebagai subdisiplin ilmu linguistik juga memiliki objek kajian atau landasan
yang terdapat dalam filsafat ilmu. Kajian atau landasan tersebut antara lain ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa hakekat atau objek kajian filologi dalam filsafat ilmu?
2. Bagaimana cara, prosedur ilmiah atau sistematika pemerolehan ilmu melalui studi
filologi?
3. Apa saja nilai-nilai dan kebermanfaatan yang terkandung dalam studi filologi?
C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini antara laim:
1. Untuk mengetahui hakekat atau objek kajian filologi dalam filsafat ilmu.
2. Untuk mengetahui cara, prosedur ilmiah atau sistematika pemerolehan ilmu melalui studi
filologi.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai serta kebermanfaatan yang terkandung dalam studi filologi.
D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan dan sebagai informasi
tambahan bagi penulis dan juga pembaca terkait dengan filologi dalam tinjauan filsafat ilmu.
Makalah ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap landasan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi filsafat ilmu dalam studi filologi.

2

BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang merupakan gabungan dua kata: Philo yang
berarti cinta (love) dan shopia

yang berarti kebijaksanaan (yang mencakup pengetahuan,

keterampilan, pengalaman, dan intelegensi), sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan (Surajiyo: 2007: 1). Sikap bijaksana dalam pengambilan keputusan dalam upaya
menjalani kehidupan dari dulu hingga sekarang masih sangat diperlukan. Filsafat menelaah
segala permasalahan yang dapat dipikirkan oleh manusia. Cabang filsafat yang membahas
masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat epistemologi yang
mengkaji secara spesifik mengenai hakikat suatu ilmu. Menurut Jujun S. Suriasumantri (2009:
45), filsafat ilmu merupakan penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk
memperolehnya.
A. Objek Kajian Filologi
Landasan ontologis suatu ilmu berbeda dengan ilmu lainnya karena apa yang menjadi
objek kajian ilmu tersebut juga berbeda. Ontologi berasal dari bahasa Yunani: On yang berarti

being dan Logos yang berarti ilmu. Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak. (Amsal Bakhtiar, 2012: 134).
Menurut Kattsof (2004: 76), ontologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada,
berusaha untuk mengetahui eksistensi terdalam dari yang ada. Senada dengan hal ini, Hakim dan
Saebandi (2008: 22) juga mengemukakan bahwa ontologi adalah teori hakikat yang
mempertanyakan setiap eksistensi.
Ontologi menjadi pembahasan utama dalam filsafat ilmu karena ontologi membahas
tentang hakikat atau realitas. Hakikat merupakan kenyataan atau keadaan yang sebenarnya bukan
keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu. (Ahmad Tafsir, 2013: 28).
Menurut Adib (2010: 70) argumen ontologi ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428348 SM) dengan teori idenya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada
idenya. Ide yang dimaksud oleh Plato adalah define atau konsep universal dari tiap sesuatu. Dari
3

sini, ide yang dimaksud oleh Plato adalah wujud konsep yang merupakan sebuah hakikat yang
menjadi dasar suatu ilmu.
Filologi adalah ilmu yang mengkaji naskah-naskah dan teks-teks lama untuk
mengungkapan isi teks dari pelbagai tradisi tulis yang telah dilakukan pada masa lampau.
Filologi berusaha mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa pada
peninggalan dalam bentuk tulisan. Informasi tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh teks

klasik dapat dibaca di dalam peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan atau yang biasanya
disebut naskah. Dari situasi inilah kemudian filologi dipandang sebagai ilmu tentang bahasa.
Peranan bahasa dalam mengkaji teks sangatlah penting sehingga kajian utama filologi
adalah bahasa teks-teks lama. Bidang bahasa yang ditelaah oleh filologi adalah bidang yang
beraspek masa lampau, misalnya salah satu segi dari bahasa bandingan, perkembangan bahasa
bandingan, dan hubungan kekerabatan antara beberapa bahasa. Seperti telah dijelaskan di atas,
setiap ilmu memiliki wujud hakikat atau realitas yang menjadi objek kajian dalam ilmu tersebut.
dalam studi filologi, suatu karya tulisan merupakan wujud hakikat yang ada dan ini menjadi hal
wajib yang dikaji oleh filologi sehingga naskah dan teks lama tersebut merupakan objek kajian
atau wujud hakikat dalam studi filologi.
B. Filologi dan Metode Ilmiah
Dalam filsafat ilmu, terdapat cabang yang membahas mengenai bagaimana sebuah
pengetahuan didapatkan. Cabang tersebut disebut epistemologi. Istilah Epistemology pertama
kali dipakai oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua cabang filsafat,
yaitu episemologi dan ontologi (metafisika umum). Epistemologi berasal dari kata Yunani,
episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan
pikiran, kata, atau teori. Secara etimologi epistemologi dapat diartikan teori pengetahuan yang
benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggris menjadi Theory
of Knowledge. Pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah Apakah yang dapat saya ketahui?.
(Surajiyo, 2015: 53).

Menurut Kattsof (2004: 74), epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal
mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan dengan kata lain epistemologi
merupakan cabang filsafat ilmu yang membahas tentang bagaimana cara atau prosuder untuk
mendapatkan suatu ilmu. Pertanyaan mendasar yang dikaji dalam epistemologi adalah: apakah
4

mengetahui itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan? Bagaimana cara memperoleh
pengetahuan? Dan lain sebagainya.
Landaan epistemologi suatu ilmu menjelaskan proses dan prosedur yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan berupa ilmu serta hal-hal yang harus diperhatikan agar diperoleh suatu
pengetahuan ilmiah, menjelaskan kebenaran serta kriterianya, dan cara yang membantu
mendapatkan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang telah memenuhi
unsur-unsur epistemologis yang dinyatakan secara sistematis dan logis. (Hakim-Saebani, 2008:
22).
Prosedur atau tata cara untuk mendapatkan suatu pengetahuan dapat dilakukan dengan
menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru
atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. (Gie, 2012: 110).
Pada mulanya, istilah ”filologi (philologia)” lahir dan berkembang di kawasan kerajaan
Yunani. Kegiatan filologi dimulai sejak abad ke-3 M oleh sekelompok ahli dari Alexandria yang

mengkaji teks-teks lama yang berasal dari Yunani. Pada saat itu filologi diartikan sebagai suatu
keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa tulisan yang berasal dari kurun
waktu beratus-ratus tahun sebelumnya. (Baroroh, 1985: 1). Studi filologi sebagai ilmu
menerapkan metode ilmiah dalam mengkaji objek kajian yang menjadi pembahasannya.
Epistemologi mengawali pemerolehan suatu ilmu dengan menggunakan metode ilmiah.
Pengetahuan diterima sebagai suatu ilmu bila dalam penemuannya menggunakan prosedur
ilmiah atau metode ilmiah. Dalam epistemologi tidak hanya mengandalkan pengetahuan indrawi
akan tetapi juga pengetahuan rasio. Hal ini dilakukan karena pengetahuan indrawi memiliki
kelemahan-kelemahan yang dapat menipu manusia. Menurut Saebani (2009: 63), sistematika
filsafat ilmu bermula dari logika yang menghubungkan pengetahuan rasio dan pengetahuan
indrawi. Urutan-urutan berpikir logis dapat dilakukan secara deduktif, induktif, atau dialektis.
Menurut Endang Komara (2011: 66), komponen ilmu yang hakiki adalah fakta dan teori,
namun terdapat komponen lain yang disebut fenomena atau konsep. Fenomena yang ditangkap
oleh indra manusia sebagai masalah yang ingin diketahui oleh manusia diabstraksikan dengan
konsep. Konsep merupakan istilah yang mengandung pengertian singkat dari fenomena. Dengan
kata lain, konsep merupakan penyederhanaan fenomena. Sehingga konsep-konsep yang
ditemukan dan ditunjang oleh pengetahuan indrawi atau data empirik merupakan sebuah fakta.
5

Selanjutnya fakta-fakta yang telah ditemukan dan dibuktikan oleh data empirik disebut teori.

Teori digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang terjadi di alam. Penjelasan
fenomena diperoleh melalui abstraksi antara konsep dan fenomena yang terjadi sehingga terdapat
hubungan kausalitas yang berlaku secara umum.
Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang diperoleh dengan cara berpikir yang
sistematis. Cara berpikir dalam penemuan suatu ilmu terdiri dari: induktif dan deduktif. Berpikir
induktif merupakan cara berpikir dengan melihat fenomena-fenomen yang terjadi kemudian dari
fenomena tersebut digeneralisasi sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Berpikir deduktif
merupakan cara berpikir yang menggunakan teori-teori untuk menjelaskan fenomena yang
terjadi. Berpikir deduktif selalu menggunakan silogisme.
Langkah-langkah yang digunakan dalam metode ilmiah untuk mencari kebenaran suatu
ilmu menurut Burhanuddin Salam (1997: 106-108) adalah sebagai berikut: 1) Penemuan
masalah, 2) Perumusan kerangka masalah, 3) Pengajuan hipotesis, 4) Deduksi dari hipotesis, 5)
Pembuktian hipotesis, dan 6) Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah. Menurutnya, dalam
pengajuan hipotesis, pada hakikatnya merupakan hasil penalaran induktif-deduktif yang
dilanjutkan dengan pengujian hipotesis dengan identifikasi fakta-fakta yang dapat dilihat dalam
dunia fisik yang nyata. Sehingga, ketika fakta-fakta tersebut dapat dibuktikan secara empiris
maka hipotesis dapat diterima kebenarannya dan dapat menjadi teori ilmiah.
Hipotesis merupakan asumsi atau dugaan sementara yang kebenarannya perlu pengujian
lebih lanjut. Begitu pula dalam setiap penelitian yang dilakukan untuk membuktikan hipotesis
tersebut dapat diterima atau tidak maka hipotesis tersebut perlu diuji. Kebenaran sebuah

hipotesis memiliki ukuran tersendiri diantaranya dapat dikatakan benar apabila benar secara
korespondensi, koherensi, dan juga memiliki kebenaran pragmatis. Kebenaran korespondensi
merupakan teori kebenaran antara pernyataan dan pengetahuan rasio manusia, suatu pernyataan
dikatakan benar jika pernyataan tersebut berkorespondensi atau berhubungan dengan fakta,
kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran di mana suatu pernyataan dikatakan benar bila
pernyataan tersebut konsisten dengan pernyataan-pernyatan sebelumnya yang dinyatakan benar,
sedangkan berdasarkan teori kebenaran pragmatis, suatu pernyataan dikatakan benar bila
pernyataan tersebut memiliki fungsi atau kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Menurut Endang Komara (2011: 79), menguji hipotesis ialah membandingkan atau
menyesuaikan segala yang terkandung dalam hipotesis dengan data empirik. Data yang
6

digunakan untuk menguji hipotesis diketahui melalui operasional variabel yang terkandung
dalam hipotesis. Selanjutnya, dalam menentukan indikator variabel-variabel operasional maka
persoalan validitas dan reliabilitas memegang peranan penting.
Filologi dilihat dalam tinjauan epistemologi filsafat ilmu memiliki langkah-langkah kerja
filologi yang dilakukan dengan pelbagai tahap, yaitu: 1) Inventirisasi naskah-naskah kuno, 2)
Deskripsi naskah dan teks, 3) Alih tulis teks ke dalam bahasa latin, 4) Menerjemahkan teks,
mengungkapkan serta menganalisa isi teks untuk kepentingan pemahaman perkembangan
kebudayaan dan bahasa. (Hesti Mulyani, 2011: 312).

Dari rangkaian kegiatan dalam studi filologi di atas, inventarisasi naskah-naskah kuno
merupakan langkah awal setelah menentukan naskah yang akan diteliti dengan menerapkan
metode induktif di mana dalam inventarisasi naskah terdapat dua metode yaitu metode studi
pustaka (studi katalog) dan metode studi lapangan (meninjau secara langsung lokasi naskahnaskah kuno). Melalui hasil pengamatan maka peneliti dapat mengetahui kondisi naskah yang
relevan dengan naskah yang menjadi objek kajian penelitian. Naskah-naskah yang telah
diinventarisir merupakan sumber data penelitian. Langkah kedua setelah inventarisasi naskah
adalah deskripsi naskah, yaitu menggambarkan kondisi naskah baik dari segi kertas maupun hal
lain yang terkait dengan naskah tersebut. Tahap ketiga adalah alih tulis teks di mana karya tulisan
masa lampau biasanya tertulis dengan menggunakan bahasa daerah sehingga perlu untuk
menuliskannya kembali menggunakan bahasa latin yang dapat dimengerti oleh masyarakat.
Terjemahan adalah penggantian bahasa dari bahasa yang satu ke dalam bahasa lain atau
pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan dilakukan sedekatdekatnya dengan makna masing-masing kata pada bahasa sumber dan konteks kalimatnya.
Secara teknis, dalam terjemahan dimungkinkan mengubah susunan atau kalimat. Untuk
menyelaraskan kalimat, maka bila diperlukan dapat dilakukan dengan menghilangkan atau
menambah awalan atau akhiran pada kata atau kalimat tersebut.
Menurut Noeng Muhadjir (2007: 51), dalam metodologi penelitian konsep, objektivitas,
reliabilitas, dan validitas sering diperkenalkan. Dasar berpikir posistivistik dalam upaya mencari
kebenaran dilandaskan pada besar kecilnya frekuensi kejadian atau variansi objek. Dalam
penelitian kualitatif kebenaran tidak diukur berdasar frekuensi dan variansi, akan tetapi
dilandaskan pada ditemukannya hal yang esensial, hal yang instrinsik benar. Penelitian kualitatif


7

mengejar kebenaran lewat ditemukannya sumber terpercaya sehingga hal yang esensial dapat
ditemukan.
Dalam setiap penelitian, hal yang penting diperhatikan adalah cara agar segala kegiatan
yang dilakukan oleh peneliti valid dan reliable, sehingga ilmu sebagai hasil penelitian memiliki
tingkat kebenaran yang tidak diragukan. Dalam studi filologi salah satu pokok perhatian adalah
sumber data yang diperoleh, sumber data berupa naskah-naskah atau teks-teks lama harus
memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang dapat dipercaya sehingga hasil penelitian yang
berdasarkan pada sumber data juga dapat dipercaya. Saifuddin Azwar (2012: 2) mengatakan
bahwa sifat valid dan reliabel diperlihatkan oleh tingginya akurasi dan kecermatan hasil
pengukuran. Sebuah instrument dikatakan tidak valid bila tidak mampu menghasilkan informasi
yang akurat mengenai atribut atau variabel yang diukurnya atau dengan kata lain tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Menurut Heri Retnawati (2016: 16), validitas menunjukkan dukungan fakta empiris dan
alasan teoritis terhadap interpretasi skor suatu pengukuran, dan terkait dengan kecermatan
pengukuran. Menurut Saifuddin (2012: 8), Validitas memiliki arti sejauhmana suatu tes atau
skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Validitas sendiri dikelompokkan menjadi tiga
tipe, yaitu: validitas kriteria, validitas isi, dan validitas konstruk. (Allen & Yen, Fernandes via
Heri Retnawati, 2016: 16). Menurut Suharsimi (2013: 80-83), secara garis besar terdapat dua
macam validitas, yaitu validitas logis dan validitas empiris. Validitas logis berasal dari kata
logika yang berarti penalaran. Sehingga dalam pelaksanaannya validitas logis mengandung
proses penalaran yang sudah ada. Validitas logis terdiri dari dua, yaitu validitas isi dan validitas
konstruk. Sejalan dengan hal ini, Sutrisno Hadi (2015: 151) mengatakan konsep validitas logis
bertolak dari konstruksi teoritis tentang faktor-faktir yang hendak diukur oleh suatu pengukur.
Dari konstruksi teoritis dilahirkan definisi-definisi yang digunakan peneliti sebagi ukuran valid
tidaknya alat ukur yang dia buat. Oleh karena itu, validitas logis terkadang juga disebut validitas
konstruk atau validitas dari definisi.
Penelitian filologi menggunakan pendekatan validitas konstruk di mana validitas ini
berupa pembuktian bahwa konstruk yang dihopetisiskan dapat dikonfirmasi keberadaannya. Bila
sumber data berupa naskah-naskah maupun teks-teks lama relevan dengan objek yang ditelliti

8

dan dapat dikonfirmasi keberadaannya maka data tersebut dapat dipercaya dan dapat digunakan
untuk mengungkapkan suatu realitas yang pernah ada.
Metodologi ilmu merupakan penelaahan terhadap metode yang khusus dipergunakan
dalam suatu ilmu. Kokohnya metode menentukan validitas dan reliabilitas dari hasil imu.
Struktur logis dari suatu ilmu dalam penyimpulannya tunduk pada kaidah-kaidah logika dengan
standar ketelitian logis yang tinggi. (Gie, 2012: 84).
Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki dasar pembenaran yang menuntut
pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan derajat kepastian. Pernyataan harus
didasarkan atas pemahaman a priori dan juga harus berdasarkan hasil kajian empirik. Ilmu juga
bersifat sistemik dan sistematik yakni menunjuk pada pengetahuan yang didasarkan pada riset
ilmiah, serta sifat intersubjektifitas ilmu yang tidak didasarkan pada intuisi tetapi harus
mengalami verifikasi oleh subjek-subjek lain. (Semiawan et. al, 2010: 137-139)
Sehingga pengungkapan naskah-naskah kuno melalui studi filologi akan dapat diketahui
bentuk keaslian dan kondisi naskah yang dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk
menjaga naskah atau bahkan menyalin ulang naskah tersebut demi menjaga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
C. Nilai Etis, Estetika dan Nilai Guna Studi Filologi
Ilmu merupakan sesuatu yang dapat membantu manusia dalam kehidupannya. Dengan
menggunakan ilmu, manusia dapat dengan cepat dan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ilmu yang ada dapat dirasakan manusia adalah seperti munculnya berbagai macam obat untuk
menyembuhkan penyakit, dengan ilmu pula manusia dapat menciptakan transportasi untuk
memudahkan manusia. Dengan majunya ilmu manusia dapat menciptakan berbagai macam
teknologi untuk membantu meringankan beban manusia namun kemudian dipergunakan untuk
hal-hal yang bersifat negatif yang dapat merugikan manusia. Dua sisi inilah yang
menggambarkan hubungan ilmu pengetahuan dengan moral, nilai-nilai atau etika. Oleh karena
itu, suatu ilmu harus memiliki keberpihakan terhadap nilai-nilai kebaikan dan kemanusian.
Aksiologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti nilai dan
logos yang berarti ilmu, sehingga aksiologi dipahami sebagai ilmu tentang nilai. Aksiologi
merupakan landasan yang berbicara mengenai kebermanfaatan nilai-nilai suatu ilmu. Dalam
kajian aksiologis ilmu membicarakan untuk apa dan untuk siapa ilmu dikembangkan. Hal ini
9

sejalan dengan Suriasumantri (2009: 33) yang menyatakan bahwa aksiologi merupakan telaah
ilmu yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, keterkaitan antara
penggunaan ilmu dengan kaidah-kaidah moral dan penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral.
Sarwan (1984: 22) menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi,
realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan filsafat orang
mungkin dapat menjadi lebih bijaksana dalam menjalani kehidupan. Kegunaan filsafat dapat
dijelaskan dalam tiga hal: pertama, filsafat sebagai kumpulan teori yang digunakan untuk
memahami dan mereaksi-dunia pemikiran, filsafat sebagai pandangan hidup hampir sama
dengan agama di mana menjadi sebuah pedoman untuk dijadikan acuan dalam menjalani
kehidupan dan filsafat sebagai pemecahan masalah di mana penyelesaian masalah dilakukan
secara universal dan mendalam. (Ahmad Tafsir, 2013: 42-44). Kehadiran ilmu yang berlandaskan
pada filsafat diras mampu untuk membantu manusia dalam mencapat tujuan hidup.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah bagian dari
filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (nilai etika atau moral), indah dan tidak
indah (nilai estetika), serta manfaat atau nilai guna. Dengan adanya aksiologi sebagai salah satu
landasan pengembangan studi filologi, maka studi filologi semestinya tertaut nilai (value
bounded) yang disesuaikan dengan nilai budaya yang ada dalam masyarakat serta moral
masyarakat, sehingga ilmu yang dikembangkan memberikan manfaat kepada masyarakat.
Menurut Baried-Baroroh (1985:5), tujuan filologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus.
a. Tujuan umum filologi
a) Memahami kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun
tertulis.
b) Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya.
c) Mengungkapkan

nilai-nilai

budaya

lama

sebagai

alternatif

pengembangan

kebudayaan.
b. Tujuan khusus filologi
a) Menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya.
b) Mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.
c) Mengungkap persepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya.
10

Selain tujuan, terkait dengan filologi sebagai suatu ilmu maka nilai-nilai dan
kebermanfaatannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Filologi hadir sebagai ilmu bantu bagi ilmu lain. Filologi merupakan ilmu yang
mempelajari bahasa dalam manuskrip atau teks kuno untuk mengetahui kebudayaan,
pranata, dan sejarah suatu bangsa. Perbandingan bahasa merupakan cara kerja yang
paling berkembang pada permulaan abad XIX sehingga memunculkan istilah filologi
bandingan atau filologi komparatif. Filologi menjadi cikal bakal, benih-benih utama, dan
akar tumbuhnya linguistik bandingan, dalam hal ini linguistik bandingan historis. (Djoko
Saryono, 2011: 91).
2. Hubungan linguistik bandingan historis dan filologi dimanfaatkan untuk membaca
kembali teks-teks Melayu, seperti Sejarah Melayu, Hikayat Bayan, Hikayat Budiman,
dan Hikayat Hang Tuah, menyunting serta merekonstruksi teks induk menjadi berbagai
teks turunan atau teks-teks sambutan.
3. Filologi mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan teks yang diteliti agar dapat
diketahui karya sastra yang diteliti itu berada dalam kelompok atau jenis sastra yang
mana dan apa manfaat serta guna karya sastra tersebut. Sastra mentrasformasikan suatu
kejadian ke dalam bentuk teks, dari bahasa formal ke dalam bahasa sastra. Teks tersebut
merupakan aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu sehingga
pengetahuan masa lampau dapat disebarluaskan dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
Karya sastra memiliki tujuan estetis di mana karya sastra disajikan menggunakan
imajinasi dengan tujuan agar peristiwa yang sesungguhnya dapat dipahami secara lebih
bermakna, lebih meluas serta mendalam. (Nyoman Khuta Ratna, 2007: 14)
4. Filologi secara luas adalah pengetahuan tentang sastra. Jangkauan studi filologi meliputi
aspek kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan. Karya sastra yang memiliki nilai moral
dari suatu masyarakat serta juga menampilkan imajinasi serta nilai seni dari masa lampau
dengan gaya bahasa yang unik untuk melukiskan berbagai konflik, dilema dan situasi lain
pada masa itu. (Salleh, 2013: 8)
5. Naskah-naskah kuno memiliki ajaran-ajaran yang bersifat universal dan nilai-nilai
kearifan lokal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia sehingga pengungkapan isi
naskah memiliki nilai yang sangat berharga bagi masyarakat kini sehingga studi filologi
akan sangat berguna dalam pengungkapan naskah-naskah kuno tersebut.
11

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat epistemologi yang mengkaji secara spesifik
mengenai hakikat suatu ilmu. Dalam filsafat ilmu terdapat tiga bidang kajian yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ontologi dalam filsafat ilmu berbicara mengenai hakikat atau
bidang telaah suatu ilmu. Epistemologi dalam filsafat ilmu merupakan cara atau prosedur
bagaimana sebuah ilmu didapatkan. Bidang kajian terakhir dalam filsafat ilmu adalah aksiologi
yang dipahami sebagai ilmu tentang nilai.
Melalui tiga bidang kajian ini, filologi dapat dibedakan dari ilmu-ilmu lain karena
ditinjau secara ontologi, objek kajian dalam filologi merupakan wujud hakikat yang ada menjadi
hal wajib yang dikaji oleh filologi adalah karya tulisan berupa naskah dan teks lama. Filologi
ditinjau

secara

epistemologi

merupakan

sebuah

pendekatan

yang

dilakukan

dalam

mengungkapkan isi naskah-naskah atau teks-teks lama. Studi filologi memiliki tiga aspek yakni
kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan sehingga ketika ditinjau dari sudut pandang aksiologi
filologi memiliki kebermanfaatan bagi ilmu lain dan juga memiliki nilai-nilai yang terkandung
dalam aspek kesastraan dan kebudayaan. Dengan adanya aksiologi sebagai salah satu landasan
pengembangan pada setiap ilmu, maka ilmu khususnya dalam makalah ini adalah filologi
semestinya tertaut nilai (value bounded) yang disesuaikan dengan nilai budaya yang ada dalam
masyarakat serta moral masyarakat, sehingga studi filologi yang dikembangkan memberikan
manfaat kepada masyarakat.

12

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. (2013). Filsafat Umum: akal dan hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Amsal Bakhtiar. (2006). Filsafat ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Arikunto, Suharsimi. (2013). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saebani. (2008). Filsafat umum. Bandung: Pustaka Setia
Baried, Siti Baroroh. (1985). Pengantar teori filologi, Jakarta Timur: Pusat Pembinaan
Pendidikan dan Pengembangan Bahasa departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Djoko Saryono. (2011). Hakikat linguistik bandingan. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Endang Komara. (2011). Filsafat ilmu dan metodologi penelitian. Bandung: Refika Aditama.
Gie, Liang. (2010). Pengantar filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Heni Retnawati. (2016). Validitas, reliabilitas, dan karakteristik butir. Yogyakarta: Parama
Publishing
Hesti Mulyani. (2011). Studi filologi salah satu alternatif pelestarian bahasa daerah. Prosiding
kongres antarbangsa bahasa dan budaya. Brunei Darussalam, 312-326.
Jujun S. Suriasumantri. (2009). Filsafat ilmu: sebuah pengantar popular. Jakarta: Sinar Harapan
Kattsof, L.O. (2004). Pengantar filsafat. (Terjemahan Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara
Wacana. (Buku asli diterbitkan tahun 1986)
Muhammad Adib. (2010). Filsafat ilmu ontologi, epistemologi, aksiologi, dan logika ilmu
pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Noeng Muhadjir. (2007). Metodologi keilmuan paradigma kualitatif, kuantitatif, dan mixed. (5 th
Rev. ed). Yogyakarta: Rake Sarasin
Saifuddin Azwar. (2012). Reliabilitas dan validitas. (4th ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Salleh. (2013). Hikayat hang tuah. Jakarta: Phoenix
Sarwan. (1984). Persoalan-persoalan filsafat. Jakarta : Bulan Bintang.
13

Semiawan, C. R, et. al. (2010). Sprit inovasi dalam filsafat ilmu. Jakarta : PT. Indeks
Soeparno. (2013). Dasar-dasar linguistik umum. Yogyakarta: Tiara Wacana
Surajiyo. (2015). Filsfat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
_______ . (2007). Ilmu filsafat suatu pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Sutrisno Hadi. (2015). Metodologi riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nyoman Khata Ratna. (2007). Sastra dan cultural studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zainal Abidin. (2011). Pengantar filsafat barat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

14