PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM MO

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM MODERN: SEBUAH TINJAUAN UMUM

Wardani

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Email: mwardanibjm@gmail.com Diterima tanggal 5 November 2014 / Disetujui tanggal 4 Desember 2014

Abstract

This article is aimed to deal with the development of Islamic philosophy in modern era in many countries, both in the East and the West, in the world commonly, and in Indonesia particularly. Islamic philosophy in this era has grown through four stages. Firstly, at the beginning of 19 th century, when the modernization in Muslim countries has been

initiated by Jamâl al-Dîn al-Afghânî. Secondly, since 19 th until 20 century, when some orientalists among Jews have studied the Islamic philosophy. Thirdly, post-World War II, when the Islamic philosophy has become the concern of

th

the Eastern and Western scholars. Fourthly, the golden age of Islamic philosophy has come, since 20 th century hitherto, when the bordes has fused in the sense that both Western and Eastern scholars have collaborated in joint-

intellectual agenda to study of Islamic philosophy. The Study of Islamic philosophy in Indonesia, in particular, has passed three stages of development; firstly, in 1960-1970s, the stage of consolidation has begun through efforts carried out by Harun Nasution to cultivate rational thought in the mind of Indonesian Moslems; secondly, in 1980-1990s, the stage of institutionalization has begun when the department of theology and philosophy at the Faculty of Ushûl al- Dîn at Syarif Hidayatullah State Institute for Islamic Studies in Jakarta has been initiated in 1982; finally, since 1990 hitherto, the stage of functionalization, when the Islamic philosophy has been studied in Islamic universities, and even functionalized to solve many problems.

Kata kunci: Filsafat Profetik, Tanah Kenabian, Renaissance.

Pendahuluan

Filsafat Islam modern mulai berkembang sejak abad ke-19, tepatnya antara 1850-1914, ketika muncul kebangkitan (nahdhah) atau renaissance Islam. Inti dari kebangkitan ini adalah upaya mengejar ketertinggalan Islam dari kemajuan peradaban Eropa. Kesadaran ini dimulai Syria, kemudian berkembang di Mesir. Kemajuan peradaban Eropa membuka mata umat Islam untuk merevitalisasi khazanah pemikiran Islam klasik, termasuk filsafat. 1

Kesadaran akan ketertinggalan tersebut tampak terefleksikan dari berbagai tawaran pembaruan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Islam. Jamâl al-Dîn al-Afghânî dan Muhammad ‘Abduh menyatakan bahwa ajaran Islam pada dasarnya bersifat rasional, sehingga ajaran Islam tetap relevan di dunia modern dalam menghadapi pemikiran dan kemajuan teknik Barat. Mushthafâ ‘Abd al-Râziq, seorang filosof Mesir, menyatakan bahwa khazanah pemikiran filsafat lama memiliki otentisitas dan karenanya masih relevan untuk menghadapi problem masyarakat Muslim modern. Menurutnya, rasionalisme tidak bertentangan wahyu, ia berupaya meyakinkan bahwa ilmu Islam tradisional masih

1 Parviz Morewedge dan Oliver Leaman, “Modern Islamic Philosophy”, dalam www.muslimphilosophy.com/ ip/ rep/ H008.htm (7 November 2014).

28 Ilmu Ushuluddin

Vol. 14, No. 1

relevan menghadapi ilmu pengetahuan dan rasionalitas. 2 Di Maroko, Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, melalui proyek pemikirannya tentang kritik nalar Arab, juga bertolak dari kegelisahan dengan pemikiran Islam klasik dalam menghadapi kemajuan Eropa. Menurutnya, kebangkitan Arab hanya mungkin melalui dekonstruksi dan kritik nalar Arab. Ia mengkritik dikotomi antara pola pikir kalangan Islamisis yang terpesona dengan “Masa Keemasan” Islam di masa lalu di satu sisi dan kalangan Muslim berhaluan Barat yang liberal yang menyanjung renaissance Eropa yang hanya melahirkan kolonialisme. Solusi yang ia tawarkan adalah membebaskan pemikiran Arab modern dari ikatan bahasa dan teologi masa lalu. Nalar Arab, menurutnya, terlalu banyak berkutat pada cara berpikir tradisional dalam menjelaskan dunia dan tidak akan aktif jika

masih terikat dengan model pemikiran klasik. 3 Al-Jâbirî, di samping dikenal dengan pembaruannya dengan membongkar anomali dari nalar melalui karyanya tentang trilogi kritik nalar Arab (naqd al- ‘aql al-‘Arabî), 4 juga dikenal dari upayanya mencoba merevitalisasi khazanah intelektual lama (turâts) untuk menuju kemoderenan (hadâtsah), antara lain, melalui metode pengkajian turâts filsafat yang disebutnya “pembacaan kontemporer terhadap khazanah lama” (qirâ`ah mu’âshirah li al-turâts). 5

Di Mesir, kesadaran akan ketertinggalan umat Islam dibandingkan Barat juga membangkit seorang filosof yang concern pada proyek pembebasan, yaitu Hasan Hanafî. Dengan slogan “dari akidah ke revolusi” (min al-‘aqîdah ilâ al-tsawrah), ia menginginkan pembebasan yang berbasis teologi. Proyek lain pemikirannya adalah oksidentalisme dalam karyanya, Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb

(Pengantar Oksidentalisme), dalam konteks menghadapi Barat. 6 Bahkan, kemudian, hampir semua karyanya mencerminkan visi transformatif seperti itu, karena kesadaran akan ketertinggalan tersebut, dengan merekonstruksi ilmu-ilmu keislaman. 7

Dengan kesadaran yang sama, Fazlur Rahman, seorang imigran Pakistan yang berkiprah di Uni- versitas Chicago, menyatakan bahwa konservativisme bertentangan dengan esensi ajaran Islam. Rahman dikenal dengan pembedaannya antara ajaran ideal-moral al-Qur‘an dan ajaran spesifiknya. Pembedaan itu bertujuan agar umat Islam dalam memahami ajaran al-Qur‘an terlepas dari ikatan historisnya menuju

ajaran moralnya yang fundamental, agar tetap relevan dalam masyarakat modern. 8 Di samping pembedaannya antara legal-spesifik dan ideal-moral sebagai kerangka rujukan pemahaman yang segar dalam konteks hukum Islam, Rahman juga memiliki perhatian yang serius terhadap persoalan pendidikan

dan rekonstruksi ilmu-ilmu keislaman. 9 Senada dengan ide pembaruan ini, pandangannya tentang tasawuf juga bersifat reformis. 10 Semua pandangan reformis itu lahir dari kesadaran akan ketertinggalan umat Islam dibandingkan Barat. Rahman sendiri dikenal dengan perhatiannya yang intensif terhadap kajian- kajian filsafat, seperti antara lain tercermin dari kajiannya tentang Ibn Sînâ.

2 Morewedge dan Leaman, “Modern Islamic Philosophy”, (7 November 2014). 3 Morewedge dan Leaman, “Modern Islamic Philosophy”, (7 November 2014). 4 Karya-karya tersebut adalah: Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî (Formasi Nalar Arab), Bunyat al-‘Aql al-‘Arabî (Struktur Nalar Arab), al-

‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî (Nalar Politik Arab). 5 Lihat Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Nahnu wa al-Turâts: Qirâ`ah Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafî (Beirut/ al-Dâr al-Baydhâ`:

al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1986), 21-23; 47-49. 6 Morewedge dan Leaman, “Modern Islamic Philosophy”, (7 November 2014).

7 Lihat, misalnya, karyanya: Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi’ (Juz 1): Takwîn al-Nashsh, Muhâwalah li I’âdat Binâ‘ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh (Cairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 2004), Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi’ (Juz 2): Bunyat al-Nashsh, Muhâwalah li I’âdat Binâ‘ ‘Ilm Ushûl

al-Fiqh (Cairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 2005), Min al-Naql ilâ al-‘Aql (Juz 1): ‘Ulûm al-Qur‘ân, Min al-Mahmûl ilâ al-Hâmil (Beirut: Dâr al-Amîr, 2009).

8 Morewedge dan Leaman, “Modern Islamic Philosophy”, (7 November 2014). 9 Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1995).

10 Lihat Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994).

WARDANI

Perkembangan Pemikiran 29 Ali Mazrui adalah intelektual Afrika yang berupaya mempertemukan antara faktor-faktor terkait

dalam teologi Islam dengan realitas-realitas global kekinian. Ia mengusulkan perlunya mempertemukan antara ide tentang jihâd monotheistik Islam (perjuangan universal), anti-rasis Islam, dan agenda kemanusiaan, serta mengusulkan perlunya kerjasama ekonomi global. Melalui sarana budaya, ia menginginkan perubahan sosial dengan merangkul ide tentang multi-kulturalisme, politik pan- islamisme, dan globalisme. 11

Tipologi Tren-tren Modern dalam Pemikiran Filsafat Islam Modern

Tren-tren modern dalam pemikiran filsafat Islam, berdasarkan tipologi dalam www.muslimphilosophy.com, bisa dibedakan menjadi empat kelompok filosof Islam dengan kecenderungan titik-tolak pemikiran dominan yang mendasarinya. Tentu saja, tipologi memiliki sisi- isi pertimbangan tertentu yang sifatnya relatif, dalam pengertian bahwa aspek yang dipertimbangkan adalah aspek yang dominan, padahal latar belakang pemikiran filsafat yang berpengaruh kepada tokoh-tokoh berikut bisa jadi beragam. Relativitas itu juga berkaitan dengan penilaian terhadap seorang pemikir sebagai filosof atau bukan.

Pertama, filosof-filosof Muslim berhaluan Islamis, yaitu filosof-filosof Muslim yang mengemukakan pemikiran rasional dengan berbasis teks/ nash sebagai sumber, inspirasi, atau titik- tolak. Para filosof Muslim modern tersebut adalah: ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, Muhammad al-Bahî,

Rachid Ghannoushi, Malik Ben Nabi, Mahmûd Syaltût, Hasan al-Turabi, dan Sayyid Quthb. 12 Kedua, filosof-filosof Muslim Berhaluan Marxisme, yaitu: Muhammad ‘Imârah, Mohammed Arkoun, Sadiq J. al-‘Azm, Abdallah Laroui, Husain Muruwah, dan Tayyib Tizayni. Ketiga, filosof-filosof Muslim berhaluan materialisme, yaitu: Qâsim Amîn, Farah Anthûn, ‘Alî ‘Abd al-Râziq, Thâhâ Husayn, Khâlid M. Khâlid, Zaki Nagib Mahmûd, Ya`qub Sarruf, Syibli Syumayyil, dan Salâmah Mûsâ. Keempat, filosof- filosof Muslim berhaluan skolastik, yaitu: Syed Muhammad Naquib al-Attas (ISTAC, Malaysia), ‘Abd al-Rahmân Badawî, Sulaymân Dunyâ, Ismail R. Al-Faruqi, Hasan Hanafî, Muhammad ‘Âbid al- Jâbirî, Seyyed Hossein Nasr, M. M. Sharif, dan Fazlur Rahman. Kelima, filosof-filosof Muslim berhaluan modern (bersifat eklektik), yaitu: Jamâl al-Dîn al-Afghânî, Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rasyîd Ridhâ, Ameer Ali, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, dan Badiuzzaman Said Nursi. 13

Di samping nama-nama di atas, terdapat nama-nama lain yang masuk kategori filosof-filosof Muslim modern. Di samping karena merupakan reaksi terhadap Barat, di mana pemikiran yang muncul bersifat “pasif ” dengan hanya menggali khazanah pemikiran Islam klasik, pemikiran yang muncul juga bersifat “aktif ” dengan mencarikan keselarasan atau melakukan sintesis antara pemikiran Barat dan pemikiran Islam, sehingga pemikiran filsafat Islam modern dipengaruhi oleh filsafat Barat. Jika William Montgomery Watt menyebut masuk pemikiran filsafat Yunani ke dunia Islam melalui

gelombang Hellenisme (the wave of Hellenism) dalam dua gelombang, 14 Budhy Munawar-Rachman

11 Morewedge dan Leaman, “Modern Islamic Philosophy”, (7 November 2014). 12 Sebagai contoh, Sayyid Quthb, misalnya, meski bertolak dari sumber-sumber nash al-Qur‘an, mengemukakan pemikiran

orisinalnya terkait dengan ide tentang keadilan sosial (al-‘adâlah al-ijtimâ’iyyah) dalam Islam. Malik Ben Nabi dikenal dengan fenomenologi al-Qur‘an-nya (al-Zhâhirah al-Qur‘âniyyah).

13 Lihat “Modern Trends in Philosophy”, dalam www.muslimphilosophy.com/ip/mdphilpg.htm (1 November 2014). 14 Lihat William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology: an Extended Survey (Edinburgh: Edinburgh University

Press, 1992), 33. Istilah “Hellenisme” pertama kali diperkenalkan oleh J. G. Droysen, yaitu berasal dari kata Hellenismus untuk pengertian masa transisi antara Yunani kuno dan dunia Kristen.Zaman Hellenistik biasanya dipergunakan untuk masa transisi antara 323-30 SM sejak wafatnya Iskandar Agung hingga masuknya Mesir dalam kekuasaan Romawi. Lihat Francis Henry

30 Ilmu Ushuluddin

Vol. 14, No. 1

menyebut masuknya filsafat Barat ke dunia Islam sebagai masuknya “gelombang Hellenisme ketiga”. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pada masa klasik, masuknya gelombang pemikiran Hellenisme tersebut tidak mengejutkan, karena dalam suasana kebudayaan yang sama, yaitu “masyarakat agraris berkota” (agrarianate citied society), sedangkan pada masa modern, masuk gelombang filsafat Barat, karena dunia Islam masih tidak berubah, sebagai masyarakat agrarian-kota, sedangkan Barat sudah berubah menjadi masyarakat zaman teknik. Implikasinya adalah masuknya pemikiran diiringi oleh dominasi politik berupa kolonialisme, sehingga pengaruh filsafat Barat di berbagai daerah terasa sangat besar. 15

Di Barat telah berkembang tren-tren pemikiran filsafat berikut: (1) filsafat Inggris-Amerika yang dominan dengan positivisme, (2) filsafat Perancis yang dominan dengan fenomenologi, eksistensialisme, strukturalisme, dan post-strukturalisme/ post-modernisme, dan (3) filsafat Jerman yang dominan dengan tradisi Neo-Hegelianisme dan penafsiran baru atas Hegel-Marx melalui Aliran Frankfurt. 16

Di Iran kalangan modernis sangat mengagumi bahasa dan kebudayaan Perancis untuk menghindari pengaruh-pengaruh Inggris dan Rusia di sebelah Utara dan Selatan. Mereka banyak mengapresiasi filsafat aliran René Descartes dan aliran positivisme Auguste Comte. Di Irak ada upaya untuk memadukan filsafat Barat dengan Islam, seperti yang dilakukan oleh Bâqir Shadr, Kâmil al- Syaybî, Husayn ‘Alî Mahfûzh, dan Muhsin Mahdî. Bâqir Shadr, misalnya, melalui karyanya, Falsafatunâ, mengemukakan tinjauan menyeluruh atas sistematika filsafat, sedang Muhsin Mahdî adalah pakar al- Fârâbî dan teori sosial Ibn Khaldûn. 17

Di Turki kalangan modernis lebih tertarik dengan filsafat Jerman. 18 Akan tetapi, sebagian kalangan modernis, seperti Ahmed Riza (1859-1931), salah seorang pendukung gerakan Turki Muda untuk menentang pemerintahan absolut Sultan Abdul Hamid, tertarik dengan pemikir-pemikir Perancis dan filsafat positivisme Auguste Comte. Atas dasar ini, menurutnya, menyelematkan kerajaan adalah

dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan positif, bukan dengan teologi dan metafisika. 19 Di Mesir kalangan yang mengenal baik pemikiran Barat mengagumi aliran filsafat Inggris dan Amerika. ‘Abd al-Rahmân Badawî, misalnya, banyak mengapresiasi eksistensialisme, sedangkan Zakî Nagib Mahmud memberikan perhatian kepada positivisme logis dan analisis bahasa. Di Afrika, pengaruh filsafat Barat tergantung pada penguasaan bahasa asing yang dimiliki oleh orang Afrika; di Afrika Utara yang berbahasa Perancis pemikiran filsafat Perancis berpengaruh, sedangkan di bagian lain di mana bahasa Inggris menjadi bahasa mereka, filsafat Inggris berpengaruh. 20

Di anak benua India, khalifah ‘Abd al-Hakîm (1894-1959), seorang pengagum Iqbal dan Rûmî, memiliki pemikiran filsafat yang mirip dengan filsafat Isyrâqiyyah. Dalam bukunya, Islamic Ideology, ia mengemukakan prinsip ajaran Islam secara liberal. Menurutnya, realitas memiliki berbagai aspek; ada “yang tersembunyi”, yaitu cahaya, dan “yang nyata”, yaitu kebudayaan. Penggunaan simbol cahaya tampak kental dalam tradisi filsafat Isyrâqiyyah. Filosof lain, M. M. Sharif (1893-1965) adalah editor

Sanback, “Hellenistic Thought”, Paul Edward (ed.), The Encyclopaedia of Philosophy (New York: Macmillan Pub. Co. Inc. & the Free Press & London: Collier Macmillan Publishers, 1972), vol. 3, 220.

15 Budhy Munawar-Rachman, “Filsafat Islam”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), 331.

16 Budhy Munawar-Rachman, “Filsafat Islam”, 332. 17 Budhy Munawar-Rachman, “Filsafat Islam”, 332. 18 Budhy Munawar-Rachman, “Filsafat Islam”, 332. 19 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 119-120. 20 Budhy Munawar-Rachman, “Filsafat Islam”, 332.

WARDANI

Perkembangan Pemikiran 31 antologi filsafat Islam, History of Muslim Philosophy. Ia adalah penganut filsafat idealisme-empirisme,

kemudian menganut realisme Moore dan Russell, dan akhirnya teori monadisme dialektis. Selain itu, ada C. A. Qadir, seorang yang semula menganut positivisme logis, kemudian akhirnya eksistensialisme. Filosof lain adalah Muhammad Ajmal (1919-…) dan A. K. Brohi (1915-1987). 21

Di samping pemetaan pemikiran filsafat Islam di era modern dan sejauh mana pengaruh Barat terhadap pemikiran tersebut, sebagaimana diuraikan di atas, dikenal juga para filosof Muslim mod- ern yang didominasi dari kalangan Syî’ah, seperti Murtadha Muthahari, Imam Khomeini, M. Taqi Misbah Yazdi, M. Bâqir al-Shadr, dan Seyyed Hossein Nasr. 22

Sebenarnya, kalangan filosof Sunnî juga memegang peranan penting, terutama dalam penulisan buku-buku filsafat Islam yang hingga kini masih dijadikan rujukan. Di Mesir, dengan sejumlah uni- versitas Islam, seperti Universitas al-Azhar, Universitas ‘Ayn Syams, dan Universitas Iskandariyah (Alexandria), di mana di dalamnya filsafat dikaji, karya-karya filsafat Islam banyak ditulis. Di antara nama-nama penulis itu adalah ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Ibrâhîm Madkûr, A. A. Anawati, ‘Abd al- Rahmân Badawî, Ahmad Fu`âd al-Ahwânî, Sulaymân Dunyâ, Muhammad Abû Rayyân, dan al-‘Afîfî. 23 Selain itu, ada nama ‘Alî Sâmî al-Nasysyâr, ‘Âthif al-‘Irâqî, dan Mushthafâ ‘Abd al-Râziq. 24

Nama-nama lain yang patut diperhitungkan pemikirannya dalam filsafat Islam era modern adalah sebagai berikut:

1. Syed Zafarul Hasan (14 Februari 1885-19 Juni 1949). Dari tahun 1924-1945, ia menjadi pro- fessor filsafat di universitas Islam, Aligarh, di mana ia juga menjadi ketua jurusan filsafat dan dekan fakultas seni. 25

2. M. A. Muktedar Khan (1966-…). Ia adalah professor Islam dan hubungan internasional di Universitas Delaware. Ia adalah intelektual, filosof Islam, khususnya tentang filsafat politik, dan komentator pemikiran Islam dan politik global. Dia lah yang mengatur penyelenggaraan konferensi filsafat Islam kontemporer pertama di Universitas Georgetown pada 1998. 26

21 Budhy Munawar-Rachman, “Filsafat Islam”, 333. 22 Diolah dengan beberapa perubahan dari Ahmad Y. Samantho, “Islamic Philosophy Post-Ibn Rusyd”, dalam http://

ahmadsamantho.wordpress.com/2011/01/29/history-of-islamic-philosophy-islamic-philosophy-post-ibn-rusyd/ (7 November 2014).

23 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, sebagaimana dikutip Aan Rukmana dan Sahrul Mauludi, “Peta Falsafat Islam di Indonesia”, dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 6, Juli 2013, 577.

24 Tokoh-tokoh ini dikenal, sebagaimana tokoh-tokoh lain di atas, sebagai penulis penting filsafat Islam. Misalnya, ‘Alî Sâmî al-Nasysyâr menulis Manâhij al-Bahts ‘ind Mufakkirî al-Islâm wa Iktisyâf al-Manhaj al-‘Ilmî fî al-Âlamî al-Islâmî (Cairo: Dâr al-

Ma’ârif, 1967) terkait dengan pemikiran epistemologi dalam Islam dan Nasy`at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th.) tentang perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam, ‘Âthif al-‘Irâqî menulis filsafat Ibn Rusyd, antara lain, dalam karyanya, Ibn Rusyd Mufakkiran ‘Arabiyyan wa Râ`idan li al-Ittijâh al-‘Aqlî (Cairo: al-Hay`ah al-‘Âmmah li Syu`ûn al-Mathâbi’ al- Amîriyyah dan al-Majlis al-A’lâ li al-Tsaqâfah, Lajnat al-Falsafah wa al-Ijtimâ’, 1993) dan tentang aliran-aliran filsafat dalam karyanya, Dirâsât fî Madzâhib Falâsifat al-Masyriq, cet. ke-2 (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1973), dan Mushthafâ ‘Abd al-Râziq (digelar dengan al-Syaikh al-Akbar), misalnya, menulis Tamhîd li Târîkh al-Falsafat al-Islâmiyah. Karya-karya Mushthafâ ‘Abd al-Râziq telah dikompilasi dalam satu edisi lengkap. Jasanya dalam menawarkan metode pengkajian sejarah filsafat Islam dianggap sebagai upaya pioneer untuk kajian tingkat universitas di Mesir. Lihat Zakî al-Mîlâd, “Mushthafâ ‘Abd al-Râziq wa Manhaj Dirâsat Târîkh al-Falsafah al-Islâmiyyah”, dalam Tsaqâfatunâ li al-Dirâsât wa al-Buhûts, No. 24, Th. 1431 H/ 2010 M, 79-118.

25 Karya-karyanya adalah Realism (diterjemah ke bahasa Urdu) (1927), Monismus Spinozas (1922), Descartes’ Dualism (1912), Philosophy and Education (1927), Philosophy and Advantages (1931), Realism is Not Metaphysics (1931), Islamics (1936), The Problem

(1933), Revelation and Apostle (1937), Message of Iqbal (1939), Philosophy of Religion, Philosophy of Islam, Philosophy of Kant, dan Philosohy: A Critique (1988). Lihat en.wikipedia.org/wiki/Syed_Zafarul_Hasan (25 Mei 2015).

26 Karya-karyanya lebih banyak tentang politik dan sebagian filsafat politik, antara lain, adalah American Muslims: Bridging Faith and Freedom (Amana, 2002), Jihad for Jerusalem: Identity and Strategy in International Relations (Praeger, 2004), Islamic Democratic

Discourse (Lexington Book, 2006), dan Debating Moderate Islam: The Geopolitics of Islam and the West (University of Utah Press, 2007). Lihat www.ijtihad.org/muqtedarkhan (25 Mei 2015).

32 Ilmu Ushuluddin

Vol. 14, No. 1

3. Nader El-Bizri (1966-…). Ia adalah seorang filosof asal Lebanon-Inggris. Ia mengajar di Uni- versitas Cambridge, Universitas Nottingham, dan Universitas Lincoln. Ia juga aktif di Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) di Paris dan Institut Kajian Isma’iliah (Institute of Ismaili Studies) di London. Ia mengajar dan memiliki karya terpublikasi tentang Ibn al-Haytsam, Ibn Sînâ, Ikhwân al-Shafâ‘, Heidegger, dan tentang fenomenologi. 27

4. Mohammad Azadpur. Ia adalah seorang associate professor filsafat di San Fransisco State Univer- sity. Ia mengajar filsafat Islam, mistisisme, dan filsafat politik. Penelitian yang ia lakukan terfokus pada pemikiran al-Fârâbî dan Ibn Sînâ, dan kajian perbandingan antara pemikiran Islam dan Heidegger. Ia juga tertarik pada kajian etika, metafisika, epistemologi, filosof Hegelian Analitik (Sellars, McDowell, dan Brandom), filsafat Heidegger dalam perkembangan awal, Wittgenstein Baru, dan Foucault belakangan. 28

Perkembangan Kajian Filsafat Islam di Bara t Sejarah perkembangan kajian filsafat Islam di Barat dapat dilacak sejak abad ke-19. Fenomena

tersebut bisa dilihat pada pada tradisi skolastik Kristen yang ditanamkan oleh para pemuka Katolik yang dalam hal tertentu melanjutkan studi filsafat Islam abad pertengahan melalui Thomisme atau Neo-Thomisme, khususnya hingga Vatican II, dalam pertemuan-pertemuan keilmuan Katolik. 29

Di antara pengkaji yang tertarik dalam kajian ini adalah Etiene Gilson dan Maurice De Wulf yang sebagian besar berpegang pada terjemahan teks-teks Islam dalam bahasa Latin tentang skolastisisme Latin. Pengkaji-pengkaji lain sudah akrab dengan teks-teks Arab dan struktur pemikiran Islam secara umum adalah seperti Louis Massignon, A. M. Goichon, dan Louis Gardet. Di Spanyol juga ditemukan aliran kalangan pemuka Katolik yang mencoba mengkombinasikan antara teologi Kristen dengan identitas Spanyolnya, di antara mereka adalah Miguel Asín Palacios, Miguel Cruz Hernández, dan Gonzales Palencia yang telah memberikan kontribusi dalam kajian filsafat Islam. Termasuk aliran Spanyol adalah Millás-Vallicrosa dan Juan Vernet, yang fokus pada sejarah pemikiran Islam. 30

Dalam rentang waktu bersamaan, juga tumbuh kesarjanaan Yahudi yang akarnya, secara langsung atau tidak langsung, dari pelatihan rabbi dan skolastisisme Yahudi abad pertengahan, yang kadang- kadang bercampur dengan aliran humanisme Barat. Di antara intelektual yang menonjol dari aliran ini pada abad ke-19 adalah Moritz Steinschneider dan Salomo Munk. Aliran ini tetap melahirkan pengkaji-pengkaji populer hingga awal abad ke-20, seperti Ignaz Goldziher, A. J. Wensinck, Saul Horovitz, Harry Austryn Wolfson, Erwin I. J. Rosenthal, Georges Vadja, Simon van der Bergh, Shlomo Pines, Paul Kraus, dan Richard Walzer. Karena persoalan politik di Palestina, banyak dari

27 Di antara karya-karyanya adalah: The Phenomenological Quest between Avicenna and Heidegger, “Avicenna and Essentialism”, Review of Metaphysics 54 (2001), 753-78, (2004), “La perception de la profondeur: Alhazen, Berkeley et Merleau-Ponty” [The

Perception of Depth: Alhazen, Berkeley and Merleau-Ponty], Oriens-Occidens: sciences, mathématiques et philosophie de l’antiquité à l’âge classique. Cahiers du centre d’histoire des sciences et des philosophies arabes et médiévales, CNRS 5: 171-184. Lihat lebih lanjut karya-karyanya dalam Nader El-Bizri, “The Labyrinth of Philosophy in Islam”, dalam Comparative Philosophy, Vol. 1, No. 2 (2010), 21-22.

28 Lihat “Mohammad Azadpur”, dalam philosophy.sfsu.edu/page/azadpur (25 Mei 2015). Karya paling akhir yang ditulisnya adalah Reason Unbound: on Spiritual Practice in Islamic Peripatetic Philosophy (Suny Press, 2011). Lihat juga “Contemporary

Islamic Philosophy”, dalam http://en.wikipedia.org/ w/index.php?title=Contemporary _Islamic_philosophy& oldid=508825501" (8 November 2014).

29 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (New York: State University of New York Press, 2006), 15.

30 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 15.

WARDANI

Perkembangan Pemikiran 33 intelektual ini kurang simpati dalam menafsirkan bentuk-bentuk tradisional pemikiran Islam. 31 Nama-

nama intelektual Yahudi tersebut, di samping menunjukkan minat dalam kajian filsafat, sebagian juga dikenal sebagai islamolog atau orientalis yang mengkaji Islam dalam beberapa aspek, seperti Ignaz

Goldziher, 32 atau aspek kajian Islam yang terkait erat dengan filsafat Islam, seperti Harry Austryn Wolfson yang misalnya mengkaji dimensi-dimensi filsafat, terutama filsafat Yunani, dan tradisi keagamaan lain yang masuk dalam isu-isu Kalâm (teologi Islam). 33

Skolastisisme Kristen dan Yahudi inilah yang kemudian menghubungkan antara filsafat Islam spekulasi filsafat modern di Barat. Meskipun demikian, kita tidak bisa juga menarik generalisasi terlalu jauh berkaitan dengan pertukaran pemikiran tersebut, karena harus dilakukan investigasi mendalam terhadap isu-isu filsafat, di mana terjadi persinggungan antara keduanya, dan juga karena bisa saja yang terjadi keterpengaruhan atau paralelisme. 34

Pada akhir abad ke-19 juga muncul aliran yang berbeda dengan dua aliran di atas (Kristen dan Yahudi). Latar belakang mereka adalah filsafat Barat modern, dan mereka mencoba memahami filsafat Islam dalam beberapa aliran berbeda dibandingkan dengan filsafat yang berkembang pada waktu yang sama di Barat. Dimulai dari Ernst Renan, lalu Léon Gauthier yang berupaya menjadikan Ibn Rusyd sebagai Bapak Rasionalisme, hingga Henry Corbin yang menggunakan fenomenologi dan pemikiran esoterik Barat belakangan untuk memahami makna batin dalam pemikiran Islam. 35

Seyyed Hossein Nasr mengkategorikan Renan dan Gautheir sebagai dua tokoh yang berbeda dengan dua aliran di atas hanya semata-mata atas dasar latar belakang mereka, yaitu sebagai pengkaji filsafat Barat. Namun, sebagaimana tampak dari kritik sejumlah penulis Muslim, seperti Ibrâhîm Madkûr, klaim mereka berdua bahwa filsafat Islam sesungguhnya tidak ada, melainkan hanya filsafat

Arab, 36 lebih banyak didasarkan pendekatan historisisme. Konsistensi terhadap pendekatan model seperti itu pula yang secara logis mengantar Gautheir ke simpulan bahwa Ibn Rusyd adalah Bapak Rasionalisme, karena dalam sejarah filsafat Ibn Rusyd berpengaruh terhadap Barat. 37 Arah pendekatan yang berbeda dengan pendekatan mereka berdua dan tampak simpatik ditempuh oleh Corbin melalui

31 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 15. 32 Goldziher, misalnya, mengkaji Islam secara umum dalam karyanya, Muslim Studies (Muhammadanische Studien), trans. C.

R. Barber dan S.M. Stern (London: George Allen & Unwin Ltd., 1971). Karyanya yang bersinggungan deng an filsafat dibahas adalah Le Dogma et le de l’Islam.

33 Lihat Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976). Karya ini mengkaji secara intensif pengaruh filsafat dan tradisi keagamaan lain, seperti Kristen, ke dalam Kalâm. Oleh karena itu, dari aspek

pendekatan, kajian Wolfson masih merepresentasikan pola-pikir orientalis yang sangat getol dengan pembacaan historisisme, yaitu suatu pendekatan yang mencari asal-usul (origin), dalam hal ini Kalâm, dari sumber-sumber kesejarahan yang mengitarinya atau mendahuluinya. Klaim keterpengaruhan Kalâm dengan unsur-unsur non-Islami, meski harus diakui terjadi dalam sejarah dalam batas-batas tertentu, didekati dengan pendekatan historisisme dalam klaimnya sangat radikal, karena klaim keterpengaruhan itu bersifat reduksionis dengan tidak menjadikan ilmu-ilmu Islam sebagai sebuah ilmu yang dengan “jati-dirinya” (sebuah ilmu adalah living culture, budaya yang hidup, yang meski menerima unsur lain, juga mengembangkan diri). Kalâm juga mengembangkan dari aspek dari dalam sendiri, yaitu peran kitab suci yang secara otentik menjadi sumbernya dan peran kaum Muslim yang bergumul dengan isu-isunya.

34 Sebagai contoh, apakah sama antara keraguan Descartes dengan keraguan al-Ghazâlî? Sama halnya juga, “Cogito” Descartes tidak seluruhnya terinspirasi oleh St. Augustine, tapi memiliki kesamaan dengan ide Ibn Sînâ.Lihat Abdulazez Balogun Shittu,

“Reflections on the Growth and Development of Islamic Philosophy”, dalam Ilorin Journal of Religious Studies (IJOURELS), Vol. 3, No. 2 (2013), 186. 35 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 15-16. 36 Lihat kritik Ibrâhîm Madkûr terhadap orientalis seperti V. Cousin, Ernst Renan, Léon Gauthier, Ignaz Goldziher, G.

Dugat, C. Tennemann dalam karyanya, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhaj wa Tathbîqih (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th), 19-24. 37 Andrés Martínez Lorca, “Ibn Rushd’s Influence on Scholastic and Renaissance Philosophy”, paper dipresentasikan pada

International Ibn Rushd Symposium, Sivas, Turki, 9-11 Oktober 2008.

34 Ilmu Ushuluddin

Vol. 14, No. 1

pendekatan fenomenologi. Signifikansi karya-karya Corbin, dalam ungkapan Pierre Lory, “jauh melampaui apa yang umumnya disebut ‘orientalisme’”. Corbin tidak ingin pemikiran filosof dipajang di perpustakaan saja, melainkan ia berkeinginan agar tema-tema filsafat itu bisa memberi pencerahan

dan merangsang aktivitas intelektual di waktu apa pun. 38 Arah kajian inilah yang disebut kelak oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai kajian yang menitik-beratkan pada filsafat Islam sebagai “filsafat yang hidup” (living philosophy). 39 Oleh karena itu, Corbin, tidak seperti orientalis umumnya, justeru tidak segan-segan mengkritik Barat. 40 Dari kurun abad ke-19 dan berlanjut pada masa selanjutnya, berkembang aliran orientalis yang berbeda dengan aliran di atas. Kelompok orientalis ini lebih terfokus pada pendekatan filologis, dibandingkan teologis dan filosofis. Di tangan mereka, diterbitkan teks-teks filsafat Islam, namun tidak disertai interpretasi yang cukup. Pada pertengahan tahun 1950-an, seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk melengkapi kajian filologi dan sejarah, muncul karya-karya filsafat Islam. Sebagian besar publikasi terkait filsafat politik dibandingkan filsafat murni, meski keduanya tidak terpisahkan. 41

Setelah Perang Dunia II, di mana dunia Timur mulai banyak diketahui, muncullah metode komparatif dalam kajian filsafat Islam. Meski dengan keterbatasan sumber dari metafisika Timur Dekat dan India, sekelompok orientalis mengkaji filsafat Islam dengan pendekatan komparatif dengan pemikiran Barat, dan terkadang dengan sesama filsafat Timur, seperti Toshihiko Izutsu dan Noriko Ushida (keduanya adalah orang Jepang, tapi menulis dalam bahasa Inggris), Henry Corbin, dan Louis

Gardet. 42 Toshihiko Izutsu pernah menjadi professor filsafat Islam di Universitas McGill antara 1969- 1975, lalu menjadi professor filsafat di Iranian Institute in Philosophy (dulu, Imperial Iranian Acad- emy of Philosophy) di Tehran, Iran. Di samping dikenal sebagai pengkaji al-Qur‘an, juga dikenal sebagai pengkaji filsafat Islam, sebagaimana terlihat dari karya-karyanya: The Concept of Reality and Existence (1971), Sufism and Taoism: A Comparative Study of Philosophical Concepts (1984), dan Creation

and Timeless Orders of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (1984). 43 Noriko Ushida tidak begitu dikenal umumnya seperti halnya Izutsu. Corbin adalah orientalis yang dedikasinya terhadap filsafat Islam sangat menonjol. Tidak kurang dari tiga ratus judul yang disebut dalam La Bibliographie de Henry Corbin ditulisnya, di antaranya Histoire de la Philosophie Islamique, berkolaborasi dengan Seyyed Hossein Nasr dan ‘Utsmân Yahya yang diterbitkan di Paris pada 1986, dan History of Islamic Philoso-

phy (diterjemahkan oleh Liadain Sherrad) yang diterbitkan di London pada 1993. 44 Gardet, selain menulis isu-isu filsafat, ia juga penulis bersama G. C. Anawati tentang teologi perbandingan dengan karyanya, Introduction a la Théologie Musulmane: Essai de Théologie Comparée. 45 Meskipun karya ini adalah tentang teologi Islam, bahasan di dalamnya tentu terkait dengan filsafat dan teologi sendiri dalam

38 Pierre Lory, “Henry Corbin: His Work and Influence”, dalam History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Part II (London dan New York: Routledge, 1996), 1149.

39 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 20. 40 Lihat Mark Corrado, “Orientalism in Reverse: Henry Corbin, Iranian Philosophy, and the Critique of the West”, tesis

(Burnaby, Canada: Simon Fraser University, 2004). 41 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 16.

42 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 16-17. 43 "Toshihiko Izutsu”, dalam en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu (29 Mei 2015). 44 Pierre Lory, “Henry Corbin…”, 1153-1155. Karya ini juga telah diterjemahkan ke bahasa Arab, Târîkh al-Falsafah al-

Islâmiyyah, terj.Nushayr Muruwwah (N. Mrowa) dan Hasan Qubaysî (H. Kobeissi), cet. ke-2 (Beirut dan Paris: ‘Uwaydât li al- Nasyr, 1998).

45 (Sorbonne: Libraire Philosophique J. Vrin, 1981).

WARDANI

Perkembangan Pemikiran 35 definisi Barat termasuk isu filsafat Islam. 46

Selama paroh kedua abad ke-20, muncul aliran pengkajian terhadap filsafat Islam sebagai suatu aliran pemikiran Islam yang hidup dibandingkan sebagai sekadar minat sejarah. Kajian ini bertujuan untuk menggali dimensi mendalam dalam filsafat Islam untuk dijadikan sebagai jawaban persoalan- persoalan yang dihadapi oleh Barat di abad modern. Sebelumnya, pada awal abad ke-20, sudah ada kalangan orientalis yang mengkaji kandungan filosofis dalam filsafat Islam, seperti Bernard Carra de Vaux dan Max Horten. Sekarang orientasi ke arah itu semakin berkembang, di tangan seperti Corbin, Gardet, Gilbert Durand di Barat, dan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu, Mehdi Mohaghegh, dan Naquib al-Attas di Timur. Kajian ini, tanpa mengorbankan aspek ilmiah, menawarkan solusi metafisis dan filosofis atas krisis intelektual peradaban Barat. Dengan menekan aspek terdalam dari kandungan pemikiran filsafat Islam, kajian ini bisa mengatasi “reduksionisme” pendekatan historisisme terhadap karya-karya awal filsafat Islam.Pendekatan historisisme, tanpa mengapresiasi dimensi terdalam itu, mengklaim secara semena filsafat Islam hanya sebagai filsafat Yunani dengan baju Islam. Sosok seperti Corbin, di mana pendekatan filosof dan orientalis bergabung menjadi satu, jarang ditemukan di Barat yang mindsetnya historisisme itu. 47

Pada dekade pertengahan abad ke-20, khususnya di Arab, kajian filsafat juga berkembang, baik oleh kalangan Muslim maupun non-Muslim, seperti George Anawati dan Majid Fakhry. Kelompok ini juga mencakup kalangan intelektual yang terlatih dalam metode riset modern, dan menulis dalam bahasa Arab dan bahasa Barat, seperti Musthafâ ‘Abd al-Râziq, Ibrâhîm Madkûr, ‘Alâ` al-Dîn Affifi,

Fu`âd El-Ahwany, Muhammad ‘Abd al-Hâdî Abû Rîdah, ‘Abd al-Rahmân Badawî. 48 Termasuk dalam kelompok intelektual yang umum berasal dari Mesir adalah Muhammad Yûsuf Mûsâ, penulis al- Qur`ân wa al-Falsafah. Munculnya kelompok terlatih dalam metode riset modern, seperti tampak dari beberapa intelektual asal Mesir, terjadi karena kontak mereka dengan Barat, terutama Perancis. Sebagai contoh, Muhammad Yûsuf Mûsâ adalah doktor dalam bidang filsafat dengan disertasi tentang Ibn Rusyd, jebolan Universitas Sorbonne. Ia diutus oleh Musthafâ ‘Abd al-Râziq, rektor Universitas al-

Azhar ketika itu. 49 Kelompok ini dari generasi agak belakangan adalah seperti Muhsin Mahdî, Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Mohammed Arkoun, dan Mian Muhammad Sharif. Sebagian yang disebutkan terakhir ini bergabung dalam kajian filsafat Islam dengan pengkaji-pengkaji yang disebut

di atas. 50 Muhsin Mahdi berkebangsaan Irak, namun memperoleh pendidikan dari Universitas Chi- cago dan dari Oriental Institute di bawah Nabia Abbott. Ia menulis disertasi tentang Ibn Khaldûn pada 1954, dan diterbitkan pada 1957 dengan judul Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the

Philosophical Foundation of the Science of Culture. 51 Fazlur Rahman yang berasal dari Pakistan berkarir di Universitas Chicago dan menulis, antara lain, tentang Ibn Sînâ. 52 Seyyed Hossein Nasr, meskipun

46 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 13. Sebagai contoh, lihat bahasan-bahasan dalam Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadian Sherrad dengan asistensi Philip Sherrad (London dan New York: Kegan Paul International,

London: Islamic Publications for The Institute for Ismaili Studies, 1993). Lihat komentar tentang ini dalam Wardani, Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), 300.

47 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 17. 48 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 18. 49 Muhammad al-Dasûqî, Muhammad Yûsuf Mûsâ (1317-1383 H/ 1899-1963 M): al-Faqîh al-Faylasûf wa al-Mushlih al-

Mujaddid (Damaskus: Dâr al-Qalam, Beirut: Dâr al-Syâmiyyah, 2003), 15-16. 50 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 18.

51 "Muhsin Mahdi”, dalam en.wikipedia.org/Muhsin_Mahdi (29 Mei 2015). 52 Fazlur Rahman menulis disertasi tentang Ibn Sînâ, .Tentang pemikiran Fazlur Rahman sendiri tentang filsafat Islam,

lihat Fatimah Husein, “Fazlur Rahman’s Islamic Philosophy”, tesis MA (Canada: McGill University, 1997).

36 Ilmu Ushuluddin

Vol. 14, No. 1

berkebangsaan Iran, juga berkarir di Barat dengan berkolaborasi dengan penulis Muslim dan non- Muslim, dan telah menghasilkan karya-karya tentang filsafat Islam, khususnya yang menonjol, tentang filsafat perennial dan tradisionalitas. Arkoun, seorang penulis Aljazair, belajar di Sorbonne, dan menulis

tentang filsafat Islam, seperti tentang Ibn Miskawayh. 53 Mian Muhammad Sharif dikenal dengan peran pentingnya dalam penulisan A History of Muslim Philosophy. 54 Perkembangan abad ini, selain diwarnai dengan pendekatan modern, juga diwarnai dengan pendekatan tradisional, terutama di Persia, tapi sebagian dari mereka karya-karyanya terbit di Barat, seperti Sayyid Muhammad Husayn Thabâthabâ‘î, Sayyid Jalâl al-Dîn Âsytiyânî, Murtadhâ Muthahharî, Mîrzâ Mahdî Hâ‘irî, Mehdi Mohaghegh, dan sebagian pengkaji lain yang karya-karya dikenal hanya di

Eropa dan di Amerika. 55 Para filosof Iran ini tidak hanya terdidik dalam ilmu-ilmu Islam standar, melainkan juga terdidik dalam filsafat Barat. Karya-karya mereka bisa dibaca dalam bahasa Urdu, Arab, dan Inggris. Murtadhâ Muthahharî, misalnya, beberapa karya-karya dalam filsafat Islam, semisal: Osool-e Falsafa va Ravesh-e Realism (Dasar-dasar Filsafat dan Metode Realisme), Falsafe-ye- Akhlagh

(Etika), dan Falsafe-ye- Tarikh (Filsafat Sejarah). 56 Di antara karyanya, Nezam-e- hoghoghe zan dar Islam (Sistem Hak-hak Perempuan dalam Islam), telah diterjemahkan ke bahasa Arab, Nizhâm Huqûq al- Mar‘ah fî al-Islâm. 57

Pada dekade akhir abad ke-20, ada beberapa kejadian yang berpengaruh terhadap sejarah dan metode pengkajian filsafat di Barat. Sebagai akibat dari Vatican II, Thomisme kurang menarik minat kelompok kajian Katolik yang berakibat pendekatan kalangan Katolik yang berakar dari Thomisme dan yang tertarik dengan filsafat Islam juga berkurang. Meskipun demikian, tetap ada pengecualian,

seperti David Burrel. 58 Dalam sejarah perkembangan filsafat di dunia Latin, pemikiran Kristen melalui Thomisme (aliran St. Thomas Aquinas) dipengaruhi oleh filsafat Islam melalui pemikiran Ibn Rusyd. 59 Oleh karena itu, wajar kurangnya minat terhadap Thomisme juga berarti kurangnya terhadap filsafat Islam, khususnya melalui filsafat Ibn Rusyd.

Pada dekade ini, di benua Eropa dan wilayah Anglo-Saxon, mulai dipilah secara tajam antara eksistensialisme dan fenomenologi dalam filsafat Kontinental dan filsafat analitik di Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat. Sementara itu, pada akhir abad ke-20, berkembang dekonstruksionisme dengan tafsiran berbeda di dua wilayah itu. Pada masa ini, muncul generasi baru yang dipengaruhi oleh

53 "Mohammed Arkoun”, dalam en.wikipedia.org/Wiki/Mohammed_Arkoun (29 Mei 2015). 54 A History of Muslim Philosophy: with Short Accounts of Other Disciplines and The Modern Renaissance in Muslim Lands (Sejarah Filsafat Islam: Disertai dengan Uraian Singkat tentang Renaissance Modern di Dunia Islam) adalah sebuah antologi (bungai rampai, kumpulan tulisan) tentang filsafat Islam yang ditulis oleh beberapa pakar yang sebagian besar dan hampir semua adalah penulis Muslim. Sebagaimana ditulis oleh M. M. Sharif dalam pengantarnya, antologi ini ditulis atas dorongan S. M. Sharif, penasihat bidang pendidikan di Pemerintah Pakistan pada tahun 1957 bahwa ketika itu tidak ada karya yang detil mengenai sejarah filsafat Islam. Oleh karena itu, ia meminta M. M. Sharif untuk membuat rancangan karya ini yang ditulis oleh delapan puluh penulis dari seluruh dunia. Atas dasar ini, dibentuklah panitia atau tim merancang isi antologi ini, yaitu: I. I. Kazi (wakil kanselor Universitas Sind, sebagai ketua), S. M. Sharif (anggota), Mumtaz Hasan (sekretaris keuangan Pemerintah Pakistan, anggota), Kalifah Abdul Hakim (direktur Institute of Islamic Culture, Lahore, anggota), Serajul Haque (Kepala Jurusan Bahasa Arab dan Studi Islam di University of Dacca, anggota), M. Abdul Hye (dari Universitas Negeri Rajashi), dan M. M. Sharif (anggota, sekretaris). M. M. Sharif (1893-1965) adalah pendiri Pakistan Philosophical Congress. Lihat M. M. Sharif, “Preface”, dalam M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy (New Delhi: Low Price Publications, 1995), vol. I, vii.

55 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 18. 56 "Ayatullah Murtadha Muthahhari”, dalam id.wikipedia.org/ Ayatullah_Murtadha_ Muthathhari (29 Mei 2015). 57 Terj. Abû Zahrâ‘ al-Najafî, (Teheran: Râbithat al-Tsaqâfah wa al-‘Alâqah al-Islâmiyyah, 1997). 58 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 18-19. 59 Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2010), 743-

WARDANI

Perkembangan Pemikiran 37 pemikiran-pemikiran belakangan, tapi pengaruh tersebut tergantung latar belakang mereka dan latar

belakang pendidikan. Corbin, Izutsu, dan Nasr menarik minat generasi baru itu di Barat. 60 Pada dekade ini, penulisan filsafat Islam di tangan beberapa penulis Muslim yang menulis dalam bahasa Eropa berkembang secara dramatis. Di antara mereka adalah Muhsin Mahdî, Fazlur Rahman, Jawâd Falathûrî, Hâ‘irî Yazdî, dan Nasr yang mengajar di universitas-universitas di Barat dan melatih banyak mahasiswa, baik Muslim maupun non-Muslim. Sedangkan, yang lain kembali ke asal daerah mereka, seperti Naquib al-Attas kembali ke Malaysia, tapi kemudian menulis sebagian besar dalam bahasa Inggris. Di samping itu, beberapa mahasiswa Barat pergi ke wilayah-wilayah Muslim untuk belajar filsafat Islam, seperti Herman Landolt, James Morris, William Chittick, dan John Cooper. Aktivitas pengkajian filsafat di Barat, baik dilakukan oleh mereka ini maupun oleh generasi belakangan seperti Hossein Ziai dan Mehdi Aminrazavi, berpengaruh terhadap dunia Islam sendiri. Sejumlah mahasiswa Muslim, seperti dari Turki, Iran, Pakistan, Indonesia, dan Malaysia, pergi ke Barat untuk

mengkaji filsafat Islam. Contoh fenomena ini adalah fenomena di Universitas McGill, Kanada. 61 Pada fase ini, salah seorang mahasiswa Indonesia, Harun Nasution yang kelak menanamkan rasionalitas dalam pikiran Muslim Indonesia dan merintis kajian akademis filsafat Islam, belajar dari sejumlah tokoh non-Muslim, seperti Izutsu. 62

Pada akhir abad ke-20, terjadi interaksi antara filsafat Islam dengan filsafat Barat. Perkembangannya terjadi di Perancis karena pengaruh Corbin yang bisa dilihat pada karya seorang filosof muda Perancis, Christian Jambet. Interaksi tersebut juga terlihat dari karya Ian Richard Netton dan Oliver Leaman, di mana terjadi interaksi antara filsafat Islam dengan filsafat analitik dan semiotik. Puncak dari perkembangan pada akhir abad ke-20 adalah dibangunnya pusat kajian filsafat Islam di Inggris. Lembaga ini menerbitkan jurnal Transcendent Philosophy di bawah pimpinan Gholam Ali Safavi. 63

Bagaimana intensifnya kajian filsafat Islam di Barat bisa tergambar dari karya-karya yang muncul setiap tahun di Eropa, baik yang ditulis oleh penulis Muslim maupun non-Muslim, seperti dikumpulkan dalam bibliografi beberapa jilid oleh Hans Daiber. Akan tetapi, masih ada jurang antara kecenderungan dalam mengkaji filsafat Islam sebagai sejarah intelektual (intellectual history) dan sebagai

filsafat yang hidup (living philosophy). 64 Jurang itu terlihat dari semua bentuk filsafat tradisional yang

60 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 19. 61 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 19-20. 62 Izutsu menjadi pembimbing Harun dalam penulisan disertasi. Lihat disertasinya, “The Place of Reason in ‘Abduh’s

Theology: Its Impact on His Theological Systems and Views”, disertasi doktor (Canada: McGill University, 1968). 63 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 20. Penggunaan analisis semiotik tampak, misalnya, dari karya Ian Richard

Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology, and Cosmology (Curzon Press, 1994). Tentang penerapan analisis semiotika dalam karya ini, lihat Roxanne Marcotte, “The ‘Semiotics’ Enterprise of Ian R. Netton: A Deconstructionist Approach of Islamic Thought?”, dalam al-Jâmi’ah: Journal of Islamic Studies, No. 60 (1997), 1-14.

64 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, h. 20. Yang dimaksud oleh Seyyed Hossein Nasr dengan pengkajian filsafat Islam sebagai kajian “sejarah intelektual” (intellectual history) adalah mengkaji filsafat Islam sebagai “sejarah pemikiran” (history of

thought), manifestasi-manifestasinya, dan contoh-contoh kongkretnya. Daniel Wickberg, “Intellectual History vs. the Social History of Intellectuals”, dalam Rethinking History, Vol. 5, No. 3 (2001), 383. Sebuah kajian tentang sejarah intelektual bisa membidik pada teks (genesis pemikiran, konsistensi pemikiran, evolusi pemikiran, sistematika pemikiran, perkembangan dan perubahan, varian pemikiran, komunikasi pemikiran, dialektika internal dan kesinambungan pemikiran, serta intertekstualitas) atau konteks (konteks sejarah, konteks politik, konteks budaya, dan konteks sosial), atau hubungan (pengaruh pemikiran, implementasi pemikiran, diseminasi pemikiran, atau sosialisasi pemikiran).Kajian ini juga bisa membidik pemikiran dari perspektif sosiologi pengetahuan. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 189-199. Jadi, secara singkat, kajian filsafat dari perspektif sejarah intelektual hanya mengkajinya dari perspektif kesejarahan dan kepentingan kajian ilmiah (scholarly study) semata.Sedangkan, kajian filsafat Islam sebagai living philosophy adalah kajian yang menitik-beratkan tentang fungsionalisasi filsafat Islam dalam kehidupan, atau tentang filsafat Islam sebagai “tradisi yang hidup” (Nasr, Islamic Philosophy, 27).

38 Ilmu Ushuluddin

Vol. 14, No. 1

berasal dari tradisi philosophia perennis (filsafat perennial) dan perkembangan terakhir filsafat modern. Generasi pertama, khususnya, adalah René Guénon, Ananda Coomaraswamy, dan Frithjof Schuon. Mereka mengkritik filsafat modern dan mencoba menawarkan metafisika dan kosmologi tradisional. Kritik tersebut memunculkan generasi baru yang tertarik mengkaji filsafat Islam. Akan tetapi, tetap saja ada kendala dalam memahami filsafat Islam di Barat, antara lain, karena asumsi yang keliru tentang hakikat intelek (akal) dan pengetahuan. 65

Perkembangan kajian filsafat Islam di Barat juga terlihat dari penemuan sejumlah manuskrip. Pengkaji Barat telah melakukan banyak hal dalam mengembangkan metode ilmiah untuk membuat catalog manuskrip. Akan tetapi, hal itu telah juga dilakukan oleh spesialis dari sarjana Muslim, seperti Muhammad Fu‘âd Sezgin dan Muhammad Tâqî Dânishpazhûh. 66

Sejak abad ke-19, sejumlah intelektual Barat mulai mengedit teks-teks filsafat Arab dan Persia secara kritis sebagaimana dilakukan di Bibliothèque Iranienne (Perpustakaan Iran) di Institut Perancis- Iran yang dipimpin oleh Henry Corbin. Kerjasama yang lama dijalin dengan intelektual Barat menghasilkan generasi baru intelektual Muslim yang mampu mengedit teks filsafat secara kritis. Sekarang tugas itu dilakukan oleh intelektual Muslim Arab, Persia, Turki, dan intelektual-intelektual Muslim dari daerah Islam lain. 67

Intelektual Barat telah berhasil menerjemahkan sejumlah karya-karya filsafat Islam ke bahasa Inggris seperti terlihat dalam contoh-contoh karya terjemahan dalam tabel berikut: 68

65 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy, 20-21. Term ‘aql (intelek) dalam Islam tidak bisa disamakan seluruhnya dengan term akal (reason) dalam filsafat Barat. Begitu juga, istilah “ilmu” (‘ilm, ma’rifah) tidak sama dengan istilah “ilmu” (science) di Barat.