HUKUM DI MATA WARGA KOTA dan CITIZENSHIP

HUKUM DI MATA WARGA KOTA dan CITIZENSHIP YANG
TAK TERWUJUD
Oleh : NELI TRIANA (sebuah makalah untuk tugas Filsafat Ilmu
Pengetahuan dan Kajian Multidisiplin-KPP UI yang ditulis pada Desember
2016)
Selalu menarik, terlebih bagi kami sebagai mahasiswa Program Kajian
Pengembangan Perkotaan, untuk mengamati perilaku warga kota saat berada di
jalan umum atau ruang publik di Jakarta. Dalam keseharian, mudah ditemukan
orang yang melanggar lampu merah, tidak memakai helm, memotong jalan, dan
berhenti tidak pada tempatnya. Saat terjadi kecelakaan akibat sama-sama
melanggar aturan, kedua belah pihak bisa saling bertikai tanpa pernah merasa
salah. Itulah potret yang tampak di sebagian ruas jalan Jakarta yang bisa terjadi
kapan pun. Meskipun rambu-rambu lengkap dan jelas terpasang, pelanggaran
terus terjadi.
Untuk memahami betapa sering aturan dianggap angin lalu di ibu kota,
selanjutnya akan dijabarkan kasus pelanggaran hukum. Dalam laporan
jurnalistik di Harian Kompas, disebutkan bahwa melalui aplikasi Qlue yang
dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sejak Januari hingga Oktober 2015 lalu,
aplikasi ini diunduh 90.000 kali dengan laporan masyarakat berkisar 1.200-1.500
laporan per hari1.
Kepala Unit Pengelola Smart City DKI Jakarta Setiaji, kala itu menyebutkan,

jumlah laporan melonjak ketimbang saat awal peluncuran aplikasi Qlue, yakni
40-50 laporan per hari. Laporan yang masuk, antara lain, terkait informasi atau
temuan jalan rusak, lampu penerang jalan umum rusak, kemacetan lalu lintas,
parkir liar, sampah, pedagang kaki lima, genangan, pengemis, dan pelanggaran
lain. Masih dari berita yang sama, dilaporkan bahwa selain jumlah laporan,
jumlah informasi yang ditayangkan portal smartcity.jakarta.go.id juga
bertambah. Menurut Setiaji, pada awal peluncuran, portal Smart City memuat
lima jenis informasi. Kini, ada sekitar 200 jenis informasi dari 25 satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) yang bisa diakses masyarakat umum, termasuk
laporan masyarakat melalui Qlue.
Saat mengakses aplikasi Qlue, Minggu 11 Desember 2016 pukul 23.44, laporan
berbagai pelanggaran aturan di ruang publik tetap terjadi. Parkir kendaraan
bermotor tidak pada tempatnya, pedagang kaki lima mengokupasi lahan hijau
maupun trotoar, pemasangan spanduk dan baliho tidak pada tempatnya,
perusakan rambu lalu lintas, dan banyak lagi. Setiap hari selama OktoberNovember 2016, tercatat lebih dari 1.500 pelanggaran aturan di ruang publik
dilaporkan lewat aplikasi Qlue. Pada Agustus-November 2016, Qlue mencatat
ada 23.683 laporan kejadian parkir liar yang mengganggu arus lalu lintas. Di
sebagian lokasi parkir liar, terpasang jelas rambu dilarang parkir.
1 Harian Kompas. “Laporkan Aparat lewat Aplikasi * Laporan Jadi Salah Satu Indikator
Kinerja Aparatur”.

KOMPAS(Nasional). Senin, 19 Oct 2015 Halaman: 25

Banyaknya pelanggar aturan juga menjadi pekerjaan rumah yang tak juga beres
bagi kepolisian. Sesuai laporan data Polda Metro Jaya seperti dilaporkan di
Kompas, akhir tahun 2015, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito
Karnavian (kala itu) mengatakan, Jakarta sebagai pertemuan berbagai budaya,
agama, kepentingan politik, dan ekonomi itu memang menimbulkan berbagai
kerawanan2. ”Jakarta adalah melting pot, tempat meleburnya berbagai budaya,
agama, dan politik, dengan segala kepentingannya. Hal itu menjadikannya rawan
sebagai arena konflik, termasuk yang bernuansa agama, politik, dan ekonomi,
seperti perebutan lahan,” kata Tito saat memaparkan laporan akhir tahun 2015
di Polda Metro Jaya.
Menurut Tito, memang ada penurunan kasus kejahatan, termasuk pelanggaran
hukum yang terjadi di ruang publik, sepanjang 2015 lalu. Akan tetapi, angka
kejahatan itu sendiri tetap tinggi. Total kasus pada 2015 menurun ketimbang
tahun sebelumnya dari 44.687 kasus menjadi 44.304 kasus atau 0,86 persen.
Sayangnya, tingkat penyelesaian kasus (crime clearance) menurun dari 31.365
kasus pada 2014 menjadi 29.750 kasus pada 2015 atau turun 5,15 persen.
Tingkat crime rate (risiko penduduk terkena tindak pidana) menurun dari 196 per
100.000 orang menjadi 195 orang per 100.000 orang. Tingkat crime clock

melambat selama 10 detik dari 12 menit 16 detik terjadi satu kejahatan menjadi
12 menit 26 detik terjadi satu kejahatan.
Dikutip dari laman NTMC POLRI, menurut Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya,
terjadi peningkatan pelanggaran lalu lintas sebesar 36,58 % pada periiode
januari sampai September 2016 dibandingkan dengan januari hingga September
2015, di Jakarta3.
AKBP Budianto mengatakan, usia pelanggaran di bagi menjadi dua kategori,
yaitu rentan umur 31 tahun – 40 tahun dan rentan umur 16 – 30 tahun. Pada
pelanggaran lalu lintas banyak terjadi pada rentan umur 31 tahun – 40 tahun
dengan peningkatan sebesar 61, 54 % dari tahun lalu, AKBP Budiyanto
mengatakan, peningkatan jumlah pelanggaran lalu lintas itu berjumlah 261.985
orang. Pelanggar pada Januari-September 2015 mencapai 716.166 orang.
Sedangkan sejak Januari-September tahun ini mencapai 978.151 pelanggar lalu
lintas.
Pemerintah selaku pembuat kebijakan telah memberikan penekanan berupa
Undang -undang Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009, serta Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Khusus Ibu DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum.
Berdasarkan data di atas, peraturan yang dibuat oleh pemerintah tidak
mempunyai kekuatan untuk mencegah pelanggaran hukum dilakukan.
Berdasarkan fakta terjadinya pelanggaran aturan terus menerus dan begitu

banyak jumlahnya, muncul pertanyaan, apakah warga ibu kota ini memang
2 Harian Kompas. “Ibu Kota Terbelit Kasus Klasik * Narkotika, Terorisme, Kejahatan
Jalanan, dan Korupsi Menonjol pada 2015”. KOMPAS(Nasional) - Kamis, 31 Dec 2015
Halaman: 23
3 Rizal, Fahrul. Ini Presentase Pelanggar Lalu Lintas di Jakarta. 2016. Diakses dari
http://ntmcpolri.info/ini-grafik-pelanggar-lalu-lintas-di-jakarta, pada 17 Nopember 2016
pukul 09.12 WIB.

tergolong orang-orang yang tak beretika sehingga begitu mudah mengabaikan
hukum? Bisakah etika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat ikut andil dalam
mencari solusi atas masalah etika warga ibu kota? Pertanyaan lebih lanjut,
mengapa pelanggaran aturan di ruang publik terus terjadi di Jakarta? Saat
hukum tak bergigi, apa yang terjadi pada kota ini?

Teori Etika (Emanuel Kant dikutip dari Bartens)
1. Etika dan Moralitas
Etika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke-1 tahun 1 988,
dibedakan menjadi tiga arti, yaitu 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan 3) nilai mengenai benar dan salah yang

dianut suatu golongan atau masyarakat. Dalam KBBI edisi ke-2 tahun 1991, etika
justru diartikan sebagai ilmu yang memelajari etik. Sementara etik diartikan
sebagaimana arti ke-2 dan ke-3 pengertian etika pada KBBI edisi ke 1 4.
Berbicara tentang etika, salah satu pemikir yang sangat berpengaruh adalah
Immanuel Kant. Dalam ruang lingkup filsafat etika, Kant termasuk pada filsafat
etika aliran deontologi, yaitu suatu aliran filsafat yang menilai setiap perbuatan
orang dan memandang bahwa kewajiban moral dapat diketahui dengan intuitif
dengan tidak memperhatikan konsep yang baik. Pengikut Kant, Bertens
menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan kenyataan dalam masyarakat, ia
lebih memilih menggunakan istilah etika dengan arti sesuai KBBI edisi pertama .
Bertens lalu merumuskan sendiri arti etika, yaitu 1) nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya; 2) kumpulan asas atau nilai moral yang dimaksud
sebagai kode etik; dan 3) ilmu tentang yang baik atau buruk. Sedangkan moral,
kata Bertens, berarti etis jika dipakai sebagai kata benda dan etika jika dipakai
sebagai kata sifat. Dari sisi etika sebagai cabang ilmu filsafat, moralitas adalah
ciri khas manusia.
2. Etika dalam Dunia Modern
Masih mengutip Bertens, memandang situasi etis dalam dunia modern, ada tiga
ciri menonjol, yaitu 1) adanya pluralisme moral, dalam masyarakat-masyarakat

yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda pula; 2) banyak
masalah etis baru yang tidak terduga; dan 3) ada kepedulian etis yang universal.
Sebagai contoh, A. Wylleman dalam bukunya De grondslag van de moraal,
Tijdschrift voor Filosofie 28 (1996) halaman 626 seperti dikutip Bertens
menjelaskan kondisi di Yunani kuno sekitar pertengahan abad ke-5 Masehi.
“Waktu itu kesadaran etis di sana mengalami krisis besar. Pola-pola moral
yang tradisional tidak lagi memiliki dasar untuk berpijak, akibat
4 Bertens, K. (1993). Etika: Seri Filsafat Atma Jaya: No. 15. Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama. Hlm. 3

banyaknya perubahan sosial dan religius. Para Sofis tidak berhasil
memberikan jawaban tepat untuk mengatasi krisis itu, tapi sebaliknya
meruncungkan keadaan dengan subyektivisme dan relativisme mereka.
Adalah Sokrates dan Plato yang menunjukkan jalan keluar dari kemelut
moral itu. Mereka tetap berpegang pada normal-norma yang berlaku
dalam polis (kota negara) yang tradisional di Yunani. Yang baru adalah
bahwa mereka mengusahakan suatu pendasaran rasional bagi normanorma itu5.”
Bertens juga menegaskan terdapat hubungan yang erat antara moral dan
hukum. Meskipun diakuinya moral dan hukum tidak sama. Terkadang ada hukum
yang justru bertentangan dengan moral. Filsuf Jerman Immanuel Kant seperti

dikutip Bertens, menyatakan hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia,
namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral
juga menyakut sikap batin seseorang 6. Kant membedakan dua sikap yang dalam
moralitas tradisional dan keagamaan sering tidak dibedakan, antara legalitas
dan moralitas. Legalitas adalah kesesuaian kelakuan kita dengan norma-norma
yang berlaku—tanpa memperhatikan motivasi. Misalnya orang tidak melakukan
korupsi karena risiko terlalu besar.
Orang baru bertindak moral kalau ia bertindak demi hukum moral, jadi karena itu
kewajiban dan tanggung jawabnya, karena ia peduli pada orang yang
memerlukan perhatiannya. Dengan demikian tindakan lahiriah tidak lagi cukup
untuk menilai kualitas moral seseorang. Tidak melanggar norma-norma moral
belum membuktikan bahwa ia bersikap moral. Ia bisa tidak melanggar normanorma moral karena itu menguntungkan. Maka menurut Kant kualitas moral
seseorang tergantung dari sikap hati orang itu. Karena itu tidak mungkin kita
menilai kualitas moral seseorang semata-mata dari sikap dan tindakan yang
dapat diamati. Kualitas seseorang tergantung dari apa ia taat pada suara hati
atau membiarkan diri diselewengkan daripadanya. Kant mendasarkan teori
etikanya pada konsep imperatif kategoris.
“Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (Maxime) yang dapat sekaligus
kaukehendaki menjadi hukum umum!”
Yang dimaksud Kant: Suatu pertimbangan—yang mendasari keputusan dan

pengambilan sikap—hanya sah secara moral apabila dapat diuniversalisasikan,
jadi dapat dituntut dari siapa saja, di mana saja, dalam kondisi yang sama. Kant
berpendapat bahwa kita tidak hidup dalam suatu vacuum normatif, jadi kita
sudah tahu—dari pendidikan kita—sekian norma moral, tetapi sebagai orang
yang secara moral dewasa, kita mempertanggungjawabkan sikap yang kita
ambil dalam jaringan normatif itu dengan memastikan bahwa sikap itu dapat
diberlakukan secara umum.
3. Hati Nurani sebagai Norma Moral

5 Op.Cit Hlm 37
6 Op.Cit Hlm 47

Bagi Kant, inti dari kesadaran moral adalah suara hati. Suara hati adalah
kesadaran akan kewajiban saya dalam situasi konkret. Suara hati membuat kita
sadar bahwa kitalah yang bertanggung jawab. Suara hati secara psikologis
mengandaikan bahwa kita berani mengambil sikap sendiri dan tidak hanya ikutikutan dalam kelompok. Fakta adanya suara hati membantah kolektivisme.
Tidak berbeda dengan Kant, Bertens berpendapat hati nurani memiliki peran
penting dalam hidup moral manusia. Bertens, bahkan menyebut hati nurani
sebagai norma terakhir untuk perbuatan manusia.
“Kita selalu wajib mengikuti hati nurani dan tidak pernah boleh kita

lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani
mengikat kita secara mutlak. Namun, harus langsung ditambahkan,
putusan hati nurani yang merupakan norma moral terakhir bersifat
subyektif dan beum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati
nurai adalah baik juga secara obyektif7.”
Dengan subyektifitasnya, hati nurani harus dididik agar bisa lebih bersifat
obyektif. Pendidikan hati nurani, bersama dengan seluruh pendidikan moral, jauh
lebih kompleks sifatnya. Filsuf Perancis Gabriel Madinier dalam bukunya La
conscience morale tahun 1954, seperti dikutip Bertens, mengemukakan bahwa
tempat yang paling serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan
sekolah. Pendidikan hati nurani harus dijalankan sedemikian rupa sehingga si
anak menyadari tanggungjawabnya8.
Madinier, seperti ditulis Bertens, menegaskan bahwa kekuatan para pendidik
moral, termasuk orang tua dan pengasuh lainnya adalah bahwa mereka sendiri
patuh pada nilai moral juga. Kuncinya, kewajiban hukum moral mengikat semua
orang. Untuk itu, pendidikan moral tidak akan berhasil jika para pendidik tidak
bisa menjadi panutan. Ciri perkembangan moral menurut psikolog Amerika
Serikat Lawrence Kohlberg seperti dikutip Bertens 9 :

7 Op. Cit. Hlm. 67

8 Op. Cit. Hlm. 70
9 Op cit Hlm 91-92

Tabel 1. Ciri Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg

Masih terkait dengan hati nurani, dalam antropologi dikenal adanya kebudayaan
malu dan kebudayaan kebersalahan10 . Kebudyaaan malu, seperti dijelaskan
Bertens, kebudayaan malu seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan tidak dikenal
rasa bersalah. Hampir semua kebudayaan di Asia adalah kebudayaan malu.
Kebudayaan ini mengandung pengertian bila orang berbuat buruk tidak pasti ia
anggap buruk. Namun, menjadi malapetaka jika orang lain tahu, untuk itu harus
ditutupi. Berbeda dengan kebudayaan bersalah, pengertian dosa dan
kebersalahan di sini amat dipentingkan. Sekali pun perbuatan buruk tidak
diketahui orang lain, si pelaku merasa bersalah juga. Dalam kebudayaan ini,
sanksinya adalah dari diri sendiri bukan dari orang luar. Kebudayaan ini banyak
dianut di Eropa dan Amerika.

4. Kebebasan dan Tanggungjawab

10 Op. Cit. Hlm. 95-97


Kant menyebut keharusan moral imperatif (perintah). Ia membedakan antara
imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah keharusan
bersyarat. Keharusan itu bersyarat. Sebaliknya, keharusan moral bersifat
kategoris atau mutlak/tak bersyarat.
Itulah kekuatan luar biasa kesadaran moral. Kesadaran itu adalah kesadaran
bahwa kita mutlak wajib melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan semua
kewajiban dari luar harus melalui satpam suara hati itu. Karena itu suara
hati/kesadaran moral adalah tempat di mana manusia, manusia individual,
langsung menyadari otonominya. Bagi Kant otonomi moral adalah unsur kunci
dalam moralitas. Otonomi itu tidak berarti bahwa kita masing-masing seenaknya
menetapkan apa yang wajib dan apa yang tidak. Bukan kita yang menetapkan
suara hati. Kita justru berhadapan dengan suara hati.
Tetapi otonomi moral berarti bahwa kita masing-masing berhak, dan bahkan
wajib, untuk mengikuti tanpa kecuali apa yang kita sadari sebagai kewajiban.
Perintah apa pun, dari mana pun, serta pewajiban-pewajiban sosial, misalnya
undang-undang, tidak dapat langsung mengikat hati orang. Orang berhak—dan
tidak bisa menghindar—untuk menyadari sendiri apakah apa yang dari luar
dihadapkan kepadanya sebagai kewajiban, betul-betul merupakan kewajiban.
Suara hati juga merupakan bukti nyata—bukti yang langsung disadari—bahwa
manusia itu memang bebas, bebas dalam arti eksistensial, dalam arti bahwa ia
dapat dan harus menentukan sikapnya sendiri. Kesadaran bahwa aku wajib
dan bertanggung jawab membuktikan bahwa aku bebas menentukan sikapku
(hal mana tidak menyangkal bahwa kebebasan kita secara internal sering sangat
terbatas secara psikologis, sosial dan budaya). Kesadaran moral membuktikan
kebebasan manusia.
Sedangkan kebebasan dan tanggungjawab menurut Bertens seolah-olah menjadi
pengertian kembar. Tidak mungkin manusia mendapat kebebasannya tanpa ada
tanggungjawab yang dipikul. Demikian juga sebaliknya. Bertens menekankan
bahwa terkait etika umum, yang paling terkait adalah kebebasan individual yang
arti kebebasannya, yaitu :
a.
kesewenang-wenangan, seseorang merasa bebas jika bisa berbuat
sesuka hatinya, bebas dari kewajiban dan keterikatan. Sering salah kaprah
dengan pengertian “merasa bebas” dari kewajiban/keterikatan. Padahal,
dalam konteks ini, Bertens menekankan bahwa arti kebebasan
kesewenang-wenangan ini adalah setiap orang bisa “melaju bebas” justru
karena ada norma-norma yang berlaku. Ia tidak bisa ditindas orang lain
karena ada terlindungi norma dan ia bisa melakukan hal-hal terbaik yang
ia mau yang tentu saja tidak melabrak norma.
b.
c.
hukum

kebebasan fisik, tiada paksaan atau rintangan dari luar
kebebasan yuridis, berkaitan dengan hukum dan harus dijamin oleh

d.
kebebasan psikologis, kemampuan manusia mengembangkan serta
mengarahkan hidupnya
e.
kebebasan moral, tidak bisa disamakan tetapi berkaitan dengan
kebebasan psikologis, tanpa kebebasan psikologs tidak ada kebebasan
moral.
f.
Kebebasan eksistensial, kebebasan menyeluruh yang menyangkut
seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja
Bertens menunjukkan bahwa kebebasan individu dibatasi oleh faktor-faktor dari
dalam, baik fisik maupun psikis. Selain itu, dibatasi juga oleh lingkungan,
kebebasan orang lain, dan generasi-generasi mendatang. Berdasarkan semua
itu, jadilah selalu ada tanggungjawab yang mengiringi kebebasan manusia yang
sangat terkait dengan hati nurani dan juga moralitas.
5. Martabat Manusia
Bertens sekali lagi mengutip Immanuel Kant ketika membicarakan martabat
manusia. Menurut Kant, kita harus menghormati martabat manusia karena
manusia satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya. Manusia
adalah makhluk bebas dan otonom yang sanggup mengambil keputusannya
sendiri. Manusia adalah pusat kemandirian. Martabat manusia selalu harus
dihormati. Tidak pernah manusia boleh diperalat dan dimanipulasi demi
tercapainya tujuan yang terletak di luar manusia it 11 .
Bertens menyimpulkan bahwa martabat manusia menyangkut kewajiban
seseorang terhadap orang lain. Dan itu, tulisnya, memang aspek paling penting,
yang antara lain mengakibatkan bahwa martabat manusia dapat
dioperalisasikan dalam hak-hak asasi manusia. “Tapi martabat manusia
menyangkut juga kewajiban saya terhadap diri saya sendiri sebagai manusia.
Martabat manusia sebagai norma dasar moralitas tidak saja harus saya terapkan
terhadap orang-orang di sekitar saya, melainkan juga terhadap diri saya
sendiri12.”
Bertens kembali mengutip Kant, yaitu bagi Kant, martabat manusia menjadi
sumber kewajiban baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Selain
itu, Bertens menambahkan, patut diingat bahwa manusia adalah bagian dari
alam dan tidak boleh ditempatkan dalam posisi bertentangan dengan alam.
Alam juga tidak boleh diperlakukan sebagai sarana belaka bagi keperluan
manusia. Alam tidak boleh dirusak atau dihabiskan atas nama martabat
manusia. Ada hak dan kewajiban yang mengikuti guna mencapai kehidupan
manusia sesuai hati nurani, kebebasan, dan martabat manusia. Hak adalah
bagian penting dari etika. Bertens menuliskan,
“Orang yang selalu menghormati hak-hak sesama manusia dan tidak
pernah melanggar hak-hak itu belum tentu merupakan orang yang
sungguh-sungguh baik secara moral. Menghormati hak-hak sesama
11 Op. Cit. Hlm. 181-184
12 Op. Cit. Hlm. 185

adalah tuntutan etis yang sangat diperlukan. Mutu moral seseorang akan
hancur berantakan, kalau tuntutan ini tidak dipenuhi. Tetapi pengakuan
hak itu tidak lebih daripada suatu minimum etis saja. Jika kita
menyamakan etika dengan teori hak begitu saja, kita mematoki etika itu
sampai suatu tahap minimalistis. Etika yang sebenarnya jauh lebih luas.
Orang yang sungguh-sungguh baik secara etis tidak akan membatasi diri
pada pengakuan hak saja13.”

Sedikit harapan pada etika terapan
Menjadi orang baik, menyimpulkan Bertens, adalah dengan mengikuti apa yang
dipaparkan di atas. Dengan demikian, bisa dikatakan, sebagian warga ibu kota
belumlah menjadi orang yang baik sesuai kategori Kant maupun Bertens. Suara
hati atau hati nurani yang dianggap Kant sebagai inti dari kesadaran moral
terasa kurang relevan. Kebebasan untuk dirinya bertanggung jawab seakan
hilang pada ruang-ruang publik di Jakarta, termasuk fasilitas jalan maupun
lingkungan hidup. Data di atas turut menyajikan bahwa etika moral yang digagas
oleh Kant dirasa kurang dapat mewakili perilaku masyarakat DKI Jakarta yang
ada saat ini.
Namun, selain bisa menjadi pisau analisis untuk menjelaskan etika warga
Jakarta, kami berpendapat dengan menggunakan etika terapan, ilmu filsafat di
masa modern dapat turut andil dalam mencari solusi atas masalah yang terjadi
di tengah masyarakat. Menurut Bertens14, etika terapan merupakan pendekatan
ilmiah yang tidak seragam dan tidak ada metode siap pakai. Namun, setidaknya
ada empat unsur pendekatan yang dinilai paling berperan dalam etika terapan.
Keempat unsur tersebut, yaitu: 1) dari sikap awal menuju refleksi; 2) informasi;
3) norma-norma moral; 4) logika.
Etika terapan bukan hal baru dalam sejarah filsafat moral. Sejak Plato dan
Aristoteles sudah ditekankan bahwa etika merupakan filsafat praktis, artinya
filsafat yang ingin memberikan penyuluhan kepada tingkah laku manusia dengan
memperlihatkan apa yang harus kita lakukan . Bertens menjelaskan bahwa etika
terapan sempat banyak digunakan tetapi kemudian meredup. Di era modern ini,
etika terapan mengalami kebangkitan kembali. Etika terapan dapat menyoroti
suatu profesi atau suatu masalah. Kini, banyak bermunculan apa yang kemudian
dikenal sebagai etika bisnis, etika biomedis, dan kode etik untuk bidang
professional tertentu. Juga masalah lain, termasuk ketika bicara soal
diskriminasi SARA, lingkungan, serta tidak menutup kemungkinan akan
munculnya masalah-masalah etis baru dan berat saat ini yang berasal dari hasil
yang dicapai ilmu dan teknologi modern.

13 Op. Cit. Hlm. 222
14 Op Cit Hlmn 289

Dengan demikian etika terapan dapat membantu untuk mengangkat
pertimbangan dan keputusan moral kita dari suatu taraf subjektif serta
emosional ke suatu taraf yang objektif dan rasional. Itulah yang diharapkan dari
etika terapan sebagai ilmu. Objektif berarti bisa diterima oleh semua yang
berkepentingan. Dengan demikian pertimbangan dan keputusan moral kita akan
bersifat rasional juga. Memahami perilaku warga kota, seperti Jakarta, serta
mencoba mencari solusi atasnya mungkin bisa menjadi lahan baru bagi etika
terapan. Etika terapan diharapkan dapat menjadi pisau analisa baru dalam
membedah berbagai isu strategis perkotaan dan perilaku warga kota, termasuk
DKI Jakarta.

Ketimpangan penerapan hukum mengacaukan kota
Penjelasan terkait manusia bermartabat yang seharusnya selalu mendengar hati
nurani meskipun cukup mencerahkan, tetapi masih belum bisa menjawab
mengapa sebagian warga ibu kota begitu tak peduli pada hukum. Jadi, mengapa
sebenarnya kita harus mematuhi aturan atau hukum yang berlaku?
Sebuah pertanyaan dari Filsuf Aristoteles dengan jawabannya mungkin
mempermudah kita untuk memahami apa yang tengah menjangkiti masyarakat
penghuni ibu kota, seperti yang ditulis Grant (2014). “[T]he ruler must learn by
obeying, as he would learn the duties of a general of cavalry by being under the
orders of a general of cavalry, or the duties of a general of infantry by being
under the orders of a general of infantry, or by having had the command of a
company or brigade. It has been well said that ‘he who has never learned to
obey cannot be a good commander.’ the two are not the same, but the good
citizen ought to be capable of both; he should know how to govern like a
freeman, and how to obey like a freeman — these are the virtues of a citizen 15.
Aristoteles, sebagaimana dijelaskan dalam artikel itu, meyakini bahwa baik
demokrasi maupun tirani tidak tepat bagi perkembangan sebuah negara,
termasuk kota di dalamnya. Namun, ia meyakini bahwa penciptaan hukum yang
baik dan sistem keadilan yang efektif merupakan esensi yang harus ada untuk
menciptakan harmonisasi antara pemerintah dan warga negara atau warga
kotanya. Ketika harmonisasi itu tidak terjadi, atau bisa dikatakan jika terjadi
ketimpangan dalam penerapan aturan, maka akan sulit meminta warga kota
patuh hukum.
Di Jakarta dan kawasan sekitarnya, ketimpangan penerapan hukum kasat mata
terlihat. Dalam berita Kompas, akhir Desember 2013, dilaporkan bahwa pada
kasus kecelakaan yang melibatkan anak pejabat tinggi negeri ini di Tol Jagorawi
pada 1 Januari 2013 yang menewaskan dua orang dan melukai tiga lainnya,
pelaku hanya dikenai 5 bulan penjara dan hukuman percobaan 6 bulan. Hakim

15 Oster, Grant, 2014. Why Obey?: A Look at Plato and Aristotle. diakses dari
http://hankeringforhistory.com/why-obey-look-plato-aristotle/ Minggu, 11 Desember 2016,
pukul 22.56

pun memutuskan pelaku tidak harus dipenjara selama masa percobaan
berlangsung sesuai pinsip restorative justice16.
Masih dari berita yang sama, ada kutipan menarik yaitu, ”Para penegak hukum
yang menangani kasus seperti itu tidak profesional. Seharusnya mereka
menjunjung tinggi etika profesinya sehingga setiap orang mendapat perlakuan
sama di mata hukum,” ujar Hotmarta Adelia Saragih, mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Ia kemudian menceritakan, beberapa waktu lalu
ada salah satu temannya yang tertangkap dalam razia lalu lintas oleh kepolisian
di Medan. Oleh karena tidak membawa surat lengkap, motor temannya ditahan
polisi. Tidak terima perlakuan itu, temannya menelepon kakaknya dan
menceritakan kejadian itu. Si kakak lantas datang ke tempat razia. Ajaib, setelah
berbicara dengan polisi, motor adiknya dikembalikan. Si pelanggar pun
dibebaskan dari sanksi. ”Contoh arogansi anak orang tertentu itu sudah bukan
rahasia lagi di kotaku. Menyedihkan,” ungkapnya.
Warga ibu kota, juga terbiasa dengan pemberitaan terkait kasus-kasus korupsi
yang melibatkan pejabat negara maupun para wakil rakyat di DPR/MPR. Kasuskasus itu terus diulas secara masif di semua media massa dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tak pernah berhenti membongkar perampok kelas
kakap yang menyasar uang rakyat ini. Namun, saat menjalani persidangan,
hakim hanya menjatuhkan hukuman ringan kepada para terdakwa korupsi.
Koruptor juga tidak lantas kehilangan pengaruh, kekayaan, dan kekuasaan.
Pemerintah atau para penguasa yang abai bisa memicu terbentuknya kelompok
masyarakat yang secara sadar melawan hukum. Kebutuhan warga untuk
dihargai dan sisi kelam bagian kota yang tidak terurus atau tidak tersentuh
tangan pemerintah digambarkan gamblang oleh Anderson (1999). Anderson
memaparkan kehidupan warga kulit hitam miskin di kota-kota di Amerika Serikat
yang sarat dengan kekerasan. Mereka terjerat perdagangan dan penggunaan
narkoba sehingga kehidupan mereka pun tergantung dari para bandar narkoba 17.
Warga di komunitas tersebut memiliki sistem keamanan sendiri, mereka yang
lemah bergantung pada para bandar yang rata-rata bersenjata api untuk
menunjukkan eksistensinya. Siapa pun yang dinilai tidak menunjukkan rasa
hormatnya akan berhadapan dengan moncong senjata api atau babak belur
dihajar anggota geng si bandar. Komunitas-komunitas ini melahirkan kebudayaan
baru, selain kekerasan jalanan, juga ada musik rap yang sarat lirik bercerita
tentang kehidupan mereka, kata-kata kasar, dan keputusasaan. Mereka tidak
percaya polisi bisa melindungi kelompoknya. Program-program pemerintah pun
rata-rata tidak bisa mengurai, apalagi mengatasi masalah mereka.
Selain soal hukum yang belum bisa memayungi semua kepentingan warga kota,
ketidaknyamanan penguni area metropolitan seperti Jakarta juga akibat kondisi
16 Harian Kompas. “Arogansi Anak Orang Terkenal” KOMPAS(Nasional) - Selasa, 03 Dec
2013 Halaman: 34
17 Anderson, Elijah. 1999. “The Code of the Street” and “Decent and Street Families”.
Dalam Richard T. LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 131138). London and New York: Routledge

yang mereka hadapi sehari-hari. Wirth (1938) mengatakan bahwa memahami
sebuah kota bisa dilakukan dengan mencermati dan memahami tiga hal, yaitu
populasi, kepadatan penduduk, dan keheterogenan warganya. Penambahan
jumlah penduduk atau populasi akan berpengaruh pada hubungan antarwarga
dan karakter kota. Semakin besar populasi, semakin besar variasi individu di
dalamnya. Keterikatan budaya, sosial, semakin renggang. Dalam situasi seperti
ini, kompetisi dan mekanisme kontrol formal akan menggantikan ikatan
tradisional untuk mengendalikan kota.
Ketika penduduk bertambah dan lahan tetap, kata Wirth, maka akan terjadi
keterbatasan kota untuk berkembang. Tingkat kepadatan bertambah. Namun,
dengan kerenggangan sosial yg terjadi, secara fisik boleh dekat tetapi secara
personal berjauhan.
Di era modern ini, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin makin lebar.
Masyarakat kota makin terkotak-kotak antara tempat usaha, tempat kerja,
rumah. Kota punya kawasan-kawasan dengan fungsi-fungsinya sendiri. Tanpa
ikatan emosi dan sentimental, orang cenderung makin kompetitif, saling
memanfaatkan. Peluang untuk terjadi friksi dan iritasi besar, rasa frustasi juga
makin membebani karena tekanan kecepatan teknologi yang mengelilingi kita.
Penduduk kota memang beragam, dari bermacam suku, ras, agama, tingkat
ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Mereka berkecenderungan membuat
kelompok-kelompok atas dasar kesamaan di antara mereka. Grup-grup ini
cenderung eksklusif. Ini sangat berbeda dengan kehidupan di pedesaan.
Penduduk kota juga sebagian besar bukan pemilik lahan. Banyak isu muncul,
diiringi perilaku kolektif yang susah diprediksi dan sangat bermasalah. Fasilitas
kota lebih diperuntukkan bagi kebutuhan rata-rata yang muncul bukan pada
kebutuhan per individu. Jika seseorang ingin terlibat dalam kehidupan sosial,
politis, and ekonomi di kota, dia harus menjadi bagian dari komunitas yang lebih
besar dan ini berarti menjadikannya bagian dari pergerakan massa yang besar.
Rasa frustasi atas keadaan yang selalu dihadapi juga kecenderungan mengikuti
arus dominan bisa jadi membuat pelanggaran aturan di ruang publik di Jakarta
juga terjadi massal. Lihat saja di perempatan jalan, mereka yang melanggar
rambu berupa lampu lalu lintas begitu banyak. Sampah yang masih saja
bertumpuk menyumbat nyaris semua saluran air juga akibat kebiasaan sebagian
warga kota membuang limbah sembarangan. Saat pelanggaran aturan terjadi
begitu masif, petugas di lapangan pun makin tak kuasa menegakkan aturan.
Dari pemaparan teori, hasil penelitian berbagai ahli, maupun penggalian data
pelanggaran di ruang publik di Jakarta, dapat disimpulkan bahwa yang tidak
bermartabat tidak hanya mereka yang disebut rakyat jelata atau dengan kata
lain warga kota yang tidak memiliki pengaruh, kekayaan, dan kekuasaan.
Pelanggar aturan di ruang publik tidak hanya dilakukan oleh masyarakat kelas
bawah, tetapi juga para pemangku kebijakan dan para kroninya. Warga kota
terus menerus disuguhi perilaku buruk para tokoh berpengaruh yang seharusnya
menjadi sosok panutan yang baik. Tidak heran jika hukum di mata warga kota
pun menjadi tidak dipandang sebagai perangkat untuk menjamin kebebasan

serta alat menuju hidup bersama yang aman dan nyaman. Harmonisasi antara
pemerintah dan warga kota tidak tercipta, bahkan ada rasa saling tak percaya.
Citizenship yang diharapkan Aristoteles pun sulit terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
(Tanpa Penulis). 2014. Pengetahuan Dasar Tentang Filsafat Ilmu dan
Pengetahuan. Diakses dari
http://veronica.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/32912/Filsafat+dan
+Etika.pdf pada 13 November 2016 pukul 23.02 WIB.
Anderson, Elijah. 1999. “The Code of the Street” and “Decent and Street
Families”. Dalam Richard T.
LeGates dan Frederic Stout (Ed.). The City Reader 6nd Edition (Hal 131138). London and New York: Routledge
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. 2014. Status
Lingkungan Hidup
Daerah (SLHD) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014. Diakses dari
http://bplhd.jakarta.go.id/SLHD2015/pdf/Buku%20I/Buku%20I%20Bab
%203F.pdf pada Selasa, 13 November 2016 pukul 01.03 WIB.
Bertens, K. (1993). Etika, Seri Filsafat Atma Jaya: No. 15. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bona, Maria Fatima. 2016. Jakarta Hasilkan 7.000 Ton Sampah Per Hari. Diakses
dari
http://www.beritasatu.com/megapolitan/338886-jakarta-hasilkan-7000-tonsampah-per-hari.html pada Selasa, 13 November 2016 pukul 01.22 WIB.
Harian Kompas. “Laporkan Aparat lewat Aplikasi * Laporan Jadi Salah Satu
Indikator Kinerja
Aparatur”. KOMPAS(Nasional). Senin, 19 Oct 2015 Halaman: 25
Harian Kompas. “Ibu Kota Terbelit Kasus Klasik * Narkotika, Terorisme, Kejahatan
Jalanan, dan
Korupsi Menonjol pada 2015”. KOMPAS(Nasional) - Kamis, 31 Dec 2015
Halaman: 23
Harian Kompas. “Arogansi Anak Orang Terkenal” KOMPAS(Nasional) - Selasa, 03
Dec 2013
Halaman: 34

Kant, I. (1949) Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated
by Thomas K. Abbott
with an introduction by Marvin Fox. New York: The Bobbs-Merill Company,
Inc. dalam STIE Banten (Tanpa Penulis). 2012. Diakses dari
http://stiebanten.blogspot.co.id/2012/03/etika-deontologis-immanuelkant.html pada 13 November 2016 pukul 19.11 WIB.
Magnis-Suseno, Franz. Moralitas dan Otonomi: Immanuel Kant. Makalah seri
kedua Kuliah Umum
Filsafat Etika dari Yunani Klasik hingga Jawa di Teater Salihara, 09 Februari
2013, 16:00 WIB. Diakses dari http://www.suarakita.org/wpcontent/uploads/2013/02/Moralitas-Kant-Magnis-Suseno-2013-02-03.pdf
pada 13 November 2016 pukul 21.20 WIB.
Magnis-Suseno, Franz. (1997) 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad
ke-19. Yogyakarta:
Kanisius.
Oster, Grant, 2014. Why Obey?: A Look at Plato and Aristotle. diakses dari
http://hankeringforhistory.com/why-obey-look-plato-aristotle/ Minggu, 11
Desember 2016, pukul 22.56
Rizal, Fahrul. 2016. Ini Presentase Pelanggar Lalu Lintas di Jakarta. Diakses dari
http://ntmcpolri.info/ini-grafik-pelanggar-lalu-lintas-di-jakarta, pada 17
Nopember 2016 pukul 09.12 WIB.
Wirth, Louis. 1938. “Urbanism as a Way of Life”. Dalam Richard T. LeGates dan
Frederic Stout (Ed.).
The City Reader 6nd Edition (Hal 115-123). London and New York:
Routledge